bab i pendahuluan a. latar...

25
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di bulan Juli tahun 2007, buletin Skana melaporkan berita mengenai pementasan Teater Muslim. Tercatat pada tanggal 14-15 April 2007, Teater Muslim mementaskan sebuah lakon yang berjudul Pedro dalam Pasungan. Pentas tersebut dalam rangka peringatan meninggalnya salah satu pentolan Teater Muslim, yaitu Pedro Sujono. Pertunjukkan tadi diselenggarakan di Societet, Taman Budaya Yogyakarta. Naskah Pedro dalam Pasungan ditulis sendiri oleh Pedro Sujono. Menariknya, pementasan tersebut muncul di kala iklim teater Yogyakarta sedang sepi gaya realis. 1 Puluhan tahun yang lalu, jagad teater Yogyakarta pernah diramaikan oleh peristiwa teater yang bergaya realis. Jadi pementasan Teater Muslim di tahun 2007 bisa dianggap sebagai momentum atau titik balik kelahiran kembali teater yang mengacu pada gaya realis. Hanya saja pementasan tersebut ibarat kentut belaka. Baunya yang tidak sedap, tiba-tiba menghilang entah kemana. Karena sampai sekarang batang hidung Teater Muslim urung muncul kembali. Beberapa tahun kemudian, dunia teater di Yogyakarta kembali diramaikan oleh peristiwa yang menarik. Yaitu pembacaan naskah drama, IDRF (Indonesian Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon berbahasa Indonesia. Beruntung acara tersebut masih berlangsung rutin sampai sekarang. Bahkan dalam tiga tahun terakhir penyelenggaraan IDRF 1 Andi Sri Wahyudi, “Pedro dalam Pasungan dan Geliat Teater Muslim Muda” dalam Skana Newsletter, 16 Juli 2007.

Upload: lamhuong

Post on 09-Apr-2019

225 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di bulan Juli tahun 2007, buletin Skana melaporkan berita mengenai

pementasan Teater Muslim. Tercatat pada tanggal 14-15 April 2007, Teater

Muslim mementaskan sebuah lakon yang berjudul Pedro dalam Pasungan. Pentas

tersebut dalam rangka peringatan meninggalnya salah satu pentolan Teater

Muslim, yaitu Pedro Sujono. Pertunjukkan tadi diselenggarakan di Societet,

Taman Budaya Yogyakarta. Naskah Pedro dalam Pasungan ditulis sendiri oleh

Pedro Sujono. Menariknya, pementasan tersebut muncul di kala iklim teater

Yogyakarta sedang sepi gaya realis.1

Puluhan tahun yang lalu, jagad teater Yogyakarta pernah diramaikan oleh

peristiwa teater yang bergaya realis. Jadi pementasan Teater Muslim di tahun

2007 bisa dianggap sebagai momentum atau titik balik kelahiran kembali teater

yang mengacu pada gaya realis. Hanya saja pementasan tersebut ibarat kentut

belaka. Baunya yang tidak sedap, tiba-tiba menghilang entah kemana. Karena

sampai sekarang batang hidung Teater Muslim urung muncul kembali.

Beberapa tahun kemudian, dunia teater di Yogyakarta kembali diramaikan

oleh peristiwa yang menarik. Yaitu pembacaan naskah drama, IDRF (Indonesian

Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah

lakon berbahasa Indonesia. Beruntung acara tersebut masih berlangsung rutin

sampai sekarang. Bahkan dalam tiga tahun terakhir penyelenggaraan IDRF

1 Andi Sri Wahyudi, “Pedro dalam Pasungan dan Geliat Teater Muslim

Muda” dalam Skana Newsletter, 16 Juli 2007.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

2

dikelilingkan ke luar kota. Antara lain di Jakarta, Bandung, Semarang dan

Lampung. Terhitung sudah lima kali gelaran IDRF terlaksana sejak tahun 2010.2

Di setiap penyelenggaraan, panitia menyajikan tema yang berbau realis.

Pada IDRF 2010, tema yang diusung adalah “Melihat Kembali Drama Realis di

Indonesia”. Di tahun kedua mereka menawarkan “Mengolah Kembali Realisme”.

Lalu “Memperkarakan Realisme” menjadi tajuk di tahun 2012. Pada ditahun

2013, mereka menyuguhkan “Membaca dan Menulis Ulang Lakon-Lakon 70-an”.

Berikutnya pada tahun 2014, IDRF mengangkat tema “Indonesia Futura”.

Beberapa kelompok teater senior di Yogyakarta juga sempat terlibat dalam

pembacaan di IDRF. Seperti, Teater Gandrik, Teater Dinasti dan Teater Stemka.

Bagaikan sebuah mesin waktu yang mengajak kita untuk menyusuri masa

lalu. Beberapa lakon lawas dan bersifat realis pernah disajikan dalam IDRF antara

lain Lelakon Raden Bei Surio Retno yang diciptakan F Wiggers tahun 1901, Citra

(1943) dan Liburan Seniman (1944) karya Usmar Ismail, lakon Senja Dengan

Dua Kelelawar (1957) tulisan Kirdjomulyo, naskah Bung Besar (1957) milik

Misbach Jusa Biran atau lakon fenomenal milik Utuy Tatang Sontani, yaitu Awal

dan Mira (1951).

Apabila mengacu pada pendapat Jakob Sumardjo, drama serta naskah realis

kehilangan tajinya di era 70an. Sebelum periode tersebut gaya realis sangat

dominan. Bahkan pementasan teater dengan gaya realis mampu mendobrak

2

IDRF dipelopori oleh Joned Suryatmoko dan Gunawan Maryanto.

Keduanya juga aktif di dunia teater. Joned Suryatmoko aktif di Teater Gardanalla,

sedang Gunawan Maryanto masih giat di Teater Garasi. IDRF bertujuan untuk

mengenalkan naskah-naskah lakon terbaru, baik dari Indonesia atau naskah asing

kepada khalayak lebih luas. Selain memfasilitasi lakon-lakon baru, mereka juga

mengenalkan naskah-naskah lawas di setiap penyelengaraan.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

3

dominasi teater tradisional. Goenawan Mohammad turut mengamini asumsi Jakob

Sumardjo tersebut. Masa “kekalahan” realisme tadi oleh Goenawan Mohammad

disebut sebagai periode teater mutakhir. Ketika beberapa kelompok teater mulai

mengakomodir gagasan-gagasan baru, seperti gaya naturalisme, surealisme

bahkan kembali lagi ke gaya romantik di pertengahan tahun 1960an.

