bab i pendahuluan -...

22
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 pasal 1 tentang Cagar Budaya menjelaskan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Dalam Undang- undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 disebutkan pula bahwa yang disebut dengan pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Undang-Undang No. 11 pasal 53 ayat 4 juga mengatur bahwa pelestarian cagar budaya harus didukung oleh kegiatan pendokumentasian sebelum dilakukan kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan keasliannya. Pendokumentasian tersebut tidak hanya terbatas untuk mengetahui dimensi geometri cagar budaya, namun juga terkait dengan seberapa besar perubahan dimensi geometri yang terjadi dalam rentang waktu tertentu. Salah satu metode pendokumentasian cagar budaya yang saat ini sedang mengalami perkembangan adalah metode pemodelan tiga dimensi. Pemanfaatan metode pendokumentasian dengan pembuatan model tiga dimensi dari benda atau kawasan cagar budaya memberikan banyak keuntungan di antaranya dapat diperoleh data dokumentasi yang memiliki bentuk dan dimensi obyek yang teliti dan mudah untuk disimpan. Oleh karena itu dewasa ini pembuatan model tiga dimensi untuk kepentingan dokumentasi benda maupun kawasan cagar budaya sangat diperlukan dalam kegiatan pelestarian sehingga mampu mempertahankan unsur-unsur karya budaya yang ada dalam keadaan cukup lengkap sedemikian rupa sehingga masih mampu memberikan gambaran yang utuh tentang cagar budaya yang ada dan mencerminkan nilai-nilai penting yang dikandungnya (Mulyadi, 2012).

Upload: dolien

Post on 07-Apr-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 pasal 1 tentang

Cagar Budaya menjelaskan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat

kebendaan berupa Benda cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan

keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,

pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Dalam Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 disebutkan pula bahwa yang disebut

dengan pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar

budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.

Undang-Undang No. 11 pasal 53 ayat 4 juga mengatur bahwa pelestarian cagar

budaya harus didukung oleh kegiatan pendokumentasian sebelum dilakukan kegiatan

yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan keasliannya. Pendokumentasian tersebut

tidak hanya terbatas untuk mengetahui dimensi geometri cagar budaya, namun juga

terkait dengan seberapa besar perubahan dimensi geometri yang terjadi dalam rentang

waktu tertentu. Salah satu metode pendokumentasian cagar budaya yang saat ini sedang

mengalami perkembangan adalah metode pemodelan tiga dimensi. Pemanfaatan metode

pendokumentasian dengan pembuatan model tiga dimensi dari benda atau kawasan

cagar budaya memberikan banyak keuntungan di antaranya dapat diperoleh data

dokumentasi yang memiliki bentuk dan dimensi obyek yang teliti dan mudah untuk

disimpan. Oleh karena itu dewasa ini pembuatan model tiga dimensi untuk kepentingan

dokumentasi benda maupun kawasan cagar budaya sangat diperlukan dalam kegiatan

pelestarian sehingga mampu mempertahankan unsur-unsur karya budaya yang ada

dalam keadaan cukup lengkap sedemikian rupa sehingga masih mampu memberikan

gambaran yang utuh tentang cagar budaya yang ada dan mencerminkan nilai-nilai

penting yang dikandungnya (Mulyadi, 2012).

2

Pemanfaatan teknologi Electronic Total Station (ETS) dan 3D Laser Scanner

dalam pemodelan 3D untuk pendokumentasian Kawasan Cagar Budaya, memberikan

ketelitian yang tinggi, namun ke dua teknologi tersebut membutuhkan biaya yang sangat

mahal. Sehingga diperlukan suatu metode alternatif yang dapat digunakan untuk

pemodelan 3D kawasan cagar budaya dengan ketelitian baik dan biaya yang murah,

yaitu menggunakan metode fotogrametri jarak dekat. Fotogrametri Jarak Dekat

merupakan suatu teknik pengukuran tiga dimensi tanpa kontak langsung dengan obyek

dan menggunakan kamera untuk mendapatkan geometri obyek (Cooper & Robson,

1996). Cara pengambilan data pada fotogrametri jarak dekat dibagi menjadi tiga cara,

yaitu pengambilan foto secara terestris, pengambilan foto secara aerial dan dengan

metode kombinasi keduannya.

