bab i pendahuluan a. latar belakangeprints.umm.ac.id/46506/2/bab i.pdf · 2019. 6. 19. ·...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi atau yang disebut dengan
KPK merupakan amanat dari pasal 43 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Melalui Undang- Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Komisi inipun sah didirikan dan memiliki legitimasi untuk menjalankan
tugasnya. KPK dibentuk sebagai respon atas tidak efektifnya kepolisian dan
kejaksaan dalam memberantas korupsi yang semakin marak dikalangan
Pemerintahan, adanya KPK diharapkan dapat mendorong penyelenggaraan tata
kelola pemerintahan yang baik (good govenance).
Namun demikian, dalam perjalanannya, keberadaan dan kedudukan KPK
dalam strutur negara Indonesia mulai dipertanyakan oleh berbagai pihak. Tugas,
wewenang dan kewajiban yang dilegitimasi oleh Undang- Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang
membuat Komisi ini terkesan menyerupai sebuah super body. Sebagai organ
kenegaraan yang namanya tidak tercantum dalam Undang- Undang Dasar 1945,
KPK dianggap oleh sebagian pihak sebagai lembaga ekstrakonstitusional.1
1Para pemohon pengujian Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang- Undang Dasar 1945 yang terdiri dari Mulyana Wirakusumah,
Nazaruddin Sjamsuddin, dkk., dan Capt. Tarcisius Walla, menilai KPK sebagai lembaga
ekstrakonstitusional. Lihat Putusan MK RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, Hal. 33
2
Sampai pada tanggal 8 Februari 2018 Mahkamah Konstitusi menolak
permohonan forum kajian hukum dan konstitusi dan pada putusan inilah
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa KPK merupakan bagian dari eksekutif
sehingga merupakan objek dari hak angket DPR pasca putusan MK yang inilah
membuat independensi KPK menurun.
Dalam hal tugas dan wewenang penyidikan dan penuntutan, KPK
memiliki pegawai penyidik dan penuntut yang diangkat oleh KPK dan
diberhentikan juga oleh KPK. Pada pasal 51 ayat (3) menyebutkan: “ penuntut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jaksa penuntut umum. Jaksa
penuntut umum KPK yang dapat disebut dengan JPU KPK wajib melimpahkan
berkas perkara yang telah diberikan oleh penyidik kepada Pengadilan Negeri,
berkas tersebut wajib dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14
hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas tersebut oleh Jaksa
Penuntut Umum.
Jaksa penuntut umum diartikan sama dengan Penuntut Umum dan
digunakan sebagai penegas bahwa yang dimaksudkan adalah jaksa yang
melakukan penuntutan. Penyebutan jaksa penuntut umum dalam praktik
umumnya di masyarakat ini ditujukan untuk membedakan tugas dan fungsi dari
jaksa selain melakukan penuntutan di Pengadilan yaitu penyidik (jaksa
penyidik). Adapun tugas dan kewenangan yang dimiliki kejaksaan sebagaimana
diatur oleh Undang- undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan dijelaskan
bahwa tugas secara luas tidak terbatas pada kewenangan dalam hal proses
3
hukum acara pidana. Misalnya dibidang perdata dan tata usaha negara kejaksaan
mempunyai kewenangan untuk dan atas nama negara atau pemerintah sebagai
penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan
pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah tetapi juga
membela dan melindungi kepentingan rakyat.2
Selain dalam tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam pasal 30
undang- undang kejaksaan pada bagian pidana tugas dan wewenang kejaksaan
termasuk diantaranya adalah melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
tertentu berdasarkan undang- undang. Kewenangan kejaksaan untuk melakukan
penyidikan tindak pidana tertent dimaksudkan untuk menampung beberapa
ketentuan undang- undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan
untuk melakukan penyidikan, salah satunya Undang- Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Dalam hal inilah istilah jaksa penuntut umum dipahami sebagai pembela
terhadap tugas dan kewenangan jaksa yang lain.3
Kedudukan Jaksa Penuntut Umum dalam peradilan Tindak Pidana
Korupsi itu sangatlah penting guna menuntut sanksi yang lebih berat pada para
koruptor meski masih disayangkan hingga kini dakwaan Jaksa Penuntut Umum
2 Tolib Effendi. 2014. “Dasar- dasar Hukum Acara Pidana: perkembangan dan pembaharuannya di
Indonesia”. Malang. Penerbit: Setara Press. Hal:49 3 Muhammad Taufik Mukarao dan Suhasril. 2004. “Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek”.
