bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Ketika para peneliti atau pemerhati membaca suatu karya satra, pada
hakikatnya mereka bertujuan menikmati, mengapresiasi, atau bahkan mengevaluasi
karya tersebut. Hal ini berarti mereka bergumul dengan para tokoh dan penokohan
yang terdapat di dalam karya tersebut. Para tokoh rekaan ini menampilkan berbagai
watak dan perilaku yang terkait dengan kejiwaan dan pengalaman psikologis atau
konflik – konflik sebagaimana dialami oleh manusia di dalam kehidupan nyata
(Minderop, 20013: 1) Selain itu, karya sastra juga dapat menjadi sarana bagi
pengarang untuk mengungkapkan kegelisahan, kecemasan, dan kesengsaraannya
menjadi tema – tema dalam setiap karyanya (Wellek Warren, 1989: 91). Karya sastra
dianggap sebagai hasil aktivitas penulis, yang seringkali dikaitkan dengan gejala –
gejala kejiwaan seperti, obsesi, kontemplasi, kompensasi, sublimasi, bahkan sebagai
neurosis. Oleh karena itu, karya sastra sering disebut sebagai salah satu gejala
penyakit kejiwaan (Ratna, 2005: 62). Dengan pertimbangan bahwa karya sastra
mengandung aspek – aspek kejiwaan yang sangat kaya, maka analisis psikologi sastra
perlu dikembangkan secara lebih serius (Ratna, 2005: 341).
Pada dasarnya penelitian yang menggunakan psikologi sastra memberi
perhatian pada unsur – unsur kejiwaan tokoh – tokoh fiksional yang terkandung
2
dalam karya sastra. Aspek kemanusiaan merupakan objek utama dalam analisis
psikologi sastra, sebab dalam diri manusia itulah, sebagai tokoh – tokoh, aspek
kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan. Sampai saat ini, teori psikologi yang
paling dominan yang dipakai dalam analisis karya sastra adalah teori psikoanalisis
kepribadian milik Sigmund Freud (Ratna, 2004: 343-344). Hal ini diperkuat dengan
pendapat Minderop (2013: 2-3) yang mengatakan bahwa teori psikoanalisis Sigmund
Freud banyak memberikan kontribusi dan menghilhami pemerhati psikologi sastra.
Terkait dengan psikologi kepribadian, sastra menjadi suatu bahan telaah yang
menarik karena sastra bukan sekedar telah teks yang menjemukan tetapi menjadi
bahan kajian yang melibatkan perwatakan atau kepribadian tokoh rekaan, pengarang
karya sastra, dan pembaca.
Natsume Soseki merupakan seorang penulis novel asal Jepang pada jaman
Meiji (1868-1912). Ia mulai menulis pada tahun 1901 hingga akhir hayatnya (1916).
Tidak hanya novel, Soseki juga kerap kali menciptakan haiku1, kaligrafi, maupun
lukisan – lukisan tradisional. Sejak kecil Soseki memiliki ketertarikan dengan dunia
sastra. Bermula dari hobinya membaca karya sastra klasik Cina, hingga kemudian
ketertarikannya berkembang ke karya sastra barat. Soseki pernah dikirim ke Inggris
untuk melajutkan program pascasarjana setelah lulus dari program studi literature
Inggris di Universitas Tokyo (Sei: 1970: 50-51).
Kokoro merupakan salah satu contoh novel karya Natsume Soseki yang
cukup terkenal dan menyita perhatian banyak orang, bahkan novel tersebut sampai
1 Puisi pendek khas jepang.
3
sekarang masih diterbitkan ulang. Kata Kokoro ini secara harafiah bisa diartikan
sebagai “hati” atau apabila diterjemahkan secara lebih luas bisa juga berarti
“perasaan”. Novel ini telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dan diterbitkan
dalam judul “Rahasia Hati”. Sedangkan dalam Bahasa Inggris, novel ini
diterjemahkan oleh Edwin McClellan dengan judul Kokoro.
Novel ini dianggap sebagai salah satu novel karya Soseki yang cukup
misterius karena dalam novel ini nama tokoh utama tidak pernah disebutkan
sekalipun. Pada novel yang menggunakan sudut pandang orang pertama serba tahu,
tokoh Aku memang seolah menjadi tokoh utama karena ia menceritakan tokoh –
tokoh lain dalam sudut pandangnya, namun tokoh utama sebenarnya adalah Sensei
yang menjadi objek utama yang diceritakan oleh tokoh Aku.
Novel Kokoro dapat digolongkan sebagai novel psikologis. Karya fiksi
psikologi merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan suatu novel
yang bergumul dengan spiritual, emosional, dan mental para tokoh dengan cara lebih
banyak mengkaji perwatakan dibanding mengkaji alur atau peristiwa (Cuddon via
Minderop, 2013: 53). Hal tersebut sesuai dengan novel Kokoro yang lebih
memfokuskan perwatakan tokoh utama dibandingkan dengan alur dari cerita itu
sendiri.
Dari segi strukturnya, novel ini memiliki tema yang sangat menarik.