Pada pelaksanaan tugas akhir ini digunakan metode fotogrametri jarak dekat

kombinasi antara teknik pengambilan data terestris dan aerial untuk pemodelan 3D

kawasan cagar budaya dengan pelaksanaan studi kasus di Kawasan Candi Sambisari

Yogyakarta. Selama ini pemodelan 3D untuk kepentingan dokumentasi lebih banyak

terfokus pada pemodelan benda cagar budaya bukan pada kawasan cagar budaya yang

cakupannya lebih luas. Pekerjaan pemodelan untuk suatu kawasan cagar budaya masih

relatif sedikit dibandingkan pemodelan benda cagar budaya. Berdasarkan karakteristik

dari candi sambisari, maka untuk kepentingan pendokumentasian diperlukan pemodelan

3D dengan cakupan kawasan. Apabila pemodelan hanya mencakup pada obyek candi

sambisari saja maka unsur-unsur karya budaya yang ada dalam kawasan candi tidak bisa

tersimpan dengan lengkap sehingga tidak mampu memberikan gambaran yang utuh

tentang cagar budaya yang ada dikawasan tersebut. Oleh sebab itu proyek tugas akhir ini

dikhususkan untuk pembuatan model 3D Kawasan Candi Sambisari untuk selanjutnya

diharapkan mampu memberikan gambaran utuh terkait benda cagar budaya yang ada

diarea Kawasan Candi Sambisari.

Pemilihan Kawasan Candi Sambisari sebagai Kawasan cagar budaya yang akan

dimodelkan didasarkan pada karakteristik kawasan candi yang unik. Candi Sambisari

berada 6,5 meter lebih rendah dari wilayah sekitarnya. Itu sebabnya, candi Sambisari

3

disebut juga sebagai candi bawah tanah. sebagian ahli arkeologi memperkirakan dulunya

kawasan candi ada di atas permukaan tanah, seperti halnya candi-candi yang lainnya

namun akibat letusan Gunung Merapi di tahun 1006, daerah kawasan candi ini tertutup

oleh bahan-bahan yang berasal dari Gunung Merapi. Candi Sambisari diperkirakan

dibangun antara tahun 812 - 838 M. Kawasan candi terdiri dari sebuah candi induk dan

tiga buah candi pendamping. Terdapat dua pagar yang mengelilingi kawasan candi, satu

pagar telah dipugar sempurna, sementara satu pagar lainnya hanya ditampakkan sedikit

di sebelah timur candi. Masih sebagai pembatas, terdapat delapan buah lingga patok

yang tersebar di setiap arah mata angin. Bangunan candi induk cukup unik karena tidak

mempunyai alas seperti candi di Jawa lainnya. Kaki candi sekaligus berfungsi sebagai

alas sehingga sejajar dengan tanah. Diperkirakan kawasan candi bisa lebih luas jika

diadakan penggalian lebih lanjut, tetapi dikhawatirkan tidak dapat menyalurkan air

untuk dibuang karena posisinya lebih rendah daripada sungai yang ada di sebelah

baratnya.

Pemodelan 3D Kawasan Candi Sambisari dengan cakupan area yang cukup luas

±10.000 m2 memerlukan teknik fotogrametri jarak dekat metode kombinasi antara teknik

pengambilan data terestris untuk pemodelan benda cagar budaya dan aerial untuk

pemodelan kawasan cagar budaya. Diharapkan dengan metode kombinasi ini dapat

membantu mendapatkan data yang tidak bisa terlihat apabila hanya menggunakan salah

satu metode terestris atau aerial saja. Sehingga hasil dari pemodelan 3D ini bisa

dimanfaatkan sebagai salah satu model yang bisa merepresentasikan bentuk dan desain

dari kawasan cagar budaya untuk mendukung upaya pelestarian kawasan cagar budaya

di Yogyakarta.

I.2. Lingkup Kegiatan

Lingkup kegiatan pada tugas akhir ini adalah melakukan pemodelan 3D untuk

Kawasan Cagar Budaya menggunakan metode fotogrametri jarak dekat kombinasi

antara teknik pengambilan data terestris yang terfokus untuk pemodelan 3D obyek Candi

dan data aerial untuk pemodelan 3D Kawasan Candi dengan pelaksanaan studi kasus di

4

Kawasan Candi Sambisari Yogyakarta untuk mendukung upaya pelestarian Kawasan

Cagar Budaya di Yogyakarta. Batasan dari kegiatan ini adalah:

1. Toleransi akurasi dimensi model 3D adalah ±0,1 meter.

2. Model 3D dibentuk secara otomatis dengan software pengolah data dan tidak

dibentuk pemodelan CAD.

I.3. Tujuan

Tugas akhir ini bertujuan untuk pembuatan model 3D untuk Kawasan Cagar

Budaya Candi Sambisari menggunakan metode fotogrametri jarak dekat, dengan

karakteristik khusus adalah kombinasi antara teknik pengambilan data terestris dan

aerial.

I.4. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari kegiatan proyek ini adalah

1. Mendukung upaya pelestarian kawasan cagar budaya di Yogyakarta.

2. Memberikan gambaran situasi Kawasan Candi Sambisari untuk keperluan

dokumentasi cagar budaya.

