bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Paparan sinar matahari yang berlebihan dapat menimbulkan efek yang
merugikan terutama bagi kulit manusia. Sinar UV merupakan sebagian kecil
(kurang dari 1%) dari spektrum sinar matahari, namun paling berbahaya bagi
kulit. Sinar ultraviolet yang diradiasikan oleh matahari terbukti dapat
menyebabkan munculnya stress oksidatif. Manisfestasi stress oksidatif ini muncul
dalam bentuk gangguan kulit seperti sunburn, eritema, penuaan dini, hilangnya
kolagen, serta kanker kulit melanoma dan non melanoma (Katiyar dkk., 2007; Lee
dkk., 2007; Timares dkk., 2008).
Paparan sinar UV menyebabkan terbentuknya radikal bebas berupa ROS
(Reactive Oxygen Species) yang merupakan molekul tidak stabil. Reactive Oxygen
Species akan berikatan dan merusak komponen sel seperti lemak, protein dan
asam nukleat. Kerusakan komponen sel ini terutama dapat menyebabkan penuaan
dini pada kulit yang ditandai dengan kulit kering, keriput, kusam dan turunnya
elastisitas kulit akibat kerusakan sel pada jaringan kolagen (Elsner & Maibach,
2000).
Dampak buruk sinar UV dapat dicegah dengan penggunaan antioksidan
dan tabir surya. Antioksidan berfungsi mengatasi atau menetralisir radikal bebas
sehingga dapat menghambat terjadinya kerusakan oksidatif akibat radikal bebas
(Kosasih dkk., 2006). Sedangkan tabir surya adalah produk yang dapat mencegah
penetrasi sinar UV ke dalam lapisan kulit sehingga dapat melindungi kulit dari
2
pengaruh buruk sinar UV. Menurut Black (1990), antioksidan dapat berperan
sebagai tabir surya dengan mekanisme kompetitif karena senyawa antioksidan
dapat berkompetisi dengan molekul target yang akan dirusak sinar UV dan
mengurangi efek yang merugikan akibat sinar UV.
Salah satu hasil sintesis terhadap turunan senyawa kurkumin yang telah
dilakukan adalah sintesis senyawa Tetrahidropentagamavunon-0 (THPGV-0)
yang diperkirakan sebagai metabolit utama dari proses metabolisme PGV-0 dalam
tubuh. Penelitian yang dilakukan oleh Simbara (2009) membuktikan bahwa
senyawa THPGV-0 mempunyai aktivitas antioksidan lebih baik daripada PGV-0
dan vitamin E dengan nilai ES-50 berturut–turut untuk THPGV-0, PGV-0, dan
vitamin E adalah 29,19; 64,56 dan 47,87 µM. Selain itu, berdasarkan nilai Ferric
Reducing Antioxidant Power (FRAP), THPGV-0 mempunyai daya reduksi
(FRAP) lebih baik daripada PGV-0 dan vitamin E.
Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan THPGV-0 dalam bentuk
sediaan topikal yaitu gel. Gel merupakan sediaan semipadat yang bersifat
transparan, jernih dan mempunyai efek hidrasi yang baik, sehingga nyaman
digunakan oleh konsumen.
Suatu sediaan farmasi harus terjamin keamanan dan efikasinya. Sediaan
topikal seperti gel sering menyebabkan efek samping pada kulit, antara lain
terjadinya iritasi, reaksi sensitivitas, fotoalergi dan fototoksisitas. Efek samping
ini dapat berasal dari zat aktif ataupun bahan tambahan pada gel. Oleh karena itu,
perlu dilakukan evaluasi keamanan, salah satunya adalah dengan uji iritasi. Uji
iritasi harus dilakukan sebelum pemakaian sediaan pada manusia untuk mencegah
3
reaksi hipersensitivitas. Uji iritasi akut dermal dilakukan dengan metode patch test
pada kulit kelinci berdasarkan prosedur BPOM RI tahun 2014, untuk
mengevaluasi keamanan sediaan gel tersebut terhadap reaksi iritasi akut dermal
yang terjadi. Selain itu, dalam penelitian ini juga akan dilakukan untuk penentuan
nilai SPF secara in vitro sediaan gel THPGV-0 untuk mengetahui efektivitas gel
THPGV-0 tersebut sebagai tabir surya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini
antara lain:
1. Bagaimanakah hasil formulasi gel THPGV-0 menggunakan kombinasi
basis karbopol dan CMC-Na?
2. Bagaimanakah pengaruh gel THPGV-0 terhadap reaksi iritasi akut
dermal pada kelinci?
3. Bagaimanakah nilai SPF gel THPGV-0 yang diuji secara in vitro?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :
1. Untuk memformulasikan gel THPGV-0 dengan menggunakan
kombinasi basis karbopol dan CMC-Na.
2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian sediaan gel THPGV-0
terhadap reaksi iritasi akut dermal pada kelinci.
3. Untuk mengetahui nilai SPF gel THPGV-0 yang diuji secara in vitro.
4
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengevaluasi
keamanan dan efikasi sediaan gel THPGV-0 yang dapat digunakan untuk
mengurangi dampak negatif dari sinar ultraviolet pada kulit.
E. Tinjauan Pustaka
1. Kurkumin, THC, PGV-0 dan THPGV-0
Kurkumin 1,7-bis-(4-hidroksi-3-metoksifenil)-1,6-heptadien-3,5-
dion merupakan komponen aktif dari rimpang Curcuma sp. yang telah
terbukti mempunyai berbagai aktivitas farmakologis dengan spektrum yang
luas, antara lain sebagai cholagogic dan cholerectic, antiinflamasi,
antioksidan dan antikarsinogenik (Hoehle dkk., 2006). Kurkumin mempunyai
aktivitas karena adanya efek penghambatan siklooksigenase (COX) sebesar
79% (Sardjiman dkk., 1997) dan bersifat COX-2 selektif karena bersifat tidak
toksik pada gastrointestinal meskipun pada dosis tinggi (Kawamori dkk.,
1999). Kurkumin bersifat tidak stabil oleh pengaruh cahaya (Sardjiman dkk.,
1997; Wuryantoko & Supardjan, 1997) dan pH di atas 6,5 (Tonnesen dan
Karlsen, 1985). Selain itu, berdasarkan profil farmakokinetiknya
menunjukkan bahwa kurkumin mempunyai profil absorbsi di saluran cerna
yang sangat rendah jika diberikan secara oral karena bersifat sangat lipofil
(Kohli dkk., 2005).
