bab i pendahuluan -...

28
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mempengaruhi praktek-praktek dalam bidang kerja komunikasi, termasuk Public Relations (selanjutnya ditulis PR). Salah satu bentuk dari perkembangan teknologi adalah kehadiran media sosial. Beberapa contoh aplikasi media sosial adalah Google Groups (referensi, jejaring sosial), Facebook (jejaring sosial), Flickr (layanan foto berbagi), Twitter (jejaring sosial dan mikroblogging), dan Youtube (jejaring sosial dan layanan video berbagi) (Franklin, et.al. 2009; Sriramesh & Vercic, 2009). Dalam konteks PR, media sosial menyediakan saluran tambahan untuk berkomunikasi dengan target publik (Franklin, et.al., 2009). Media sosial, dengan berbagai karakteristiknya, menuntut PR untuk menyesuaikan diri. Hadirnya media sosial menjadikan komunikasi bersifat dua arah, meruntuhkan paradigma kontrol pesan, dan menciptakan bentuk baru dalam memonitor dan menganalisis media (Grunig, 2009; Macnamara, 2010). Kehadiran media sosial telah mengubah cara para praktisi dalam berpikir dan melaksanakan praktik-praktiknya dan beranggapan bahwa hal ini merupakan sebuah kekuatan revolusioner dalam bidang PR. Dengan mengoptimalkan potensi media sosial maka praktik PR akan lebih mendunia, lebih strategis, semakin bersifat komunikasi dua arah dan interaktif, simetris atau dialogis dan lebih bertanggungjawab secara sosial. Hal ini cukup dapat mendasari bahwa pada era baru ini media sosial dapat dijadikan sebagai salah satu media yang digunakan dalam strategi PR untuk berkomunikasi dengan publiknya (Grunig, 2009). Namun media sosial tidak semata sebagai sebuah alat komunikasi semata. Peran PR yang berhubungan dengan media sosial tidak hanya sebagai teknisi komunikasi saja. Dengan adanya media sosial, PR juga bisa melakukan peran manajerial, di mana praktisi PR terlibat dalam pengambilan keputusan strategis organisasi serta memberikan masukan kepada jajaran manajemen atas (Grunig,

Upload: doannhu

Post on 11-Mar-2019

237 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mempengaruhi

praktek-praktek dalam bidang kerja komunikasi, termasuk Public Relations

(selanjutnya ditulis PR). Salah satu bentuk dari perkembangan teknologi adalah

kehadiran media sosial. Beberapa contoh aplikasi media sosial adalah Google

Groups (referensi, jejaring sosial), Facebook (jejaring sosial), Flickr (layanan foto

berbagi), Twitter (jejaring sosial dan mikroblogging), dan Youtube (jejaring sosial

dan layanan video berbagi) (Franklin, et.al. 2009; Sriramesh & Vercic, 2009).

Dalam konteks PR, media sosial menyediakan saluran tambahan untuk

berkomunikasi dengan target publik (Franklin, et.al., 2009). Media sosial, dengan

berbagai karakteristiknya, menuntut PR untuk menyesuaikan diri. Hadirnya media

sosial menjadikan komunikasi bersifat dua arah, meruntuhkan paradigma kontrol

pesan, dan menciptakan bentuk baru dalam memonitor dan menganalisis media

(Grunig, 2009; Macnamara, 2010).

Kehadiran media sosial telah mengubah cara para praktisi dalam berpikir

dan melaksanakan praktik-praktiknya dan beranggapan bahwa hal ini merupakan

sebuah kekuatan revolusioner dalam bidang PR. Dengan mengoptimalkan potensi

media sosial maka praktik PR akan lebih mendunia, lebih strategis, semakin

bersifat komunikasi dua arah dan interaktif, simetris atau dialogis dan lebih

bertanggungjawab secara sosial. Hal ini cukup dapat mendasari bahwa pada era

baru ini media sosial dapat dijadikan sebagai salah satu media yang digunakan

dalam strategi PR untuk berkomunikasi dengan publiknya (Grunig, 2009).

Namun media sosial tidak semata sebagai sebuah alat komunikasi semata.

Peran PR yang berhubungan dengan media sosial tidak hanya sebagai teknisi

komunikasi saja. Dengan adanya media sosial, PR juga bisa melakukan peran

manajerial, di mana praktisi PR terlibat dalam pengambilan keputusan strategis

organisasi serta memberikan masukan kepada jajaran manajemen atas (Grunig,

2

2009). Kehadiran media sosial memungkinkan PR untuk terlibat dalam peran

manajemen strategis organisasi (McDonald dan Hebbani, 2011). Sementara Diga

dan Kelleher (2009) dalam risetnya menemukan bahwa praktisi PR yang memiliki

kompetensi dalam menggunakan media sosial mendapatkan pengakuan dalam

proses pengambilan keputusan organisasi atau perusahaan.

Salah satu peran manajerial PR adalah keterlibatan dalam penyusunan

peraturan media sosial untuk kalangan internal perusahaan. Peran sebagai

pembuat kebijakan media sosial, memang belum terlalu populer namun hal

tersebut mendesak untuk dilakukan: “[A] once less known and vacant spot needs

to be filled quickly” (Breakenridge, 2012:8)

Media sosial memang ibarat ”pedang bermata dua” bagi perusahaan atau

organisasi. Di satu sisi memang memudahkan berkomunikasi dengan publik baik

itu internal mau pun eksternal. Namun di sisi lain, karyawan kadang tak

mempertimbangkan risiko penggunaan media sosial. Karena ketidakhati-hatian

tersebut, karyawan mungkin memposting informasi sensitif atau menuliskan hal-

hal yang buruk terkait perusahaan sehingga merusak reputasi perusahaan tersebut.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan perlu memiliki kebijakan terkait

media sosial.

Di Indonesia, salah satu perusahaan yang memiliki kebijakan penggunaan

media sosial di lingkunan perusahaan adalah PT PLN (Persero). Kebijakan

tersebut disahkan pada 5 Oktober 2012 dalam Surat Edaran Direksi PT PLN

(Persero) Nomor 015E/DIR/2012 tentang “Etika Berkomunikasi Melalui Media

Sosial dan Media Digital di Lingkungan PT PLN (Persero)”. Kebijakan tersebut

bertujuan menjadi panduan agar dalam penggunaan akun media sosial masing-

masing, pegawai PLN tidak mem-posting pesan yang justru membahayakan

reputasi perusahaan. Lebih lanjut PLN berharap dalam menggunakan media sosial

masing-masing pegawai dapat memberikan nilai tambah bagi perusahaan.

Kebijakan tersebut disusun setelah melihat tingginya lalu lintas informasi

para pegawai PLN melalui akun media sosial masing-masing individu tersebut

dalam kurun waktu dua hingga tiga tahun terakhir. Pihak PLN melihat bahwa

informasi yang disampaikan ada yang positif, netral, negatif.

3

Surat Edaran Direksi PT PLN (Persero) Nomor 015E/DIR/2012 tentang

“Etika Berkomunikasi Melalui Media sosial dan Media Digital di Lingkungan PT

PLN (Persero)” menunjukkan bagaimana bidang komunikasi korporat – bidang di

PT PLN yang menjalankan aktivitas PR—berperan dalam pengambilan keputusan

perusahaan. Pihak yang berinisiatif dan menjadi koordinator penyusunan

kebijakan ini adalah bidang komunikasi korporat PT PLN Persero. Ada pun

proses penyusunan kebijakan tersebut melibatakan tiga departemen/divisi/satuan

kerja yakni bidang komunikasi korporat, Sumber Daya Manusia, dan Teknologi

Informasi.

Tesis ini meneliti peran manajerial departemen komunikasi korporat PT

PLN Persero dalam penyusunan kebijakan “Etika Berkomunikasi Melalui Media

sosial dan Media Digital di Lingkungan PT PLN (Persero)”. Peran manajerial

dijabarkan melalui konsep-konsep sebagai berikut: pembuat kebijakan/strategi,

pemantauan dan evaluasi, manajemen isu, memberikan saran kepada manajemen

di level senior, negosiator, peran teknis komunikasi, terlibat dalam menyelesaikan

masalah, dan administrator (Moss, Newman, DeSanto, 2004).