I.5. Landasan Teori

I.5.1. Perekaman Data dan Pendokumentasian Cagar Budaya

Proses perekaman data, sistem pendokumentasian dan manajemen informasi

merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Rangkaian kegiatan tersebut

digunakan sebagai salah satu usaha pelestarian dan pemeliharaan obyek Benda Cagar

Budaya. Dalam sebuah manajemen informasi dan sistem pendokumentasian obyek

Benda Cagar Budaya perlu melibatkan berbagai multi disiplin ilmu untuk mendapatkan

informasi yang menyeluruh dan lengkap.

Sistem informasi yang menyeluruh dan lengkap dapat dimanfaatkan, antara lain sebagai:

5

a. Sebagai sarana pengetahuan, pemahaman tentang suatu maksud/arti dan nilai-

nilai dari keberadaan suatu benda cagar budaya.

b. Sebagai sarana mempromosikan suatu benda cagar budaya dan pembuatan suatu

manajemen informasi dan perijinan.

c. Sebagai basisdata dalam rangka pemeliharaan dan konservasi jangka panjang.

d. Dapat juga dipertimbangkan sebagai data untuk pembuatan polis asuransi untuk

menanggulangi kerusakan dan kerugian.

e. Sebagai sumber data untuk generasi masa depan.

Sistem pendokumentasian khususnya untuk Benda Cagar Budaya mengalami

perkembangan yang cukup pesat, beberapa perkembangan sistem pendokumentasian

Benda Cagar Budaya antara lain :

a. Sketsa

merekam data/obyek dengan melihat langsung melalui berbagai

keanekaragaman format, kemudian dituangkan dalam bentuk gambar dengan

dimensi dan akurasi yang kurang teliti

b. Hand Survey

Teknik Perekaman dengan mengukur obyek menggunakan tangan, berdasarkan

penilaian dan peralatan sederhana.

c. Fotografi

Teknik Perekaman modern dengan menggunakan alat kamera disertai dengan

metode metode khusus untuk mendapatkan data langsung dari obyek

d. Fotogrametri

Teknik Perekaman obyek dengan teknik pengambilan foto stereo yang saling

bertampalan sehingga membentuk gambar 3 dimensional dan berkoordinat.

I.5.2. Fotogrametri Jarak Dekat

Fotogrametri adalah seni, ilmu dan teknologi dalam memperoleh

informasi yang terpercaya mengenai obyek-obyek dan lingkungan fisis, melalui proses

6

perekaman, pengukuran dan penafsiran citra fotografik dan pola-pola energi

elektromagnetik yang bercahaya dan gejala lainnya (Suharsana, 1997). Lingkup

fotogrametri di luar pemetaan yang menggunakan foto sebagai sarana maupun

fotogrametri sebagai suatu cara adalah fotogrametri jarak dekat. Fotogrametri jarak

dekat dicirikan bahwa jarak antara obyek dan kamera kurang dari 300 meter (Suharsana,

1997).

Istilah fotogrametri jarak dekat digunakan untuk menggambarkan teknik yang

digunakan untuk mengukur suatu obyek dengan jarak kurang dari 100 meter dan posisi

kamera dekat dengan obyek yang diukur. Karakteristik lain yang dimiliki fotogrametri

jarak dekat adalah bahwa foto yang digunakan pada fotogrametri jarak dekat diperoleh

dari hasil pemotretan dengan posisi kamera mengelilingi bahkan berada di dalam obyek

yang dipotret. Posisi sumbu kamera berupa paralel hanya pada kasus tertentu saja, pada

umumnya posisi kamera terhadap obyek sangat konvergen dimana posisi kamera

menunjuk pada tengah obyek yang dipotret. Koordinat titik-titik di permukaan sebuah

obyek dituntut memiliki akurasi homogen yang tinggi di seluruh ruang obyek (Atkinson,

1996).

Hasil dari fotogrametri jarak dekat umumnya dapat tersedia dengan cepat setelah

proses akuisisi gambar atau foto sehingga dapat diproses lebih lanjut terkait dengan

obyek yang diukur dan fungsinya. Koordinat titik-titik pada obyek dapat digunakan

untuk membandingkan obyek yang diukur dengan rancangan, ukuran serta bentuk obyek

yang sebenarnya dalam uji kesesuaian. Selain itu koordinat tersebut dapat dibandingkan

dengan koordinat hasil dari pengukuran sebelumnya untuk mendeteksi adanya deformasi

pada obyek. Pada tindakan lanjutan, pengolahan data fotgrametri jarak dekat

menggunakan komputer grafis, sebagai contoh untuk memproduksi model tiga dimensi

dari sebuah obyek dan dalam beberapa kasus juga menggambarkan dimensi, ketinggian

atau bagian tertentu yang perlu ditampilkan. Karakteristik lain yang dimiliki oleh

fotogrametri jarak dekat adalah beragamnya masalah terkait pengukuran yang dapat

diselesaikan dengan teknik fotogrametri jarak dekat. Di antaranya adalah masalah terkait

jarak kamera, media pencitraan, konfigurasi, prosedur fotogrametris, metode analisis dan