Untuk mendapatkan analog kurkumin yang lebih poten, Sardjiman
dkk., (2000) telah berhasil mensintesis senyawa analog monoketon kurkumin
5
diantaranya yaitu Pentagamavunon-0 (PGV-0), yang dikenal dengan nama
kimia 2,5-bis(4-hidroksi-3metoksibenzilidin) siklopentanon yang merupakan
salah satu modifikasi struktur kurkumin dengan mengubah gugus β-diketon
pada kurkumin menjadi siklopentanon (Sardjiman, 2000). PGV-0 memiliki
berat molekul (BM) 352, 13 g/mol dan titik lebur 212-214oC (Sardjiman,
2000). Senyawa PGV-0 telah diketahui memiliki aktivitas antioksidan
(Sardjiman, 2000), antiinflamasi (Tim Molnas Fakultas Farmasi UGM, 2001)
dan antiproliferatif terhadap sel myeloma (Meiyanto dkk., 2006) yang lebih
baik dibanding kurkumin. Berdasarkan profil farmakokinetik dengan
pemberian injeksi intravena dan per oral, menunjukkan bahwa PGV-0
memberikan kadar dalam darah yang eratik (Nurshanti, 2001; Kustaniah,
2001).
Tetrahidrokurkumin (THC) merupakan salah satu senyawa hasil
metabolisme utama kurkumin yang terbentuk secara in vivo (Pan dkk., 1999).
Senyawa THC merupakan senyawa polifenol yang mempunyai gugus fungsi
parahidroksi dan keton yang berperan sebagai antioksidan dan antikanker
(Sabinsa Corporation, 2000). THC mempunyai aktivitas antioksidan yang
lebih poten dibandingkan kurkumin (Sugiyama dkk., 1996) dan vitamin E
(Arunothayanun dkk., 2005).
Tetrahidropentagamavunon-0 (THPGV-0) atau 2,5-bis(4-hidroksi-3-
metoksi-benzil) siklopentanon merupakan analog dari THC yang berhasil
disintesis melalui reaksi hidrogenasi senyawa pentagamavunon-0 (PGV-0)
6
dengan gas H2 dan katalis paladium/karbon (Pd/C) dalam pelarut metanol
(Ritmaleni & Simbara, 2010).
Gambar 1. Struktur Kimia THPGV-0
Senyawa THPGV-0 yang dihasilkan Ritmaleni & Simbara (2010)
berupa serbuk putih dengan titik lebur 122-123oC dan BM 356. THPGV-0
telah dilaporkan memiliki aktivitas biologi yaitu dapat menghambat
pelepasan histamin oleh antigen yang diinduksi RBL-2H3 (Nugroho dkk.,
2010) serta pada uji difusi padat menunjukkan adanya aktivitas antibakteri
THPGV-0 terhadap bakteri gram positif S. aureus dan B.subtilis yang lebih
poten daripada senyawa PGV-0 (Ritmaleni dkk., 2013). Selain itu, THPGV-0
terbukti mempunyai aktivitas antioksidan lebih baik daripada PGV-0 dan
vitamin E (Simbara, 2009). Berdasarkan uji aktivitas antijamur metode difusi
agar THPGV-0 juga terbukti memiliki aktivitas antijamur terhadap C.
albicans (Agustina, 2010). THPGV-0 mempunyai gugus fenolik pada
strukturnya yang mempunyai ikatan terkonjugasi sehingga dimungkinkan
mampu menyerap sinar UV, penyerapan sinar UV akan menyebabkan energi
molekul ditingkatkan ke tingkat energi yang lebih tinggi dan molekul kembali
ke keadaan dasar dengan melepaskan kelebihan energi sebagai fosforesensi
atau sebagai panas. Aksi penyerap sinar UV ini akan mencegah penetrasi
7
radiasi UV ke dalam kulit (Svobodova dkk., 2003). Selain itu, sifat
antioksidan dari THPGV-0 tersebut dapat memperbaiki aktivitas fotoprotektif
tabir surya (Chiari dkk., 2014).
2. Kulit
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan menjadi
pembatas bagian dalam tubuh dengan lingkungan. Kulit mempunyai beberapa
fungsi, diantaranya adalah (Wasitaatmadja, 2007) :
a. Fungsi proteksi
Kulit berfungsi menjaga bagian dalam tubuh dari gangguan yang bersifat
fisik atau mekanis, gangguan kimiawi, radiasi sinar ultraviolet, gangguan
bakteri maupun jamur.
b. Fungsi ekskresi
Kulit berfungsi mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna dan sisa
metabolisme dalam tubuh.
c. Fungsi persepsi
Fungsi persepsi ini disebabkan karena adanya ujung-ujung saraf sensorik
di dermis dan subkutis.
d. Fungsi pengaturan suhu tubuh
Peranan kulit dalam pengaturan suhu tubuh terjadi dengan cara
mengeluarkan keringat.