Meskipun inti cerita dalam novel ini adalah kisah cinta antara Sensei dan istrinya,
namun makna sebenarnya lebih dari sekedar itu. Novel ini lebih menggambarkan
seseorang yang terikat dengan masa lalunya sehingga berdampak pada kehidupannya
4
di masa sekarang. Secara garis besar novel ini terbagi menjadi tiga babak. Babak
pertama menceritakan tentang hubungan antara tokoh Aku dan Sensei. Dalam babak
ini pula, diceritakan bagaimana awal pertemuan kedua tokoh tersebut hingga pada
akhirnya mereka memiliki kedekatan. Cerita mengenai tokoh Aku dan orangtuanya
tergambar dalam babak kedua. Walaupun kedua tokoh ini menjadi tokoh utama,
namun didalam dialog – dialog antar tokoh mereka lebih banyak membicarakan
tentang Sensei. Sedangkan babak ketiga menceritakan mengenai Sensei dan surat
terakhirnya. Pada babak ketiga inilah kemisteriusan tokoh Sensei terungkap. Dimulai
dari kisah tentang alasan Sensei lebih suka menyendiri, cenderung antisosial,
menutup diri, dan kisah – kisah yang mengungkapkan isi hati Sensei yang sebenarnya.
Walaupun dalam novel ini tokoh Sensei tidak secara terang – terangan menjadi tokoh
utama, namun secara keseluruhan novel ini menceritakan tentang kehidupan Sensei
tersebut.
Tokoh – tokoh dalam novel Kokoro juga memiliki kepribadian yang sangat
kuat. Sensei adalah tokoh yang memiliki perwatakan paling kuat karena memang ia
diciptakan sebagai tokoh utama. Tentunya keberhasilan sebuah novel salah satunya
ditentukan oleh kuat atau tidaknya penggambaran kepribadian tokoh yang
digambarkan dalam novel tersebut. Apabila tokoh tersebut memiliki kepribadian yang
kuat maka secara otomatis pembaca akan mampu mengikuti alur cerita yang disajikan.
Dalam novel Kokoro, cerminan psikologis tokoh tersebut digambarkan sedemikian
rupa oleh Natsume Soseki, sehingga ketika membaca novel tersebut pembaca mampu
merasakan bagaimana masalah – masalah psikologis yang dialami tokoh Sensei yang
5
membentuk kepribadiannya. Kepribadian tersebut pastinya tidak muncul begitu saja,
namun ada latar belakang mengapa kepribadian itu muncul dalam diri tokoh. Untuk
memahami kepribadian seorang tokoh dalam suatu karya sastra diperlukan sebuah
teori untuk menganalisanya. Menurut teori psikoanalisis kepribadian yang
dipopulerkan oleh Sigmund Freud, kepribadian seseorang bisa muncul akibat adanya
kecemasan – kecemasan yang terjadi selama hidup manusia. Kecemasan ini muncul
akibat adanya ketidaksesuaian antara Id, Ego, dan Superego. Id merupakan energi
psikis dan naluri yang mampu menekan manusia supaya memenuhi kebutuhan dasar,
sedangkan Ego mendamaikan tuntutan yang muncul dari Id dan Superego dengan
tuntutan realistik dari dunia luar, kemudian Superego secara sederhana dapat
diartikan sebagai hati nurani.
Seperti yang tergambar dalam novel ini, tokoh Sensei digambarkan sebagai
seseorang yang sedang mengalami depresi yang berat pasca ditinggal oleh sahabatnya
yang sudah lama meninggal. Semenjak itu Sensei menjadi tokoh yang lebih suka
menyendiri, selalu menyalahkan diri sendiri atas kematian sahabatnya, dan lebih
memilih untuk menghindari kontak sosial dengan sekitarnya. Padahal tokoh Sensei
adalah tokoh yang memiliki latar belakang pernikahan yang bahagia, pendidikan
tinggi, memiliki sikap yang sangat beradab dalam segala situasi, dan orang yang
memiliki tujuan dalam kehidupannya. Kemudian semuanya berubah ketika tokoh
Sensei ini kehilangan sosok sahabatnya. Kesedihan yang berkepanjangan itu
membuat Sensei pada akhirnya memutuskan untuk bunuh diri, walaupun sebenarnya
kehidupan Sensei masih bisa diperbaiki.
6
Pada adegan yang lain, dikisahkan bahwa Sensei ditipu oleh Pamannya
sendiri. Kejadian ini menimbulkan trauma di hati Sensei sehingga muncul rasa tidak
mudah percaya dengan orang lain. Trauma yang dialami oleh Sensei ini merupakan
salah satu bentuk nyata dari kecemasan yang dialami oleh tokoh tersebut. Kecemasan
lain lahir dari ketidakberdayaannya saat sahabatnya meninggal, pikiran – pikiran
Sensei yang tidak sesuai dengan kenyataan, kekhawatirannya atas berbagai hal,
pengalaman masa lalu, dan lain sebagainya.
Menurut Freud, munculnya kecemasan ini membuat kepribadian seseorang
mengalami perubahan. Perubahan itu disebut juga dengan dinamika kepribadian.
Begitu pula dengan tokoh Sensei dalam Novel Kokoro, akibat kecemasan –
kecemasan yang dialaminya sepanjang hidupnya, ada beberapa sikap, pemikiran, dan
wataknya yang berkembang. Perubahan kepribadian tersebut berkembang ke arah
yang buruk dan berlanjut pada munculnya gangguan kepribadian dalam diri tokoh
Sensei. Namun dalam teori psikoanalisis Freud, dinamika kepribadian tidak serta
merta mengarah pada munculnya gangguan kepribadian. Oleh karena itu dalam
penelitian ini selain teori psikoanalisis Freud akan dipakai juga akan dipakai teori
psikologi mengenai gangguan kepribadian yang dikemukakan oleh Susan Nolen-
Hoeksma. Teori ini dipilih karena mampu menjelaskan hubungan antara kecemasan
yang dikemukakan oleh Freud dengan abnormalitas yang muncul pada kepribadian
manusia.
