bab i pendahuluan a. latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68213/potongan/s2...2 dari...

46
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan YP2AS (1997) terhadap kampung-kampung adat di Pulau Jawa, ditemukan problem pokok yang dihadapi hampir seluruh kampung adat, yakni berpindah tangannya tanah yang menjadi wilayah adat mereka ke pihak luar. Di Pulau Jawa, sampai hari ini, sejumlah komunitas yang setia pada aturan masing-masing leluhurnya masih bertahan. 1 Kampung Naga merupakan sebuah perkampungan di wilayah Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat yang dikenal masih menjunjung tinggi adat istiadat leluhurnya. Hal ini bisa dilihat dari bentuk rumah mereka yang masih sangat tradisional dan berbagai upacara adat yang masih terus dilaksanakan. Disamping itu, dalam masyarakat Kampung Naga juga masih dikenal stuktur kekuasaan yang bersifat turun temurun dengan pemimpin adatnya yang disebut dengan Kuncen. Sebagaimana kelompok masyarakat adat lainnya, masyarakat Kampung Naga juga memiliki klaim atas wilayah yang dianggap sebagai tanah ulayat mereka. Berdasarkan hasil studi Komisi Pembaruan Agraria (KPA) luas wilayah adat Kampung Naga meliputi lahan di sekitar aliran Sungai Ciwulan 1 Setiawan, Usep. 2010. Kembali Ke Agraria. Yogyakarta : STPN Press

Upload: lydung

Post on 18-Jul-2018

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan YP2AS (1997) terhadap

kampung-kampung adat di Pulau Jawa, ditemukan problem pokok yang

dihadapi hampir seluruh kampung adat, yakni berpindah tangannya tanah yang

menjadi wilayah adat mereka ke pihak luar. Di Pulau Jawa, sampai hari ini,

sejumlah komunitas yang setia pada aturan masing-masing leluhurnya masih

bertahan.1

Kampung Naga merupakan sebuah perkampungan di wilayah

Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat yang dikenal masih menjunjung

tinggi adat istiadat leluhurnya. Hal ini bisa dilihat dari bentuk rumah mereka

yang masih sangat tradisional dan berbagai upacara adat yang masih terus

dilaksanakan. Disamping itu, dalam masyarakat Kampung Naga juga masih

dikenal stuktur kekuasaan yang bersifat turun temurun dengan pemimpin

adatnya yang disebut dengan Kuncen.

Sebagaimana kelompok masyarakat adat lainnya, masyarakat Kampung

Naga juga memiliki klaim atas wilayah yang dianggap sebagai tanah ulayat

mereka. Berdasarkan hasil studi Komisi Pembaruan Agraria (KPA) luas

wilayah adat Kampung Naga meliputi lahan di sekitar aliran Sungai Ciwulan

1Setiawan, Usep. 2010. Kembali Ke Agraria. Yogyakarta : STPN Press

2

dari hulu (Gunung Karacak) sampai ke hilir (daerah Salawu). Secara

administratif, wilayah Naga meliputi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan

Cigalontang, Salawu, dan Cilawu; serta berada di dua kabupaten yaitu

Tasikmalaya dan Garut, Provinsi Jawa Barat. Luas lahan masyarakat adat Naga

(yang sesungguhnya) diperkirakan sekitar 16 ribu hektar. Tiga garis pinggir

dari wilayah adat ini meliputi sekitar daerah Salawu, Cilawu, Cigalontang.

Kampung ini juga dikelilingi tiga gunung, yakni Gunung Cikuray, Gunung

Karacak, dan Gunung Galungggung.2

Namun demikian, sebagian besar tanah ulayat masyarakat Kampung

Naga kini sudah beralih kepemilikan diantaranya menjadi milik PT. Perhutani

dan menjadikannya sebagai hutan pinus, Departemen Kehutanan serta milik

swasta yang mengelola perkebunan teh. Sedangkan Kampung Naga sendiri

kemudian dijadikan sebagai salah satu objek wisata andalan di Kabupaten

Tasikmalaya.

Permasalahan hilangnya tanah ulayat Kampung Naga ini merupakan

sebuah permasalahan yang cukup mendasar yang sudah terjadi sejak zaman

kolonial Belanda. Menurut cerita leluhur Kampung Naga, masyarakat

Kampung Naga memiliki lahan garapan dari batas sungai Ciwulan sampai

sungai Cipaingeun yang digunakan untuk ladang, sawah dan perkampungan

masyarakat Kampung Naga yang keluar dari Kampung Naga. 3 Kini, wilayah

yang diakui sebagai wilayah adat Kampung Naga hanya tinggal seluas 1,5

2Setiawan, Usep. 2010. Kembali Ke Agraria. Yogyakarta : STPN Press Hal. 81-82

3Ibid, Hal. 82

3

hektar yang digunakan sebagai lahan pemukiman masyarakat adat Kampung

Naga.

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, beralihnya kepemilikan

tanah ulayat terjadi hampir di seluruh masyarakat adat di Indonesia.