e. Fungsi sintesis vitamin D dan melanin
8
Kulit terdiri dari tiga lapisan utama yaitu (Wasitaatmadja, 2007) :
a. Epidermis
Epidermis merupakan lapisan kulit terluar yang terdiri dari lapisan
sel yang telah mati (lapisan tanduk) dan berfungsi sebagai sawar pelindung
terhadap bakteri maupun zat-zat lain dari luar tubuh. Pada lapisan
epidermis tidak terdapat pembuluh darah sehingga menjadi penghalang
utama terhadap absorbsi obat. Epidermis terdiri dari lima lapisan, yaitu
stratum corneum, stratum lucidum, stratum granulosum, stratum
spinosum, dan stratum germinativum. Ketebalan stratum corneum
mempengaruhi absorbsi zat aktif ke dalam kulit karena berupa lapisan sel–
sel yang telah mati dan rapat yang sulit ditembus.
a. Dermis
Dermis adalah lapisan kulit di bawah epidermis yang berupa
anyaman serabut kolagen dan elastin, sehingga dermis lebih tebal
dibanding epidermis. Dermis mengandung pembuluh darah, pembuluh
limfe, folikel rambut, kelenjar lemak, kelenjar keringat dan serabut saraf.
b. Lapisan atau jaringan subkutan
Lapisan ini merupakan laipsan kulit yang paling dalam yang
berfungsi sebagai bantalan dan isolator panas. Lapisan ini merupakan
kelanjutan dari lapisan dermis, terdiri dari jaringan ikat longgar yang berisi
sel-sel lemak di dalamnya. Pada lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi,
pembuluh darah dan getah bening.
9
Secara alami, kulit manusia memiliki sistem pertahanan terhadap sinar
matahari. Mekanisme pertahanan tersebut adalah dengan penebalan stratum
corneum dan pigmentasi kulit. Namun, perlindungan alami kulit ini dapat
ditembus oleh tingkat radiasi sinar UV yang tinggi, sehingga kulit tetap
membutuhkan perlindungan tambahan (Lestari, 2011).
3. Sinar UV
Sebagai daerah yang memiliki iklim tropis, tingginya intensitas paparan
sinar matahari di Indonesia dapat memperbesar risiko kerusakan kulit akibat
paparan sinar ultraviolet (UV) (Misnadiarly, 2006).
Sinar UV dengan panjang gelombang 250-400 nm terbukti dapat
mempengaruhi kehidupan biologis (Misnadiarly, 2006). Berdasarkan panjang
gelombangnya, sinar UV tersebut dapat dibagi menjadi beberapa segmen,
yaitu :
a. Segmen UV-A, mempunyai panjang gelombang 315-400 nm, merupakan
sinar UV yang paling banyak mencapai bumi yaitu dengan intensitas 100
kali UV-B tetapi mempunyai kekuatan lemah, yaitu 1:1000 UV-B.
Apabila masuk ke dalam dermis, UV-A dapat menyebabkan kerusakan
jaringan dermis yang ditandai dengan adanya penuaan dini dan reaksi
fotosensitivitas. Selain itu, UV-A bersama UV-B berperan dalam proses
pembentukan kanker kulit (Misnadiarly, 2006). Sinar UV-A memiliki
Minimal Erythemal Dose (MED) antara 50.000-60.000 mJ/cm2 (De Polo,
1998).
10
b. Segmen UV-B, mempunyai panjang gelombang antara 280-315 nm,
merupakan sinar terkuat yang mencapai bumi. UV-B dapat menyebabkan
kerusakan kulit terutama pada lapisan bawah epidermis, berupa kulit
terbakar (sunburn) dan memicu terbentuknya sel kanker. Hampir 90%
segmen UV-B terutama pada panjang gelombang 290-300 nm dapat
diabsorbsi lapisan ozon (Misnadiarly, 2006). Sementara radiasi sinar
UV-B yang mencapai permukaan kulit 70% dipantulkan lapisan
epidermis, 20% berpenetrasi lebih dalam ke epidermis, dan 10%
mencapai dermis. Sinar UV-B memiliki Minimal Erythemal Dose (MED)
antara 20-35 mJ/cm2 (De Polo, 1998).
c. Segmen UV-C, mempunyai panjang gelombang antara 200-280 nm,
merupakan sinar terkuat yang diabsorpsi oleh lapisan ozon sehingga tidak
mencapai permukaan bumi. Peristiwa kebocoran lapisan ozon saat ini,
menyebabkan sinar UV-C dapat mencapai bumi dan sangat
membahayakan lingkungan. UV-C memicu pembentukan radikal bebas
intrasel yang dapat mempercepat proses kerusakan dan penuaan kulit
(Misnadiarly, 2006).
4. Radikal bebas
Radikal bebas adalah suatu molekul atau atom yang sangat tidak stabil
karena memiliki satu atau lebih atom yang tidak berpasangan. Elektron pada
atom tersebut sangat reaktif dan cepat bereaksi dengan molekul lain sehingga
terbentuk radikal bebas baru dalam jumlah besar secara terus-menerus. Selain
itu, radikal bebas ini juga dapat bereaksi dengan komponen dalam sel seperti
11
protein, lemak, karbohidrat dan DNA serta dapat merusak membran sel. Oleh
karena itu, radikal bebas dapat menimbulkan berbagai penyakit, antara lain
kanker dan penuaan (aging) (Badarinath dkk., 2010).
Radikal bebas di dalam tubuh dapat terbentuk dari sumber endogen
maupun eksogen. Secara alami, radikal bebas oksigen banyak ditemukan di
dalam tubuh sebagai hasil samping dari rantai pernapasan mitokondria
(Dalimartha & Soedibyo, 1999). Selain itu, radikal bebas juga dapat timbul
akibat paparan sinar UV, radiasi rendah, sinar elektromagnetik, asap rokok,
polusi udara, pestisida, herbisida, nitrogen dioksida, ozon, klorin, bahan kimia
pencemar lingkungan, obat-obatan, lemak teroksidasi serta makanan yang
banyak mengandung zat pewarna dan pengawet (Cooper & Keneth, 2001).
