bab i pendahuluan -...

29
1 BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Ketika para peneliti atau pemerhati membaca suatu karya satra, pada hakikatnya mereka bertujuan menikmati, mengapresiasi, atau bahkan mengevaluasi karya tersebut. Hal ini berarti mereka bergumul dengan para tokoh dan penokohan yang terdapat di dalam karya tersebut. Para tokoh rekaan ini menampilkan berbagai watak dan perilaku yang terkait dengan kejiwaan dan pengalaman psikologis atau konflik konflik sebagaimana dialami oleh manusia di dalam kehidupan nyata (Minderop, 20013: 1) Selain itu, karya sastra juga dapat menjadi sarana bagi pengarang untuk mengungkapkan kegelisahan, kecemasan, dan kesengsaraannya menjadi tema tema dalam setiap karyanya (Wellek Warren, 1989: 91). Karya sastra dianggap sebagai hasil aktivitas penulis, yang seringkali dikaitkan dengan gejala gejala kejiwaan seperti, obsesi, kontemplasi, kompensasi, sublimasi, bahkan sebagai neurosis. Oleh karena itu, karya sastra sering disebut sebagai salah satu gejala penyakit kejiwaan (Ratna, 2005: 62). Dengan pertimbangan bahwa karya sastra mengandung aspek aspek kejiwaan yang sangat kaya, maka analisis psikologi sastra perlu dikembangkan secara lebih serius (Ratna, 2005: 341). Pada dasarnya penelitian yang menggunakan psikologi sastra memberi perhatian pada unsur unsur kejiwaan tokoh tokoh fiksional yang terkandung

Upload: vudat

Post on 27-Apr-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Ketika para peneliti atau pemerhati membaca suatu karya satra, pada

hakikatnya mereka bertujuan menikmati, mengapresiasi, atau bahkan mengevaluasi

karya tersebut. Hal ini berarti mereka bergumul dengan para tokoh dan penokohan

yang terdapat di dalam karya tersebut. Para tokoh rekaan ini menampilkan berbagai

watak dan perilaku yang terkait dengan kejiwaan dan pengalaman psikologis atau

konflik – konflik sebagaimana dialami oleh manusia di dalam kehidupan nyata

(Minderop, 20013: 1) Selain itu, karya sastra juga dapat menjadi sarana bagi

pengarang untuk mengungkapkan kegelisahan, kecemasan, dan kesengsaraannya

menjadi tema – tema dalam setiap karyanya (Wellek Warren, 1989: 91). Karya sastra

dianggap sebagai hasil aktivitas penulis, yang seringkali dikaitkan dengan gejala –

gejala kejiwaan seperti, obsesi, kontemplasi, kompensasi, sublimasi, bahkan sebagai

neurosis. Oleh karena itu, karya sastra sering disebut sebagai salah satu gejala

penyakit kejiwaan (Ratna, 2005: 62). Dengan pertimbangan bahwa karya sastra

mengandung aspek – aspek kejiwaan yang sangat kaya, maka analisis psikologi sastra

perlu dikembangkan secara lebih serius (Ratna, 2005: 341).

Pada dasarnya penelitian yang menggunakan psikologi sastra memberi

perhatian pada unsur – unsur kejiwaan tokoh – tokoh fiksional yang terkandung

2

dalam karya sastra. Aspek kemanusiaan merupakan objek utama dalam analisis

psikologi sastra, sebab dalam diri manusia itulah, sebagai tokoh – tokoh, aspek

kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan. Sampai saat ini, teori psikologi yang

paling dominan yang dipakai dalam analisis karya sastra adalah teori psikoanalisis

kepribadian milik Sigmund Freud (Ratna, 2004: 343-344). Hal ini diperkuat dengan

pendapat Minderop (2013: 2-3) yang mengatakan bahwa teori psikoanalisis Sigmund

Freud banyak memberikan kontribusi dan menghilhami pemerhati psikologi sastra.

Terkait dengan psikologi kepribadian, sastra menjadi suatu bahan telaah yang

menarik karena sastra bukan sekedar telah teks yang menjemukan tetapi menjadi

bahan kajian yang melibatkan perwatakan atau kepribadian tokoh rekaan, pengarang

karya sastra, dan pembaca.

Natsume Soseki merupakan seorang penulis novel asal Jepang pada jaman

Meiji (1868-1912). Ia mulai menulis pada tahun 1901 hingga akhir hayatnya (1916).

Tidak hanya novel, Soseki juga kerap kali menciptakan haiku1, kaligrafi, maupun

lukisan – lukisan tradisional. Sejak kecil Soseki memiliki ketertarikan dengan dunia

sastra. Bermula dari hobinya membaca karya sastra klasik Cina, hingga kemudian

ketertarikannya berkembang ke karya sastra barat. Soseki pernah dikirim ke Inggris

untuk melajutkan program pascasarjana setelah lulus dari program studi literature

Inggris di Universitas Tokyo (Sei: 1970: 50-51).

Kokoro merupakan salah satu contoh novel karya Natsume Soseki yang

cukup terkenal dan menyita perhatian banyak orang, bahkan novel tersebut sampai

1 Puisi pendek khas jepang.

3

sekarang masih diterbitkan ulang. Kata Kokoro ini secara harafiah bisa diartikan

sebagai “hati” atau apabila diterjemahkan secara lebih luas bisa juga berarti

“perasaan”. Novel ini telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dan diterbitkan

dalam judul “Rahasia Hati”. Sedangkan dalam Bahasa Inggris, novel ini

diterjemahkan oleh Edwin McClellan dengan judul Kokoro.

Novel ini dianggap sebagai salah satu novel karya Soseki yang cukup

misterius karena dalam novel ini nama tokoh utama tidak pernah disebutkan

sekalipun. Pada novel yang menggunakan sudut pandang orang pertama serba tahu,

tokoh Aku memang seolah menjadi tokoh utama karena ia menceritakan tokoh –

tokoh lain dalam sudut pandangnya, namun tokoh utama sebenarnya adalah Sensei

yang menjadi objek utama yang diceritakan oleh tokoh Aku.