Berdasarkan sejarah, sebelum kehadiran pemerintahan Belanda di Indonesia,

wilayah yang kini dikenal sebagai Negara Indonesia merupakan wilayah yang

terdiri dari berbagai kerajaan dan komunitas adat. Namun setelah kehadiran

penjajahan Belanda, kerajaan-kerajaan tersebut mulai ditaklukkan dan tanah-

tanah mereka mulai diambil alih untuk kepentingan Belanda. Hal ini tidak

berubah ketika jepang kemudian mengambil alih penjajahan atas wilayah

Indonesia dari Belanda. Demikian halnya setelah Indonesia mengalami vacuum

of power pasca Perang Dunia ke-2, ketika Ir. Soekarno dan Moh. Hatta

memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, wilayah yang sebelumnya

dikuasai oleh penjajah kemudian disatukan kedalam sebuah negara kesatuan

yakni Republik Indonesia. Bergantinya rezim pemerintahan sampai dengan

saat ini sesungguhnya hanya melanjutkan kekuasaan dari Belanda, terutama

terkait dengan penguasaan tanah. Tanah-tanah yang diambil alih pada masa

penjajahan Belanda tidak dikembalikan kepada masyarakat, melainkan tetap

dikuasai oleh negara.

Berdasarkan fakta sejarah tersebut, penulis kemudian melihat bahwa

terjadi kontinuitas penguasaan tanah dari masa pemerintahan kolonial Belanda

hingga masa pemerintahan sekarang. Sehingga kemudian penulis tertarik untuk

melihat mengapa terjadi kontinuitas penguasaan tanah ulayat oleh negara.

4

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan diatas maka dirumuskan permasalahan yakni :

“Mengapa terjadi kontinuitas penguasaan tanah ulayat Kampung Naga oleh

Negara?”

Adapun turunan pertanyaannya sebagai berikut :

1. Bagaimana relasi kuasa yang terjadi antara negara dan masyarakat

Kampung Naga dari masa pemerintahan kolonial Belanda hingga masa

reformasi?

2. Bagaimana dampak dan reaksi masyarakat terhadap kebijakan negara

terkait dengan tanah ulayat Kampung Naga?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengungkap dinamika relasi kuasa antara negara dan masyarakat

adat Kampung Naga yang mengakibatkan terjadinya kontinuitas

penguasaan tanah ulayat Kampung Naga.

2. Untuk melacak alat-alat yang digunakan oleh negara untuk

mempertahankan kekuasaannya.

3. Untuk mengungkap dampak dari hilangnya tanah ulayat masyarakat

Kampung Naga

4. Untuk melihat reaksi masyarakat terhadap kebijakan negara terkait

tanah ulayat Kampung Naga

5

D. Literatur Review

Masyarakat adat termasuk kelompok marginal yang secara sendiri-

sendiri tidak mempunyai bargaining position berhadapan dengan kekuatan-

kekuatan yang lebih besar, baik terhadap Negara maupun terhadap perusahaan-

perusahaan besar yang mempunyai kepentingan atas sumber daya alam yang

ada pada comunal lands yang secara historis mereka miliki. Walaupun secara

historis terdapat niat para pendiri Negara untuk menghormati hak masyarakat

adat serta hak tradisionalnya, seperti tercatum pada penjelasan pasal 18 UUD

1945, namun rangkaian peraturan perundang-undangan nasional secara

sistematik, struktural dan berkelanjutan menegasikan niat itu, sengaja atau

tidak sengaja telah memarginalkan masyarakat hukum adat tersebut.4

Selama ini, studi mengenai hutan Indonesia lebih banyak fokus pada

hutan diluar pulau Jawa (Sumatra, Kalimantan, dan Papua) dimana 97% hutan

Indonesia berada di daerah tersebut. Sebaliknya, Pulau Jawa dikenal sebagai

pulau penghasil beras. Bahkan satu per empat tanah Jawa secara hukum

diklasifikasikan sebagai hutan negara, dan Jawa merupakan tempat pertama

diterapkannya manajemen hutan di Indonesia.5 Pulau Jawa merupakan tempat

dimana pemerintah sebelum kolonial, pemerintah kolonial, serta pemerintahan

pasca kolonial memberikan dampak yang sangat membekas pada hutan serta

komunitas berbasis hutan di Jawa.

Dari hasil kajian yang dilakukan YP2AS (1997) terhadap kampung-

kampung adat di Pulau Jawa, ditemukan problem pokok yang dihadapi hampir

4 Ibid

55 Peluso, Nancy Lee, 1992, “Rich Forests Poor People : Resource Control and Resistance in

Java”, California : University of California Press, Hal. 5

6

seluruh kampung adat, yakni berpindah tangannya tanah yang menjadi wilayah

adat mereka ke pihak luar. 6

Di Pulau Jawa, sampai hari ini, sejumlah

komunitas yang setia pada aturan masing-masing leluhurnya masih bertahan.

Beberapa komunitas masyarakat adat itu, Kasepuhan Banten Kidul,Ciptarasa

(Sukabumi), Kampung Dukuh (Garut), Kampung Naga (Tasikmalaya),

Kampung Kuta (Ciamis) dan Baduy (Lebak). Sedangkan di Jateng ada Orang

Samin (Sleman, Yogyakarta), dan diJatim dikenal Orang Tengger (Malang dan

Purbalingga) serta OrangOsing (sekitar tapal kuda, Banyuwangi).

Dengan mengambil sampel kasus hilangnya wilayah adat OrangNaga,

sebenarnya kita sedang bercermin pada kenyataan yang lebih besar. Bahwa

dewasa ini memang tengah terjadi perubahan sosial dalam masyarakat

Indonesia. Titik penting yang mendorong terjadinya perubahan itu adalah

hilangnya akses dan kontrol atas sumber-sumber agraria yang secara tradisi

mereka kuasai dan dikelola secara arif.