Penelitian menggunakan metode kualitatif studi kasus. Sebagai studi

kasus, penelitian ini berangkat dari proposisi teori bahwa perkembangan teknologi

komunikasi – dalam hal ini media sosial—telah mempengaruhi praktek PR dalam

hal peran manajerial.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan

studi dokumen. Penulis melakukan wawancara dengan manajer senior dan staf

bidang komunikasi korporat PT PLN Persero sebagai narasumber utama

penelitian ini. Penulis juga melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang

terlibat dalam penyusunan kebijakan terkait etika penggunaan media sosial yakni

dari pihak Sumber Daya Manusia1 PT PLN Persero. Untuk mengetahui

1 Catatan: saat wawancara, narasumber dari pihak SDM PT PLN yang ikut terlibat dalam

penyusunan Surat Edaran Direksi PT PLN (Persero) Nomor 015E/DIR/2012 tentang “Etika

Berkomunikasi Melalui Media sosial dan Media Digital di Lingkungan PT PLN (Persero)” sudah

dimutasi ke anak perusahaan PLN, PT Halleyora Power, per 1 Mei 2013. Surat edaran ini sendiri

disusun mulai akhir Februari-awal Maret 2012 dan disahkan pada Oktober 2012

4

bagaimana kebijakan ini sampai ke kantor area PLN (PLN di daerah), penulis juga

mewawancarai Kepala Hubungan Masyarakat PLN APJ Yogyakarta.

Pengumpulan data yang kedua adalah observasi. Penulis mengamati

aktivitas keseharian komunikasi korporat PT PLN Persero untuk mengetahui

bagaimana secara umum peran yang mereka jalankan. Untuk mengonfirmasi

pernyataan-pernyataan dari narasumber utama, penulis juga menyebarkan

kuesioner untuk mengetahui pemahaman pegawai PLN mengenai kebijakan

terkait etika penggunaan media sosial tersebut.

Sementara untuk studi dokumen penulis menggunakan data berupa salinan

dari Surat Edaran Direksi PT PLN (Persero) Nomor 015E/DIR/2012 tentang

“Etika Berkomunikasi Melalui Media sosial dan Media Digital di Lingkungan PT

PLN (Persero)”, struktur organisasi PT PLN Persero, Keputusan Direksi Nomor

418/K.DIR/2012 mengenai Pedoman Pelaksanaan Komunikasi Perusahaan dan

berita-berita terkait media sosial dari majalah internal PLN, Fokus2. Studi

dokumen bertujuan untuk mengetahui yang pertama tentang kebijakan

penggunaan media sosial, kedua tentang bagaimana tugas dan tanggungjawab

bidang komunikasi korporat PT PLN Persero, dan ketiga adalah bagaimana pihak

PLN melakukan manajemen isu terkait media sosial, tidak hanya sebatas pada

kebijakan tersebut tetapi juga pada arti penting media sosial bagi PLN.

Data dari penelitian menunjukkan bahwa bidang komunikasi korporat PT

PLN Persero melakukan peran manajerial PR dalam penyusunan kebijakan

penggunaan media sosial. Dari konsep peran manajerial yang digunakan (Moss,

Newman, dan DeSanto, 2004) peran manajerial yang dilakukan adalah sebagai

pembuat kebijakan/strategi, manajemen isu, teknisi komunikasi, dan terlibat

dalam penyelesaian masalah. Yang paling dominan adalah teknisi komunikasi.

Sementara untuk pemantauan dan evaluasi, memberikan saran pada manajemen

senior, negosiator, dan administrator tidak terlalu mencolok. Sementara untuk

pemantauan dan evaluasi sama sekali tidak dilakukan.

2 Tim redaksi majalah internal Fokus adalah bidang komunikasi korporat PT PLN Persero. Majalah

Fokus ini disebarkan ke kantor-kantor PLN di seluruh Indonesia.

5

Deskripsi peran manajerial ini kemudian dianalisis dengan konsep

Excellence PR. Untuk tesis ini digunakan konsep Excellence PR yang sudah

dimodifikasi oleh Holthauzen (2006), untuk mengetahui ada di level mana (level

mikro, level meso, atau level makro) peran manajerial yang dilakukan oleh bidang

komunikasi korporat PT PLN Persero. Analisis juga menggunakan faktor-faktor

yang mempengaruhi peran manajerial PR (DeSanto, 2012). Dari hasil analisis,

bidang komunikasi korporat PT PLN Persero melaksanakan peran manajerial PR

di level mikro dan meso. Sementara faktor-faktor yang mempengaruhi

pelaksanaan peran manajerial PR bidang komunikasi korporat PT PLN Persero

adalah cara pandang perusahaan terhadap peran dan fungsi PR, pengakuan formal

dari perusahaan, jumlah personel bidang komunikasi korporat, serta tumpang

tindih kewenangan dengan bidang/departemen lain dalam perusahaan.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana peran manajerial bidang komunikasi korporat PT PLN Persero

dalam penyusunan kebijakan “Etika Berkomunikasi Melalui Media Sosial dan

Media Digital di Lingkungan PT PLN (Persero)”?

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui peran manajerial bidang komunikasi korporat PT PLN

Persero dalam penyusunan kebijakan “Etika Berkomunikasi Melalui Media

Sosial dan Media Digital di Lingkungan PT PLN (Persero)”

1.4. Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi sebagai berikut:

a. Dapat menambah kajian ilmiah disiplin ilmu komunikasi, khususnya

bidang PR mengenai hubungan antara perkembangan teknologi

komunikasi dan peran manajerial PR

b. Memberikan masukan bagi bidang komunikasi korporat PT PLN Persero

dalam menjalankan peran manajerial khususnya yang berkaitan dengan

media sosial.

6

c. Memberikan masukan bagi PT PLN Persero mengenai pentingnya

melibatkan bagian humas dalam pengambilan keputusan

organisasi/perusahaan, khususnya terkait dengan penggunaan teknologi

komunikasi.

1.5. Kerangka Pemikiran

Perkembangan teknologi telah mempengaruhi praktek PR. Praktek PR

secara garis besar dibagi dalam dua jenis yakni peran teknisi komunikasi dan

peran manajerial. Dalam peran manajerial, PR ikut terlibat dalam proses

pengambilan kebijakan perusahaan atau organisasi. PR tidak lagi sebagai pihak

yang hanya mengkomunikasikan atau menjalankan kebijakan yang sudah

diputuskan oleh manajemen perusahaan dan organisasi.

Kehadiran media sosial memberikan kesempatan bagi PR untuk

menjalankan peran manajerial. Salah satunya adalah sebagai pembuat kebijakan

penggunaan media sosial bagi kalangan internal perusahaan atau organisasi. Peran

manajerial tersebut diwujudkan dengan melakukan riset awal, berkoordinasi lintas

departemen dalam organisasi dalam proses penyusunan peraturan,

mengkomunikasikan peraturan kepada berbagai pihak di perusahaan atau

organisasi, hingga melakukan evaluasi secara rutin tentang kebijakan tersebut.

1.5.1 Komunikasi Korporat dan Public Relations

Bagian ini membahas mengenai konsep-konsep mengenai komunikasi

korporat dan PR. Dari data yang diberikan PLN -- selaku objek penelitian –

penulis mendapatkan keterangan bahwa persoalan mengenai kebijakan media

sosial diurus oleh bidang komunikasi korporat. Sementara teori yang akan

digunakan dalam penelitian ini adalah menyangkut teori-teori PR. Dalam tesis ini

istilah komunikasi korporat dan PR akan digunakan berkelindan.

Pada dasarnya peran PR sendiri terbagi menjadi dua yakni peran teknis

dan peran manajerial. Pembagian ini didasari pada paradigma dalam mempelajari

PR itu sendiri, yakni paradigma interpretif dan paradigma behavioral (Grunig,

2009). Paradigma interpretif secara umum mengasumsikan bahwa PR berusaha

7

untuk mempengaruhi interpretasi publik terhadap organisasi. Interpretasi kognitif

tersebut menyangkut konsep mengenai citra, reputasi, brand, kesan (impressions)

dan identitas. Praktisi yang mengikuti paradigma interpretif akan berkonsentrasi

kepada kegiatan penyusunan pesan, publisitas, media relations, dan efek media.

Sementara paradigma behavioral menekankan pada fungsi manajemen PR,

yakni fokus kepada keterlibatan PR eksekutif dalam penyusunan kebijakan

strategis organisasi, sehingga PR mampu membantu membentuk perilaku

organisasi. Paradigma ini tidak lantas meminggirkan praktek-praktek tradisional

PR seperti media relations dan penyebaran informasi. Namun, praktek ini

memperluas jumlah dan jenis media dan aktivitas komunikasi dan menyesuaikan

hal-hal tersebut dalam sebuah kerangka kerja untuk penelitian dan pertimbangan

bagi kebijakan perusahaan.

