bab i pendahuluan a. latar belakangeprints.umm.ac.id/46506/2/bab i.pdf · 2019. 6. 19. ·...

18
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi atau yang disebut dengan KPK merupakan amanat dari pasal 43 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Melalui Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi inipun sah didirikan dan memiliki legitimasi untuk menjalankan tugasnya. KPK dibentuk sebagai respon atas tidak efektifnya kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi yang semakin marak dikalangan Pemerintahan, adanya KPK diharapkan dapat mendorong penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik (good govenance). Namun demikian, dalam perjalanannya, keberadaan dan kedudukan KPK dalam strutur negara Indonesia mulai dipertanyakan oleh berbagai pihak. Tugas, wewenang dan kewajiban yang dilegitimasi oleh Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang membuat Komisi ini terkesan menyerupai sebuah super body. Sebagai organ kenegaraan yang namanya tidak tercantum dalam Undang- Undang Dasar 1945, KPK dianggap oleh sebagian pihak sebagai lembaga ekstrakonstitusional. 1 1 Para pemohon pengujian Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang- Undang Dasar 1945 yang terdiri dari Mulyana Wirakusumah, Nazaruddin Sjamsuddin, dkk., dan Capt. Tarcisius Walla, menilai KPK sebagai lembaga ekstrakonstitusional. Lihat Putusan MK RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, Hal. 33

Upload: others

Post on 04-Dec-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46506/2/BAB I.pdf · 2019. 6. 19. · pertanyaan mengapa vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor jauh lebih rendah dari pada tuntutan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi atau yang disebut dengan

KPK merupakan amanat dari pasal 43 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Melalui Undang- Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

Komisi inipun sah didirikan dan memiliki legitimasi untuk menjalankan

tugasnya. KPK dibentuk sebagai respon atas tidak efektifnya kepolisian dan

kejaksaan dalam memberantas korupsi yang semakin marak dikalangan

Pemerintahan, adanya KPK diharapkan dapat mendorong penyelenggaraan tata

kelola pemerintahan yang baik (good govenance).

Namun demikian, dalam perjalanannya, keberadaan dan kedudukan KPK

dalam strutur negara Indonesia mulai dipertanyakan oleh berbagai pihak. Tugas,

wewenang dan kewajiban yang dilegitimasi oleh Undang- Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang

membuat Komisi ini terkesan menyerupai sebuah super body. Sebagai organ

kenegaraan yang namanya tidak tercantum dalam Undang- Undang Dasar 1945,

KPK dianggap oleh sebagian pihak sebagai lembaga ekstrakonstitusional.1

1Para pemohon pengujian Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang- Undang Dasar 1945 yang terdiri dari Mulyana Wirakusumah,

Nazaruddin Sjamsuddin, dkk., dan Capt. Tarcisius Walla, menilai KPK sebagai lembaga

ekstrakonstitusional. Lihat Putusan MK RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, Hal. 33

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46506/2/BAB I.pdf · 2019. 6. 19. · pertanyaan mengapa vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor jauh lebih rendah dari pada tuntutan

2

Sampai pada tanggal 8 Februari 2018 Mahkamah Konstitusi menolak

permohonan forum kajian hukum dan konstitusi dan pada putusan inilah

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa KPK merupakan bagian dari eksekutif

sehingga merupakan objek dari hak angket DPR pasca putusan MK yang inilah

membuat independensi KPK menurun.

Dalam hal tugas dan wewenang penyidikan dan penuntutan, KPK

memiliki pegawai penyidik dan penuntut yang diangkat oleh KPK dan

diberhentikan juga oleh KPK. Pada pasal 51 ayat (3) menyebutkan: “ penuntut

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jaksa penuntut umum. Jaksa

penuntut umum KPK yang dapat disebut dengan JPU KPK wajib melimpahkan

berkas perkara yang telah diberikan oleh penyidik kepada Pengadilan Negeri,

berkas tersebut wajib dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14

hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas tersebut oleh Jaksa

Penuntut Umum.