Apa itu realisme ? Gerakan realisme muncul di Barat sekitar tahun 1850-an.

Mereka menggugat dominasi teater istana yang penuh fantasi. Di jagad realisme,

masyarakat diajak untuk menikmati pengalaman keseharian yang tentunya dekat

dengan mereka. Contohnya, masyarakat lebih mengenal cerita-cerita fantasi dan

imajiner tentang dewa, ksatria, raja, orang ningrat dsb. Realisme menggantinya

dengan cerita yang wajar, daily life. Kita bisa menggunakan istilah yang dipakai

oleh Kernodle bahwa realisme adalah the here and now alias “kini, disini dan

sekarang”.

Menurut Bakdi Soemanto, setting alias lingkungan benar-benar diperhatikan

oleh penulis realime.3 Setting tidak lagi berfungsi sebagai latar belakang. Sebab di

dalam setting termaktub dua hal, yaitu lingkungan alam dan sosial. Lagipula di

dalam pementasan, lingkungan mewakili setting tempat dan waktu. Setting

mempunyai fungsi penting untuk membangun tangga dramatik, dari awal hingga

akhir cerita. Karena itu realisme menuntut plot serta alur yang runtut dan rapi.

Hubungan antar adegan bisa dijelaskan dengan logika yang runtut. Plot lakon

3 Pengarang lakon yang konsisten dan teguh dengan realisme antara lain,

Arthur Miller, George Bernard Shaw, William Somerset Maughm, Anton Chekov,

Henrik Ibsen dll. Tokoh-tokoh tersebut mengawali kemunculan realisme di Eropa.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

4

realisme biasa disebut dengan istilah well made play alias lakon yang dirancang

dengan baik.4

Realisme berkembang di Indonesia sejak tahun 1900. Golongan intelektual

alias kaum berpendidikan punya peranan besar terkait realisme. Konsep realisme

yang merujuk kepada Barat identik dengan gagasan modern alias kemajuan.

Tradisi realisme bertolak belakang dengan kondisi jagad pertunjukkan yang

sedang moncer di Indonesia saat itu. Kala itu jagad sandiwara didominasi oleh

kelompok teater bangsawan serta stambul. Kita bisa menyebutnya sebagai teater

komersial, teater profesional atau teater perkotaan.

Teater komersil diatas tidak mengenal naskah ketikan. Mereka memainkan

sebuah lakon berdasarkan cerita-cerita lisan. Bisa dikatakan kelompok tersebut

lebih dekat dengan kebudayaan oral, ketimbang kebudayaan tulis. Karena itu,

kelompok tadi kerap pentas dengan improvisasi-improvisasi.

Babak realisme di Indonesia diawali oleh kemunculan beberapa naskah

terjemahan. Salah satunya berjudul Moesoenja Orang Banjak (1923) yang

diterjemahkan oleh Ang Jan-Goan dari lakon An Enemy of the People, milik

dramawan Norwegia, Henrik Ibsen. Sebelumnya, Lauw Giok Lan sudah

menerjemahkan sebuah lakon milik Hans de Wall alias Victor Ido menjadi Karina

Adinda (1912). Ada juga lakon yang berjudul Allah jang Palsoe (1919). Lakon

tersebut hasil terjemahan dari Kwee Tek Hoay, berasal dari cerita pendek milik

Phillip Openheim yang berjudul The False God.5

4 Bakdi Soemanto, “Realisme Dalam Jagat Teater”, Humaniora No. 11

(Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM Mei – Agustus 1999), hlm 35.

5 Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama

Indonesia (Bandung: STSI Press, 2004), hlm. 278.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

5

Penerjemahan naskah tersebut berhubungan erat dengan kebiasaan teater

komersil yang lebih senang menggunakan cerita fantasi dari Barat semacam

Hamlet, Zorro, Juanita de Verga dsb. Uniknya, beberapa naskah realis diatas

masih diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu Rendah, yaitu bahasa yang biasa

dipakai oleh masyarakat Cina Peranakan. Selain itu, para penerjemah diatas notabene

berasal dari kalangan Cina. Bahkan saat itu mereka sudah mulai mementaskan

naskah-naskah realisme. Kelompok yang disebut teater amatir itu diwakili oleh

golongan terpelajar dan calon pangreh praja. Tercatat kaum Cina Peranakan

pernah mementaskan lakon Harta jang Berbahaja di tahun 1912 yang

menceritakan tentang kehidupan sosial mereka.6

Apakah ide-ide realisme di Indonesia mengalami stagnasi di balik dominasi

teater komersial ? ternyata tidak. Sekitar 1930-an, masyarakat Indonesia mulai

rajin menulis naskah, baik naskah realis maupun non realis. Tapi semangat

tersebut merupakan satu hal positif bagi perkembangan kebudayaan kita.

Golongan terpelajar dan intelektual mulai terlibat ke dalam teater amatir.

Beberapa tokoh yang kelak menjadi pelopor pergerakan nasional turut serta

menerbitkan naskah drama dan menggunakan bahasa Indonesia. Sebut saja,

Bebasari (1926) karya Rustam Effendi, Kaloe Dewi Tara soedah berkata (1932)

oleh Muhamad Yamin, Sandhyakala ning Majapahit (1933) oleh Sanusi Pane,

lalu Nur Sutan Iskandar menyadur naskah drama milik Moliere menjadi si Bakhil.

6 Ibid., hlm. 121-122.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

6

Bung Karno juga sempat menulis naskah drama yang berjudul Reinbow, Krukut

Bikutbi dan Dr. Setan.7

Menjelang tahun 50-an, terutama disaat pendudukan Jepang, gairah

penulisan drama realis semakin mapan. Kondisi tersebut diperbaharui dengan

kesadaran terhadap pendokumentasian naskah serta tata cara bermain teater.

Sebelumnya, lakon-lakon drama melimpah ruah, namun tidak diimbangi dengan

catatan pentas, teknis permainan, bahkan pendokumentasian naskah. Selama

pendudukan Jepang, tokoh-tokoh seperti Usmar Ismail, Abu Hanifah alias El

Hakim, Armijn Pane, dan Idrus menyusun naskah-naskah teater realis. Lakon-

lakon yang mereka tulis lekat dengan kehidupan sehari-hari, orang-orang biasa.