7
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan sebelumnya, ada beberapa
masalah yang muncul dan menimbulkan pertanyaan bagi peneliti. Permasalahan
tersebut diantaranya adalah:
1. Bagaimanakah struktur dan keterkaitan antar unsur dalam membangun
kesatuan makna pada novel Kokoro karya Natsume Soseki?
2. Bagaimana kecemasan yang dialami tokoh Sensei dilihat dari struktur
kepribadiannya?
3. Apa saja bentuk gangguan kepribadian yang dialami tokoh Sensei terkait
dengan kecemasan - kecemasan yang muncul dalam dirinya?
1.3. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian tentunya memiliki tujuan untuk dicapai dan diharapkan
memiliki manfaat untuk berbagai pihak. Ada dua tujuan terkait dengan dilakukannya
penelitian ini, yaitu tujuan praktis dan tujuan teoritis.
1. Tujuan teoritis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur
novel Kokoro, struktur kepribadian tokoh Sensei, kecemasan yang muncul
dalam tokoh Sensei, dan gangguan kepribadian yang dialami tokoh Sensei
dengan menggunakan teori psikologi abnormal Susan Nolen.
2. Tujuan praktis dalam penelitian ini adalah untuk memperkaya
pengetahuan pembaca mengenai novel jepang khususnya novel Kokoro
8
karya Natsume Soseki. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan mampu
membuka wawasan pembaca mengenai hubungan antara psikologi dan
sastra serta bagaimana mengaplikasikan teori psikologi untuk meneliti
karya sastra.
1.4. Landasan Teori
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan teori psikologi abnormal
yang dikemukakan oleh Susan Nolen Hoeksma untuk menjelaskan gangguan
kepribadian yang dialami oleh tokoh Sensei. Teori ini merupakan teori yang
bertumpu pada psikoanalisis Sigmund Freud yang dalam penelitian ini digunakan
untuk meneliti kecemasan yang dialami tokoh. Namun sebelumnya, untuk
mempermudah pemahaman mengenai novel Kokoro, penulis terlebih dahulu ingin
menjabarkan mengenai struktur novel melalui teori struktural.
1.4.1. Teori Struktural
Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan
Strukturalisme Praha (Nurgiyantoro, 2013: 36). Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi,
menurut kaum Strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara
kohorensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Di satu pihak, struktur karya sastra
dapat juga diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan
9
bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang
indah (Abrams via Nurgiyantoro, 2013: 36).
Pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin
fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersamaan
menghasilkan sebuah keseluruhan. Analisis struktural karya sastra dalam hal ini fiksi,
dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan
hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2013: 37).
Dalam penelitian ini tidak semua unsur dalam teori strukturalisme dianalisis. Ada tiga
unsur utama yang akan dianalisis yaitu tema, penokohan, dan latar. Ketiga unsur
tersebut memiliki relasi yang cukup kuat dengan teori psikoanalasis yang digunakan
dalam penelitian ini. Anilisis tema dilakukan agar pembaca semakin memahami cerita
dari novel Kokoro yang diteliti meskipun tidak secara langsung membaca buku
aslinya, sedangkan analisis penokohan bertujuan agar pembaca memahami karakter –
karakter tokoh yang ada di dalam novel ini. Pada penelitian kali ini, fokus utama
peneliti adalah tokoh Sensei yang merupakan tokoh utama dari novel Kokoro, namun
tentunya perlu juga analisis mengenai tokoh – tokoh sampingan yang berhubungan
erat dengan tokoh tersebut, karena keberadaan orang – orang di sekitar tokoh Sensei
juga turut memberikan dampak terhadap kepribadiannya. Latar dalam novel Kokoro
juga turut dianalisis karena latar belakang seorang tokoh, seperti rumah tinggal,
kondisi lingkungan, masa dimana tokoh tersebut hidup, maupun latar belakang sosial
dan budaya, juga memberikan efek dalam pembentukan kepribadiannya. Untuk
alasan itulah, ketiga unsur tersebut perlu dianalisis dalam penelitian ini.
10
a. Tema
Untuk menentukan makna pokok sebuah novel, kita perlu memiliki kejelasan
pengertian tentang makna pokok atau tema itu sendiri. Tema merupakan gagasan
dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks
sebagai struktur semantic dan yang menyangkut persamaan – persamaan atau
perbedaan – perbedaan (Hartoko&Rahmanto, 1986:142). Tema disaring dari motif –
motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya
peristiwa – peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Tema menjadi dasar
pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu.
(Nurgiyantoro, 2013: 68)
Tema itu sendiri secara umum terbagi menjadi dua bagian yaitu tema utama dan
tema tambahan. Tema utama seringkali disebut sebagai tema mayor yang berarti
makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya tersebut.
Menentukan tema pokok sebuah cerita pada hakikatnya merupakan aktivitas memilih,
mempertimbangkan, dan menilai di antara sejumlah makna yang ditafsirkan yang
terkandung dakan karya yang bersangkutan. Sedangkan tema tambahan atau yang
sering disebut tema minor adalah makna yang hanya terdapat pada bagian – bagian
tertentu cerita yang dapat diidentifikasi sebagai makna bagian atau makna tambahan.
Makna tambahan tersebut bersifat mempertegas eksistensi makna utama
(Nurgiyantoro, 2013: 82-83).
11
b. Latar
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa – peristiwa yang diceritakan (Abrams via Nurgiyantoro, 2013: 216). Latar
memberikan pijakan cerita secara kongkret dan jelas. Hal ini penting untuk
memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang
seolah – olah sungguh terjadi, sehingga pembaca dapat merasakan dan menilai
kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar sehingga merasa lebih akrab dengan cerita
tersebut (Nurgiyantoro, 2013: 217).