Jakarta. Penerbit: Ghalia Indonesia. Hal: 20
4
KPK yang terlalu lemah ketika berhadapan langsung dengan para koruptor yang
kebanyakan kasus korupsi melibatkan anggota legislatif di daerah maupun pusat.
Kewenangan KPK dalam melaksanakan tugasnya telah tertera dalam Bab II
tentang tugas, wewenang dan kewajiban dimulai dari pasal 6 sampai dengan
pasal 15 Undang- Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Dalam pasal 5 Undang- Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan: “ Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi merupakan satu- satunya pengadilan yang berwenang memeriksa,
mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi”, hal ini juga tertera
dalam tambahan lembaran penjelasan yang dimaksud dengan “satu- satunya
pengadilan” adalah pengadilan yang memeriksa, mengadili dan memutus
perkara yang penuntutannya diajukan oleh penuntut umum.
Kewenangan penuntutan yang diberikan oleh Undang- Undang kepada
KPK merupakan kewenangan yang sah. Undang- Undang tentang Kejaksaan RI
merupakan Undang- Undang yang mengatur secara umum keberadaan dan
kewenangan jaksa dan Undang- Undang tersebut dapat dikesampingkan dengan
Undang- Undang KPK yang merupakan aturan khusus.4
Kewenangan penututan pada KPK adalah konstitusional, hal ini
dipertegas dengan sejumlah putusan dari Mahkamah Konstitusi terdahulu.
Kewenangan penuntutan tidak dapat di monopoli oleh kejaksaan dengan melihat
4 Rangga Trianggara Paonganan. “Kewenangan Penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi Dan
Kejaksaan Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia”. Lex Crimen. Vol. II/ NO.1/
Januari- Maret/ 2013
5
bahwa kejaksaan masih berada dalam lingkup eksekutif/ pemerintah sehingga
independensinya masih dipertanyakan serta diperkuat juga oleh putusan
Mahkamah Konstitusi dengan adanya putusan MK RI Nomor 36/ PUU-XV/
2017 yang menyatakan bahwa KPK bagian dari eksekutif. Dengan adanya hal
seperti inilah berdampak pada pengurangan independensi KPK.
Namun meski adanya jaksa penuntut umum KPK ini masih disayangkan
karena Lemahnya sanksi yang dijatuhkan kepada koruptor (dakwaan Jaksa
Penuntut Umum KPK terlalu lemah) sering mendapat sorotan berbagai kalangan
karena dianggap mengabaikan rasa keadilan masyarakat, dan menimbulkan
pertanyaan mengapa vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor jauh lebih rendah
dari pada tuntutan JPU.5
Pertanyaan yang paling mendasar yang banyak dipertanyakan oleh
masyarakat adalah Apakah penyebab vonis ringan koruptor karena ketiadaan
basis keyakinan publik terhadap pemerintah (political will), minimnya perangkat
hukum atau tidak adanya nurani penegak hukum. Vonis rigan terhadap koruptor
mengabaikan rasa keadilan masyarakat, bukan hanya karena korupsi merugikan
keuangan negara tetapi juga melanggar hak- hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas.
Political will penyelenggara negara atau yang disebut dengan basis
keyakinan publik terhadap pemerintah dalam memberantas korupsi sebenarnya
sudah ada dilihat dengan banyaknya regulasi yang sudah dibuat. Namun
5 Putri Hikmawati.” Vonis Ringan Terhadap Koruptor”. Info singkat hukum. Vol. V. NO.0I/P3DI/
Januari/ 2013
6
kerancuan ketentuan norma- norma tindak pidana korupsi dalam Undang-
Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001
dengan variasi hukuman menimbulkan perbedaan persepsi penegak hukum
dalam penerapannya, sehingga memungkinkan untuk memberikan vonis ringan.
Ini tidaklah akan menjadi masalah jika penegak hukum, khususnya hakim
menggunakan nurani dalam menjatuhkan sanksi secara proporsional dengan
memperhatikan keadilan bagi masyarakat.
Kedudukan penyidik KPK sangatlah penting dalam KPK untuk
melakukan penyitaan harta benda tersangka tindak pidana korupsi. Pasal 45
Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi telah menyebutkan: “Penyidik adalah penyidik pada Komisi
Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi”. Penyidik yang diangkat oleh KPK melaksanakan
fungsi penyidikan tindak pidana korupsi.
