bab i pendahuluan -...

44
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Arbeit 1 (“kerja“) dalam Politiklexikon 2 dimaknai sebagai suatu kegiatan yang dilakukan khusus oleh manusia –baik yang bersifat fisik maupun intelektual- yang bertujuan terutama untuk memperoleh sarana penting dalam rangka mempertahankan eksistensi kehidupan manusia. Kata Arbeit dewasa ini telah menjadi kata yang sangat umum dan menjelma menjadi tema yang semakin penting dalam berbagai sektor kehidupan manusia terutama akibat perubahan struktur dunia kerja (Strukturwandel der Arbeitswelt) yang berlangsung relatif cepat. Dalam sejarah manusia modern, tema Arbeit mulai mencuat sejak awal revolusi industri di Inggris (1750-1850 M) kemudian menyebar ke seluruh Eropa Barat hingga akhirnya secara perlahan ke berbagai belahan dunia. (lihat Bell, 1969). Di era global dewasa ini, efesiensi teknologi modern dan perubahan struktur demografis telah menjadi suatu keniscayaan dalam sejarah manusia. Ketidakseimbangan antara ketersediaan lapangan kerja dan tenaga 1 Arbeit f ( - ; -en) kerja, pekerjaan, pencaharian; karya; in der Schule ulangan; e-e gute ~ (hasil) karya yg. bagus; keine ~ haben menganggur; et. ist in ~ sst. sedang dikerjakan; ºen itr. bekerja, berkarya, berusaha; ~ an mengerjakan. Adolf Heuken. 1998: Wörterbuch Deutsch-Indonesisch. Leipzig: Verlag Enzyklopädie. Hlm. 31. 2 Arbeit ist eine spezifisch menschliche –sowohl körperliche als auch geistige- Tätigkeit, die v.a. dazu dient, die zur Existenzsicherung notwendigen Mittel zu beschaffen. [...]. Schubert, Klaus/Martin Klein: Das Politiklexikon. 5., aktual Aufl. Bonn: Dietz 2011. Lihat: www.bpb.de/nachschlagen/lexika/17088/arbeit.

Upload: lynhi

Post on 26-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Arbeit1 (“kerja“) dalam Politiklexikon2 dimaknai sebagai suatu kegiatan

yang dilakukan khusus oleh manusia –baik yang bersifat fisik maupun intelektual-

yang bertujuan terutama untuk memperoleh sarana penting dalam rangka

mempertahankan eksistensi kehidupan manusia. Kata Arbeit dewasa ini telah

menjadi kata yang sangat umum dan menjelma menjadi tema yang semakin

penting dalam berbagai sektor kehidupan manusia terutama akibat perubahan

struktur dunia kerja (Strukturwandel der Arbeitswelt) yang berlangsung relatif

cepat. Dalam sejarah manusia modern, tema Arbeit mulai mencuat sejak awal

revolusi industri di Inggris (1750-1850 M) kemudian menyebar ke seluruh Eropa

Barat hingga akhirnya secara perlahan ke berbagai belahan dunia. (lihat Bell,

1969).

Di era global dewasa ini, efesiensi teknologi modern dan perubahan

struktur demografis telah menjadi suatu keniscayaan dalam sejarah manusia.

Ketidakseimbangan antara ketersediaan lapangan kerja dan tenaga

1 Arbeit f ( - ; -en) kerja, pekerjaan, pencaharian; karya; in der Schule ulangan; e-e gute ~ (hasil) karya yg. bagus; keine ~ haben menganggur; et. ist in ~ sst. sedang dikerjakan; ºen itr. bekerja, berkarya, berusaha; ~ an mengerjakan. Adolf Heuken. 1998: Wörterbuch Deutsch-Indonesisch. Leipzig: Verlag Enzyklopädie. Hlm. 31. 2 Arbeit ist eine spezifisch menschliche –sowohl körperliche als auch geistige- Tätigkeit, die v.a. dazu dient, die zur Existenzsicherung notwendigen Mittel zu beschaffen. [...]. Schubert, Klaus/Martin Klein: Das Politiklexikon. 5., aktual Aufl. Bonn: Dietz 2011. Lihat: www.bpb.de/nachschlagen/lexika/17088/arbeit.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

2

kerjamerupakan salah satu contoh riil akibat dari perubahan ini. Masalah inipun

tidak hanya menimpa satu atau dua negara saja, tetapi telah meluas dan menjadi

masalah tersendiri di hampir semua negara (lihat Bierwisch, 2003). Dengan

demikian Arbeit telah menjelma menjadi tema global dengan berbagai

problematikanya.

Dalam dunia sastra, tema Arbeit senantiasa mewarnai karya-karya sastra

yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

misalnya di dalam bunga rampai Arbeit als Thema in der deutschen Literatur vom

Mittelalter bis zur Gegenwart (Arbeit sebagai Tema dalam Sastra Jerman dari

Abad Pertengahan sampai Sekarang) yang dikeluarkan oleh Grimm dan Hermann

(1979) atau dalam bibliografi Krug (1990) Arbeitslosenliteratur (Sastra

Pengangguran) yang secara spesifik menampilkan karya-karya sastra bertema

Arbeit dan Arbeitslosigkeit (pengangguran) sebagai lawan dari tema Arbeit. Dari

sinilah, Krug (1990) akhirnya menyimpulkan bahwa sejak abad ke 20,

Arbeitslosenlitaratur atau sastra yang bertema pengangguran telah menjadi bagian

tak terpisahkan dari isu-isu sosial politik di Jerman.

Kehadiran tema Arbeit dalam dunia sastra sesungguhnya menguatkan

eksistensi tema ini di dalam masyarakat Jerman. Negara yang terletak di Eropa ini

(geografis: tengah; politik/ekonomi: barat) sudah sejak lama menyadari

pentingnya Arbeit dalam kehidupan manusia. Negara dengan mayoritas penduduk

beragama Nasrani ini3, sedikit banyaknya memahami konsep Arbeit berdasarkan

3 Die wichtigste Religion in Deutschland ist das Christentum: Rund 25 Millionen Deutsche sind römisch-katholisch, gut 24 Millionen evangelisch und etwa 1,2 Millionen sind orthodox. Daneben leben rund 4 Millionen Muslime und circa 100.000 Juden in Deutschland. (Agama mayoritas di Jerman adalah kristen: Sekitar 25 juta penduduk Jerman memeluk agama Katolik Roma, hampir

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

3

ajaran kristiani. Bab pertama dalam Alkitab (Kitab Kejadian, bab 3 ayat 17) sudah

berbicara tentang hukuman Tuhan kepada Adam dan Eva yang harus bersusah

payah mencari rezki dari tanah seumur hidup, karena telah melanggar aturan

Tuhan: „[...], mit Kummer sollst du dich darauf nähren dein Leben lang.“4

(Mose-Kapitel 3: 17). Kejadian inilah yang menjadi dasar pemahaman bahwa

Arbeit als Strafe Gottes für den Sündenfall atau bekerja merupakan hukuman atas

dosa yang diperbuat oleh Adam dan Eva. Namun demikian Arbeit tetap memiliki

nilai yang tinggi, seperti terlihat dalam ungkapan-ungkapan para Benedik: „ora et

labora“ (berdo‘a dan bekerja). Penganut Calvinisme (salah satu varian dari

Kekristenan Protestan) bahkan memandang Arbeit sebagai ibadah kepada Tuhan

dan kemalasan merupakan dosa. Mereka memahami bahwa Tuhan telah memilih

manusia-manusia tertentu dan memberikan karunianya melalui penghidupan yang

baik. Artinya, kekayaan yang didapatkan oleh seorang manusia merupakan bukti

bahwa dia telah terpilih sebagai orang yang dikaruniai oleh Tuhan.5

Dari beberapa peribahasa juga terungkap bagaimana pentingnya makna

Arbeit dalam kehidupan masyarakat Jerman, misalnya: „Wer nicht arbeitet, soll

auch nicht essen.“ (siapa yang tidak bekerja, seharusnya juga tidak makan);

„Arbeit macht das Leben süß.“ (Bekerja membuat hidup menjadi manis); „Wie

die Arbeit, so der Lohn.“ (Bagaimana pekerjaan, begitulah imbalannya); „Erst die

24 juta Protestan, sekitar 1,2 juta Orthodox. Di samping itu ada sekitar 4 juta muslim dan kira-kira 100.000 Yahudi.) Sumber: http://de.statista.com/statistik/faktenbuch/338/a/laender/deutschland/bevoelkerung-in-deutschland/, diunduh tgl. 7 September 2013. 4 [...] dengan bersusah payah engkau akan mencari rezkimu dari tanah seumur hidupmu (Alkitab, 3: 17). 5 Lihat Schößler (2006: 20): „Der Calvinismus [...] geht davon aus, dass Gott bestimmte Menschen auserwählt hat und seine Gnade durch ein prosperierendes Leben offenbart, das heißt Reichtum beweist die Gnadenwahl.“

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

4

Arbeit, dann das Vergnügen.“ (Bekerja dahulu, kemudian bersenang-senang.). Di

era NAZI (Nationalsozialist) bahkan tertulis dengan jelas di bagian pintu gerbang

kamp konsentrasi di Auschwitz, Dachau, Sachsenhausen dan Flossenbürg:

„Arbeit macht frei“ (Bekerja membuat ‘kamu’ bebas).

Tidak hanya dalam peribahasa Jerman, arti penting Arbeit dalam

masyarakat Jerman semakin terlihat dari cara mereka membagi waktu dengan

menggunakan kategori Arbeit seperti yang dipaparkan oleh Hermanns dan Zhao

(1999). Pembagian periode kehidupan manusia didasarkan atas usia kerja dengan

istilah Arbeitsleben (usia kerja). Usia anak-anak dan remaja dikategorikan belum

masuk usia kerja (noch nicht im ‘Arbeitsleben’), usia dewasa (schon im

‘Arbeitsleben’) dan para purnabakti atau orang-orang tua masuk dalam kategori

tidak lagi dalam masa kerja (nicht mehr im ‘Arbeitsleben’). Demikian halnya

tahun, bulan dan hari dibagi berdasarkan kriteria kerja. Dalam hitungan tahun

dibagi menjadi dua kelompok besar yakni Arbeit (bulan-bulan bekerja) dan

Urlaub (bulan-bulan liburan). Dalam seminggu juga terdiri dari Arbeitstagen

(hari-hari kerja) dan Wochenende (akhir pekan). Setiap perjalanan satu hari, orang

Jerman juga membaginya dalam Arbeitszeit (waktu kerja) dan Freizeit (waktu

istirahat). Hal ini pulalah yang menjadikan dasar, mengapa Hermanns (1999)

memandang Arbeit sebagai salah satu kata kunci dalam memahami budaya

Jerman atau kulturelles Schlüsselwort.

Dalam dunia perpolitikan Jerman, tema Arbeit tetap merupakan tema yang

selalu hangat dan menjadi isu utama. Berbagai partai mengusung slogan berbeda

guna mengatasi masalah ketenagakerjaan di Jerman. Sozialdemokratische Partei

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

5

Deutschland (SPD) misalnya menyatakan: „Wir wollen mehr Arbeit schaffen und

weniger Arbeitslosigkeit haben in Deutschland.“ (Kami akan menciptakan lebih

banyak lapangan kerja dan mengurangi pengangguran.). Christlich-

Demokratische Union (CDU) dan koalisinya Christlich-Soziale Union (CSU)

dengan slogannya: „Sengkung von Lohnzusatzkosten für mehr Arbeitsplätze.“

(Penurunan pajak penghasilan untuk peningkatan lapangan kerja.). Demikian

halnya dengan Bündnis 90/Die Grünen: „Mehr Jobs im Dienstleistungssektor

durch niedrigere Lohnnebenkosten.“ (Peningkatan sektor jasa melalui

pengurangan pajak penghasilan.).