Novel Kokoro dapat digolongkan sebagai novel psikologis. Karya fiksi

psikologi merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan suatu novel

yang bergumul dengan spiritual, emosional, dan mental para tokoh dengan cara lebih

banyak mengkaji perwatakan dibanding mengkaji alur atau peristiwa (Cuddon via

Minderop, 2013: 53). Hal tersebut sesuai dengan novel Kokoro yang lebih

memfokuskan perwatakan tokoh utama dibandingkan dengan alur dari cerita itu

sendiri.

Dari segi strukturnya, novel ini memiliki tema yang sangat menarik.

Meskipun inti cerita dalam novel ini adalah kisah cinta antara Sensei dan istrinya,

namun makna sebenarnya lebih dari sekedar itu. Novel ini lebih menggambarkan

seseorang yang terikat dengan masa lalunya sehingga berdampak pada kehidupannya

4

di masa sekarang. Secara garis besar novel ini terbagi menjadi tiga babak. Babak

pertama menceritakan tentang hubungan antara tokoh Aku dan Sensei. Dalam babak

ini pula, diceritakan bagaimana awal pertemuan kedua tokoh tersebut hingga pada

akhirnya mereka memiliki kedekatan. Cerita mengenai tokoh Aku dan orangtuanya

tergambar dalam babak kedua. Walaupun kedua tokoh ini menjadi tokoh utama,

namun didalam dialog – dialog antar tokoh mereka lebih banyak membicarakan

tentang Sensei. Sedangkan babak ketiga menceritakan mengenai Sensei dan surat

terakhirnya. Pada babak ketiga inilah kemisteriusan tokoh Sensei terungkap. Dimulai

dari kisah tentang alasan Sensei lebih suka menyendiri, cenderung antisosial,

menutup diri, dan kisah – kisah yang mengungkapkan isi hati Sensei yang sebenarnya.

Walaupun dalam novel ini tokoh Sensei tidak secara terang – terangan menjadi tokoh

utama, namun secara keseluruhan novel ini menceritakan tentang kehidupan Sensei

tersebut.

Tokoh – tokoh dalam novel Kokoro juga memiliki kepribadian yang sangat

kuat. Sensei adalah tokoh yang memiliki perwatakan paling kuat karena memang ia

diciptakan sebagai tokoh utama. Tentunya keberhasilan sebuah novel salah satunya

ditentukan oleh kuat atau tidaknya penggambaran kepribadian tokoh yang

digambarkan dalam novel tersebut. Apabila tokoh tersebut memiliki kepribadian yang

kuat maka secara otomatis pembaca akan mampu mengikuti alur cerita yang disajikan.

Dalam novel Kokoro, cerminan psikologis tokoh tersebut digambarkan sedemikian

rupa oleh Natsume Soseki, sehingga ketika membaca novel tersebut pembaca mampu

merasakan bagaimana masalah – masalah psikologis yang dialami tokoh Sensei yang

5

membentuk kepribadiannya. Kepribadian tersebut pastinya tidak muncul begitu saja,

namun ada latar belakang mengapa kepribadian itu muncul dalam diri tokoh. Untuk

memahami kepribadian seorang tokoh dalam suatu karya sastra diperlukan sebuah

teori untuk menganalisanya. Menurut teori psikoanalisis kepribadian yang

dipopulerkan oleh Sigmund Freud, kepribadian seseorang bisa muncul akibat adanya

kecemasan – kecemasan yang terjadi selama hidup manusia. Kecemasan ini muncul

akibat adanya ketidaksesuaian antara Id, Ego, dan Superego. Id merupakan energi

psikis dan naluri yang mampu menekan manusia supaya memenuhi kebutuhan dasar,

sedangkan Ego mendamaikan tuntutan yang muncul dari Id dan Superego dengan

tuntutan realistik dari dunia luar, kemudian Superego secara sederhana dapat

diartikan sebagai hati nurani.

Seperti yang tergambar dalam novel ini, tokoh Sensei digambarkan sebagai

seseorang yang sedang mengalami depresi yang berat pasca ditinggal oleh sahabatnya

yang sudah lama meninggal. Semenjak itu Sensei menjadi tokoh yang lebih suka

menyendiri, selalu menyalahkan diri sendiri atas kematian sahabatnya, dan lebih

memilih untuk menghindari kontak sosial dengan sekitarnya. Padahal tokoh Sensei

adalah tokoh yang memiliki latar belakang pernikahan yang bahagia, pendidikan

tinggi, memiliki sikap yang sangat beradab dalam segala situasi, dan orang yang

memiliki tujuan dalam kehidupannya. Kemudian semuanya berubah ketika tokoh

Sensei ini kehilangan sosok sahabatnya. Kesedihan yang berkepanjangan itu

membuat Sensei pada akhirnya memutuskan untuk bunuh diri, walaupun sebenarnya

kehidupan Sensei masih bisa diperbaiki.

6

Pada adegan yang lain, dikisahkan bahwa Sensei ditipu oleh Pamannya

sendiri. Kejadian ini menimbulkan trauma di hati Sensei sehingga muncul rasa tidak

mudah percaya dengan orang lain. Trauma yang dialami oleh Sensei ini merupakan

salah satu bentuk nyata dari kecemasan yang dialami oleh tokoh tersebut. Kecemasan

lain lahir dari ketidakberdayaannya saat sahabatnya meninggal, pikiran – pikiran

Sensei yang tidak sesuai dengan kenyataan, kekhawatirannya atas berbagai hal,

pengalaman masa lalu, dan lain sebagainya.

