bab i pendahuluan a. latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72109/potongan/s1...3...

27
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia. Hal ini terjadi salah satunya karena merokok dianggap sebagai hal yang biasa dalam pergaulan sehari-hari (WHO, 2012). Kebiasaan merokok di Indonesia sudah dimulai sejak usia dini, yaitu sejak usia kurang dari 15 tahun (WHO, 2012). Kebiasaan merokok dimiliki tidak hanya oleh pria, tetapi juga oleh wanita. Pada populasi penduduk yang berusia 15 tahun ke atas, sebanyak 64,9% pria dan 2,1% wanita adalah perokok (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Situasi ekonomi dan politik merupakan salah dua hal yang turut menyebabkan tingginya jumlah perokok di Indonesia. Harga rata-rata satu bungkus rokok di Indonesia lebih murah dibandingkan harga rata-rata sebungkus rokok di negara lain (Rumbogo & Ahsan, 2011). Hal ini menyebabkan rokok menjadi lebih mudah didapatkan. Pengendalian rokok melalui peraturan pemerintah juga masih lemah. Walaupun pemerintah telah mencanangkan PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, peraturan tersebut baru berlaku pada tahun 2014. Indonesia juga satu-satunya negara di ASEAN yang belum menandatangani WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), suatu perjanjian internasional mengenai pengendalian tembakau (SEATCA, 2012).

Upload: lamkhanh

Post on 23-May-2018

220 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia.

Hal ini terjadi salah satunya karena merokok dianggap sebagai hal yang biasa

dalam pergaulan sehari-hari (WHO, 2012). Kebiasaan merokok di Indonesia

sudah dimulai sejak usia dini, yaitu sejak usia kurang dari 15 tahun (WHO, 2012).

Kebiasaan merokok dimiliki tidak hanya oleh pria, tetapi juga oleh wanita. Pada

populasi penduduk yang berusia 15 tahun ke atas, sebanyak 64,9% pria dan 2,1%

wanita adalah perokok (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Situasi ekonomi dan politik merupakan salah dua hal yang turut

menyebabkan tingginya jumlah perokok di Indonesia. Harga rata-rata satu

bungkus rokok di Indonesia lebih murah dibandingkan harga rata-rata sebungkus

rokok di negara lain (Rumbogo & Ahsan, 2011). Hal ini menyebabkan rokok

menjadi lebih mudah didapatkan. Pengendalian rokok melalui peraturan

pemerintah juga masih lemah. Walaupun pemerintah telah mencanangkan PP

Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat

Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, peraturan tersebut baru

berlaku pada tahun 2014. Indonesia juga satu-satunya negara di ASEAN yang

belum menandatangani WHO Framework Convention on Tobacco Control

(FCTC), suatu perjanjian internasional mengenai pengendalian tembakau

(SEATCA, 2012).

2

Perokok di Indonesia diduga lebih berisiko terkena dampak buruk kesehatan

akibat rokok. Hal ini disebabkan jenis rokok yang paling populer di kalangan

masyarakat Indonesia adalah rokok kretek. Sementara itu, rokok kretek

mengandung lebih banyak nikotin, tar, dan karbon monoksida dibandingkan

rokok putih (Malson dkk., 2003). Zat-zat tersebut dapat menyebabkan berbagai

penyakit, akut maupun kronis, pada manusia, seperti kanker, penyakit

kardiovaskular, penyakit sistem pernapasan, penyakit reproduksi, dan gangguan

perkembangan janin (USDHHS, 2010).

Rokok mengandung substansi yang dapat menyebabkan ketergantungan,

yaitu nikotin (USDHHS, 2010). Namun, konsep ketergantungan rokok masih

dianggap barang baru (Royal College of Physicians, 2000). Di Indonesia,

penelitian mengenai ketergantungan rokok pun masih belum banyak dilakukan.

Ketergantungan rokok dapat mempengaruhi kualitas hidup individu, termasuk

kualitas hidup yang terkait dengan kesehatan atau health-related quality of life

(HRQoL) (Castro dkk., 2007; Schnoll dkk., 2013). Telah banyak penelitian yang

mengkaji hubungan antara tingkat ketergantungan rokok dengan HRQoL.

Kalucka (2012) menemukan bahwa lebih banyak pecandu rokok yang terjangkit

penyakit kronik, dengan onset lebih cepat dan frekuensi lebih besar dibandingkan

nonperokok. Selain itu, buruknya kesehatan fisik dan psikologis perokok dapat

mengurangi kualitas hidup terkait kesehatan (Kalucka, 2012). Penelitian lain oleh

Schmitz dkk. (2013) menyatakan bahwa perokok dengan tingkat kecanduan tinggi

memiliki kualitas hidup lebih buruk daripada perokok dengan tingkat kecanduan

rendah.

3

Walaupun penelitian mengenai hubungan antara ketergantungan terhadap

rokok dengan kualitas hidup banyak dilakukan di negara lain, penelitian semacam

ini belum banyak dilakukan di Indonesia. Penelitian mengenai pengaruh

ketergantungan terhadap rokok terhadap kualitas hidup terkait kesehatan perlu

dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai

dampak buruk merokok bagi kesehatan. Penelitian semacam ini juga diperlukan

untuk menyediakan bukti kuat yang dapat dijadikan landasan bagi pemerintah

untuk menciptakan kebijakan-kebijakan mengenai pengendalian tembakau,

mengingat masih lemahnya pengendalian tembakau di Indonesia. Berdasarkan hal

tersebut, pada penelitian ini dilakukan analisis perbedaan kualitas hidup

berdasarkan tingkat ketergantungan rokok.