Uraian di atas membuktikan bahwa tema Arbeit tidak pernah lepas dari

perkembangan kehidupan masyarakat Jerman dalam berbagai aspek. Dengan kata

lain, tema Arbeit merupakan tema yang representatif dan memiliki arti penting

dalam budaya Jerman. Tema semacam ini menurut Wierlacher (1980, 2003)

merupakan tema yang mampu menjadi jembatan guna memahami secara lebih

mendalam suatu kebudayaan dalam rangka melahirkan pemahaman antar budaya

atau transkulturelle Verständigung.

Khusus dalam dunia sastra Jerman, kehadiran tema Arbeit memang tidak

terbantahkan seperti telah disinggung di atas, namun demikian kehadirannya juga

mengalami pasang-surut. Di masa-masa perang dingin ketika Jerman harus dibagi

menjadi dua negara (1949-1990), khususnya di Jerman Barat, tema Arbeit hampir

luput dalam karya-karya sastra. Tema ini baru menguat kembali kira-kira sejak

awal reunifikasi Jerman di tahun 1990 (Heimburger, 2010). Keengganan penulis

Jerman Barat untuk mengangkat tema Arbeit dalam karya sastra mereka saat itu,

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

6

menurut Rothe (dalam Heimburger, 2010) disebabkan oleh adanya kecenderungan

para penulis yang lebih senang menyoroti kehidupan yang bersifat batinia

(Innerlichkeit) dibandingkan dengan masalah-masalah sosial (soziale Probleme).

Kecenderungan ini menurut Neumark (dalam Heimburger, 2010) -seorang

ekonom yang menyoroti masalah-masalah ekonomi dalam roman- disebabkan

oleh adanya sikap publikum atau pembaca yang memang kurang tertarik dengan

masalah-masalah ekonomi (baca: Arbeit), selain karena adanya kondisi ekonomi

yang relatif stabil pada saat itu. Alasan Neumark ini tentu sangat berdasar,

mengingat stabilitas ekonomi Jerman Barat yang sangat monumental ditandai

dengan terjadinya keajaiban ekonomi (Wirtschaftswunder) pada dasawarsa 1950-

an dan 1960-an. Kondisi ini juga mampu mempercepat proses integrasi orang-

orang Jerman yang terusir dari wilayahnya di bagian timur Jerman. Kondisi

berbeda justru terjadi di Jerman Timur yang berafiliasi dengan Uni Soviet

berhaluan Marxis-Leninis. Sistem sosialis ini disinyalir telah mengantarkan

Jerman Timur ke ambang kehancuran khususnya dalam bidang ekonomi. Maka

tidaklah mengherankan jika tema-tema Arbeit justru lebih sering dijumpai dalam

karya-karya sastra di Jerman Timur.

Setelah penyatuan Jerman kembali atau Wiedervereiningung pada tanggal

3 Oktober 1990, dinamika dan proses perkembangan kehidupan sosial, ekonomi

dan politik Jerman termasuk tema Arbeit ikut mewarnai dunia kesusastraan. Di

awal-awal pascareunifikasi, pemerintahan Jerman bersatu harus bekerja keras

untuk memulihkan perekonomian bekas wilayah Jerman Timur. Penyatuan mata

uang sebagai langkah awal, ternyata tidak serta-merta memberikan perbaikan

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

7

signifikan dalam bidang fiskal. Ketidakmampuan perusahaan-perusahaan di

Timur untuk bersaing dengan saudara mereka dari Barat dan diperparah oleh

kecenderungan orang-orang Timur yang lebih senang mengkomsumsi produk-

produk dari wilayah barat dituding sebagai penyebabnya. Kondisi ini memaksa

pemerintah untuk memberikan dana solidaritas (Solidaritätszuschlag), namun

karena kehancuran ekonomi di timur begitu parah yang ditandai dengan jumlah

pengangguran yang sangat tinggi, menyebabkan dana solidaritas ini harus

dialokasikan duapertiga hanya untuk jamiman sosial dalam dasawarsa pertama

pascareunifikasi.6 Hal ini tentunya membawa dampak terhambatnya pertumbuhan

ekonomi di Jerman sebagai negara bersatu.

Di akhir dekade pertama setelah reunifikasi, sekitar tahun 1997, Jerman

mulai memasuki era pasar baru (neuer Markt) mengikuti tren New Economy yang

sudah dikenal sebelumnya di Amerika Serikat. Era ini dipahami sebagai transisi

dari ekonomi berbasis manufaktur ke ekonomi berbasis layanan atau jasa dengan

penerapan teknologi mutakhir yang kehadirannya ditandai dengan munculnya

perusahaan-perusahaan baru (Start-up-Unternehmen) khususnya dalam sektor

teknik informasi, multimedia, bioteknologi, dan telekomunikasi yang juga dikenal

sebagai industri masa depan (Zukunftsbranchen).

Dalam merespon perkembangan masyarakat pascareunifikasi, setidaknya

ada empat isu utama yang secara periodik mewarnai dunia sastra Jerman yang

6 Lihat: Reunifikasi Jerman. Pembangunan di Timur: Uang dan Janji. Sumber: http://www.dw.de/pembangunan-di-timur-uang-dan-janji/a-6067721, diunduh tgl. 23 September 2014.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

8

berhubungan langsung dengan tema Arbeit.7 Pertama, proses transformasi

masyarakat di Jerman Timur menuju pembentukan model masyarakat baru (ein

neuer Gesellschaftstypus) akibat perbedaan perkembangan dunia kerja dengan

tingkat pengangguran yang semakin tinggi. Slogan yang kerap muncul dalam

wacana ini adalah Leistungsgesellschaft8. Kedua, prinsip-prinsip

Leistungsgesellschaft ini teraplikasi dalam bentuk-bentuk dan hubungan-

hubungan dunia kerja, di mana faktor individu sangat dominan. Hal ini memicu

tuntutan adanya fleksibilitas waktu kerja (Flexibilisierung der Arbeitszeit)

demikian halnya masalah kewajiban atau tanggungjawab pekerja. Dengan kata

lain, muncul hubungan baru antara subjek dan pekerjaan yang mengakhiri tradisi

“rutinitas“ dalam dunia kerja yang selama ini terjadi. Ketiga, perubahan

paradigma terhadap prinsip Arbeit, di mana sebelumnya sering diungkapkan

„Jede Arbeit ist besser als keine“ (setiap pekerjaan lebih baik daripada tidak ada)

menjadi „Arbeit haben könne, wer Arbeit wolle“ (yang bisa mendapat pekerjaan

adalah siapa yang mau bekerja). Ungkapan ini menyiratkan makna, bahwa Arbeit

lebih merupakan hak yang bisa diperoleh atau diabaikan dari pada sebagai

kewajiban. Keempat, perkembangan New Economy di paruh kedua tahun 1990-an.

Dalam era ekonomi baru ini, Arbeit menjadi gaya hidup atau Lifestyle dan lebih

merupakan sarana untuk mengokohkan eksistensi individu dengan cara

7 Lihat: Matties. Arbeit und Arbeitslosigkeit in der deutschsprachigen Literatur seit 1989. Sumber: http://www.germanistik.uni.halle.de, diunduh tgl. 14.03.2013. 8 Leis|tungs|ge|sell|schaft, die: Gesellschaft (1), in der vor allem die persönlichen Leistungen des Einzelnen für dessen soziale Stellung, Ansehen, Erfolg usw. ausschlaggebend sind.© Duden - Deutsches Universalwörterbuch 2001 (Masyarakat, dimana keberhasilan individu atau kelompok tertentu dinilai berdasarkan hasil yang mereka peroleh.)

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

9

memanfaatkan semua potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh individu.

Konsep ini dikenal dalam konteks Jerman dengan istilah Selbstverwirklichung.9

Dari uraian di atas terlihat bahwa setelah memasuki dekade kedua (2000-

2010) pascareunifikasi, dalam dunia sastra terjadi pergeseran isu khususnya yang

berhubungan dengan tema Arbeit. Pada dekade ini, wacana tentang pengangguran

di timur dan di barat, mentalitas kerja orang timur dan barat yang sering

diungkapkan dengan istilah Ossi (si Timur) dan Wessi (si Barat) sudah tidak

terlalu intens lagi dibicarakan. Wacana yang mencuat dalam dekade ini adalah

terjadinya perubahan struktur dunia kerja (Strukturwandel der Arbeitswelt) yang

membawa dampak pada kehidupan sosial, ekonomi dan politik di Jerman.

Hubungan kerja yang normal (Normalarbeitsverhältnisse) seperti yang dikenal

sebelumnya dalam masyarakat industri telah berubah menjadi hubungan kerja

yang tanpa pola atau dikenal dengan istilah atypische Beschäftigungsverhältnisse.

Hubungan kerja semacam ini, ditandai dengan semakin banyaknya jenis pekerjaan

yang bersifat prekär atau labil, misalnya kontrak kerja yang senantiasa harus

diperbaharui. Dalam era ini juga terlihat semakin meleburnya dikotomi antara

waktu kerja (Arbeitszeit) dan waktu tidak bekerja (Freizeit), antara ruang kerja

dan ruang privat, dan yang paling penting adalah orang akan dituntut untuk terus-

menerus belajar sepanjang hidupnya (zur ständigen Weiterbildung atau

Lebenslanges Lernen) dalam rangka mendapatkan pekerjaan-pekerjaan lain

9 Selbst|ver|wirk|li|chung, die (bes. Philos., Psych.): Entfaltung der eigenen Persönlichkeit durch das Realisieren von Möglichkeiten, die in jmdm. selbst angelegt sind. © Duden - Deutsches Universalwörterbuch 2001 (Pengembangan kepribadian dengan memanfaatkan semua kemungkinan dan kemampuan yang dimiliki.)

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

10

berikutnya. Kondisi semacam ini menurut Seibring (2011) dalam editorialnya,

telah melahirkan penyakit masyarakat yang baru (eine neue Volkskrankheit) dalam

bentuk depresi (Depressionen) yang berakibat pada penurunan waktu kerja

(Fehlzeiten), dan akhirnya terjadi pensiun dini (Frühverrentungen).

Wacana tentang perubahan struktur dunia kerja yang disinyalir mulai

mencuat sejak awal dekade kedua pascareunifikasi seperti uraian di atas, menjadi

sangat relevan untuk dipertanyakan dan diteliti lebih lanjut guna memahami

aktualitalis tema Arbeit dalam masyarakat Jerman melalui karya sastra. Validitas

kajian semacam ini didasarkan pada pemahaman, bahwa karya sastra sebagai

fakta kultural yang lahir dan berkembang dalam sosiohistoris tertentu tidak hanya

dipahami sebagai gejala individual, tetapi juga sebagai gejala sosial (lihat Wellek

dan Warren, 1990; Becker, 2006; Faruk, 2012a). Di antara genre utama karya

sastra, genre prosalah, khususnya roman atau novel dianggap paling dominan

dalam menampilkan unsur-unsur sosial ini. Hal ini didasarkan pada ciri yang

ditampilkan oleh karya sastra semacam ini yang tidak hanya menampilkan unsur-

unsur cerita paling lengkap, memiliki media paling luas, menyajikan masalah-

masalah kemasyarakatan paling kompleks, tetapi juga kecenderungan roman atau

novel menggunakan bahasa sehari-hari yang paling umum digunakan dalam

masyarakat. Untuk itu, dipilih tiga roman Jerman yang lahir dalam rentang dekade

kedua pascareunifikasi. Ketiga roman yang dimaksud adalah: Das Jahr der

Wunder karya Reiner Merkel (2001); wir schlafen nicht karya Katrin Röggla

(2004); dan Mobbing karya Annette Pehnt (2007).

