bab i pendahuluan a. latar belakangeprints.ums.ac.id/25283/2/bab_i.pdf · novel langit mekah...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra lahir karena adanya imajinasi seorang pengarang. Di
dalam daya imajinasi terdapat ide, pikiran, dan perasaan seorang pengarang
yang nantinya akan diungkapkan dalam bentuk karya sastra. Karya sastra
merupakan hasil kreativitas seorang sastrawan sebagai bentuk seni, bersumber
dari kehidupan dipadukan dengan imajinasi seorang pengarang.
Menurut Fananie (2002:6) sastra adalah karya fiksi yang merupakan
hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu
mengungkapkan aspek estetik baik yang didasarkan aspek kebahasaan
maupun aspek makna. Estetika bahasa biasanya diungkapkan melalui aspek
puitik atau poetic function (surface structure) sedang estetika makna dapat
terungkap melalui aspek deep structure.
Karya sastra merupakan hasil cipta atau karya manusia yang bersifat
imajinatif. Sebagai hasil yang imajinatif, sastra berfungsi sebagai bahan
bacaan yang menyenangkan, di dalamnya sarat dengan nilai-nilai budaya dan
berguna menambah kekayaan batin bagi permasaahan manusia, kemanusiaan,
dan kehidupan. Salah satunya adalah novel dikisahkan kehidupan tokoh yang
mengharukan atau menyenangkan dan mengandung kesan yang tidak mudah
dilupakan (Nurgiyantoro, 2007:2).
1
2
Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi
dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam
lingkungan sosialnya. Dengan daya imajinatif seorang pengarang, berbagai
realitas kehidupan yang dihadapi sastrawan itu diseleksi, direnungkan, dikaji,
diolah, kemudian diungkapkan dalam karya sastra yang lazim bermediumkan
bahasa (Al-Ma‟ruf, 2009:1).
Sastrawan dalam menciptakan karya sastra tidak hanya
memperhatikan segi keindahan, bentuk, atau kepuasan pribadi saja, tetapi juga
harus mampu dan mau menyampaikan sesuatu yang bermakna dalam karya
sastranya. Karya sastra tidak hanya berguna untuk meredakan ketegangan-
ketegangan atau emosi-emosi tertentu. Karya sastra harus pula menyampaikan
kebenaran-kebenaran, baik kebenaran yang berkaitan dengan kebenaran
dalam diri karya sastra, maupun kebenaran pandangan sesuai dengan visi
sastrawan (Siswanto, 2008:88-89).
Karya sastra dengan berbagai genrenya adalah anak zamannya, yang
melukiskan corak, cita-cita, aspirasi dan perilaku masyarakatnya sesuai
dengan hakikat dan eksistensi karya sastra yang merupakan interpretasi atas
kehidupan (Hudson dalam Al-Ma‟Ruf 2010:1). Diantara tiga genre karya
sastra yakni puisi, fiksi, dan drama, karya fiksi novellah yang paling dominan.
Hal itu terbukti dengan banyaknya novel yang terbit dan beredar serta menjadi
konsumsi masyarakat modern Indonesia yang menggemari sastra sejak dekade
1
3
1970-an. Menurut Boulton (dalam Al-Ma‟Ruf 2010:2) dalam novel terdapat
satu pilihan di antara berbagai aspek kehidupan untuk diperhatikan.
Mengkaji karya fiksi novel akan membantu kita menangkap makna
yang terkandung di dalam pengalaman pengarang yang disampaikan melalui
para tokoh imajinatifnya. Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan
manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya
dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Fiksi merupakan karya
imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas
sebagai karya seni (Nurgiyantoro, 2009:3).
Karya sastra baik novel, drama, dan puisi di zaman modern ini sarat
dengan unsur-unsur psikologis sebagai manifestasi: kejiwaan pengarang, para
tokoh fiksional dalam kisahan dan pembaca. Dengan demikian, akhir-akhir ini
telaah sastra melalui pendekatan psikologi mendapat tempat di hati para
peneliti, mahasiswa, dan para dosen sastra. Karya fiksi psikologis merupakan
suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan suatu novel yang bergumul
dengan spiritual, emosional dan mental para tokoh dengan cara lebih banyak
mengkaji perwatakan daripada mengkaji alur atau peristiwa (Minderop,
2010:53).
Novel Langit Mekah Berkabut Merah dipilih dalam penelitian ini
karena sangat menarik untuk dikaji. Novel Langit Mekah Berkabut Merah
berbeda dengan novel-novel Islam yang telah beredar sebelumnya. Jika novel-
novel Islam sebelumnya mengisahkan tentang percintaan, novel Langit Mekah
4
Berkabut Merah mengisahkan penderitaan seorang perempuan yang
menderita karena bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita. Midah terpaksa putus
sekolah karena diminta oleh ibunya bekerja sebagai TKW untuk memperbaiki
keadaan ekonomi keluarganya. Novel Langit Mekah Berkabut Merah diteliti
dari segi konflik batin yang dialami oleh tokoh Midah dan Firdaus dengan
tinjauan psikologi sastra karena pengarang lebih menonjolkan konflik batin
yang dialami oleh tokoh Midah dan Firdaus.
Berdasarkan pembacaan awal, tema dalam novel Langit Mekah
Berkabut Merah adalah sikap rela berkorban yang dimiliki seorang
perempuan demi orang yang disayanginya meski mengakibatkan penderitaan.
Setiap lembaran dalam novel ini mempunyai daya tarik, baik dari segi
bahasanya yang lugas, ceritanya yang menyentuh sarat dengan nilai
kemanusiaan, maupun hikmah yang terkandung di dalamnya membuat
pembaca sulit berhenti untuk membaca. Novel Langit Mekah Berkabut Merah
mengambil latar di berbagai negara, antara lain, Indonesia, Mesir, dan Arab,
sehingga memberikan nilai estetika tersendiri bagi pembaca. Penulis yang
merupakan alumnus Al-Azhar Mesir, menyisipi novel ini dengan dalil-dalil
al-Qur‟an dan hadits, serta memberikan penjelasan dan sejarah tentang
tempat-tempat yang menjadi latar dalam novel.
Aguk Irawan menulis novel Langit Mekah Berkabut Merah sesuai
dengan kisah nyata yang sering dialami oleh para TKW di luar negeri. Dari
segi gagasan, novel ini sarat dengat nilai-nilai positif yang dapat menggugah
5
nurani kemanusiaan, sehingga harkat dan martabat sebagai bangsa dan negara
tidak dianggap rendah oleh bangsa lain. Langit Mekah Berkabut Merah juga
sebagai media Aguk Irawan dalam menggambarkan sikap Pemerintah
terhadap penyiksaan yang dialami oleh TKW saat ini.
Karya Aguk Irawan sebelumnya, yaitu novel berjudul Bait-Bait Cinta
menuai sukses di pasaran, bahkan dalam tempo dua bulan telah mengalami
lima kali cetak ulang. Menurut Teguh Winarsho As novel Langit Mekah
Berkabut Merah merupakan novel yang „membumi‟ dan tidak paradoks,
setiap sekuel yang dikisahkan tampak benar-benar terjadi dan sedang
berlangsung, selalu ada keindahan di setiap lembarnya. Jamal D Rahman
memaparkan, kisah Langit Mekah Berkabut Merah sangat mengharukan,
ceritanya berliku namun memesona. Bahasanya mengakar, alurnya memikat,
latarnya kuat, karakter-karakter tokohnya kokoh dalam kemelut syahwat, cinta
dan nestapa. Apabila novel ini tidak ditulis berdasarkan pengalaman nyata,
kesaksian hidup, juga wawasan agama yang luas, tentulah ia akan menjadi
bacaan yang hambar sebagaimana yang sering kita temukan (Irawan,
2012:Cover).