Salah satu organ tubuh yang rentan terhadap radikal bebas adalah
kulit. Radikal bebas utamanya ROS yang terbentuk akibat paparan sinar UV
menyebabkan kerusakan lapisan kulit. Selain itu, ROS menyebabkan
terjadinya lipid peroksidase dan mengurangi jumlah enzim antioksidan di
dalam tubuh diantaranya adalah enzim glutathion (GSH), superoxyde
dismutase(SOD), catalase (CAT), glutation peroxidase (GPx) (Pillai dkk.,
2005). Berkurangnya jumlah enzim-enzim antioksidan tersebut dapat
menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada kulit akibat radikal bebas yang
menekan ekspresi gen kolagen dan memicu kerusakan matriks kolagen secara
abnormal sehingga timbul kerutan pada kulit (Pillai dkk., 2005; Kim dkk.,
2009).
12
5. Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu
atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut
dapat diredam (Suhartono dkk., 2002).
Senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan memiliki kemampuan
menangkap radikal bebas dengan mekanisme tranfer atom hidrogen atau
tranfer satu elektron dan kemudian menstabilkannya (Huang dkk., 2005).
Menurut Huang dkk., (2005), di dalam sistem biologi sudah terdapat
antioksidan alami seperti fungsi pertahanan, diantaranya:
a. Enzim (glutathion, superoxyde dismustase, glutathion peroksidase,
dan catalase)
b. Molekul besar (albumin, seruplasmin, ferritin, dan protein lain)
c. Molekul kecil (asam askorbat, asam urat, tokoferol, karotenoid, dan
polifenol)
d. Beberapa hormon seperti estrogen, angiotensin, melatonim dan
sebagainya.
Tubuh manusia tidak mempunyai cadangan antioksidan dalam jumlah
berlebih, sehingga jika terjadi paparan radikal berlebih maka tubuh
membutuhkan antioksidan eksogen yang dapat berupa pemberian oral dan
topikal (Rohdiana, 2001). Pemberian antioksidan secara topikal dapat
melindungi kulit dari pengaruh buruk sinar UV (Herling & Zastrow, 2001).
13
6. Tabir surya
Tabir surya merupakan sediaan kosmetik yang digunakan pada
permukaan kulit untuk menahan pengaruh buruk sinar matahari. Sunscreen
merupakan bahan-bahan kosmetik yang secara fisik atau kimia dapat
menghambat penetrasi sinar UV ke dalam kulit. Fungsinya adalah melindungi
kulit dari radiasi sinar matahari dan meminimalisir efek berbahaya yang
ditimbulkan. Zat-zat yang dapat bersifat sebagai tabir surya adalah zat-zat
yang dapat menyerap sinar matahari dengan panjang gelombang 280-320 nm.
Tabir surya berguna dalam melindungi kulit dari sinar UV-A dan sinar
UV-B yang dapat membahayakan kulit. Ada dua jenis tabir surya, yaitu :
a. Tabir surya kimia
Tabir surya kimia bekerja dengan cara menyerap sinar matahari
dan melalui proses kimiawi merubahnya menjadi panas (Iskandar, 2008).
Tabir surya jenis ini mengandung senyawa kimia yang memiliki gugus
kromofor dengan suatu gugus karbonil (Wilkinson & Moore, 1982).
Contoh tabir surya kimia meliputi anti UV-A misalnya turunan
benzofenon antara lain oksibenson, dibensoilmetan serta anti UV-B yaitu
turunan salisilat, turunan Para Amino Benzoic Acid (PABA) misalnya oktil
dimetil PABA, turunan sinamat (sinoksat, etil heksil parametoksi sinamat)
dan sebagainya (Purwanti dkk., 2005; Shivani dkk., 2010).
b. Tabir surya fisika
Tabir surya fisika bekerja dengan cara memantulkan cahaya
matahari (Iskandar, 2008). Tabir surya fisika mengandung senyawa yang
14
tidak tembus cahaya dan memantulkan kebanyakan radiasi UV (Wilkinson
& Moore, 1982). Contoh tabir surya fisika antara lain: TiO2, ZnO, Kaolin,
CaCO3, dan MgO.
Mekanisme kerja tabir surya, antara lain (Black, 1990):
a. Senyawa yang dapat menyerap atau menghalangi cahaya UV.
Fotoprotektor ini biasanya ditemukan pada sediaan topikal.
b. Senyawa yang secara kompetitif bersaing dengan senyawa yang dapat
dirusak oleh sinar UV. Cahaya UV dapat memacu pembentukan sejumlah
senyawa reaktif atau radikal bebas pada kulit. Senyawa dengan
kemampuan antioksidan atau penangkap radikal bebas dapat berkompetisi
dengan molekul target dan mengurangi efek yang merugikan.
c. Senyawa yang dapat memperbaiki senyawa yang rusak karena cahaya
matahari, contohnya nukleotida dapat mencegah edema karena sinar UV
dan digunakan pada perawatan kulit karena fotosensitif. Namun hal ini
masih perlu penelitian lebih lanjut.
Efektivitas suatu tabir surya digambarkan dengan parameter Sun
Protection Factor (SPF) dan UV-A Protection Factor (UVA-PF). SPF
digunakan sebagai standar internasional dalam menggambarkan efektivitas
suatu sediaan tabir surya yang diaplikasikan pada kulit dengan dosis 2
mg/cm2. SPF menggambarkan kemampuan suatu sediaan untuk memberikan
perlindungan terhadap sinar UV-B. Nilai SPF diperoleh dari perbandingan
nilai Minimal Erythema Dose (MED) pada kulit yang terlindungi tabir surya
15
dengan nilai MED pada kulit yang tidak terlindungi tabir surya (Wilkinson &
Moore, 1982).