7

bentuk hasil yang harus dipertimbangkan, selain itu juga masalah yang terkait

instrumentasi dan teknik yang akan dipilih dan digunakan dalam setiap kasus tertentu

untuk menghasilkan hasil yang memenuhi spesifikasi yang baik (Atkinson, 1996).

Beberapa kelebihan dari teknik Fotogrametri jarak dekat antara lain (Atkinson,

1980 dalam Danurwendi, 2012) :

1. Fotogrametri jarak dekat merupakan metode yang tidak memerlukan kontak

langsung dengan obyek, sehingga pengukuran dapat dilakukan walaupun

akses langsung tidak memungkinkan. Cakupan dapat berupa keseluruhan

obyek maupun sebagian dari obyek yang diteliti.

2. Akuisisi data dengan menggunakan fotografi dapat dilakukan dengan cepat

dan sesuai.

3. Repetisi untuk evaluasi selalu dimungkinkan.

4. Fotogrametri merupakan teknik yang sangat baik jika metode lain tidak

memungkinkan dilakukan atau tidak efektif dan efisien mengingat

aksesibilitas obyek yang diukur, biaya dan kendala lainnya.

Kekurangan dari teknologi Fotogrametri jarak dekat antara lain (Leitch 2002

dalam Danurwendi, 2012):

1. Hasil pengukuran tidak dapat diperoleh secara langsung mengingat perlu

dilakukan pengolahan dan evaluasi.

2. Kebutuhan akan spesialisasi dan peralatan pendukung yang mahal dapat

mengakibatkan harga yang tinggi dalam implementasi.

3. Kesalahan selama pengambilan dan pengolahan foto dapat menyulitkan

pekerjaan.

Pada dasarnya konsep yang digunakan dalam fotogrametri jarak dekat adalah

konsep fotogrametri analitis yang diaplikasikan pada pemotretan terestris. Prinsip yang

digunakan dalam fotogrametri jarak dekat adalah prinsip kolinearitas (kesegarisan) yang

dapat didefinisikan bahwa titik utama kamera, koordinat titik pada foto, dan posisi 3

dimensi titik tersebut pada ruang berada pada satu garis lurus. Kondisi kolinearitas ini

8

tentu saja digunakan sebagai solusi umum saat orientasi relatif baik secara aerial

maupun terestris.

Gambar I.1 Kondisi kolinearitas (Atkinson, 1996)

Pada foto terestris, sumbu x pada sistem koordinat foto sejajar dengan sumbu X

pada koordinat tanah, sumbu z pada sistem koordinat foto sejajar dengan sumbu Y pada

sistem koordinat tanah, dan sumbu y pada sistem koordinat foto sejajar dengan sumbu Z

pada sisitem koordinat tanah. Hal tersebut yang menyebabkan perbedaan antara foto

udara dan foto terstris. Persamaan kolinearitas untuk titik obyek A dan titik citra a yang

terlihat pada foto dapat ditulis dalam persamaan matriks sebagai berikut (Atkinson,

1996).

[

] = [

] [

] (I.1)

Matriks R merupakan matriks rotasi :

Rω = [

]; Rφ = [

]; Rκ = [

] (I.2)

R = RωRφRκ (I.3)

R =

[

]

c

9

xa - xo= [ ( ) ( ) ( )]

[ ( ) ( ) ( )] (I.4)

ya - yo = [ ( ) ( ) ( )]

[ ( ) ( ) ( )] (I.5)

Keterangan :

xa, ya = koordinat titik A di foto.

xo, yo = koordinat titik pusat foto.

XA, YA, ZA = koordinat titik A di permukaan bumi.

XO, YO, ZO = koordinat pusat kamera.

c = panjang fokus kamera.

rij = elemen matriks rotasi.

Rω = matriks rotasi terhadap sumbu X.

Rφ = matriks rotasi terhadap sumbu Y.

Rκ = matriks rotasi terhadap sumbu Z.

Teknik pengambilan data dalam fotogrametri jarak dekat dapat dilakukan dengan

metode terestris dan metode aerial.

I.5.2.1. Terestrial fotogrametri. Terestrial fotogrametri merupakan teknik

pengambilan gambar dimana foto terestris diambil dari kamera yang diletakkan di atas

permukaan tanah. Posisi dan orientasi seringkali diukur secara langsung saat exposure.

