bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Situs Manusia Purba Sangiran merupakan sebuah situs prasejarah
yang mengandung temuan fosil yang sangat banyak jumlahnya, seperti fosil
Hominid purba, fosil fauna dan flora, serta artefak batu. Adanya keragaman
temuan dan jumlah temuan yang melimpah, menjadikan Situs Manusia Purba
Sangiran memiliki peranan penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya mengenai evolusi manusia, budaya, dan alam. (Widianto dan
Simanjuntak, 2009: 77; Widianto, 1986:1).
Situs Manusia Purba Sangiran terletak ±12 km di sebelah utara Kota
Surakarta dengan koordinat 110º48’36”-110º53’24” BT dan 7º24’34”-7º30’08” LS.
(Hascaryo, 2007). Cakupan wilayah situs ini meliputi dua kabupaten yakni
Kabupaten Sragen untuk sisi utara dan Kabupaten Karanganyar di sisi selatan.
Luas wilayah Situs Manusia Purba Sangiran sampai dengan saat ini sebesar ±
59,21 km2, yang meliputi zona inti seluas ± 57,40 km2 dan zona pengembangan
terbatas seluas ± 1,81 km2 (Kepmendikbud Nomor 173/M/1998). Wilayah Situs
Manusia Purba Sangiran yang cukup luas tersebut memiliki empat bagian situs
yakni Sektor Krikilan, Sektor Dayu, Sektor Ngebung, dan Sektor Bukuran.
Keempat bagian situs dari Situs Manusia Purba Sangiran tersebut memiliki
kekhasan sendiri-sendiri, seperti Sektor Krikilan yang awal mulanya tempat untuk
mengumpulkan fosil hasil temuan warga pada Situs Sangiran mulai dikenal ,
Sektor Ngebung merupakan bagian situs Sangiran yang pertama kali diteliti oleh
2
von Koenigswald, kemudian Sektor Bukuran yang merupakan situs dengan
temuan fosil Hominid terbanyak, serta Sektor Dayu yang mempunyai temuan
serpih berumur 1,2 juta tahun. Keempat bagian situs tersebut kini dalam proses
pembangunan museum lapangan (Hascaryo, 2007; Hidayat, 2007; Widianto dan
Simanjuntak, 2009).
3
Keterangan :
+ = Gunung Berapi
= Situs Fosil Manusia Prasejarah
= Situs Artefak Zaman Paleolitik
= Situs Sangiran
Peta 1.1 Keletakan Situs Manusia Purba Sangiran Diantara Situs Prasejarah Yang Lain
(tanpa skala)
(Sumber : FAÉ, 1996)
4
Pembentukan endapan satuan batuan di Situs Manusia Purba Sangiran
dimulai sejak 2,4 juta tahun sampai 250.000 tahun yang lalu. Dalam rentang
waktu tersebut, terdapat lima buah formasi tanah yang terbentuk berurutan dari
yang paling bawah yang merupakan formasi berumur paling tua sampai dengan
yang paling atas yang merupakan formasi berumur paling muda. Urutan formasi
tersebut yakni Formasi Kalibeng Atas, Formasi Pucangan, Lapisan Grenzbank,
Formasi Kabuh, dan Formasi Notopuro. Pengaruh adanya tenaga eksogen dan
tenaga endogen menyebabkan formasi-formasi tersebut membentuk suatu
kubah yang kemudian dikenal dengan nama Kubah Sangiran. Kubah tersebut
semakin lama mengalami proses deformasi seperti erosi, patahan dan longsor
yang akhirnya mengikis bagian atas sampai bagian bawah kubah, sehingga
membentuk cekungan besar di bagian tengah kubah. Cekungan besar yang
terbentuk memperlihatkan susunan formasi di Situs Manusia Purba Sangiran
yang akhirnya turut menyingkap temuan fosil dan artefak tinggalan manusia
(Sulistyanto, 2007).