Berkaitan dengan tugas penyidikannya Penyidik KPK dapat melakukan
penyitaan tanpa izin ketua pengadilan negeri dan penyidik wajib membuat berita
acara penyitaan pada hari penyitaan.Untuk kepentingan penyidikan, tersangka
tindak pidana korupsi wajib memberikan keterangan kepada penyidik tentang
seluruh harta bendanya guna membantu penyidik. Setelah penyidikan
dinyatakan cukup penyidik mebuat berita acara dan disampaikan kepada
pimpinan KPK untuk segera ditindaklanjuti. Penyidikan yang dilakukan oleh
7
kepolisian atau kejaksaan wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus
dengan KPK, dalam hal KPK sudah mulai penyidikan kepolisian atau kejaksaan
tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.
Komisi lembaga independen adalah apabila paling tidak dasar hukum
pembentukannya menyatakan secara tegas kemandirian atau independensi dari
komisi lembaga independen terkait dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Independen dalam artian bebas dari pengaruh, kehendak ataupun kontrol dari
cabang kekuasaan eksekutif dan pemberhentian dan pengangkatan anggota
komisi menggunakan mekanisme tertentu yang diatur khusus, bukan semata-
mata dikarenakan berdasarkan kehendak presiden. Sehingga sepanjang kategori
utama yang dimaksud terpenuhi suatu lembaga negara merupakan komisi
lembaga independen.6
Keberadaan dan kedudukan KPK dalam strutur negara Indonesia masih
banyak dipertanyakan meskipun Mahkamah Konstitusi telah memutuskan empat
putusan dengan Perkara Nomor 012- 016-019/PUU-IV/ 2006 tanggal 19
Desember 2006, 19/ PUU-V/ 2007 tanggal 13 November 2007, 37- 39/ PUU-
VIII/ 2010 tanggal 15 Oktober 2010 dan nomor 5/ PUU-IX/ 2011 tanggal 20
Juni 2011 yang mana pada intinya keempat putusan tersebut menegaskan bahwa
Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan Lembaga Independen yang bukan
berada didalam ranah eksekutif, legislatif ataupun yudikatif. Tak hanya itu
independensi posisi KPK dalam sistem ketatanegaraan indonesia juga dapat
6 Gunawan A. Tauda. 2011. “Kedudukan Komisi Negara Independen Dalam Struktur KetataNegaraan
Republik Indonesia”. Yogyakarta. Jurnal Komisi Negara Independen. alumni magister ilmu hukum
fakultas hukum. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Hal:175
8
ditelisik dari belasan putusan MK yang lain. Misalnya MK pernah memutuskan
soal pembentukan Lembaga seperti KPK dapat dianggap penting secara
konstitusional (constitutional important) dan keberadaan komisi- komisi negara
semacam KPK telah merupakan suatu hal yang lazim.
Sifat kelembagaan KPK adalah seagai lembaga penegakkan hukum
dalam bidang tindak pidana korupsi. KPK adalah lembaga negara independen
yang diberi tugas dan wewenang khusus antara lain melaksanakan sebagian
fungsi yang terkait dengan kekuasaan kehakiman untuk melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta melakukan supervisi atas
penanganan perkara- perkara korupsi yang dilakukan oleh institusi negara yang
lain.7
Namun meski adanya putusan Mahkamah Konstitusi diatas tidak
menyurutkan Dewan Perwakilan Rakyat untuk tetap mempertanyakan
kedudukan KPK tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan diterbitkannya pasal
79 (3) Undang- Undang MD3 disebutkan tentang adanya hak angket terhadap
pelaksanaan suatu Undang- Undang dan/atau kebijakan pemerintah.
Dikarenakan hal itulah forum kajian hukum dan konstitusi mengajukan
permohonan dalam pengujian Undang- Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang
majelis tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan nomor
7 Hakim suhartoyo. “Putusan MK Inkonsisten dengan empat putusan sebelumnya yang akui independensi
KPK”. https: hukum. rmol.co.id. Acces 13 Oktober 2018
9
perkara 36/ PUU-XV/ 2017 tetapi sangat disayangkan sekali Mahkamah
Konstitusi menolak permohonan forum kajian hukum dan konstitusi dan pada
putusan inilah Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa KPK merupakan
bagian dari eksekutif sehingga merupakan obyek dari hak angket DPR. Pasca
putusan MK yang inilah membuat independensi KPK menurun.
Dalam hal putusan MK dengan nomor perkara 36/ PUU-XV/ 2017 ini
diketahui bahwa, dari sembilan hakim konstitusi hanya empat hakim yang
menerima gugatan sedangkan yang lainnya menolak gugatan tersebut. disini
terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) antara sembilan hakim
tersebut. maka dalam hal ini penulis berpendapat bahwa putusan MK yang baru
tidak dapat meniadakan putusan MK yang lama.
Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dalam rangka penulisan skripsi dengan judul
“REKONSTRUKSI KEDUDUKAN JAKSA PENUNTUT UMUM DAN
PENYIDIK KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM RANGKA
PENGEMBALIAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI SEBAGAI
LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN”.
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam suatu penelitian diperlukan untuk
memberikan kemudahan bagi penulis dalam membatasi permasalahan yang akan
ditelitinya, sehingga dapat mencapai tujuan dan sasaran yang jelas serta
10
memperoleh jawaban sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan apa yang
dipaparkan diatas dalam latar belakang masalah, maka penulis dapat
merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1) Apa saja faktor- faktor yang melatarbelakangi perlunya penataan ulang
pelembagaan Jaksa Penuntut Umum KPK dan Penyidik KPK?
2) Bagaimana konstruksi kedepan pelembagaan Jaksa Penuntut Umum KPK dan
Penyidik KPK?
C. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian tentunya memiliki tujuan yang hendak dicapai oleh
penulis. Tujuan ini tidak lepas dari permasalahan yang telah dirumuskan
sebelumnya. Tujuan Penulisan sebagaimana dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1) Untuk mendeskripsikan sehingga dapat mengetahui dan mengkaji faktor-
faktor yang melatarbelakangi perlunya penataan ulang pelembagaan Jaksa
Penuntut Umum KPK dan Penyidik KPK
2) Untuk mengetahui dan mengkaji konstruksi kedepan pelembagaan Jaksa
Penuntut Umum KPK dan Penyidik KPK
D. Manfaat Penelitian
Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis
maupun pihak lain. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
11
a. Bagi Penulis
Penelitian ini untuk lebih mengembangkan penalaran membentuk pola
pikir penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh selama studi di Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Juga dapat melatih penulis
untuk mencari serta menggali data dari permasalahan hukum teliti.
Disamping itu, manfaat penelitian ini secara subyektif yaitu sebagai syarat
untuk menyelesaikan studi Strata-1 di Universitas Muhammadiyah Malang
dengan gelar Sarjana Hukum.
b. Bagi Pemerintah (Komisi Pemberantasan Korupsi)
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan bahan
pertimbangan mengenai Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan
Korupsi (JPU KPK) dan Penyidik KPK agar dapat lebih meningkatkan
kinerjanya lagi.
c. Bagi Mahasiswa
Hasil dari penelitian ini untuk memberikan sumber tambahan
pengetahuan yang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi
masyarakat yang membutuhkan terutama hal- hal yang berkaitan dengan
Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) dan
Penyidik KPK
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini memiliki kegunaan untuk meningkatkan wawasan dan
menambah ilmu pengetahuan tentang ilmu hukum dalam konsentrasi hukum tata
12
negara dan diharapkan dapat menjadi referensi dalam penulisan hukum. Selain
itu penelitian ini dapat digunakan sebagai konstribusi Karya Ilmiah bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dibidang hukum pada umumnya dan hukum
tata negara dibidang khususnya serta penelitian ini dapat memperkaya referensi
dan literatur dalam kepustakaan hukum sebagai bahan untuk mengadakan
penelitian bagi pihak- pihak yang berkepentingan
F. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan-
aturan hukum, prinsip- prinsip hukum dan doktrin- doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk
menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai persepsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi.8
Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara untuk memecahkan
masalah dengan jalan menemukan, mengumpulkan menyusun data guna
mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang hasilnya
dituangkan dalam penulisan ilmiah (skripsi). Adapun metode penelitian dalam
dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan penulisan
hukum ini adalah penelitian hukum normatif yaitu suatu prosedur ilmiah
8 Peter Mahmud Marzuki. 2009. “Penelitian hukum”. Jakarta. Penerbit: Kencana Media Group. Hal: 35
13
untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya.9
Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (Library
Based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan- bahan hukum
primer dan sekunder. Bahan- bahan tersebut kemudian disusun secara
sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya
dengan masalah yang diteliti.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan
untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan
atau gejala- gejala lainnya, maksudnya adalah unytuk mempertegas
hipotesis, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori- teori lama atau
di dalam kerangka menyusun teori- teori baru.
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang memberikan gambaran
secara lengkap dan sistematif terhadap obyek yang diteliti.10
3. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yaitu, pendekatan
Undang- Undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach),
9 Dr. Johny Ibrahim. 2007. “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif”. Jawa Timur. Penerbit:
Bayumedia Publishing. Hal: 57 10
Soejono Soekanto. 2009. “Penelitian hukum normatif (suatu tinjauan singkat)”. Jakarta. Penerbit: PT.