Konsep komunikasi korporat muncul dalam satu dekade terakhir, didasari

fakta bahwa fungsi PR yang ada di lapangan kebanyakan didominasi oleh peran-

peran teknis (McDonald dan Hebbani, 2011), umumnya berkomunikasi dengan

media massa (Cornelissen, 2011). Ketika pemangku kepentingan lain, baik itu

pemangku kepentingan eksternal atau internal, mulai meminta informasi lebih dari

perusahaan, maka permintaan itu tidak bisa dipenuhi jika hanya mengandalkan

praktek ”public relations”.

Hal tersebut yang menjadi akar bagi munculnya fungsi komunikasi

korporat. Fungsi baru ini bertujuan untuk memadukan bidang-bidang yang

berbeda-beda, di antaranya desain korporat, iklan korporat, komunikasi internal

kepada karyawan, isu dan manajemen krisis, hubungan media, hubungan investor,

komunikasi terhadap perubahan, dan urusan-urusan publik atau public affairs

(Franklin, et.al., 2009; Cornelissen, 2011).

Dengan kata lain, korporat komunikasi bisa dipandang sebagai fungsi

manajemen yang bertanggungjawab untuk menjalankan dan mengkoordinasikan

pekerjaan yang dilakukan praktisi-praktisi komunikasi dalam disiplin yang

berbeda-beda. Sementara itu definisi lain mengenai komunikasi korporat adalah:

“...an instrument of management by means of which all consciously used forms of

internal and external communication are harmonized as effectively and efficiently

8

as possible” (Van Riel, dalam Cornelissen, 2011: 5). Pengertian tersebut

menyatakan bahwa komunikasi korporat merupakan perangkat manajemen di

mana bentuk-bentuk komunikasi internal dan eksternal digunakan secara

berkesinambungan secara efektif dan efisien.

Dari pemaparan tersebut, maka pengertian yang ada di komunikasi

korporat pada dasarnya sama dengan paradigma manajerial dalam PR, yang

menggambarkan PR sebagai partisipan dalam pengambilan keputusan oraganisasi,

bukan sekadar mengkomunikasikan keputusan yang sudah ditetapkan oleh mereka

yang duduk di jajaran manajerial.

1.5.2. Peran Manajerial Public Relations

Sejumlah ahli mengaitkan fungsi manajemen sebagai bagian dari definisi

PR (Putra, 1999; Putra, 2011; Yudarwati, 2011). Cutlip, et.al menyatakan PR

sebagai fungsi manajemen untuk membangun dan menjaga hubungan yang saling

menguntungkan antara organisasi dengan publik yang menentukan kegagalan atau

keberhasilan organisasi tersebut. Baskin, et.al berpandangan bahwa PR sebagai

fungsi manajemen yang membantu organisasi mencapai tujuan, mendefinisikan

filosofi, dan memfasilitasi perubahan dalam organisasi. Sementara Wilcox, et.al

mengungkapkan PR paling efektif jika menjadi bagian dari proses pengambilan

keputusan sebuah organisasi. Pentingnya peran PR dalam peran manajerial

menjadikan PR idealnya memiliki representasi dalam setiap tim manajemen

eksekutif sehingga akibat-akibat PR terkait semua keputusan bisa dievaluasi dan

direncanakan. Namun jika kondisi ideal itu tidak terwujud, PR tidak bisa berbuat

apa-apa selain hanya menunggu masalah tersebut mereda dan mencari kesempatan

untuk memperbaiki reputasi organisasi yang telah rusak dan tercemar. Dalam

kasus ini, hal tersebut sama artinya dengan kemunduran (McCusker, 2005).

Bahkan PR baru bisa disebut profesional saat terlibat dalam manajemen strategis

(McDonald dan Hebbani, 2011).

Keterlibatan PR dalam manajemen strategis berarti PR mengembangkan

program untuk berkomunikasi dengan publik-publik starategis, baik itu publik

eskternal atau internal, yang terpengaruh oleh segala keputusan dan tindakan

9

organisasi dan siapa pun yang menuntut atau berhak mengungkapkan

pendapatnya terkait dengan keputusan perusahaan – baik sebelum atau setelah

keputusan tersebut dibuat (Grunig, 2009), terlibat dalam pembuatan keputusan

organisasi dan umumnya terlibat dalam pembuatan keputusan strategis untuk

mengelola perilaku organisasi (Putra, 2011). Elemen signifikan dari peran

manajerial menyangkut trend indentifikasi dan manajemen respon, identifikasi

dan manajemen isu dan problem, riset, perencanaan strategis, konsultan, dan

menjalankan tanggung jawab korporat (McDonald dan Hebbani, 2011).

Lalu apa saja yang bisa dilakukan PR dalam menjalankan peran

manajerial? Menurut Moss, et.al (2004: 9) terdapat delapan peran yakni pembuat

kebijakan/strategi, pemantauan dan evaluasi, manajemen isu, memberikan saran

kepada manajemen di level senior, negosiator, peran teknis komunikasi, terlibat

dalam menyelesaikan masalah, dan administrator. Penjelasannya adalah sebagai

berikut:

a. Sebagai pembuat kebijakan/strategi

Moss menyatakan peran stratrategis PR dalam organisasi adalah

membantu menyusun strategi-strategi korporat dengan memberikan

informasi mengenai isu-isu apa yang ada di pemangku kepentingan kepada

manajer senior (Franklin, et.al, 2009). Tujuannya adalah agar organisasi

bisa beradaptasi terhadap perubahan yang timbul dari lingkungan

eksternal. Sementara di tingkatan strategi kompetitif, praktisi PR

membantu dengan menyusun program-program komunikasi dengan para

pemangku kepentingan utama dalam rangka mengembangkan hubungan

dua arah yang kuat dan saling pemahaman.

b. Pemantauan dan Evaluasi

Dalam pemantauan dan evaluasi, praktisi PR menjalankan tanggung

jawab manajerial dengan menyusun tujuan dan sasaran program

komunikasi, memantau implementasi program tersebut lewat pengukuran

dan bekerja dengan manajer senior untuk menentukan target yang tepat

(Moss,et.al, 2004).

10

Ada tiga elemen dalam evaluasi yakni input, output, dan outcome.

Input mengukur apa yang dilakukan PR dan bagaimana pekerjaan mereka

didistribusikan. Output mengukur bagaimana input digunakan seperti

pemberitaan di media, sirkulasi, tingkat pembaca, dan analisis isi.

Sementara pengukuran outcume mengukur efek dari komunikasi dalam

tiga kategori: perubahan terhadap pemahaman, perubahan terhadap sikap

dan perubahan perilaku (Franklin, et.al, 2009).

c. Manajemen Isu

Ada dua poin utama dalam pelaksanaan manajemen isu. Pertama

adalah identifikasi awal terhadap isu yang berpotensi mempengaruhi

perusahaan. Kedua merupakan respon strategis yang didesain untuk

meminimalkan konsekuensi-konsekuensi yang terjadi. Sejumlah ahli

memperluas definisi manajemen isu dengan memasukkan aspek:

antisipasi, meneliti dan memprioritaskan isu, memperkirakan akibat dari

isu tersebut terhadap organiassi, merekomendasikan kebijakan dan strategi

untuk meminimalkan risiko dan memperbesar peluang bagi perusahaan,

partisipasi dan implementasi strategi, dan evaluasi. Misalkan, dalam

kaitannya dengan opini publik, manajemen isu berusaha untuk mengetahui

trend apa yang tengah menjadi pembicaraan publik sehingga organisasi

bisa merespon sebelum opini tersebut membesar menjadi ancaman yang

serius (Cutlip, et.al., 2006)

d. Memberikan Masukan kepada Manajemen di Level Senior

Menurut Haynes (2003) masukan yang diberikan mulai dari membantu

organisasi dengan mempublikasikan aktifitas organisasi hingga

memberikan rekomendasi perubahan dalam kebijakan-kebijakan mendasar

atau rencana untuk aktifitas-aktifitas yang dijalankan agar semua itu dapat

semakin dekat dengan kebutuhan publik. Masukan itu misalkan

mengembangkan dan merekomendasikan kebijakan-kebijakan PR,

memberikan pandangan PR dalam penyusunan kebijakan perusahaan.