Keberadaan Situs Manusia Purba Sangiran berawal dari hasil
penelitian yang dilakukan pada tahun 1860-an, misalnya tahun 1864, P.E.C
Schmulling melakukan survei permukaan dan menemukan fosil-fosil vertebrata
di Kalioso. Kemudian pada tahun 1896 R.D.M Verbeek dan R. Fennema
melakukan pendeskripsian secara menyeluruh terhadap kondisi geologis di
Sangiran. Setelah itu, Eugene Dubois tahun 1907 melakukan survei permukaan
di situs tersebut dan menemukan fosil-fosil vertebrata yang berjenis spesies
sama dengan temuan P.E.C Schmulling. Tahun 1927, seorang geolog bernama
Louis Jean-Chretien van Es melakukan pemetaan terhadap endapan-endapan
tanah di Sangiran secara menyeluruh ( Van Es, 1931 : 19).
5
Penelitian di Sangiran secara intensif baru dilakukan tahun 1934 oleh
G.H.R. von Koenigswald dengan melakukan penggalian di Ngebung. Hasil
penelitian tersebut berupa artefak batu seperti alat serpih-bilah berukuran kecil
dan berbahan baku batuan kalsedon ataupun rijang. Selain artefak batu,
ditemukan pula fosil fauna seperti jenis Bos (Bibos) palaesondaicus,
Bos(Bubalus) palaeokerabau, Axis lydekkeri, Muntiacus muntjak, dan Duboisa
Santeng. Jenis fauna yang ditemukan mempunyai kesamaan jenis spesies
dengan fauna yang ditemukan von Koenigswald di Trinil, Jawa Timur. Umur yang
diperkirakan untuk temuan-temuan tersebut adalah tidak lebih dari 400.000 tahun
atau pada Formasi Kabuh (Koenigswald, 1936 ; Heekeren, 1972 : 48 ).
Menurut von Koenigswald, kumpulan serpih dari Situs Manusia Purba
Sangiran memiliki ciri khas tersendiri, sehingga disebut sebagai Sangiran Flakes
Industry. Ciri khas itu terletak pada bahan baku yang memiliki kekerasan yang
cukup tinggi, berkisar antara 5-7 skala Mohs. Bahan baku serpih tersebut antara
lain kalsedon, rijang,lempung kersikan, jaspis, kuarsa, dan kuarsit. Selain itu, ciri
khas lain dilihat dari ukuran alat batu yang kecil, yakni berkisar 2-5 cm pada
panjang alat (Koenigswald, 1936).
Perkiraan umur yang diberikan von Koenigswald untuk temuan serpih
dan fauna yang ditemukan di Situs Ngebung tidak sama dengan pendapat yang
diutarakan oleh Teilhard de Chardin, de Terra, dan Movious. Pada tahun 1938,
de Chardin, de Terra, dan Movious melakukan peninjauan kembali di Sangiran.
Hasil kegiatan tersebut tidak memperoleh temuan serpih pada Formasi Kabuh,
tetapi serpih ditemukan di Formasi Notopuro, yang berada di atas Formasi
Kabuh, sehingga perkiraan umur artefak tidak lebih dari 200.000 tahun. Setelah
itu, pada tahun 1939, G.J. Bartstra melakukan pertanggalan absolut
6
menggunakan argon pada serpih yang ditemukan oleh von Koenigswald.
Menurut pertanggalan tersebut, umur untuk Sangiran Flakes Industry tidak lebih
dari 50.000 tahun (Heekeren, 1972 : 48).
H.R. Van Heekeren pada tahun 1952, 1953, 1955 dan 1968
melakukan penelitian di beberapa tempat di Sangiran seperti di Ngebung,
Pucung, Ngrawan dan Jagan. Pada penelitian tersebut, ditemukan serpih
berjumlah lebih 70 buah di Formasi Notopuro. Menurut van Heekeren, teknologi
yang digunakan dalam pembuatan serpih tersebut tidak terlalu berkembang.
Oleh karena itu, dalam teknologi pembuatannya, Sangiran Flakes Industry
dianggap lebih sederhana jika dibandingkan dengan teknologi pembuatan alat-
alat serpih zaman Paleolitik di kawasan Eropa, Afrika dan Asia (Heekeren, 1972 :
49).
Penelitian terhadap Sangiran Flakes Industry terus menerus dilakukan
sampai tahun 1990-an dan tahun 2000-an. Contohnya penelitian oleh tim dari
Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional bekerja sama dengan
tim dari Museum National d’Histoire Naturalle (Perancis) pada Situs Ngebung.
