bab i pendahuluan alasan pemilihan judul civil law...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
Dalam perkembangan kegiatan international, interaksi-interaksi lintas
batas negara yang berbeda kewarganegaraan semakin kerap terjadi. Setiap negara-
negara memiliki sistem hukum yang berbeda-beda, perbedaan sistem hukum ini
dipengaruhi oleh tradisi hukum yang dimiliki. Di dunia paling tidak ada 2 (dua)
tradisi hukum yang sangat besar, yaitu tradisi hukum eropa-kontinental (civil law)
dan tradisi hukum anglo saxon ( common law). Dalam hubungan antara negara-
negara yang berbeda sistem hukum ini dampak yang perlu dilihat adalah
dibutuhkannya salah satu alternatif penyelesaian jika terjadi sengketa antara para
pihak tersebut, Karena sengketa antar negara setiap saat terjadi.1
Perlu diperhatikan gerak dinamis perkembangan dunia bisnis antar negara
baik itu negara maju dan juga negara berkembang, terutama yang menyangkut
dalam bidang joint venture dan dagang, oleh sebab itu sudah saatnya negara-
negara terlebih negara Indonesia untuk mempersiapkan diri. Untuk
mengantisipasi hal demikian dibutuhkan forum untuk penyelesaian sengketa jika
terjadi sengketa, Salah satu forum penyelesaian sengketa international yang marak
digunakan adalah Arbitrase, karena arbitrase memiliki sifat yang fleksibel.
Disebut fleksibel karena ada kebebasan para pihak untuk memilih hukum mana
yang berlaku, siapa yang akan menyelesaiakan sengketa mereka, para pihak bebas
menentukan bahasa pada saat sidang berlangsung, serta bagaimana hukum acara 1 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa International,Sinar Grafika,Jkarata, 2004. Hal. 1.
2
dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase, dan hal ini merupakan salah satu
jalan tengah yang menjadi pilihan para pihak yang bersengketa.
Menjadi permasalahan adalah ketika suatu pengakuan dan pelaksanaan
suatu putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan di dalam suatu negara, dan jika
timbul hal yang demikian maka bagaimana dengan aturan yang telah ditetapkan
dalam suatu negara tentang pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase
tersebut. Indonesia misalnya juga merupakan salah satu negara yang disebut
sebagai an Arbitration Unfriendly Country. Suatu putusan arbitrase intenational
yang dijatuhkan seharusnya akan dilaksanakan di Indonesia tetapi ada yang tidak
dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan wakil dari BANI (Badan
Arbitrase Nasional Indonesia). Bahwa Indonesia adalah Negara yang dapat
dilihat bahwa Kesan umum di dunia Internasional masih merupakan “an
Arbitration Unfriendly Country”, dimana sulit untuk dapat melaksanakan putusan
arbitrase internasional.2
Pengertian arbitrase itu sendiri tertuang dalam UU No.30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan Arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis yang dibuat oleh
para pihak yang bersengketa.3
2 Wakil Ketua BANI Arbitration Center dan Partner Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro (ABNR), Pokok-Pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, Berita Hukum Online ,8 april 2010,diakses melalui : http://www.hukumonline.com/berita/ baca/ lt4bbd785494fc7/pokokpokok-masalah-pelaksanaan-putusan-arbitrase -internasional-di-indonesia-br-oleh-m-husseyn-umar-, diunduh 1 Februari 2013. 3 Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
3
Dalam skripsi ini Penulis spesifik menekankan pengkajian tentang
Pelaksanaan dan pengakuan putusan arbitrase asing, seperti yang telah diberitahu
oleh Penulis di dalam judul skripsi. Pengertian arbitrase asing atau arbitrase
international terdapat di dalam Konvensi New York 1958, Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 1990 (yang dalam penulisan berikutnya disingkat dengan
Perma No.1 Tahun 1990) memberikan pengertian sejalan dengan konvensi New
York 1958. Di dalam Perma (Pasal 2 Ayat (2) Perma No. 1 Tahun 1990)
dinyatakan putusan arbitrase asing adalah putusan arbitrase ataupun arbiter
perorangan yang menurut ketentuan Republik Indonesia dianggap sebagai putusan
arbitrase asing.4
Perrnyataan Perma tersebut sejalan dengan Pasal 1 Ayat (1) Konvensi
New York 1958, dalam pasal ini menyatakan made in the territory of a states
other than the states where the recognition and enforcement of such awards are
sought.5 Pasal tersebut diartikan oleh Yahya Harapap yaitu yang dimaksud
dengan putusan arbitrase asing adalah :
Putusan-putusan arbitrase yang dibuat di wilayah Negara lain dari Negara tempat dimana diminta pengakuan dan pelaksanaan eksekusi atas putusan arbitrease yang bersangkutan.6
Berdasarkan paparan tersebut dapat Penulis simpulkan, bahwa putusan arbitrase
asing adalah merupakan suatu putusan yang dijatuhkan oleh lembaga arbitrase
(institusional arbitrase) atau arbitrase perorangan (arbitrase ad-hoc) yang dimana
4 Pasal 2 Ayat (2) Perma No.1 Tahun 1999. 5 ayat (1) Konvensi New York 1958
6 Yahya Harahap, Arbitrase,edisi Ke-2,Sinar Grafika,Jakarta,2001,hal.18
4
putusan tersebut diputuskan di luar dari wilayah Negara masing-masing pihak
atau berada di luar personalitas dari suatu Negara.