Menurut Freud, munculnya kecemasan ini membuat kepribadian seseorang

mengalami perubahan. Perubahan itu disebut juga dengan dinamika kepribadian.

Begitu pula dengan tokoh Sensei dalam Novel Kokoro, akibat kecemasan –

kecemasan yang dialaminya sepanjang hidupnya, ada beberapa sikap, pemikiran, dan

wataknya yang berkembang. Perubahan kepribadian tersebut berkembang ke arah

yang buruk dan berlanjut pada munculnya gangguan kepribadian dalam diri tokoh

Sensei. Namun dalam teori psikoanalisis Freud, dinamika kepribadian tidak serta

merta mengarah pada munculnya gangguan kepribadian. Oleh karena itu dalam

penelitian ini selain teori psikoanalisis Freud akan dipakai juga akan dipakai teori

psikologi mengenai gangguan kepribadian yang dikemukakan oleh Susan Nolen-

Hoeksma. Teori ini dipilih karena mampu menjelaskan hubungan antara kecemasan

yang dikemukakan oleh Freud dengan abnormalitas yang muncul pada kepribadian

manusia.

7

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan sebelumnya, ada beberapa

masalah yang muncul dan menimbulkan pertanyaan bagi peneliti. Permasalahan

tersebut diantaranya adalah:

1. Bagaimanakah struktur dan keterkaitan antar unsur dalam membangun

kesatuan makna pada novel Kokoro karya Natsume Soseki?

2. Bagaimana kecemasan yang dialami tokoh Sensei dilihat dari struktur

kepribadiannya?

3. Apa saja bentuk gangguan kepribadian yang dialami tokoh Sensei terkait

dengan kecemasan - kecemasan yang muncul dalam dirinya?

1.3. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian tentunya memiliki tujuan untuk dicapai dan diharapkan

memiliki manfaat untuk berbagai pihak. Ada dua tujuan terkait dengan dilakukannya

penelitian ini, yaitu tujuan praktis dan tujuan teoritis.

1. Tujuan teoritis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur

novel Kokoro, struktur kepribadian tokoh Sensei, kecemasan yang muncul

dalam tokoh Sensei, dan gangguan kepribadian yang dialami tokoh Sensei

dengan menggunakan teori psikologi abnormal Susan Nolen.

2. Tujuan praktis dalam penelitian ini adalah untuk memperkaya

pengetahuan pembaca mengenai novel jepang khususnya novel Kokoro

8

karya Natsume Soseki. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan mampu

membuka wawasan pembaca mengenai hubungan antara psikologi dan

sastra serta bagaimana mengaplikasikan teori psikologi untuk meneliti

karya sastra.

1.4. Landasan Teori

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan teori psikologi abnormal

yang dikemukakan oleh Susan Nolen Hoeksma untuk menjelaskan gangguan

kepribadian yang dialami oleh tokoh Sensei. Teori ini merupakan teori yang

bertumpu pada psikoanalisis Sigmund Freud yang dalam penelitian ini digunakan

untuk meneliti kecemasan yang dialami tokoh. Namun sebelumnya, untuk

mempermudah pemahaman mengenai novel Kokoro, penulis terlebih dahulu ingin

menjabarkan mengenai struktur novel melalui teori struktural.

1.4.1. Teori Struktural

Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan

Strukturalisme Praha (Nurgiyantoro, 2013: 36). Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi,

menurut kaum Strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara

kohorensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Di satu pihak, struktur karya sastra

dapat juga diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan

9

bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang

indah (Abrams via Nurgiyantoro, 2013: 36).

Pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin

fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersamaan

menghasilkan sebuah keseluruhan. Analisis struktural karya sastra dalam hal ini fiksi,

dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan

hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2013: 37).

Dalam penelitian ini tidak semua unsur dalam teori strukturalisme dianalisis. Ada tiga

unsur utama yang akan dianalisis yaitu tema, penokohan, dan latar. Ketiga unsur

tersebut memiliki relasi yang cukup kuat dengan teori psikoanalasis yang digunakan

dalam penelitian ini. Anilisis tema dilakukan agar pembaca semakin memahami cerita

dari novel Kokoro yang diteliti meskipun tidak secara langsung membaca buku

aslinya, sedangkan analisis penokohan bertujuan agar pembaca memahami karakter –

karakter tokoh yang ada di dalam novel ini. Pada penelitian kali ini, fokus utama

peneliti adalah tokoh Sensei yang merupakan tokoh utama dari novel Kokoro, namun

tentunya perlu juga analisis mengenai tokoh – tokoh sampingan yang berhubungan

erat dengan tokoh tersebut, karena keberadaan orang – orang di sekitar tokoh Sensei

juga turut memberikan dampak terhadap kepribadiannya. Latar dalam novel Kokoro

juga turut dianalisis karena latar belakang seorang tokoh, seperti rumah tinggal,

kondisi lingkungan, masa dimana tokoh tersebut hidup, maupun latar belakang sosial

dan budaya, juga memberikan efek dalam pembentukan kepribadiannya. Untuk

alasan itulah, ketiga unsur tersebut perlu dianalisis dalam penelitian ini.

10

a. Tema

Untuk menentukan makna pokok sebuah novel, kita perlu memiliki kejelasan

pengertian tentang makna pokok atau tema itu sendiri. Tema merupakan gagasan

dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks

sebagai struktur semantic dan yang menyangkut persamaan – persamaan atau

perbedaan – perbedaan (Hartoko&Rahmanto, 1986:142). Tema disaring dari motif –

motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya

peristiwa – peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Tema menjadi dasar

pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu.

(Nurgiyantoro, 2013: 68)

Tema itu sendiri secara umum terbagi menjadi dua bagian yaitu tema utama dan

tema tambahan. Tema utama seringkali disebut sebagai tema mayor yang berarti

makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya tersebut.