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

11

Ketiga roman di atas tidak hanya terbit dalam dekade kedua

pascareunifikasi, tetapi juga kekentalan tema Arbeit di dalamnya. Artinya, Arbeit

bukanlah sekedar tema sampingan (Nebenthema), tetapi menjadi tema utama

(Hauptthema). Di samping itu, ketiga roman tersebut dapat dikategorikan sebagai

roman realis10 yang tidak memberikan porsi lebih banyak terhadap imajinasi dan

idealisasi. Realitas yang dimaksud tidak hanya tergambar dari latar, plot ataupun

penokohannya saja, melainkan unsur-unsur realitas ini sudah terbaca sejak proses

penciptaan karya tersebut.

Reiner Merkel (lihat Knott, 2001) dalam sebuah interview

mengungkapkan bahwa tokoh Christian Schlier dalam romannya Das Jahr der

Wunder tidak lepas dari pengalamannya sebagai seorang pekerja di salah satu

Agentur. Annette Pehnt, penulis Mobbing mengungkapkan hal yang tidak jauh

berbeda. Hanya saja Pehnt terinspirasi dari pengalaman suaminya sendiri yang

tercermin dalam diri tokoh Joachim Rühler.11 Bahkan proses penulisan yang lebih

riil ditunjukkan oleh Kathrin Röggla yang terlebih dahulu melakukan semacam

penelitian sosial berupa interview secara intensif dengan orang-orang yang

bekerja dalam bidang Informationstechnologie (IT) dan konsultan perusahaan

(Beratungsfirmen) untuk kemudian diwujudkan dalam keenam figur dalam

romannya wir schlafen nicht.12

10 Dalam sastra Jerman, karya sastra realis ditemukan tersendiri dalam satu babakan kesusastraan yang dikenal dengan Realimus (1850-1890). Kata Realimus sendiri berasal dari bahasa Latin yang dipahami dalam bahasa Jerman sebagai Ding (hal), Sache (perihal) dan Wirklichkeit (kenyataan/realitas). Teks-teks yang ditampilkan patut dipercaya dan menggambarkan kenyataan. 11 Lihat: Mobbing ist psychologische Kriegsführung. Sumber: http://www.spiegel.de/kultur/literatur/autorin-annette-pehnt-mobbing-ist-psychologische-kriegsfuehrung-a-514650-druck.html, diunduh tgl. 27.09.2014. 12 Lihat: Kathrin Röggla: wir schlafen nicht. Sumber: www.veritas.at/vproduct/download/download/sku/OM_12593_21, diunduh tgl. 27.09.2014.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

12

Unsur-unsur realitas dalam karya juga tercermin dalam ketiga roman

tersebut. Jerman pascareunifikasi yang secara simultan masuk dalam era New

Economy, di mana sektor jasa (Diensleistungsbereich) menguasai tigaperempat

lapangan kerja yang ada13 terekam dalam ketiga roman ini. Tokoh-tokoh yang

ditampilkannya pun bekerja di sektor ini. Christian Schlier, tokoh utama dalam

roman Das Jahr der Wunder adalah seorang konseptor di Start-Up-Agentur

GFPD. Dalam roman Mobbing, tokoh Joachin Rühler bekerja di pemerintahan

kota (Stadtverwaltung) bagian kebudayaan (kulturelle Angelegenheiten) dan

istrinya adalah seorang penerjemah roman-roman Perancis ke dalam bahasa

Jerman di salah satu percetakan. Demikian halnya keenam tokoh yang tampil

dalam roman Wir schlafen nicht: Silke Mertens (usia 37 tahun, die Key Account

Managerin); Nicole Damaschke (24, die Praktikantin); Andrea Bülow (42,

sebelumnya tv-redakteurin sekarang online-redakteurin); Sven (34, der „nein,

nicht it-supporter); Oliver Hannes Bender (32, der „senior associate“); dan Herr

Gehringer (48, der Partner).

Berdasarkan profil pekerjaan para tokoh yang hadir dalam tiga roman

tersebut, secara sekilas dapat dipahami bahwa mereka memiliki kualifikasi

pendidikan yang relatif tinggi dan hampir dapat dipastikan, bahwa mereka adalah

alumni perguruan tinggi (kecuali Nicole Damaschke yang masih dalam tahap

pendidikan dan sedang melakukan praktek lapangan sebagai Praktikantin dalam

roman wir schlafen nicht). Kondisi ini tentu terlihat kontras dengan kondisi pada

umumnya, di mana yang lebih banyak mengalami masalah dengan pekerjaan

13 Lihat: Dienstleistungen. Sumber: http://www.bmwi.de/DE/Themen/Mittelstand/Mittelstandspolitik/dienstleistungen,did=239886.html, diunduh tgl. 30.09. 2014.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

13

adalah mereka yang memilki kualifikasi pendidikan yang relatif rendah. Dari

kenyataan ini mulai memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Apakah pendidikan

yang selama ini diyakini sebagai jaminan dalam menempuh kehidupan dunia kerja

sudah tergoyahkan? atau apakah jenis pekerjaan untuk mereka yang berkualifikasi

tinggi sangat terbatas dan mereka tidak rela bekerja di luar kualifikasinya?

Dari segi isi cerita, roman Mobbing menampilkan tokoh Joachim Rühler

yang harus merasakan bagaimana pedihnya menjadi pengangguran yang tersisih

dan terbuang dari kehidupan. Namun di sisi lain, dua roman lainnya (baca: Das

Jahr der Wunder dan wir schlafen nicht) menampilkan tokoh-tokohnya yang

sukses dalam karier, tetapi mereka sesungguhnya merasa terpenjara dalam

pekerjaannya. Mereka dituntut tidak hanya bekerja yang banyak, tetapi mereka

diharuskan bekerja ekstra banyak. Gambaran ini sudah terlihat dari judul roman

wir schlafen nicht yang artinya “kami tidak tidur“. Bahkan tokoh protagonis

roman Das Jahr der Wunder tak pernah sekalipun menikmati matahari terbit

(Sonnenaufgang) di pagi hari karena kelelahan bekerja sepanjang malam.

Melihat kenyataan yang tergambar dalam ketiga roman ini, mengingatkan

peneliti terhadap konsep awal Arbeit yang identik dengan perbudakan (lihat:

subbab 2.1 Dinamika Pemaknaan Arbeit sebagai sebuah Konsepsi). Apakah

konsep semacam ini kembali lahir dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda

dan akhirnya semakin mengokohkan pertarungan antara kelas seperti dalam

kacamata Marxisme? atau mungkin saja kelahiran teknologi menjadi penyebab

semua ini dan semakin menguatkan kecaman Herbert Marcuse (lihat: subbab 1.5.2

Arbeit dan Lahirnya Masyarakat Satu Dimensi) terhadap teknologi yang

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

14

sesungguhnya telah membantu memperbudak dan menindas individualitas

sehingga tercipta masyarakat berdimensi satu yang kehilangan daya kritisnya.

Dari sejumlah kontradiksi yang melahirkan serangkaian pertanyaan seperti

terurai di atas, semakin mengokohkan bahwa kajian tentang tema Arbeit dalam

tiga roman yang lahir dalam dekade kedua pascareunifikasi ini, tidak hanya

semakin menarik untuk diteliti lebih lanjut, tetapi juga menjanjikan sebuah hasil

kajian yang lebih komprehensif mengingat keunikan karya sastra yang tidak

hanya memotret kehidupan figur-figur yang ditampilkannya, tetapi juga

memberikan ruang seluas mungkin bagi mereka (baca: tokoh-tokoh) untuk

mengungkap dan berbicara mengenai diri dan lingkungannya, sehingga

pemahaman yang diperoleh tidak hanya sampai pada tataran luar semata, tetapi

jauh ke dalam diri individu sebagai bagian dari suatu kelompok masyarakat.

Untuk itu mempertanyakan Arbeit -yang notabene sudah merupakan suatu

konsepsi yang mapan dalam sebuah negara modern seperti halnya Jerman-

melalui karya sastra, tidak hanya layak tetapi juga penting untuk dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas dapat dipahami, bahwa

pascareunifikasi yang simultan dengan kehadiran era New Economy telah

membawa Jerman memasuki babak baru khususnya dalam bidang ekonomi (baca:

Arbeit). Sektor manufaktur yang sebelumnya menguasai pasar kerja di Jerman

telah digeser oleh sektor pelayanan (Dienstsleistungsbereiche). Pemanfaatan

teknologi mutakhir dan daya inovasi menjadi kunci keberhasilan. Hal ini

membawa dampak terhadap terjadinya perubahan struktur dunia kerja

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

15

(Strukturwandel der Arbeitswelt) di Jerman. Dalam era ini, Arbeit telah menjelma

menjadi „jimat“ (Fetisch) dalam masyarakat (Merkel dalam Ebbinghaus, 2001).

Setiap individu –bahkan yang memiliki kualifikasi pendidikan tinggi sekalipun-

tidak lepas dengan masalah Arbeit. Di satu sisi, mereka yang kehilangan Arbeit

akan merasa terbuang dan tersingkirkan, sementara di sisi lain, mereka yang

bekerja akan terpenjara dalam pekerjaannya. Kenyataan dan dilema inilah yang

tertangkap dalam ketiga roman yang menjadi korpus penelitian. Dengan

demikian, konsepsi Arbeit yang telah dianggap mapan dalam sebuah negara

modern seperti halnya Jerman ternyata masih harus terus dipertanyakan. Lantas

apa sesungguhnya yang ditawarkan oleh ketiga roman tersebut sebagai respon

terhadap kondisi masyarakat yang telah melahirkannya itu, baik berupa negasi,

inovasi ataupun afirmasi sebagai bentuk hubungan hakiki antara karya sastra

dengan masyarakatnya. Respon yang tertuang dalam ketiga roman tersebut tentu

menjadi sarana utama dalam memahami kondisi kekinian dunia kerja dan

ideologi pengarang sebagai kreator penting dan wakil dari kelompoknya yang

mampu mengkombinasikan antara fakta-fakta dalam masyarakat dengan ciri-ciri

fiksional sebuah karya sastra.

Untuk sampai pada uraian jawaban permasalahan di atas, maka

pertanyaan-pertanyaan penelitian yang hendak dijawab melalui penelusuran lebih

lanjut terhadap korpus penelitian adalah:

1. Bagaimana pemahaman konsepsi Arbeit sebagai tema-budaya yang

tertuang dalam ketiga roman tersebut?

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

16

2. Aspek-aspek apa saja yang dominan mendapatkan kritikan dari masing-

masing pengarang terkait dengan konsepsi Arbeit dalam ketiga roman

tersebut?