Berbicara mengenai hilangnya sebagian besar tanah ulayat masyarakat

adat di Indonesia yang beralih menjadi milik negara ataupun beralih ke pihak

swasta atas kebijakan negara, maka hal ini menunjukkan kekuasaan negara

yang begitu besar. Berdasarkan sejarah, terdapat berbagai macam definisi

negara yang berbeda-beda dari masa ke masa.

Pada zaman Yunani kuno, Aristoteles telah merumuskan pengertian

mengenai Negara dalam buku yang berjudul Politica. Namun, pada masa itu

polis (negara dalam pengertian sekarang) memiliki wilayah yang kecil, berbeda

6Setiawan, Usep. 2010. Kembali Ke Agraria. Yogyakarta : STPN Press

7

dengan negara pada saat ini yang telah memiliki wilayah yang cukup luas

dengan jumlah penduduk yang cukup besar. Oleh karena itu Aristoteles

merumuskan negara sebagai negara hukum yang didalamnya terdapat sejumlah

warga negara yang ikut serta dalam permusyawaratan negara (ecclesia) . Yang

dimaksud negara hukum disini adalah negara yang berdiri diatas hukum, yang

menjamin keadilan kepada warga negaranya.

Selanjutnya pada abad Renaissance, Machiavelli (1469 – 1527) dalam

bukunya Il Principle mengartikan negara sebagai negara kekuasaan.

Menurutnya, untuk mencapai tujuannya negara harus memiliki alat-alat

kekuasaan fisik. Kekuasaan ini yang dimaksud oleh Machiavelli yang

memusatkan segala pada raja-raja bagaimana sebaiknya ia memerintah.

Ajaran Machiavelli kemudian mendapatkan tantangan, terutama karena

ajarannya membuat raja-raja dapat bertindak sewenang-wenang. Pada Abad

ke-17 kemudian muncul ajaran-ajaran dari Thomas Hobbes, Jhon Locke dan

Rousseau yang mengartikan negara sebagai badan atau organisasi hasil

daripada perjanjian masyarakat. Rousseau menambahkan bahwa yang

berdaulat didalam negara adalah rakyat sendiri, dan jika terdapat penguasa

dalam negara itu maka hanya merupakan mandataris daripada rakyat, jadi

ketika hak-hak itu diserahkan kepada penguasa, maka hal tersebut

dimaksudkan agar penguasa mempunyai wewenang untuk menjalankan

tugasnya melindungi hak-hak rakyat.

Ketika sistem ekonomi liberal membuat kaum borjuis mempunyai

kedudukan penting dalam Negara, maka kemudian muncul ajaran-ajaran baru

8

mengenai negara dari kelompok sosialis seperti Marx dan Lenin. Namun Marx

tidak mengembangkan teori tentang Negara secara khusus, pandangannnya

tentang Negara banyak dipengaruhi oleh kritikannya terhadap konsep Negara

yang dikemukakan oleh Hegel melalui proses dialektikanya. Marx menolak

pandangan bahwa Negara merupakan kesepakatan dari seluruh masyarakat

seperti yang diungkapkan oleh Hegel, Rousseau, Locke dan Hobbes. Marx

menawarkan formulasinya tentang masyarakat kapitalis sebagai suatu

masyarakat kelas yang didominasi oleh borjuis, karenanya Negara merupakan

ekspresi politik dari kelas dominan itu.

Pada perkembangan selanjutnya kemudian muncul pemikiran Gramsci

yang berakar pada pemikiran Marx dan Lenin, namun gagasan Marx tentang

Negara tidak pernah dikembangkan secara penuh. Walaupun dia pernah

merencanakan membuat satu volume dari Das Kapital tentang Negara, namun

tidak pernah terwujud sampai dengan ajalnya.7 Gramsci kemudian

menawarkan pandangan alternatif Marxis tentang Negara, yaitu suatu kesatuan

kompleks dari kegiatan teori dan praktek, yang dengannya kelas yang berkuasa

tak cuma membenarkan dan memelihara dominasinya, tetapi memenangkan

konsensus aktif dari yang diatur. 8

Negara, sebagai suatu aparat koersif,

mengontrol hukum dan administrasi “keadilan” dalam wilayah tertentu;

lembaga hukum tersebut membantu membentuk “suatu masyarakat” yang

tunduk terhadapnya.

7Nezar Patria dan Andi Arief, 1999. Antonio Gramsci : Negara dan Hegemoni. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar Offset. Hal. 8 8Quintin Hoare dan Geoffrey Nowell Smith Op.Cit

9

Negara lahir dari pertentangan kelas antara borjuis dan proletar dalam

struktur masyarakat yang tidak terdamaikan, negara juga mengontrol

perjuangan sosial dari kepentingan ekonomi yang berbeda, dimana kontrol

tersebut dipegang oleh kelas yang kuat secara ekonomi dalam masyarakat.9

Dengan demikian negara juga menjadi alat represif bagi kelas yang berkuasa.

Pada perkembangan selanjutnya muncul pemikiran-pemikiran baru

mengenai negara. Menurut Max Weber, negara adalah satu-satunya lembaga

yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap

warganya.10

Selanjutnya weber menyebutkan bahwa “a state is a human

community that (succesfully) claims the monopoly of the legitimate use of

physical force within a given territory”11

(Negara adalah suatu masyarakat

yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah

dalam suatu wilayah). Hal ini hampir sama dengan yang disampaikan Harold J.