Menentukan tema pokok sebuah cerita pada hakikatnya merupakan aktivitas memilih,

mempertimbangkan, dan menilai di antara sejumlah makna yang ditafsirkan yang

terkandung dakan karya yang bersangkutan. Sedangkan tema tambahan atau yang

sering disebut tema minor adalah makna yang hanya terdapat pada bagian – bagian

tertentu cerita yang dapat diidentifikasi sebagai makna bagian atau makna tambahan.

Makna tambahan tersebut bersifat mempertegas eksistensi makna utama

(Nurgiyantoro, 2013: 82-83).

11

b. Latar

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada

pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya

peristiwa – peristiwa yang diceritakan (Abrams via Nurgiyantoro, 2013: 216). Latar

memberikan pijakan cerita secara kongkret dan jelas. Hal ini penting untuk

memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang

seolah – olah sungguh terjadi, sehingga pembaca dapat merasakan dan menilai

kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar sehingga merasa lebih akrab dengan cerita

tersebut (Nurgiyantoro, 2013: 217).

Unsur latar menurut Nurgiyantoro dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok,

yaitu, tempat, waktu, dan latar sosial. Ketiga unsur ini walaupun sepintas berbeda,

namun pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan

yang lainnya.

1. Latar Tempat

Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang

diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin

berupa tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, atau mungkin lokasi

tertentu tanpa nama yang jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama tertentu

haruslah mencerminkan keadaan geografis dari tempat yang bersangkutan.

Deskripsi tempat secara teliti dan realistis ini penting untuk memberi kesan

pada pembaca seolah – olah hal yang diceritakan itu sungguh ada dan terjadi

(Nurgiyantoro, 2013: 227).

12

2. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya

peristiwa – peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah

“kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang

ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan

pembaca terhadap waktu sejarah tersebut kemudian dapat digunakan untuk

masuk ke dalam suasana cerita. Pengangkatan unsur sejarah ke dalam karya

fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal,

dan dapat menjadi sangat fungsional sehingga tak dapat diganti dengan waktu

lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita (Nurgiyantoro, 2013: 230-231).

3. Latar Sosial

Latar sosial mengacu pada hal – hal yang berhubungan dengan

perilaku kehidupan sosial di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.

Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam

lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat,

tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain –

lain yang tergolong latar spiritual. Di samping itu, latar sosial juga

berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan (Nurgiyantoro,

2013: 233-234).

c. Penokohan

Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan

perwatakan, yaitu segala sesuatu yang menunjuk pada penempatan tokoh – tokoh

13

tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Menurut Jones, penokohan

adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam

sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2013: 165).

Dengan demikian istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan

perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana

penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita. Tokoh cerita menempati posisi

strategs sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang

sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2013: 167).

Secara umum tokoh dalam sebuah karya fiksi terbagi menjadi dua bagian bagian

yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan

dalam penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang

paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai

kejadian, ia sekaligus sebagai penentu perkembangan plot secara keseluruhan.

Sedangkan tokoh tambahan merupakan tokoh yang kehadirannya dalam cerita lebih

sedikit, tidak dipentingkan, dan hanya muncul ketika ia memiliki keterkaitan dengan

tokoh utama baik secara langsung maupun tidak langsung. (Nurgiyantoro, 2013: 176-

177).

1.4.2. Teori Psikoanalisis Kepribadian

Psikologi kepribadian adalah psikologi yang mempelajari kepribadian

manusia dengan objek penelitian faktor – faktor yang mempengaruhi tingkah laku

manusia. Dalam Psikologi kepribadian dipelajari kaitan antara ingatan atau

14

pengamatan dengan perkembangan, kaitan antara pengamatan dengan penyesuaian

diri pada individu, dan seterusnya (Minderop, 2010: 8).

Sedangkan psikoanalisis merupakan sebuah disiplin ilmu yang dimulai sekitar

tahun 1900-an oleh Sigmund Freud yang merupakan seorang neurolog dari Austria.

Teori ini sangat berhubungan dengan fungsi dan perkembangan mental manusia.

Bagi para psikoanalisis, istilah kepribadian adalah pengutamaan alam bawah

sadar (unconscious) yang berada di luar sadar, yang membuat struktur berpikir

diwarnai oleh emosi. Mereka beranggapan, perilaku seseorang sekedar wajah

karakteristiknya, sehingga untuk memahami secara mendalam kepribadian seseorang,

harus diamati gelagat simbolis dan pikiran yang paling mendalam dari orang tersebut

(Minderop, 2010: 9).

Menurut Freud sendiri, pikiran manusia lebih banyak dipengaruhi oleh alam

bawah sadar daripada alam sadar. Freud meneliti mengenai sumber – sumber tak

sadar dari gejala sehari – hari seperti salah ucap. Inilah yang seringkali disebut

sebagai bahasa alam tak sadar (mental).

Freud juga melihat kecemasan sebagai bagian penting dalam sistem

kepribadian, hal yang merupakan suatu landasan dan pusat dari perkembangan

perilaku neurosis, dan psikosis (Andy, 2007: 234).

1.4.2.1 Tingkat – tingkat kegiatan mental

a. Ketidaksadaran

Isi dari ketidaksadaran adalah dorongan – dorongan, keinginan-keingnan,

sikap – sikap, perasaan – perasaan, pikiran – pikiran, insting – insting yang tidak

15

dapat dikontrol oleh kemauan, hanya dengan susah payah ditarik-kalau dapat-ke

dalam kesadaran, tidak terikat oleh hukum – hukum logika, dan tidak dapat dibatasi

oleh waktu dan tempat (Semiun, 2006: 56). Ketidaksadaran inilah yang memicu

adanya tindakan, perkataan, maupun perilaku yang muncul dalam setiap individu

manusia.