Jaksa penuntut umum diartikan sama dengan Penuntut Umum dan

digunakan sebagai penegas bahwa yang dimaksudkan adalah jaksa yang

melakukan penuntutan. Penyebutan jaksa penuntut umum dalam praktik

umumnya di masyarakat ini ditujukan untuk membedakan tugas dan fungsi dari

jaksa selain melakukan penuntutan di Pengadilan yaitu penyidik (jaksa

penyidik). Adapun tugas dan kewenangan yang dimiliki kejaksaan sebagaimana

diatur oleh Undang- undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan dijelaskan

bahwa tugas secara luas tidak terbatas pada kewenangan dalam hal proses

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46506/2/BAB I.pdf · 2019. 6. 19. · pertanyaan mengapa vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor jauh lebih rendah dari pada tuntutan

3

hukum acara pidana. Misalnya dibidang perdata dan tata usaha negara kejaksaan

mempunyai kewenangan untuk dan atas nama negara atau pemerintah sebagai

penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan

pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah tetapi juga

membela dan melindungi kepentingan rakyat.2

Selain dalam tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam pasal 30

undang- undang kejaksaan pada bagian pidana tugas dan wewenang kejaksaan

termasuk diantaranya adalah melakukan penyidikan terhadap tindak pidana

tertentu berdasarkan undang- undang. Kewenangan kejaksaan untuk melakukan

penyidikan tindak pidana tertent dimaksudkan untuk menampung beberapa

ketentuan undang- undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan

untuk melakukan penyidikan, salah satunya Undang- Undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Dalam hal inilah istilah jaksa penuntut umum dipahami sebagai pembela

terhadap tugas dan kewenangan jaksa yang lain.3

Kedudukan Jaksa Penuntut Umum dalam peradilan Tindak Pidana

Korupsi itu sangatlah penting guna menuntut sanksi yang lebih berat pada para

koruptor meski masih disayangkan hingga kini dakwaan Jaksa Penuntut Umum

2 Tolib Effendi. 2014. “Dasar- dasar Hukum Acara Pidana: perkembangan dan pembaharuannya di

Indonesia”. Malang. Penerbit: Setara Press. Hal:49 3 Muhammad Taufik Mukarao dan Suhasril. 2004. “Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek”.

Jakarta. Penerbit: Ghalia Indonesia. Hal: 20

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46506/2/BAB I.pdf · 2019. 6. 19. · pertanyaan mengapa vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor jauh lebih rendah dari pada tuntutan

4

KPK yang terlalu lemah ketika berhadapan langsung dengan para koruptor yang

kebanyakan kasus korupsi melibatkan anggota legislatif di daerah maupun pusat.

Kewenangan KPK dalam melaksanakan tugasnya telah tertera dalam Bab II

tentang tugas, wewenang dan kewajiban dimulai dari pasal 6 sampai dengan

pasal 15 Undang- Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

Dalam pasal 5 Undang- Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan: “ Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi merupakan satu- satunya pengadilan yang berwenang memeriksa,

mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi”, hal ini juga tertera

dalam tambahan lembaran penjelasan yang dimaksud dengan “satu- satunya

pengadilan” adalah pengadilan yang memeriksa, mengadili dan memutus

perkara yang penuntutannya diajukan oleh penuntut umum.

Kewenangan penuntutan yang diberikan oleh Undang- Undang kepada

KPK merupakan kewenangan yang sah. Undang- Undang tentang Kejaksaan RI

merupakan Undang- Undang yang mengatur secara umum keberadaan dan

kewenangan jaksa dan Undang- Undang tersebut dapat dikesampingkan dengan

Undang- Undang KPK yang merupakan aturan khusus.4

Kewenangan penututan pada KPK adalah konstitusional, hal ini

dipertegas dengan sejumlah putusan dari Mahkamah Konstitusi terdahulu.

Kewenangan penuntutan tidak dapat di monopoli oleh kejaksaan dengan melihat

4 Rangga Trianggara Paonganan. “Kewenangan Penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi Dan

Kejaksaan Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia”. Lex Crimen. Vol. II/ NO.1/

Januari- Maret/ 2013

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46506/2/BAB I.pdf · 2019. 6. 19. · pertanyaan mengapa vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor jauh lebih rendah dari pada tuntutan

5

bahwa kejaksaan masih berada dalam lingkup eksekutif/ pemerintah sehingga

independensinya masih dipertanyakan serta diperkuat juga oleh putusan

Mahkamah Konstitusi dengan adanya putusan MK RI Nomor 36/ PUU-XV/

2017 yang menyatakan bahwa KPK bagian dari eksekutif. Dengan adanya hal

seperti inilah berdampak pada pengurangan independensi KPK.