Satu materi yang sangat penting dikaji oleh Penulis adalah tentang
pengakuan suatu putusan arbitrase, Pengakuan putusan (recognize) adalah
mempersamakan daya kekuatan mengikatnya seperti putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang dijatuhkan oleh badan peradilan di
Negara yang bersangkutan.7 Pengakuan terhadap Arbitrase di Indonesia bisa
dilihat pada ratifikasi Indonesia atas New York Convention melalui Keppres
Nomor 34 tahun 1981,Perma No.1 Tahun 1990, dan UU No.5 Tahun 1968.
Di dalam pengakuan juga terdapat pelaksanaan (enforcement), yang
bertujuan untuk dilakukan suatu tindakan terhadap suatu putusan yang telah
diakui. Definisi pelaksanaan juga terdapat di dalam Blak’s Law dictionary.
Defnisi pelaksanaan (enforcement) menurut Black’s Law Dictionary ialah :
a uniform law,adopted by several states, that gives the holder of a foreign judgment essentially the same rights to levy and execute on the judgment as the holder of a domestic judgment / the act defines a foreign judgment as any decree, or order (of a court in the united states or of any other court) that is entitled to full faith and credit in the state.8
Pelaksanaan atau enforcement merupakan suatu tindakan yang harus dilaksanakan
atau dilakukannya suatu proses yang sebagaimana yang telah diputuskan. Setelah
adanya pengakuan dan pelaksanaan maka putusan tersebut dapat dilaksanakan.
Putusan merupakan suatu hasil dari pemeriksaan perkara yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.9
7 Ibid. 8 Black’s Law Dictionary,Seventh Edition,hal. 549. 9 Sudarsono,Kamus Hukum,Edisi Baru,Rineka Cipta,Jakarta,2000, hal.36.
5
Mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional
dapat dilihat dalam pasal 66 huruf a UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa Yang dikatakan bahwa :
Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.10
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan Indonesia mengakui (recognition) dan
melaksanakan (enforcement) putusan arbitrase asing.
Pemerintah Indonesia ikut serta dalam ikatan Konvensi International di
bidang arbitrase ialah berdasarkan UU No.5 Tahun 1968 Tentang Convention on
the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other
States. Begitu juga melalui Keppres No.34 Tahun 1981, Indonesia secara
multilateral telah terikat terhadap Konvensi New York 1958 tentang Convention
on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards.
Demikian pula dengan UNCITRAL Arbitration Rules, Indonesia termasuk
salah satu peserta yang ikut menandatangani resolusi kelahirannya (Resolusi
Sidang Majelis Umum PBB 31/98 tanggal 15 Desember 1976). Guna
menandakan suatu komitmen Pemerintah Indonesia terhadap mengakui
(Recognition) dan melaksanakan (Enforcement) putusan arbitrase Internasional,
maka seharusnya putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia.
Jika berbicara mengenai Putusan arbitrase maka tidak akan penah lepas
dari dalam bidang Perdagangan International atau transaksi Bisnis International
merupakan suatu kegiatan Komersial (Comersial Activity) lintas batas negara 10 Ibid., Pasal 66 huruf a
6
yang diwakili oleh individu atau perusahaan yang berkewarganegaraan yang
berbeda, berdasarkan prediksi-prediksi tertentu (future outcome) dan bertujuan
untuk memperoleh keuntungan tertentu (engage infor gain).11Dalam kerjasama
tersebut tentu akan menghasilkan yang namanya perjanjian, dan dari perjanjian
(klasul) tersebut akan mengikat para pihak yang berhubungan melalui kerjasama
International.