Tentu saja ketidaksadaran tidak berarti non aktif atau tidur. Insting –insting

dalam ketidaksadaran terus menerus berjuang untuk menjadi sadar dan banyak

diantaranya berhasil meskipun mereka tidak kelihatan lagi dalam bentuk aslinya

(Semiun, 2006: 58).

b. Keprasadaran

Keprasadaran memiliki dua sumber yaitu persepsi sadar dan ketidaksadaran.

Persepsi sadar memiliki waktu yang relatif singkat, apabila orang tersebut dalam

persepsinya seketika dialihkan ke pikiran lain, maka ia akan dengan cepat beralih ke

persepsi keprasadaran. Pada dasarnya pikiran yang cepat berubah antara sadar dan

prasadar ini bebas dari kecemasan dan sebagian besar kenyataannya lebih menyerupai

dorongan – dorongan sadar.

c. Kesadaran

Dalam teori psikoanalisis, kesadaran hanya memiliki peran yang sangat kecil.

Kesadaran merupakan satu – satunya kehidupan mental yang langsung tersedia dalam

kehidupan sehari – hari kita. Secara garis besar, pikiran kita dapat mencapai suatu

kesadaran melalui dua arah dan sumber yang berbeda. Pertama berasal dari sistem

sadar perseptual yang diarahkan ke dunia luar dan bertindak sebagai stimulus

16

eksternal. Sedangkan sumber ke dua berasal dari dalam struktur mental yang meliputi

pikiran yang tidak mengancam dari alam prasadar dan juga pikiran yang mengancam

tetapi tersamar dengan baik dari ketidaksadaran.

1.4.2.2 Struktur Kepribadian menurut Sigmund Freud.

Menurut Freud ada tiga bagian dalam psikisme manusia. Ketiga bagian

tersebut dalam bidang psikologi sering dikenal dengan nama Id, Ego, dan Superego.

Ketiganya memiliki peran yang sangat peting dalam pembentukan kepribadian

manusia. Masing – masing dari ketiga hal tersebut saling berkaitan dan saling

mendukung satu dengan yang lainya.

Secara garis besar struktur kepribadian dapat dilihat seperti pada gambar

dibawah ini.

Freud mengatakan bahwa analogi kepribadian manusia mirip dengan gunung

es yang berada di lautan. Hanya 10% saja dari gunung es tersebut yang muncul di

permukaan sedangkan sisanya berada di bawah. 10% yang muncul ini terkait dengan

ego seseorang yang erat pula hubungannya dengan tingkat kesadaran manusia.

17

Sedangkan hampir 90% sisanya terkait dengan ketidaksadaran yang mencakup Id,

dan Superego.

Dalam analogi gunung es tersebut digambarkan bahwa bagian paling besar

dan paling kuat dalam tingkat kepribadian manusia adalah Id. Bagian kedua yang

lebih kecil namun tidak kalah penting dalam pengambilan tidakan dan keputusan

manusia adalah superego. Superego seringkali masih berada diantara kesadaran dan

ketidaksadaran. Sedangkan bagian terakhir dan yang lebih sering muncul di

permukaan dan memicu tindakan seseorang adalah ego.

a. Id

Freud mengatakan bahwa Id merupakan energi psikis dan naluri yang mampu

menekan manusia supaya memenuhi kebutuhan dasar. Id terletak di alam bawah

sadar kita, yang selalu berusaha mencari kesenangan dan kenikmatan (Pleasure

Principle). Id akan sangat berbahaya apabila seseorang sangat bergantung pada Id

yang ada dalam dirinya. Karena Id tidak bersinggungan langsung dengan realitas,

sehingga ada kemungkinan orang akan melakukan apapun untuk memenuhi Idnya. Id

dianggap sebagai struktur yang paling kuat dalam psikisme manusia.

Id juga merupakan bagian paling primitive dalam kepribadian manusia karena

keberadaannya sudah ada semenjak manusia masih bayi dan belum berhubungan

dengan dunia luar. Oleh sebab itu Id lahir dari dorongan – dorongan alami yang

seringkali disebut sebagai insting. Insting ini bekerja untuk memenuhi hasrat dan

kepuasan yang ingin dicapai oleh manusia.

18

b. Ego

Ego berada diantara dua kekuatan yang bertentangan dan dijaga serta patuh

pada prinsip realitas (Reality Principle) dengan mencoba mencari kesenangan

individu namun masih dibatasi oleh realitas. Ego lahir karena adanya kebutuhan

manusia dalam memenuhi transaksi – transaksi yang sesuai dengan kenyataan

objektif.

Tujuan dari prinsip realitas yang terdapat dalam Ego ialah mencegah

terjadinya tegangan sampai ditemukan objek yang cocok yang dapat memenuhi

kepuasan suatu individu. Untuk sesaat mungkin saja prinsip kepuasan harus tertunda

terlebih dahulu sampai objek yang cocok ditemukan. Hal tersebut dapat mereduksi

ketegangan – ketegangan yang mungkin terjadi apabila seorang individu ingin

memenuhi kenikmatan yang dicarinya.

Ego biasanya memimpin pengambilan – pengambilan keputusan yang

dilakukan oleh seseorang. Ego menolong manusia untuk mempertimbangkan apakah

manusia tersebut dapat memuaskan diri sendiri tanpa menyebabkan kesulitan untuk

dirinya.