Analisis hubungan tingkat ketergantungan rokok dengan kualitas hidup pada

penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Universitas

Gadjah Mada. Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta adalah kabupaten dan

kota dengan kepadatan penduduk tertinggi (Dinas Kesehatan DIY, 2013). Berbeda

dengan Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman telah memiliki peraturan daerah

mengenai kawasan bebas asap rokok (Bupati Sleman, 2012). Oleh karena itu,

pada penelitian ini dilakukan perbandingan profil tingkat ketergantungan rokok

dan kualitas hidup pada daerah yang sudah memiliki peraturan kawasan bebas

asap rokok dan daerah yang belum memiliki peraturan serupa. Sementara itu,

mengingat kualitas kesehatan dapat mempengaruhi kemampuan belajar individu

(Bramness dkk., 2007), penelitian juga dilakukan pada mahasiswa di Universitas

4

Gadjah Mada, salah satu universitas di Provinsi DIY dengan jumlah mahasiswa

yang besar, yaitu 51.796 orang pada tahun 2012 (UGM, 2013).

Tingkat ketergantungan terhadap rokok pada penelitian ini diukur dengan

instrumen Fagerström Test for Cigarette Dependence (FTCD) yang sudah

diterjemahkan di banyak negara, kemudian diterjemahkan menjadi bahasa

Indonesia oleh peneliti dan diuji construct validity. Menurut FTCD, tingkat

ketergantungan pada rokok digolongkan menjadi sangat rendah, rendah, sedang,

tinggi, dan sangat tinggi . Semakin besar skor total tes menunjukkan semakin

besar tingkat ketergantungan responden terhadap rokok. (Heatherton dkk., 1991)

Pengukuran kualitas hidup atau health-related quality of life (HRQoL)

dilakukan dengan kuesioner WHOQOL-BREF versi bahasa Indonesia yang terdiri

atas 26 pertanyaan. Terdapat 4 domain yang diukur oleh kuesioner ini, yaitu

domain fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan. Analisis hubungan

tingkat ketergantungan rokok dengan kualitas hidup dilakukan dengan one-way

ANOVA.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, permasalahan pada

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimana gambaran HRQoL responden di setiap wilayah pada domain

fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan menurut variabel

sosiodemografi?

5

2. Bagaimana gambaran status merokok responden di setiap wilayah

menurut variabel sosiodemografi?

3. Bagaimana gambaran tingkat ketergantungan rokok responden di setiap

wilayah menurut variabel sosiodemografi?

4. Adakah perbedaan profil HRQoL pada responden perokok dan responden

nonperokok?

5. Adakah hubungan antara tingkat ketergantungan rokok dengan HRQoL

pada responden perokok di setiap wilayah?

C. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat menjadi sarana pembelajaran bagi peneliti mengenai

hubungan antara tingkat ketergantungan pada rokok dengan kualitas hidup

terkait kesehatan responden di Universitas Gadjah Mada, Kabupataen

Sleman, dan kota Yogyakarta.

2. Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini dapat menyediakan informasi terbaru dan akurat bagi

pemerintah mengenai dampak rokok pada kesehatan. Hasil penelitian

diharapkan dapat dijadikan acuan bagi pemerintah untuk menyusun kebijakan

mengenai pengendalian rokok dan tembakau.

3. Bagi Masyarakat dan Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini dapat memberikan informasi terbaru dan akurat mengenai

dampak rokok terhadap kualitas hidup yang selama ini masih sedikit tersedia.

6

Informasi tersebut diharapkan secara tidak langsung dapat memberikan

edukasi kepada masyarakat dan meningkatkan kesadaran perubahan perilaku

merokok di masyarakat.

D. Tujuan Penelitian

1. Menggambarkan profil HRQoL pada responden berkaitan dengan variabel

sosiodemografi.

2. Menggambarkan profil status merokok pada responden berkaitan berkaitan

dengan variabel sosiodemografi.

3. Menggambarkan profil tingkat ketergantungan rokok pada responden

berkaitan dengan variabel sosiodemografi.

4. Menjelaskan perbedaan HRQoL responden perokok dan nonperokok pada

setiap wilayah.

5. Menjelaskan ada/tidaknya hubungan tingkat ketergantungan rokok dengan

HRQoL responden perokok.

E. Tinjauan Pustaka

1. Epidemiologi rokok di Indonesia

Indonesia adalah salah satu negara yang menduduki peringkat atas dalam

hal konsumsi, produksi, dan ekspor rokok di dunia. Indonesia berada di

urutan ke-5 sebagai produsen daun tembakau dan eksportir rokok terbesar.

Indonesia memiliki jumlah perokok terbanyak kedua. Indonesia juga

merupakan negara pengonsumsi rokok terbesar ke-4 (WHO, 2012).

7

Di Indonesia, kebiasaan merokok dimiliki tidak hanya oleh pria, tetapi

juga oleh wanita. Sebanyak 67.0% dari jumlah penduduk pria dan 2.7% dari

jumlah penduduk wanita adalah perokok (WHO, 2012). Pada populasi

penduduk yang berusia 15 tahun ke atas, sebanyak 64,9% pria dan 2,1%

wanita adalah perokok (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Kegiatan merokok di Indonesia banyak dijumpai di area pedesaan (rural

area) dan area perkotaan (urban area). Persentase perokok harian (daily

smoker) di Indonesia lebih banyak di area pedesaan (32,2% dari total populasi

pedesaan) daripada di perkotaan (26,3% dari total populasi perkotaan).