Perjanjian atau klausul arbitrase memiliki 2 (dua) macam perjanjian, yang
pertama perjanjian dibuat sebelum terjadinya kerjasama atau secara pactum de
compromitendo dan perjanjian dibuat sesudah terjadinya kerjasama atau secara
acta van compromise.
Jika kerjasama tersebut terjadi sengketa (dispute), yang dimana sengketa (dispute) merupakan pertentangan antara kedua belah pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya, selanjutnya akan diselesaikan melaui sesuai dengan yang telah diperjanjikan antara para pihak. 12 Dengan demikian suatu perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak
yang didalamnya mencantumkan klausul arbitrase, maka penyelesaian sengketa
(dispute) tersebut dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase (arbitration
institusional) atau arbitrase perorangan (arbitration ad-hoc) yang telah dispekati.
Bahwa pencamtuman klausul arbitrase dalam perjanjian baik itu secara pactum
de comprominttendo ataupun penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang
dituangkan dalam acta van compromise berdasarkan pacta sunt servanda, maka
klausul ataupun akta ini memiliki kekuatan hukum seperti halnya Undang-undang
11 Salam,Moch.faisal , Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan International, Mandar Maju, Jakarta,2007,Hal.61. 12 Ali Achmad, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit PT Toko, Jakarta, 2002, hal. 48.
7
bagi kedua belah pihak. Suatu sengketa yang terdapat perjanjian arbitrase dan
klausula maka penyelesaiannya akan dilakukan melalui lembaga arbitrase atau
arbitrase perorangan sesuai dengan yang telah diperjanjikan.
Berdasarkan paparan di atas menurut Penulis pengakuan adalah
merupakan suatu unsur yang mutlak yang merupakan jaminan bahwa suatu negara
menerima, dan merupakan salah satu syarat yang harus ada dalam suatu negara.
Pelaksanaan adalah suatu program atau suatu sistem yang telah ditetapkan oleh
suatu negara atau pemerintah yang dimana harus sejalan dengan kondisi yang ada.
Dan dengan adalanya hal tersebut menurut penulis putusan arbitrase asing adalah
suatu putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase (arbitration
Institusional) atau arbitrase perorangan (arbitrase ad-hoc) yang dijatuhkan diluar
dari wilayah negara Indonesia itu sendiri. Sehingga dapat disimpulkan Penulis
bahwa pelaksaaan dan pengakuan putusan arbitrase asing adalah merupakan unsur
yang mutlak bahwa suatu negara menerima, melaksanakan, dan merupakan suatu
sistem yang telah ditetapkan oleh suatu negara atau pemerintah negara yang
bersangkutan, yang merupakan putusan yang dijatuhkan diluar dari wilayah suatu
negara atau diluar pesonalitas suatu negara.
Dalam penulisan skripsi ini Penulis mengkaji Putusan Mahkamah Agung
No.01 K/Pdt.sus/2010, yang memutuskan tentang permasalahan tentang
kerjasama (joint venture). Dari penulisan skripsi ini Penulis belum menemukan
penulisan skripsi atau bahan-bahan skripsi tentang pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase asing, yang dibutuhkan Penulis untuk membandingkan skripsi
ini. Berdasarkan paparan tersebut penulis tertarik untuk mengangkat
8
permasalahan ini, karena permasalahan tersebut tidak sesuai dengan hukum dan
Undang-undang Arbitrase yang berlaku di Indonesia. Adapaun judul skripsi ini
adalah :
PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING
DI INDONESIA.
Judul tersebut menggambarkan dan juga memaparkan tentang arbitrase di
Indonesia, khususnya berkaitan dengan menerima atau mengakui dan
melaksanakan putusan arbitrase asing yang telah dijatuhkan, di negara Indonesia.
Dimana seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa Indonesia merupakan an
Arbitration Unfriendly Country terhadap pelaksanaan arbitrase asing, sehingga
dipandang buruk dimata dunia international.
B. Latar Belakang Masalah
Seperti dipaparkan penulis sebelumnya sampai dengan saat ini Indonesia
sendiri sulit untuk melaksanakan putusan arbitrase asing dalam perkara-perkara
arbitrase international. Pada putusan arbitrase masih sulit untuk dilaksanakan di
Indonesia (complicated enforcement) ini seringkali dengan mendasarkan pada
alasan bertentangan dengan ketertiban umum (public policy).13
13 Wakil Ketua BANI Arbitration Center dan Partner Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro (ABNR),Op.Cit.,Berita Hukum Online, diunduh 1 Februari 2013.