Teknik fotogrametri jarak dekat ini digunakan untuk foto yang diambil secara terestris.

Fotogrametri terestris masih digunakan dalam pemetaan topografi tetapi biasanya untuk

penerapannya terbatas pada daerah yang sempit dan situasi khusus seperti untuk lembah,

pegunungan, pemetaan bangunan, galian-galian pertambangan dan lain sebagainya

Orientasi sudut kamera pada terestrial fotogrametri dapat diukur atau diatur ke

nilai tetap, sehingga semua elemen eksterior foto terestris tidak perlu dihitung.

Parameter orientasi luar merupakan sumber kontrol untuk foto terestris, yaitu untuk

10

mencari titik kontrol dalam ruang obyek. Fotografi terestrial bisa dilakukan secara statis

(foto obyek stasioner) atau dinamis (foto benda bergerak). Untuk fotografi statis, foto

diambil dengan waktu yang lambat, halus, waktu eksposur yang lama. Stereopairs dapat

diperoleh dengan menggunakan kamera tunggal dan membuat eksposur di ke dua ujung

garis dasar. Dalam mengambil foto terestrial dinamis, foto diambil dengan waktu yang

cepat dan kecepatan rana yang cepat. Stereopairs dapat diperoleh dengan menggunakan

dua kamera yang terletak di ujung garis dasar dan harus membuat eksposur yang

simultan.(Wolf, 1983)

I.5.2.2. Aerial fotogrametri. Aerial fotogrametri merupakan teknik pengambilan

gambar pada fotogrametri jarak dekat, dimana foto diambil dari udara dengan bantuan

wahana udara tanpa awak (UAV). Wahana udara tanpa awak atau unmanned aerial

vehicle (UAV) disebut juga unmanned aerial system adalah sistem yang pertama kali

dikenalkan pada perang dunia pertama dan hingga kini telah mengalami banyak

perkembangan baik dalam sektor militer maupun sektor umum. Saat ini penggunaan

UAV dikembangkan dalam navigasi untuk keperluan pemetaan, misalnya pemotretan

udara.

Pemotretan udara pada awalnya menggunakan wahana pesawat terbang dalam

pengambilan datanya, dengan ukuran fisik alat yang besar untuk mobilisasi personil dan

penempatan instrumennya. Penggunaan pesawat terbang berawak akan efektif dan

efisien apabila luas daerah yang akan dipotret lebih besar dari 7500 hektar. Maka untuk

fotogrametri jarak dekat dengan area yang tidak terlalu luas pemotretan udara dengan

wahana pesawat terbang sangat tidak efektif dan efisien, disamping itu biaya oprasional

yang dikeluarkan juga mahal.

Penggunaan wahana udara tanpa awak (UAV) atau aeromodeling adalah solusi

yang tepat untuk akuisisi data foto udara (small format / close range photogrametry).

Keuntungan penggunaan pesawat model dalam pemotretan udara adalah biaya

operasionalnya relatif lebih murah dan mudah didapatkan di pasaran. Sedang

keterbatasan dari pesawat model antara lain adalah pada saat terbang pesawat lebih

mudah terpengaruh oleh cuaca seperti angin dan suhu sehingga pesawat menjadi kurang

11

stabil, selain itu cakupan waktu terbang juga terbatas (berkisar 15 sampai 30 menit).

Oleh karena itu dalam pemaanfaatan pesawat model perlu diketahui karakteristik

terbang pesawat dan kondisi cuaca yang baik sehingga pemotretan udara menjadi efektif

dan efisien serta menghasilkan data foto digital dengan kondisi baik.

Pergerakan pesawat model dalam pemotretan udara menyebabkan variasi

perubahan pada foto udara yang dihasilkan. Pergerakan pesawat model di udara sangat

mudah terpengaruh oleh cuaca seperti angin dan turbelensi. Angin dan turbelensi

mengakibatkan terbang pesawat model tidak stabil. Pergerakan tak terkendali dari

wahana menyebabkan foto yang dihasilkan memiliki pergeseran terhadap sumbu X, Y, Z

dan variasi skala yang besar. Bentuk pergerakan pesawat model dengan foto udara yang

dihasilkan antara lain:

1. Gerakan lift/weight menyebabkan perubahan skala pada foto udara.

2. Gerakan roll pesawat menyebabkan foto udara berotasi terhadap sumbu X / ω

(omega).

3. Gerakan yaw pesawat menyebabkan foto udara berotasi terhadap sumbu Z / κ

(kappa).

4. Gerakan pitch pesawat menyebabkan foto udara berotasi terhadap sumbu Y / φ

(phi).