Persentase perokok tak berkala (occasional smoker) di pedesaan dan

perkotaan besarnya sama (WHO, 2012).

Profil usia mempengaruhi kebiasaan merokok di Indonesia. Usia rata-rata

masyarakat mulai merokok di Indonesia adalah 17 tahun, baik di area

pedesaan maupun di area perkotaan (WHO, 2012). Namun, ada juga

masyarakat yang mulai merokok pada usia dini, yaitu pada usia kurang dari

15 tahun (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Persentase perokok harian

paling besar adalah pada usia 45-64 tahun, yaitu sebesar 33,5% (WHO,

2012). Persentase perokok tak berkala paling tinggi adalah pada usia 15-24

tahun (WHO, 2012).

Profil pendidikan dan pekerjaan juga turut mempengaruhi kebiasaan

merokok di Indonesia. Prevalensi perokok lebih tinggi ditemukan pada

masyarakat dengan tingkat pendidikan kurang dari sarjana (Kementerian

Kesehatan RI, 2013). Masyarakat yang menempuh perguruan tinggi memulai

8

merokok pada usia rata-rata yang lebih tua, yaitu 19,5 tahun (WHO, 2012).

Persentase perokok harian tertinggi ditemukan pada masyarakat yang

berwiraswasta, yaitu sebesar 43,4% (WHO, 2012). Persentase perokok tak

berkala tertinggi ditemukan pada kalangan tunakarya (7%) dan wiraswasta

(6,9%) (WHO, 2012).

Perokok di Indonesia yang berumur 10 tahun ke atas mengonsumsi rata-

rata 12,3 batang per hari. Provinsi dengan rerata konsumsi batang rokok per

hari paling tinggi adalah Bangka-Belitung, yaitu 18,3 batang. Sementara itu,

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki rerata konsumsi

batang rokok paling rendah, yaitu 10 batang. (Kementerian Kesehatan RI,

2013).

Jenis rokok yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia adalah rokok

kretek, rokok putih, dan rokok lintingan. Dari ketiga jenis tersebut, jenis yang

paling populer adalah rokok kretek. Rokok kretek lebih banyak dikonsumsi

oleh perokok pria dan perokok di daerah pedesaan. Persentase penggunaan

rokok linting meningkat seiring dengan peningkatan usia perokok, tetapi

persentasenya menurun pada tingkat usia geriatri (lebih dari 65 tahun).

Persentase penggunaan rokok kretek lebih kecil pada orang-orang yang

menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi dibandingkan pada orang-

orang dengan tingkat pendidikan sekolah dasar (WHO, 2012).

Rokok kretek mengandung zat-zat berbahaya lebih banyak daripada jenis

rokok lain (Malson dkk., 2003). Rokok kretek mengandung 1,2—4,5 mg

nikotin, 46,8 mg tar, dan 28,3 mg karbon monoksida (Knaresborough, 1999).

9

Kadar-kadar tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan kadar yang

terkandung pada rokok putih 1 mg nikotin, 16,3 mg tar, dan 15,5 mg karbon

monoksida (Knaresborough, 1999).

2. Situasi rokok di Indonesia secara sosial, politik, dan ekonomi

Rokok mudah didapatkan dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia. Hal

ini salah satunya disebabkan karena harga rokok di Indonesia lebih murah dan

terjangkau, dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Harga rata-rata

satu bungkus rokok adalah Rp 6.000,00. Rata-rata pajak yang dikenakan

pemerintah terhadap produk rokok juga sangat rendah, yaitu 52,4%. Besar

pajak ini masih jauh lebih kecil dari besar pajak produk rokok eceran yang

disarankan, yaitu 67-80%. Bahkan, pada tahun-tahun terakhir, rokok menjadi

semakin mudah dijangkau karena harga rokok cenderung stabil, sedangkan

pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat meningkat dengan cepat.

(Rumbogo & Ahsan, 2011)

Sejauh ini, pemerintah Indonesia telah berupaya membuat aturan

mengenai larangan dan peringatan rokok. Peraturan tersebut tertuang dalam

PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung

Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan Pasal 17 ayat 4.

Menurut peraturan tersebut, persyaratan pencantuman peringatan kesehatan

pada kemasan rokok antara lain:

10

a. Gambar dan teks dicantumkan pada bagian atas kemasan sisi lebar

bagian depan dan belakang masing-masing seluas 40% (empat puluh

persen), diawali dengan kata ―Peringatan‖

b. Teks dicetak dengan huruf berwarna putih dan dasar hitam. Teks

harus dicetak dengan jelas dan mencolok, baik sebagian atau

seluruhnya. Jenis huruf harus menggunakan font arial bold berukuran

10 (sepuluh) proporsional dengan kemasan

c. Gambar harus dicetak berwarna.

(Departemen Kesehatan RI, 2012)

Walaupun telah dibuat aturan mengenai larangan dan peringatan rokok,

larangan dan peringatan rokok di Indonesia dapat dikatakan kurang kuat.

Menurut South East Asia Tobacco Control Alliance atau SEATCA (2012),

larangan rokok di Indonesia juga masih bersifat parsial. Iklan rokok masih

diijinkan tayang di media elektronik pada pukul 21.30 hingga 05.00

(SEATCA, 2012).