9
Pengertian public policy dirumuskan sebagai ketentuan dan hal-hal pokok
hukum dan kepentingan nasional suatu bangsa.14 Dalam hal ini khususnya
Indonesia tidak pernah menjelaskan secara mendetail bahwa apa dan bagaimana
batasan ketertiban umum (public policy) tersebut, sehingga keadaan demikian
dilihat oleh dunia internasional sebagai suatu ketidakpastian hukum dalam
arbitrase itu sendiri. Penafsiran diberikan kepada Hakim untuk melihat ada dan
tidaknya ketertiban umum yang diganggu, kondisi ini yang menimbulkan ketidak
pastian hukum.
Bilamana dilihat dari segi perjanjian, jika kedua pihak sepakat untuk
menyerahkan sengketanya kepada suatu badan arbitrase, maka perjanjian
(klausul) penyerahan sengketa tersebut harus dibuat untuk penyelesaiaan
sengketa.15Pihak-pihak dalam suatu perjanjian (klausul) atau kontrak
mencantumkan suatu ketentuan atau pasal yang menerapkan bahwa setiap
perselisihan yang mungkin timbul dari atau berhubungan dengan perjanjian atau
kontrak itu, maka akan diajukan kepada arbitrase untuk diputuskan. Ketentuan
atau pasal dalam perjanjian atau kontrak seperti itu dinamakan klausula arbitrase
(Arbitration Clause).16 Perjanjian tersebut merupakan dasar hukum bagi
yurisdiksi badan arbitrase guna menerima dan meyelesaikan sengketa. Dalam
Studi Hukum International perjanjian tersebut tunduk pada prinsip prinsip dan
14 Ibid. 15 Huala Adolf,Op.cit., hal.48. 16 Subekti, aneka perjanjian, PT.Citra Aitya Bakti,Bandung,1995, hal. 182.
10
aturan aturan Hukum Perjanjian International (konvensi Wina Tahun 1969
mengenai hukum perjanjian)17.
Sehingga suatu putusan arbitrase yang telah dijatuhkan oleh para arbiter,
yang sesuai dengan kesepakatan para pihak untuk penyelesaian sengketa. Putusan
yang dijatuhkan lembaga arbitrase tersebut bersifat final dan binding, yang artinya
bahwa putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum tetap yang mengikat bagi
para pihak. Dengan demikian pelaksanaan putusan arbitrase tidak dapat diganggu-
gugat oleh pengadilan ataupun dibatalkan, kecuali permintaan pembatalan
pelaksanaan putusan arbitrase dari para pihak yang menang dalam arbitrase
tersebut.
Permasalahan yang dibahas oleh penulis yaitu permasalahan antara para
pihak Astro Nusantara International dan pihak PT.Ayunda Primamitra dkk.
(Anak perusahaan Lippo Group) yang didalam permasalahan ini telah dijatuhkan
putusan oleh lembaga SIAC (Singapore International Arbitration Centre).
Sebelumnya lembaga arbitrase tersebut telah disepakati para pihak sebagai jalan
untuk meyelesaikan sengketa (dispute) yang terjadi antara para pihak, terkait
permasalahan gagalnya Usaha Kerjasama Patungan (joint venture).
Bermula antara Lippo Grup dengan Astro menjalin kerja sama untuk
membuat televisi berbayar di Indonesia, dengan menjalin kerjasama dua
perusahaan tersebut sepakat untuk membangun PT.Direct Vision. Dalam kerja
sama itu disepakati Lippo menanamkan modal sebesar 49% (empat puluh
Sembilan persen) lewat PT Ayunda Prima Mitra, anak usaha PT First Media Tbk 17 Huala Adolf, Op.Cit., hal. 48.
11
yang juga anak usaha Lippo Group. Sedangkan Astro memberikan modal sebesar
51% (lima puluh satu persen) lewat Silver Concord Holding Limited. Akan tetapi
kepemilikan saham 51% tersebut belum diserahkan kepada Astro, dan rencananya
saham 51% yang dimiliki oleh Silver Concord Holding Limited yang akan
diberikan kepada pihak Astro. Selain penggunaan merek dagang Astro Nusantara,
lewat kerja sama tersebut Astro memasok materi siaran, perangkat teknologi,
hingga menempatkan beberapa orangnya di posisi strategis PT.Direct Vision.