Karya sastra masih ada hubungannya dengan psikologi. Dengan
memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik
batin. Adanya kaitan yang erat antara aspek psikologis dengan unsur tokoh
dan penokohan, maka karya sastra yang relevan untuk dianalisis secara
psikologis adalah karya sastra yang memberikan intensitas pada aspek
6
kejiwaan tersebut. Jika dikaitkan dengan peristiwa atau kejadian yang dialami
oleh Midah dan Firdaus dalam novel, maka novel Langit Mekah Berkabut
Merah sangatlah tepat apabila dikaji dengan pendekatan psikologi sastra.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dijelaskan secara rinci alasan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Persoalan yang diangkat dalam novel Langit Mekah Berkabut Merah
berisi tentang konflik batin pada tokoh Midah yang rela berkorban demi
orang yang disayangi meski mengakibatkan penderitaan di hidupnya, dan
tokoh Firdaus yang lebih memilih kekayaan dibanding rasa cinta, hingga
mengakibatkan orang yang dicintainya menderita.
2. Sepengetahuan penulis, novel Langit Mekah Berkabut Merah belum
pernah dianalisis secara khusus yang berhubungan dengan konflik batin
dalam novel Langit Mekah Berkabut Merah karya Aguk Irawan.
3. Gambaran keadaan tokoh utama yang dijelaskan dalam novel ini didahului
dengan analisis struktural yang meliputi tema, alur, penokohan, dan latar.
4. Analisis terhadap novel Langit Mekah Berkabut Merah dengan
menggunakan pendekatan psikologi sastra diperlukan untuk mengetahui
konflik batin yang dialami oleh Midah dan Firdaus.
5. Dalam dunia pendidikan penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan
pembelajaran sastra di SMA.
Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin mengkaji lebih dalam
permasalahan konflik batin tokoh Midah dan Firdaus dalam novel Langit
7
Mekah Berkabut Merah karya Aguk Irawan yang dikaji dengan tinjauan
psikologi sastra dan implementasinya sebagai bahan ajar sastra di SMA.
B. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah diperlukan agar penelitian ini dapat mengarah
serta mengena pada sasaran yang diinginkan. Sebuah penelitian perlu dibatasi
ruang lingkupnya agar wilayah kajiannya tidak terlalu luas yang berakibat
penelitiannya menjadi tidak fokus. Adanya pembatasan masalah ini, penelitian
bisa terfokus pada permasalahan. Pembatasan masalah dalam penelitian ini
dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Unsur-unsur struktural meliputi tema, alur, penokohan, dan latar. Sesuai
dengan kajian dalam penelitian yang ditinjau dari psikologi sastra, maka
kajian struktural dalam penelitian ini dibatasi pada unsur tema, alur,
penokohan, dan latar.
2. Analisis konflik batin dalam novel Langit Mekah berkabut Merah karya
Aguk Irawan dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra hanya
dilakukan terhadap tokoh Midah dan Firdaus.
C. Perumusan Masalah
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang terarah dan jelas, maka
diperlukan suatu perumusan masalah. Adapun perumusan masalah dalam
penelitian ini sebagai berikut.
8
1. Bagaimanakah stuktur yang membangun novel Langit Mekah Berkabut
Merah karya Aguk Irawan?
2. Bagaimanakah konflik batin tokoh Midah dan Firdaus dalam novel Langit
Mekah Berkabut Merah karya Aguk Irawan tinjauan psikologi sastra?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan struktur yang membangun novel Langit Mekah Berkabut
Merah karya Aguk Irawan.
2. Mendeskripsikan konflik batin tokoh Midah dan Firdaus dalam novel
Langit Mekah Berkabut Merah karya Aguk Irawan ditinjau dari
psikologi sastra.
E. Manfaat Penelitian
Pada hakikatnya penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan suatu
manfaat. Manfaat dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu manfaat
teoretis dan manfaat praktis.
1. Manfaat teoretis
Membantu pembaca untuk memahami dan mengetahui konflik batin
dalam novel Langit Mekah Berkabut Merah. Penelitian ini juga dapat
memberikan manfaat bagi pengembangan keilmuan sastra Indonesia
terutama dalam kajian novel dengan pendekatan psikologi sastra.
9
2. Manfaat praktis
a. Hasil penelitian ini dapat memperluas pengetahuan pembaca sastra
Indonesia terhadap konflik batin dalam sebuah novel.
b. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan acuan
bagi mahasiswa untuk memotivasi ide atau gagasan baru yang lebih
kreatif dan inovatif bagi kemajuan diri.
F. Kajian Penelitian yang Relevan
Suatu penelitian dapat mengacu pada penelitian-penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya.Hal ini dapat dijadikan sebagai titik tolak dalam
melakukan penelitian. Oleh sebab itu, tinjauan terhadap penelitian terdahulu
sangat penting untuk orisinalitas penelitian yang dilakukan ini.
Ika Rukamana Purnamasari (UMS, 2011) dengan judul skripsinya
“Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Sang Maharani Karya Agnes
Jessica: Tinjauan Psikologi Sastra”. Hasil analisis konflik batin tokoh utama
dalam novel Sang Maharani yaitu: konflik mendekat-menjauh yang dialami
Maharani karena hal-hal seperti berikut, a) Konflik batin Rani trauma pada
laki-laki dan ia jatuh cinta pada adiknya sendiri; b) Konflik batin Rani
memutuskan menikah dengan Arik namun masih jijik berhubungan seksual.
Konflik menjauh-menjauh yang dialami Maharani karena hal-hal seperti
berikut, 1) Konflik batin saat Rani tertunduk lemas mendengar ayahnya
meninggal karena dibunuh; 2) Konflik batin Rani saat dijadikan pelacur oleh
10
tentara Jepang; 3) Konflik batin Rani yang tidak suka tidur karena penderitaan
menjadi Jugun Lanfu menjadi mimpi buruk tiap malam; 4) Konflik batin Rani
trauma pada sentuhan laki-laki; 5) Konflik batin ketika Rani mengetahui
bahwa ia diperkosa. Konflik mendekat-mendekat yang dialami Maharani
karena hal-hal seperti berikut 1) Tuhan sedang menganugerahkan kebahagiaan
berlipat-lipat pada Rani; 2) Kedekatan Rani dengan Arik membuat Rani tidak
menggigil seperti bila ia berdekatan dengan pria lain.
Penelitian lain dilakukan oleh Apriliani Mustika Sari (UMS, 2008)
dengan judul skripsinya “Konflik Batin Tokoh Laras dalam Novel Sang Dewi
karya Moammar Emka: Tinjauan Psikologi Sastra”. Hasil analisis konflik
batin tokoh utama dalam novel Sang Dewi adalah sebagai berikut. Laras
mengalami konflik batin jenis mendekat-menghindar saat harus bersikap
dalam menghadapi permintaan Om Boy untuk berhubungan seks dengan
Laras. Laras juga mengalami konflik batin saat ia dikenalkan Beno dengan
Aliang, orang yang pernah menjadi pelanggannya semasa ia menjadi pelacur.