Pengendalian tembakau di Indonesia juga masih lemah. Terlepas dari

fakta bahwa Indonesia pernah menjadi lead country dalam persiapan

kebijakan bebas rokok di ASEAN pada tahun 2011, Indonesia belum

memiliki mekanisme pendanaan untuk pengendalian tembakau (SEATCA,

2012). Indonesia juga satu-satunya negara di ASEAN (SEATCA, 2012),

bahkan di Asia-Pasifik (Nichter dkk., 2009) yang belum menandatangani

WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), suatu perjanjian

11

internasional mengenai pengendalian tembakau antarnegara-negara anggota

WHO.

Pengiklanan rokok di Indonesia cukup gencar. Figur rokok yang diusung

adalah pengendali emosi, simbol kejantanan, dan sebagai bagian dari tradisi

sekaligus simbol modernitas. Iklan rokok juga sangat mudah ditemukan di

sepanjang jalan. Di Kota Yogyakarta, misalnya, sulit untuk berjalan di trotoar

tanpa menemukan iklan rokok dalam bentuk spanduk, bendera, atau baliho.

Media-media periklanan tersebut secara berkala diperbaharui oleh industri

rokok yang bersangkutan (Nichter dkk., 2009).

Secara ekonomi dan politik, posisi industri rokok di Indonesia juga kuat.

Hal ini disebabkan karena industri rokok merupakan sumber pendapatan

pemerintah terbesar ke-4. Oleh karena itu, industri rokok menjadi lebih

mudah mempromosikan produknya di Indonesia. Industri rokok

mempromosikan produknya tidak hanya dengan pemasangan iklan, tetapi

juga melalui pemberian sponsor untuk menyelenggarakan acara atau

membangun fasilitas publik seperti halte bus, lampu taman, taman kota, dan

lain-lain (Nichter dkk., 2009).

3. Kandungan asap rokok dan dampak rokok bagi kesehatan

Pada dasarnya, ada 2 tipe asap yang dihasilkan rokok berdasarkan arah

alirannya, yaitu asap aliran utama (mainstream) dan asap aliran samping

(sidestream). Asap mainstream dihasilkan dari ujung rokok yang menempel

pada mulut selama rokok diisap. Asap sidestream dihasilkan dari puntung

12

rokok yang membara. Udara di sekitar perokok terdiri atas campuran asap

mainstream yang diembuskan perokok, asap sidestream¸ dan asap yang

keluar dari pori-pori kertas rokok (USDHHS, 2010).

Kandungan senyawa kimia pada asap mainstream dan pada asap

sidestream berbeda. Zat-zat dengan titik didih rendah lebih banyak ditemukan

pada asap sidestream (Sakuma dkk., 1984). Kandungan asap mainstream

tergantung pada komposisi bahan-bahan mudah terbakar pada daerah tepi

batang rokok (cigarette rod), sedangkan kandungan asap sidestream banyak

dipengaruhi oleh komposisi pada bagian tengah batang (USDHHS, 2010).

Asap rokok merupakan zat dengan kandungan senyawa kimia yang

kompleks (USDHHS, 2010). Asap rokok diperkirakan mengandung lebih dari

4.000 senyawa kimia (USDHHS, 2007a). Dari 4.000 senyawa kimia tersebut,

terdapat sekitar 250 senyawa yang berisiko memberikan dampak buruk bagi

kesehatan perokok dan orang di sekitar perokok (USDHHS, 2007a). Zat

beracun yang banyak dikandung asap rokok adalah nikotin, N-nitrosamin,

hidrokarbon aromatik polisiklik, zat-zat volatil termasuk aldehid, logam

berat, amina aromatik, dan amina heterosiklik (USDHHS, 2010).

Asap rokok dapat menyebabkan dampak buruk bagi kesehatan. Dampak

buruk yang ditimbulkan rokok tidak hanya pada sistem pernapasan, tetapi

juga pada sistem-sistem organ lainnya. Asap rokok berpotensi menimbulkan

osteoporosis, batuk, hiperplasia, displasia, abnormalitas konsentrasi lipid di

serum, perubahan kadar koagulan pada darah, penyakit periodontal, dan

abnormalitas tes toleransi glukosa (Stratton dkk., 2010). Pada aras molekuler,

13

asap rokok dapat menyebabkan mutasi pada gen pengatur enzim hipoksantin

fosforibosil transferase (HPRT), kerusakan DNA, perubahan RNA,

perubahan ekspresi protein, perubahan metilasi pada promoter, mutasi

mitokondria, leukositosis, penyimpangan pada kromosom, dan perubahan

limfosit (USDHHS, 2010). Asap rokok dikategorikan sebagai zat

karsinogenik oleh US Environmental Protection Agency (USDHHS, 2007a).

Dampak buruk rokok tidak hanya mengancam perokok aktif, tetapi juga

perokok pasif. Perokok pasif atau secondhand smoker menghirup asap

mainstream dan asap sidestream. Perokok pasif terpapar lebih banyak zat

kimia beracun yang dikandung asap rokok karena konsentrasi zat kimia

beracun pada asap sidestream lebih besar dibandingkan pada asap

mainstream (USDHHS, 2007a).

Anak-anak yang berada pada lingkungan perokok pun turut berisiko

menerima dampak buruk dari rokok. Anak-anak yang sering menghirup asap

rokok dari lingkungannya selama pertumbuhan berpotensi mengalami

kelemahan paru-paru. Bayi yang ibunya merokok sewaktu hamil atau

terpapar asap rokok setelah lahir berisiko mengalami sindrom kematian

mendadak (sudden infant death syndrome). Ibu yang merokok sewaktu hamil

juga berpotensi melahirkan bayi dengan berat badan rendah (USDHHS,

2007b).