Unsur latar menurut Nurgiyantoro dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok,
yaitu, tempat, waktu, dan latar sosial. Ketiga unsur ini walaupun sepintas berbeda,
namun pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan
yang lainnya.
1. Latar Tempat
Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin
berupa tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, atau mungkin lokasi
tertentu tanpa nama yang jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama tertentu
haruslah mencerminkan keadaan geografis dari tempat yang bersangkutan.
Deskripsi tempat secara teliti dan realistis ini penting untuk memberi kesan
pada pembaca seolah – olah hal yang diceritakan itu sungguh ada dan terjadi
(Nurgiyantoro, 2013: 227).
12
2. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa – peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah
“kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang
ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan
pembaca terhadap waktu sejarah tersebut kemudian dapat digunakan untuk
masuk ke dalam suasana cerita. Pengangkatan unsur sejarah ke dalam karya
fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal,
dan dapat menjadi sangat fungsional sehingga tak dapat diganti dengan waktu
lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita (Nurgiyantoro, 2013: 230-231).
3. Latar Sosial
Latar sosial mengacu pada hal – hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan sosial di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam
lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain –
lain yang tergolong latar spiritual. Di samping itu, latar sosial juga
berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan (Nurgiyantoro,
2013: 233-234).
c. Penokohan
Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan
perwatakan, yaitu segala sesuatu yang menunjuk pada penempatan tokoh – tokoh
13
tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Menurut Jones, penokohan
adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam
sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2013: 165).
Dengan demikian istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan
perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana
penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita. Tokoh cerita menempati posisi
strategs sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang
sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2013: 167).
Secara umum tokoh dalam sebuah karya fiksi terbagi menjadi dua bagian bagian
yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan
dalam penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang
paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai
kejadian, ia sekaligus sebagai penentu perkembangan plot secara keseluruhan.
Sedangkan tokoh tambahan merupakan tokoh yang kehadirannya dalam cerita lebih
sedikit, tidak dipentingkan, dan hanya muncul ketika ia memiliki keterkaitan dengan
tokoh utama baik secara langsung maupun tidak langsung. (Nurgiyantoro, 2013: 176-
177).
1.4.2. Teori Psikoanalisis Kepribadian
Psikologi kepribadian adalah psikologi yang mempelajari kepribadian
manusia dengan objek penelitian faktor – faktor yang mempengaruhi tingkah laku
manusia. Dalam Psikologi kepribadian dipelajari kaitan antara ingatan atau
14
pengamatan dengan perkembangan, kaitan antara pengamatan dengan penyesuaian
diri pada individu, dan seterusnya (Minderop, 2010: 8).
Sedangkan psikoanalisis merupakan sebuah disiplin ilmu yang dimulai sekitar
tahun 1900-an oleh Sigmund Freud yang merupakan seorang neurolog dari Austria.
Teori ini sangat berhubungan dengan fungsi dan perkembangan mental manusia.
Bagi para psikoanalisis, istilah kepribadian adalah pengutamaan alam bawah
sadar (unconscious) yang berada di luar sadar, yang membuat struktur berpikir
diwarnai oleh emosi. Mereka beranggapan, perilaku seseorang sekedar wajah
karakteristiknya, sehingga untuk memahami secara mendalam kepribadian seseorang,
harus diamati gelagat simbolis dan pikiran yang paling mendalam dari orang tersebut
(Minderop, 2010: 9).
Menurut Freud sendiri, pikiran manusia lebih banyak dipengaruhi oleh alam
bawah sadar daripada alam sadar. Freud meneliti mengenai sumber – sumber tak
sadar dari gejala sehari – hari seperti salah ucap. Inilah yang seringkali disebut
sebagai bahasa alam tak sadar (mental).
Freud juga melihat kecemasan sebagai bagian penting dalam sistem
kepribadian, hal yang merupakan suatu landasan dan pusat dari perkembangan
perilaku neurosis, dan psikosis (Andy, 2007: 234).
1.4.2.1 Tingkat – tingkat kegiatan mental
a. Ketidaksadaran
Isi dari ketidaksadaran adalah dorongan – dorongan, keinginan-keingnan,
sikap – sikap, perasaan – perasaan, pikiran – pikiran, insting – insting yang tidak
15
dapat dikontrol oleh kemauan, hanya dengan susah payah ditarik-kalau dapat-ke
dalam kesadaran, tidak terikat oleh hukum – hukum logika, dan tidak dapat dibatasi
oleh waktu dan tempat (Semiun, 2006: 56). Ketidaksadaran inilah yang memicu
adanya tindakan, perkataan, maupun perilaku yang muncul dalam setiap individu
manusia.
Tentu saja ketidaksadaran tidak berarti non aktif atau tidur. Insting –insting
dalam ketidaksadaran terus menerus berjuang untuk menjadi sadar dan banyak
diantaranya berhasil meskipun mereka tidak kelihatan lagi dalam bentuk aslinya
(Semiun, 2006: 58).
b. Keprasadaran
Keprasadaran memiliki dua sumber yaitu persepsi sadar dan ketidaksadaran.
Persepsi sadar memiliki waktu yang relatif singkat, apabila orang tersebut dalam
persepsinya seketika dialihkan ke pikiran lain, maka ia akan dengan cepat beralih ke
persepsi keprasadaran. Pada dasarnya pikiran yang cepat berubah antara sadar dan
prasadar ini bebas dari kecemasan dan sebagian besar kenyataannya lebih menyerupai
dorongan – dorongan sadar.
c. Kesadaran
Dalam teori psikoanalisis, kesadaran hanya memiliki peran yang sangat kecil.