Laras mengalami konflik batin jenis menghindar-menghindar saat bertemu
dengan Om Boy setelah kematian Bim. Laras juga menghadapi konflik
menghindar-menghindar ketika Om Boy memberinya kalung sebagai tanda
lamarannya dan diketahui oleh Beno. Konflik ini dialami Laras saat harus
memilih menerima permintaan Om Boy untuk menikah, sementara ia sangat
mencintai Beno.
11
Skripsi Dian Ayu Kartika (UMS, 2008) dengan judul skripsinya
“Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Nayla Karya Jenar Maesa Ayu:
Tinjauan Psikologi Sastra”. Hasil analisis konflik batin tokoh utama dalam
novel Nayla sebagai berikut. Konflik mendekat-menjauh dialami Nayla
karena hal-hal seperti berikut, 1) Usia Sembilan tahun Nayla masih
mengompol di malam hari, sehingga Ibu menghukumnya dengan cara
menusukkan peniti ke selangkangan bahkan vaginanya. Fisiknya merasakan
sakit akibat penusukan itu, tetapi Nayla hanya bisa diam dan tak mampu
melawan; 2) Ketika berusia Sembilan tahun juga Nayla diperkosa oleh Om
Indra, kekasih Ibunya. Nayla ingin mengatakan hal buruk tersebut, tetapi ia
tidak dapat menceritakannya pada Ibu; 3) Nayla memutuskan mencari Ayah
karena sudah tidak tahan tinggal dirumah Ibu yang penuh siksaan. Akan tetapi
untuk menjalankan misinya mencari ayahnya itu pun harus membolos
sekolah. Adapun konflik menjauh-menjauh dilami oleh Nayla karena hal-hal
seperti berikut, 1) Fisik Nayla merasakan sakit akibat pemukulan yang
dilakukan oleh Ibu dan ia pun merasa takut pada ibunya yang begitu kejam,
sehingga membuat batin Nayla merasa tidak nyaman; 2) Nayla merasa takut
saat ayahnya meninggal dunia dan ia takut kembali kerumah ibu kandungnya,
sehingga mengakibatkan batin Nayla merasa tidak senang; 3) Nayla merasa
sedih kehilangan ayahnya dan ia juga tidak menyangka ibu tiri bersama ibu
kandungnya tega menjebloskannya ke Rumah Perawatan Anak Nakal dan
12
Narkotika, sehingga membuat Nayla tidak mampu berbuat banyak untuk
melepaskan diri dari rumah perawatan.
Tri Wijayanti (UMS, 2005) melakukan penelitian untuk skripsinya
yang berjudul “Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Tuhan Izinkan Aku
Jadi Pelacur Karya Muhidin M. Dahlan: Tinjauan Psikologi Sastra”. Hasil
penelitiannya menyimpulkan; 1) Nidah Kirani mengalami konflik batin akibat
tidak terpenuhinya kebutuhan dasar fisiologis yakni kebutuhan akan pakaian,
seks, dan makanan; 2) Nidah Kirana mengalami konflik batin karena tidak
terpenuhinya kebutuhan akan rasa aman yakni selalu merasakan ketakutan dan
seolah-olah berada dalam keadaan terancam; 3) Konflik batin akibat tidak
terpenuhinya kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki yakni Nidah Kirani
tidak memperoleh rasa cinta dan memiliki pos Jamaah dan Da‟arul Rakhiem;
4) Konflik batin akibat tidak terpenuhinya kebutuhan akan harga diri yakni
tidak adanya penghargaan atas perjuangannya dan dedikasinya terhadap pos
jamaah dan juga kehilangan keperawanannya oleh Da‟arul Rakhiem; 5)
Konflik batin karena tidak terpenuhinya kebutuhan akan aktualisasi diri yakni
Nidah Kirana tidak mendapat kepuasan intelektual dan mengalami penurunan
pengembangan motivasi diri.
Pipit Handayani (UMS, 2009) dengan judul skripsinya “Konflik Batin
Tokoh Srintil dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari:
Tinjauan Pikologi Sastra”. Hasil analisisnya antara lain, 1) konflik mendekat-
menjauh, ketika Srintil dihadapkan pada dua pilihan yang satu memiliki motif
13
positif (menyenangkan) yaitu menuruti keinginannya untuk tidak meronggeng
lagi dan pilihan yang lain memiliki motif negatif (tidak menyenangkan) yaitu
ia harus mengesampingkan keinginannya dan bersedia menanggung demi
kebaikan warga masyarakat Dukuh Paruk; 2) konflik mendekat-mendekat,
ketika Srintil harus memilih salah satu di antara dua laki-laki yaitu Rasus dan
Bajus yang keduanya disukai oleh Srintil; 3) konflik menjauh-menjauh, ketika
Srintil dihadapkan pada dua pilihan yang keduanya merugikan bagi Srintil,
yaitu ia harus melakukan perzinahan atau kembali masuk ke dalam penjara.
Berdasarkan uraian tentang penelitian terdahulu, maka dapat dilihat
bahwa keaslian penelitian dengan judul “Konflik Batin Tokoh Midah dan
Firdaus dalam Novel Langit Mekah Berkabut Merah karya Aguk Irawan:
Tinjauan Psikologi Sastra” dapat dipertanggungjawabkan, karena
sepengetahuan penulis belum pernah ada yang meneliti novel Langit Mekah
Berkabut Merah dengan menganalisis aspek konflik batin dan menggunakan
tinjauan psikologi sastra. Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi
hasil-hasil penelitian yang terdahulu dengan sudut pandang psikologi sastra.
G. KAJIAN TEORI
1. Novel dan Unsur-Unsurnya
Novel (Inggris: novel) dan cerita pendek (Inggris: short story)
merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Sebutan
novel dalam bahasa Inggris inilah yang kemudian masuk ke Indonesia-
14
berasal dari bahasa Itali novella. Secara harfiah novella berarti „sebuah
barang baru yang kecil‟ dan kemudian diartikan sebagai „cerita pendek
dalam bentuk prosa‟ (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2009:9). Dewasa ini
istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan
istilah Indonesia novelet (Inggris: novelette), yang berarti sebuah karya
prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga
tidak terlalu pendek (Nurgiyantoro, 2009:10).
Novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu
saat yang tegang, dan pemusatan kehidupan yang tegas. Novel Indonesia
secara “resmi” muncul setelah terbitnya buku Si Jamin dan Si Johan,
tahun 1919, oleh Marari Siregar, yang merupakan saduran dari novel
Belanda, kemudian pada tahun berikutnya terbit novel Azab dan Sengsara
oleh pengarang yang sama; sejak itu mulailah berkembang sastra fiksi
yang dinamai novel ini dalam khazanah sastra Indonesia (Semi, 1988:32-
33).
Novel adalah cerita rekaan (fiction), disebut juga teks naratif
(narrative text) atau wacana naratif (narrative discourse). Melalui novel
pengarang menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan,
hidup dan kehidupan setelah menghayati berbagai permasalahan tersebut
dengan penuh kesungguhan yang diungkapkannya kembali melalui sarana
fiksi sesuai dengan prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya
masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan
15
hubungan-hubungan antar manusia. Pendek kata, novel merupakan karya
imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab kreatif sebagai
karya seni yang berunsur estetik dengan menawarkan model-model
kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh pengarang (Al-Ma‟Ruf,
2010:15).