Rajawali Grafindo Persada. Hal: 10
14
pendekatan historis (historical approach) dan pendekatan konseptual
(conseptual approach).11
Dari keempat pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan
penelitian hukum ini adalah pendekatan Undang- Undang (statute
approach), pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan konseptual
(conseptual approach). Pendekatan Undang- undang yang dimaksud lebih
mengarah pada Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang- Undang Nomor 16
tahun 2004 tentang Kejaksaan sedangkan pendekatan konseptual dipilih
untuk membantu peneliti memahami filosofi aturan hukum dari masing-
masing ahli serta memahami dasar suatu konsep yang melandasi suatu
aturan hukum, untuk selanjutnya penelitian ini untuk rekonstruksi
kedudukan jaksa penuntut umum dan penyidik komisi pemberantasan
korupsi dalam rangka pengembalian komisi pemberantasan korusi sebagai
lembaga negara independen.
4. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder:
a. Bahan Hukum Primer
11
Op.cit., Hal: 93
15
Bahan hukum primer merupakan sumber data yang bersifat
autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer
terdiri dari, perundang- undangan, catatan- catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan peraturan perundang- undangan dan putusan hakim.12
bahan hukum primer yang digunakaan dalam penelitian ini
adalah:
1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
2) Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001
3) Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
4) Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
5) Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesi Nomor
36/PUU-XV/2017 Perihal Pengujian Pasal 79 ayat (3) UU
MD3
b. Bahan Hukum Sekunder
12
Ibid., Hal: 141
16
Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa semua publikasi
tentang hukum yang bukan merupakan dokumen- dokumen resmi.13
Penelitian ini menggunakan bahan hukum sekunder, meliputi
buku- buku teks, kamus- kamus hukum dan jurnal- jurnal hukum yang
mendukung penulisan hukum ini.
5. Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah studi kepustakaan dengan cara mengumpulkan bahan hukum
sekunder dari peraturan perundang- undangan, buku- buku, karangan ilmiah,
dokumen resmi serta pengumpulan data melalui media internet yang erat
kaitannya dengan masalah yang dibahas, dari data tersebut kemudian
dipelajari, diklasifikasikan dan selanjutnya dianalisis lebih lanjut sesuai
dengan tujuan dan permasalahan penelitian.
6. Analisis Bahan Hukum
Metode penalaran yang dipilih penulis dalam penelitian ini adalah
metode penalaran deduktif yaitu metode yang berpangkal dari pengajuan
premis mayor kemudian diajukan premis minor, kemudian dari kedua
premis tersebut ditarik suatu kesimpulan atau conclusion.14
Dalam penelitian ini, bahan hukum yang telah didapatkan penulis
kemudian diolah dan dianalisa untuk ditarik suatu kesimpulan terkait
13
Ibid., Hal: 141 14
Ibid., Hal: 47
17
dengan rekonstruksi kedudukan jaksa penuntut umum dan penyidik komisi
pemberantasan korupsi dalam rangka pengembalian komisi pemberantasan
korusi sebagai lembaga negara independen
G. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang sistematika
penulisan hukum yang sesuai denagn aturan baru dalam penulisan hukum, maka
penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika
penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yang tiap bab terbagi dalam sub-
sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap
keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan mengemukakan tentang latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat
penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis akan menguraikan mengenai kajian pustaka
dan landasan teori para ahli maupun doktrin hukum berdasarkan
literatur yang berkenaan dengan permasalahan yang diteliti.
Landasan teori tersebut meliputi tinjauan tentang sistem
ketatanegaraan, tinjauan tentang korupsi, tinjauan tentang Komisi
18
Pemberantasan Korupsi, tinjauan tentang Jaksa Penuntut Umum
KPK. Selain itu, untuk memudahkan pemahaman alur berfikir,
maka didalam bab ini juga disertai dengan kerangka pemikiran
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan menguraiakan tentang hasil penelitian
dan pembahasan sebagai jawaban perumusan masalah. Terdapat
dua pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini, yaitu,
faktor- faktor yang melatarbelakangi perlunya penataan ulang
pelembagaan Jaksa Penuntut Umum KPK dan Penyidik KPK
serta konstruksi kedepan pelembagaan Jaksa Penuntut Umum
KPK dan Penyidik KPK
BAB IV PENUTUP
Pada bab ini akan dipaparkan mengenai kesimpulan dan saran
dari penulis terkait dengan permasalan yang diteliti