Harga SPF dapat ditentukan secara in vitro dan in vivo. Pengujian nilai
SPF secara in vitro dapat dilakukan dengan teknik spektroskopi UV yang
diukur pada rentang panjang gelombang UV (200-400 nm). Sedangkan
penetapan nilai SPF secara in vivo dilakukan dengan pengujian langsung pada
sel biologis. Salah satunya adalah dengan pengamatan eritema kulit hewan uji
akibat terkena paparan sinar UV dan dibandingkan dengan suatu kontrol.
Eritema merupakan salah satu tanda terjadinya proses inflamasi akibat
paparan sinar UV dan terjadi apabila volume darah dalam pembuluh darah
dermis meningkat hingga 38% di atas volume normal (Tahrir dkk., 2002)
Penilaian SPF mengacu pada ketentuan FDA (Food and Drug
Administration) yang mengelompokkan keefektifan sediaan tabir surya
berdasarkan SPF (Draelos & Thaman, 2006):
a. Tabir surya dengan nilai SPF 2-4, memberikan proteksi minimal.
b. Tabir surya dengan nilai SPF 4-6, memberikan proteksi sedang.
c. Tabir surya dengan nilai SPF 6-8, memberikan proteksi ekstra.
d. Tabir surya dengan nilai SPF 8-15, memberikan proteksi maksimal.
e. Tabir surya dengan nilai SPF > 15, memberikan proteksi ultra.
7. Gel
Gel merupakan sediaan setengah padat atau semisolid yang umumnya
transparan, jernih, dan mengandung zat aktif, yang diaplikasikan pada kulit
atau membran mukosa. Gel adalah sistem semipadat terdiri dari suspensi yang
16
dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar,
terpenetrasi oleh suatu cairan (Priyambodo, 2006). Sifat yang diharapkan
dalam sediaan gel topikal adalah memiliki aliran tiksotropik, tidak lengket,
tidak berlendir, daya sebar baik, tidak berminyak, mudah dicuci, sebagai
emolien, ringan (khususnya untuk jaringan yang mengelupas), tidak terdapat
noda, dapat bercampur dengan bahan tambahan lain, larut air atau dapat
bercampur dengan air (Allen, 2002).
Berdasarkan komposisinya, dasar gel dapat dibedakan menjadi dasar
gel hidrofobik dan dasar gel hidrofilik (Ansel dkk., 2005).
a. Dasar gel hidrofobik
Dasar gel hidrofobik terdiri dari partikel-partikel anorganik.
Apabila ditambahakan ke dalam fase pendispersi, hanya ada sedikit sekali
interaksi antara kedua fase tersebut dan tidak secara spontan menyebar
pada fase pendispersi (Ansel dkk., 2005). Dasar gel hidrofobik antara lain
petrolatum, mineral oil/gel polietilen, plastibase, alumunium stearat,
carbowax (Allen, 2002).
b. Dasar gel hidrofilik
Dasar gel hidrofilik umunya adalah molekul-molekul organik yang
besar dan dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul dari fase
pendispersi. Sifat sistem koloid hidrofilik biasanya lebih mudah untuk
dibuat dan memiliki stabilitas yang lebih besar (Ansel dkk., 2005). Dasar
gel hidrofilik antara lain bentonit, veegum, silika, pektin, tragakan, metil
selulosa, karbomer (Allen, 2002).
17
Sifat fisik dan kimia gel akan dipengaruhi oleh penambahan reaktan,
pH, suhu, dan kondisi usia pengendapan gel.
Gel harus memenuhi persyaratan kontrol kualitas yang telah
ditetapkan, antara lain :
a. Organoleptis
Organoleptis biasa dilakukan dengan mendeskripsikan warna,
kejernihan, transparansi, kekeruhan, dan bentuk sediaan (Paye dkk., 2001).
Uji organoleptis dilakukan untuk melihat tampilan fisik sediaan dengan
cara melakukan pengamatan terhadap bentuk, warna, dan bau dari sediaan
yang telah dibuat.
b. Homogenitas
Homogenitas gel dapat diuji dengan mengoleskan gel pada sebuah
kaca objek. Gel yang homogenitasnya baik tidak mengandung butiran-
butiran kasar saat dioleskan di kaca objek. Uji homogenitas juga dapat
dilakukan secara visual (Paye dkk., 2001), dengan cara melihat bentuk
atau penampakan dan adanya daya agregat setelah gel berada dalam
wadah. Syarat homogenitas adalah tidak boleh mengandung bahan kasar
yang dapat teraba (Syamsuni, 2005).
c. pH
Nilai pH menunjukkan derajat keasaman suatu bahan. Nilai pH
idealnya sama dengan pH kulit atau tempat pemakaian. Hal ini bertujuan
untuk menghindari iritasi. pH normal kulit manusia berkisar antara 4,5-6,5
(Draelos & Thaman, 2006).
18
Pengukuran pH dapat dilakukan menggunakan pH universal yang
dicelup dengan sedikit gel selama tiga detik, kemudian dikibas-kibas dan
ditunggu tiga detik. Hasil pengukuran dibandingkan dengan kisaran pH
sesuai perubahan warna yang terjadi pada kertas pH.
d. Viskositas
Viskositas adalah besaran yang menyatakan suatu tahanan cairan
untuk mengalir, semakin tinggi viskositas maka semakin besar kekuatan
yang supaya cairan tersebut mengalir dengan laju tertentu (Martin dkk.,
1993).
Viskositas dipengaruhi oleh suhu, umumnya viskositas akan
semakin berkurang dengan meningkatnya suhu (Sinko, 2011). Viskositas
menentukan sifat sediaan dalam hal campuran dan sifat alirnya, pada saat
diproduksi, dimasukkan ke dalam kemasan, serta sifat-sifat penting pada
saat pemakaian, seperti konsistensi, daya sebar, daya lekat dan
kelembaban. Selain itu, viskositas juga akan mempengaruhi stabilitas fisik
dan ketersediaan hayatinya (Paye dkk., 2001).
e. Daya sebar
Daya sebar merupakan kemampuan suatu sediaan untuk disebarkan
pada kulit dan kemudahan dari sediaan tersebut untuk dapat dioleskan
pada kulit tanpa membutuhkan penekanan yang kuat, hal ini berkaitan
dengan kenyamanan pada saat pemakaian. Penentuan daya sebar dilakukan
dengan ekstensometer. Sejumlah tertentu gel diletakkan di pusat antara dua
lempeng glass, kemudian diberi beban selama interval waktu tertentu.