Peran pemberi saran ini bisa berjalan dengan baik ketika PR memiliki

11

akses kepada pihak-pihak koalisi dominan, atau pihak-pihak yang

memiliki kekuatan dalam proses pengambilan keputusan.

e. Negosiator

Peran sebagai negosiator berkaitan dengan fungsi boundary spanning.

Menurut Toth (dalam Putra, 2011) agar organisasi bisa bertahan, maka

harus menyesuaikan diri dengan dinamika lingkungan. PR bertindak

sebagai penghubung antara organisasi dengan lingkungannya. Dengan

demikian praktisi PR harus mampu melakukan negosiasi antara tuntutan

lingkungan di satu sisi dengan kebutuhan sebuah organisasi untuk

bertahan dan berkembang di sisi lain.

f. Teknisi Komunikasi

Peran sebagai teknisi komunikasi memandang PR hanya menyediakan

layanan teknis komunikasi untuk organisasi, sedangkan keputusan untuk

teknis komunikasi yang harus dijalankan ditentukan oleh orang atau

bagian lain dalam organisasi. Secara spesifik tugas teknisi komunikasi

adalah menulis dan mengedit buletin internal, mengembangkan konten

web organisasi, dan menjalin kontak dengan media. PR yang menjalankan

peran teknis komunikasi umumnya tidak terlibat (atau tidak dilibatkan)

dalam pengambilan keputusan manajemen. PR hanya mengkomunikasikan

dan mengimplementasikan keputusan tersebut (Putra, 1999; Cutlip, et.al,

2006). Namun begitu ada pandangan lain yang berpendapat ketika PR

menjalankan peran manajerial, bukan berarti peran teknisi komunikasi

ditinggalkan (Grunig, 2009)

g. Keterlibatan dalam Penyelesaian Masalah

Keterlibatan PR dalam menyelesaikan masalah organisasi merupakan

salah satu prinsip dalam konsep Excellence PR yang dirumuskan oleh

Grunig. PR merumuskan program untuk berkomunikasi dengan publik-

publik strategis – baik itu publik internal atau pun eksternal—yang

terpengaruh oleh keputusan dan tindakan organisasi. Komunikasi

dilakukan sebelum atau sesudah keputusan dirumuskan (Grunig, 2009).

Untuk itu PR harus memiliki akses ke koalisi dominan dalam organisasi.

12

h. Administrasi

Layanan administratif oleh PR mencakup akunting, penyusunan

anggaran, manajemen data, penyediaan barang-barang dan perlengkapan,

dan juga penyusunan rencana perjalanan (Haynes, 2003).

1.5.3. Perkembangan Teknologi dan Pengaruhnya terhadap Peran

Manajerial PR

Teknologi informasi telah “secara dramatis mengubah” cara PR dalam

distribusi informasi, berinteraksi dengan publik-publik penting, berhadapan

dengan krisis, dan manajemen isu (Lindic, 2006). Saat ini, perkembangan

teknologi komunikasi yang ditandai dengan lahirnya website, internet, dan media

digital lainnya dipandang telah mengubah segalanya dalam PR (Grunig, 2009).

Perkembangan teknologi komunikasi menuntut PR untuk mengubah cara berpikir

dan menyesuaikan strategi kerja mereka:

“…[T]he new media, Web 2.0, is disrupting everything…It requires a completely

new way of thinking… Public relations professionals who wish to provide value

to their employers and clients in the future will have to adjust their strategic

perspective…” (Debrecenty, dalam Pavlik, 2008, pars. 26 )

Berbagai literatur tersebut menyebutkan bahwa kehadiran media sosial – sebagai

bentuk perkembangan teknologi komunikasi -- menuntut PR untuk memiliki

kemampuan dalam menggunakan piranti baru tersebut untuk berkomunikasi

dengan publiknya.

Lalu apakah hanya sebatas pada aspek teknis komunikasi saja? Apakah

kehadiran teknologi baru tidak membuat PR bisa berperan dalam aspek

manajerial? Penelitian yang dilakukan Wright (1998) menunjukkan hampir

separuh dari responden menjawab ragu-ragu ketika ditanya apakah kehadiran

internet mampu memperkuat pengaruh PR terhadap keputusan manajemen.

Sementara pihak yang tidak setuju ada 39 persen, dan pihak yang mengatakan

setuju menempati presentase yang paling kecil, yakni 31 persen.

Satu dekade berselang, para ahli berpendapat kehadiran internet, media

sosial, dan media baru –sebagai bentuk perkembangan teknologi—memberikan

kesempatan lebih besar bagi praktisi PR untuk menjalankan fungsi manajemen

13

dalam organisasi. Grunig (2009) menilai bahwa kehadiran piranti tersebut dapat

membantu PR dalam menyusun program komunikasi, memantau lingkungan,

melakukan segmentasi terhadap pemangku kepentingan dan publik, serta

antisipasi isu dan krisis. Keuntungan lainnya, menurut McDonald dan Hebbani

(2011), adalah kemampuan piranti tersebut dalam mendukung kegiatan riset PR,

riset untuk mengevaluasi program dan kampanye yang dilakukan oleh perusahaan.

Ketika web membuat PR menjadi lebih penting kepada klien atau perusahaan,

prestise dan kompetensi keahlian praktisi tumbuh, dan itu akan memperkuat

hubungan praktisi dengan manajer dan klien. Artinya, penggunaan web

memungkinkan praktisi PR memiliki peran lebih dalam hal manajerial.

Pandangan serupa diungkapkan Sallot, Porter dan Acosta-Alzuru yakni

internet dapat lebih memberdayakan praktisi PR dengan menyediakan kesempatan

untuk memberikan peran lebih besar dalam pengambilan keputusan organisasi

(McDonald dan Hebbani, 2011). Praktisi PR diharapkan tidak hanya ahli dalam

mengoperasikan website, namun juga bisa menggunakan internet untuk

menyebarkan informasi secara online dan langsung kepada para opinion leader

dalam format yang mudah dipahami.

Pemaparan di atas menjelaskan bagaimana sebaiknya media baru

digunakan oleh PR agar PR bisa menjalankan fungsinya dalam manajerial

organisasi. Pendapat berbeda diungkapkan Brekaenridge (2012) bahwa ada di era

media sosial ini PR juga bisa berperan sebagai pembuat kebijakan, kolaborator

internal dalam penggunaan media sosial, berperan menguji teknologi-teknologi

PR, dan mengorganisasi komunikasi dengan media sosial.

Breakenridge (2012) berpendapat PR sebagai policy maker adalah

profesional yang mempelopori dan memandu pengembangan kebijakan media

sosial. PR sebagai pembuat kebijakan bertanggungjawab terhadap empat hal yang

berkaitan dengan bagaimana menyusun kebijakan dan mengkomunikasikan

kebijakan tersebut secara efektif. Empat hal tersebut adalah: mempersiapkan

perumusan dan pengembangan kebijakan, membentuk tim utama guna membantu

pembuatan kebijakan, melakukan riset dan menuliskan kebijakan tersebut, dan

terakhir mengkomunikasikan dan mengukur pelaksanaan kebijakan tersebut.

14

Pendapat lain diungkapkan Pavlik (2008) yang menyatakan bahwa pengaruh

teknologi terhadap praktek PR bisa dilihat dari struktur organisasi, budaya

organisasi, dan manajemen.

1.5.4. Kebijakan Terkait Etika Penggunaan Media Sosial

Organisasi menggunakan media sosial untuk mempromosikan merek,

meningkatkan penjualan, membangun repoutasi, dan meningkatkan produktivitas

karyawan. Adopsi terhadap penggunaan media sosial juga disertai dengan

perhatian bahwa media sosial berpotensi merugikan jika tidak digunakan atau

dikelola dengan efektif. Turunnya produktivitas kerja, faktor keamanan, ancaman

terhadap reputasi organisasi, adalah contoh dari potensi kerugian tersebut.

Survei global terhadap manajer komuninkasi di tahun 2007 menunjukkan

mayoritas dari manajer yakin media sosial bisa meningkatkan keterikatan

karyawan dan kolaborasi internal. Meski media sosial menjanjikan manfaat dan

kesempatan bagi organisasi, manajer tetap memperhitungkan konsekuensi-

konsekuensi negatif. Salah satu perhatian yang diberikan adalah partisipasi

karyawan melalui blog atau jejaring sosial lain mungkin justru bisa berisiko

terhadap reputasi perusahaan. Manajer menyadari bahwa kegagalan untuk

mengelola media sosial bisa berdampak kepada manajemen, pelanggaran etika,

hingga pelanggaran hukum (Ekachai dan Brinker, 2012).