5. Drag terhadap pesawat membuat pesawat keluar jalur terbang atau terbang

menyamping yang menyebabkan pertampalan foto udara yang tidak maksimal

Berikut ini gambar pergerakan pesawat model dan pengaruh pada foto udara yang

dihasilkan.

12

Gambar I.2. Bentuk-bentuk pergerakan pesawat di udara dan pengaruhnya terhadap foto

yang dihasilkan (Indra, 2012)

I.5.3. Ground sampling distance.

Ground sampling distance atau resolusi spasial adalah ukuran terkecil dari obyek

yang terekam oleh kamera. Panjang dan lebar sensor kamera berpengaruh pada luas

cakupan area yang terpotret. Panjang dan lebar sensor menentukan dalam perhitungan

panjang basis udara untuk memperoleh pertampalan yang diinginkan. Ground sampling

13

distance (GSD) juga dapat diartikan sebagai jarak di atas tanah yang diwakili tiap 1

piksel pada foto udara. Berikut ini rumus untuk memperoleh nilai GSD foto udara:

GSD = resolusi piksel x aSf (I.6.)

atau,

GSD = ( l / jumlah piksel ) x ( Hrata-rata / f ) (I.7.)

dalam hal ini,

aSf : angka skala foto

l : ukuran lebar sensor

Hrata-rata : Tinggi terbang rata – rata

f : fokus kamera

I.5.4.1. Resolusi piksel. Piksel (dari bahasa picture element) merupakan unsur

gambar atau representasi sebuah titik terkecil dalam sebuah gambar grafis yang dihitung

per inchi. Jumlah piksel dalam sensor menentukan tingkat kehalusan foto atau resolusi

yang dihasilkan. Resolusi piksel merupakan ukuran dari 1 buah piksel. Semakin kecil

ukuran sebuah piksel semakin halus gambar yang dihasilkan. Rumus resolusi piksel

adalah sebagai berikut.

Resolusi piksel = panjang sensor / jumlah piksel (I.8.)

I.5.4.2. Skala foto. Skala foto merupakan perbandingan antara jarak antar obyek

di foto dengan jarak obyek yang sama di lapangan. Skala foto dapat juga berupa

perbandingan antara panjang fokus kamera pemotretan dengan tinggi terbang wahana.

Gambar I.7 berikut menunjukkan bentuk geometri foto udara.

14

Gambar I.3. Geometri foto udara tegak

⁄ ( I.9.)

dalam hal ini,

f : panjang fokus kamera

Hrata-rata : tinggi terbang rata-rata

I.5.4.3. Ukuran sensor kamera. Kamera analog menggunakan plat film sebagai

sensor, sedang pada kamera digital sensor yang digunakan berupa plat CCD (Charge

Coupled Device) ataupun CMOS (Complementary Metal Oxide Semiconductor). Ukuran

sensor pada kamera digital non-metrik yang ada saat ini sangat beragam.

I.5.4. Kalibrasi Kamera

Kalibrasi kamera adalah suatu proses yang sangat penting dalam pengukuran

Fotogrametri. Kalibrasi kamera merupakan proses penentuan parameter orientasi dalam

dari sebuah kamera. Sebuah kamera dikatakan telah terkalibrasi apabila parameter

panjang fokus (c), principle point (Xp, Yp), dan distorsi lensa (K1, K2, K3, P1, P2)

telah diketahui.

15

1. Panjang Fokus

Panjang fokus adalah jarak tegak lurus antara titik pusat lensa (titik

fokus) dengan bidang proyeksi kamera (CCD/CMOS) dalam kamera digital

atau film dalam kamera analog. Nilai panjang fokus ini harus diketahui karena

berhubungan dengan pengukuran obyek. Pada beberapa software pengolahan

data, terdapat dua buah nilai panjang fokus hasil kalibrasi kamera yaitu

panjang fokus dalam satuan panjang (mm) dan panjang fokus dalam piksel.

Piksel pada sensor kamera non metrik kualitas rendah memiliki bentuk persegi

panjang sehingga ukuran piksel ke arah x dan y berbeda, hal itu menyebabkan

hasil dari kalibrasi kamera akan menyajikan nilai panjang fokus ke arah x (fx)

dan panjang fokus ke arah y (fy) dalam satuan piksel. Panjang fokus fx

sebenarnya merupakan hasil dari panjang fokus lensa f (dengan satuan

milimeter) dan sx yaitu ukuran dari elemen individu sensor (dengan satuan

piksel/milimeter), sama halnya dengan fy yang diperoleh dari panjang fokus

lensa f dan sy.

2. Titik Pusat Foto / Principle Point.

Principle Point merupakan titik utama hasil proyeksi tegak lurus titik

pusat perspektif (titik pusat proyeksi) pada bidang foto. Titik ini merupakan

titik utama pada sistem koordinat foto.