Rokok menyebabkan jumlah kematian yang besar di dunia. Pada tahun

2000, diperkirakan terdapat 4,83 juta kematian dini akibat merokok.

Persentase kematian dini akibat merokok adalah 12% dari total kematian

14

orang dewasa. Sebanyak 3,84 juta kematian akibat merokok terjadi pada pria

dan 1 juta kematian akibat merokok terjadi pada wanita. Wilayah di dunia

dengan riwayat merokok yang lebih lama memiliki tingkat kematian akibat

rokok lebih besar (Ezzati & Lopez (2004).

4. Ketergantungan rokok

Rokok bersifat adiktif. Selama ini, ketergantungan rokok selalu dikaitkan

dengan nikotin. Nikotin adalah substansi di dalam asap rokok yang dianggap

paling berperan dalam membuat rokok menjadi adiktif. Oleh karena itu,

ketergantungan rokok sering direpresentasikan dengan istilah adiksi nikotin

(USDHHS, 2010).

Nikotin di dalam rokok menciptakan perasaan yang menyenangkan dan

meredam kecemasan. Dalam jangka pendek, rokok juga meningkatkan daya

konsentrasi dan performa dalam bekerja. Kedua hal tersebut dapat

menginduksi kecanduan rokok. Selain itu, perokok yang mencoba berhenti

merokok biasanya mengalami kegagalan karena tidak sanggup menghadapi

efek withdrawal dari berhenti merokok secara tiba-tiba, yaitu lelah, cemas,

terlalu peka terhadap rangsangan, dan mood yang buruk, sehingga perokok

yang terkena efek withdrawal cenderung melakukan kegiatan merokok untuk

meredam efek tersebut (Benowitz, 2010).

Nikotin di dalam rokok menyebabkan adiksi melalui induksi produksi

dopamin. Nikotin berinteraksi dengan reseptor asetilkolin nikotinik di daerah

mesolimbik otak. Interaksi ini akan menyebabkan pelepasan dopamin di

15

tempat-tempat yang terlibat dalam pengaturan informasi, ingatan, dan emosi.

Kenaikan kadar dopamin di daerah mesolimbik otak menyebabkan perasaan

kecanduan (D'Souza & Markou, 2011).

Adiksi nikotin pada rokok memiliki fase dan kriteria yang hampir sama

dengan adiksi obat-obatan. Adiksi nikotin terjadi dalam 3 fase, yaitu

penerimaan dan pemeliharaan kebiasaan mengonsumsi nikotin, kemunculan

gejala withdrawal ketika berhenti mengonsumsi, dan kecenderungan

kekambuhan. Kriteria adiksi nikotin meliputi hal-hal berikut ini.

a. Kriteria primer, yaitu penggunaan secara terkendali maupun

kompulsif, kemunculan efek psikoaktif, dan kemunculan perilaku

akibat stimulasi obat (drug-reinforced behavior)

b. Kriteria tambahan, yaitu perilaku seperti pola penggunaan teratur,

kelanjutan penggunaan kendati sudah mengetahui efek berbahayanya,

kekambuhan selama berhenti mengonsumsi, dan kemunculan

keinginan yang berlebihan untuk mengonsumsi (craving).

(USDHHS, 2010)

Akhir-akhir ini, penggunaan adiksi nikotin sebagai istilah yang

merepresentasikan ketergantungan terhadap rokok mulai ditinjau ulang.

Menurut Fagerström (2011), walaupun nikotin merupakan zat yang paling

berperan dalam menyebabkan ketergantungan pada rokok, masih banyak zat

lain di dalam rokok yang berpotensi menyebabkan hal serupa. Asetaldehid,

salah satu kandungan asap rokok, dapat menyebabkan ketergantungan melalui

penghambatan enzim monoamin oksidase (MAO), sehingga kadar dopamin

16

meningkat (Fagerström, 2011). Selain itu, efikasi terapi nikotin pengganti

untuk membantu upaya berhenti merokok dianggap sedang (Fiore dkk.,

2008), bahkan walaupun jumlah nikotin pengganti sudah menggantikan

jumlah nikotin pada rokok (Dale dkk., 1995).

5. Pengukuran ketergantungan pada rokok dengan instrumen Fagerström

Test for Cigarette Dependence (FTCD)

Selama ini, telah dikembangkan berbagai instrumen untuk mengukur

ketergantungan pada rokok. Instrumen tersebut berupa kuesioner dengan

beberapa pertanyaan. Isi pokok dari instrumen-instrumen tersebut meliputi

hal-hal berikut.

a. Penggunaan yang berulang dan bersifat kompulsif

b. Kesulitan mengendalikan penggunaan rokok

c. Perasaan ingin mendapatkan rokok yang disebabkan oleh hal-hal

tertentu, seperti craving atau perasaan rileks setelah merokok

d. Keyakinan akan khasiat rokok yang didasarkan pada efek penguatan

(reinforcement) yang didapatkan dari merokok

e. Manifestasi ketergantungan secara fisik yang diwujudkan dalam

bentuk toleransi atau withdrawal.

(USDHHS, 2010)

Contoh instrumen untuk mengukur ketergantungan pada rokok antara

lain The Decisional Balance untuk mengukur keseimbangan antara

kesetujuan dan ketidaksetujuan melanjutkan merokok dan berhenti merokok,

17

The Self-Efficacy/Temptation Scale untuk mengukur keyakinan responden

akan kemampuannya berhenti merokok dan menahan godaan untuk kembali

merokok (James & O’Donohue, 2009), dan Fagerström Test for Nicotine

Dependence yang baru-baru ini diusulkan untuk berganti nama menjadi

Fagerström Test for Cigarette Dependence (Fagerström, 2012).