Tingginya minat penulisan drama realis berhubungan dengan kebijakan

Jepang saat itu. Mereka membentuk sebuah badan yang bernama Poesat

Sandiwara, bagian integral dari Keimin Bunka Shidoso. Pemerintah Jepang

melakukan sensor terhadap setiap naskah yang dibuat. Karena itulah para penulis

harus menyiapkan materi secara rapi terlebih dahulu. Aturan tadi berdampak besar

terhadap kebudayan menulis masyarakat kita, terutama para penulis lakon. Namun

bencana menimpa kelompok teater komersil. Karena lakon-lakon yang sifatnya

improvisasi kebanyakan dilarang. Pemerintah Jepang curiga bahwa naskah-naskah

berbau improvisasi bisa disusupi propaganda anti Jepang.

Teater komersil memang kehilangan tajinya di masa itu. Selain sudah tidak

lagi digemari oleh masyarakat, beberapa bintang kelompok tersebut juga banting

7 Ibid., hlm. 123. Penulisan naskah dengan bahasa Indonesia berkaitan erat

dengan cita-cita sebagian kecil intelektual yang mereka manifeskan pada Sumpah

Pemuda di tahun 1928. Karena mereka mendambakan sebuah negara Indonesia

pada naskah-naskah tersebut.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

7

stir. Beberapa aktor teater komersil pindah haluan ke bidang film. Teater amatir

yang digawangi oleh kaum-kaum berpendidikan mulai mendapatkan tempat.

Salah satu kelompok yang terkenal adalah Sandiwara Penggemar Maya.

Anggotanya antara lain Usmar Ismail, D. Djajakusuma, Surjo Sumanto, Rosihan

Anwar dan Abu Hanifah. Naskah-naskah bernyawa realis mereka mainkan. Sebut

saja, Liburan Seniman, Taufan di Atas Asia, Citra. Bahkan beberapa naskah milik

Henrik Ibsen juga dipentaskan. Yaitu, Nora dan Jeritan Hidup Baru yang disadur

dan diterjemahkan oleh Armijn Pane.

Bagi mereka, teater bukan lagi perkara hiburan. Melainkan alat kebudayaan

sebagai bentuk ekspresi mereka atas kesadaran kebangsaan, kemanusiaan dan

ketuhahan. Teater adalah kegiatan intelektual. Gagasan atau ide tersebut kelak

berkembang menjadi ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia).

Menurut Bakdi Soemanto, titik kulminasi realisme terjadi disaat berdirinya

dua akademi teater di Yogyakarta dan Jakarta. Realisme mewakili apa itu gagasan

modern yang terdapat dalam teater. Di Jakarta berdiri ATNI pada tanggal 10

September 1955. Beberapa dedengkot akademi tersebut antara lain Asrul Sani dan

Usmar Ismail. Mereka mulai memperkenalkan ide-ide atau gagasan dari Barat.

Gaya teater realis ala Boleslavsky dan Stanislavsky mendominasi panggung

akademi teater. Naskah-naskah dari pengarang asing semacam Anton Chekov,

Nicolai Gogol, Emmanuel Roble mulai disadur dan dipentaskan.8

8 Di dalam idiom teater Indonesia, konsep tersebut sering disebut sebagai

realisme konvensional. Lihat Bakdi Soemanto, “Realisme Dalam Jagat Teater”,

Humaniora No. 11 (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM Mei – Agustus

1999), hlm 35.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

8

Di Yogyakarta juga berdiri sebuah akademi pendidikan mengenai teater,

yaitu Asdrafi (Akademi Seni Drama dan Film Indonesia). Cikal bakal akademi

teater tersebut adalah Sekolah Seni Drama dan Film Indonesia (SSDRAFI).

Berdiri pada tanggal 1 November 1951 dan dipelopori oleh Sri Murtono.

Sedangkan Asdrafi baru berdiri pada tahun 1953. Cikal bakal Asdrafi sebenarnya

muncul saat Kongres Kebudayaan I di Magelang tahun 1948. Kongres tadi

mengusulkan berdirinya sebuah lembaga pendidikan mengenai drama dan film.9

Dalam perkembangannya, keberadaan Asdrafi sendiri masih kalah gaung

dibanding ATNI.

Kelompok teater di Yogyakarta dapat dipastikan turut serta dalam ruang

kontestasi atau kompetisi di skala nasional. Hiruk pikuk teater di Yogyakarta pada

saat itu sebenarnya dikuasai oleh kelompok-kelompok yang diisi oleh kalangan

pelajar atau mahasiswa. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya pementasan

yang dilakukan oleh Asdrafi, Kelompok Lingga Budaja serta Fakultas Sastera,

Pedagogik dan Filsafat (SPF) pada sekitar tahun 1953-1954. Selain itu adapula

kelompok Raksi Seni, salah satu anggotanya adalah Kirdjomulyo.10

Kelompok-

kelompok diatas memainkan naskah-naskah saduran dari Barat. Mirip seperti

yang dilakukan oleh ATNI, mengacu pada realisme.

Antara kurun waktu 1950an sampai 1960an, mulai tumbuh kelompok teater

di Yogyakarta. Tren yang lumayan positif bagi perkembangan kebudayaan di

9

Tim Peneliti Kalangan Anak Zaman, Kepingan Riwayat Teater

Kontemporer di Yogyakarta : Laporan Penelitian Exixting Documentation dalam

Perkembangan Teater Kontemporer di Yogyakarta 1950 – 1990 (Yogyakarta :

Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 18-19.

10 Ibid., hlm. 23-24.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

9

Yogyakarta. Mereka saling bersaing dengan menulis dan mementaskan sebuah

lakon realis. Baik lakon buatan pengarang asing atau pengarang lokal.

Kirdjomulyo misalnya, pemuda yang kala itu kuliah di Fakultas SPF UGM

termasuk rajin menulis lakon-lakon teater. Contohnya, Penggali Intan, Penggali

Kapur, dan Senja dengan Dua Kelelawar. Ada juga Mottingo Bosye yang

menyusun Malam Jahanam dan Barabah. Tidak ketinggalan Nasjah Djamin,

beliau menulis Titik-Titik Hitam dan Sekelumit Nyanyian Sunda.