3. Apa dan di mana posisi ideologis para pengarang dalam menanggapi

situasi dunia kerja pada dekade kedua pascareunifikasi dan mengapa

posisi ideologi tersebut yang dipilih?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Jawaban atas pertanyaan penelitian di atas akan bermuara pada pencapaian

tujuan penelitian yang secara umum akan memberikan pemahaman yang lebih

komprehensif tentang respon karya sastra terhadap situasi dunia kerja atau

Arbeitswelt di Jerman khususnya dalam dekade kedua pascareunifikasi. Tujuan

lain dari penelitian ini adalah untuk memetakan posisi ideologis masing-masing

pengarang dalam menyikapi dinamika dan proses perkembangan konsepsi Arbeit

pascareunifikasi di Jerman.

Adapun manfaat teoritis yang bisa diperoleh dari hasil penelitian ini adalah

pengembangan kajian-kajian kesastraan yang memanfaatkan pendekatan

sosiologi sastra guna memahami secara lebih utuh eksistensi manusia baik sebagai

individu maupun sebagai kelompok sosial yang berkaitan dengan tema Arbeit

pada khususnya dan tema-budaya lain pada umumnya.

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu acuan ataupun

bandingan dalam menyikapi masalah dunia ketenagakerjaan di tanah air yang

tidak hanya berfokus pada aspek pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan

angka-angka statistik, namun mengabaikan aspek-aspek humanis dan

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

17

mengorbankan sebagian besar manusia sebagai pelaku ekonomi, baik secara fisik

maupun psikis. Dalam konteks bilateral Jerman-Indonesia, hasil penelitian ini

diharapkan menjadi pembuka dialog antarbudaya guna melahirkan kehidupan

yang lebih toleran di era global dewasa ini.

1.4 Tinjauan Pustaka

Tema Arbeit merupakan salah satu tema yang memiliki tradisi panjang

dalam kesusastraan Jerman. Bahkan sejak abad pertengahan (Mittelalter) tema

Arbeit telah menjadi topos dalam dunia sastra Jerman seperti yang diuraikan oleh

Gentry (1978) dalam tulisannya Arbeit in der mittelalterlichen Gesellschaft. Die

Entwicklung einer Theorie der Arbeit vom 11. bis zum 14. Jahrhundert. Dalam

berbagai periode kesusastraan Jerman baik pada periode Weimar Klasik,

Realismus dan Natularismus, tema Arbeit ini memiliki bentuk dan pola tersendiri

(Fetscher, 2008; Berghahn/Müller, 1979). Demikian halnya dengan kesusastraan

Jerman pada abad ke 20 telah menjadikan Arbeit sebagai salah satu tema dalam

berbagai genre sastra. Kehadiran karya Ernst Jünger Der Arbeiter, Herrschaft und

Gestalt pada tahun 1932 menurut Eggerstorfer (1988) –dalam bukunya

Schönheit und Adel der Arbeit: Arbeitsliteratur im Dritten Reich- menjadi titik

awal munculnya tema Arbeit dalam era Nationalsozialismus atau NAZI yang

menggambarkan Arbeit sebagai kekuatan dasar pembebasan atau eine elementare,

befreiende Kraft.

Akibat perang dunia kedua (1939-1945), Jerman harus terbagi menjadi dua

negara yakni Deutsche Demokratische Republik (DDR) yang dikenal dengan

Jerman Timur dan Bundesrepublik Deutschland (BRD) atau Jerman Barat dari

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

18

tahun 1945 sampai tahun 1990. Di kedua negara pecahan ini, tema Arbeit tetap

menjadi topos dalam nuansa yang berbeda. Di wilayah Jerman Timur, tema Arbeit

senantiasa mewarnai karya-karya sastra yang hadir hingga penyatuan Jerman

kembali atau Wiedervereinigung sejak tahun 1990. Situasi yang berbeda terjadi di

Jerman Barat, Arbeit tidak lagi menjadi tema sentral dalam dunia sastra kira-kira

sejak akhir tahun 1970-an seperti uraian Nowak (1977) dalam tulisannya Arbeiter

und Arbeit in der westdeutschen Literatur 1945-1961. Namun dalam tahun 1990-

an atau dalam era Jerman bersatu tema Arbeit kembali mencuat dan menjadi

wacana sentral dalam kehidupan masyarakat.

Sejalan dengan perkembangan masyarakat seperti uraian di atas, sejak

pertengahan tahun 1990-an ditemukan banyak karya sastra di Jerman yang

mengangkat tema Arbeit dan tidak sekedar menjadi kategori “akibat”

(Residualkategorie), melainkan menjadi topos utama. Di wilayah Jerman Timur

ditemukan penulis-penulis kritis yang mengangkat tema Arbeit dalam karya-

karyanya, di antaranya Angela Krauß yang menulis roman Sommer auf dem Eis

pada tahun 1998, Christoph Hein (2000) dengan romannya Willenbrock, Volker

Braun (2008) dengan roman Machwerk oder Das Schichtbuch des Flick von

Lauchhammer. Di samping itu, Hein dan Braun banyak mementaskan karya-

karya drama bertema Arbeit dalam satu dekade terakhir. Juga ada beberapa

penulis yang telah meninggalkan Jerman Timur sejak tahun 1980-an seperti Katja

Lauge-Müller (2000) yang menulis roman Die Letzten atau Monika Maron (2002)

dengan roman Endmoränen.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

19

Dalam bentuk pamplet juga ditemukan ulasan-ulasan yang mengangkat

tema Arbeit seperti dalam pamplet Bert Papenfuß-Gorek (2001) Haarbogensturz.

Versuche über Staat und Welt. Pada tahun 2004, Papenfuß-Gorek juga telah

menerbitkan antologi puisi berjudul Rumbalotte. Dalam hubungannya dengan era

New Economy dan situasi dunia kerja di Jerman pada dekade kedua

pascareunifikasi, di samping ketiga roman yang menjadi korpus dalam penelitian

disertasi ini -Das Jahr der Wunder (Merkel, 2001), Wir schlafen nicht (Röggla,

2004), dan Mobbing (Pehnt, 2007)- juga ditemukan dalam roman Wenn wir

sterben karya Ernst-Wilhelm Händler (2002). Dalam roman Rolf Dobelli (2004)

Und was machen Sie beruflich? juga mengangkat tema Arbeit dengan

menggambarkan seorang figur protagonis yang mencoba memberi arti dari

kehidupannya di luar dunia kerja. Hal yang sama juga ditemukan dalam roman

Herr Jansen steigt aus karya Jakob Hein yang terbit pada tahun 2006.

Dari paparan beberapa roman yang mengangkat tema Arbeit terlihat

adanya kesatuan pandangan bahwa tokoh-tokoh protagonis yang ditampilkan

sepertinya tidak memiliki „kehidupan“ selain di dunia kerja dan jika ditelusuri

lebih jauh terlihat ada dua tendensi kuat yang mewarnai karya-karya sastra

modern Jerman yang mengangkat tema Arbeit. Pertama adalah kritik terhadap

dunia kerja yang masih belum memberikan solusi. Kehadiran karya-karya sastra

trivial di tahun 1990-an yang mengusung ideologi Selbstverwirklichung dalam

dunia kerja mendapat kritikan dari karya-karya sastra murni dengan menampilkan

fakta-fakta sederhana yang memberikan pencerahan tentang „kekosongan“

ideologi ini. Namun demikian bukan berarti bahwa kedua konsep ini

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

20

dipertentangkan satu sama lain. Tendensi kedua adalah kritikan karya-karya sastra

Jerman terhadap dunia kerja dituangkan secara estetis dengan lebih

mengedepankan karakter dokumentasi dibandingkan dengan analitis.

Kehadiran tema Arbeit dalam kesusastraan Jerman, juga terlihat semakin

intens dibahas dalam berbagai forum-forum akademik14 atau dituangkan dalam

bentuk tulisan, baik berupa buku maupun jurnal-jurnal institusional dengan

dimensi yang lebih luas. Hubungan antara ekonomi dan sastra yang mendapat

perhatian semakin intens dalam beberapa tahun terakhir ini terlihat misalnya

dalam buku: Kopf oder Zahl. Die Poesie des Geldes (Hörisch,1996); Kalkül und

Leidenschaft. Poetik des ökonomischen Menschen (Volg, 2002);

Tauschverhältnisse: Zur Ökonomie des Literarischen und zum Ökonomischen in

der Literatur von Gellert bis Goethe (Wegmann, 2002). Pada tahun 2007 juga

telah diterbitkan sebuah bunga rampai Arbeit-Kultur-Identität. Zur

Transformation von Arbeitschlandschaften in der Literatur oleh Kift dan Palm.

Bunga rampai ini membahas bagaimana peran sastra dalam menyikapi perubahan

drastis dunia kerja di Jerman. Di tahun 2008 setidaknya ada dua bunga rampai

yang diterbitkan yakni: Ökonomien der Armut. Soziale Verhältnisse in der

Literatur oleh Brüns yang mengupas berbagai perspektif kemiskinan di Jerman

dalam tinjauan historis dan Gedächtnis und Identität. Die deutsche Literatur nach

der Vereinigung oleh Cambi yang menyoroti masalah identitas dalam karya sastra

14 Pada Januari 2006 di Berliner Literaturhaus. Seminar. Tema: Literarische Kritik der ökonomischen Kultur. Zur Rückkehr der Arbeitswelt in die Literatur (Kritik sastra dalam budaya ekonomi. Mengembalikan dunia kerja ke dalam sastra). 15 April sampai 15 Juli 2007 di Universität Hamburg. Vortragsreihe (Serangkaian Diskusi). Tema: Denn wovon lebt der Mensch? Literatur und Wirtschaft: Eine Bestandaufnahme. (Karena dari mana manusia hidup? Sastra dan Ekonomi: Sebuah Pencatatan). Di Universität Salzburg. Semester Musim Dingin 2010. Vortragsreihe. Tema: Literatur und Ökonomie.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

21

Jerman setelah penyatuan kembali. Salah seorang kritikus sastra Jerman, Viviana

Chilese dalam bunga rampai ini menyoroti secara spesifik kehidupan dunia kerja

dalam nuansa kesusastraan Jerman masa kini dengan judul tulisan Menschen im

Büro: Zur Arbeitswelt in der deutschen Gegenwartsliteratur. Hempel dan Künzel

(2009) juga mengeluarkan bunga rampai yang berusaha mengulas kilas-balik

ekonomi Jerman dengan judul Denn wovon lebt der Mensch? Literatur und

Wirtschaft. Salah satu tulisan yang ditampilkan dalam bunga rampai ini adalah

ulasan dari Peter von Matt Der Chef in der Krise. Zur Inszenierung des

Unternehmers in der Literatur yang menyoroti hubungan antara pekerja dan

perusahaan yang tergambar dalam beberapa karya sastra pilihan.

Kajian terhadap karya sastra dengan melihat keterkaitannya dengan

perkembangan dunia kerja dewasa ini juga telah dipaparkan oleh Heimburger

(2010) dalam bukunya Kapitalistischer Geist und literarische Kritik.

Arbeitswelten in deutschsprachigen Gegenwartstexten. Dalam bukunya ini,

Heimburger menguraikan tentang respon karya sastra (roman dan drama) terhadap

lahirnya sistem produksi Fordisme dan Postfordisme. Kedua sistem ini ternyata

mendapat kritikan keras dalam dunia sastra dengan melihat kedua sistem ini yang

ternyata tidak menempatkan kaum pekerja dalam posisi yang sepatutnya.