19
Selanjutnya luas area penyebaran yang terjadi akibat peningkatan beban
diukur, nilai luas area ini menggambarkan karakteristik daya sebar gel
tersebut (Voigt, 1984). Daya sebar sediaan semipadat berkisar pada
diameter 3-5 cm.
f. Daya lekat
Daya lekat gel berhubungan dengan lamanya kontak antara gel
dengan kulit dan kenyamanan penggunaan gel. Gel yang baik mampu
memberikan waktu kontak yang efektif dengan kulit sehingga efek yang
diharapkan dapat tercapai (Betageri & Prabhu, 2002).
8. Monografi bahan gel
a. CMC-Na
Gambar 2. Struktur CMC-Na (Rowe dkk., 2006)
Karboksimetilselulosa sodium adalah garam natrium dari
polikarboksil eter selulosa, mengandung tidak kurang dari 6,5% dan tidak
lebih dari 9,5% natrium (Na) dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
CMC-Na berupa serbuk atau granul, berwarna putih sampai krem, dan
bersifat higroskopik. CMC-Na mudah terdispersi dalam air membentuk
larutan koloidal, tidak larut dalam aseton, etanol (95%), eter dan toulen.
CMC-Na mampu menyerap air dalam jumlah tinggi (>50%) pada
20
lingkungan yang kelembabannya tinggi. Larutan CMC-Na dalam air stabil
pada pH 2-10. Pada pH<2 larutan CMC-Na akan mengalami presipitasi,
sedangkan pada pH>10 akan terjadi penurunan viskositas secara
signifikan. Umumnya, CMC-Na akan memiliki stabilitas dan viskositas
yang optimum pada pH 7-9 (Rowe, 2006).
CMC-Na biasa digunakan untuk meningkatkan viskositas, sebagai
pengikat, disintegran dan penstabil emulsi. Selain itu, CMC-Na juga
digunakan dalam perekat, plester, dan patch kulit sebagai mukoadhesif dan
untuk menyerap cairan luka atau air dan keringat pada permukaan kulit
(Hooton, 2009).
b. Karbopol
Gambar 3. Struktur karbopol 940 (Rowe dkk., 2006)
Karbopol (carboxy polymethilene) memiliki rumus molekul C10-C30
alkyl acrylate cross polymer. Karbopol juga dikenal dengan nama
karbomer, akritamer, polimer asam akrilat, dan lain-lain. Karbopol
berbentuk serbuk hablur putih, sedikit berbau khas, dan higroskopis
sehingga perlu disimpan dalam wadah tertutup baik. Karbopol larut dalam
air hangat, etanol, dan gliserin (Rowe dkk., 2006).
Karbopol merupakan polimer dari asam akrilik yang berikatan
silang dengan eter dari pentaeritritol dengan berat molekul 104,400 gmol-1
.
21
Karbopol merupakan basis gel yang kuat, sehingga penggunaannya hanya
diperlukan dalam jumlah yang sedikit, yakni sekitar 0,5-2,0%.
Karbopol didispersikan ke dalam air membentuk larutan asam yang
keruh kemudian dinetralkan dengan basa kuat seperti NaOH,
trietanolamin, atau dengan basa anorganik lemah (contoh : NH4OH),
sehingga akan meningkatkan konsistensi dan mengurangi kekeruhan
(Rowe dkk., 2006). Karbopol dapat melekat dengan baik pada kulit karena
memiliki gugus karboksilat yang membentuk ikatan hidrogen dengan
jaringan biologis (Jones dkk., 2007).
c. Propilen glikol
Gambar 4. Struktur Propilen Glikol (Rowe dkk., 2006)
Propilen glikol atau 1,2-dihidroksipropana, 2-hidroksipropanol,
metil etilen glikol, metil glikol dan propan-1,2-diol memiliki rumus
molekul C3H8O2. Propilen glikol berupa larutan jernih atau sedikit
berwarna, kental, dengan rasa agak manis. Propilen glikol memiliki berat
molekul 76,09 g/mol, larut dalam kloroform, etanol, gliserin, dan air.
Propilen glikol sebaiknya disimpan dalam wadah tertutup baik dan suhu
rendah, karena sifatnya yang higroskopis dan tidak stabil pada suhu tinggi.
Pada suhu tinggi dan di tempat terbuka propilen glikol cenderung
mengoksidasi, menghasilkan produk seperti propionaldehida, asam laktat,
asam piruvat, dan asam asetat (Weller, 2009).
22
Propilen glikol stabil secara kimia bila dikombinasikan dengan
etanol, gliserin, atau air, namun terjadi inkompatibilitas dengan bahan
yang mengoksidasi, seperti kalium permanganat. Propilen glikol berfungsi
sebagai pengawet, antibakteri, disinfektan, humektan, plasticizer, pelarut,
stabilizer untuk vitamin dan water-miscible cosolvent (Weller, 2009).
d. Metil paraben
Gambar 5. Struktur Metil Paraben (Rowe dkk., 2006)
Metil paraben atau metal ester asam 4-hidroksibenzoat, metal p-
hidroksibenzoat, Nipagin M, dan Uniphen P-23 mengandung tidak kurang
dari 99,0% dan tidak lebih dari 100,5% C8H8O3 (BM : 152,15 g/mol),
dihitung terhadap zat yang dikeringkan. Metil paraben berbentuk hablur
atau serbuk tidak berwarna, atau kristal putih, tidak berbau atau berbau
khas lemah yang mudah larut dalam etanol dan eter, praktis tidak larut
dalam minyak, dan larut dalam 400 bagian air (Rowe dkk., 2006).