Salah satu pelopor gaya baru yang kelak disebut teater eksperimental,

adalah W.S Rendra bersama rekan-rekannya. Mereka mendirikan Studi Grup

Drama Djogja (SGDD). Basis penciptaan mereka masih realis kala itu, namun

mereka juga mempelajari lakon-lakon non realis pada waktu yang sama. Kelak,

kelompok tersebut menjadi akar berdirinya grup Bengkel Teater. Beberapa

kelompok lainnya adalah, Teater Indonesia, Lembaga Drama Nasional (LDN).

Di sisi yang lain, teater berbasis kelompok keagamaan juga turut

meramaikan panggung teater di Yogyakarta. Muncul Teater Muslim yang berdiri

pada tahun 1961. Kelompok ini dikenal berafiliasi dengan Muhammadiyah,

karena penggiat Teater Muslim kebanyakan menjadi anggota salah satu organisasi

Islam terbesar di Indonesia tersebut. Mohammad Diponegoro, Pedro Sujono,

Chaerul Umam dan Syubah Asa merupakan salah satu anggota Teater Muslim.

Arifin C Noer juga pernah bergabung dengan kelompok ini, hanya saja di tahun

1968 beliau pindah ke Jakarta dan mendirikan Teater Ketjil.

Selain Teater Muslim, juga muncul kelompok-kelompok teater berdasarkan

golongan agama. Antara lain Studi Teater Arena Katolik (Starka), Teater Kristen

serta Sthemka. Fenomena tersebut juga terjadi di beberapa kota-kota besar lain. Di

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

10

Jakarta ada Seni Teater Kristen (STK), salah satu anggotanya adalah Teguh

Karya. Ada pula Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) dan Lembaga Seniman

dan Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi).

Di kurun waktu 60-an, seni pertunjukkan di Indonesia (termasuk teater)

berhubungan erat dengan suasana politik yang memanas. Soekarno menelurkan

sebuah dogma yang disebut, NASAKOM (Nasionalis, Agamis dan Komunis).

Kelak ketiga ideologi tersebut akan turun ke medan kebudayaan. Tidak heran

apabila partai politik saat itu mempunyai “sayap” yang mengatasnamakan

lembaga kebudayaan. PKI (Partai Komunis Indonesia) misalnya, entah diakui

secara resmi atau tidak, anggota-anggota mereka banyak yang berkecimpung di

dalama kegiatan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). PNI memiliki LKN

(Lembaga Kebudayaan Nasional), lalu Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim

Indonesia) yang melebur di dalam partai NU (Nadhlatul Ulama). Masyumi yang

kelak dilarang oleh Presiden Soekarno juga dekat dengan HSBI (Himpunan

Seniman dan Budayawan Islam). Beberapa lembaga kebudayaan yang lain adalah

Badan Musyawarah Kebudayaan Islam (BMKI), Lembaga Kebudayaan Katholik

(LKK), Lembaga Kebudajaan dan Seniman Islam Yogyakarta (LEKSI), Lembaga

Kebudayaan Kristen Indonesia (Lekkrindo) dan Grup Studi Budayawan Kristen

Indonesia. Persaingan semakin memanas ketika muncul sekelompok intelektual

yang menolak gagasan bahwa berkesenian harus berpolitik, mereka lalu

melontarkan Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Kelak, kelompok tersebut

disebut sebagai Manikebuis oleh kalangan Lekra.

Persaingan jagad kebudayaan, khususnya di bidang teater semakin memanas

di kurun 60-an. Lekra sendiri sebenarnya juga identik dengan gagasan realisme.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

11

Biarpun banyak pihak yang mengatakan bahwa Lekra lebih dekat dengan

panggung kesenian yang bersifat tradisional. Sejatinya realisme menjadi sebuah

medan persaingan di periode pascakolonial yang diperebutkan oleh banyak pihak

demi pencarian identitas ke-Indonesiaan. Beranjak ke periode selanjutnya, teater

di Indonesia diramaikan oleh gaya baru yang mereproduksi ulang budaya kita.

Masa tersebut lebih dikenal sebagai kemunculan teater mutakhir yang diisi dengan

teater-teater eksperimental. Media banyak sekali merekam peristiwa-peristiwa

penting yang terkait dengan perubahan teater realis menuju teater eksperimental.11

Jagad teater di Indonesia memang pernah diramaikan oleh realisme. Seperti

yang sudah disebutkan diatas, gaya tersebut merebak di era 50an sampai 60an.

Hingga kemunculan identitas baru di dalam tubuh teater, yaitu teater

eksperimental. Tidak heran apabila munculnya IDRF tersebut sebagai bentuk

kegelisahan atas minimnya naskah realis. Selain itu di tahun 2010, Komunitas

Salihara pernah menyelenggarakan Sayembara Penulisan Lakon Realis. Motifnya

sama, mereka resah atas kuantitas pementasan bergaya realis yang sedikit.

Gencarnya teater “tubuh” membuat langka lakon-lakon yang mengutamakan seni

peran. Wajar, karena teater “tubuh” tidak melulu berpatokan dengan teks (dialog).

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

Menurut pemikiran Bourdieu, masalah seni dan masalah sosial tidak saling

tepisah. Posisi mereka tidak saling bersaing ataupun berdialektik, melainkan

mempunyai hubungan saling tukar menukar. Diantara dunia simbolik, dunia

11

Apabila merujuk pada konsep yang diajukan oleh Jakob Sumardjo, masa-

masa teater eksperimental yang mulai tumbuh sejak pertengahan 1960an disebut

sebagai “Zaman Emas Teater II”. Sedangkan “Zaman Emas Teater I” berada pada

periode 1955-1960an.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

12

sosial, dan dunia material selalu ada hubungan tukar menukar. Karena di tiap

bidang tadi berlaku hukum ekonomi yang sama dan semua sektor terlibat kedalam

semacam ekonomi kebudayaan yang sama. Ketika kita membicarakan modal

uang, sejatinya kita juga membahas tentang modal sosial, modal kultural dan

khususnya modal simbolik atau model estetik.12

Pemikiran Bourdie diatas mirip dengan gagasan realisme yang identik

dengan masalah-masalah sosial. Teater realis muncul di Eropa untuk melawan

gaya romantisme yang sudah lama menguasai jagad kesenian. Realisme

membicarakan masalah-masalah moral, kebrobokan sosial, berhubungan erat

antara individu dan masyarakat. Tokoh-tokoh realis di Eropa seperti Chekov,

Ibsen, Strindberg menolak bentuk-bentuk bahasa yang puitik. Realisme lebih

dekat dengan bahasa dan akting yang wajar, sesuai dengan kehidupan sehari-hari.