Fagerström Test for Cigarette Dependence (FTCD) merupakan instrumen

pengukur ketergantungan pada rokok yang banyak digunakan secara klinik.

FTCD telah digunakan pada berbagai clinical guideline oleh instansi-instansi

kesehatan, antara lain oleh Department of Health State of Western Australia

(2011), European Medicines Agency (2007), dan National Health Service

(2011) di Inggris. FTCD dinilai praktis karena dapat mengukur kecanduan

merokok dengan jumlah pertanyaan yang sedikit, sistem penilaian yang

cukup mudah, dan sifat psikometriknya masih memadai (James &

O’Donohue, 2009). FTCD pada dasarnya mengukur kecanduan rokok

berdasarkan paparan nikotin (rokok), kesulitan mengontrol kebiasaan

merokok, dan urgensi merokok (USDHHS, 2010).

FTCD terdiri atas 6 pertanyaan. Setiap pertanyaan memiliki 2—4 pilihan

jawaban dengan besar poin tertentu. Pertanyaan-pertanyaan pada FTCD

dipaparkan dalam Gambar 1.

18

Gambar 1. Daftar pertanyaan pada FTCD (USDHHS, 2010)

Pengukuran ketergantungan pada rokok dengan FTCD didasarkan pada

skor total responden. Semakin besar skor hasil tes artinya semakin besar

ketergantungan responden pada rokok (Heatherton dkk., 1991). FTCD

menggolongkan tingkat kecanduan rokok menjadi lima tingkat, yaitu sangat

rendah (very low dependence), rendah (low dependence), sedang (medium

dependence), tinggi (high dependence), dan sangat tinggi (very high

dependence) (National Health Service, 2011).

6. Pengukuran Health-Related Quality of Life (HRQoL) dengan Instrumen

WHOQOL-BREF

Kualitas hidup atau quality of life (QoL) pada dasarnya merupakan

ukuran seberapa baik seseorang menjalani hidupnya (Nordenfelt, 1994).

Istilah ini mencakup ranah-ranah yang amat luas. Ada banyak hal yang

mempengaruhi kualitas hidup secara umum, misalnya pendidikan

19

(Nordenfelt, 1994), standar-standar dalam kehidupan sosial (Nordenfelt,

1994), keadaan keluarga (Walker & Rosser, 1993), kondisi personal (Walker

& Rosser, 1993), dan lain-lain.

Untuk bidang kesehatan, istilah yang lebih spesifik adalah kualitas hidup

terkait kesehatan atau health-related quality of life (HRQoL). HRQoL

merupakan istilah yang cakupannya lebih sempit karena hanya meliputi hal-

hal yang mempengaruhi kesehatan seseorang (Nordenfelt, 1994). Menurut

Patrick dan Erickson (1993), HRQoL didefinisikan sebagai ―the value

assigned to duration of life as modified by the impairments, functional states,

perceptions, and social opportunities that are influenced by disease, injury,

treatmen, or policy.‖

Terdapat dua jenis instrumen yang digunakan untuk mengukur HRQoL,

yaitu instrumen generik dan instrumen spesifik. Instrumen generik adalah

instrumen untuk mengukur HRQoL pada populasi secara umum dan dengan

rentang penyakit yang luas. Instrumen spesifik digunakan untuk mengukur

HRQoL pada populasi khusus, yaitu populasi berdasarkan kondisi penyakit

tertentu atau populasi yang menerima pengobatan tertentu. Instrumen spesifik

menitikberatkan pada tahap-tahap tertentu dari penyakit tertentu (Fayers &

Machin, 2007).

WHOQOL adalah salah satu contoh instrumen generik untuk mengukur

HRQoL (Frank-Stromborg & Olsen, 2004). WHOQOL dapat digunakan

untuk mengukur HRQoL pada berbagai kondisi penyakit. Penyakit-penyakit

yang telah diukur dengan WHOQOL antara lain penyakit psikiatrik (Hasanah

20

dan Razali, 2002), HIV (Fang dkk., 2002; Starace dkk., 2002), nyeri kronis

(Skevington dkk., 2001), dan transplantasi hati (O'Carroll dkk., 2000).

WHOQOL juga digunakan untuk mengukur HRQoL pada isu-isu kesehatan

yang menimpa masyarakat secara komunal, misalnya kualitas hidup

masyarakat pascagempa (Wang dkk., 2000). Salah satu isu kesehatan yang

dapat diukur dengan WHOQOL adalah konsumsi rokok.

WHOQOL mengukur kualitas hidup dari sudut pandang responden.

Kualitas hidup yang diukur oleh WHOQOL adalah kualitas hidup yang

dirasakan responden. WHOQOL tidak mengukur detail mengenai gejala

penyakit, kondisi responden, atau disabilitas responden. WHOQOL

mengukur berdasarkan persepsi responden atas kualitas hidupnya secara

umum (WHO, 1998).

Terdapat 2 macam kuesioner WHOQOL, yaitu WHOQOL-100 dan

WHOQOL-BREF. WHOQOL-100 terdiri atas 100 pertanyaan, sedangkan

WHOQOL-BREF terdiri atas 26 pertanyaan. WHOQOL-BREF merupakan

versi lebih singkat dari WHOQOL-100 yang mencakup semua domain yang

diukur oleh WHOQOL-100. Supaya dapat meliputi hal-hal yang dikaji

WHOQOL-100, pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner WHOQOL-BREF

harus mencakup 24 aspek pada WHOQOL-100 ditambah 2 pertanyaan

mengenai keseluruhan kualitas hidup dan persepsi kesehatan secara umum

(WHO, 1998).