Kesadaran merupakan satu – satunya kehidupan mental yang langsung tersedia dalam
kehidupan sehari – hari kita. Secara garis besar, pikiran kita dapat mencapai suatu
kesadaran melalui dua arah dan sumber yang berbeda. Pertama berasal dari sistem
sadar perseptual yang diarahkan ke dunia luar dan bertindak sebagai stimulus
16
eksternal. Sedangkan sumber ke dua berasal dari dalam struktur mental yang meliputi
pikiran yang tidak mengancam dari alam prasadar dan juga pikiran yang mengancam
tetapi tersamar dengan baik dari ketidaksadaran.
1.4.2.2 Struktur Kepribadian menurut Sigmund Freud.
Menurut Freud ada tiga bagian dalam psikisme manusia. Ketiga bagian
tersebut dalam bidang psikologi sering dikenal dengan nama Id, Ego, dan Superego.
Ketiganya memiliki peran yang sangat peting dalam pembentukan kepribadian
manusia. Masing – masing dari ketiga hal tersebut saling berkaitan dan saling
mendukung satu dengan yang lainya.
Secara garis besar struktur kepribadian dapat dilihat seperti pada gambar
dibawah ini.
Freud mengatakan bahwa analogi kepribadian manusia mirip dengan gunung
es yang berada di lautan. Hanya 10% saja dari gunung es tersebut yang muncul di
permukaan sedangkan sisanya berada di bawah. 10% yang muncul ini terkait dengan
ego seseorang yang erat pula hubungannya dengan tingkat kesadaran manusia.
17
Sedangkan hampir 90% sisanya terkait dengan ketidaksadaran yang mencakup Id,
dan Superego.
Dalam analogi gunung es tersebut digambarkan bahwa bagian paling besar
dan paling kuat dalam tingkat kepribadian manusia adalah Id. Bagian kedua yang
lebih kecil namun tidak kalah penting dalam pengambilan tidakan dan keputusan
manusia adalah superego. Superego seringkali masih berada diantara kesadaran dan
ketidaksadaran. Sedangkan bagian terakhir dan yang lebih sering muncul di
permukaan dan memicu tindakan seseorang adalah ego.
a. Id
Freud mengatakan bahwa Id merupakan energi psikis dan naluri yang mampu
menekan manusia supaya memenuhi kebutuhan dasar. Id terletak di alam bawah
sadar kita, yang selalu berusaha mencari kesenangan dan kenikmatan (Pleasure
Principle). Id akan sangat berbahaya apabila seseorang sangat bergantung pada Id
yang ada dalam dirinya. Karena Id tidak bersinggungan langsung dengan realitas,
sehingga ada kemungkinan orang akan melakukan apapun untuk memenuhi Idnya. Id
dianggap sebagai struktur yang paling kuat dalam psikisme manusia.
Id juga merupakan bagian paling primitive dalam kepribadian manusia karena
keberadaannya sudah ada semenjak manusia masih bayi dan belum berhubungan
dengan dunia luar. Oleh sebab itu Id lahir dari dorongan – dorongan alami yang
seringkali disebut sebagai insting. Insting ini bekerja untuk memenuhi hasrat dan
kepuasan yang ingin dicapai oleh manusia.
18
b. Ego
Ego berada diantara dua kekuatan yang bertentangan dan dijaga serta patuh
pada prinsip realitas (Reality Principle) dengan mencoba mencari kesenangan
individu namun masih dibatasi oleh realitas. Ego lahir karena adanya kebutuhan
manusia dalam memenuhi transaksi – transaksi yang sesuai dengan kenyataan
objektif.
Tujuan dari prinsip realitas yang terdapat dalam Ego ialah mencegah
terjadinya tegangan sampai ditemukan objek yang cocok yang dapat memenuhi
kepuasan suatu individu. Untuk sesaat mungkin saja prinsip kepuasan harus tertunda
terlebih dahulu sampai objek yang cocok ditemukan. Hal tersebut dapat mereduksi
ketegangan – ketegangan yang mungkin terjadi apabila seorang individu ingin
memenuhi kenikmatan yang dicarinya.
Ego biasanya memimpin pengambilan – pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh seseorang. Ego menolong manusia untuk mempertimbangkan apakah
manusia tersebut dapat memuaskan diri sendiri tanpa menyebabkan kesulitan untuk
dirinya.
Dalam melaksanakan fungsi eksekutif, ego selalu harus mempertimbangkan
tuntutan dari Id dan Superego yang seringkali bertetangan dan tidak realistik. Di
samping kedua hal ini, ego juga harus melayani penguasa ketiga yaitu dunia luar yang
menutut tindakan – tindakan yang realistis. Dengan demikian, Ego terus menerus
mendamaikan tuntutan yang muncul dari Id dan Superego dengan tuntutan realistik
dari dunia luar. Karena merasa dirinya dikepung oleh ketiga kekuatan yang
19
bertentangan itu, seringkali Ego menjadi cemas. Sehingga dengan begitu, Ego harus
mengadakan represi dan mekanisme pertahanan lain untuk mempertahankan dirinya
tanpa membiarkan elemen – elemen tersebut masuk dalam kesadaran seseorang.
c. Superego
Kemudian struktur yang terakhir adalah Superego. Dalam hal ini, Superego
mengacu pada moralitas dan seringkali disebut sebagai hati nurani. Ia mampu menilai
mana yang baik dan mana yang buruk. Namun sama seperti Id, Superego tidak
bersentuhan langsung dengan realitas.