Tema atau konflik yang diangkat juga berhubungan (terkadang) dengan realitas

sezaman.13

Paham realisme dalam teater memang menggelitik untuk diteliti. Sebab

realisme menjadi payung bagi tokoh-tokoh teater untuk membentuk identitas

nasional. Realisme menjadi inspirasi atau gagasan di kalangan intelektual

Indonesia saat itu. Selain itu, realisme menjadi pijakan pertama ketika menyentuh

dunia teater. Sebelum memulai petualangan baru, terutama ketika lahirnya masa

teater eksperimental.

12

Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan : Esai – esai

Sastra dan Budaya (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2004), hlm 387.

13 Sapardi Djoko Damono, “Sebermula adalah Realisme”, dalam Antologi

Drama Indonesia Jilid I : 1895-1930 (Jakarta : Amanah Lontar, 2006), hlm. xx.

Biarpun August Strindberg sebenarnya lebih dikenal sebagai tokoh naturalisme

dalam dunia teater.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

13

Banyaknya kelompok teater yang berdiri terutama di Yogyakarta

merupakan sebuah fenomena yang menarik. Apalagi beberapa kelompok atau

tokoh teater diyakini mempunyai pengaruh besar terhadap maraknya dunia teater

saat ini. Biarpun untuk periode sekarang tidak segencar pada tahun 1950an sampai

1980an. Beberapa kelompok serta tokoh yang disebutkan di atas berasal dari latar

belakang yang berbeda. Namun dibesarkan dalam orientasi modern ala Barat serta

besar di lingkungan masyarakat perkotaan. Selanjutnya setelah era realisme di

Indonesia berakhir, muncul konsep teater trans etnik (interaksi antar budaya) yang

diajukan oleh Saini KM. Atau mempertimbangkan tradisi dengan meminjam

istilah dari Putu Wijaya. Asumsinya teater modern yang ada di Indonesia sekarang

berasal dari gabungan antar budaya. Namun semua itu berawal dari adanya sebuah

eksperimen atas gagasan realisme dan secara periode dikenal sebagai masa teater

eksperimental.

Selanjutnya hal yang mengelitik adalah berdirinya grup teater dengan latar

belakang agama. Seperti Teater Muslim, Starka, LEKSI, Teater Kristen, HSBI,

Sthemka atau LESBUMI. Mereka berdampingan dengan kelompok teater non

keagamaan semacam SGDD, lalu dari ASDRAFI, Fakultas Sastra dan

Kebudayaan UGM, Teater Indonesia dll.

Konsep religi dalam performance art bisa kita cerna dari tulisannya Cliford

Geertz. Agama merupakan, sebuah sistem simbol yang berlaku di dalam diri

manusia (masyarakat). Geertz sendiri lalu menyebut, bahwa agama mampu

membuat suasana hati menjadi lebih tenang, membangkitkan motivasi (gairah).

Kegiatan berbau religius membuat hatinya tergerak dan timbul motivasi. Dari

ungkapan itu, dapat disimpulkan, bahwa agama sebagai simbol bisa dipakai

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

14

sebagai sarana untuk mengekspresikan sesuatu. Salah satunya dalam bentuk

kesenian (performance art).14

Namun, performance art sendiri berbeda konsep serta tujuannya dengan

cultural performances. Pertunjukkan kultural juga tidak bisa dianggap sebagai

pertunjukkan religius. Apabila tujuan mulanya bukan sebagai perwujudan atau

pemaknaan atas kepercayaan mereka. Pada dasarnya, agama merupakan sebuah

kumpulan makna yang selanjutnya ditafsirkan atau diwujudkan oleh masing-

masing individu. Makna sendiri termaktub di dalam simbol.15

Selanjutnya, kompetisi antar kelompok-kelompok teater di Yogyakarta

menarik untuk dicermati. Baik antara kelompok teater berbasis kelompok

keagamaan ataupun yang bukan. Mereka saling mengekspresikan dan

mempertontonkan diri ke dalam kultur kesenian (seni teater) di Yogyakarta.

Mengacu pada teori yang dikembangkan oleh Erving Goffman, yaitu

dramaturgical approach,16

kita akan melihat bahwa kemunculan kelompok-

kelompok teater dengan latar belakang keagamaan merupakan sebuah ruang

kontestasi. Karyanya The Presentation of Self in Everyday Life menunjukkan

aksi/interaksi manusia mirip dengan permainan drama yang ditentukan oleh

14

Cliford Geertz, Kebudayaan dan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1992),

hlm. 5.

15 Ibid., hlm. 51. Pada kasus ini, Geertz mencontohkan pagelaran Rangda

yang bagi orang Bali bukan sekedar drama. Melainkan ritus yang dipentaskan dan

bukan sarana tontonan semata. Beberapa kasus lain seperti wayang ruwatan

misalnya.

16 Teori tersebut terinspirasi oleh pendekatan dramatism milik Kenneth

Burke.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

15

ruang, waktu ataupun audience.17

Konsep yang ditawarkan oleh Erving Goffman

adalah konsep tentang presentasi diri dan the art of impression atau manajemen

kesan. Konsep tadi berhubungan erat dengan karakter atau penampilan seorang

aktor. Dari semua konsep tersebut, dibungkus dalam satu bentuk yang oleh

Goffman, disebut sebagai dramaturgi (staging and the self).18

Berdasarkan teori dramaturgi milik Erving Goffman tadi, muncul beberapa

pertanyaan sebagai basis penelitian. Jika dilihat berdasarkan konteks teater di

Yogyakarta pada tahun 1950an – 1960an, apa yang sedang “dipentaskan” oleh

pendekar – pendekar teater tersebut? Ada beberapa kategori untuk membungkus

“panggung” tersebut, yaitu kontestasi politik atau ideologi, eksperimental karya

(pengetahuan) serta perubahan pasar (ekonomi). Realisme menjadi panggung atau

medan bagi para seniman untuk berunjuk diri. Mereka saling menceburkan diri ke

dalam ajang teater serta berinteraksi satu sama lain dengan pendekatan dan tujuan

yang berbeda-beda.

Ada beberapa permasalahan yang membuat penulis tergelitik, antara lain

sebagai berikut. Pertama, mengapa mereka memilih konsep realisme sebagai

basis penemuan identitas pascakolonial supaya terlihat modern alias maju? Pada

periode tersebut patut diingat bahwa Indonesia sedang dalam proses pencarian

jatidiri.