Jumlah domain WHOQOL-100 dibuat menjadi lebih padat pada

WHOQOL-BREF. Pada WHOQOL-100, terdapat 6 domain, sedangkan pada

21

WHOQOL-BREF terdapat 4 domain. Pada WHOQOL-BREF, domain

spiritualitas (spirituality domain) dimasukkan pada domain psikologis

(psychological domain) dan domain kemandirian (level of independence

domain) dimasukkan pada domain fisik (physical domain) (WHO, 1998).

Domain I Physical Capacity

1 Pain and discomfort

2 Energy and fatigue

3 Sleep and rest

Domain II Psychological

4 Positive feelings

5 Thinking, learning, and concentration

6 Self-esteem

7 Bodily image and appearance

8 Negative feelings

Domain III Level of Independence

9 Mobility

10 Activities of daily living

11 Dependence on medication or treatments

12 Work capacity

Domain IV Social Relationship

13 Personal relationships

14 Social support

15 Sexual activity

Domain V Environment

16 Physical safety and security

17 Home environment

18 Financial resources

19 Health and social care: accessibility and quality

20 Opportunities for acquiring new information and skills

21 Participation in and opportunities for recreation/ leisure activities

22 Physical environment (pollution/noise/traffic/climate)

23 Transport

Domain VI Spirituality/Religion/ Personal Beliefs

Overall quality of life and general health perceptions

Gambar 2. Domain-domain pada kuesioner WHOQOL-100 (WHO, 1998)

22

Gambar 3. Domain-domain dan aspek-aspek pada kuesioner WHOQOL-BREF

(WHO, 1998)

Quality of Life

Physical

Psychological

Social

Relationship

Environment

Pain (item 3)

Energy (item 10)

(item 3) Sleep (item 16)

(item 3) Mobility (item 15)

(item 3)

Activities (item 17)

(item 3) Medication (item4)

(item 3) Work (item 18)

Pos. feel (item 5)

(item 3) Think (item 7)

Esteem (item 19)

Body (item 11)

Neg. feel (item 26)

Spirituality (item6)

Relat. (item 20)

Support (item 22)

Sex (item 21)

Safety (item 8)

Home (item 23)

Finance (item 12)

Services (item 24)

Inform. (item 13)

Leisure (item 14)

Envir. (item 9)

Transp. (item 25)

23

Penilaian WHOQOL-BREF dilakukan menggunakan skala 5 poin. Poin 1

artinya ―tidak sama sekali‖ dan poin 5 artinya ―dalam jumlah yang

berlebihan‖ (Frank-Stromborg dan Olsen, 2004). WHOQOL-BREF telah

diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, salah satunya adalah bahasa

Indonesia (WHO, 2004). Kuesioner WHOQOL-BREF dalam bahasa

Indonesia sudah divalidasi dan diuji reliabilitasnya oleh Salim dkk. (2007).

7. Profil DIY, Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Universitas

Gadjah Mada

Provinsi DIY adalah provinsi terpadat ketiga di Indonesia. Secara

administratif, Provinsi DIY terdiri atas 4 kabupaten dan 1 kota. Keempat

kabupaten tersebut adalah Sleman, Kulonprogo, Bantul, dan Gunungkidul.

Satu-satunya kota sekaligus ibukota Provinsi DIY adalah Kota Yogyakarta.

(Dinas Kesehatan DIY, 2013)

Kabupaten Sleman adalah kabupaten dengan luas wilayah terbesar kedua

di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu 574,82 km2 (Dinas Kesehatan

DIY, 2013). Hingga tahun 2010, Kabupaten Sleman juga merupakan

kabupaten dengan kepadatan penduduk tertinggi di Provinsi DIY, yaitu 1.902

jiwa/km2 (Dinas Kesehatan DIY, 2013). Kabupaten Sleman terdiri atas 17

kecamatan, antara lain Moyudan, Godean, Minggir, Gamping, Seyegan,

Sleman, Ngaglik, Mlati, Tempel, Turi, Prambanan, Kalasan, Berbah,

Ngemplak, Pakem, Depok, dan Cangkringan (Pemerintah Kabupaten Sleman,

2014).

24

Kota Yogyakarta merupakan satu-satunya kota di Provinsi DIY.

Dibandingkan dengan keempat kabupaten di Provinsi DIY, Kota Yogyakarta

memiliki luas wilayah yang paling kecil, yaitu 32,50 km2, tetapi juga

memiliki kepadatan penduduk yang paling besar hingga tahun 2010, yaitu

11.958 jiwa/km2

(Dinas Kesehatan DIY, 2013). Kota Yogyakarta terdiri atas

14 kecamatan, yaitu Jetis, Gedongtengen, Ngampilan, Keraton, Gondomanan,

Tegalrejo, Wirobrajan, Gondokusuman, Danurejan, Pakualaman,

Mergangsan, Umbulharjo, Kotagedhe, dan Mantrijeron (Badan Pusat Statistik

Kota Yogyakarta, 2012).

Provinsi DIY memiliki peraturan daerah mengenai kawasan bebas asap

rokok, yaitu Peraturan Gubernur Nomor 42 Tahun 2009 (Gubernur DIY,

2009). Walaupun juga mengacu pada peraturan di Provinsi DIY, Kabupaten

Sleman tetap membuat peraturan daerah sendiri mengenai kawasan bebas

asap rokok yang tertuang pada Peraturan Bupati Sleman Nomor 42 Tahun

2012 Tentang Kawasan Tanpa Rokok (Bupati Sleman, 2012). Berbeda

dengan Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta belum memiliki peraturan

daerah sendiri mengenai kawasan bebas asap rokok, melainkan masih

mengacu pada Peraturan Gubernur Nomor 42 Tahun 2009.