Namun meski adanya jaksa penuntut umum KPK ini masih disayangkan

karena Lemahnya sanksi yang dijatuhkan kepada koruptor (dakwaan Jaksa

Penuntut Umum KPK terlalu lemah) sering mendapat sorotan berbagai kalangan

karena dianggap mengabaikan rasa keadilan masyarakat, dan menimbulkan

pertanyaan mengapa vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor jauh lebih rendah

dari pada tuntutan JPU.5

Pertanyaan yang paling mendasar yang banyak dipertanyakan oleh

masyarakat adalah Apakah penyebab vonis ringan koruptor karena ketiadaan

basis keyakinan publik terhadap pemerintah (political will), minimnya perangkat

hukum atau tidak adanya nurani penegak hukum. Vonis rigan terhadap koruptor

mengabaikan rasa keadilan masyarakat, bukan hanya karena korupsi merugikan

keuangan negara tetapi juga melanggar hak- hak sosial dan ekonomi masyarakat

secara luas.

Political will penyelenggara negara atau yang disebut dengan basis

keyakinan publik terhadap pemerintah dalam memberantas korupsi sebenarnya

sudah ada dilihat dengan banyaknya regulasi yang sudah dibuat. Namun

5 Putri Hikmawati.” Vonis Ringan Terhadap Koruptor”. Info singkat hukum. Vol. V. NO.0I/P3DI/

Januari/ 2013

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46506/2/BAB I.pdf · 2019. 6. 19. · pertanyaan mengapa vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor jauh lebih rendah dari pada tuntutan

6

kerancuan ketentuan norma- norma tindak pidana korupsi dalam Undang-

Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001

dengan variasi hukuman menimbulkan perbedaan persepsi penegak hukum

dalam penerapannya, sehingga memungkinkan untuk memberikan vonis ringan.

Ini tidaklah akan menjadi masalah jika penegak hukum, khususnya hakim

menggunakan nurani dalam menjatuhkan sanksi secara proporsional dengan

memperhatikan keadilan bagi masyarakat.

Kedudukan penyidik KPK sangatlah penting dalam KPK untuk

melakukan penyitaan harta benda tersangka tindak pidana korupsi. Pasal 45

Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi telah menyebutkan: “Penyidik adalah penyidik pada Komisi

Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi”. Penyidik yang diangkat oleh KPK melaksanakan

fungsi penyidikan tindak pidana korupsi.

Berkaitan dengan tugas penyidikannya Penyidik KPK dapat melakukan

penyitaan tanpa izin ketua pengadilan negeri dan penyidik wajib membuat berita

acara penyitaan pada hari penyitaan.Untuk kepentingan penyidikan, tersangka

tindak pidana korupsi wajib memberikan keterangan kepada penyidik tentang

seluruh harta bendanya guna membantu penyidik. Setelah penyidikan

dinyatakan cukup penyidik mebuat berita acara dan disampaikan kepada

pimpinan KPK untuk segera ditindaklanjuti. Penyidikan yang dilakukan oleh

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46506/2/BAB I.pdf · 2019. 6. 19. · pertanyaan mengapa vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor jauh lebih rendah dari pada tuntutan

7

kepolisian atau kejaksaan wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus

dengan KPK, dalam hal KPK sudah mulai penyidikan kepolisian atau kejaksaan

tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.

Komisi lembaga independen adalah apabila paling tidak dasar hukum

pembentukannya menyatakan secara tegas kemandirian atau independensi dari

komisi lembaga independen terkait dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Independen dalam artian bebas dari pengaruh, kehendak ataupun kontrol dari

cabang kekuasaan eksekutif dan pemberhentian dan pengangkatan anggota

komisi menggunakan mekanisme tertentu yang diatur khusus, bukan semata-

mata dikarenakan berdasarkan kehendak presiden. Sehingga sepanjang kategori

utama yang dimaksud terpenuhi suatu lembaga negara merupakan komisi

lembaga independen.6

Keberadaan dan kedudukan KPK dalam strutur negara Indonesia masih

banyak dipertanyakan meskipun Mahkamah Konstitusi telah memutuskan empat

putusan dengan Perkara Nomor 012- 016-019/PUU-IV/ 2006 tanggal 19

Desember 2006, 19/ PUU-V/ 2007 tanggal 13 November 2007, 37- 39/ PUU-

VIII/ 2010 tanggal 15 Oktober 2010 dan nomor 5/ PUU-IX/ 2011 tanggal 20

Juni 2011 yang mana pada intinya keempat putusan tersebut menegaskan bahwa

Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan Lembaga Independen yang bukan

berada didalam ranah eksekutif, legislatif ataupun yudikatif. Tak hanya itu

independensi posisi KPK dalam sistem ketatanegaraan indonesia juga dapat

6 Gunawan A. Tauda. 2011. “Kedudukan Komisi Negara Independen Dalam Struktur KetataNegaraan

Republik Indonesia”. Yogyakarta. Jurnal Komisi Negara Independen. alumni magister ilmu hukum

fakultas hukum. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Hal:175

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46506/2/BAB I.pdf · 2019. 6. 19. · pertanyaan mengapa vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor jauh lebih rendah dari pada tuntutan