Lokasi penggalian terletak 250 meter sebelah timur lokasi penelitian Von
Koenigswald. Temuan yang didapat pada penelitian tersebut berupa artefak batu
insitu, fosil Hominid dan fosil fauna. Semua temuan berasal dari Formasi Kabuh
Bawah, sehingga untuk umur relatif temuan diperkirakan 700.000 tahun yang lalu
(Widianto dan Simanjuntak, 2009:77).
Penelitian - penelitian selanjutnya dilakukan oleh Tim Balai Arkeologi
Yogyakarta dan Tim Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional
tahun 1996, 1997 dan 2004 serta oleh Tim Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Gadjah Mada tahun 2010. Lokasi penelitian yang menjadi
7
perhatian penelitian-penelitian tersebut adalah Sektor Dayu. Hasil penelitian
yang paling banyak ditemukan adalah serpih bagian dari Sangiran Flakes
Industry. Temuan serpih tersebut menyebar pada seluruh formasi tanah, yakni
mulai dari Formasi Notopuro yang paling muda sampai dengan Formasi
Pucangan yang paling tua. Berdasarkan hasil penelitian itu, dapat diketahui
bahwa budaya serpih sudah mencapai umur 1,2 juta tahun di Situs Manusia
Purba Sangiran (Widianto et al, 1996;1997;2005, Hascaryo, 2011).
Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, muncul nama untuk artefak litik
yang ditemukan di Formasi Pucangan Atas di Sektor Dayu yakni Artefak Litik
Pucangan Dayu (ALPD). Artefak batu yang menjadi bagian utama dari ALPD
adalah kelompok serpih, sehingga disebut pula Pucangan Flakes. Serpih yang
ditemukan didominasi oleh serpih yang tidak menunjukkan ciri-ciri pengerjaan
atau pemakaian, selebihnya berupa alat serut yang ditunjukkan dengan
terdapatnya retus dengan bentuk yang khas, seperti misalnya cekung. Selain itu,
ciri-ciri Sangiran Flakes Industry seperti ukuran kecil dan bahan baku batuan
yang keras terdapat pada alat-alat batu di Formasi Pucangan tersebut (Widianto
et al, 2005).
Penelitian-penelitian terhadap Sangiran Flakes Industry di Situs
Manusia Purba Sangiran hanya dilakukan secara umum dan belum dilakukan
secara lebih mendalam. Menurut penulis, temuan serpih pada Formasi
Pucangan Atas di Sektor Dayu menarik untuk dijadikan bahan penelitian. Hal
tersebut dikarenakan adanya temuan serpih pada formasi tanah tersebut
menunjukan adanya budaya yang cukup tua untuk penggunaan alat batu
berukuran kecil. Selain itu, temuan-temuan artefak batu sangatlah penting bagi
8
kajian arkeologi dikarenakan dapat digunakan untuk mengetahui kemajuan
pembuatan dan penggunaan alat kaitannya dengan dinamika suatu budaya.
Penelitian terhadap alat-alat serpih pada umumnya baru berupa analisis
megaskopis untuk mengelompokan jenis-jenis alat serta untuk mengetahui
pertanggalannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis lebih lanjut
menggunakan analisis mikroskopis untuk melihat luka yang ada pada alat batu
tersebut. Analisis terhadap luka alat batu kemudian menjadi suatu cara analisis
yang baru untuk mengetahui tingkat pemanfaatan alat batu oleh manusia
sebagai pendukung kebudayaan. (Kamminga, 1982; Inizan, 1992; Shea dan
Klenck, 1993).
B. RUMUSAN MASALAH
Berbekal latarbelakang di atas, diajukanlah rumusan masalah
penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pola luka pada alat-alat serpih dari Formasi
Pucangan Atas di Sektor Dayu, Sangiran?
2. Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan pada
luka-luka tersebut?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penemuan alat-alat serpih komponen Sangiran Flakes Industry pada
Formasi Pucangan Atas dapat mengindikasikan adanya suatu budaya manusia
yang menggunakan alat batu sebagai pendukung. Penelitian kali ini
dimaksudkan untuk mengidentifikasi luka yang ada pada sisi-sisi tajaman
tersebut. Selain itu, penelitian ini bermaksud mencari tahu faktor-faktor penyebab
9
munculnya luka pada alat-alat serpih serta pola luka yang terjadi. Hasil analisis
terhadap faktor-faktor penyebab terbentuknya luka pada serpih di Sektor Dayu
diharapkan dapat memberikan gambaran tentang seberapa jauh pembuatan dan
pemanfaatan alat serpih oleh manusia pada masa itu, kaitannya dengan proses
perkembangan adaptasi yang mereka lakukan. Selain itu, pola luka yang terjadi
dapat digunakan untuk mengetahui ciri-ciri luka pada temuan serpih di Formasi
Pucangan.