Laski bahwa negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena

mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung

daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu.12

Dalam perspektif hukum, menurut ajaran Hans Kelsen, negara pada

hakekatnya adalaha merupakan zwangsordnung, suatu tertib hukum atau tertib

masyarakat yang mempunyai sifat memaksa, yang menimbulkan hak

memerintah dan kewajiban tunduk.13

Sedangkan menurut H.J Laski, negara

9 Ibid hal.18

10 Budiman, Arief. 1996, Teori Negara, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, Hal. 6

11 H.H Gerth and C. Wright Mills (Eds), 1947, From Max Weber : Essay In Sociology, London :

Lowe&Brydone Printers.Ltd, Hal. 78 12

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 1995, Ilmu Negara, Jakarta : Gaya Media Pratama 13

Soehino, 1993, lmu Negara, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, Hal. 191

10

sebagai sistem peraturan hukum, adalah suatu paralelogram sementara dari

kekuatan-kekuatan yang berubah-ubah bentuknya menurut perubahan

kekuatannya. 14

Berkaitan dengan aturan hukum, dari masa pemerintahan kolonial

Belanda sampai dengan masa reformasi, terdapat beberapa aturan agraria yang

digunakan di Indonesia. Pada masa pemerintahan Belanda terdapat Undang

Undang Agraria (Agrarische Wet Staatsblad) 1870 No. 55, Keputusan Agraria

(Agrarisch Besluit) yang dijabarkan dalam Staatsblad 1870 No. 118, dan

produk-produk selanjutnya berisi perubahan berbagai pasal dari Staatsblad

1870 No. 118 tersebut.15

Selain itu juga ada peraturan-peraturan Agraria

(Agrarische Reglementen) yang diterbitkan untuk mengatur hak milik pribumi

di wilayah-wilayah luar Jawa dan Madura.16

Pada masa Orde Lama dibawah pemerintahan Presiden Soekarno,

kemudian lahir peraturan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 yang dikenal

dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria. Pada Masa Orde Baru

dibawah pemeritahan Presiden Soeharto dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam

Negeri No.2 Tahun 1976. Peraturan ini memberikan pengaturan keuntungan

yang lebih besar bagi pemilik modal dibandingkan pemilik tanah, khususnya

dalam hal bentuk dan besar ganti kerugian.17

Pada masa pemerintahan ini juga

lahir Hak Penguasaan Hutan (HPH) yang secara ekologis, sosiologis dan

kultural merugikan kepentingan masyarakat setempat, khususnya masyarakat

14

Ibid, Hal. 141 15

Van Vollenhoven, Op.Cit. Hal. 167 16

Ibid, Hal. 168 17

Kuswanto, Heru. 2011, Modul Hukum Agraria, Fakultas Hukum : Universitas Narotama

Surabaya, Hal. 7

11

adat sebagai pemegang hak tanah ulayat.18

Permendagri diatas kemudian

diubah dalam Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993. Jatuhnya rezim Orde

Baru kemudian menjadi menjadi momentum untuk melakukan tinjauan kritis

terhadap peraturan agraria yang dianggap telah menyimpang dan dijadikan

instrumen kekuasaan. Tuntutan reformasi agraria ini kemudian disahkan dalam

Ketetapan MPR RI No. IX Tahun 2001 tentang pembaharuan agraria dan

pengelolaan sumber daya alam.

Penelitian mengenai masyarakat adat dengan negara terkait dengan

tanah ulayat bukanlah sesuatu hal yang baru, sudah banyak sekali penelitian

yang dilakukan diberbagai masyarakat adat yang ada di Indonesia. Oleh karena

itu sangat perlu untuk melakukan studi literatur terhadap penelitian-penelitian

yang sudah ada untuk melihat perbedaan dan signifikansi dari penelitian ini.

Pertama, studi yang dilakukan oleh Egie Pratama Mulya (2011),

dengan judul “Konflik Tanah Ulayat (Studi Kasus Konflik Tanah Ulayat

Masyarakat Adat Pasukuan Tanjung Manggopoh Dengan PT. Mutiara Agam,

Kabupaten Agam)”. Dalam penelitian ini penulis lebih menekankan pada studi

konflik yakni untuk memahami kelemahan-kelemahan pendekatan resolusi

konflik dari pemerintah daerah.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa kegagalan resolusi konflik

diantaranya adalah keterbatasan kemampuan pemda dalam mekanisme

pengelolaan sengketa lahan ulayat, masyarakat berpijak pada hukum adat

sementara perusahaan pada hukum formal. Dilain pihak, pemda tidak

18

Ibid, Hal. 6-7

12

mempunyai perangkat hukum yang jelas untuk melegitimasi hak-hak ulayat

masyarakat adat, sehingga perbedaan kedua hukum ini menimbulkan

pertentangan yang sulit ditemukan kesepakatan sebagai pijakan konsensus.

Selain itu juga dikarenakan banyaknya aktor yang membawa kepentingan

sosial, ekonomi, dan politik dalam konflik, sehingga tidak ditemukan

kesepahaman isu sebagai pijakan kesepakatan.