Metil paraben banyak digunakan sebagai bahan pengawet dan
antimikroba dalam kosmetik, produk makanan, dan sediaan farmasi.
Golongan paraben mempunyai aktivitas antimikroba berspektrum luas dan
efektif pada rentang pH yang luas, serta paling efektif melawan kapang
23
dan jamur. Pada sediaan topikal umumnya metil paraben digunakan
dengan konsentrasi antara 0,002-0,3 % (Haley, 2009).
e. NaOH
Natrium hidroksida mengandung tidak kurang dari 95,0% dan tidak
lebih dari 100,5% alkali total, dihitung sebagi NaOH, mengandung
Na2CO3 tidak lebih dari 3,0%. Natrium hidroksida berwarna putih atau
praktis putih, keras, rapuh, dan menunjukkan pecahan hablur. Jika terpapar
di udara, akan cepat menyerap karbon dioksida dan lembab. Massa
melebur, berbentuk pelet kecil, serpihan atau batang atau bentuk lain.
Kelarutan natrium hidroksida adalah mudah larut dalam air dan dalam
etanol (Anonim, 2014).
9. Spektrofotometer ultraviolet-visible
Spektrofotometri UV-Visible adalah suatu teknik analisis dengan
pengukuran panjang gelombang maupun intensitas sinar ultraviolet dan sinar
tampak yang dapat diabsorbsi oleh sampel untuk melakukan transisi
elektronik. Energi cahaya yang diabsorbsi oleh suatu atom atau molekul akan
menyebabkan tereksitasinya elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang
lebih tinggi sesuai dengan panjang gelombang cahaya yang diserap. Gugus
atau atom yang bertanggung jawab untuk menyerap sinar ultraviolet dan sinar
tampak disebut kromofor (Gandjar & Rohman, 2007).
Konsentrasi analit di dalam larutan sampel dapat ditentukan dengan
mengukur absorbansi pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan
hukum Lambert-Beer. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-
24
400 nm sedangkan sinar tampak berada pada panjang gelombang 400-800
nm. Jika absorbansi suatu seri konsentrasi larutan diukur pada panjang
gelombang, suhu, kondisi pelarut yang sama, dan absorbansi masing – masing
larutan diplotkan terhadap konsentrasinya maka suatu garis lurus akan
teramati sesuai dengan persamaan :
A = εbc
Keterangan : A = absorbansi larutan
ε = absorptivitas molar
b = tebal kuvet
C = konsentrasi larutan
10. Iritasi akut dermal
Iritasi adalah gejala inflamasi yang terjadi pada kulit atau membran
mukosa segera setelah perlakuan berkepanjangan atau berulang akibat kontak
dengan bahan kimia tertentu, misalnya alkali kuat, asam kuat, pelarut, dan
deterjen (Tranggono & Latifah, 2007). Iritasi akut merupakan iritasi yang
terjadi di tempat kontak yang umumnya terjadi pada sentuhan pertama.
Dalam kasus iritasi akut ini, gejala iritasi kulit akan pulih kembali apabila
kontak dengan zat iritan tersebut dihentikan. Beberapa faktor yang
mempengaruhi tingkat keparahan iritasi kulit diantaranya adalah konsentrasi
iritan, kondisi permukaan kulit, dan lamanya bahan bersentuhan dengan kulit
(Nasution, 2012).
Gejala umum yang timbul saat terjadi iritasi diantaranya adalah rasa
panas dan kemerahan (eritema) akibat peristiwa dilatasi pembuluh darah pada
daerah yang kontak dengan iritan. Selain itu, gejala lain yang dapat timbul
25
saat iritasi adalah edema yang terjadi karena perbesaran plasma yang
membeku pada daerah yang terluka, dan dipercepat dengan adanya jaringan
fibrosa yang menutupi daerah tersebut (WHO, 2005).
Parameter dalam pengamatan iritasi kulit dapat dibedakan menjadi
parameter kualitatif dan kuantitatif. Parameter kualitatif berupa gejala klinis
yaitu eritema dan edema yang terjadi, sedangkan parameter kuantitatif adalah
Indeks Iritasi Primer (IIP).
Uji iritasi akut dermal adalah suatu uji pada hewan (kelinci albino)
untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemaparan sediaan uji
pada dermal selama 3 menit sampai 4 jam. Tujuan uji iritasi akut dermal
adalah untuk menentukan ada/tidaknya reaksi iritasi pada kulit serta untuk
menilai dan mengevaluasi karakteristik suatu zat apabila terpapar pada kulit
(BPOM RI, 2014). Prinsip uji iritasi akut dermal adalah pemaparan sediaan
uji dalam dosis tunggal pada kulit hewan uji dengan area kulit yang tidak
diberi perlakuan berfungsi sebagai kontrol.
Hewan uji yang digunakan adalah kelinci albino jantan atau betina
yang sehat dan dewasa, berat sekitar 2 kg dan memiliki kulit yang sehat.
Sekurang-kurangnya 24 jam sebelum pengujian, bulu hewan harus dicukur
pada daerah punggung seluas lebih kurang 10 x 15 cm atau tidak kurang 10%
dari permukaan tubuh untuk tempat pemaparan sediaan uji. Dosis yang
digunakan untuk bahan uji berupa cairan adalah sebanyak 0,5 mL, sedangkan
untuk bahan berupa padatan adalah sebanyak 0,5 gram yang dilarutkan dalam
suatu pelarut misalnya minyak nabati atu air. Sediaan uji kemudian dioleskan
26
pada area 2x3 cm2 kulit hewan uji yang telah dicukur, lalu ditutup kasa dan
direkatkan dengan plester yang bersifat non-iritan. Setelah sediaan uji
dibiarkan selama 4 jam, residu sediaan uji segera dihilangkan menggunakan
air atau pelarut lain (BPOM RI, 2014).