Menurut Wellek & Warren dalam (Al-Ma‟Ruf, 2010:16) unsur-
unsur pembangun novel itu secara konvensional dapat dibagi menjadi dua
yakni unsur intrinsik (intrinsic) dan ekstrinsik (extrinsic). Unsur intrinsik
adalah unsur-unsur yang secara langsung turut membangun karya sastra
itu, yang secara faktual terdapat di dalam karya sastra. Adapun unsur
ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi
secara tidak langsung turut mempengaruhi bangunan karya sastra itu (Al-
Ma‟Ruf, 2010:16-17).
Novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi
sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit
karakter, dan berbagai peristiwa yang ruwet yang terjadi beberapa tahun
silam secara lebih mendetail. Ciri khas novel ada pada kemampuannya
untuk menciptakan satu semesta yang lengkap sekaligus lebih sulit dibaca
jika dibandingkan dengan cerpen. Novel tidak bergaya padat seperti
cerpen karena novel memiliki ruang lebih untuk menggambarkan setiap
situasi di dalamnya secara penuh karena novel menyulitkan pembaca
untuk berkonsentrasi (Stanton, 2007:104).
16
Novel menurut Nurgiyantoro dibedakan menjadi dua, yaitu novel
populer dan novel serius. Novel populer adalah novel yang populer pada
masanya dan banyak penggemarnya, khususnya di kalangan remaja.
Novel populer tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan, sebab jika
demikan novel populer akan menjadi berat dan berubah menjadi novel
serius. Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam
novel serius disoroti dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan
yang bersifat universal. Novel serius bertujuan memberikan pengalaman
yang berharga kepada pembaca, atau paling tidak mengajaknya untuk
meresapi dan merenungkan secara sungguh-sungguh tentang
permasalahan yang dikemukakan (Nurgiyantoro, 2009:19).
Sebuah novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur yang saling
berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan.
Stanton (2007:11-36) membedakan unsur pembangun sebuah novel ke
dalam tiga bagian: fakta, tema, dan sarana pengucapan (Sastra).
a. Fakta Cerita
Fakta (fact) dalam sebuah cerita meliputi karakter (tokoh cerita),
plot, dan setting. Ketiga unsur tersebut harus dipandang sebagai satu
kesatuan dalam rangkaian keseluruhan cerita, bukan sebagai sesuatu
yang berdiri sendiri dan terpisah satu dengan yang lain. Ketiga unsur ini
disebut juga struktur faktual.
1) Penokohan
17
Tokoh merupakan bagian atau unsur dari suatu keutuhan
artistik yakni karya sastra, yang seharusnya selalu menunjang
keutuhan artistik itu (Kenney dalam Al-Ma‟Ruf, 2010:77). Tokoh
cerita menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2009:165) adalah
orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau
drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan
dan apa yang dilakukan.
Kendati berupa rekaan atau hanya imajinasi pengarang,
masalah penokohan merupakan satu bagian penting dalam
membangun sebuah cerita. Tokoh-tokoh tersebut tidak saja
berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan untuk
menyampaikan ide, motif, plot, dan tema. Semakin
berkembangnya ilmu jiwa, terutama psiko-analisa, merupakan pula
salah satu alasan pentingnya peranan tokoh cerita sebagai bagian
yang ditonjolkan oleh pengarang (Jakob Sumardjo dalam Fananie
2002:86-87).
Dalam sebagian besar cerita dapat ditemukan satu „karakter
utama‟ yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang
berlangsung dalam cerita (Stanton, 2007:33). Analisis tokoh dapat
dilakukan dari nama tokoh. Penamaan tokoh (naming) menurut
Wellek dan Warren (dalam Al-Ma‟Ruf, 2010:77) merupakan cara
18
paling sederhana untuk menampilkan tokoh. Berbeda dengan
pendapat Wellek dan Warren, Semi (1988:37) mengemukakan cara
mengungkapkan sebuah karakter dapat dilakukan melalui
pernyataan langsung, melalui peristiwa, melalui percakapan,
melalui monolog batin, melalui tanggapan atas pernyataan atau
perbuatan dari tokoh-tokoh lain, dan melalui kiasan atau sindiran.
Penokohan secara wajar dapat diterima jika dapat
dipertanggungjawabkan dari sudut psikologis, fisiologis, dan
sosiologis. Ketiga sudut itu masih mempunyai berbagai aspek
(Lubis dalam Al-Ma‟Ruf, 2010:77). Termasuk psikologis antara
lain cita-cita, ambisi, kekecewaan, kecakapan, temperamen, dan
sebagainya. Aspek yang masuk dalam fisiologis misalnya jenis
kelamin, tampang, kondisi tubuh, dan lain-lain.Sudut sosiologis
terdiri atas misalnya lingkungan, pangkat, status sosial, agama,
kebangsaan, dan sebagainya.
Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot
dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat
dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh
protagonis dan antagonis. Tokoh utama adalah tokoh yang paling
banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang
dikenai kejadian, sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang
hadir jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama. Tokoh
19
protagonis adalah tokoh yang menarik perhatian pembaca, disebut
juga tokoh hero, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-
norma, nilai-nilai, yang ideal bagi pembaca sedangkan tokoh
antagonis adalah tokoh yang menjadi penyebab terjadinya konflik.
Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke
dalam tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah
tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu
sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang oleh pengarang diungkap
berbagai sisi kehidupannya di dalam novel, baik sisi
kepribadiannya dan jati dirinya (Nurgiyantoro, 2009:178-181).
2) Alur
Salah satu elemen terpenting dalam membentuk sebuah karya
fiksi adalah plot cerita. Dalam pengertiannya yang paling umum,
plot atau alur sering diartikan sebagai keseluruhan rangkaian
peristiwa yang terdapat dalam cerita (Siti Sundari, et.al, dalam
Fananie 2002:93). Namun dalam pengertian yang lebih khusus,
plot sebuah cerita tidaklah hanya sekedar rangkaian peristiwa yang
termuat dalam topik-topik tertentu, melainkan mencakup beberapa
faktor penyebab terjadinya peristiwa (Fananie, 2002:93).
Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2009:113) plot adalah
cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya
dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan
20
atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Kenny (dalam
Nurgiyantoro, 2009:113) mengemukakan plot sebagai peristiwa-
peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat
sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu
berdasarkan kaitan sebab-akibat.
Alur yang berhasil adalah alur yang mampu mengiring
pembaca menyelusuri cerita secara keseluruhan, tidak ada bagian
yang tidak ditinggalkan yang dianggap tidak penting (Semi,
1988:44-45).
Ada lima tahapan plot menurut Tasrif (dalam Nurgiyantoro
2009:149) yaitu sebagai berikut:
a) Tahap situation: tahap penyituasian, tahap yang terutama
berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh (-
tokoh) cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita,
pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama
berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada
tahap berikutnya.
b) Tahap generating circumstances: tahap pemunculan konflik,
masalah(-masalah) dan peristiwa-peristiwa yang menyulut
terjadinya konflik mulai muncul. Tahap ini merupakan tahap
awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan
21
berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada
tahap berikutnya.
c) Tahap rising action: tahap peningkatan konflik, konflik yang
telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin
berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya.
Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin
mencekam dan menegangkan.
d) Tahap climax: tahap klimaks, konflik dan atau pertentangan
yang terjadi, yang dilalui dan atau ditimpakan kepada para
tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah
cerita akan dialami oleh tokoh(-tokoh) utama yang berrperan
sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama.
e) Tahap denoument: tahap penyelesaian, konflik yang telah
mencapai klimaks diberi penyesuaian, ketegangan
dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-subkonflik, atau
konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar,
cerita diakhiri.
Nurgiyantoro (2009:153-157) membedakan plot menjadi tiga
berdasarkan kriteria urutan waktu, yaitu sebagai berikut.
a) Plot Lurus (progresif)
Plot sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa
yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-(-peristiwa)
22
yang pertama diikuti oleh (atau menyebabkan terjadinya)
peristiwa-peristiwa yang kemudian.
b) Plot Sorot-balik, (flash-back)
Urutan kejadian tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-
benar merupakan awal cerita secara logika) melainkan
mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru
kemudian tahap awal cerita dikisahkan.
c) Plot Campuran
Plot yang secara garis besar progresif, tetapi di dalamnya
betapapun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan
sorot-balik. Demikian pula sebaliknya.
3) Latar
Latar menurut Stanton (2007:35) adalah lingkungan yang
melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang
berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.
Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2009:216) mengemukakan latar
atau seting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran
pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial
tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Lebih
lanjut Abrams (dalam Al-Ma‟Ruf, 2010:103) memberikan
deskripsi latar dalam karya sastra menjadi tiga yakni latar tempat,
waktu dan sosial.
23
Senada dengan pendapat Abrams, Nurgiyantoro (2009:227-
233) membedakan unsur latar ke dalam tiga unsur pokok yaitu:
a) Latar tempat, menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan pada sebuah karya fiksi.
b) Latar waktu, berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
c) Latar sosial, menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi.
Walaupun seting dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi
yang tergambar dalam cerita, keberadaan elemen seting hakikatnya
tidaklah hanya sekedar menyatakan di mana, kapan, dan
bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan berkaitan juga
dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial, dan pandangan
masyarakat pada waktu cerita ditulis. Dari kajian seting akan dapat
diketahui sejauh mana kesesuaian dan korelasi antara perilaku dan
watak tokoh dengan kondisi masyarakat, situasi sosial, dan
pandangan masyarakatnya (Fananie, 2002:98).
b. Tema
Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Tema
merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra
dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang
24
menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan
(Hartoko & Rahmanto dalam Nurgiyantoro, 2009:68). Tema menurut
Stanton (2007:36) merupakan aspek cerita yang sejajar dengan
„makna‟ dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu
pengalaman begitu diingat. Tema selalu berkaitan dengan berbagai
pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut,
maut, religius, dan sebagainya. Nurgiyantoro (2009:70)
mengemukakan tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan
dasar umum, sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah yang
tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang yang
dipergunakan untuk mengembangkan cerita.
Semi (1988:43) menuturkan dalam pengertian tema tercakup
persoalan dan tujuan atau amanat pengarang kepada pembaca. Tema
menyorot dan mengacu pada aspek-aspek kehidupan sehingga
nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita. Tema
membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak.
Cara paling efektif untuk mengenali tema sebuah karya adalah dengan
mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya (Stanton,
2007:37-42). Untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, ia haruslah
disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-
bagian tertentu cerita (Nurgiyantoro 2009:68). Menurut Fananie
(2002:84) sebagai sebuah karya imajinatif, tema dapat diungkapkan
25
melalui berbagai cara, seperti melalui dialog tokoh-tokohnya, melalui
konflik yang dibangun, atau melalui komentar secara tidak langsung,
karena itu tema yang baik pada hakikatnya adalah tema yang tidak
diungkapkan secara langsung dan jelas.
c. Sarana Sastra
Sarana sastra adalah teknik yang digunakan pengarang untuk
menyusun detil-detil cerita berupa peristiwa dan kejadian-kejadian
menjadi pola yang bermakna. Sarana sastra dipakai untuk
memungkinkan pembaca melihat dan merasakan fakta seperti yang
dilihat dan dirasakan pengarang. Sarana sastra antara lain berupa sudut
pandang penceritaan, gaya bahasa, dan nada, simbolisme, dan ironi
(Stanton, 2007:9-10).
2. Teori Strukturalisme
Menurut Jean Piaget (dalam Ratna, 2007:84) ada tiga dasar
strukturalisme yaitu: a) kesatuan, sebagai koherasi internal, b) transformasi,
sebagai pembentukan bahan-bahan baru secara terus menerus, dan c) regulasi
diri, yaitu mengadakan perubahan dengan kekuatan dari dalam. Secara
definitif strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu
sendiri, dengan mekanisme antarhubungannya, di satu pihak antarhubungan
unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antara
unsur (-unsur) dengan totalitasnya (Ratna, 2007:91).
26
Strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan (baca:
penelitian) kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antarunsur
pembangun karya yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2009:36). Di satu pihak
struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan
gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara
bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams dalam Nurgiyantoro,
2009:36).
Analisis strukturalisme merupakan prioritas pertama sebelum
diterapkannya analisis yang lain. Tanpa analisis struktural, kebulatan makna
yang digali dari karya tersebut tidak dapat ditangkap. Makna unsur-unsur
karya sastra hanya dapat ditangkap, dipahami sepenuhnya dan dinilai atas
dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu di dalam keseluruhan karya
sastra (Wahyuningtyas dan Santosa, 2011:1-2).
Menurut Teeuw (dalam Al-Ma‟Ruf, 2010:19) tujuan analisis struktural
adalah membongkar dan memaparkan secermat mungkin keterkaitan dan
keterjalinan berbagai unsur yang secara bersama-sama membentuk makna.
Nurgiyantoro (2009:37) mengemukakan pada dasarnya analisis struktural
bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan
antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah
kemenyeluruhan. Analisis struktural dapat berupa kajian yang menyangkut
relasi unsur-unsur dalam mikroteks, satu keseluruhan wacana, dan relasi
intekstual (Hartoko & Rahmanto dalam Nurgiyantoro, 2009:38).
27
Menurut Siswantoro (2005:20) pendekatan struktural membedah novel,
misalnya dapat terlihat dari sudut pandang, plot, karakter, setting, tone &
theme, serta bagaimana unsur-unsur itu saling berinteraksi. Nurgiyantoro
(2009:37) mengemukakan langkah-langkah dalam menerapkan teori
strukturalisme adalah sebagai berikut:
a) Mengidentifikasi unsur-unsur struktur yang membangun karya sastra
secara lengkap dan jelas meliputi tema, tokoh, latar dan alur.
b) Mengkaji unsur-unsur yang telah diidentifikasi sehingga diketahui
bagaimana tema, tokoh, latar dan alur dari sebuah karya sastra.
c) Mendeskripsikan fungsi masing-masing unsur sehingga diketahui
tema, tokoh, latar dan alur sebuah karya sastra.
d) Menghubungkan masing-masing unsur sehingga diketahui tema,
tokoh, latar dan alur dalam sebuah karya sastra.