Dari uraian kajian pustaka ini terlihat bahwa tema Arbeit dalam karya

sastra Jerman bukan merupakan hal baru dalam dunia sastra Jerman. Bahkan

interes terhadap bidang ekonomi dewasa ini semakin kuat, terlihat dari semakin

banyaknya karya sastra modern bertema ekonomi (baca: Arbeit). Hal ini

sesungguhnya semakin menunjukkan pentingnya penelitian yang lebih intensif

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

22

guna melihat keterkaitan antara sastra dan bidang ekonomi. Di samping itu,

kekayaan hasil penelitian sebelumnya dapat memberikan landasan kuat untuk

meneliti beberapa aspek yang mungkin belum tersentuh sebelumnya dalam

perspektif yang berbeda seperti hasil penelitian Susanne Heimburger (2010) yang

menyoroti dua objek materil yang sama dalam penelitian ini (Das Jahr der

Wunder karya Reiner Merkel dan wir schlafen nicht karya Kathrin Röggla).

Heimburger dalam kajiannya lebih banyak menyoroti aspek formal berupa

penokohan dan kajian kebahasaan dalam kedua roman tersebut. Namun dalam

penelitian ini diberikan penekanan berbeda dengan memfokuskan kajian tematik

terhadap konsepsi Arbeit khususnya dalam dekade kedua pascareunifikasi dengan

memanfaatkan tiga roman dengan karakter dan sudut pandang beragam di bawah

payung sosiologi sastra.

1.5 Landasan Teori

Berdasarkan uraian sebelumnya pada bagian latar belakang masalah,

secara eksplisit terlihat adanya upaya pemanfaatan karya sastra guna memahami

konsepsi Arbeit sebagai salah satu tema-budaya dalam masyarakat Jerman dan

mengkaji kritikan dan ideologi yang diusung oleh ketiga pengarang dalam

menyikapi perubahan struktur dunia kerja pada dekade kedua pascareunifikasi.

Hal ini mengisyaratkan bahwa karya sastra dipandang sebagai bagian integral dari

sistem sosial. Karya sastra dipahami sebagai produk dari sebuah jalinan antara

bahasa dan masyarakat yang berkembang dalam kondisi politik dan ekonomi

tertentu. Dengan demikian perkembangan kehidupan sosialbudaya dan

sosialpolitik dalam suatu masyarakat diyakini telah ikut mewarnai isi dan nilai-

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

23

nilai estetik suatu karya sastra. Karya sastra sebagai hasil kerja manusia yang

dilahirkan dalam kerangka sosiohistoris tertentu akhirnya juga harus dipahami

dalam kerangka yang sama. Pengalaman penulis sebagai subjek kreator yang

tertuang dalam karya sastra dengan demikian tidak dipandang sebagai pengalaman

otonom yang bersifat individual, melainkan cerminan dari hasil interaksi sosial

seorang penulis (die gesellschaftliche Erfahrung des Autors). Dasar pemahaman

ini memberikan konsekuensi terhadap status karya sastra yang tidak lagi

dipandang sebagai suatu produk yang otonom, melainkan sebagai ekspresi atau

perwujudan masyarakat baik secara kultural maupun sosial. Karya sastra secara

implisit merupakan referensi dari kenyataan di luar teks atau realitas sosial (lihat

Becker, 2006: 238-241). Pemahaman semacam ini merupakan dasar pijakan yang

melahirkan pendekatan sosiologi dalam bidang sastra yang dikenal dalam tradisi

kritik sastra Jerman dengan istilah Sozialgeschichte der Literatur.

Sebagai kajian yang menggunakan pendekatan sosiologi sastra, penelitian

disertasi ini menggunakan beberapa konsepsi di luar bidang sastra yang berkenaan

dengan variabel-variabel penelitian. Untuk itu pada bagian landasan teori ini akan

diuraikan terlebih dahulu konsepsi Arbeit sebagai tema-budaya dalam sastra untuk

kemudian masuk ke uraian tentang Arbeit sebagai sebuah konsepsi.

1.5.1 Arbeit sebagai Tema-Budaya dalam Sastra

Tidak bisa dipungkiri, bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi dewasa ini telah mengantar manusia masuk dalam era globalisasi.

Dalam era ini, kontak antar manusia dari berbagai latar budaya berbeda tidak

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

24

terhindarkan. Rela atau tidak rela, baik karena alasan pekerjaan ataupun alasan

pribadi, akan semakin banyak manusia hidup dalam lingkungan budaya yang

asing baginya (in fremden Kulturen). Hal ini juga diperkuat dari hasil pengalaman

sejarah manusia yang menunjukkan bahwa tak satu pun kebudayaan mampu

bertahan dalam isolasi budayanya dan tak satu pun negara di dunia ini memiliki

etnis homogen. Untuk itu Wierlacher dan Albrecht (1995) menyebut juga era ini

sebagai Epoche der Internaliesierung atau babak internalisasi:

“Wir leben in einer Epoche der Internalisierung unserer geistigen, wirtschaftlichen, politischen, wissenschaftlichen und persönlichen Kontakte. Sehr viele Menschen werden in Zukunft freiwillig oder unfreiwillig einer Berufstätigkeit innerhalb einer für sie fremden Kultur nachgehen und täglich mit Ausländern interagieren und kooperieren müssen.“ Wierlacher dan Albrecht (1995: 9).

Kita hidup dalam babak internalisasi hubungan, baik yang bersifat mental, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, maupun hubungan yang bersifat pribadi. Di masa-masa mendatang, rela atau tidak akan semakin banyak orang yang hidup dalam budaya asing dan setiap hari harus bekerja sama dengan orang asing.

Kontak antarmanusia dari latar budaya berbeda tentu akan melahirkan

berbagai macam kemungkinan. Secara sederhana dapat terlihat adanya

kemungkinan-kemungkinan yang bersifat oposisional misalnya, keberterimaan

atau penolakan, kedamaian atau konflik dan berbagai kemungkinan-kemungkinan

lainnya.

Dalam konteks Jerman, baik secara teritorial maupun kultural, kondisi

semacam ini telah menjadi perhatian dalam berbagai kajian keilmuan sejak

beberapa dekade terakhir. Salah satu bidang ilmu yang berhubungan langsung

dengan masalah kontak budaya ini adalah Germanistik yang fokus kajiannya pada

bahasa dan sastra Jerman. Untuk itu dalam pengembangan kajian keilmuannya,

Page 25: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

25

Germanistik tidak lagi hanya memfokuskan diri pada Germanistik an sich, tetapi

melibatkan kajian-kajian yang bersifat lintas budaya yang dikenal sebagai

Interkulturelle Germanistik.

Budaya sebagai objek kajian interkulturelle Germanistik tentu memiliki

kompleksitas yang tinggi. Untuk mengurai kompleksitas ini dan merangsang

munculnya pola pemikiran perbandingan budaya, interkulturelle Germanistik

memanfaatkan konsep tematologi atau thematics yang sudah lama dikenal di

wilayah-wilayah berbahasa Perancis dan Inggris seperti yang ditawarkan oleh

Hudson-Wiedenmann (2003) dalam tulisannya Kulturthematische

Literaturwissenschaft (tema-budaya dalam kajian ilmu sastra). Tema-tema yang

layak untuk dikaji menurut Hudson-Wiedenmann adalah tema-tema yang bisa

ditransfer. Artinya tema-tema tersebut juga ditemukan di budaya-budaya lain.

Untuk menemukan tema-tema pilihan yang tepat, Hudson-Wiedenmann mengutip

teori Themes of Culture atau Kulturthemen (Jer.) yang diterjemahkan dalam

penelitian disertasi ini sebagai tema-budaya yang dikembangkan oleh seorang

sosioantropolog asal Amerika pada pertengahan tahun 1940 bernama Morris E.

Opler. Menurut Opler (1969: 609-611), tema-budaya adalah tema-tema yang hadir

dalam semua budaya dan merupakan suatu sikap mental yang secara dinamis, baik

secara eksplisit maupun implisit, mempengaruhi aktivitas yang terimplementasi

dalam bentuk tindakan dan keyakinan baik berupa tingkah-laku, larangan-

larangan, anjuran-anjuran, dan semacamnya. Tema-budaya-tema-budaya ini

menurut Opler muncul di setiap budaya dan nantinya akan saling melengkapi,

bahkan membentuk suatu sistem hubungan antartema. Lebih lanjut Opler

Page 26: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

26

menjelaskan bahwa tema-budaya merupakan bentuk-bentuk kompleks dari suatu

budaya dalam suatu rentang waktu. Dengan demikian, suatu tema-budaya

merepresentasikan prinsip-prinsip dasar atau tendensi hakiki suatu budaya.

Kehadiran tema-budaya itu sendiri menurut Opler dapat teridentifikasi

melalui intensitas kemunculannya dalam praktik kehidupan dan tema-tema ini

juga tidak muncul secara singular, melainkan hadir dalam hubungannya dengan

sub-sub tema ataupun tema-tema yang berlawanan (Gegenthemen). Dengan

demikian, pembacaan secara interrelation and balance of themes lanjut Opler

menjadi sangat penting, karena hanya dengan penelusuran hubungan antartema

dan lawan tema akan mampu mengungkap prinsip-prinsip hakiki suatu budaya.

Pertanyaan selanjutnya adalah tema-tema apa saja yang dapat

dikategorikan sebagai tema-budaya seperti uraian Opler di atas. Bagaimana

halnya dengan tema Arbeit. Jawaban atas pertanyaan ini diuraikan secara

gamblang oleh Wierlacher dalam Handbuch Interkulturelle Germanistik:

“Besonders geeignet für eine interkulturelle Germanistik sind jene Kulturthemen, die in den öffentlichen Diskursen zugleich auf universelle Probleme verweisen, in der interkulturellen Fremderfahrung konstitutive Bedeutung haben und weltweit Anknüpfungsmöglichkeiten bieten. Zu solchen Themen gehören heute kulturantropologische Problemfelder wie das Verhältnis von Eigenem und Fremdem, der Lebensunterhalt, die Toleranz, die Arbeit, das Wohnen, das Essen oder die Gesundheit und die Religion. Solch transdisziplinäre und interdisziplinäre Kulturthemenforschung ist zugleich eine Bedingungsforschung interkulturelle Kommunikation“ (Wierlacher, 2003: 14).

Tema-tema budaya sangat relevan dalam kajian Germanistik interkultural, karena tema-tema ini mampu menyajikan keuniversalan masalah, memberikan pengalaman yang lebih menyeluruh dan mampu menawarkan jaringan yang lebih luas. Tema-tema dalam bidang antropologi budaya seperti hubungan antara the self dan the other, pemenuhan kebutuhan hidup, toleransi, kerja, tempat tinggal, makanan atau kesehatan, dan agama

Page 27: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

27

masuk dalam kategori tema-budaya. Kajian tema-budaya yang bersifat transdisiplin dan interdisiplin juga merupakan dasar dalam kajian komunikasi antarbudaya.

Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa tema-budaya menjadi sangat

penting karena mampu menunjukkan universalitas suatu masalah dengan nilai-

nilai fundamentalnya. Di samping itu, tema-budaya juga memiliki daya jaring

yang luas (weltweit Anknüpfungsmöglichkeit), karena hadir di setiap bentuk

kebudayaan. Wierlacher kemudian menyebutkan beberapa tema yang

dikategorikannya sebagai tema-budaya, yakni Toleranz (toleransi), Arbeit (kerja),

Wohnen (tempat tinggal), Essen (makanan), Gesundheit (kesehatan), dan Religion

(agama).