Kedua, studi yang dilakukan oleh Abdul Putra Ginda Hasibuan (2011),

dengan judul “Gerakan Perlawanan Masyarakat Lokal : (Studi Tentang

Perlawanan Masyarakat Bangun Purba Dalam Mempertahankan Hak Ulayat Di

Kecamatan Bangun Purba kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau)”. Dalam

penelitian ini penulis lebih menekankan pada gerakan perlawanan yang

tujuannya untuk mengetahui latar belakang, bentuk dan pola gerakan

perlawanan masyarakat dalam mempertahankan hak ulayat.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa terdapat proses

pengkapitalisasian tanah, yakni terdapat pengalihan penguasaan tanah terhadap

para pemilik modal dan diduga adanya kolaborasi antara penguasa, pengusaha

dan oknum tokoh adat sehingga berimplikasi pada dua fase perlawanan yang

dilakukan. Pertama, perlawanan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi

atau perlawanan sehari-hari (everyday forms of resistance) dan kedua

perlawanan secara terbuka (fase pelawanan kedua) yakni dengan adanya NGO

yang berfungsi sebagai mediasi konflik juga, namun disisi lain keberadaan

NGO ini juga memperluas jaringan masyarakat dalam melakukan perlawanan.

13

Konflik ini muncul dari faktor internal yakni kekecewaan masyarakat terhadap

tokoh adat yang diduga bermain mata dengan pengusaha.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Josly (2011) dengan judul

”Konflik Masyarakat Adat Krayan Dan Taman Nasional Kayan Mentarang”.

Dalam penelitian ini penulis lebih menekankan pada pelacakan bagaimana

konflik terjadi, faktor penyebab serta cara penyelesaian konflik tersebut.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa konflik ini merupakan konflik

yang sudah lama ada sejak Orde Baru dan pada masa itu masyarakat tidak

dibenarkan melakukan protes maupun melawan kebijakan. Konflik sulit untuk

diselesaikan karena masyarakat mendapat pengakuan hak ulayat sehingga

terjadi tumpang tindih status hukum kepemilikan kaswasan tersebut. Resolusi

konflik yang bersifat persuasif kurang membuahkan hasil sehingga kemudian

dilakukan sinergisasi di berbagai sektor melalui konsultasi publik untuk

mencapai kesepahaman yang sama.

Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Suryaningsih (2010) dengan

judul “Konflik Pengelolaan Tambang Batu Bara di kawasan Hak Ulayat Nagari

Sijantang Kota Sawahlunto, Sumatera Barat. Dalam penelitian ini penulis lebih

menekankan pada upaya analisa penyelesaian akar konflik dalam pengelolaan

tambang batu bara. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa konflik

pengelolaan batu bara yang terjadi di nagari sijantang terus bertransformasi

karena upaya yang dilakukan pemerintah tidah menyentuh akar permasalahan.

Upaya-upaya yang dilakukan hanya menyelesaikan permukaan konflik saja,

yakni dengan memberikan bantuan khusu dan tindakan represif

14

Dari keempat penelitian yang sudah ada tersebut penulis melihat bahwa

sebagian besar dari studi mengenai konflik Negara dan masyarakat adat hampir

semuanya menekankan pada studi konflik, gerakan perlawanan dan kebijakan

publik. Penulis belum menemukan penelitian yang melakukan pelacakan dari

sisi historis yang melihat relasi Negara dan masyarakat adat untuk melacak

dominasi dan hegemoni negara dalam melakukan penguasaan terhadap

masyarakat adat yang pada akhirnya menimbulkan resistensi dan berakhir

dengan konflik atau bahkan tidak mendapatkan perlawanan dari masyarakat.

Oleh karena itu, penulis menganggap studi ini perlu dilakukan sebagai sebuah

alternatif analisis baru dalam melakukan kajian relasi Negara dan masyarakat

adat serta untuk mengungkap pola serta alat penegakan hegemoni yang dimiliki

oleh negara.

E. Kerangka Teori

Untuk mengungkap mengapa terjadi kontinuitas penguasaan tanah

ulayat oleh negara, penulis akan menggunakan berbagai pendekatan konsep

dan teori. Studi ini menekankan pada relasi kuasa yang terjadi diantara negara

dan masyarakat adat, serta melihat bagaimana reaksi masyarakat adat atas

kebijakan negara yang kemudian mengakibatkan terjadinya kontinuitas

penguasaan tanah ulayat Kampung Naga oleh Negara.

1. Negara

Dalam kehidupan sehari-hari, negara adalah sebuah realitas politik

yang nyaris kita terima sebagai sesuatu yang given. Terdapat banyak

definisi mengenai Negara, dan definisi tersebut terus berkembang seiring

15

perubahan zaman. Dalam teori negara modern, Max Weber menyatakan

bahwa “a state is a human community that (succesfully) claims the

monopoly of the legitimate use of physical force within a given territory”19

(negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam

penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah).

Prof. Miriam Budiardjo mendefinisikan negara sebagai suatu daerah

teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan

yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan

perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis

terhadap kekuasaan yang sah.20

Sedangkan Harold J. Laski menyebutkan

bahwa negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena

mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih

agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari

masyarakat itu.

Berdasarkan hal tersebut, maka kita bisa melihat bahwa negara

memilki kekuasaan yang begitu besar dan mempunyai aturan yang bersifat

memaksa serta mengikat seluruh masyararakatnya. Miriam Budiardjo

mengartikan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok

manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau orang lain

sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan

19

H.H Gerth and C. Wright Mills (Eds), 1947, From Max Weber : Essay In Sociology, London :

Lowe&Brydone Printers.Ltd, Hal. 78 20

Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, Hal. 49

16

keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.21

Sementara Mac Iver merumuskan kekuasaan sebagai “the capacity to

control the behavior of others either directly by fiat or inderictly by the

manipulation of available means”22

yang artinya kemampuan untuk

mengendalikan tingkah laku baik secara langsung melalui perintah atau

secara tidak langsung melalui manipulasi dengan menggunakan berbagai

alat dan cara yang tersedia.