Kedua, bagaimana bentuk apresiasi kelompok – kelompok teater terhadap

realisme sendiri ? Entah itu dalam bentuk pementasan, penggarapan lakon, kajian

17

Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life (New York :

Double Day Anchor Books, 1959).

18 Peter Burke, Sejarah dan Teori Soial (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia,

2011), hlm. 71.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

16

serta kritikan. Mengingat pada periode 50an – 60an, marak sekali penciptaan yang

berbau realisme. Persaingan yang meliputi dinamika pementasan serta gagasan

mengenai kebudayaan, tepatnya seni pertunjukkan. Persaingan dalam perebutan

pengaruh ideologi juga patut untuk dibicarakan. Selain itu kontestasi dalam

eksperimen teater juga layak dicermati. Eksperimen dalam manajemen kelompok,

artistik serta gaya berteater.

Pertanyaan ketiga, kemunculan teater-teater yang melabeli namanya dengan

agama menarik untuk dibahas. Mula-mula mereka memakai basis realisme,

namun pada perkembangannya, gaya-gaya teater lain (naturalisme, surealisme,

romantik) juga mereka pakai. Patut dikaji pemikiran yang terdapat dalam

kelompok teater berbasis kelompok keagamaan. Ideologi seperti apa yang mereka

bawa serta siapa saja pelaku-pelakunya? Apakah naskah-naskah yang mereka

mainkan juga berbau realisme dan mengandung unsur religiusitas? Serta,

bagaimana persaingan diantara kubu-kubu tersebut, yaitu kubu Lekra, kubu teater-

teater religi dan non religi? Pada tataran ini, penulis akan membatasi atau fokus

pada kelompok Teater Muslim, Teater Kristen, Starka dan Sthemka di periode

1960an.

Penelitian ini akan mengkaji dinamika gaya teater di Yogyakarta yang

dipelopori oleh kaum intelektual pada kurun 1950an-1960an, terutama perubahan

dari realisme menuju teater eksperimental. Namun difokuskan pada kelompok

teater yang berhaluan golongan agama (religi). Kelompok tersebut akan diwakili

oleh Teater Muslim, Teater Kristen, Starka dan Sthemka.

Selanjutnya, penentuan batasan spasial Yogyakarta berdasarkan karya atau

proses kreatif mereka sebagai kelompok teater. Tidak hanya domisili yang

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

17

menjadi batasan, melainkan proses kreatif mereka juga. Yogyakarta merupakan

arena (ruang) pertarungan atau ruang refleksi. Hanya saja, ruang refleksi tersebut

telah berubah menjadi ruang kontestasi dan ruang kompetisi. Ruang kontestasi

merujuk pada kemampuan untuk berunjuk diri. Sedang ruang kompetisi,

berorientasi ke dalam pemenangan prestasi.19

Pendapat yang disampaikan oleh

Suwarno Wisetrotomo tadi memang merujuk pada perkembangan seni rupa di

Yogyakarta. Namun apabila kita telusuri lebih jauh, kondisi tersebut juga terjadi

di bidang-bidang yang lain, salah satunya teater.

Seperti yang sudah disebutkan diatas, Bakdi Soemanto menganggap bahwa

puncak realisme diwakili dengan berdirinya ATNI dan Asdrafi. Yogyakarta sudah

dikenal sebagai daerah yang lekat dengan kantung-kantung kebudayaan. Daerah

tersebut melahirkan banyak kelompok teater yang namanya diperhitungkan di

skala nasional. Sampai sekarang kita masih meyakini bahwa simbol-simbol

kebudayaan yang lahir di Yogyakarta tidak kalah saing dengan kota-kota lain. Hal

tersebut tidak lepas dari pengaruh kuatnya magnet kebudayaan di Yogyakarta

pada periode 50an dan 60an. Basis-basis kesenian merebak di Yogyakarta,

terutama seni rupa dan seni pertunjukkan.

Kurun waktu penelitian ini difokuskan pada periode 1950an – 1960an.

Mengacu pada periodisasi perkembangan teater di Indonesia yang dibuat oleh

19

Suwarno Wisetrotomo, “Seni Rupa Yogyakarta 1990-2010: Sekitar

Friksi, Ideologi, dan Kontestasi”, makalah disampaikan dalam workshop

Membongkar Friksi, Ideologi, dan Kontestasi: Workshop Penulisan Sejarah-

Kritis Seni Rupa Jogja pada tanggal 17 Agustus 2013 di kantor Indonesian Visual

Art and Archive (IVAA), Yogyakarta.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

18

Michael H. Bodden. Beliau membaginya menjadi empat bagian.20

Periode

berkembangnya realisme ia masukkan pada periode 1942-1965, sedangkan musim

semi teater eksperimental dimulai dari tahun 1966 hingga 1986. Tulisan ini akan

diakhiri dimana teater Indonesia mengalami transisi, menuju ke babak baru yaitu

teater eksperimental.

Selain itu, periode 50an – 60an dianggap penting bagi perkembangan

sejarah Indonesia. Oleh, Ruth McVey, tahun 50an dianggap sebagai dekade yang

hilang (disappearing decade) dalam historiografi di Indonesia. Padahal pada masa

tersebut semangat perlawanan terhadap kolonialisme sedang gencar-gencarnya.

Masyarakat Indonesia siap membangun negara baru. Mereka sedang menatap dan

membayangkan sebuah negara yang modern dan maju.21

Sebagai negara yang

baru terbentuk pasca kolonial, teater menjadi alat intelektual atau kebudayaan

untuk membangun apa itu Indonesia.

20

Michael H. Bodden membagi perkembangan teater di Indonesia ke dalam

empat bagian. Pertama, Teater Seni Nasional dalam era Pembentukan Bangsa.

Kedua, Teater-Seni Nasional , Teater Komersil Kota dan Peralihan ke

“Realisme”: Penerjemahan “Warga Dunia” Baru 1942-1965. Ketiga, Indigenisasi,

Teater Eksperimental dan Alegori Kekuasaan: Adaptasi-Adaptasi Teater Orde

Baru 1966-1986. Terakhir, Gelombang Kedua Teater Eksperimental dan

Perubahan Peran “Tradisi”: Teater Seni dari 1986-2001. Lihat, Michael H.