Pada November 2005, pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah
No.5 Tahun 2005 tentang penyelenggaraan penyiaran lembaga penyiaran
berlangganan. Pasal 28 PP itu menyatakan kepemilikan orang atau badan hukum
asing di televisi berlangganan hanya 20%. Aturan itu menyebabkan PT.Ayunda
Primamitra dan Astro All Asia Network harus merancang ulang perjanjian.
Disamping itu pada saat belum ditandatanganinya perjanjian pihak astro langsung
melakukan tayangan perdana pada 28 Februari 2006. Hingga pada tanggal 31 Juli
2006, tercatat Astro telah mengeluarkan dana M$ 157 juta atau setara dengan Rp
471 milyar. Dan pihak Lippo secara tidak pasti menunda finalisasi perjanjian
patungan yang telah direvisi dan kesepakatan layanan komersial dengan berbagai
alasan.
Hal ini menurut pihak Astro, menimbulkan peningkatan pembiayaan yang
dibutuhkan untuk melakukan roll out platform televisi berbayar via satelit.
Persoalan ini terus berlarut hingga Astro mengklaim bahwa pihaknya telah
membenamkan investasi di PT. Direct Vision sampai M$ 536 juta (setara dengan
Rp 1,6 trilyun). Walaupun demikian Astro menyatakan tetap menyediakan
12
berbagai layanan kepada PT. Direct Vision untuk membangun jaringan televisi
berbayar berbasis langganan, yang ditargetkan meraih 100.000 pelanggan dalam
dua tahun.
Menurut Astro pihak Lippo tidak menunjukkan iktikad baik
menyelesaikan kewajibannya. Negosiasi berlarut-larut yang disebabkan Lippo
mematok harga tinggi untuk kepemilikan 51% saham Direct Vision, yakni
mencapai US$ 250 juta. Astro keberatan terhadap harga yang dituntutkan Lippo
sehingga negosiasi akhirnya tidak dapat dilanjutkan lagi antara pihak Astro dan
pihak Lippo. Pada tahun 2008, akibat gagalnya kesepakatan berlangganan dan
kepemilikan saham bersama (KBKS), tanggal 6 Oktober 2008, Astro pun
mendaftarkan gugatan ke Singapore International Arbitration Centre (SIAC).
Astro menggugat tiga perusahaan di bawah perusahaan Grup Lippo, yaitu PT.
First Media Tbk, PT. Ayunda Prima Mitra, dan PT. Direct Vision, dengan nilai
US$ 300 juta atau sekitar Rp 2,85 trilyun.
Pihak Astro meminta pengadilan mengeluarkan penetapan eksekusi agar
pihak Lippo melaksanakan keputusan SIAC. Putusan itu final mengikat dan
diakui di bawah hukum Singapura. Karena itu, pihak pengadilan tinggi harus
menetapkan (Lippo) melaksanakanya. Berkebalikan dengan itu pihak Lippo
Group menilai putusan arbitrase Singapura itu cacat hukum.18
Antara para pihak sebelumnya telah melakukan perjanjian, jika terjadi
sengketa (dispute) di antara para pihak sepanjang permasalahan terkait dengan
18 Artikel Gatra News,Perang Gugat Mantan Sahabat,9 agustus 2012, dapat diakses melalui : http://www.gatra.com/hukum/31-hukum/16001-perang-gugat-mantan-sahabat-
13
subscription and share holders agrement maka para pihak telah sepakat melarang
penyelesaian secara litigasi di pengadilan.
Pada saat terjadi sengketa antara para pihak maka jalan yang ditempuh
adalah arbitrase, Penyelesaianan dan pemutusan permasalahan juga akan diputus
oleh para arbiter yang telah disepakati. Tetapi pihak dari PT.Ayunda Primamitra
tidak melakukan sesuai dengan yang telah diperjanjikan (Non Mutual Consent),
saat putusan arbitrase tersebut telah dijatuhkan oleh SIAC dan telah didaftarkan di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan telah memenuhi syarat formil yang terdapat
dalam pasal 67 Ayat (1) Undang-undang Arbitrase, di dalam pasal 67 Ayat (1)
menyatakan permohonan pelaksanaan putusan arbitrase international dilakukan
setelah putusan tersebut dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada
Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.19
Berbalikan dengan itu PT.Ayunda Primamitra melakukan pendaftaran
gugatan perbuatan melawan hukum terhadap PT.Astro Nusantara International
dkk., melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 2 september 2008
dengan nomor perkara No.1100/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL. Terhadap gugatan ini
telah dikeluarkan putusan (interm) pada tanggal 13 Mei 2009. Faktanya adalah
terdapat putusan sela perkara perdata NO.1100/pdt.g/2008/PN.JKT.SEL., yang
bertentangan dengan putusan SIAC arbitration NO.062/08. Tidak hanya itu saja
PT.Ayunda Primamitra juga mengajukan surat permohonan penolakan
pelaksanaan putusan arbitrase ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal
pada tanggal 3 Agustus 2009 dan tanggal 2 September 2009, akan tetapi surat
19 Op.Cit.,Pasal 67 Ayat (1) UU No.30 Tahun 1999.
14
permohonan penolakan pelaksaan putusan arbitrase tersebut dicabut secara
bersamaan oleh pihak PT.Ayunda Primamitra di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
pada tanggal 30 september 2009.
Akibat adanya hal-hal di atas tersebut maka permohonan Exequatur dari
putusan arbitrase yang bersifat final dan binding tersebut tidak dapat dilaksanakan
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melakukan
pertimbangan-pertimbangan surat gugatan hukum yang dilayangkan oleh
PT.Ayunda Primamitra. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan penetapan
terhadap putusan arbitrase untuk melakukan NON Exequatur, dalam penetapan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.05/PPdt.ARB.INT/2009 menyatakan Putusan
Arbitrase International SIAC nomor : 062 tahun 2008 (Arb 062/08/JL) yang
diputuskan tanggal 7 mei 2009 Non Exequatur (tidak dapat dilaksanakan) dengan
beralaskan mengganggu ketertiban umum (public policy) dan menyatakan putusan
arbitrase tidak bersifat final atau binding. Hal ini dipertimbangkan oleh Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai bentuk Intervensi dari proses beracara di
Indonesia.
Pada saat pihak PT.Astro Nusantara Internasional melakukan kasasi
secara lisan untuk membela haknya di Mahkamah Agung, maka Mahkamah
Agung dalam putusannya No.01 K/Pdt.sus/2010 juga memutuskan tidak
dilaksanakannya putusan arbitrase beralaskan melanggar ketertiban umum (Public
policy) dan melanggar asas souvereignty. Pokok permasalahan sebagaimana
diuraikan di atas dapat divisualisasikan bagan seperti berikut.
15
Bagan 1.1 Kasus Posisi
Astro Nusantara International. dkk. Lippo Group (PT.Ayunda
Prima Mitra. Dkk)
Melakukan perjanjian joint venture bernama subscription and share holders agreement , melarang penyelesaian secara litigasi di pengadilan (11 Maret 2005)
Terjadi sengketa karena gagalnya usaha kerja sama patungan (joint venture)
Astro mendaftarkan gugatan di SIAC (6 Oktober 2008)
Sengketa Arbitrase SIAC dimenangkan oleh Astro Nusantara dan putusan bersifat final dan binding No. 062of 2008 (7 Mei 2009)
Dimasukkan ke PN Jakarta Pusat untuk pendaftaran putusan arbitrase (1 September 2009)
PN Jakarta Pusat
Atas dasar pertimbangan putusan sela Jakarta Selatan (13 mei 2009) dan surat permohonan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase (3 Agustus 2009 dan 2 september 2009) yang telah dicabut pada tanggal 30 september 2009.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Mengeluarkan Penetapan No.05/PPdt.ARB.INT/2009 Menyatakan permohonan pelaksanaan putusan arbitrase tidak dikabulkan dan tidak dapat dilaksanakan (non exequatur) (2 Oktober 2009)
Mengajukan kasasi secara lisan kepada Mahkamah Agung (16 November 2009)
- Menolak putusan Arbitrase SIAC karena Melanggar Ketertiban Umum (public Policy),melanggar asas souvereignty
- Materi yang termasuk dalam putusan dalam putusan SIAC tersebut bukan termasuk hukum bidang perdagangan, melainkan termasuk hukum acara (24 Februari 2010)
Mengeluarkan akta pendaftaran putusan SIAC (1 September 2009)
Mendaftarkan gugatan melawan hukum (2 September 2008)
PN Jakarta Selatan
Mengeluarkan putusan Sela(Interm) No.1100/Pdt.G/2008/PN.JKT (13 Mei 2009)
- (3 Agustus 2009) PT.Ayunda Primamitra Mengajukan permohonan penolakan atas pelaksanaan putusan arbitrase ke bagian umum PN Jakarta Pusat No.177/PDT.P/2009/PN.JKT.PST.