Kondisi tersebut membuat perusahaan membatasi dan memberikan rambu-

rambu tentang penggunaan media sosial bagi karyawan. Berbagai perusahaan atau

organisasi telah memiliki kebijakan penggunaan media sosial. Kantor berita

Associated Press dan BBC, perusahaan minuman Coca Cola, universitas Colorado

State University, Komite Olimpiade Internasional (IOC), pemerintah Uni Emirat

Arab, pemerintah daerah Catalonia (Spanyol), perusahaan komputer IBM, adalah

beberapa contoh di antaranya (Boudreaux, 2013; Phillips dan Young, 2009).

Secara umum kebijakan berisi panduan dan batasan-batasan kepada

karyawan dan memberdayakan pengguna (karyawan) dengan langkah-langkah

penggunaan media sosial secara efektif dan cerdas. Dalam membentuk kebijakan

media sosial, organisasi dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan kebijakan

15

yang menghormati hak-hak pribadi karyawan sekaligus menjaga nama baik

organisasi (Ekachai dan Brinker, 2012).

Kebijakan penggunaan media sosial yang jelas dapat membantu

perusahaan dan pegawai memahami tentang apa yang boleh dan apa yang tidak

boleh dilakukan dalam berkomunikasi di media sosial. Agar kebijakan tersebut

bisa diterima, maka penyusunan kebijakan sebaiknya melibatkan pihak-pihak

yang akan terkena imbas dari kebijakan tersebut. Selain itu perusahaan sebaiknya

mengevaluasi kebijakan tersebut secara rutin karena media sosial terus

berkembang dengan cepat. Menurut Broughton, et.al:

It is advisable to carry out some type of research beforehand, involve all

stakeholders, including trade unions, and consult the workforce. This will make the

policy stronger and more widely accepted. The joint development of a policy may also enable the parties to strike a balance between individual freedom of speech

and actions that could have a negative effect on the employer. Regular review of

policies is also a good idea, as the world of social networking and online media is

moving at a fast pace (Broughton, et.al., 2011: 30)

Meski penggunaan media sosial dalam pekerjaan telah menjadi rutinitas,

mengelola penggunaan media sosial di tempat kerja menjadi tantangan tersendiri

bagi organisasi. Survei oleh Devaux tahun 2009 menunjukkan lebih dari separuh

organisasi di Amerika Serikat memblokir penggunaan media sosial di tempat

kerja (54 persen), sementara 19 persen lainnya membatasi penggunaan media

sosial hanya untuk tujuan bisnis saja. Survei lainnya yang dilakukan ManPower

tahun 2010 menunjukkan di Amerika Serikat hanya 24 persen karyawan yang

perusahaannya menetapkan kebijakan penggunaan media sosial. Studi terhadap

penggunaan media sosial tahun 2011 oleh firma Randstand menunjukkan separuh

dari karyawan yang disurvei memiliki satu akun media sosial, dan sepertiga di

antaranya mendapatkan kebijakan atau panduan penggunaan media sosial dari

perusahaan tempat mereka bekerja. (Ekachai dan Brinker, 2012: 93-94).

Kebijakan penggunaan media sosial menunjukkan bahwa ada “rasa tidak

aman” berkaitan dengan penggunaan media sosial. Media sosial sendiri, menurut

Pridmore, et.al (2013: 2) tidak bisa dengan mudah dikendalikan. Rasa tidak aman

itu hadir ketika pesan-pesan yang beredar di media sosial dianggap sebagai

sebuah ancaman. Rasa tidak aman itu timbul ketika komunikasi dengan

16

menggunakan new media dipandang sebagai proses proses penyusunan,

penyampaian, dan penerimaan pesan yang mengandung arti dan bukan ke

pemahaman komunikasi sebagai upaya saling memahami. Dengan kata lain,

tindakan komunikasi ber-new media yang cenderung menekankan pada proses

komunikasi lebih potensial dalam menghadirkan ancaman keamanan daripada

komunikasi dengan new media yang menginginkan terjalin dan terhormatinya

pemahaman bersama (Prajarto, 2011).

Dengan menyadari bahwa masalah keamanan bukan terjamin dengan

sendirinya, individu akan dipaksa untuk memproteksi diri atau menyiapkan perisai

sedari awal saat dia mulai berkomunikasi dengan new media3 (Prajarto, 2011:

362). Salah satu bentuk proteksi diri tersebut adalah dengan adanya peraturan

yang bersifat formal yang disusun dengan semangat etika. PT PLN (Persero)

menggunakan kata “etika” pada Surat Edaran Direksi Nomor 015E/DIR/2012

tentang “Etika Berkomunikasi Melalui Media Sosial dan Media Digital di

Lingkungan PT PLN (Persero)”, dengan tujuan agar kebijakan tersebut tidak

terlalu mengikat. Pasal 2 ayat (2) kebijakan tersebut menjelaskan etika sebagai:

“aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan

menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk”.

Apakah etika hanya sekadar dinilai dari keterikatan peraturan tersebut

terhadap apra anggota? Dari sisi akademis, menurut Chryssides dan Keller

terdapat dua dua perspektif mengenai etika yakni cognitivism dan non-

cognitivism. Cognitivism melihat adanya kebenaran moral yang objektif. Dengan

demikian dapat dibedakan secara jelas apakah suatu tindakan itu secara moral

benar atau salah. Sementara non-cognitivism memandang bahwa moralitas sangat

subjektif dan terakit budaya setempat. Apakah suatu moral itu benar atau salah,

menurut pandangan non-cognitivism itu semua tergantung pada kepercayaan

3 Konsep media baru (new media) dan media sosial (social media) memang masih diperdebatkan,

apakah keduanya hal yang sama atau berbeda. Media sosial merupakan bagian dari media baru,

tetapi tidak semua bentuk media baru adalah media sosial. Media baru memungkinkan para

pengguna untuk (sekadar) berbagi; media sosial memungkinkan para pengguna terlibat secara

interaktif dengan memberikan komentar, respon, kritik, dan menambahkan informasi. Diskusi

mengenai konsep new media dan social media ada di poin 1.5.5. tesis ini.

17

tertentu, sikap, atau opini publik (dalam Yudarwati, 2011). Dari konsep-konsep

tersebut, maka etika merupakan cara melihat kebenaran moral. Yang membedakan

adalah cara pandang tersebut, apakah secara objektif atau subjektif. Sementara

Parsons (2008) berpendapat etika mengatur mengenai hal-hal tertentu yang harus

dilakukan seseorang sebagai individu

this approach to making decisions suggests that being ethical is a matter of

accepting that as individual human beings we have a duty to do certain things.

These 'certain things' are based on ethical principles and form the rules that you should follow.(Parsons, 2008: 36)

Etika dapat menjadi dasar bagi sebuah peraturan yang selanjutnya

dirumuskan baik itu secara implisit mau pun eksplisit dalam sebuah kode tik atau

aturan tata perilaku (Codes of Conduct atau Code of Behavior). Peraturan tersebut

bertujuan mengantisipasi dan mencegah tindakan atau perilaku tertentu misal

konflik kepentingan dan tindakan-tindakan tidak pantas lainnya. Peraturan

disusun berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip universal etika, kemudian nilai-

nilai tersebut disajikan dalam poin-poin yang terdapat dalam peraturan (Gilman,

2005). Aturan berbasis etika dengan penerapan secara konsisten terhadap prinsip-

prinsip etika dogmatis atau peraturan, memiliki banyak hal yang masih dapat

diperdebatkan. Problem yang pertama adalah tidak akan pernah ada aturan yang

cukup untuk mencakup semua hal yang dipandang sebagai dilema moralitas.

Kedua adalah adanya celah-celah dalam aturan tersebut. Sedang yang ketiga

adalah orang belum tentu memiliki pemahaman yang sama tentang peraturan

tersebut (Parsons, 2008).