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa tema Arbeit merupakan

salah satu contoh tema-budaya dan olehnya itu Arbeit diharapkan menjadi pintu

masuk untuk memahami pola pikir, perasaan, keinginan dan akhirnya menuju

kepada pemahaman mentalitas yang spesifik dari suatu kebudayaan atau suatu

babakan kebudayaan dalam hal ini Jerman sebagai budaya tujuan (Zielkultur).

Sebagai tema-budaya, Arbeit juga merupakan salah satu tema penting

dalam dunia sastra Jerman (lihat Daemrich, 1995).15 Tema sebagai fondasi dalam

penciptaan karya sastra atau Grundbausteine literarischer Werke tidak hanya

memperkuat struktur suatu teks, tetapi juga memberikan sinyal kuat terhadap

orientasi dalam proses pembacaan menuju kepada pemahaman suatu teks. Tema

dalam teks memiliki fungsi imperatif yang menghadirkan asosiasi-asosiasi yang

menuntun pembaca untuk lebih dekat terhadap pemaknaan suatu teks dan menguji 15 Pembahasan tentang tema Arbeit dalam sastra Jerman juga tergambar pada bagian tinjauan pustaka dalam disertasi ini.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

28

gambaran-gambaran analogi pembaca. Jadi sebuah tema menghadirkan ruang

dialog antara pembaca dan teks. Dengan cara kerja yang demikian, tema akan

memperluas dan mempertajam daya tangkap seorang pembaca.

Dalam studi sastra komparatif, para pakar baik di Jerman, Inggris, Perancis

maupun Amerika Serikat pada umumnya sepakat bahwa ide utama suatu karya

mengakar kuat dalam tema: [...], daß im Thema die zentrale Idee eines Werkes

verankert ist. (Daemmrich, 1995: xxii) dan ide utama ini bisa ditemukan baik

melalui pengungkapan secara konseptual dalam teks maupun tergambar melalui

perkembangan karakter figur dalam cerita, seperti yang dikemukakan oleh Levin

dan Schulze dalam Daemmrich (ibid): [...], daß diese Grundgedanke entweder im

Text begrifflich angesprochen wird oder aus der Figurenentwicklung abzulesen

ist. (bahwa ide utama bisa ditemukan baik secara konseptual di dalam teks,

maupun melalui perkembangan karakter figur).

Lebih rinci Daemrich (1995) memaparkan bahwa tema dalam karya sastra

sesungguhnya menyajikan sebuah karakter dasar manusiawi, memberikan

pemahaman tentang hakekat keberadaan sesuatu, menyatukan antara perasaan,

kesadaran dan kebutuhan. Tema juga mengaktualisasikan harapan dan juga

kecemasan, serta mempertegas gambaran fantasi manusiawi yang kembali

muncul. Jadi tema merupakan sumber informasi tentang pola pikir kolektif yang

menautkan antara kehidupan aktual dan apa yang telah terbentuk dalam sebuah

tradisi. Dengan demikian sifat sebuah tema akan selalu dinamis, karena dia

Page 29: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

29

merupakan bagian integral dari proses perubahan yang terus-menerus terjadi.16

Dengan dasar ini dapat dipahami bahwa dengan tema tertentu, sebuah karya sastra

dapat dilahirkan oleh seorang pengarang, bahkan dari intensitas kehadirannya,

tema pun mampu membentuk tradisi tersendiri yang melahirkan babakan baru

dalam periodesasi sastra.

1.5.2 Arbeit dan Lahirnya Masyarakat Satu Dimensi

Kehadiran Arbeit sebagai tema-budaya dalam karya sastra seperti

diuraikan di atas semakin menegaskan pentingnya tema ini dalam kehidupan

masyarakat manusia. Dengan demikian tidaklah mengherankan, jika dalam kajian

sosiologi baik klasik maupun modern menempatkan Arbeit sebagai bagian

integral pembentukan teori dalam rangka memahami secara lebih akurat hakikat

masyarakat manusia. Pemahaman ini terlihat jelas dalam kerangka teoritis

pemikiran marxisme.

Kehadiran Arbeit memang tidak bisa dipisahkan dari konsep besar Karl

Marx (1818-1883). Marx secara jelas memulai analisis-analisisnya tentang

masyarakat dengan menguraikan bagaimana hubungan hakiki antara manusia

dengan Arbeit. Arbeit dalam pandangan Marx adalah sesuatu yang bersifat

esensial spesies dan potensi manusia. Arbeit dan manusia adalah dua hal yang

sangat terkait, karena esensi keberadaan manusia terletak pada Arbeit.

16Außerdem erfassen sie prinzipiell menschliche Verhaltensweise. Sie vermitteln Grunderfahrungen des Daseins, erschließen die Zusammenhänge zwischen Empfindungen, Bewußtsein und Bedürfnissen; sie vergegenwärtigen sowohl die Hoffnungen wie auch Angstvorstellungen und beleuchten wiederkehrende menschliche Phantasiegebilde. [...]. Sie geben Auskunft über kollektive Denkformen und Zusammenhänge, die sowohl im Leben gegeben sind als auch in der Tradition gestaltet wurden. Sie sind dynamisch, denn sie haben teil am Vorgang ständiger Neugestaltung. (Daemrich, 1995: xii).

Page 30: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

30

Kemampuan manusia berinteraksi dengan alam kemudian mengubahnya sesuai

dengan kebutuhannya merupakan wujud dari proses mengubah hakikat dari diri

manusia itu sendiri. Hal ini dapat terjadi karena proses kerja dalam diri manusia

menurut Marx bergerak dari alam imajinasinya untuk kemudian diwujudkan

dalam bentuk materi dengan tujuan-tujuan tertentu (Ritzer, 2012: 84). Dari

pandangan Marx ini terlihat dengan jelas bahwa proses kerja dalam diri manusia

tercipta melalui apa yang disebut dengan objektivasi pemikiran-pemikiran bagian

dalam ke objek-objek luar. Kerja yang demikian ini adalah kerja material yang

bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Jadi Arbeit atau kerja dalam

pemikiran Marx tidak sekedar mentransformasi aspek-aspek material alam, tetapi

sekaligus mentransformasi diri kita, termasuk kebutuhan-kebutuhan kita,

kesadaran kita, dan hakikat diri kita sebagai manusia. Perlu dipahami bahwa

konsepsi Arbeit yang dimaksud oleh Marx tidak terbatas pada kegiatan-kegiatan

ekonomi semata, namun menyangkut seluruh tindakan produktif yang mengubah

aspek material alam sesuai dengan maksud manusia, karena apapun yang

dilakukan melalui kegiatan yang memiliki maksud termasuk kegiatan dalam

bidang seni, itu sesungguhnya merupakan ungkapan hakikat kemanusiaan kita dan

juga transformasi terhadapnya.

Eksistensi Arbeit sesungguhnya merupakan reaksi atau tanggapan terhadap

suatu kebutuhan, dan transformasi yang dihasilkan oleh Arbeit juga

mentransformasi kebutuhan-kebutuhan kita. Kepuasan terhadap kebutuhan-

kebutuhan kita dapat menyebabkan terciptanya kebutuhan-kebutuhan baru (Ritzer,

2012: 86). Semua rangkaian kerja ini tidaklah bersifat individual semata,

Page 31: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

31

melainkan senantiasa melibatkan orang lain, sehingga Arbeit dipahami sebagai

suatu kegiatan sosial. Dengan demikian Arbeit tidak hanya mentransformasi

manusia individu, tetapi juga mentransformasi masyarakat. Transformasi dari

kebutuhan-kebutuhan melalui Arbeit inilah yang menjadi mesin sejarah manusia

yang akan terus berlangsung. Pemahaman inilah yang kemudian menjadikan

konsepsi Marx tentang sejarah manusia dikenal dengan istilah historical

materialism atau historische Materialismus (materialisme historis).

Hubungan Arbeit dan hakikat manusia seperti diutarakan di atas, dalam

perkembangan selanjutnya –masyarakat industri- menurut Marx telah disesatkan

oleh kapitalisme. Dalam masyarakat kapitalis, Arbeit atau kerja tidak lagi sebagai

pengungkapan suatu maksud dan tidak ada lagi objektivasi di dalamnya. Yang

ditemukan kemudian adalah kita bekerja sesuai dengan maksud pemilik modal

yang menggaji kita dan bukan sesuai dengan maksud kita sebagai manusia yang

bebas. Kerja dalam masyarakat kapitalis menjadi alat bagi suatu tujuan yaitu

memperoleh “uang”. (Ritzer, 2012: 87). Kerja akhirnya bukan milik kita sendiri,

kerja tidak lagi mengubah kita. Kita teralienasi atau terasing dari kerja kita yang

artinya kita teralienasi dari hakikat kemanusiaan kita.

Konsep alienasi ini menurut Marx merupakan efek yang diproduksi oleh

kapitalis yang menghancurkan manusia dan masyarakat. Lahirnya struktur

masyarakat dengan dua kelas yakni kelas pekerja atau proletar dan kelas pemilik

modal atau borjuis, membuat kelas pekerja -yang tidak memiliki alat produksi dan

juga tidak memiliki hak untuk setiap produk akhir- terpaksa harus menjual waktu

kerja mereka kepada kaum kapitalis. Pembagian kerja inilah yang menjadi dasar

Page 32: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

32

lahirnya alienasi bagi para pekerja, baik terhadap kegiatan produktifnya, terhadap

produk yang dihasilkannya, terhadap rekan kerjanya, maupun terhadap potensi

manusiawinya. Kondisi semacam ini menurut Marx hanya bisa diakhiri melalui

perubahan sosial (Ritzer, 2012: 87-92).

Dalam proses perubahan sosial inilah Marx melihat bahwa masyarakat

tidak pernah lepas dari pertarungan untuk memperebutkan sumber-sumber

ekonomi yang ada di lingkungan sekitar mereka. Masyarakat menjadi medan

pertarungan kepentingan ekonomi (lihat Faruk, 2012a: 25-28; 2012b:157-159).

Dari sinilah kemudian Marx melihat bahwa ekonomi atau materi merupakan

landasan terhadap tindakan manusia. Pandangan ini dikemukakan Marx dengan

menggambarkan hadirnya dua struktur yang saling terkait. Struktur pertama

adalah infrastruktur atau struktur dasar berupa material menjadi sturktur penopang

lahirnya pola hubungan sosial pada struktur kedua yakni superstruktur berupa

institusi-institusi hukum, politik, agama, seni, keluarga, dan lain-lain. Jadi, Marx

memahami bahwa intelektual manusia ditentukan oleh kondisi material kehidupan

manusia atau dengan kata lain kebutuhan material mendahului kesadaran manusia.