Dalam melaksanakan fungsi eksekutif, ego selalu harus mempertimbangkan

tuntutan dari Id dan Superego yang seringkali bertetangan dan tidak realistik. Di

samping kedua hal ini, ego juga harus melayani penguasa ketiga yaitu dunia luar yang

menutut tindakan – tindakan yang realistis. Dengan demikian, Ego terus menerus

mendamaikan tuntutan yang muncul dari Id dan Superego dengan tuntutan realistik

dari dunia luar. Karena merasa dirinya dikepung oleh ketiga kekuatan yang

19

bertentangan itu, seringkali Ego menjadi cemas. Sehingga dengan begitu, Ego harus

mengadakan represi dan mekanisme pertahanan lain untuk mempertahankan dirinya

tanpa membiarkan elemen – elemen tersebut masuk dalam kesadaran seseorang.

c. Superego

Kemudian struktur yang terakhir adalah Superego. Dalam hal ini, Superego

mengacu pada moralitas dan seringkali disebut sebagai hati nurani. Ia mampu menilai

mana yang baik dan mana yang buruk. Namun sama seperti Id, Superego tidak

bersentuhan langsung dengan realitas.

Superego dikendalikan oleh prinsip – prinsip moralistic dan idealistic yang

bertentangan dengan prinsip kenikmatan dari id dan prinsip kenyataan dari ego.

Supergo mencerminkan yang ideal dan bukan yang real, memperjuangkan

kesempurnaan dan bukan kenikmatan. Perhatiannya yang utama adalah memutuskan

apakah sesuatu itu benar atau salah, dengan demikian ia dapat bertindak sesuai

denagan norma moral yang diakui oleh masyarakat (Semiun, 2006: 66).

Fungsi – fungsi pokok superego adalah:

1. Merintangi impuls Id, terutama impuls seksual dan agresif karena impuls

jenis ini snagat dikutuk oleh masyarakat

2. Mendorong ego untuk menggantikan tujuan – tujuan realistik dengan

tujuan – tujuan moralistic.

3. Mengejar kesempurnaan.

Dengan demikian superego cenderung untuk menentang baik Id maupun Ego,

dan membuat dunia menurut gambarannya sendiri (Semiun, 2006: 67).

20

1.4.2.3 Dinamika Kepribadian

a. Insting

Freud menggunakan kata Jerman trieb untuk menyebut dorongan atau

stimulus dalam individu. Secara harafiah kata ini bisa diartikan sebagai insting namun

makna yang mengikutinya lebih tepat ke arah “dorongan” atau “impuls”. Insting

merupakan representasi mental dari kebutuhan fisik atau tubuh (Freud via Semiun,

2006: 69).

Insting dapat pula dilihat sebagai faktor pendorong kepribadian. Mereka tidak

hanya mendorong tingkah laku individu namun juga menentukan arah yang akan

ditempuh oleh tingkah laku tersebut. Dengan kata lain, insting dapat pula dikatakan

menjalankan kontrol selektif terhadap tingkah laku dengan meningkatkan kepekaan

seseorang terhadap stimulasi tertentu.

Tujuan insting pada dasarnya bersifat regresif. Dikatakan demikian karena

insting bertujuan mengembalikan keadaan individu seperti sediakala sebelum

munculnya insting tersebut. Insting juga disebut konservatif karena bertujuan

mempertahankan keseimbangan individu dan menghilangkan rangsangan –

rangsangan yang bersifat mengganggu.

b. Kecemasan

Kecemasan kaitannya dengan dinamika kepribadian seorang individu

memiliki peranan yang tidak kalah penting dengan insting. Kecemasan menurut

Freud merupakan suatu perasaan afektif yang tidak menyenangkan disertai dengan

sensasi fisik yan memperingatkan orang terhadap bahaya yang akan datang. Keadaan

21

yang tidak menyenangkan itu sering kabur dan sulit merujuk dengan tepat, tapi

kecemasan itu sendiri selalu dirasakan (Freud via Semiun., 2006: 87).

Freud membagi kecemasan kedalam tiga bentuk yaitu:

1. Kecemasan Realitas atau Objektif

Yaitu merupakan suatu kecemasan yang bersumber dari adanya ketakuran

terhadap bahaya yang mengancam di dunia nyata (Andi, 2007: 235). Kecemasan jenis

ini seringkali berkembang hingga ke titik yang sangat ekstrim karena bersumber pada

realitas yang ada di depan mata. Individu tersebut bisa jadi tidak hanya semata – mata

merasakan kecemasan namun juga rasa takut yang luar biasa.

2. Kecemasan Neurosis

Kecemasan ini muncul akibat adanya pengalaman masa kecil yang dirasakan

oleh seorang individu. Kecemasan ini muncul akibat seorang individu diharuskan

untuk memuaskan impuls Id tertentu. Sehingga kecemasan tersebut ikut berkembang.

Kecemasan yang muncul pada jenis ini adalah ketakutan akan terkana hukuman

karena memperlihatkan perilaku impulsive yang didominasi oleh Id. Ketakutan yang

dimaksud disini bukanlah ketakutan apabila Id tersebut muncul dalam diri individu

tetapi ketakutan akan efek yang terjadi apabila Id tersebut dipuaskan.

3. Kecemasan Moral

Kecemasan ini merupakan hasil dari konflik antara Id dan Superego. Secara

dasar merupakan ketakutan akan suara hati individu sendiri. Ketika individu

termotivasi untuk mengekspresukan impuls instingual yang berlawanan dengan nilai

22

moral termasuk dalam superego individu itu maka ia akan merasa malu atau bersalah

(Andi, 2007: 235).

1.4.3 Gangguan Kepribadian

Istilah gangguan kepribadian (personality disorder) sering juga disebut

sebagai psychopaty, artinya adalah kekurangan atau gangguan dalam jiwa yang

tampil dalam perilakunya sehari – hari. Adapun yang dimaksud personality disorder

adalah gangguan –gangguan dalam perilaku yang memberikan dampak atau dinilai

negatif oleh masyarakat. Pemahaman ini bersumber pada masalah perkembangan,

yaitu bahwa manusia berkembang dari sejak lahir dalam suatu proses dimana terjadi

iteraksi antara dirinya dengan lingkungannya. Proses inilah yang menyebabkan

kondisi di dalam diri seseorang menimbulkan adanya perkembangan kepribadian

termasuk di dalamnya tugas – tugas perkembangan dan moralitas dalam berperilaku.