Universitas Gadjah Mada (UGM) adalah salah satu universitas yang

tertua di Provinsi DIY, bahkan di Indonesia (UGM, 2013b). UGM juga

memiliki jumlah mahasiswa yang besar, yaitu 51.796 orang pada tahun 2012

(UGM, 2013c). Pada program sarjana, UGM memiliki 4 klaster (kesehatan,

sains-teknologi, agro, dan sosiohumaniora) dan 18 fakultas (UGM, 2013a).

25

Klaster kesehatan terdiri atas fakultas farmasi, kedokteran gigi, dan

kedokteran. Klaster sainstek terdiri atas fakultas biologi, geografi, MIPA, dan

teknik. Klaster agro terdiri atas fakultas kedokteran hewan, kehutanan,

pertanian, peternakan, dan teknologi pertanian. Klaster sosiohumaniora terdiri

atas fakultas ekonomika dan bisnis, filsafat, hukum, ilmu budaya, psikologi,

dan isipol. Berkaitan dengan rokok, UGM sudah memiliki peraturan yang

menyatakan bahwa UGM merupakan kawasan bebas asap rokok, yaitu

Peraturan Rektor UGM Nomor 29/P/SK/HT/2008 (UGM, 2012).

8. Landasan Teori

Rokok mengandung bahan-bahan kimia yang dapat membahayakan

kesehatan perokok maupun orang-orang di sekitar perokok (USDHHS,

2007a). Salah satu outcome kesehatan yang bersifat subjektif adalah kualitas

hidup terkait kesehatan atau health-related quality of life (HRQoL). Beberapa

penelitian mengemukakan bahwa responden yang tidak merokok memiliki

HRQoL lebih baik daripada responden yang merokok (De Castro dkk., 2010;

Fallahzadeh & Mirzaei, 2012; Vogl dkk., 2012; Becoña dkk., 2013).

Salah satu bahan kimia yang dikandung rokok adalah nikotin. Nikotin

adalah substansi yang dapat menyebabkan ketergantungan (USDHHS, 2010).

Ketergantungan rokok telah diteliti dapat mempengaruhi HRQoL. Castro dkk.

(2007) dan Scnoll dkk. (2013) mengatakan bahwa tingkat ketergantungan

rokok yang tinggi dapat memperburuk HRQoL seseorang.

26

HRQoL seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh kebiasaan merokoknya.

Profil sosiodemografi seseorang juga dapat mempengaruhi HRQoL-nya.

Beberapa variabel sosiodemografi tersebut antara lain usia (Skevington dkk.,

2004), klaster pendidikan di universitas (Al-Naggar dkk., 2013), tingkat

pendidikan (Skevington & The WHOQOL Group, 2010), status kesehatan

(Nedjat dkk., 2008; Jaracz dkk., 2006), kebiasaan olahraga (Fallahzadeh &

Mirzaei, 2012), riwayat penyakit kronik (Gholami dkk., 2013), dan status

merokok orang tua (USDHHS, 2007b).

Sementara itu, profil sosiodemografi juga mempengaruhi status merokok

dan tingkat ketergantungan rokok. Status merokok dapat dipengaruhi oleh

tingkat pendidikan (WHO, 2012), status kesehatan (Margolis, 2013), aktivitas

fisik (Papathanasiou dkk., 2012), riwayat penyakit kronik (Margolis, 2013),

dan status merokok orang tua (Flora dkk., 2012). Sementara itu, variabel usia

(Fidler dkk., 2010), klaster pendidikan di universitas (Al-Mohamed & Amin,

2010), tingkat pendidikan (Gallus & La Vecchia, 2004), status kesehatan

(Maguire dkk., 2000), aktivitas olahraga (Taylor dkk., 2007), riwayat

penyakit kronik (Maguire dkk., 2000) , dan status merokok orang tua (Xian

dkk., 2010) juga dapat mempengaruhi tingkat ketergantungan rokok

seseorang.

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan

Universitas Gadjah Mada (UGM). Perbedaan ketiga daerah ini, selain pada

karakteristik respondennya, terletak pada health-related behavior terkait

rokok. Kabupaten Sleman merupakan kabupaten yang sudah memiliki

27

peraturan daerah mengenai kawasan bebas asap rokok (Bupati Sleman, 2012).

UGM pun sudah memiliki peraturan yang menyatakan sebagai kampus bebas

asap rokok (UGM, 2012). Namun, Kota Yogyakarta belum memiliki

peraturan daerah serupa dan masih mengacu pada peraturan daerah dari

Gubernur DIY.

9. Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah ada, dapat diambil hipotesis

bahwa terdapat hubungan antara tingkat ketergantungan rokok dengan health-

related quality of life (HRQoL).

10. Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 4. Skema konsep penelitian

Wilayah a. Sleman

b. Yogyakarta

c. Universitas Gadjah

Mada

Variabel sosiodemografi:

Usia, Tingkat Pendidikan, Klaster Pendidikan, Status

Kesehatan, Kebiasaan Olahraga, Riwayat Penyakit,

Status Merokok Orang Tua

Perokok Nonperokok

Tingkat

Ketergantungan pada

Rokok

Kualitas Hidup

(HRQOL)