D. RUANG LINGKUP PENELITIAN
Ruang lingkup penelitian ini adalah analisis secara mikroskopis untuk
mengidentifikasi luka sehingga faktor-faktor penyebab luka dan pola luka dapat
diketahui. Objek penelitian yang digunakan adalah serpih berjumlah 63 buah.
Serpih tersebut merupakan temuan penelitian tahun 2004 dan 2012 oleh Balai
Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran pada Formasi Pucangan Atas di
Sektor Dayu. Temuan serpih yang digunakan sebagai objek penelitian berasal
dari kotak galian dan lokasi yang sama, yakni kotak TP 21, TP 22, TP 23, TP 24,
dan TP 25. Data penelitian tersebut disimpan di Balai Pelesatrian Situs Manusia
Purba Sangiran.
E. KEASLIAN PENELITIAN
Penelitian terhadap Situs Manusia Purba Sangiran telah dilakukan
sejak akhir abad 19. Penelitian tersebut menghasilkan temuan fosil Hominid
purba, fosil fauna dan flora, serta artefak batu berupa alat batu, kelompok kapak
perimbas maupun kelompok alat serpih. Penelitian dilakukan secara personal
maupun oleh tim dari suatu lembaga penelitian. Penelitian yang dilakukan secara
10
personal misalnya penelitian P.E.C Schmulling (1864), Eugene Dubois (1907),
van Es (1920), von Koenigswald (1934), de Chardin (1938), de Terra (1938),
Movius (1938), van Heekeren (1952), G.J. Bartstra (1952), Teuku Jacob dan R.P
Soejono (1960-an) sampai Harry Widianto dan Harry Truman Simanjuntak (1990-
an). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh tim antara lain tim dari Balai
Arkeologi Yogyakarta (1995), tim Pusat Penelitian Dan Pengembangan Arkeologi
Nasional (1990), tim Jurusan Arkeologi dan Jurusan Geologi, Universitas Gadjah
Mada (2010), dan tim dari Museum National d’Histoire Naturalle, Perancis
(1990).
Pada penelitian von Koenigswald tahun 1934 di bukit Ngebung,
menemukan serpih dalam jumlah yang banyak dan berasosiasi dengan temuan
fosil fauna. Temuan serpih tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Sangiran
Flakes Industry (Koenigswald, 1936). Pada tahun-tahun berikutnya, penelitian
terhadap Sangiran Flakes Industry semakin banyak dilakukan, seperti contohnya
penelitian oleh de Chardin tahun di 1938 sampai dengan penelitian oleh Harry
Widianto di tahun 2000-an. Penelitian tersebut tidak hanya dilakukan di
Ngebung, tetapi di sektor lain yang masih wilayah Situs Sangiran, seperti di
daerah Dayu dan Bukuran (Widianto dan Simanjuntak, 2009).
Selain penelitian-penelitian di atas, adapula beberapa skripsi yang
membahas mengenai alat batu di Situs Manusia Purba Sangiran seperti skripsi
milik Rusmulia T. Hidayat (1993) dan Widhi Cahya Prasmita (1999). Dalam
skripsinya, Rusmulia T. Hidayat (1993) menjelaskan mengenai tipologi dan
morfologi dari alat serpih Situs Manusia Purba Sangiran yang berada di Museum
Nasional. Sedangkan skripsi milik Widhi Cahya Prasmita (1999) yang berjudul
“Cakupan Situs Sangiran: Kajian Berdasarkan Alat Serpih” membahas mengenai
11
fungsi praktis dan fungsi teknis dari alat serpih di Situs Manusia Purba Sangiran
berdasarkan teori Lewis R. Binford (1985) dan Guy Gibbon (1984).