Pandangan ini diungkapkan oleh Marx pada bagian kata pengantar dalam buku

Zur Kritik der Politischen Ökonomie:

“Die Produktionsweise des materiellen Lebens bedingt den sozialen, politischen und geistigen Lebensprozeß überhaupt. Es ist nicht das Bewußtsein der Menschen, das ihr Sein, sondern umgekehrt ihr gesellschaftliches Sein, das ihr Bewußtsein bestimmt. Auf einer gewissen Stufe ihrer Entwicklung geraten die materiellen Produktivkräfte der Gesellschaft in Widerspruch mit den vorhandenen Produktions-verhältnissen oder, was nur ein juristischer Ausdruck dafür ist, mit den Eigentumsverhältnissen, innerhalb deren sie sich bisher bewegt hatten. Aus Entwicklungsformen der Produktivkräfte schlagen diese Verhältnisse in Fesseln derselben um. Es tritt dann eine Epoche sozialer Revolution ein. Mit der Veränderung der ökonomischen Grundlage wälzt sich der ganze

ungeheure Überbau langsamer oder rascher um.“ (Marx, 1859: 2-3).

“Cara memproduksi kehidupan yang bersifat materi menentukan proses kehidupan sosial, politik, dan intelektual. Bukan kesadaran manusia yang

Page 33: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

33

menentukan keberadaannya, melainkan sebaliknya, keadaan sosiallah yang menentukan kesadarannya. Pada tahap perkembangan tertentu, kekuatan produksi material dalam masyarakat berbenturan dengan hubungan produksi yang ada, atau secara resmi, hubungan milik tempat mereka bekerja. Karena situasi perkembangan produksi, hubungan kepemilikan ini menjadi belenggu bagi mereka. Kemudian mulailah periode revolusi sosial. Dengan perubahan yang terjadi pada basis ekonomi, semua struktur-atas tersebut cepat atau lambat dirombak.“ (terjemahan dalam buku Fokkema, 1998: 106).

Kecenderungan penafsiran pemikiran Marx yang menganggap sistem

ekonomi yang paling menentukan dibanding sektor lainnya -seperti politik,

agama, sistem ide dan lainnya- setidaknya dalam masyarakat kapitalis,

menjadikan Marx dianggap sebagai seorang pemikir yang menganut paham

determinisme ekonomi. Penafsiran semacam ini menurut Agger (Ritzer, 2012:

470) mencapai puncaknya selama periode International Komunis Kedua antara

tahun 1889 dan 1914 yang secara historis dilihat sebagai awal kapitalisme pasar

yang memperlihatkan ledakan keuntungan, namun di sisi lain juga menampakkan

kegagalannya. Kondisi ini diprediksi oleh Marxian sebagai awal hancurnya kaum

kapitalis dan kemenangan sosialisme berkat perjuangan kaum proletariat.

Penafsiran determinisme ekonomi terhadap pemikiran Marx kemudian

dianggap mengabaikan sifat dialektis sebagai ciri dari teori ini. Dialektika sebagai

sebuah cara berpikir melihat adanya umpan balik terus-menerus dan interaksi

mutual dari berbagai sektor dalam masyarakat. Perluasan penafsiran terhadap

pemikiran Marx, akhirnya ditemukan dalam kajian George Lukács. Lukács

melihat bahwa dalam sistem kapitalis, produk atau komoditas yang dihasilkan dari

interaksi antara manusia dan alam telah diberi nilai oleh pasar secara independen.

Fetisisme terhadap komoditas inilah yang diperluas oleh Lukács yang dikenal

Page 34: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

34

dengan istilah reifikasi yang tidak hanya terbatas pada lembaga ekonomi, tetapi

juga pada lembaga-lembaga lain seperti negara ataupun hukum (lihat: Ritzer,

2012: 473).

Pemanfaatan pemikiran Marx secara lebih luas juga ditemukan dalam

mazhab Frankfurt (Frankfurter Schule) yang berusaha memberikan kritik terhadap

berbagai aspek kehidupan sosial dan intelektual untuk menyingkap secara lebih

akurat hakikat dari masyarakat. Orientasi kajian mazhab Frankfurt –yang

kemudian melahirkan teori kritis atau Die kritische Theorie der Gesellschaft-

tidak hanya terfokus kepada aspek ekonomi atau infrastruktur, tetapi meluas

kepada aspek budaya masyarakat atau superstruktur khususnya dalam masyarakat

kapitalis modern. Dasar dari perluasan kajian ini adalah pandangan mereka yang

melihat bahwa “dalam masyarakat modern penindasan yang dihasilkan oleh

rasionalitas merupakan masalah sosial yang dominan menggantikan eksploitasi

ekonomi“ (Ritzer, 2012: 480). Pemahaman ini tercermin dari peningkatan

kemakmuran masyarakat khususnya di Amerika Serikat pasca perang dunia kedua

yang tampaknya telah menghilangkan kontradiksi-kontradiksi ekonomi internal

secara umum dan konflik antar-kelas secara khusus.

Apa yang telah dilakukan oleh Herbert Marcuse sebagai salah seorang

tokoh penting dalam aliran kritis ini merupakan perluasan kajian pemikiran Marx.

Mazhab Frankfurt secara umum memang mencoba memberikan penafsiran

kembali terhadap ajaran-ajaran Marx dan menempatkannya dalam kerangka

humanisme yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademik. Marcuse yang

hidup dalam konteks zaman yang berbeda dengan Marx memiliki pandangan

Page 35: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

35

tersendiri tentang masyarakat kontemporer yang tak lain adalah masyarakat

kapitalis modern.

Marcuse memandang teknologi dalam masyarakat kapitalis modern bukan

sesuatu yang netral, tetapi merupakan alat untuk mendominasi manusia khususnya

para pekerja. Teknologi menurut Marcuse dibuat tampak netral, namun

sesungguhnya memperbudak manusia. Teknologi membantu menindas

individualitas dengan cara menyerang dan mengurangi kebebasan batin aktor dan

hasilnya adalah terciptanya masyarakat berdimensi satu atau der eindimensionale

Mensch yang membuat individu-individu kehilangan kemampuan untuk berpikir

secara kritis dan negatif tentang masyarakat. Marcuse sesungguhnya tidak

menyalahkan teknologi, dia bahkan sepakat dengan pandangan Marx yang melihat

teknologi secara alami bukan masalah dan dapat digunakan untuk

mengembangkan suatu masyarakat yang lebih baik. Hanya saja penekanan

Marcuse adalah bagaimana cara memutus hubungan fatal antar teknologi dan

manusia secara revolusioner untuk mengembalikan teknologi tunduk kepada

kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan manusia bebas. Inilah sesungguhnya yang

menjadi fungsi utama dari kerja rasio atau rasionalitas substantif seperti dalam

pandangan Maximilian Weber (1864-1920) yang berusaha menafsirkan alat-alat

dari segi nilai-nilai tertinggi manusia yakni perdamaian dan kebahagiaan (Ritzer,

2012).

Lebih jauh Marcuse melihat bahwa masyarakat industri maju dewasa ini

memperlihatkan semakin kuatnya jangkauan penguasaan manusia terhadap alam.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa kemampuan masyarakat kontemporer baik

Page 36: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

36

dari segi intelektual maupun material jauh melebihi masyarakat sebelumnya.

Namun pertanyaan yang muncul adalah apakah semua kemajuan ini sudah mampu

meningkatkan derajat kepuasaan manusia secara optimal dengan tingkat

penderitaan dan beban kerja yang seminimal mungkin. Inilah yang menjadi

perhatian Marcuse yang dituangkan dalam bukunya One-Dimensional Man yang

terbit pertama kali pada tahun 1964 di Amerika Serikat dan diterjemahkan dalam

bahasa Jerman oleh Alfred Schmidt tiga tahun kemudian dengan judul Studien zur

Ideologie der fortgeschrittenen Industriegesellschaft.

Di dalam masyarakat industri maju menurut Marcuse (2002: xlv-xlvi)

peralatan produktif cenderung menjadi totalitarian sampai tingkat tertentu di

mana hal ini tidak hanya menentukan jenis pekerjaan, kemampuan dan sikap yang

dibutuhkan secara sosial, akan tetapi juga menentukan kebutuhan dan aspirasi

individu atau manusia. Inilah yang kemudian bergerak dan menghapus oposisi

antara eksistensi pribadi dan publik, antara kebutuhan individu dan sosial.

Kehadiran teknologi sejatinya tidak akan mengurangi kebebasan individu

secara otonom, jika diarahkan semata untuk pemenuhan kepuasaan atas kebutuhan

vital manusia. Namun kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya, teknologi telah

memaksakan persyaratan politik dan ekonomi demi mengekspansi waktu kerja

dan waktu senggang, dan juga terhadap kebudayaan material dan intelektual.

Teknologi telah membebani manusia dengan menghadirkan kebutuhan-kebutuhan

palsu (false needs) kepada individu karena kepentingan sosial, kebutuhan-

kebutuhan yang merepresi individu untuk mengabadikan kerja (Arbeit),

agresivitas, penderitaan dan ketidakadilan (Marcuse, 2002: 7). Kontrol teknologi

Page 37: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

37

telah menjadi sangat esensial dalam masyarakat kontemporer. Teknologi telah

menjadi dasar nalar demi keuntungan semua kelompok sosial hingga semua

kontradiksi dalam masyarakat terlihat dan terkesan irasional dan semua bentuk

perlawanan menjadi tidak mungkin:

But in the contemporary period, the technological controls appear to be very embodiment of Reason for the benefit of all social groups and interests –to such an extent that all contradiction seems irrational and all counteraction impossible. (Marcuse, 2002: 11).

Realitas teknologi telah memasuki ruang-ruang pribadi dan mengubah

nalar menjadi penyerahan diri terhadap kenyataan hidup. Masyarakat industri

telah menjadikan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai suatu

perangkat dominasi: “[...]: that of an advanced society which makes scientific and

technical progress into an instrument of domination.” (Marcuse, 2002: 18).

Manusia telah berada di bawah kontrol teknologi dan ini tidak hanya terjadi pada

bidang industri semata, tetapi telah masuk ke semua lini kehidupan manusia.

Kehadiran teknologi yang sejatinya sebagai alat untuk mempermudah interaksi

manusia dengan alam, justru dalam masyarakat industri, teknologi menjadi alat

untuk merepresi manusia.

Keterpurukan yang dialami oleh kaum pekerja dalam masyarakat kapitalis

dengan tingkat kemajuan teknologi yang semakin canggih ini, jika dihubungkan

dengan persoalan gender terlihat bahwa pekerja perempuan justru memiliki

kondisi yang lebih buruk dari pekerja laki-laki, seperti yang dikemukakan oleh

Ann Foreman (Tong, 2010: 147):

“Laki-laki eksis dalam dunia sosial bisnis dan industri, serta di dalam keluarga, dan karena itu mampu mengekspresikan dirinya dalam ranah-ranah yang berbeda ini. Bagi perempuan, bagaimanapun juga, tempatnya

Page 38: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

38

adalah di dalam rumahnya. Objektivikasi terhadap laki-laki di dalam industri, melalui pengambilalihan produk dari kerja mereka, mewujud dalam alienasi. Tetapi efek alienasi atas hidup dan kesadaran perempuan, mewujud bahkan dalam bentuk yang lebih opresif. Laki-laki mencari kelegaan dari alienasinya melalui hubungannya dengan perempuan; bagi perempuan, tidak ada kelegaan itu. Karena hubungan yang intim ini adalah benar-benar hubungan yang merupakan struktur esensial dari opresi terhadapnya.” Efek alienasi yang lebih buruk yang diterima oleh kaum pekerja

perempuan inilah yang kemudian menjadi pijakan bagi feminis Marxis untuk

menciptakan dunia di mana perempuan dapat mengalami dirinya sebagai manusia

yang utuh, sebagai manusia yang terintegrasi dan bukan terfregmentasi.