1.5.5. Media Baru dan Media Sosial

Konsep mengenai media baru (new media) dan media sosial (social media)

masih menimbulkan perdebatan, apakah keduanya adalah hal yang sama atau

berbeda. Valentini dan Kruckberg berpendapat masih terjadi ambiguitas tidak

hanya pada definisi, tetapi juga pemahaman dan penggunaan media sosial:

“[A]mbiguity in the definition, understanding, and use of new and social media

persists. The terms are often used interchangeably, even though each bears its own

peculiarities, both semantically and in the practice.” (Valentini & Kruckberg, 2011:1)

18

Sejumlah ahli berpandangan pengertian media baru secara umum mengacu pada

teknologi dan aplikasi komunikasi terbaru seperti telepon seluler, internet,

teknologi streaming, jaringan nirkabel, dan layanan berbagi informasi dari World

Wide Web. Media baru adalah piranti yang secara simultan terintegrasi dan

bersifat interaktif serta menggunakan kode-kode digital. Itu sebabnya, integrasi,

interaktivitas, dan digitalisasi merupakan syarat utama bagi sebuah media untuk

bisa disebut media baru (dalam Valentini dan Kruckberg, 2011).

Pendapat lain dikemukakan Dewdney & Ride (dalam James, 2007)

mengemukakan bahwa istilah media baru lebih disukai untuk menggambarkan

berbagai praktik media yang menggunakan teknologi digital dan komputer dengan

cara-cara tertentu. Salah satu keunggulan yang perlu digarisbawahi media baru

adalah sifatnya yang portable dan memudahkan mobilitas dalam berkomunikasi.

Tidak jauh berbeda, Logan (2010) menggunakan istilah “media baru” dengan

tanda kutip untuk menegaskan bahwa media ini merupakan media interaktif yang

bersifat digital. Istilah ini secara umum akan menunjuk pada sebuah media digital

yang bersifat interaktif, yang menggabungkan komunikasi dua arah, serta

melibatkan beberapa bentuk sistem komputasi.

Dalam literatur lain, Lievrouw dan Livingstone (2006) mengungkapkan

definisi media baru dalam konteks yang lebih luas. Ketika membicarakan media

baru tidak hanya sebatas pada teknologi tertentu, saluran informasi, atau konten.

Membahas media baru berarti juga membahas faktor-faktor teknologi dan sosial,

ekonomi dan politik. Lievrouw dan Livingstone berpandangan ada tiga komponen

dalam media baru yakni alat yang digunakan untuk berkomunikasi, aktivitas dan

prakek komunikasi, dan tatanan sosial atau tatanan organisasi yang berkembang di

sekitar praktek ber-new media.

Media baru seringkali disamakan dengan media sosial, karena keduanya

dipandang sebagai bentuk kemajuan teknologi komunikasi. Sriramesh dan Vercic

(2009: 74) misalnya, menggunakan konsep ICT (Information Communication

Technology), media baru, dan media sosial secara bergantian. Istilah atau konsep

media baru umumnya digunakan bergantian dengan multimedia, media interaktif,

media sosial, dan situs jejaring sosial ketika mendiskusikan teknologi digital,

19

komunikasi, organisasi, dan publik. Namun cara penggunaan tersebut memiliki

kekurangan, karena masing-masing istilah tadi sebenarnya menjelaskan hal yang

berbeda-beda. Valentini dan Kruckberg menyatakan perbedaan itu misalnya

terdapat pada partisipasi publik, tingkat transparansi, dan kontrol terhadap konten.

Critics of the term “new media” prefer to use other terms and often use

interchangeably the terms new media, multimedia, interactive media, social media,

and social networking sites when they discuss digital technologies, communication,

organizations, and publics. By doing so, they fail to acknowledge that these terms do

not accurately describe the same phenomenon and the terms do not entail the same

considerations, for example, in public participation, distribution of power among

communication participants, level of transparency and truthiness, and control over

contents (Valentini & Kruckeberg, 2011: 6)

Lebih lanjut Valentini dan Kruckberg (2011: 9-10) memaparkan perbedaan

yang jelas antara kedua piranti tersebut dengan menyoroti pada cara penggunaan

kedua media tersebut. Kata kuncinya adalah pada partisipasi dan interaktifitas.

Media baru memungkinkan publik untuk mengatur sendiri cara pencarian dan

penyebaran informasi. Media baru secara simultan dapat menyediakan layanan

publikasi suara, gambar, dan teks. Pengguna media baru juga dapat memposting

komentar, misal melalui blog dan artikel berita digital. Namun begitu konten yang

dipublikasikan di media baru tetap bisa eksis meski tak ada interaksi sosial.

Sebuah blog tetap bisa ada dan menghadirkan ide, opini, posisi terhadap isu,

menampilkan figur tertentu, institusi, dan konten lain meski tidak ada follower

yang memposting komentar dan mendiskusikan topik yang ditampilkan bloger. Ini

berarti media baru, meski dapat menciptakan bentuk berbeda dan tipe komunikasi

yang baru, namun tidak harus selalu bersifat dialogis.

Kontras dengan media baru, media sosial bersifat interaktif dan memerlukan

partisipasi orang lain. Di media sosial fokusnya adalah pada komunitas dan

komunitas disusun berdasarkan ketertarikan, ide-ide, atau semangan yang sama,

atau di antara orang-orang yang memiliki cara pandang yang sama. Tanpa

percakapan, interaksi, dan kolaborasi, media sosial kehilangan fungsinya untuk

bersifat sosial. Media sosial ada karena individu memiliki kesempatan untuk

menciptakan hubungan sosial dengan orang lain dengan membangun dan

berinteraksi di komunitasi virtual; individu tidak sekadar ingin menerima pesan

dari organisasi dan informasi produk. Media sosial mensyaratkan tingkatan

20

tertentu pada tingkat interaktifitas, partisipasi, dan keterikatan (engagement) oleh

pihak-pihak yang berbeda. Menurut Lee dan Lee (dalam Valentini dan Kruckberg,

2011) media sosial merupakan bentuk sosial dari media digital.

Sementara Pridmore, et.al. (2013) berpendapat media sosial merupakan

salah satu bentuk dari media baru, namun tidak semua media baru adalah media

sosial. Perbedaan antara media baru dan media sosial memang ada, tetapi tidak

selalu drastis, bahkan dalam beberapa situasi terkesan tidak jelas. Media baru

memungkinkan pengguna untuk (sekadar--penekanan dari penulis) berbagi,

perkembangan media sosial dan komponen interaktivitas telah membuka peluang

para pengguna untuk memberi komentar, merespon, berbagi, mengkritik, dan

bahkan mengubah dan menambahkan informasi dalam skala yang luas. Inti dari

media sosial dadalah interaktif, fokus pada hubungan sosial, dan didesain dengan

cara pandang hubungan sosial. Website dan blog, misalnya. Keduanya adalah

bentuk dari media baru. Tetapi website bukanlah media sosial karena hanya

memungkinkan untuk mengirim informasi, tanpa adanya fitur yang

memungkinkan merespon. Sementara dalam blog, siapa pun bisa memberikan

komentar dan berbagi.

1.6. Metodologi Penelitian

1.6.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Salah satu fungsi dari

metode kualitatif adalah meneliti sesuatu dari segi prosesnya. Pemilihan metode

penelitian ini disesuaikan dengan metode kualitatif yang sifatnya interpretatif

(Moleong, 2005).

1.6.2. Metode Penelitian

Studi kasus adalah teknik riset kualitatif yang digunakan dalam penelitian

ini. Studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai

aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi, suatu program, atau

suatu situasi sosial. Peneliti studi kasus berupaya menelaah sebanyak mungkin

data mengenai subjek yang diteliti. Metode yang sering digunakan: wawancara,

21

pengamatan, penelaahan dokumen, hasil survei,dan data apa pun untuk

menguraikan suatu kasus secara terinci. Dalam studi kasus, metode terpenting

tetap saja bersifat kualitatif, misalnya pengamatan dan wawancara yang dilakukan

peneliti. Meskipun data statistik juga digunakan data tersebut sifatnya tidak lebih

sebagai pelengkap (Mulyana, 2003: 204).