Penelitian-penelitian yang dilakukan terhadap kumpulan serpih,
komponen dari Sangiran Flakes Industry, masih terbatas sampai pada tahap
tehnologi pembuatan, tipologi, serta morfologi dari alat batu tersebut. Selain itu,
metode analisis data yang digunakan masih sampai tahap analisis makroskopis
atau analisis secara “mata telanjang”. Berdasarkan hal tersebut, penulis dapat
menyimpulkan bahwa belum ada yang melakukan penelitian terhadap luka,
khususnya pola luka dan faktor-faktor penyebab munculnya luka pada temuan
serpih di Sektor Dayu.
F. TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian dalam bidang arkeologi di Situs Manusia Purba Sangiran
telah banyak dilakukan, terutama mengenai alat-alat serpih. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Von Koenigswald tahun 1934, alat-alat serpih yang
ditemukan dikenal dengan nama Sangiran Flakes Industry yang berarti industri
alat serpih Sangiran. Penamaan yang dilakukan von Koenigswald berdasarkan
alasan adanya ciri khas dari alat batu tersebut. Ciri khas tersebut terletak pada
bahan baku batuan yang digunakan berupa batuan dengan kekerasan cukup
tinggi, yakni 6-7 skala mohs. Contoh bahan baku batuan yang dipakai antara lain
kalsedon, jaspis(jasper), rijang (chert), kuarsa, ataupun lempung kersikan. Selain
itu, ukuran panjang alat hanya berkisar antara 2-5 cm (Koenigswald, 1936). Pada
penelitian yang dilakukan oleh Harry Widianto, ciri khas lain yang juga tampak
pada Sangiran Flakes Industry yakni bentuk alat batu yang lebal, pendek, dan
tebal, dengan pengerjaan yang masih sederhana di bagian ventral atau bagian
12
depan alat. Pengerjaan yang dilakukan terhadap alat hanya sebatas
pemangkasan untuk mendapatkan tajaman sebanyak satu sampai dua kali
pangkas (Widianto , 1986 ; Widianto et al, 2005).
Komponen utama dari Sangiran Flakes Industry antara lain serpih, serut,
gurdi dan bilah (Koenigswald, 1936). Serpih merupakan tatal yang dilepaskan
dari batu inti dan langsung digunakan. Lain halnya dengan serut yang
merupakan tatal yang diambil dari batu inti untuk kemudian dilakukan
pengerjaan pada bagian ventral dan selanjutnya digunakan. Gurdi merupakan
serpih yang dibentuk seperti meruncing pada bagian ujungnya, sehingga
biasanya digunakan sebagai penusuk. Sedangkan bilah merupakan serpih yang
ukuran panjangnya dua sampai tiga kali lebih besar daripada lebarnya (Crabtree,
1972 : 64).
Penggunaan bermacam-macam jenis alat-alat serpih seperti yang telah
dijelaskan di atas, menunjukan bahwa ada aktivitas manusia kala itu tidak lepas
dari penggunaan alat untuk mendukungnya. Dari penggunaan alat batu tersebut
kemudian timbul luka yang menunjukan adanya aktivitas pemanfaatan alat batu
oleh manusia. Luka akan muncul pada suatu sisi tajaman alat apabila terjadi
persinggungan antara sisi tajaman alat dengan materi yang menjadi objek
pengerjaan (Kamminga, 1982 ; Shea dan Kleck, 1993). Luka akibat dipakai pada
suatu alat batu akan terlihat berbeda dengan luka akibat pemangkasan atau luka
akibat pecah atau patah. Bentuk dari luka yang muncul akan berbeda-beda pula,
seperti misalnya cekung, bulat, ataupun tidak beraturan. Selain itu, bahan baku
batuan yang digunakan untuk membuat alat batu turut mempengaruhi
terbentuknya luka dan bentuknya pada alat tersebut. Oleh karena itu, luka pada
alat batu dibedakan menjadi tiga, yakni :
13
1. Tajaman atau retus akibat akibat dipangkas, ditajamkan, atau
tindakan pengerjaan yang lain.
2. Luka akibat adanya aktivitas pemakaian pada sisi tajaman alat.
3. Luka yang terbentuk karena pecah atau patah saat alat batu
mengalami deposisi ( Inizan et al, 1992 ; Shea dan Klenck, 1993).