Adapun yang menjadi unsur-unsur dari negara adalah sebagai

berikut :23

1. Wilayah

2. Rakyat

3. Pemerintahan yang diakui

Berkaitan dengan pemerintah sebagai salah satu unsur negara, maka

negara mempunyai sifat yang lebih kekal baik mengenai bentuk maupun

susunannya, sedangkan pemerintah bisa berubah-ubah. Seperti halnya

yang terjadi di Indonesia yang telah mengalami beberapa kali perubahan

periode pemerintahan, yakni masa pemerintahan kolonial Belanda, Orde

Lama, Orde Baru serta era reformasi. Perubahan politik disebabkan karena

perubahan tujuan politik daripada negara, karena pemerintah pada

hakekatnya merupakan suatu alat untuk mengejar tujuan itu.24

21

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 1995, Ilmu Negara, Jakarta : Gaya Media Pratama, Hal.

111 22

Ibid, Hal. 112 23

Ibid, Hal. 101 24

Ibid, Hal. 108

17

2. Hegemoni Negara

Untuk mengetahui mengapa terjadi kontinuitas penguasaan tanah

ulayat oleh negara, dalam studi ini akan dilacak melalui relasi kuasa yang

terjadi diantara negara dan masyarakat Kampung Naga. Teori hegemoni

dan dominasi digunakan untuk menganalisa karakteristik relasi kuasa yang

terjadi diantara negara dan masyarakat pada masa pemerintahan kolonial

Belanda, Orde Lama, Orde Baru dan masa reformasi. Dengan mengetahui

relasi kuasa tersebut dapat dilihat bagaimana negara menggunakan alat-

alat kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaannya atas masyarakat

adat.

Hegemoni berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu „eugemonia‟,

Dalam Encyclopedia Britanica dijelaskan bahwa dalam prakteknya di

Yunani, hegemoni diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang

diklaim oleh negara-negara kota (polis atau city states) secara individual,

misalnya yang dilakukan oleh negara kota Athena dan Sparta, terhadap

negara-negara lain yang sejajar.

Gagasan tentang hegemoni pertama kali diperkenalkan pada 1885

oleh para marxis Rusia, terutama oleh Plekhanov pada 1883-1984. Istilah

tersebut menunjukkan kepemimpinan hegemoni yang harus dibentuk oleh

kelompok proletar, dan wakil-wakil politiknya dalam suatu aliansi dengan

kelompok-kelompok lain, termasuk beberapa kritikus borjuis, petani dan

intelektual yang berusaha mengakhiri negara polisi tsaris.

18

Menurut Gramsci hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan

yang didapat melalui mekanisme konsensus ketimbang melalui penindasan

terhadap kelas sosial lainnya. Seperti yang ditulis oleh Benedetto Fontana

bahwa “hegemony is defined by Gramsci as intellectual and moral

leadership (direzione) whose principal constituting elements are consent

and persuasion”. 25

Selanjutnya juga disebutan bahwa kemudian hegemoni dipahami

sebagai alat dari kelas dominan untuk membangun sistem persetujuan

yang permanen.

“hegemony is thus conceived as the vehicle whereby the

dominant social groups establish a system of “permanent

consent” that legitimates a prevailing social order by

encompassing a complex network of mutually reinforcing and

interwoven ideas affirmed and articulated by intellectuals.” 26

Berdasarkan teori Gramsci, Hegemoni berhubungan dengan dua

hal, yakni means of coercion dan means of establishing hegemonic

leadership. Means of coercion berhubungan dengan alat atau tindakan

kekerasan yang bersifat memaksa, atau yang bersifat law enforcement.

Sedangkan means of establishing hegemonic leadership merupakan

perangkat yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata-pranatanya

untuk patuh kepada mereka yang berkuasa melalui institusi pendidikan,

agama, dan lain sebagainya.

Jika negara hanya menggunakan means of coercion saja, maka

kemudian hanya akan menghasilkan dominasi. Dilain pihak negara tidak

25

Fontana, Benedetto. 1993. On The Relation Between Gramsci and Machiavelli. Minnesota :

University of Minnesota press. Hal. 140 26

Ibid, Hal. 141

19

bisa terus melakukan tindakan pemaksaan, sehingga kemudian untuk

mengabsahkan kekuasaannya negara menggunakan means of establishing

hegemonic leadership. Jika hegemoni terus tercapai, negara tidak perlu

terus menerus melakukan tindakan kekerasan, karena masyarakat sudah

mulai menerima atau tidak lagi melihat ketimpangan yang merugikan

mereka. Atau juga mereka melihat ketimpangan sebagai sesuatu yang

wajar, alamiah sehingga tidak perlu lagi diperlukan perlawanan.

Dalam konsep hegemoni dan negaranya Gramsci juga dipengaruhi

oleh pemikiran Machiavelli, yakni mengenai force dan consent.