(Wiramihardja, 2015: 119-120)

Gangguan kepribadian pada umumnya ditandai oleh masalah – masalah

dimana individu secara tipikal mengalami paling sedikit kesukaran dalam

melaksanakan kehidupan dengan orang lain sebagaimana ia kehendaki. Orang –

orang yang mengalami personality disorder ini melihat orang lain sebagai hal yang

membingungkan, tidak jelas, tidak dapat diduga, dan pada derajat yang bervariasi

tidak dapat diterima. (Wiramihardja, 2015: 120)

23

Jenis – jenis gangguan kepribadian sangat bervariasi, karena menyangkut

permasalah sosial. Akan tetapi secara umum dapat digolongkan menjadi 10 jenis

gangguan. Berikut ini merupakan penggolongan jenis – jenis gangguan kepribadian

yang diungkapkan oleh Wiramihardja (2015: 124-141):

1. Paranoid

Individu dengan gangguan ini biasanya mencurigai, hypersensitive, rigid,

pencemburu, dan argumentatif. Mereka cenderung melihat diri sendiri sebagai yang

baik, yang tidak memiliki cacat, dan jarang melihat kekurangan dirinya meskipun dia

tahu.

Ciri dari paranoid adalah penghayatan, ketidakberalasan, dan

ketidakpercayaan pada orang lain. Orang dengan gangguan ini meyakini bahwa orang

lain secara kronis mencoba untuk menipu atau mencurangi mereka. Mereka seringkali

merupakan pengamat yang sangat tajam terhadap situasi – situasi, hingga detail –

detail yang kebanyakan orang lewatkan.

2. Schizotypal

Gangguan ini merupakan pola berpikir yang khas (dalam arti tidak baik)

dalam biaca dan dalam presepsi tidak aktual, sehingga merusak komunikasi dan

interaksi sosial. Orang yang mengalami Schizotypal cenderung terisolasi secara sosial

dan menjaga jarak emosi, sehingga mereka pun merasa tidak mnyaman dalam

membangun hubungan sosial.

24

3. Histrionik

Gangguan ini ditandai dengan adanya self-dramatitation, tampil selalu lebih

dari yang sewajarnya, terlalu terlihat atraktif, dan memiliki kecenderungan untuk

mudah terganggu dan cepat marah. Orang yang mengalami gangguan ini secara

umum ingin menjadi pusat perhatian, mereka mengejar perhatian orang lain dengan

cara menjadi sangat dramatis, dan menekankan kualitas positif dan penampilan fisik

mereka.

4. Narcissistic

Orang yang mengalami gangguan ini biasanya berusaha untuk selalu tampil

agung dan menamakan dirinya dengan gambaran besar. Mereka tenggelam dalam

keasikan menerima atensi, salah dalam menerima reaksi orang disekitarnya, dan

kurang mampu memahami dan merasakan perasaan orang lain.

5. Antisosial

Gangguan ini ditandai oleh ciri – ciri kurangnya perkembangan moral dan

tidak mampu membedakan mana yang pantas baginya dibandingkan dengan orang

yang lebih muda darinya. Ketidakmampuannya mengikuti model perilaku yang

disetujui banyak orang, tidak malu menipu orang lain dan mempunyai riwayat hidup

sebagai anak bermasalah dalam melaksanakan apa yang harusnya ia lakukan.

Ciri dari gangguan ini adalah melemahnya kemampuan untuk membentuk

hubungan positif dengan orang lain dan kecenderungan untuk menggunakan perilaku

– perilaku yang bertentangan dengan dasar – dasar atau norma dan nilai sosial.

25

6. Borderline

Gangguan ini ditandai oleh adanya perubahan suasana hati yang drastis,

perasaan menganggu yang sifatnya kronis, dan adanya upaya untuk menyakiti diri

sendiri demi mendapatkan sesuatu. Kelabilan merupakan ciri utama orang – orang

yang menderita gangguan ini. Suasana hati penderita tidak stabil, sering depresi,

kecemasan, atau kemarahan yang sangat frekuen dan kadang – kadang tanpa alasan

yang masuk akal.

7. Avoidance

Avoidance ditandai dengan adanya ciri sangat sensitif terhadap penilaian

orang lain, sehingga sulit untuk menolak kehendak orang lain atau menghalangi

linbgkuangn sosial. Penderita gangguan ini seringkali menjauhi segala bentuk

interaksi sosial akibat ketakutannya akan penilaian orang lain.

8. Dependent

Ketika seseorang mengalami gangguan ini, ia akan sulit berpisah dengan

orang lain dan interaksi sosialnya diwarnai oleh adaya kecemasan, tapi bukan akibat

takut mendapat kritik dari lingkungannya melainkan karena ingin senantiasa

dirindukan dan disayangi sehingga membuat ia menjadi seseorang yang tergantung

dengan orang lain.

9. Obsesive – Compulsive

Obsesif artinya pemikiran yang berulang – ulang atau terus menerus secara

paksanaan, Sedangkan kompulsif berarti tindakan terpaksa yang berulang – ulang

yang tidak efektif karena dilaksanakan berdasarkan rancangan terlebih dahulu.

26

Gangguan ini ditandai oleh adanya perhatian berlebih pada peraturan, susunan,

struktur, dan juga adanya ketertarikan yang luar biasa pada detail, perfeksionis,

kurang hangat dalam pergaulan dan kehidupan.

10. Passive aggressive dan Self defeating

Gangguan ini ditandai dengan adanya kekurangan dalam kemampuan untuk

memumjukkan atau mengutarakan suatu pendapat yang berbeda dari orang lan tanpa

harus melukai perasaan lawan bicara. Penderita gangguan ini pada umumnya

memperlihatkan rasa dendam secara tidak langsung. Kepribadian semacam ini gagal

memenuhi tugas dan tujuan sulit bagi tujuan pribadinya dalam memendam fakta

bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mencapainya.