Reaksi kulit terhadap senyawa uji kemudian diamati secara subjektif
pada 1 jam, 24 jam, 48 jam, dan 72 jam setelah senyawa uji dipaparkan pada
kulit hewan uji. Reaksi iritasi yang diamati adalah adanya eritema dan edema
pada jaringan. Skoring dilakukan dengan sistem numerik dan kesimpulan
akhir Indeks Iritasi Primer (IIP) dievaluasi sesuai prosedur OECD Guideline
for The testing of Chemicals, Acute Dermal Irritational/Corrossion (OECD,
2002). Selain itu, hewan yang menunjukkan tanda-tanda kesakitan atau
penderitaan yang parah harus dikorbankan sesuai dengan prosedur
pemusnahan hewan dan semua pengaruh zat toksik terhadap kulit, seperti
defatting of skin dan pengaruh toksisitas lainnya serta berat badan harus
dijelaskan dan dicatat. (BPOM RI, 2014).
27
F. Landasan Teori
Senyawa THPGV-0 dapat disintesis dengan cara hidrogenasi senyawa
PGV-0 menggunakan katalis Pd/C 10%. Hidrogenasi pada PGV-0 (karbonil α,β
tak jenuh) akan menghasilkan senyawa THPGV-0 (karbonil α,β jenuh). Perubahan
struktur PGV-0 menjadi THPGV-0 dapat diamati secara langsung berdasarkan
perubahan warna kuning oranye menjadi tidak berwarna. Selain dihasilkan
THPGV-0, dalam hidrogenasi PGV-0 dihasilkan senyawa lain yang merupakan
hasil sampingan hidrogenasi PGV-0, sehingga perlu dilakukan isolasi THPGV-0
agar dapat dipisahkan dari produk samping lainnya dan dilakukan rekristalisasi
untuk mendapatkan produk yang murni (Simbara, 2009).
THPGV-0 merupakan senyawa metabolit aktif dari PGV-0 yang
mempunyai aktivitas antioksidan lebih baik daripada PGV-0 dan vitamin E karena
memiliki daya tangkap terhadap radikal DPPH dan nilai Ferric Reducing
Antioxidant Power (FRAP) lebih besar daripada PGV-0 dan vitamin E (Simbara,
2009). Untuk memudahkan penggunaannya, THPGV-0 selanjutnya
diformulasikan dalam sediaan topikal yaitu gel, karena bentuk sediaan gel lebih
mudah digunakan dan mempunyai daya sebar yang baik, serta memiliki warna
bening sehingga akan meningkatkan kenyamanan dalam penggunaannya. Secara
ideal, basis dan pembawa gel harus mudah diaplikasikan pada kulit, tidak
mengiritasi, dan nyaman digunakan. Sifat fisik sediaan gel dipengaruhi oleh basis
gelnya. Karbopol akan menghasilkan gel yang jernih dengan viskositas yang
tinggi (Allen, 2002), sementara CMC-Na akan menghasilkan gel yang lembut,
elastis, dan memberikan viskositas yang stabil, namun menghasilkan gel yang
28
tidak jernih dan daya sebar yang kurang baik (Zatz & Kushla, 1996; Rowe dkk.,
2006; Erawati dkk., 2005). Penggunaan basis kombinasi karbopol dan CMC-Na
diharapkan dapat menghasilkan gel dengan sifat fisik optimum karena dapat
menggabungkan kelebihan dari masing-masing basis gel dan dapat saling
menutupi kekurangannya. Penelitian Faharvian (2016) menghasilkan formula gel
menggunakan kombinasi basis karbopol dan CMC-Na yang mempunyai sifat dan
stabilitas fisik gel yang baik.
THPGV-0 merupakan senyawa antioksidan yang dapat berperan sebagai
tabir surya karena kemampuan antioksidan atau penangkap radikal bebas yang
dapat berkompetisi dengan molekul target yang akan dirusak oleh sinar UV dan
mengurangi efek yang merugikan akibat paparan sinar UV (Black, 1990). Selain
itu, adanya gugus fenolik pada THPGV-0 dapat menyerap energi sinar UV
sehingga dapat meningkatkan efektivitasnya sebagai tabir surya untuk mencegah
efek yang merugikan akibat radiasi UV pada kulit (Svobodova dkk., 2003). Oleh
karena itu, diperkirakan sediaan gel antioksidan yang mengandung senyawa
THPGV-0 dapat digunakan sebagai antioksidan dan tabir surya yang poten.
Sediaan gel mempunyai kandungan air yang tinggi yang akan
meningkatkan hidrasi pada lapisan stratum corneum. Hidrasi dari lapisan stratum
corneum akan meningkatkan elastisitas dan permeabilitasnya sehingga akan
mempermudah penetrasi obat. Selain itu, kandungan air yang tinggi pada sediaan
transdermal dengan pembawa gel dapat mengurangi iritasi pada kulit (Swarbrick
& Boylan, 1995). Selain itu, THPGV-0 merupakan senyawa turunan kurkumin
yang tidak bersifat mengiritasi pada kulit karena beberapa penelitian menunjukkan
29
sediaan topikal dengan kandungan kurkumin terbukti tidak menimbulkan reaksi
iritasi pada kulit (Pradipta, 2014).
G. Hipotesis
1. Formulasi gel THPGV-0 dengan kombinasi basis karbopol dan CMC-Na
akan menghasilkan gel dengan sifat fisik yang baik.
2. Gel THPGV-0 diduga tidak menimbulkan reaksi iritasi akut dermal pada
kelinci.
3. Gel THPGV-0 diduga mempunyai nilai SPF tinggi yang diuji secara in vitro.