The dual nature of Machiavelli's centaur represents the two aspects or

"moments" of politics: force and consent, dominio and direzione. This

double nature of power leads Grarnsci to redefine and to broaden the

typically Marxist and Leninist theory of the state.27

Dari pemikiran tersebut kemudian Gramsci berpendapat bahwa

negara hanya bisa dipahami jika kelas dominan dianalisa dalam seluruh

aspeknya, sebagai kekuatan (force) ditambah persetujuan (consent), dan

jika negara tidak lagi dilihat sebagai alat kekuatan dari sebuah kelas

(seperti yang dikembangkan Marx, Engels dan Lenin) tapi sebagai semua

jenis kegiatan dalam seluruh jangkauan tempat dimana hubungan produksi

sosial mampu direproduksi.28

Berbicara mengenai consent (konsensus), secara spesifik Gramsci

tidak melihat tipe dan macam konsensus apa yang secara determinan

27

Ibid, Hal. 143 28

Sassoon, 1978 dikutip oleh Nezar Patria dan Andi Arief 1999. Antonio Gramsci : Negara dan

Hegemoni. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.

20

menentukan situasi hegemonis. Joseph Femia29

(dikutip oleh Nezar Patria

dan Andi Arief) memaparkan setidaknya ada empat model konsensus yang

ada dalam perjalanan sejarah yaitu: Pertama, dalam sejarah Romawi kuno.

Disini pusat kekuasaan ada di tangan kaisar, sehingga “konsensus” disini

terletak ditangan kaisar. Kedua, dalam sejarah pra modern, pandangan

tentang konsensus disini tampil sejalan dengan konsepsi masyarakat

organik yang tampil dengan paham bahwa setiap orang mempunyai status

dan fungsi yang ditentukan dalam hierarki alamiah (kodrat). Ketiga, dalam

masyarakat kapitalis lanjut secara filosofis dan politik tampil teori-teori

hukum alam dan kontrak sosial. Konsensus dipandang sebagai tindakan

yang dikehendaki atau sekuarang-kurangnya sukarela secara individual.

Keempat, dalam pemikiran politik dewasa ini. Disini ada perubahan

pengertian konsensus dari pengertian liberal sebelumnya dan

mengungkapkan tuntutan baru. Warga negara secara individual menuntut

keterlibatan secara langsung ataupun tidak langsung dalam masyarakat

politik yang diorganisasikan dan ditentukan. Karena itu dapat dikatakan

bahwa konsep ini mengisi arti pokok yang tidak ada dalam pemikiran

mengenai kontrak sosial. Konsensus dipandang sebagai kekhususan sifat

dari sistem lembaga-lembaga demokratis yang familiar. Dalam hal ini

Negara atau pemerintah mendapat konsensus dari masyarakat melalui

mekanisme pemilihan umum dan berbagai teknis demokrasi lainnya.30

29

Joseph Femia (1981), dalam buku “Gramsci‟s Political Thought. Hegemony, Consciousness and

Revolutionary Process” 30

Nezar Patria dan Andi Arief, Op.Cit. Hal. 120

21

Praktek hegemoni negara menurut Gramsci adalah sebagai beikut :

“Hegemonic practices have a twofold end : first they aim at the

constitution and consolidation of historical bloc. Second they seek the

stabilisation of society around a project that not only expresses the

fundamental interests of the dominant social group /(or groups), but also

takes into account the interests of some of the subordinate groups.” 31

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat kita simpulkan bahwa praktek

hegemoni, salah satu tujuan akhirnya adalah untuk mencari stabilitas

dalam masyarakat terkait sebuah kepentingan tertentu. Sehingga kemudian

dalam kaitannya dengan Masyarakat Kampung Naga, maka praktek

hegemoni yang dilakukan bertujuan untuk menciptakan stabilitas dalam

masyarakat tersebut.

Perry Anderson mengklasifikasi hegemoni kedalam tiga model.

Model pertama, hegemoni Gramsci adalah menyangkut kebudayaan dan

kepemimpinan moral yang dilaksanakan dalam masyarakat sipil. Dalam

model ini negara menempatkan kekuasaan koersi dalam bentuk polisi dan

angkatan bersenjata; secara ekonomi negara juga mengatur disiplin kerja

serta kontrol moneter.

Model kedua, hegemoni digerakkan dalam negara sebagaimana

halnya digerakkan dalam masyarakat sipil. Pada titik ini ia melihat

pentingnya peran pendidikan dan lembaga-lembaga hukum dalam

menjalankan hegemoni.

31

Mark McNally and John Schwarzmantel (Eds). 2009. Gramsci and Global Politics. New

York : Routledge

22

Model ketiga, menurut anderson perbedaan antara negara dan

masyarakat sipil dihilangkan secara bersamaan. Disini Gramsci

mendefinisikan negara sebagai political society ditambah civil society.

Model ketiga ini kemudian disebut sebagai negara integral yang memiliki

dua aspek, yakni aspek alat-alat kekerasan (means of coercion) dan alat

penegakkan kepemilikan hegemonis (means of establishing hegemonic

leadership) seperti pendidikan, agama, media, penerbitan dan lain-lain.

Dalam konsep superstruktur, Gramsci membagi superstruktur

menjadi dua tingkatan, “masyarakat sipil” dan “masyarakat politik” atau

“Negara”.Satu tingkatan yang biasa disebut “masyarakat sipil”, yakni

kumpulan organisme yang lazim disebut “privat” dan “masyarakat politik”

atau “Negara”. Kedua tingkatan ini bersesuaian disatu pihak dengan fungsi

“hegemoni”, yang dilaksanakan kelompok dominan diseluruh masyarakat,

dan dipihak lain, dengan “dominasi langsung” yang diekspresikan melalui

negara dan pemerintah “yuridis”.32

Dalam model hegemoni Gramsci yang dikutip oleh Perry

Anderson, dapat kita lihat bahwa dalam model pertama Gramsci

melakukan counterposses hegemoni terhadap political society atau negara,

sementara dalam model kedua negara itu sendiri menjadi aparat hegemoni.