Penelitian ini merupakan studi kasus tunggal. Studi kasus tunggal

memberikan peneliti kemungkinan untuk melakukan eksplorasi secara spesifik

tentang kejadian tertentu (atau beberapa peristiwa) dari sebuah fenomena. Fokus

adalah pada sejumlah kecil kejadian yang diamati secara mendalam dalam satu

rentang waktu (Daymon dan Holloway,. 2002). Studi kasus tunggal, menurut

Barzelay, bertujuan menganalisis bagaimana orang-orang membingkai dan

menyelesaikan masalah. Masalah yang diteliti adalah masalah dalam versi

pemahaman subyek sendiri. Penyelesaian masalah juga menggunakan cara

berpikir subyek yang diteliti. Untuk memahami permasalahan dan bagaimana

subjek menyelesaikan masalah inilah diperlukan informasi yang kaya dan analisis

yang mendalam (Endah 2011: 206).

Studi kasus dipilih karena metode ini mampu menggali masalah secara

lebih mendalam di dalam kasus dan mampu dianalisis dengan lebih baik sehinga

diperoleh kesimpulan yang lebih baik. Selain itu studi kasus sesuai untuk

menjawab pertanyaan bagaimana peran manajerial PR yang dilakukan bidang

komunikasi korporat PT PLN Persero berkaitan dengan penyusunan kebijakan

“Etika Berkomunikasi Melalui Media sosial dan Media Digital di Lingkungan PT

PLN (Persero)”

1.6.3. Lokasi Penelitian

Objek penelitian tesis ini adalah bidang komunikasi korporat di kantor

pusat PT PLN Persero yang beralamatkan di Jl. Trunojoyo, Blok M, I/135,

Kebayoran Baru, Jakarta Selatan sebagai sumber untuk data primer.

Untuk data sekunder penulis mengedarkan kuesioner terhadap karyawan di

lingkungan kantor pusat PLN dan kantor Area Pelayanan Jaringan PLN

Yogyakarta. Penulis juga mewawancarai humas di kantor APJ PLN Yogyakarta.

22

1.6.4. Fokus Penelitian

Penelitian ini fokus pada peran manajerial PR bidang komunikasi korporat

PT PLN Persero berkaitan dengan penyusunan Surat Edaran Direksi Nomor

015E/DIR/2012 tentang “Etika Berkomunikasi Melalui Media sosial dan Media

Digital di Lingkungan PT PLN (Persero)”.

1.6.5. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian menggunakan teknik wawancara, observasi, dan studi dokumen

untuk mengumpulkan data. Yang termasuk dalam kategori dokumen adalah (1)

surat, memo, e-mail korespondensi; (2) agenda, pengumuman dan notula rapat

dan laporan tertulis acara; (3) dokumen administratif seperti proposal, progress

reports dan rekaman internal; (4) penelitian atau evaluasi lain dengan kasus yang

sama; (5) kliping berita dan artikel dari media massa dan media komunitas.

Dokumentasi penting bagi penelitian karena (1) membantu peneliti dalam

verifikasi ejaan, nama, gelar, organisasi, yang kemungkinan disebutkan dalam

wawancara; (2) memberikan data yang spesifik dan detil, terutama jika terjadi

pertentangan antar sumber, dan (3) dokumentasi dapat ditarik menjadi kesimpulan

(Endah, 2011: 222-223).

Sumber berikutnya yakni wawancara. Teknik pengumpulan data dengan

melakukan wawancara secara intensif. Penentuan informan dalam penelitian ini

dilakukan dengan cara purposive sampling, yakni pemilihan sample (informan)

berdasarkan karakteristik tertentu yang dianggap memiliki hubungan dengan

penelitian ini. Dalam penelitian ini, tipe dari purposive sampling yang digunakan

untuk menentukan informan adalah snow-ball sampling. Mulyana (2007)

mengatakan bahwa snow-ball sampling adalah menemukan informan yangs

selanjutnya dari orang tersebut muncul sejumlah nama yang kiranya relevan untuk

diwawancarai. Pemilihan ini berhenti ketika data dtelah menjadi jenuh, yang

berarti tidak lagi menemukan aspek baru dari fenomena yang diteliti. Informan

23

awal dari penelitian ini adalah manajer senior komunikasi korporat PT PLN

Persero, Bambang Dwiyanto.

Sumber data berikutnya adalah observasi atau partisipasi. Contoh

observasi langsung adalah peneliti mengunjungi institusi untuk merasakan iklim

organisasi, kondisi kantor seseorang juga dapat menjadi indikator posisi seseorang

dalam organisasi. Observasi langsung juga dapat untuk melihat situasi lokasi

secara langsung dan untuk memasuki tahap wawancara yang dilakukan di lokasi.

Sementara dalam observasi partisipasi, peneliti terlibat langsung atau menjadi

bagian dari responden dan berinteraksi dengan responden. Kelebihan metode ini

adalah peneliti dapat lebih menangkap pesan yang “inside” dan akurat yang tidak

didapatkan dari metode lain; tetapi metode ini juga berisiko bias. Observasi

partisipasoris juga meng-crosscheck data-data dari sumber lain, membantu seleksi

atau pemrosesan data dan akhirnya membantu penarikan kesimpulan (Endah.

2011: 224).

Penelitian lapangan dilakukan selama mulai tanggal 3 Juni 2013 sampai

dengan 3 Juli 2013. Selama berada di lokasi penelitian, yakni Bidang Komunikasi

Korporat kantor pusat PT PLN Persero, penulis melakukan wawancara, observasi,

dan studi dokumen.

Sebelum menjalani penelitian di lapangan, penulis melakukan pra-penelitian

sejak September 2012 hingga Januari 2013, untuk mendapatkan informasi awal.

Wawancara untuk pra-penelitian tersebut menggunakan surat elektronik, dengan

menghubungi Bapak Bambang Dwiyanto, Bapak Dermawan Amir Uloli dan Ibu

Anita Widyastuti. Ada pun alamat email yang dihubungi adalah:

[email protected], [email protected], dan

[email protected].

Dalam penelitian lapangan, penulis mewawancarai lima orang narasumber,

empat berasal dari bidang komunikasi korporat sementara satu orang berasal dari

departemen sumber daya manusia (SDM) PT PLN Persero. Berikut adalah nama

serta jabatan narasumber yang diwawancarai:

- Bambang Dwiyanto (manajer senior bidang Komunikasi Korporat PT PLN

Persero)

24

- Ida Wardani (deputi manajer sub-bidang Strategik Komunikasi,

Komunikasi Korporat PT PLN Persero)

- Dermawan Amir Uloli (staf Public Relations Komunikasi Korporat PT

PLN Persero)

- Anita Widyastuti (staf Hubungan Internal pada Sekretaris Perusahaan PT

PLN Persero)

- Ahmad Fauzy (divisi Pengembangan Sistem SDM PT PLN Persero – per 1

Mei 2013 sudah mutasi ke anak perusahaan PLN, PT Halleyora Power)

Pertanyaan pokok wawancara adalah proses penyusunan kebijakan penggunaan

media sosial di lingkungan internal. Empat narasumber terlibat dalam penyusunan

kebijakan penggunaan media sosial. Sedang satu narasumber (Ida Wardani) tidak

terlibat. Penulis mewawancarai Ibu Ida untuk mendapatkan informasi mengenai

tugas sub bidang strategi komunikasi. Di samping pertanyaan-pertanyaan pokok,

penulis juga menanyakan hal-hal terkait tugas dan tanggungjawab bidang

komunikasi korporat di PT PLN Persero (secara umum, di luar yang berkaitan

dengan penyusunan kebijakan media sosial), serta keterlibatan bidang komunikasi

korporat dalam urusan manajemen perusahaan.

Selain wawancara, penulis melakukan observasi terhadap aktivitas sehari-

hari bidang komunikasi korporat. Observasi bertujuan untuk melihat sejauh mana

mereka menjalankan peran manajerial dalam organisasi. Penulis juga melakukan

studi dokumen yang terkait dengan struktur organisasi, peraturan-peraturan terkait

komunikasi perusahaan, dan sosialisasi terkait peraturan penggunaan media sosial.

Sementara dokumen notulensi penyusunan aturan kebijakan tersebut tidak bisa

diaksses secara umum.

Sebagai data sekunder, penulis melakukan survei tentang pemahaman

kalangan pegawai PLN terhadap peraturan penggunaan media sosial. Kuesioner

disebarkan di dua tempat yakni kantor pusat PLN dan PLN Area Yogyakarta.