Superego dikendalikan oleh prinsip – prinsip moralistic dan idealistic yang
bertentangan dengan prinsip kenikmatan dari id dan prinsip kenyataan dari ego.
Supergo mencerminkan yang ideal dan bukan yang real, memperjuangkan
kesempurnaan dan bukan kenikmatan. Perhatiannya yang utama adalah memutuskan
apakah sesuatu itu benar atau salah, dengan demikian ia dapat bertindak sesuai
denagan norma moral yang diakui oleh masyarakat (Semiun, 2006: 66).
Fungsi – fungsi pokok superego adalah:
1. Merintangi impuls Id, terutama impuls seksual dan agresif karena impuls
jenis ini snagat dikutuk oleh masyarakat
2. Mendorong ego untuk menggantikan tujuan – tujuan realistik dengan
tujuan – tujuan moralistic.
3. Mengejar kesempurnaan.
Dengan demikian superego cenderung untuk menentang baik Id maupun Ego,
dan membuat dunia menurut gambarannya sendiri (Semiun, 2006: 67).
20
1.4.2.3 Dinamika Kepribadian
a. Insting
Freud menggunakan kata Jerman trieb untuk menyebut dorongan atau
stimulus dalam individu. Secara harafiah kata ini bisa diartikan sebagai insting namun
makna yang mengikutinya lebih tepat ke arah “dorongan” atau “impuls”. Insting
merupakan representasi mental dari kebutuhan fisik atau tubuh (Freud via Semiun,
2006: 69).
Insting dapat pula dilihat sebagai faktor pendorong kepribadian. Mereka tidak
hanya mendorong tingkah laku individu namun juga menentukan arah yang akan
ditempuh oleh tingkah laku tersebut. Dengan kata lain, insting dapat pula dikatakan
menjalankan kontrol selektif terhadap tingkah laku dengan meningkatkan kepekaan
seseorang terhadap stimulasi tertentu.
Tujuan insting pada dasarnya bersifat regresif. Dikatakan demikian karena
insting bertujuan mengembalikan keadaan individu seperti sediakala sebelum
munculnya insting tersebut. Insting juga disebut konservatif karena bertujuan
mempertahankan keseimbangan individu dan menghilangkan rangsangan –
rangsangan yang bersifat mengganggu.
b. Kecemasan
Kecemasan kaitannya dengan dinamika kepribadian seorang individu
memiliki peranan yang tidak kalah penting dengan insting. Kecemasan menurut
Freud merupakan suatu perasaan afektif yang tidak menyenangkan disertai dengan
sensasi fisik yan memperingatkan orang terhadap bahaya yang akan datang. Keadaan
21
yang tidak menyenangkan itu sering kabur dan sulit merujuk dengan tepat, tapi
kecemasan itu sendiri selalu dirasakan (Freud via Semiun., 2006: 87).
Freud membagi kecemasan kedalam tiga bentuk yaitu:
1. Kecemasan Realitas atau Objektif
Yaitu merupakan suatu kecemasan yang bersumber dari adanya ketakuran
terhadap bahaya yang mengancam di dunia nyata (Andi, 2007: 235). Kecemasan jenis
ini seringkali berkembang hingga ke titik yang sangat ekstrim karena bersumber pada
realitas yang ada di depan mata. Individu tersebut bisa jadi tidak hanya semata – mata
merasakan kecemasan namun juga rasa takut yang luar biasa.
2. Kecemasan Neurosis
Kecemasan ini muncul akibat adanya pengalaman masa kecil yang dirasakan
oleh seorang individu. Kecemasan ini muncul akibat seorang individu diharuskan
untuk memuaskan impuls Id tertentu. Sehingga kecemasan tersebut ikut berkembang.
Kecemasan yang muncul pada jenis ini adalah ketakutan akan terkana hukuman
karena memperlihatkan perilaku impulsive yang didominasi oleh Id. Ketakutan yang
dimaksud disini bukanlah ketakutan apabila Id tersebut muncul dalam diri individu
tetapi ketakutan akan efek yang terjadi apabila Id tersebut dipuaskan.
3. Kecemasan Moral
Kecemasan ini merupakan hasil dari konflik antara Id dan Superego. Secara
dasar merupakan ketakutan akan suara hati individu sendiri. Ketika individu
termotivasi untuk mengekspresukan impuls instingual yang berlawanan dengan nilai
22
moral termasuk dalam superego individu itu maka ia akan merasa malu atau bersalah
(Andi, 2007: 235).
1.4.3 Gangguan Kepribadian
Istilah gangguan kepribadian (personality disorder) sering juga disebut
sebagai psychopaty, artinya adalah kekurangan atau gangguan dalam jiwa yang
tampil dalam perilakunya sehari – hari. Adapun yang dimaksud personality disorder
adalah gangguan –gangguan dalam perilaku yang memberikan dampak atau dinilai
negatif oleh masyarakat. Pemahaman ini bersumber pada masalah perkembangan,
yaitu bahwa manusia berkembang dari sejak lahir dalam suatu proses dimana terjadi
iteraksi antara dirinya dengan lingkungannya. Proses inilah yang menyebabkan
kondisi di dalam diri seseorang menimbulkan adanya perkembangan kepribadian
termasuk di dalamnya tugas – tugas perkembangan dan moralitas dalam berperilaku.