3. Teori Psikologi Sastra
Henry Gleitman (dalam Sobur, 2010:32) mendefinisikan psikologi
sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha memahami perilaku manusia, alasan
dan cara mereka melakukan sesuatu, dan juga memahami bagaimana makhluk
tersebut berpikir dan perasaan. Menurut Wellek&Warren (dalam Ratna,
2007:61) pendekatan psikologis pada dasarnya berhubungan dengan tiga
gejala utama, yaitu: pengarang, karya sastra, dan pembaca, dengan
pertimbangan bahwa pendekatan psikologis lebih banyak berhubungan
28
dengan pengarang dan karya sastra. Secara definitif, tujuan psikologi sastra
adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya
(Ratna, 2007:342).
Fiksi psikologis adalah salah satu aliran sastra yang berusaha
mengeksplorasi pikiran sang tokoh utama, terutama pada bagiannya yang
terdalam yaitu alam bawah sadar. Fiksi psikologis sering menggunakan teknik
bernama arus kesadaran (Stanton, 2007:134). Prinsip pokok fiksi psikologi
adalah eksplorasi segi-segi pemikiran dan kejiwaan tokoh-tokoh utama cerita,
terutama menyangkut alam pemikiran pada tingkat yang lebih dalam, di
tingkat alam bawah sadar (Semi, 1988:66).
Psikologi sastra menurut Minderop (2010:54) adalah telaah karya satra
yang diyakini mencerminkan proses dan aktivitas kejiwaan. Daya tarik
psikologi sastra ialah pada masalah manusia yang melukiskan potret jiwa.
Setiap pengarang kerap menambahkan pengalaman sendiri dalam karyanya
dan pengalaman pengarang itu sering pula dialami oleh orang lain (Minderop,
2010:59).
Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai
aktivitas kejiwaan. Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis,
akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan
teks berupa drama maupun prosa (Endraswara, 2003:96). Jatman (dalam
Endraswara, 2003:97) berpendapat bahwa kaarya sastra dan psikologi
memang memiliki pertautan yang erat, secara tak langsung dan fungsional.
29
Pertautan tak langsung, karena baik sastra maupun psikologi memiliki objek
yang sama yaitu kehidupan manusia. Psikologi dan sastra memiliki hubungan
fungsional karena sama-sama untuk mempelajari keadaan jiwa orang lain,
bedanya dalam psikologi gejala tersebut riil, sedangkan dalam sastra bersifat
imajinatif.
Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara
psikologi dengan sastra, yaitu: a) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang
sebagai penulis, b) memhami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional
dalam karya sastra, dan c) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca. Pada
dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada pembicaraan dalam
kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang
terkandung dalam karya. Pada umumnya aspek-aspek kemanusiaanlah yang
merupakan objek utama psikologi sastra, dalam tokoh-tokoh aspek kejiwaan
dicangkokkan dan diinvestasikan (Ratna, 2006:343).
Dengan memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat
dianalisis konflik batin, yang mungkin saja bertentangan dengan teori
psikologis. Dengan adanya kaitan yang erat antara aspek psikologis dengan
unsur tokoh dan penokohan, maka karya sastra yang relevan untuk dianalisis
secara psikologis adalah karya-karya yang memberikan intensitas pada aspek
kejiwaan tersebut (Ratna, 2006:350).
Dengan adanya kaitan yang erat antara aspek psikologis dan unsur
tokoh dan penokohan, dalam penelitian ini dipilih novel Langit Mekah
30
Berkabut Merah karya Aguk Irawan yang dianggap relevan untuk dianalisis
secara psikologis.
4. Teori Konflik Batin
Menurut Meredith dan Fitzgerald (dalam Nurgiyantoro, 2009:122)
konflik adalah sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan
atau dialami oleh tokoh (-tokoh) cerita, yang jika tokoh (-tokoh) itu
mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih
peristiwa itu menimpa dirinya. Konflik dalam pandangan kehidupan yang
normal-wajar-faktual, artinya bukan dalam cerita, menyaran pada konotasi
negatif, sesuatu yang tak menyenangkan (Nurgiyantoro, 2009:122).
Konflik batin adalah percecokan, perselisihan, atau pertentangan.
Dalam sastra diartikan bahwa konflik batin merupakan ketegangan di dalam
cerita rekaan atau drama yakni pertentangan antara dua kekuatan,
pertentangan dalam diri satu tokoh, pertentangan antara dua tokoh dan
sebagainya (Alwi dkk, 2005:587). Adapun pengertian konflik batin menurut
Alwi dkk (2005:587) adalah konflik yang disebabkan oleh adanya dua
gagasan atau lebih, atau keinginan yang saling bertentangan untuk menguasai
diri sehingga mempengaruhi tingkah laku.
Bentuk peristiwa dalam sebuah cerita, dapat berupa peristiwa fisik
ataupun batin. Peristiwa fisik melibatkan aktivitas fisik, ada interaksi antara
seorang tokoh cerita dengan sesuatu yang di luar dirinya: tokoh lain atau
31
lingkungan. Peristiwa batin adalah sesuatu yang terjadi dalam batin, hati,
seorang tokoh. Konflik batin adalah konflik yang terjadi dalam hati, jiwa
seorang tokoh cerita. Jadi, ia merupakan konflik yang dialami manusia dengan
dirinya sendiri. Ia merupakan permasalahan intern seorang manusia.
Misalnya, hal itu terjadi akibat adanya pertentangan antara dua keinginan,
keyakinan, pilihan yang berbeda, harapan-harapan, atau masalah-masalah
lainnya (Nurgiyantoro, 2009:123-124).
Jenis konflik menurut Dirgagunarsa (dalam Sobur, 2010:292-293)
mempunyai beberapa bentuk antara lain:
a. Konflik mendekat-mendekat (approach-approach conflict)
Konflik ini timbul jika suatu ketika terdapat dua motif yang semuanya
positif (menyenangkan, menguntungkan), sehingga muncul kebimbangan
untuk memilih salah satu di antaranya. Memilih satu motif berarti
mengorbankan atau mengecewakan motif lain yang tidak dipilih.
b. Konflik mendekat-menjauh (approach-avoidance conflict)
Konflik ini timbul jika dalam waktu yang bersamaan timbul dua motif yang
berlawanan mengenai satu objek, motif yang satu positif (menyenangkan),
yang lain negatif (merugikan, tidak menyenangkan). Karena itu ada
kebimbangan, apakah akan mendekati atau menjauhi objek itu.
32
c. Konflik menjauh-menjauh (avoidance-avoidance conflict)
Konflik ini terjadi apabila pada saat yang bersamaan, timbul dua motif
negatif dan muncul kebimbangan karena menjauhi konflik yang satu berarti
harus memenuhi motif lain yang juga negatif.
5. Pembelajaran Sastra Di SMA
Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan
kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia
dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan
apresisi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia (BSNP dalam
Sufanti, 2010:12). Rumusan ini menunjukkkan bahwa mata pelajaran Bahasa
Indonesia diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam
bersosialisasi dengan sesama dengan berbagai kesempatan baik resmi,
maupun tidak resmi, dengan berbagai alat komunikasi baik tulis maupun lisan.