Gambar I.4. Geometri sebagian orientasi dalam (Abdelhafiz, 2009 dalam Indra

2012).

16

3. Distorsi Lensa

Distorsi menyebabkan tidak tepatnya proyeksi dari pusat perspektif lensa

terhadap bidang foto sehingga letak proyeksinya tidak tepat pada pusat sistem

koordinat foto. Distorsi merupakan ketidaksesuaian bentuk obyek yang ada di

dunia nyata dengan bentuk obyek pada foto. Hal ini disebabkan karena lensa

yang digunakan memiliki kualitas yang kurang baik sehingga terjadi

perubahan arah sinar yang keluar dari lensa dan yang masuk menjadi tidak

sejajar. Distorsi pada lensa meyebabkan kesalahan geometrik atau bentuk

obyek pada foto, namun tidak mengurangi ketajamannya dari hasil pemotretan

kamera. Kesalahan tersebut mengakibatkan adanya penyimpangan geometri

pada foto dengan geometri obyek sebenarnya. Distorsi lensa dibedakan

menjadi dua yaitu distorsi radial dan tangensial (Wolf, 1993).

Distorsi radial adalah pergeseran linier titik foto dalam arah radial

terhadap titik utama dari posisi idealnya. Distorsi lensa biasa diekspresikan

sebagai fungsi polynomial dari jarak radial (Δr) terhadap titik utama foto.

Distorsi radial ke arah luar dianggap positif dan ke arah dalam dianggap

negatif. Distorsi radial ke arah dalam disebut sebagai pinchusion distortion,

dan distorsi radial ke arah luar disebut barrel distortion. Perbedaan keduanya

dapat dilihat pada Gambar I.5.

(a) (b)

Gambar I.5. (a) Pinchusion distortion dan (b) barrel distortion

17

Distorsi radial dideskripsikan sebagai fungsi polinom dari jarak radial

terhadap titik utama foto.

δx = ( ̃ )(

) (I.10)

δy = ( ̃ )(

) (I.11)

dengan nilai r :

r2 = ( ̃ )

( ̃ ) (I.12)

Dimana :

δx, δy = Besar distorsi radial.

K1, K2, K3 = Parameter distorsi radial.

r = Jarak radial.

Distorsi tangensial adalah pergeseran linier titik di foto pada arah

normal (tegak lurus) garis radial melalui titik foto tersebut. Distorsi tangensial

disebabkan kesalahan sentering elemen-elemen lensa dalam satu gabungan

lensa dimana titik pusat elemen-elemen lensa dalam gabungan lensa tersebut

tidak terletak pada satu garis lurus. pergeseran ini biasa dideskripsikan dengan

dua persamaan kuadratik untuk pergeseran pada arah x (δx) dan arah y (δy)

δx = [P1 [ r2

+ 2 ( ̃ – xp)2 ] + 2P2 ( ̃ – xp) ( ̃ – yp)] (1+P3r

2) (I.13)

δy = [2P1( ̃ – xp) ( ̃ – yp) + 2P2( r2

+ 2 ( ̃ – yp)2

)] (1+P3r2) (I.14)

Dimana :

δx = Besarnya pergeseran pada arah x

δy = Besarnya pergeseran pada arah y

P1, P2, P3 = Parameter distorsi tangensial

r = jarak radial

18

I.5.5. Pembentukan model tiga dimensi

Pada umumnya tujuan akhir dari pengolahan foto dalam fotogrametri jarak dekat

adalah untuk membangun model 3D bertekstur. Prosedur pengolahan foto dan

pembentukan model 3D terdiri dari empat tahap utama.

1.5.6.1 Tahap alignment. Pada tahap ini diawali dengan proses image matching,

serta menemukan posisi kamera untuk setiap gambar dan memasukkan parameter

kalibrasi kamera untuk menghilangkan efek distorsi pada foto. Sehingga sparse point

cloud dan formasi posisi kamera terbentuk. Sparse point cloud merupakan hasil

penyelarasan dari beberapa foto dan tidak akan langsung digunakan dalam prosedur

pembentukan model 3D. Namun dapat diekspor untuk penggunaan lebih lanjut dalam

program eksternal. Misalnya, sparse point cloud dapat digunakan sebagai referensi

dalam pengeditan model 3D. Sebaliknya, untuk formasi posisi kamera diperlukan untuk

proses selanjutnya dalam pembentukan model 3D.

1.5.6.2. Tahap membangun dense point cloud. Dense point cloud merupakan

salah satu metode yang paling sesuai untuk memodelkan obyek yang memiliki tekstur.