Luka pada suatu sisi tajaman alat batu kemungkinan akan membentuk
pola persebaran berbeda-beda. Persebaran luka tersebut dikelompokan menjadi
3, yakni persebaran pada sisi kanan alat, sisi kiri alat, dan sisi ujung alat (Inizan
et al, 1992). Pola persebaran tersebut menunjukan adanya penggunaan dengan
intensitas yang cukup tinggi pada suatu sisi alat. Munculnya pola persebaran
dipengaruhi penggunaan alat oleh manusia. Selain itu, persebaran luka dapat
dilihat dari keteraturan luka pada suatu bidang tajaman. Persebaran luka
dikelompokan menjadi dua yakni beraturan dan tidak beraturan. Dari
pengelompokan persebaran yang ada kemudian membentuk suatu penampang
pada bidang tajaman alat. Penampang yang muncul dapat digunakan untuk
mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan munculnya luka, seperti
penampang luka pada alat pemotong kayu akan berbeda dengan penampang
luka pada alat yang digunakan untuk menguliti binatang (Inizan et al, 1992; Shea
dan Klenk, 1993).
G. METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yakni memberikan gambaran
data arkeologi sebagai data penelitian, baik itu secara ruang, waktu, dan bentuk
serta mengungkapkan hubungan antara variabel penelitian (Sukendar, 1999).
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penalaran induktif, yaitu
14
penalaran yang bergerak dari hal-hal khusus yang kemudian ditarik kesimpulan
berdasarkan pengamatan sampai penyimpulan, sehingga terbentuk suatu
generalisasi empirik (Sukendar, 1999).
Berdasarkan sifat penelitian di atas, tahapan-tahapan penelitian yang
dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Tahap Pengumpulan Data
Tahapan pengumpulan data pada penelitian kali ini meliputi data
lapangan dan data kepustakaan. Data lapangan yang digunakan adalah
alat-alat serpih pada Formasi Pucangan Atas, sejumlah 63 alat, yang
merupakan temuan penelitian tahun 2004 dan 2012. Sedangkan data
kepustakaan meliputi sumber referensi tentang luka pada alat batu,
khususnya luka pada alat serpih. Data kepustakaan tersebut akan
digunakan untuk membantu proses identifikasi luka.
2. Tahap Klasifikasi
Tahap klasifikasi dilakukan sebelum melakukan tahap analisis. Tahapan
ini bertujuan untuk mengelompokan alat batu secara megaskopis, agar
mempermudah dalam proses selanjutnya. Tahapan klasifikasi yang
dilakukan yakni :
a. Tahapan awal dalam klasifikasi alat batu non-masif adalah
memberikan nomor urut untuk setiap alat batu, yang dimulai dari
nomor urut 1, 2, 3 dan seterusnya hingga nomor 63.
b. Setiap alat batu non-masif ditentukan jenis bahan baku yang
digunakan, seperti batuan kalsedon, batuan rijang, batuan jaspis, dan
lain-lain.
15
c. Setiap alat batu diukur tiga dimensi meliputi panjang, tebal, dan lebar.
Dari pengukuran tersebut kemudian dikelompokan menjadi alat serpih
berukuran kecil, sedang, ataukah besar. Pengelompokan yang
dilakukan untuk mempermudah dalam tahapan pengelompokan
selanjutnya. Kriteria pengelompokan tersebut dibuat dengan melihat
ukuran panjang alat. Pengelompokan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Alat batu non-masif berukuran besar apabila ukuran panjang
alat batu lebih dari 5 cm .
2. Alat batu non-masif berukuran sedang apabila ukuran panjang
alat batu lebih dari 2,1 cm sampai dengan 5 cm.
3. Alat batu non masif berukuran kecil apabila ukuran panjang
alat batu kurang dari 2 cm.
3. Tahap Analisis dan Identifikasi.
Analisis yang dilakukan berupa analisis mikroskopis menggunakan
mikroskop stereo. Mikroskop stereo yang digunakan mempunyai
perbesaran 8 hingga 20 kali (www.ipb.ac.id ). Melalui analisis ini, luka
pada sisi tajaman alat batu non-masif dapat terlihat jelas. Pengambilan
gambar perbesaran luka pada mikroskop dilakukan menggunakan optical
lab, yang menghubungkan mikroskop dengan komputer. Perbesaran
yang digunakan pada setiap alat batu adalah dari 8 kali hingga 10 kali,
tergantung besar alat batu (lihat foto 1.1) .
16
Foto1.1 Posisi Horizontal Sisi Tajaman Pada Alat Serpih.