Dalam penyebaran kuesioner di kantor pusat, penulis dibantu oleh Bapak Sofwan

Saepul Imam dari Divisi Pengembangan dan Talenta SDM. Sesuai permintaan

pihak PLN, kuesioner berbentuk kuesioner online (Google Docs). Persebaran

dilakukan melalui surat elektronik terhadap 250 alamat email pegawai kantor

25

pusat. Kuesioner ini dikirimkan sebanyak empat kali mulai 17 Juni 2013 hingga

28 Juli 2013. Sampai dengan 30 Agustus 2013, respon yang masuk adalah 33 .

Sementara di PLN Area Yogyakarta, penulis menyebarkan kuesioner dalam

bentuk tercetak sebanyak 100 lembar. Teknis penyebaran tersebut adalah penulis

menitipkan kepada Ibu Rahma dari bagian SDM PLN Area Yogyakarta, pada

tanggal 10 Juli 2013. Hingga 30 Agustus 2013. kuesioner yang kembali adalah

sebanyak 24. Hasil dari kuesioner ini untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan

proses pengkomunikasian kebijakan penggunaan media sosial.

Selain itu penulis juga mewawancarai bagian hubungan masyarakat

(humas) PLN Area Yogyakarta, Bapak Kardiman Paulus. Wawancara bertujuan

memperoleh informasi mengenai pengkomunikasian kebijakan dari PLN kantor

pusat ke unit-unit di daerah.

1.6.6. Analisis Data

Analisis data digunakan sebagai upaya untuk menjawab dan menjelaskan

fenomena atau permasalahan yang sedang diteliti. Bentuk analisis yang digunakan

dalam penelitian ini adalah penjodohan pola. Penjodohan pola membandingkan

pola yang didasarkan atas empiri dengan pola yang diprediksi.

Ada pun komponen analisis data adalah:

a. Reduksi data

Data yang diperoleh di lokasi penelitian (data lapangan) akan dituangkan

dalam uraian atau laporan yang lengkap dan terinci setelah direduksi dan

dirangkum, untuk kemudian dipilih mana data pokok yang terfokus pada

hal-hal penting terkait dengan tema penelitian. Reduksi data berarti bahwa

kesemua potensi yang dimiliki oleh data disederhanakan dalam sebuah

mekanisme

b. Penyajian data

Data yang telah direduksi disajikan secara sistematis untuk memudahkan

peneliti daam melihat dan memahami gambaran hasil penelitian secara

keseluruhan dengan logika runtut sesuai dengan alur logika dalam desain

26

penelitian ini. Penyajian data yang lebih terfokus meliputi ringkasan

terstruktur, deskripsi singkat, gambar, matriks dengan teks

c. Verifikasi (penarikan kesimpulan)

Proses ini dilakukan dengan melibatkan kegiatan verifikasi terus menerus

selama penelitian berlangsung yakni sejak awal datang ke lokasi penelitian,

selama pengumpulan data, dan selama proses penyusunan hasil penelitian.

Data-data studi kasus yang diperoleh melalui berbagai sumber kemudian

dihubungkan, dipilih, direduksi, dikonfirmasikan untuk menemukan validitas

data. Analisis data dilakukan dengan mengamati, mengkategorikan,menyusun,

dan menggabungkan data-data yang telah dikumpulkan. Untuk penelitian ini,

digunakan strategi analisis relying on theoretical proposition. Pada strategi ini,

mula-mula peneliti mempelajari teori atas situasi ideal, kemudian dengan

menggunakan teori-teori tersebut peneliti memotret dan menganalisis fenomena.

Fungsi dari teori adalah membentuk proposisi-proposisi yang selanjutnya menjadi

pisau analisis fenomena yang diteliti (Endah, 2011: 225).

Hasil penelitian dipaparkan dalam aktivitas peran manajerial yakni peran

PR sebagai pembuat kebijakan, pemantauan dan evaluasi kebijakan, manajemen

isu, memberikan saran ke level manajemen senior, negosiator, fungsi teknis

komunikasi, dan administratif. Dari hasil wawancara dan pengamatan, peran

manajerial yang dilakukan oleh komunikasi korporat PT PLN Persero

dikelompokkan dalam kategori berikut, yakni sebagai pembuat kebijakan,

manajemen isu, fungsi teknis komunikasi, keterlibatan dalam penyelesaian

masalah dan memberikan masukan kepada jajaran manajemen, pemantauan dan

evaluasi kebijakan, negosiator dan administratif. Kemudian temuan tersebut

dibahas menggunakan teori peran manajerial PR, Excellence PR, dan hal-hal yang

mempengaruhi peran PR dalam sebuah organisasi (DeSanto 2012; Dozier dan

Broom, 2006; Grunig, 2001; Grunig 2006; Grunig 2009; Holthauzen, 2006; Moss

dan DeSanto, 2003; Moss, et.al., 2004)

27

1.6.7. Pengujian Keabsahan Hasil Penelitian

Penelitian kualitatif menghadapi persoalan penting terkait pengujian

keabsahan hasil penelitian. Banyak hasil penelitian kualitatif diragukan

kebenarannya krena beberapa hal: (1) subjektivitas peneliti merupakan hal

dominan dalam penelitian kualitatif, (2) alat penelitian adalah wawancara dan

observasi mengandung banyak kelemahan ketika dilakukan secara terbuka dan

tanpa control, (3) sumber data kualitatif akan mempengaruhi hasil akurasi

penelitian (Bungin, 2008: 253-254).

Salah satu cara paling penting dalam uji keabsahan hasil penelitian hádala

melakukan triangulasi peneliti, metode, teori, dan sumber data (Bungin, 2008:

256-258). Pelaksanaan teknis dari langkah pengujian keabsahan penelitian ini

akan memanfaatkan sumber data, metode, dan teori.

Triangulasi dengan sumber data dilakukan dengan beberapa langkah

yakni: (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara, (2)

membandingkan hasil wawancara dengan isi statu dokumen yang berkaitan. Hasil

dari perbandingan-perbandingan yang diharapkan adalah berupa kesamaan atau

alasan-alasan terjadinya perbedaan. Triangulasi sumber data juga memberi

kesempatan untuk dilakukannya hal-hal sebagai berikut: penilaian hasil penelitian

dilakukan oleh responden, (2) mengoreksi kekeliruan oleh sumber data, (3)

menyediakan tambahan informasi secara sukarela, (4) menilai kecukupan

menyeluruh data yang dikumpulkan, (4) membandingkan apa yang dikatakan

orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang

waktu.

Triangulasi dengan metode dilakukan untuk memeriksa terhadap

penggunaan metode pengumpulan data, apakah informasi yang didapat dengan

metode wawancara sama dengan metode observasi, atau apakah hasil observasi

sesuai dengan informasi yang diberikan ketika wawancara. Begitu pula teknik ini

dilakukan untuk menguji sumber data, apakah sumber data ketika diwawancara

dan diobservasi akan memberikan informasi yang sama atau berbeda. Apabila

berbeda, maka peneliti harus dapat menjelaskan perbedaan itu, tujuannya adalah

untuk mencari kesamaan data dengan metode yang berbeda.

28

Triangulasi dengan teori dilakukan dengan menguraikan pola, hubungan,

dan menyertakan penjelasan yabng muncul dari analisis untuk mencari tema atau

penjelasan pembanding. Menurut sejumlah ahli, triangulasi didasari anggapan

bahwa fakta tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih

teori. Di sisi lain, ada pula sejumlah pakar yang menilai bahwa hal tersebut bisa

dilaksanakan dan hal tersebut dinamakan penjelasan banding (Bungin, 2008: 257).

Keabsahan data hasil penelitian juga dapat dilakukan dengan

memperbanyak referensi yang dapat menguji dan mengoreksi hasil penelitian

yang telah dilakukan, baik referensi yang berasal dari orang lain maupun referensi

yang diperoleh selama penelitian seperti gambar video di lapangan, rekaman

wawancara, mau pun catatan-catatan harian di lapangan.

1.7. Limitasi Penelitian

Hasil dari penelitian ini bisa mengkonstruksi bagaimana departemen

komunikasi korporat di PT PLN bertindak sebagai fungsi manajerial

organisasi/perusahaan. Namun begitu karena hanya dilakukan di satu instansi

saja, maka tidak bisa dilakukan generalisasi terhadap hasil penelitian.

Keterbatasan kedua adalah penelitian ini fokus kepada peran manajerial PR dalam

hal perumusan kebijakan komunikasi perusahaan saja, padahal peran manajerial

PR tidak hanya terbatas pada perumusan kebijakan. Sedangkan yang ketiga

penelitian ini fokus dalam pemanfaatan media sosial untuk peran manajerial PR.