8

ditelisik dari belasan putusan MK yang lain. Misalnya MK pernah memutuskan

soal pembentukan Lembaga seperti KPK dapat dianggap penting secara

konstitusional (constitutional important) dan keberadaan komisi- komisi negara

semacam KPK telah merupakan suatu hal yang lazim.

Sifat kelembagaan KPK adalah seagai lembaga penegakkan hukum

dalam bidang tindak pidana korupsi. KPK adalah lembaga negara independen

yang diberi tugas dan wewenang khusus antara lain melaksanakan sebagian

fungsi yang terkait dengan kekuasaan kehakiman untuk melakukan

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta melakukan supervisi atas

penanganan perkara- perkara korupsi yang dilakukan oleh institusi negara yang

lain.7

Namun meski adanya putusan Mahkamah Konstitusi diatas tidak

menyurutkan Dewan Perwakilan Rakyat untuk tetap mempertanyakan

kedudukan KPK tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan diterbitkannya pasal

79 (3) Undang- Undang MD3 disebutkan tentang adanya hak angket terhadap

pelaksanaan suatu Undang- Undang dan/atau kebijakan pemerintah.

Dikarenakan hal itulah forum kajian hukum dan konstitusi mengajukan

permohonan dalam pengujian Undang- Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang

majelis tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap

Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan nomor

7 Hakim suhartoyo. “Putusan MK Inkonsisten dengan empat putusan sebelumnya yang akui independensi

KPK”. https: hukum. rmol.co.id. Acces 13 Oktober 2018

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46506/2/BAB I.pdf · 2019. 6. 19. · pertanyaan mengapa vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor jauh lebih rendah dari pada tuntutan

9

perkara 36/ PUU-XV/ 2017 tetapi sangat disayangkan sekali Mahkamah

Konstitusi menolak permohonan forum kajian hukum dan konstitusi dan pada

putusan inilah Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa KPK merupakan

bagian dari eksekutif sehingga merupakan obyek dari hak angket DPR. Pasca

putusan MK yang inilah membuat independensi KPK menurun.

Dalam hal putusan MK dengan nomor perkara 36/ PUU-XV/ 2017 ini

diketahui bahwa, dari sembilan hakim konstitusi hanya empat hakim yang

menerima gugatan sedangkan yang lainnya menolak gugatan tersebut. disini

terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) antara sembilan hakim

tersebut. maka dalam hal ini penulis berpendapat bahwa putusan MK yang baru

tidak dapat meniadakan putusan MK yang lama.

Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dalam rangka penulisan skripsi dengan judul

“REKONSTRUKSI KEDUDUKAN JAKSA PENUNTUT UMUM DAN

PENYIDIK KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM RANGKA

PENGEMBALIAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI SEBAGAI

LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN”.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam suatu penelitian diperlukan untuk

memberikan kemudahan bagi penulis dalam membatasi permasalahan yang akan

ditelitinya, sehingga dapat mencapai tujuan dan sasaran yang jelas serta

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46506/2/BAB I.pdf · 2019. 6. 19. · pertanyaan mengapa vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor jauh lebih rendah dari pada tuntutan

10

memperoleh jawaban sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan apa yang

dipaparkan diatas dalam latar belakang masalah, maka penulis dapat

merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1) Apa saja faktor- faktor yang melatarbelakangi perlunya penataan ulang

pelembagaan Jaksa Penuntut Umum KPK dan Penyidik KPK?

2) Bagaimana konstruksi kedepan pelembagaan Jaksa Penuntut Umum KPK dan

Penyidik KPK?

C. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian tentunya memiliki tujuan yang hendak dicapai oleh

penulis. Tujuan ini tidak lepas dari permasalahan yang telah dirumuskan

sebelumnya. Tujuan Penulisan sebagaimana dimaksudkan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1) Untuk mendeskripsikan sehingga dapat mengetahui dan mengkaji faktor-

faktor yang melatarbelakangi perlunya penataan ulang pelembagaan Jaksa

Penuntut Umum KPK dan Penyidik KPK

2) Untuk mengetahui dan mengkaji konstruksi kedepan pelembagaan Jaksa

Penuntut Umum KPK dan Penyidik KPK

D. Manfaat Penelitian

Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis

maupun pihak lain. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46506/2/BAB I.pdf · 2019. 6. 19. · pertanyaan mengapa vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor jauh lebih rendah dari pada tuntutan

11

a. Bagi Penulis

Penelitian ini untuk lebih mengembangkan penalaran membentuk pola

pikir penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh selama studi di Fakultas

Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Juga dapat melatih penulis

untuk mencari serta menggali data dari permasalahan hukum teliti.

Disamping itu, manfaat penelitian ini secara subyektif yaitu sebagai syarat

untuk menyelesaikan studi Strata-1 di Universitas Muhammadiyah Malang

dengan gelar Sarjana Hukum.

b. Bagi Pemerintah (Komisi Pemberantasan Korupsi)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan bahan

pertimbangan mengenai Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan

Korupsi (JPU KPK) dan Penyidik KPK agar dapat lebih meningkatkan

kinerjanya lagi.

c. Bagi Mahasiswa

Hasil dari penelitian ini untuk memberikan sumber tambahan

pengetahuan yang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi

masyarakat yang membutuhkan terutama hal- hal yang berkaitan dengan

Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) dan

Penyidik KPK

E. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki kegunaan untuk meningkatkan wawasan dan

menambah ilmu pengetahuan tentang ilmu hukum dalam konsentrasi hukum tata

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46506/2/BAB I.pdf · 2019. 6. 19. · pertanyaan mengapa vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor jauh lebih rendah dari pada tuntutan

12

negara dan diharapkan dapat menjadi referensi dalam penulisan hukum. Selain

itu penelitian ini dapat digunakan sebagai konstribusi Karya Ilmiah bagi

perkembangan ilmu pengetahuan dibidang hukum pada umumnya dan hukum

tata negara dibidang khususnya serta penelitian ini dapat memperkaya referensi

dan literatur dalam kepustakaan hukum sebagai bahan untuk mengadakan

penelitian bagi pihak- pihak yang berkepentingan

F. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan-

aturan hukum, prinsip- prinsip hukum dan doktrin- doktrin hukum guna

menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk

menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai persepsi dalam

menyelesaikan masalah yang dihadapi.8

Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara untuk memecahkan

masalah dengan jalan menemukan, mengumpulkan menyusun data guna

mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang hasilnya

dituangkan dalam penulisan ilmiah (skripsi). Adapun metode penelitian dalam

dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan penulisan

hukum ini adalah penelitian hukum normatif yaitu suatu prosedur ilmiah

8 Peter Mahmud Marzuki. 2009. “Penelitian hukum”. Jakarta. Penerbit: Kencana Media Group. Hal: 35

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46506/2/BAB I.pdf · 2019. 6. 19. · pertanyaan mengapa vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor jauh lebih rendah dari pada tuntutan

13

untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi

normatifnya.9

Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (Library

Based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan- bahan hukum

primer dan sekunder. Bahan- bahan tersebut kemudian disusun secara

sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya

dengan masalah yang diteliti.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan

untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan

atau gejala- gejala lainnya, maksudnya adalah unytuk mempertegas

hipotesis, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori- teori lama atau

di dalam kerangka menyusun teori- teori baru.

Penelitian deskriptif adalah penelitian yang memberikan gambaran

secara lengkap dan sistematif terhadap obyek yang diteliti.10

3. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yaitu, pendekatan

Undang- Undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach),

9 Dr. Johny Ibrahim. 2007. “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif”. Jawa Timur. Penerbit:

Bayumedia Publishing. Hal: 57 10

Soejono Soekanto. 2009. “Penelitian hukum normatif (suatu tinjauan singkat)”. Jakarta. Penerbit: PT.

Rajawali Grafindo Persada. Hal: 10

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46506/2/BAB I.pdf · 2019. 6. 19. · pertanyaan mengapa vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor jauh lebih rendah dari pada tuntutan

14

pendekatan historis (historical approach) dan pendekatan konseptual

(conseptual approach).11

Dari keempat pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan

penelitian hukum ini adalah pendekatan Undang- Undang (statute

approach), pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan konseptual

(conseptual approach). Pendekatan Undang- undang yang dimaksud lebih

mengarah pada Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang- Undang Nomor 16

tahun 2004 tentang Kejaksaan sedangkan pendekatan konseptual dipilih

untuk membantu peneliti memahami filosofi aturan hukum dari masing-

masing ahli serta memahami dasar suatu konsep yang melandasi suatu

aturan hukum, untuk selanjutnya penelitian ini untuk rekonstruksi

kedudukan jaksa penuntut umum dan penyidik komisi pemberantasan

korupsi dalam rangka pengembalian komisi pemberantasan korusi sebagai

lembaga negara independen.

4. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder:

a. Bahan Hukum Primer

11

Op.cit., Hal: 93

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46506/2/BAB I.pdf · 2019. 6. 19. · pertanyaan mengapa vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor jauh lebih rendah dari pada tuntutan

15

Bahan hukum primer merupakan sumber data yang bersifat

autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer

terdiri dari, perundang- undangan, catatan- catatan resmi atau risalah

dalam pembuatan peraturan perundang- undangan dan putusan hakim.12

bahan hukum primer yang digunakaan dalam penelitian ini

adalah:

1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945

2) Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah

diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001

3) Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

4) Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan

5) Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesi Nomor

36/PUU-XV/2017 Perihal Pengujian Pasal 79 ayat (3) UU

MD3

b. Bahan Hukum Sekunder

12

Ibid., Hal: 141

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46506/2/BAB I.pdf · 2019. 6. 19. · pertanyaan mengapa vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor jauh lebih rendah dari pada tuntutan

16

Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa semua publikasi

tentang hukum yang bukan merupakan dokumen- dokumen resmi.13

Penelitian ini menggunakan bahan hukum sekunder, meliputi

buku- buku teks, kamus- kamus hukum dan jurnal- jurnal hukum yang

mendukung penulisan hukum ini.

5. Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah studi kepustakaan dengan cara mengumpulkan bahan hukum

sekunder dari peraturan perundang- undangan, buku- buku, karangan ilmiah,

dokumen resmi serta pengumpulan data melalui media internet yang erat

kaitannya dengan masalah yang dibahas, dari data tersebut kemudian

dipelajari, diklasifikasikan dan selanjutnya dianalisis lebih lanjut sesuai

dengan tujuan dan permasalahan penelitian.

6. Analisis Bahan Hukum

Metode penalaran yang dipilih penulis dalam penelitian ini adalah

metode penalaran deduktif yaitu metode yang berpangkal dari pengajuan

premis mayor kemudian diajukan premis minor, kemudian dari kedua

premis tersebut ditarik suatu kesimpulan atau conclusion.14

Dalam penelitian ini, bahan hukum yang telah didapatkan penulis

kemudian diolah dan dianalisa untuk ditarik suatu kesimpulan terkait

13

Ibid., Hal: 141 14

Ibid., Hal: 47

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46506/2/BAB I.pdf · 2019. 6. 19. · pertanyaan mengapa vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor jauh lebih rendah dari pada tuntutan

17

dengan rekonstruksi kedudukan jaksa penuntut umum dan penyidik komisi

pemberantasan korupsi dalam rangka pengembalian komisi pemberantasan

korusi sebagai lembaga negara independen

G. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang sistematika

penulisan hukum yang sesuai denagn aturan baru dalam penulisan hukum, maka

penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika

penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yang tiap bab terbagi dalam sub-

sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap

keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai

berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis akan mengemukakan tentang latar

belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat

penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis akan menguraikan mengenai kajian pustaka

dan landasan teori para ahli maupun doktrin hukum berdasarkan

literatur yang berkenaan dengan permasalahan yang diteliti.

Landasan teori tersebut meliputi tinjauan tentang sistem

ketatanegaraan, tinjauan tentang korupsi, tinjauan tentang Komisi

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46506/2/BAB I.pdf · 2019. 6. 19. · pertanyaan mengapa vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor jauh lebih rendah dari pada tuntutan

18

Pemberantasan Korupsi, tinjauan tentang Jaksa Penuntut Umum

KPK. Selain itu, untuk memudahkan pemahaman alur berfikir,

maka didalam bab ini juga disertai dengan kerangka pemikiran

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan menguraiakan tentang hasil penelitian

dan pembahasan sebagai jawaban perumusan masalah. Terdapat

dua pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini, yaitu,

faktor- faktor yang melatarbelakangi perlunya penataan ulang

pelembagaan Jaksa Penuntut Umum KPK dan Penyidik KPK

serta konstruksi kedepan pelembagaan Jaksa Penuntut Umum

KPK dan Penyidik KPK

BAB IV PENUTUP

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai kesimpulan dan saran

dari penulis terkait dengan permasalan yang diteliti