(Wiramihardja, 2015: 119-120)
Gangguan kepribadian pada umumnya ditandai oleh masalah – masalah
dimana individu secara tipikal mengalami paling sedikit kesukaran dalam
melaksanakan kehidupan dengan orang lain sebagaimana ia kehendaki. Orang –
orang yang mengalami personality disorder ini melihat orang lain sebagai hal yang
membingungkan, tidak jelas, tidak dapat diduga, dan pada derajat yang bervariasi
tidak dapat diterima. (Wiramihardja, 2015: 120)
23
Jenis – jenis gangguan kepribadian sangat bervariasi, karena menyangkut
permasalah sosial. Akan tetapi secara umum dapat digolongkan menjadi 10 jenis
gangguan. Berikut ini merupakan penggolongan jenis – jenis gangguan kepribadian
yang diungkapkan oleh Wiramihardja (2015: 124-141):
1. Paranoid
Individu dengan gangguan ini biasanya mencurigai, hypersensitive, rigid,
pencemburu, dan argumentatif. Mereka cenderung melihat diri sendiri sebagai yang
baik, yang tidak memiliki cacat, dan jarang melihat kekurangan dirinya meskipun dia
tahu.
Ciri dari paranoid adalah penghayatan, ketidakberalasan, dan
ketidakpercayaan pada orang lain. Orang dengan gangguan ini meyakini bahwa orang
lain secara kronis mencoba untuk menipu atau mencurangi mereka. Mereka seringkali
merupakan pengamat yang sangat tajam terhadap situasi – situasi, hingga detail –
detail yang kebanyakan orang lewatkan.
2. Schizotypal
Gangguan ini merupakan pola berpikir yang khas (dalam arti tidak baik)
dalam biaca dan dalam presepsi tidak aktual, sehingga merusak komunikasi dan
interaksi sosial. Orang yang mengalami Schizotypal cenderung terisolasi secara sosial
dan menjaga jarak emosi, sehingga mereka pun merasa tidak mnyaman dalam
membangun hubungan sosial.
24
3. Histrionik
Gangguan ini ditandai dengan adanya self-dramatitation, tampil selalu lebih
dari yang sewajarnya, terlalu terlihat atraktif, dan memiliki kecenderungan untuk
mudah terganggu dan cepat marah. Orang yang mengalami gangguan ini secara
umum ingin menjadi pusat perhatian, mereka mengejar perhatian orang lain dengan
cara menjadi sangat dramatis, dan menekankan kualitas positif dan penampilan fisik
mereka.
4. Narcissistic
Orang yang mengalami gangguan ini biasanya berusaha untuk selalu tampil
agung dan menamakan dirinya dengan gambaran besar. Mereka tenggelam dalam
keasikan menerima atensi, salah dalam menerima reaksi orang disekitarnya, dan
kurang mampu memahami dan merasakan perasaan orang lain.
5. Antisosial
Gangguan ini ditandai oleh ciri – ciri kurangnya perkembangan moral dan
tidak mampu membedakan mana yang pantas baginya dibandingkan dengan orang
yang lebih muda darinya. Ketidakmampuannya mengikuti model perilaku yang
disetujui banyak orang, tidak malu menipu orang lain dan mempunyai riwayat hidup
sebagai anak bermasalah dalam melaksanakan apa yang harusnya ia lakukan.
Ciri dari gangguan ini adalah melemahnya kemampuan untuk membentuk
hubungan positif dengan orang lain dan kecenderungan untuk menggunakan perilaku
– perilaku yang bertentangan dengan dasar – dasar atau norma dan nilai sosial.
25
6. Borderline
Gangguan ini ditandai oleh adanya perubahan suasana hati yang drastis,
perasaan menganggu yang sifatnya kronis, dan adanya upaya untuk menyakiti diri
sendiri demi mendapatkan sesuatu. Kelabilan merupakan ciri utama orang – orang
yang menderita gangguan ini. Suasana hati penderita tidak stabil, sering depresi,
kecemasan, atau kemarahan yang sangat frekuen dan kadang – kadang tanpa alasan
yang masuk akal.
7. Avoidance
Avoidance ditandai dengan adanya ciri sangat sensitif terhadap penilaian
orang lain, sehingga sulit untuk menolak kehendak orang lain atau menghalangi
linbgkuangn sosial. Penderita gangguan ini seringkali menjauhi segala bentuk
interaksi sosial akibat ketakutannya akan penilaian orang lain.
8. Dependent
Ketika seseorang mengalami gangguan ini, ia akan sulit berpisah dengan
orang lain dan interaksi sosialnya diwarnai oleh adaya kecemasan, tapi bukan akibat
takut mendapat kritik dari lingkungannya melainkan karena ingin senantiasa
dirindukan dan disayangi sehingga membuat ia menjadi seseorang yang tergantung
dengan orang lain.
9. Obsesive – Compulsive
Obsesif artinya pemikiran yang berulang – ulang atau terus menerus secara
paksanaan, Sedangkan kompulsif berarti tindakan terpaksa yang berulang – ulang
yang tidak efektif karena dilaksanakan berdasarkan rancangan terlebih dahulu.
26
Gangguan ini ditandai oleh adanya perhatian berlebih pada peraturan, susunan,
struktur, dan juga adanya ketertarikan yang luar biasa pada detail, perfeksionis,
kurang hangat dalam pergaulan dan kehidupan.
10. Passive aggressive dan Self defeating
Gangguan ini ditandai dengan adanya kekurangan dalam kemampuan untuk
memumjukkan atau mengutarakan suatu pendapat yang berbeda dari orang lan tanpa
harus melukai perasaan lawan bicara. Penderita gangguan ini pada umumnya
memperlihatkan rasa dendam secara tidak langsung. Kepribadian semacam ini gagal
memenuhi tugas dan tujuan sulit bagi tujuan pribadinya dalam memendam fakta
bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mencapainya.