1.5. Metode Penelitian

Dalam melakukan sebuah penelitian tentunya dibutuhkan metode untuk

meneliti. Begitu juga dalam menganalisis kepribadian sebuah tokoh, dalam penelitian

psikologi sastra perlu adanya motode yang mampu memudahkan peneliti dalam

menganalisis karya sastra tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

metode deskriptif analisis. Secara etimologis deskripsi dan analisis sama – sama

memiliki arti menguraikan. Namun tidak semata – mata hanya menguraikan saja,

tetapi juga memberikan pemahaman dan penjelasan mengenai hal yang diuraikan

(Ratna, 2004: 53). Melalui metode deskriptif analisis, peneliti akan melakukan

penelitian dengan tahap sebagai berikut:

27

a. Menentukan karya sastra yang dijadikan obyek penelitian, yaitu novel Kokoro

karya Natsume Soseki

b. Menetapkan pokok permasalahan dalam novel sebagai dasar penelitian.

c. Menetapkan teori yang sesuai dengan objek penelitian, dalam penelitian ini

teori yang dipilih adalah teori psikologi abnormal milik Susan Nolen-

Hoeksma.

d. Menguraikan struktur novel dan hubungan antar unsur-unsurnya dalam

membangun kesatuan makna.

e. Menguraikan struktur kepribadian dan kecemasan yang dialami oleh tokoh

Sensei

f. Menganalisis gangguan kepribadian yang dialami oleh tokoh Sensei.

1.6. Tinjauan Pustaka

Berbagai macam teori dan pendekatan dapat digunakan untuk meneliti sebuah

karya sastra. Dalam penelitian ini, peneliti ingin meninjau karya sastra berjudul

Kokoro dengan teori psikologi abnormal milik Susan Nolen Hoeksma dengan

bantuan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Teori Susan mengatakan bahwa

gangguan kepribadian dalam diri seseorang dapat muncul akibat kecemasan –

kecemasan yang terjadi dalam hidupnya dan hal tersebut dianggap sesuai dengan

masalah yang ingin diteliti dalam novel Kokoro karya Natsume Soseki.

28

Sebelumnya telah ada beberapa penelitian yang membahas mengenai novel

Kokoro. Penelitian pertama dilakukan oleh Eman Suherman pada tahun 1998 dalam

skripsinya yang berjudul “Konflik Batin Sensei Dalam Cerita Rekaan Kokoro Karya

Natsume Soseki”. Dalam penelitian tersebut peneliti menganalisis struktur novel

secara utuh dan juga menganalisis mengenai konflik batin yang dialami oleh tokoh

Sensei. Sayangnya, pada skripsi ini peneliti tidak menggunakan teori secara khusus

sehingga paparan penelitiannya terlalu luas.

Penelitian Kedua dilakukan oleh Putri Wikan Satiti dalam skripsinya yang

berjudul „Daya Tahan Psikologis Tokoh Sensee Dalam Novel Kokoro Karya Natsume

Soseki: Sebuah Tinjauan Psikologi Sastra‟. Dalam skripsi tersebut, peneliti

menggunakan teori psikologi milik Suzzane .C. Kobasa. Teori ini bukanlah teori

psikologi sastra, meskipun teori ini berlaku utuk bidang kajian umum namun peneliti

memilih teori ini untuk meneliti novel Kokoro. Dalam penelitian ini dibahas

mengenai bagaimana tokoh Sensei menghadapi konflik – konflik yang menyebabkan

perasaan tertekan dalam dirinya. Hal ini diketahui dengan melihat reaksinya terhadap

stressful event yang dihadapinya. Dari penelitian ini diketahui bahwa Sensei memiliki

tingkat ketahanan mental yang rendah dan cenderung pesimis. Ketahanan diri yang

rendah tersebut membuat tekanan dalam dirinya semakin memuncak sehingga

akhirnya ia memutuskan untuk bunuh diri. Dalam penelitian ini, teori Suzzane

digunakan untuk meneliti bagaimanakah reaksi dan tindakan Sensei ketika

mengalami sebuah tekanan. Kemudian dari situ disimpulkan apakah Sensei memiliki

ketahanan diri yang kuat atau lemah.

29

Melalui paparan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa meskipun penelitian

terhadap tokoh Sensei dalam novel Kokoro telah dilakukan seperti yang tercantum di

atas, namun analisis mengenai gangguan kepribadian yang muncul akibat adanya

konflik batin dan kecemasan – kecemasan yang dialami oleh tokoh tersebut belum

pernah diteliti sebelumnya. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan psikoanalisis

milik Freud yang belum pernah digunakan pada penelitian terdahulu.

1.7. Sistematika Penelitian

Skripsi ini meliputi lima bab. Pada bab I diuraikan mengenai latar belakang

peneliti melakukan penelitian ini beserta dengan rumusan masalah dan tujuan

penelitian. Sekaligus peneliti mendeskripsikan teori dan metode yang digunakan

dalam penelitian ini. Kemudian pada bab II diuraikan mengenai analisis struktural

novel dengan fokus terhadap unsur tema, latar, dan penokohan. Pada bab III

dijabarkan kecemasan – kecemasan yang dialami oleh tokoh Sensei kemudian

dianalisis struktur kepribadian tokoh Sensei terkait dengan Id, Ego, dan Superego

yang muncul dari dalam dirinya berdasarkan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Pada

bab III pula diuraikan mengenai analisis gangguan kepribadian yang dimiliki tokoh

Sensei yang muncul akibat kecemasan - kecemasannya sesuai dengan yang ada pada

novel Kokoro karya Natsume Soseki menggunakan teori Susan Nolen Hoeksma.

Hingga pada bagian akhir diuraikan kesimpulan mengenai penelitian yang dilakukan.