- (2 sept 2009) kembali Mengajukan permohonan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase No.178/PDT.P/2009/PN.JKT.PST
Permohonan tersebut dicabut oleh PT.Ayunda Prima Mitra dan PT.Direct Vision (30 September 2009)
menjalin kerjasama pendirian perusahaan penyedia saluran televise berbayar dan keduanya sepakat membangun PT.Direct Vision.
16
Jika dicermati Sebagaimana yang telah diutarakan putusan SIAC
arbitration NO.062/08 tidak dapat dilaksanakan oleh karena pertimbangan-
pertimbangan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sehingga Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat tidak melaksanakan putusan arbitrase dengan mengeluarkan
Penetapan terhadap putusan arbitrase tersebut. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
melakukan pertimbangan-pertimbangan surat permohonan PT.Ayunda Primamitra
tentang penolakan pelaksanaan putusan arbitrase yang telah dicabut sebelumnya
dan pertimbangan surat gugatan melawan hukum yang dilayangkan oleh
PT.Ayunda Primamitra di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sehingga putusan
SIAC yang bersifat final dan binding menjadi putusan yang tidak mempunyai
kekuatan eksekusi.
Melihat persoalan di atas, maka muncul pertanyaan bagaimana dengan
Indonesia yang telah dikatakan mengakui dan juga melaksanakan putusan
arbitrase di Indonesia, apakah setiap putusan arbitrase yang bersifat final atau
binding tidak mempunyai kekuatan eksekusi sesuai dengan putusan arbitrase.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York 1958 dengan
Keppres No.34 Tahun 1968 dan di dalamnya terdapat salah satu prinsip yaitu
“self execution” dalam putusan arbitrase. Bagaimana dengan UNCITRAL dimana
resolusi tersebut berisi anjuran kepada dunia arbitrase agar melaksanakan
kegiatan arbitrase digunakan dan diterapkan UNCITRAL. Indonesia telah masuk
sebagai salah satu peserta dalam perjanjian yang disusun oleh PBB tersebut, maka
tidak menutup kemungkinan bahwa Indonesia terikat secara Resiprositas di
arbitrase. Terlebih diadakannya PERMA No.1 Tahun 1990 yang menjamin akan
17
pelaksanaan arbitrase di Indonesia, maka seharusnya pelaksanaan dan pengakuan
terhadap putusan arbitrase dijalankan di Indonesia.
Dalam putusan SIAC terlihat bahwa putusan arbitrase SIAC dikatakan
menganggu ketertiban umum (public policy). Dari putusan pengadilan tidak dapat
diketahui alasan hal-hal yang menyebabkan terganggunya ketertiban umum.
Menurut Yahya Harahap mengatakan bahwa makna yuridis ketertiban umum
adalah “tak terbatas” atau “unlimited” 20. Putusan tersebut sekalipun dikatakan
melanggar ketertiban umum maka hal tersebut sangat sulit untuk dilihat dan
dicermati, karena ketertiban umum di dalam Negara Indonesia itu sendiri tidak
dibatasi dalam permasalahan arbitrase, dan arah atau pun yang hal yang dikatakan
mengganggu tersebut tidak dapat diperinci. Perlu diperhatikan, bahwa Ketua
Pengadilan Negeri pada waktu akan memberikan perintah pelaksanaan kepada
suatu putusan arbitrase itu, sekali-kali tidak dibolehkan menilai isi maupun
pertimbangan putusan arbitrase.21
Berdasarkan paparan diatas, menurut penulis suatu putusan arbitrase
seharusnya tidak perlu diputuskan oleh Pengadilan Negeri, karena bukan bagian
atau wewenang dari Pengadilan Negeri untuk memeriksa alasan atau
pertimbangan suatu putusan arbitrase. Di dalam pasal 3 Undang Undang Republik
Indonesia No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili
20
Yahya Harahap, Arbitrase, Sinar Grafika, Jakarta,2001, hal. 39. 21Subekti, Kumpulan Karangan Hukum Perikatan Arbitrase Dan Peradilan, Penerbit Alumni, Bandung , 1980, hal.72.
18
sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrse.22Dalam undang-
undang arbitrase juga telah tegas memberitahukan, bahwa sengketa (dispute) yang
terjadi dalam permasalahan arbitrase tidak dapat diselesaikan oleh Pengadilan
Negeri, karena memang bukan dari kewenangan Pengadilan Negeri tersebut untuk
mengadili sebuah perkara tersebut.