Kondisi ini ternyata tidak memberikan kemungkinan lahirnya

penghapusan kelas, namun yang terjadi justru sebaliknya. Dalam masyarakat

kapitalis modern ini, kelas pekerja atau proletar semakin dikukuhkan dengan

dimensi dan mekanisme yang berbeda. Kondisi inilah yang kemudian disebutkan

oleh Marcuse (1965) sebagai repressive tolerance atau toleransi represif yang

seolah-olah memberikan kesan kebebasan luas kepada manusia (baca: pekerja),

namun tidak lain merupakan bentuk penindasan yang baru.

Kelas pekerja dalam masyarakat industri maju memang telah mengalami

transformasi penting dalam sistem kapitalisme modern. Pandangan Marx dalam

kapitalisme klasik melihat kaum pekerja manual yang mengeluarkan dan

menghabiskan energi fisiknya dalam proses kerja, -bahkan jika mereka bekerja

dengan menggunakan mesin- berada dalam kondisi subhuman dan senantiasa

memberontak dari sistem eksploitasi ini. Kondisi semacam ini menurut Marcuse

(2002: 26-27) ternyata terus berlanjut dan bahkan dalam kapitalisme modern,

sistem eksploitasi ini semakin lengkap dengan adanya upaya memodifikasi sikap

Page 39: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

39

dan status dari pihak yang dieksploitasi (baca: kelas pekerja). Kapitalisme modern

yang mengandalkan pertumbuhan telah mentransformasi sikap dan status para

pekerja melalui mekanisasi. Para pekerja pada masa kapitalisme sebelumnya

hidup layaknya hewan pekerja yang mempekerjakan tubuhnya untuk memenuhi

berbagai kebutuhan dan kenikmatan hidup orang lain (baca: pemilik modal),

sementara mereka harus hidup dalam kekotoran dan kemelaratan (Marcuse, 2002:

28). Dalam masyarakat dengan teknologi modern, para pekerja terorganisir secara

maju dan sistem mekanisasi dengan produktivitasnya yang melimpah yang

dikenal dengan Überflussgesellschaft atau the affluent society mampu membius

hidup para pekerja.

Kemampuan kelas pekerja untuk menikmati apa yang selama ini dinikmati

oleh para pemilik modal sekali lagi tidaklah berarti bahwa telah terjadi

penghapusan kelas, namun yang terjadi sesungguhnya adalah kebutuhan dan

tingkat kepuasan yang berperan dalam pemeliharaan kemapanan (establisment)

diperankan bersama oleh masyarakat bawah (Marcuse, 2002: 10). Jadi dalam

masyarakat kontemporer yang paling berkembang adalah transplantasi sosial ke

dalam kebutuhan-kebutuhan individu begitu efektif sehingga perbedaan antara

kelas tampak secara murni hanya bersifat sosial semata. Perbudakan model baru

pun telah lahir dengan mekanisme yang berbeda. Segala sesuatu tidak lagi

menindas seperti sebelumnya, tetapi perbudakan lahir dalam bentuk buaian

terhadap instrumen-instrumen manusia yang tidak hanya pada tubuh manusia,

tetapi juga pikiran, dan bahkan jiwanya. Transformasi pekerja ini telah

menghasilkan masyarakat yang cenderung mempertahankan status-quo akibat dari

Page 40: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

40

terbelenggunya nilai-nilai kemanusiaan berupa otonomi dan kebebasan oleh

buaian rasionalitas teknologi atau technological rasionality. Posisi negatif kaum

pekerja tidak lagi nampak kontradiksi. Jiwa revolusioner mereka semakin

meredup dan bahkan menjadi pembela sistem kerja itu sendiri. Sekali lagi,

terpenuhinya kebutuhan para pekerja tidak berarti hilangnya sistem kelas dalam

masyarakat kontemporer ini. Perbudakan dalam peradaban masyarakat industri ini

menurut Marcuse (2002: 36) justru merupakan bentuk perbudakan yang

sesungguhnya: ”the pure form of servitude”.

1.6 Metode Penelitian

Seperti yang telah disinggung pada bagian latar belakang masalah, bahwa

korpus dalam penelitian disertasi ini terdiri dari tiga roman Jerman yang lahir

pada dekade kedua pascareunifkasi (2000-2010), yakni: Das Jahr der Wunder

(Merkel, 2001); wir schlafen nicht (Röggla, 2004); dan Mobbing (Pehnt, 2007).

Tiga roman ini merupakan hasil sampling secara purposive dari total sepuluh

roman Jerman yang mengangkat tema Arbeit dan lahir pada dekade kedua

pascareunifikasi (2000-2010). Tujuh roman lainnya yang menjadi populasi

adalah: Willenbrock (Christoph Hein, 2000), Die Letzten (Katja Lange-Müller,

2000), Endmoränen (Monika Maron, 2002), Wenn wir sterben (Ernst-Wilhelm

Händler, 2002), Und was machen Sie beruflich (Rolf Dobelli, 2004), Herr Jansen

steigt aus (Jakob Hein, 2006), dan terakhir adalah Machwerk oder Das

Schichtbuch des Flick von Lauchhammer (Volker Braun, 2008).

Penetapan ketiga roman menjadi objek material penelitian dengan

mempertimbangkan: Pertama, tahun penerbitan roman pascareunifikasi (masa

Page 41: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

41

awal, tengah, dan akhir dekade kedua); Kedua, ‘kekentalan’ tema Arbeit sebagai

objek formal dalam roman. Artinya, Arbeit betul-betul menjadi tema utama

(Hauptthema) dan tidak sekedar sebagai tema sampingan (Nebenthema); Ketiga,

unsur-unsur realis yang tertuang dalam karya, baik pada latar atau setting, alur

atau plot, maupun penokohan.

Secara tekstual, penelitian disertasi ini difokuskan pada pengungkapan

konsepsi Arbeit yang tertuang dalam ketiga roman yang menjadi korpus penelitian

dan mengidentifikasi kritikan-kritikan serta memetakan posisi ideologis masing-

masing pengarang dalam menyikapi perubahan struktur dunia kerja atau

Strukturwandel der Arbeitswelt yang terjadi di Jerman khususnya pada dekade

kedua pascareunifikasi. Secara kontekstual, penelitian ini akan diarahkan untuk

melihat hubungan dinamis antara karya sastra (baca: tiga roman teranalisis

sebagai objek material) dengan masyarakat Jerman pascareunifikasi yang

merupakan lingkungan tempat karya tersebut dilahirkan. Untuk itu, sumber data

dalam penelitian disertasi ini terdiri dari dua kategori yakni, sumber data primer

yang terangkum dalam tiga roman dan sumber data sekunder berupa teks-teks

hasil kajian dari berbagai bidang keilmuan terutama kajian sosiologi, ekonomi,

politik, dan historis. Bidang-bidang ini sangat diperlukan dalam rangka melihat

konteks Arbeit di luar karya. Hal ini menjadi penting, karena sifat dari kajian

sosiologi sastra selalu bergerak dari kajian struktur dalam teks menuju kajian

struktur di luar teks (baca: struktur masyarakat).

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode “simak”

yakni, pertama, menyimak satuan-satuan linguistik –baik berupa kata, frase,

Page 42: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

42

kalimat maupun wacana- yang signifikan dalam tiga roman Jerman tersebut

sebagai data primer. Langkah selanjutnya adalah menganalisis unsur-unsur

penting dalam bangunan sebuah roman, baik dari aspek plot, setting, penokohan,

sudut pandang hingga akhirnya sampai pada analisis tema yang lebih mendalam.

Proses pembacaan secara kritis juga diperlakukan untuk data sekunder dengan

memperhatikan karakter masing-masing teks.

Data-data yang telah terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif

analitis. Teknik analisis ini dimulai dengan mendeskripsikan semua fakta-fakta

yang ditemukan dalam korpus penelitian sebagai sumber data primer maupun data

sekunder yang ditemukan di luar teks. Data-data ini kemudian dianalisis

sedemikian rupa untuk menemukan jawaban atas semua pertanyaan penelitian

baik yang menyangkut pemahaman konsepsi Arbeit, kritikan maupun ideologi

yang diusung oleh masing-masing pengarang dalam menyikapi perubahan struktur

dunia kerja yang terjadi di Jerman pascareunifikasi.

Untuk memudahkan penelitian, berikut digambarkan kerangka pikir

penelitian disertasi ini:

Page 43: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

43

Pemahaman tentang dinamika dan proses perkembangan konsepsi Arbeit

dalam masyarakat Jerman khususnya pada periode pascareunifikasi -yang

diperoleh dari sumber-sumber sekunder di luar korpus penelitian- menjadi

penopang awal untuk melihat konteks sosiohistoris ketiga roman yang menjadi

korpus penelitian. Dari sini kemudian terlihat kondisi-kondisi spesifik Arbeit

yang kemudian mendapatkan respon dari ketiga pengarang yang tertuang dalam

karya mereka. Bentuk-bentuk respon ini terlihat dari pemahaman tentang konsepsi

Arbeit dan kritikan-kritikan yang tertuang dalam roman melalui para tokoh dan

semua komponen pembentuk cerita. Dari hasil analisis ini kemudian

mengantarkan kepada pemahaman yang lebih luas tentang bagaimana posisi

ideologis dari masing-masing pengarang.

1.7 Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian dalam disertasi ini dibagi dalam enam bab. Bab

pertama sebagai bab pendahuluan berisi uraian mengenai latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,

metode penelitian dan sistematika penyajian.

Bab kedua difokuskan pada konsepsi Arbeit ditinjau dari aspek

historisnya. Dalam bab kedua ini diuraikan bagaimana dinamika dan

perkembangan pemaknaan konsepsi Arbeit di Eropa khususnya di Jerman mulai

zaman Antik sampai pada dekade kedua pascareunifikasi (2000-2010) dengan

memperhatikan nuansa politik, ekonomi, dan sosial masyarakat. Bab kedua ini

dimaksudkan untuk memberikan peta awal tentang pemahaman Arbeit sebagai

sebuah tema-budaya secara kontekstual.

Page 44: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/155583/potongan/S3-356757...yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri

44

Bab ketiga menyajikan konstruksi Arbeit yang tertuang dalam ketiga

roman teranalisis. Bab ketiga ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan

penelitian tentang bagaimana pemahaman konsepsi Arbeit sebagai tema-budaya

yang tertuang dalam ketiga roman teranalisis.

Bab keempat memuat kritikan ketiga pengarang terhadap kondisi struktur

dunia kerja di Jerman pascareunifikasi yang ditemukan dalam ketiga roman

mereka. Bab keempat ini merupakan uraian dari hasil analisis terhadap pertanyaan

penelitian kedua berupa aspek-aspek yang dominan mendapatkan kritikan dari

para pengarang terkait dengan konsepsi Arbeit dalam ketiga roman tersebut.

Bab kelima memuat hasil analisis tentang pandangan ideologis ketiga

pengarang dalam menyikapi perubahan struktur dunia kerja atau Strukturwandel

der Arbeitswelt yang terjadi di Jerman khususnya pada dekade kedua

pascareunifikasi. Bab kelima ini menjawab pertanyaan penelitian ketiga tentang

posisi ideologis pengarang. Terakhir adalah bab keenam sebagai bab penutup

yang berisi kesimpulan dan saran.