Bodden, “Membuat Drama Asing Berbicara Kepada Penonton Indonesia :

Universalisme dan Identitas Pasca-Kolonial dalam Teater Seni-Indonesia

Modern” dalam Henri Chambert Loir (ed), Sadur: Sejarah Terjemahan di

Indonesia dan Malaysia (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), hlm.

911-927.

21 Adrian Vickers, “Mengapa tahun 1950-an penting bagi Kajian Indonesia”

dalam Henk Schulte Nordholt (eds), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 68 – 69.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

19

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah berusaha melihat dialog serta wajah pemikiran

realisme yang ada di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Terutama teater

berbasis kelompok religi di era 1950an-1960an. Setiap pemikiran (konsep) pasti

berhubungan dengan konteks sosial saat itu. Konsep tersebut disesuaikan dengan

definisi dari sosiologi pengetahuan.22

Disamping itu gagasan realisme dalam

teater di Yogyakarta pada periode tersebut disesuaikan pula dengan teks serta

konteks yang sedang berkembang. Realisme dianggap sebagai produk yang

berasal dari Barat dan mewakili gagasan modern. Karena pada periode tahun

1950an sampai awal 60an, kata modern sendiri diartikan sebagai kemajuan alias

baru.

Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui peranan kelompok

teater yang berlatar belakang agama. Serta melihat bagaimana mereka

memanfaatkan sebuah ruang berteater. Seturut dengan pendapat Jakob Sumardjo,

bahwa penelitian mengenai teater yang bertemakan dakwah atau keagamaan

masih kurang dan perlu dilakukan. Selain itu, tulisan ini juga ingin membuktikan

keabsahan konsep teater berbasis keagamaan yang diajukan oleh Jakob Sumardjo.

Beberapa peneliti tentang teater juga berasumsi bahwa pada tahun 1960an, marak

kelompok teater yang mengatasnamakan Ketuhanan.23

Disamping itu, sesuai dengan konteks politik pada masa tersebut muncul

persaingan atau pertentangan politik kebudayaan. Masing-masing kelompok

22

Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan:

Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 5-6.

23 Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama

Indonesia (Bandung: STSI Press, 2004), hlm. 335.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

20

berlomba untuk mendengungkan ideologi yang mereka anut. Uniknya, pada masa-

masa tersebut kelompok kesenian berhaluan agama sangat menjamur dan

disegani. Hal tersebut bertolak belakang dengan kondisi di Indonesia dewasa ini.

Agama atau religi (kelompok keagamaan), terutama Islam menjadi momok bagi

sebagian pihak tertentu.

Penelitian ini mempunyai manfaat untuk menambah khasanah tulisan

sejarah mengenai pemikiran serta ideologi teater. Mengingat tulisan mengenai

sejarah pemikiran teater masih jarang di geluti oleh kalangan sejarawan Indonesia.

Disamping itu penelitian ini juga bermanfaat dalam pemetaan pemikiran teater di

Indonesia serta menjadi sarana diskusi bagi penggiat teater, khususnya di wilayah

Yogyakarta.

D. Tinjauan Pustaka

Beberapa referensi mengenai sejarah teater sebenarnya tidak terlalu banyak,

terutama sejarah teater di Yogyakarta.Salah satu referensi yang menarik adalah

hasil riset Tim Peneliti Kalangan Anak Zaman yaitu Kepingan Riwayat Teater

Kontemporer di Yogyakarta : Laporan Penelitian Exixting Documentation dalam

Perkembangan Teater Kontemporer di Yogyakarta 1950 – 1990.24

Buku tersebut

memuat deskripsi umum peristiwa teater di Yogyakarta dari tahun 1950-1990.

Karya ini dapat memberikan gambaran tentang siapa saja tokoh atau kelompok

teater yang muncul pada masa itu serta deskripsi pertunjukkan-pertunjukkan

teater. Hanya saja buku ini tidak memuat dinamika pemikiran teater yang

24

Tim Peneliti Kalangan Anak Zaman, Kepingan Riwayat Teater

Kontemporer di Yogyakarta : Laporan Penelitian Exixting Documentation dalam

Perkembangan Teater Kontemporer di Yogyakarta 1950 – 1990 (Yogyakarta :

Pustaka Pelajar, 2000)

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

21

berkembang di Yogyakarta. Terutama pemikiran teater religi. Perbedaan dengan

penelitian yang rencananya akan saya lakukan terletak pada aspek metode. Buku

yang ditulis oleh Tim Kalangan Anak Zaman tersebut sekedar memuat berbagai

macam peristiwa soal teater yang termuat dalam media. Disamping itu ada pula

wawancara dengan beberapa tokoh teater Yogyakarta.

Karya kedua adalah buku Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama

Indonesia oleh Jakob Sumardjo.25

Buku ini tidak hanya membahas soal teater,

namun naskah sastra atau lakon yang berkembang di Indonesia. Pembahasan soal

naskah lakon teater dapat membantu penulis untuk membaca pemikiran yang

terdapat dalam lakon-lakon teater. Buku ini mempunyai peranan sebagai

pegangan untuk membaca teater di Indonesia secara umum. Buku yang ditulis

oleh Jakob Sumardjo tersebut dirasa cukup representatif untuk pembahasan

mengenai teater Indonesia secara umum. Mengingat jarang sekali kajian-kajian

yang komprehensif soal teater ditulis oleh ilmuwan Indonesia. Biarpun salah

seorang kritikus teater, Radhar Panca Dahana menyatakan bahwa buku

Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia mempunyai

kelemahan dalam segi teoritik, analisis serta metodologi. Disisi lain, buku milik

Jakob Soemardjo tersebut kerap jadi rujukan untuk meneliti teater. Sebab, sampai

saat ini belum ada yang berniat menandingi kitab klasik teater Indonesia tersebut.

Selanjutnya adalah karya milik Boen Sri Oemarjati yang berjudul Bentuk

Lakon Dalam Sastra Indonesia.26

Sama seperti buku milik Jakob Sumardjo,

25

Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama

Indonesia (Bandung: STSI Press, 2004)

26 Boen Sri Oemarjati, Bentuk Lakon Dalam Sastra Indonesia (Jakarta:

Gunung Agung, 1971).

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

22

pembahasan mengenai lakon dapat membantu untuk melihat ide-ide di dalam

lakon-lakon tadi. Apalagi buku ini memuat kurun waktu perkembangan lakon-

lakon pada masa 1950-1963. Ada sedikit pembahasan soal kelompok teater,

namun buku ini lebih fokus pada perkembangan karya sastra. Pembacaan teks

naskah drama dapat terbantu dari analisis yang dilakukan oleh Boen Sri

Oemarjati.