(foto : Agustina Dyah Pramudika)
Tahapan analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut.
a. Pengelompokan alat serpih yang mempunyai luka pada sisi
tajaman dan alat batu yang tidak mempunyai luka, apabila dilihat
menggunakan mikroskop.
b. Tahapan selanjutnya adalah mencari kerapatan luka pada setiap
alat. Kerapatan adalah jumlah suatu benda pada setiap satuan
yang ditentukan (Wahyudi, 2012). Dalam menghitung kerapatan
luka, ditentukan jumlah luka pada setiap 1 cm (lihat foto 1.2).
Rumus menghitung kerapatan luka adalah :
Kerapatan = Jumlah luka yang ada 1cm
Pengambilan ketentuan 1 cm karena ukuran alat batu yang kecil-
kecil.
Posisi horizontal sisi
tajaman
17
Foto 1.2 Foto Ilustrasi Cara Menghitung Kerapatan Luka
(Foto : Agustina Dyah Pramudika)
c. Luka-luka yang tampak pada perbesaran mikroskop kemudian di
dokumentasi menggunakan aplikasi Image Raster dan diukur
panjang dan lebar luka, dalam satuan milimeter (lihat foto 1.3).
Selain itu, setiap luka diidentifikasi bentuknya, seperti misalnya
oval, bulat, ataupun tidak beraturan. Tebal luka tidak dihitung,
dikarenakan beberapa luka yang ada, sudah mengalami keausan
yang cukup tinggi, sehingga tebal luka tidak jelas terlihat dan sulit
untuk diukur.
Bagian
Ujung Atas
Bagian Tengah
Bagian Ujung
Bawah
1 cm pertama
1 cm ke empat
1 cm ketiga
1 cm kedua
18
Foto1.3 Foto Contoh Pengukuran Panjang Luka Pada Alat Serpih.
(Foto : Agustina Dyah Pramudika)
d. Ukuran luka dikelompokKan berdasarkan kriteria besar, sedang
dan kecil. Tahap awal pengelompokan dimulai dari menghitung
indeks ukuran luka dengan cara membandingkan panjang dan
lebarnya, sehingga didapatkan satu indeks angka. Rumus
tersebut dibuat sendiri oleh penulis untuk mempermudah
mengklasifikasi ukuran luka. Rumus indeks ukuran luka adalah
sebagai berikut :
Kriteria ukuran luka dibedakan menjadi tiga berdasarkan hasil
penghitungan indeks yakni :
1. Ukuran Kecil (0-4,99)
2. Ukuran Sedang (5-9,99)
3. Ukuran Besar (>10)
e. Rangkuman data pengelompokan di atas, dilakukan
menggunakan aplikasi pengolahan data bernama Microsoft Excel.
Indeks Ukuran Luka = Panjang Luka : Lebar Luka
19
Hasil dari pengelompokan kemudian digunakan sebagai
database atau data dasar sebelum analisis.
f. Langkah selanjutnya adalah identifikasi luka. Hasil
pengelompokan jumlah kerapatan dan ukuran luka, digunakan
untuk mengidentifikasi luka.Cara mengidentifkasi luka adalah
dengan mencocokan antara hipotesis jenis-jenis luka dengan luka
yang ada. Hipotesis jenis-jenis luka yang digunakan sebagai
dasar dalam mengidentikasi luka berupa pengertian dari masing-
masing jenis luka yang timbul dan contoh gambarnya, kemudian
dicocokan dengan objek penelitian. Hasil identifikasi luka
digunakan untuk mencari tahu faktor-faktor penyebab munculnya
luka dan pola luka tersebut.
4. Tahap Deskripsi dan Kesimpulan
Tahap merupakan tahap penjabaran hasil analisis mikroskopis dan
identifikasi luka. Penjabaran hasil analisis yang telah dilakukan pada
tahapan klasifikasi dan tahapan analisis digunakan untuk menjawab
pertanyaan mengenai faktor-faktor pembentuk luka dan pola luka yang
terjadi. Setelah itu, dapat ditarik kesimpulan yang menjadi bagian akhir
dari penelitian ini. Kesimpulan yang diperoleh yakni suatu gambaran
besar tentang pemanfaatan alat serpih oleh manusia. yang diperoleh
dengan mengetahui faktor-faktor pembentuk luka dan pola luka.