Penyelenggaraan mata pelajaran Bahasa Indonesia juga dimaksudkan agar
daya apresiasi sastra siswa terhadap hasil sastra Indonesia tumbuh dengan
baik (Sufanti, 2010:12).
Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakup komponen
kemampuan berbahasa dan komponen bersastra yang meliputi aspek-aspek: a)
mendengarkan, b) berbicara, c) membaca, d) menulis (BSNP, dalam Sufanti
2010:14). Komponen kemampuan bersastra adalah kemampuan yang
menuntut siswa untuk kegiatan apresiasi dan ekspresi dengan dengan materi
33
sastra yang meliputi kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan
menulis karya sastra (Sufanti, 2010:14).
Sufanti (2010:15) memaparkan komponen bersastra merupakan
komponen pembelajaran yang berupa aktivitas mendengarkan, berbicara,
membaca, dan menulis dengan topik-topik sastra. Topik-topik dalam
komponen ini meliputi antara lain: puisi, cerita pendek, novel, drama, cerita
rakyat, dan cerita melayu klasik. Topik-topik ini digunakan untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam mendengarkan, berbicara, membaca,
dan menulis. Di samping itu, digunakan untuk meningkatkan apresiasi siswa
terhadap karya sastra.
Kegiatan apresiasi sastra adalah kegiatan membaca dan mendengarkan
karya sastra atau kegiatan resepsi sastra. Perwujudan kegiatan apresiasi sastra
yang paling dasar adalah membaca karya sastra. Dengan membaca karya
sastra, siswa dapat memahami, menafsirkan, menghayati, dan menikmati,
sehingga mampu memberikan manfaat. Manfaat yang diharapkan dari proses
membaca sastra ini adalah meningkatkan wawasan siswa, halus budi
pekertinya, meningkat pengetahuan bahasanya, dan meningkat kemampuan
berbahasanya (Sufanti, 2010:24-25).
Menurut Rahmanto (2004:16) pengajaran sastra dapat membantu
pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu:
a) Membantu keterampilan berbahasa
b) Meningkatkan pengetahuan budaya
34
c) Mengembangkan cipta dan rasa
d) Menunjang pembentukan watak
Gani (1988:28) mengemukakan tujuan pengajaran sastra yaitu:
a) Memfokuskan siswa pada pemikiran gagasan-gagasan dan perhatian yang
lebih besar terhadap masalah kemanusiaan dalam bentuk ekspresi yang
mencerminkan perilaku kemanusiaan.
b) Membawa siswa pada kesadaran dan peneguhan sikap yang lebih terbuka
terhadap moral, keyakinan, nilai-nilai, pemilikan perasaan bersalah dan
ketaksaan dari masyarakat.
c) Mengajak siswa mempertanyakan isu yang sangat berkaitan dengan
perilaku personal.
d) Memberikan kesempatan pada siswa untuk memperjelas dan
memperdalam pengertian-pengertiannya tentang keyakinan, perasaan, dan
perilaku kemanusiaan.
e) Membantu siswa lebih mengenal dirinya yang memungkinkannya
bersikap lebih arif terhadap dirinya dan orang lain secara lebih cerdas,
penuh pertimbangan dan kehangatan yang penuh simpati.
Novel merupakan salah satu sarana pendukung yang dijadikan sebagai
bahan pengajaran oleh guru. Novel mengandung banyak pengalaman yang
bernilai pendidikan yang positif. Salah satu kelebihan novel sebagai bahan
pengajaran sastra adalah cukup mudahnya karya tersebut dinikmati siswa
35
sesuai dengan tingkat kemampuannya masing-masing secara perorangan
(Rahmanto, 2004:65-66).
Dalam dunia pendidikan, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk
mengembangkan pembelajaran sastra di SMA. Novel merupakan sarana siswa
dalam melakukan kegiatan apresiasi sastra. Tujuan pembelajaran ini yaitu
memberikan kesempatan pada siswa untuk menafsirkan makna dari karya
sastra tersebut. Pembelajaran ini bersifat individual, karena di dalam
pembelajaran sastra sangat memungkinkan terjadi perbedaan pendapat,
penafsiran, sehingga juga menimbulkan perbedaan penghargaan terhadap
karya sastra.
H. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan penjelasan sementara terhadap gejala
yang menjadi objek permasalahan. Berikut gambaran kerangka berpikir dalam
penelitian sastra konflik batin tokoh Midah dan Firdaus dalam novel Langit
Mekah Berkabut Merah karya Aguk Irawan: Tinjauan Psikologi Sastra.
36
Novel Langit Mekah Berkabut Merah
Psikologi
Sastra
Analisis
Struktural
Tema, Alur,
Penokohan,
Latar
Konflik Batin
Tokoh Midah
dan Firdaus
Implementasi
sebagai bahan ajar
Bahasa Indonesia
di SMA
Kesimpulan
37
I. METODE PENELITIAN
1. Jenis dan Strategi Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Menurut Aminuddin
(1990:16) metode kualitatif artinya yang menganalisis bentuk deskripsi,
tidak berupa angka atau koefisien tentang hubungan antar variable.
Penelitian kualitatif adalah metode yang memberikan perhatian terhadap
data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya
(Ratna, 2007:47). Dalam mengkaji novel Langit Mekah Berkabut Merah
peneliti menggunakan mentode kualitatif deskriptif yaitu menganalisis
data berbentuk deskripsi, tidak berupa angka/ koefisien tentang hubungan
antarvariable.
Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan strategi studi terpancang (embedded research) dan studi
kasus (case study). Menurut Sutopo (2002:112) penelitian terpancang
(embedded research) digunakan karena masalah dan tujuan penelitian
telah ditetapkan oleh peneliti sejak awal penelitian. Studi kasus (case
study) digunakan karena strategi difokuskan pada kasus tertentu.
Arah atau penekanan dalam penelitian ini adalah konflik batin
tokoh Midah dan Firdaus dalam novel Langit Mekah Berkabut Merah
dengan urutan analisis sebagai berikut.
a. Struktur yang membangun novel Langit Mekah Berkabut Merah karya
Aguk Irawan.
37
38
b. Konflik batin tokoh Midah dan Firdaus dalam novel Langit Mekah
Berkabut Merah karya Aguk Irawan tinjauan psikologi sastra
2. Objek Penelitian
Objek sering diartikan sebagai variable atau fenomena yang diteliti.
Objek menjadi pusat kajian karena perhatian seorang peneliti
terkonsentrasi kepadanya (Siswantoro, 2005:62). Objek penelitian ini
adalah konflik batin tokoh Midah dan Firdaus dalam novel Langit Mekah
Berkabut Merah karya Aguk Irawan: tinjauan psikologi sastra, diterbitkan
oleh Kubah Ilmu Jakarta, 2012 dan setebal 349 halaman.
3. Data dan Sumber Data
a. Data
Menurut Sutopo (2002: 48) data kualitatif adalah data yang
berkaitan dengan kualitas. Penelitian kualitatif datanya beujud kata
atau verbal data, bukannya angka atau numerical data. Meski berupa
kata, namun ia menyuguhkan daya tarik, serta kaya ke dalam
interpretasi, berbasis teori yang berbingkai dalam konteks tempat dan
peristiwa (Siswantoro, 2005:62). Adapun data dalam penelitian ini
adalah kalimat, paragraf dan wacana dalam teks novel Langit Mekah
Berkabut Merah diterbitkan oleh Kubah Ilmu cetakan pertama, tahun
2012.