Referensi lain adalah karya berjudul Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi

Indonesia 1950 – 1965.27

Kumpulan tulisan yang dieditori oleh Jennifer Lindsay

dan Maya H.T. Liem tersebut memberikan sebuah gambaran penting tentang

dinamika kebudayaan di Indonesia peridoe 50an sampai 60an, khususnya

dibidang kesenian.

E. Metode dan Sumber Penelitian

Metode yang akan di lakukan dalam penelitian ini adalah metode sejarah.

Menurut Kuntowijoyo, penelitian sejarah melewati beberapa tahapan. Yaitu, (1)

pemilihan topik, (2) penumpulan sumber, (3) verifikasi atau kritik atas sumber-

sumber sejarah, (4) interpretasi: analisis dan sintesis, (5) penulisan.28

Metode tadi

akan dilakukan dengan jalan wawancara, pencarian data dari sumber tertulis

(naskah lakon, koran, majalah, buku atau arsip), pencarian sumber-sumber yang

berbau audio visual (video pementasan) atau visual (leaflet, foto).

27

Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (ed), Ahli Waris Budaya Indonesia

(Jakarta: KITLV dan Pustaka Larasan, 2011)

28 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Pustaka,

2005), hlm. 90.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

23

Mengingat tulisan ini termasuk di dalam kategori sejarah pemikiran, sumber

yang akan dicari lebih banyak bersifat lisan. Metode sejarah lisan sangat berperan

dalam penelitian ini. Ada beberapa keunggulan sejarah lisan. Sejarah lisan dapat

merengkuh kelompok bawah, peristiwa kecil dan dapat mengungkapkan nilai-

nilai kemanusiaan. Sejarah lisan memungkinkan pencarian data atau sumber yang

tidak terdapat dalam dokumen. Sejarah lisan berfungsi untuk menempatkan orang-

orang kecil, sejarah tidak lagi elitis melainkan egaliter karena mampu menyentuh

masyarakat di kalangan akar rumput.29

Sumber-sumber yang sifatnya visual atau audio visual juga akan dicari.

Berdasarkan buku Kepingan Riwayat Teater Kontemporer di Yogyakarta dapat

diperoleh tokoh-tokoh teater pada masa 1950an sampai 1970an yang masih hidup

sampai sekarang. Tokoh-tokoh diwawancarai antara lain Fajar Suharno, (alm)

Bakdi Soemanto, Embie C Noer, Genthong HSA, Fred Wibowo dan Landung

Simatupang.

Mengenai (alm) Bakdi Soemanto, beliau pada masa mudanya menjadi

bagian dari SGDD serta Bengkel Teater. Beliau juga pernah membantu produksi

Starka dan Teater Kristen. Sedangkan Embie C Noer adalah adik kandung dari

Arifin C Noer. Sebelum mendirikan Teater Ketjil, Arifin C Noer lebih dahulu

terlibat di Teater Muslim. Selanjutnya, Genthong HSA semasa muda aktif di

Teater Kristen sedangkan Landung Simatupang sempat nyantrik di Sthemka.

Sumber-sumber yang terkait dengan pemberitaan koran atau majalah

diakses di Jogja Library Center Malioboro serta perpustakaan Ignatius Kotabaru.

29

Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas: Esai-esai

Budaya dan Politik (Bandung: Mizan, 2002) hlm 45.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

24

Karena pada periode tersebut pemberitaan mengenai pentas atau gagasan soal

teater dapat dicari dalam beberapa koran serta majalah budaya, semacam Basis,

Siasat Baru, Budaya, Indonesia atau Minggu Pagi.

Beberapa referensi yang spesifik soal teater diperoleh di beberapa

perpustakaan yang berada di Yogyakarta. Seperti, perpustakaan Teater Garasi di

Kasihan Bantul, perpustakaan Indonesian Visual Art and Archive (IVAA) di

daerah Dipowinatan serta koleksi perpustakaan Yayasan Umar Kayam (YUK) di

Lempuyangan. Selain itu beberapa referensi umum mengenai teater dapat

diperoleh di perpustakaan UPT UGM, perpustakaan FIB UGM serta perpustakaan

Nasional. Di perpustakaan Nasional juga terdapat beberapa arsip-arsip koran

lama.

F. Sistematika Penulisan

Penelitian ini dibagi ke dalam lima bab. Bab I merupakan pendahuluan

untuk mengawali bab-bab selanjutnya. Bab ini berisi latar belakang masalah,

permasalahan, ruang lingkup penelitian, maksud dan tujuan penelitian, tinjauan

pustaka, metode dan sumber penelitian, lalu sistematika penulisan.

Selanjutnya bab II mencakup pembahasan mengenai awal mula kemunculan

kelompok teater di Indonesia. Terutama membahas persaingan antara kubu

pelopor realisme dengan kelompok teater komersil.

Bab III akan berisikan awal mula gagasan realisme muncul. Terutama pada

periode 1950an sampai 1960an. Periode tadi dapat memberikan gambaran

permulaan mengenai pemetaan pemikiran teater modern di Yogyakarta. Bab ini

juga membahas rekam jejak kaum-kaum intelektual alias pelajar yang berperan

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85584/potongan/S1-2015...Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah lakon

25

dalam perkembangan di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Serta mengungkap

lika-liku lembaga kebudayaan yang menjadi sayap partai politik.

Berikutnya mengenai bab IV. Bab ini akan membahas mengenai penjelasan

konsep teater yang dianut oleh masing-masing kelompok teater berhaluan

kelompok keagamaan. Bab ini juga memusatkan perhatiannya pada persaingan

antara kelompok-kelompok teater yang mempunyai aliansi agama dengan

kelompok-kelompok yang lain. Akan dibahas bagaimana peranan teater

bernafaskan ketuhanan semacam Teater Muslim, Starka, Teater Kristen dan

Sthemka dalam jagad teater Yogyakarta. Tidak hanya dalam segi pementasan

yang meliputi eksperimen artistik atau gaya berteater. Namun peranan dalam

khasanah pemikiran teater saat itu.

Bab terakhir adalah bab V. Bab ini akan berisi kesimpulan mengenai

penelitian yang telah selesai dilaksanakan. Bab ini akan memberikan jawaban atas

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam permasalahan.