Metode ini termasuk metode semi-otomatis karena proses pembentukan point cloud

dapat dilakukan secara otomatis dengan melakukan sedikit pengaturan setelah semua

foto yang diperlukan melalui proses referensing terlebih dahulu. Dengan kemampuan

menghasilkan point cloud yang sangat kecil dan rapat pembentukan model

menghasilkan bentuk yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Proses pengolahan

foto dengan metode ini dilakukan secara stereo matching kualitas point cloud yang

dihasilkan sangat bergantung pada proses image matching daerah yang bertampalan

pada foto.

1.5.6.3. Tahap membangun mesh. Prinsip dasar pembentukan mesh adalah

melakukan pembentukan poligon di permukaan obyek berdasarkan titik-titik dense point

cloud. Poligon-poligon tersebut pada umumnya berbentuk segitiga dan segiempat yang

kemudian digabungkan satu sama lain sehingga membentuk suatu permukaan obyek

19

yang solid. Pada perangkat lunak Agisoft PhotoScan poligon yang menyusun permukaan

model 3D disebut face / surface sedangkan titik-titik perpotongan antar poligon yang

membentuk jaring segitiga disebut vertex.

Gambar I.6. Face dan vertex penyusun permukaan model 3D

(http://www.euclideanspace.com/threed/solidmodel/boundary/polygonal/index.htm)

1.5.6.4. Tahap pemberian tekstur pada obyek. Pemberian tekstur ini bisa dilakukan

dengan cara memanggil tekstur dari foto aslinya atau memberikan tekstur yang tersedia

dalam software pengolahan data.

Masukan foto

Align foto

(Otomatisasi identifikasi tie point)

Mulai

A

20

Gambar I.7. Diagram alir pengolahan model 3D pada software Agisoft PhotoScan 1.0

1.5.6. Transformasi koordinat konform 3D

Transformasi koordinat 3D adalah suatu proses untuk melakukan suatu

perubahan sistem dari sistem koordinat 3D yang satu ke sistem koordinat 3D lainnya

dengan salib sumbu antar ke dua sistem sama-sama tegak lurus. Perubahan sistem ini

adalah perubahan sistem untuk koordinat point sumbu x y z yang direferensikan ke

sistem sumbu X Y Z (referensi). Transformasi koordinat konform 3D merupakan salah

satu yang digunakan untuk proses registrasi antar model atau yang disebut juga

transformasi Helmert. Faktor penentu transformasi 3D adalah parameter-parameter

tranformasi, yang mana parameter tersebut adalah independent. Parameter-parameter

tersebut adalah rotasi, translasi dan skala. Parameter transformasi 3D ada 7 parameter,

sehingga untuk proses registrasi antar sistem ke sistem yang lain parameter yang harus

dicari yaitu skala ( λ ), rotasi (ω,ψ,k ) dan translasi ( Tx, Ty, Rz ). Transformasi

-Exterior orientation -Koordinat tie point

- Kalibrasi kamera

Build dense cloud

Selesai

Pembentukan mesh

Pembentukan tekstur

Model 3D

A

21

koordinat konform tiga dimensi meliputi perubahan dari suatu sistem tiga dimensional

ke sistem lainnya. Transformasi konform 3D merupakan sebuah transformasi yang

mempertahankan faktor skala sama pada semua arah, trasformasi ini banyak digunakan

untuk kepentingan transformasi model. Transformasi konform akan mempertahankan

bentuk model yang ditransformasi sehingga tidak terjadi perubahan sudut obyek.

Model yang berada dalam sebuah chunk (subproject dalam perangkat lunak

Agisoft Photoscan) pada registrasi model 3D memiliki sistem koordinat lokal masing-

masing, sehingga setiap tie point pada pada model memiliki sistem koordinat yang

sesuai dengan chunk. Proses registrasi antar chunk yang saling berdekatan harus

memiliki acuan target yang sama dalam arti adalah posisi target sebagai tie point yang

sama. Kesamaan posisi acuan target untuk proses registrasi bisa ditentukan dengan

transformasi koordinat 3D yang akan memeperoleh nilai parameter-parameter antar ke

dua sistem acuan tersebut. Salah satu dari chunk tersebut harus dijadikan sebagai

koordinat acuan (referensi) sebagai acuan bagi chunk lainnya.

Transformasi konform model 3D antara suatu model dengan sistem koordinat XB,

YB, ZB dan model lain dengan sistem koordinat XA,YA, ZA dapat dilihat pada persamaan

dibawah ini :

(I.15)

Dimana :

XB, YB, ZB = koordinat model B

XA,YA, ZA = koordinat model A

s = faktor skala

R = parameter rotasi (ω,φ,k)

Tx,Ty, Tz = parameter translasi.

22

Gambar I.8. Transformasi koordinat konform 3D

(http://www.gmat.unsw.edu.au/snap/gps/gps_survey/chap11/1113.htm)