Dari permasalahan di atas Penulis ingin menghubungkan permasalahan
tentang Pengakuan dan pelaksanaan arbitrase asing, juga kewenangan dan
Pelaksanaan arbitrase itu sendiri dari sudut pandang hukum. Seperti hal di dalam
pasal 66 Undang Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif
penyelesaian Sengketa mengatur hal–hal sebagai berikut:
Putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat–syarat sebagai berikut: a). Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. b). Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum perdagangan. c). Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. 23
Persyaratan suatu putusan arbitrase international dapat diakui dan dilaksanakan di
wilayah Indonesia jika memenuhi syarat yang termuat dalam Pasal 66 UU No.30
Tahun 1999.
Seharusnya putusan SIAC yang telah ditetapkan dan diputuskan oleh
hakim arbiter dapat dilaksanakan, terlebih bahwa putusan Arbitrase tersebut telah
22Pasal 3 UU No.30 Tahun 1999 23 Op.Cit.,Pasal 66 Huruf a,b,dan c
19
memenuhi syarat pasal 66 dan bersifat final dan binding. Disamping itu juga
arbitrase merupakan jalan yang dipilih dan disepakati oleh para pihak arbitrase
termasuk juga pencamtuman klasul arbitrase dalam pejanjian para pihak.
Akan tetapi dalam pemutusan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri
Jakarta dan Mahkamah Agung tidak melihat secara keseluruhan dari
permasalahan yang ada, sehingga terlihat tidak ada pengakuan (recognize) dan
pelaksanaan (enforcement) di Negara Indonesia itu sendiri. Padahal Indonesia
merupakan Negara yang mengikuti berbagai perjanjian di dunia tentang
permasalahan arbitrase.
Atas dasar latar belakang permasalahan sebagaimana digambarkan di atas,
maka Penulis kemudian merumuskan masalah penelitian berikut ini.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada alasan pemilihan judul dan latar belakang
masalah di atas, maka rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu: Bagaimanakah
pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase Arbitrase asing di
Indonesia?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah :
1. Menggambarkan atau memaparkan pengakuan terhadap putusan
arbitrase di Indonesia.
20
2. Menggambarkan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam kasus
antara Astro dan Lippo Group.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan di sini adalah penelitian hukum (legal
research) dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach),
pendekatan konseptual (konseptual approach), dan pendekatan kasus (cases
study). Pendekatan perundang-undangan yaitu pendekatan dengan menggunakan
legislasi dan regulasi untuk menjawab isu hukum atau permasalahan penelitian.24
Pendekatan konseptual mengkaji konsep-konsep dan teori-teori yang berkembang
di bidang hokum arbitrase dan hukum perdata yang relevan dengan permasalahan
penelitian.
2. Sumber Hukum
Sumber-sumber hukum penelitian ini meliputi bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
a. Bahan hukum primer, yaitu Perundang-Undangan yang merupakan
kesepakatan antara pemerintah dan rakyat sehingga mempunyai kekuatan
mengikat untuk penyelenggaraan kehidupan bernegara.25 Penulis dalam
melakukan penelitian ini menggunakan bahan hukum primer: UU No.39
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaiana sengketa,
24 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 97. 25 Ibrahim, Johny, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia
Publishing, Hal. 142.
21
Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1999, Keppres No. 34 Tahun
1981 Tentang Pengesahan Convention on the recognition and enforcement
of Foreign Abital Award (konvensi New York 1958), UU No.5 Tahun 1968
Tentang Pengesahan convention on the settlement of investment disputes
between states and national of other states (Wangshington
convention/world bank convention).
b. Bahan Hukum Sekunder yang terutama adalah buku teks berisi mengenai
prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan para sarjana
yang memiliki kualifikasi tinggi.26
c. Bahan Hukum Tersier, adalah adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder seperti kamus-kamus, ensiklopedia dan lain-
lainnya.
3. Unit Amatan dan Unit Analisa
Yang menjadi unit amatan dalam penelitian ialah Putusan Mahkamah
Agung No.01 K/Pdt.Sus/2010, Undang-undang No.30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Penyelesaian Alternatif, Perma No.1 Tahun 1999, Konvensi New
York 1958 , dan UU No.5 Tahun 1968 pengesahan tentang convention on the
settlement of investment disputes between states and national of other states.
Sedangkan yang menjadi Unit Analisa Penulis ialah bagaimana pengakuan serta
pelaksanaan putusan arbitrase dalam sengketa (dispute) international dilakukan di
Indonesia.
26 Ibid.