2
8
39
b. Sumber Data
Sumber data adalah subjek penelitian dari mana data diperoleh.
Dalam penelitian sastra, sumber data berupa teks novel, cerita pendek,
drama, dan lain lain (Siswantoro, 2005:64). Sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu sumber data primer dan sumber
data sekunder.
1) Sumber data primer
Sumber data primer yaitu sumber utama penelitian yang
diproses sumbernya tanpa perantara (Siswantoro, 2005:54). Sumber
data primer dalam penelitian ini adalah teks novel Langit Mekah
Berkabut Merah karya Aguk Irawan, diterbitkan oleh Kubah Ilmu
cetakan pertama, tahun 2012, dan setebal 349 halaman.
2) Sumber data Sekunder
Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh secara
tidak langsung atau lewat perantara, tetapi masih berdasarkan kategori
konsep (Siswantoro, 2005:54). Dalam penelitian ini sumber data
sekunder berupa artikel dan tulisan-tulisan yang diperoleh dari
penyelusuran (browsing) internet, serta buku-buku lain yang dianggap
relevan dengan penelitian ini, yakni Pengantar Teori Sastra, Teori
Fiksi, Teori, Metode, dan Penelitian Sastra, Psikologi Umum, Dimensi
40
Sosial Keagamaan Dalam Fiksi Indonesia Modern, dan penyelusuran
internet yakni mengunduh dari Wikipedia, dan lain-lain.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik pustaka, teknik simak, dan teknik catat. Menurut Soebroto
(1992:42) teknik pustaka adalah teknik yang menggunakan sumber-
sumber tertulis untuk memperoleh data. Teknik simak dan catat berarti
peneliti sebagai instrument kunci yang melakukan penyimakan secara
cermat terhadap sumber data. Metode kepustakaan selanjutnya diperjelas
dengan menggunakan teknik simak dan teknik catat. Hasil penyimakan itu
dicatat sebagai data.
Langkah-langkah pengumpulan data dalam novel Langit Mekah
Berkabut Merah karya Aguk Irawan sebagai berikut.
1. Membaca secara cermat novel Langit Mekah Berkabut Merah karya
Aguk Irawan.
2. Mencatat kalimat, paragraf dan wacana yang berkaitan dengan struktur
novel dan kalimat, paragraf dan wacana yang menggambarkan adanya
konflik batin tokoh Midah dan Firdaus dalam novel Langit Mekah
Berkabut Merah karya Aguk Irawan.
3. Menganalisis konflik batin tokoh Midah dan Firdaus dalam novel
Langit Mekah Berkabut Merah karya Aguk Irawan.
41
5. Teknik Validasi Data
Validasi data bertujuan agar penafsiran dan analisis data dapat
dipertanggungjawabkan dan memeriksa apakah data yang diolah sesuai
dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini
teknik validasi data yang digunakan yaitu teknik triangulasi.
Triangulasi merupakan teknik yang didasari pola pikir
fenomenologi yang bersifat multi perspektif. Artinya untuk menarik
simpulan yang mantap, diperlukan tidak hanya satu cara pandang (Sutopo,
2002:92). Patton (dalam Sutopo 2002:95-98) mengemukakan empat
triangulasi yaitu sebagai berikut.
a. Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber merupakan triangulasi yang memungkinkan
kepastian kebenaran dengan memanfaatkan data yang sama atau
sejenis digali dari berbagai sumber yang berbeda.
b. Triangulasi Metode
Teknik triangulasi metode bisa dilakukan oleh seorang peneliti dengan
cara mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik
atau metode pengumpulan data yang berbeda.
c. Triangulasi Penyidik
Teknik triangulasi penyidik adalah teknik yang memungkinkan hasil
penelitian baik data atau pun simpulan mengenai bagian tertentu atau
keseluruhannya bisa diuji validitasnya dari beberapa peneliti yang lain.
42
d. Triangulasi Teori
Triangulasi jenis ini dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan
perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang
dikaji.
Penelitian ini menggunakan triangulasi teori. Triangulasi teori
digunakan dengan cara rujuk silang antarteori (teori satu dengan yang
lain) untuk mendapatkan teori yang benar-benar terpercaya agar dapat
digunakan sebagai acuan dalam penelitian. Peneliti menggunakan teori
dari Alwi, Nurgiyantoro, dan Dirgagunarsa untuk menemukan konflik
batin tokoh Midah dan Firdaus yang terdapat dalam novel Langit Mekah
Berkabut Merah. Triangulasi teori dilakukan dengan cara menggunakan
perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji.
Dari beberapa perspektif teori tersebut akan diperoleh pandangan yang
lebih lengkap, tidak hanya sepihak, sehingga dapat dianalisis dan ditarik
kesimpulan yang lebih utuh dan menyeluruh.
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode
pembacaan model semiotik, yang terdiri atas pembacaan heuristik dan
hermeneutik. Kerja heuristik merupakan pembacaan karya sastra pada
sistem semiotik tingkat pertama. Pembacaan heuristik menghasilkan
pemahaman makna secara harfiah, makna tersurat. Kerja hermeneutik
berupa pemahaman karya pada tataran semiotik tingkat kedua. Artinya
43
berdasarkan makna dari hasil kerja heuristik dicoba-tafsirkan makna
tersiratnya. Jika pada tataran kerja heuristik dibutuhkan pengetahuan
tentang kode bahasa, pada tataran kerja hermeneutik dibutuhkan
pengetahuan tentang kode-kode yang lain, khususnya kode sastra dan
kode budaya (Nurgiyantoro, 2007:33).
Dalam aplikasinya, analisis data kualitatif karya sastra
menggunakan cara berpikir induktif. Artinya analisis dilakukan dengan
mengkaji hal-hal yang bersifat khusus baru ditarik simpulan yang bersifat
umum (Al-Ma‟ruf, 2011:16). Moleong (2010:297) mengemukakan
maksud umum dari pendekatan induktif memungkinkan temuan-temuan
penelitian muncul dari „keadaan umum‟, tema-tema dominan dan
signifikan yang ada dalam data, tanpa mengabaikan hal-hal yang muncul
oleh struktur metodologisnya.
J. Sistematika penelitian
Penelitian ini agar lebih lengkap dan sistematis, maka diperlukan
adanya sistematika penulisan. Adapaun sistematika penulisan penelitian ini
terdiri dari lima bab, yaitu sebagai berikut.
Bab I Pendahuluan, meliputi Latar Belakang Masalah, Pembatasan
Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,. Tinjauan
Pustaka, Landasan Teori, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian, dan
Sistematika Penulisan.
44
Bab II berisi Biografi Pengarang, Riwayat Hidup, Latar Belakang
Sosial Pengarang, Hasil Karyanya dan Ciri Khas Karya Sastranya.
Bab III Analisis Struktur Novel Langit Mekah Berkabut Merah, yang
meliputi Tema, Alur, Penokohan, dan Latar.
Bab IV Pembahasan mengenai Konflik Batin tokoh utama dalam
novel Langit Mekah Berkabut Merah karya Aguk Irawan.
Bab V Penutup, terdiri dari simpulan dan saran. Bagian akhir skripsi
ini dipaparkan daftar pustaka, dan lampiran-lampiran.