1.5. Metode Penelitian
Dalam melakukan sebuah penelitian tentunya dibutuhkan metode untuk
meneliti. Begitu juga dalam menganalisis kepribadian sebuah tokoh, dalam penelitian
psikologi sastra perlu adanya motode yang mampu memudahkan peneliti dalam
menganalisis karya sastra tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
metode deskriptif analisis. Secara etimologis deskripsi dan analisis sama – sama
memiliki arti menguraikan. Namun tidak semata – mata hanya menguraikan saja,
tetapi juga memberikan pemahaman dan penjelasan mengenai hal yang diuraikan
(Ratna, 2004: 53). Melalui metode deskriptif analisis, peneliti akan melakukan
penelitian dengan tahap sebagai berikut:
27
a. Menentukan karya sastra yang dijadikan obyek penelitian, yaitu novel Kokoro
karya Natsume Soseki
b. Menetapkan pokok permasalahan dalam novel sebagai dasar penelitian.
c. Menetapkan teori yang sesuai dengan objek penelitian, dalam penelitian ini
teori yang dipilih adalah teori psikologi abnormal milik Susan Nolen-
Hoeksma.
d. Menguraikan struktur novel dan hubungan antar unsur-unsurnya dalam
membangun kesatuan makna.
e. Menguraikan struktur kepribadian dan kecemasan yang dialami oleh tokoh
Sensei
f. Menganalisis gangguan kepribadian yang dialami oleh tokoh Sensei.
1.6. Tinjauan Pustaka
Berbagai macam teori dan pendekatan dapat digunakan untuk meneliti sebuah
karya sastra. Dalam penelitian ini, peneliti ingin meninjau karya sastra berjudul
Kokoro dengan teori psikologi abnormal milik Susan Nolen Hoeksma dengan
bantuan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Teori Susan mengatakan bahwa
gangguan kepribadian dalam diri seseorang dapat muncul akibat kecemasan –
kecemasan yang terjadi dalam hidupnya dan hal tersebut dianggap sesuai dengan
masalah yang ingin diteliti dalam novel Kokoro karya Natsume Soseki.
28
Sebelumnya telah ada beberapa penelitian yang membahas mengenai novel
Kokoro. Penelitian pertama dilakukan oleh Eman Suherman pada tahun 1998 dalam
skripsinya yang berjudul “Konflik Batin Sensei Dalam Cerita Rekaan Kokoro Karya
Natsume Soseki”. Dalam penelitian tersebut peneliti menganalisis struktur novel
secara utuh dan juga menganalisis mengenai konflik batin yang dialami oleh tokoh
Sensei. Sayangnya, pada skripsi ini peneliti tidak menggunakan teori secara khusus
sehingga paparan penelitiannya terlalu luas.
Penelitian Kedua dilakukan oleh Putri Wikan Satiti dalam skripsinya yang
berjudul „Daya Tahan Psikologis Tokoh Sensee Dalam Novel Kokoro Karya Natsume
Soseki: Sebuah Tinjauan Psikologi Sastra‟. Dalam skripsi tersebut, peneliti
menggunakan teori psikologi milik Suzzane .C. Kobasa. Teori ini bukanlah teori
psikologi sastra, meskipun teori ini berlaku utuk bidang kajian umum namun peneliti
memilih teori ini untuk meneliti novel Kokoro. Dalam penelitian ini dibahas
mengenai bagaimana tokoh Sensei menghadapi konflik – konflik yang menyebabkan
perasaan tertekan dalam dirinya. Hal ini diketahui dengan melihat reaksinya terhadap
stressful event yang dihadapinya. Dari penelitian ini diketahui bahwa Sensei memiliki
tingkat ketahanan mental yang rendah dan cenderung pesimis. Ketahanan diri yang
rendah tersebut membuat tekanan dalam dirinya semakin memuncak sehingga
akhirnya ia memutuskan untuk bunuh diri. Dalam penelitian ini, teori Suzzane
digunakan untuk meneliti bagaimanakah reaksi dan tindakan Sensei ketika
mengalami sebuah tekanan. Kemudian dari situ disimpulkan apakah Sensei memiliki
ketahanan diri yang kuat atau lemah.
29
Melalui paparan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa meskipun penelitian
terhadap tokoh Sensei dalam novel Kokoro telah dilakukan seperti yang tercantum di
atas, namun analisis mengenai gangguan kepribadian yang muncul akibat adanya
konflik batin dan kecemasan – kecemasan yang dialami oleh tokoh tersebut belum
pernah diteliti sebelumnya. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan psikoanalisis
milik Freud yang belum pernah digunakan pada penelitian terdahulu.
1.7. Sistematika Penelitian
Skripsi ini meliputi lima bab. Pada bab I diuraikan mengenai latar belakang
peneliti melakukan penelitian ini beserta dengan rumusan masalah dan tujuan
penelitian. Sekaligus peneliti mendeskripsikan teori dan metode yang digunakan
dalam penelitian ini. Kemudian pada bab II diuraikan mengenai analisis struktural
novel dengan fokus terhadap unsur tema, latar, dan penokohan. Pada bab III
dijabarkan kecemasan – kecemasan yang dialami oleh tokoh Sensei kemudian
dianalisis struktur kepribadian tokoh Sensei terkait dengan Id, Ego, dan Superego
yang muncul dari dalam dirinya berdasarkan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Pada
bab III pula diuraikan mengenai analisis gangguan kepribadian yang dimiliki tokoh
Sensei yang muncul akibat kecemasan - kecemasannya sesuai dengan yang ada pada
novel Kokoro karya Natsume Soseki menggunakan teori Susan Nolen Hoeksma.
Hingga pada bagian akhir diuraikan kesimpulan mengenai penelitian yang dilakukan.