Sedangkan dalam model ketiga perbedaan diantara civil society dan

political society dihilangkan secara bersama-sama. Persetujuan dan

32

Quintin Hoare dan Geoffrey Nowell Smith (Eds), Op.Cit

23

paksaan menjadi koekstensif dengan negara. Gramsci menulis “negara

(dalam pengertian negara integral) adalah kediktatoran + hegemoni.33

Negara integral merupakan hasil perpaduan antara sumber koersi

dalam masyarakat dan tempat kepemimpinan hegemonik. Negara integral

merupakan hegemoni yang dilapisi dengan selubung berupa kekuasaan

koersi hegemoni, sekalipun bekerja ditingkat kesadaran namun dia selalu

didampingi oleh langkah koersi.34

Sehingga dapat disimpulkan bahwa

negara integral memiliki dua aspek, yakni alat-alat kekerasan dan alat

penegakan kepemimpinan hegemonis seperti pendidikan, agama, media,

penerbitan dan lain-lain.

Alat kekerasan terdiri dari alat-alat paksa dan represi negara,

sementara alat pemilikan kepemimpinan hegemonis merujuk pada institusi

dalam formasi sosial yang bukan bagian dalam proses produksi ekonomi

material juga bukan menjadi bagian dari organisasi negara.35

Organisasi

dalam wilayah kepemimpinan hegemonis ini bekerja dan hidup diluar

wilayah kekuatan itu, contohnya adalah organisasi komunikasi, olahraga,

perkumpulan pemuda dan lain-lain.

Konsep hegemoni merupakan gagasan yang sentral dan original

dalam filsafat dan teori sosial Gramsci. Konsep hegemoni Gramsci ini

kemudian mengilhami pemikiran-pemikiran di masa selanjutnya, seperti

dalam karya Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe yang merupakan

penganut pos marxisme. Meskipun berpijak pada teori hegemoni Gramsci,

33

Perry Anderson, Op.Cit 34

Nezar Patria dan Andi Arief, Op. Cit. 35

Ibid

24

Laclau dan Mouffe memiliki perbedaan dengan pemikiran Gramsci dalam

melakukan analisa terhadap kepolitikan, dimana Gramsci memijakkan

paradigma teoritiknya pada analisa kelas, sementara Laclau dan Mouffe

memijakkan paradigma teoritiknya pada analisa diskursus (discourse

analysis).36

Teori ini menelaah bagaimana praktek-praktek sosial

mengartikulasikan dan mengkontestasikan diskursus-diskursus yang

membentuk realitas sosial.37

Laclau dan Mouffe menjelaskan diskursus

sebagai “The structured totality resulting from the articulatory practice”.38

Menurut Laclau dan Mouffe, hegemoni menekankan cara-cara di

mana kekuasaan beroperasi untuk membentuk pemahaman hubungan

sosial kita sehari-hari, dan untuk mengatur cara-cara dimana kita setuju

untuk (dan mereproduksi) hubungan kekuasaan secara terselubung.39

Lebih lanjut Laclau dan Mouffe menjelaskan bahwa terkait dengan kelas-

kelas “yang dieksploitasi”, terdapat bentuk subordinasi lain diluar bidang

ekonomi. Subordinasi dapat bersifat politis, sosial, atau budaya.

Ketika Gramsci banyak berbicara mengenai kelas pekerja dengan

analisis kelasnya sebagai sebuah kelas “yang tereksploitasi” atau

tersubordinasi secara ekonomi, maka dengan menggunakan pemikiran

Laclau dan Mouffe inilah penulis menempatkan masyarakat adat sebagai

36

Daniel Hutagalung. 2008. “Hegemoni dan Demokrasi Radikal-Plural : Membaca Laclau dan

Mouffe” dalam pengantar “Hegemoni dan Sosialis Strategi : Pos Marxisme dan Gerakan Sosial

Baru” Yogyakarta : Resist Book 37

Ibid Hal. xxviii 38

Ernesto laclau dan Chantal Mouffe. 2001. Hegemony and Socialist Strategy Towards a Radical

Democratic Politics. London : Verso 39

Butler Judith, dkk. 2000. Contingency, Hegemony, Universality : Contemporary Dialogues On

The Left. London & New York : Verso

25

kelas “yang tereksploitasi” atau tersubordinasi oleh kekuasaan negara. Hal

ini dikarenakan subordinasi yang terjadi terhadap masyarakat adat, dalam

hal ini masyarakat Kampung Naga tidak secara ekonomi, melainkan secara

politik dan budaya.

Dengan demikian maka konsep hegemoni yang digunakan disini

sifatnya tidak tunggal, atau terbatas pada konsepsi hegemoni Gramsci saja,

melainkan ditambah dengan konsepsi hegemoni dari Laclau dan Mouffe.

Hal ini dikarenakan kondisi sosial politik yang banyak berubah pasca

Perang Dunia Kedua yang jauh berbeda dengan kondisi sosial politik pada

masa kehidupan Gramsci. Dengan menggabungkan konsepsi hegemoni

tersebut maka disusun sebuah kerangka teori hegemoni dan dominasi

negara terhadap masyarakat adat untuk melihat bagaimana suatu relasi

kuasa dibangun untuk mempertahankan kekuasaan negara terhadap

masyarakat adat, yakni sebagai berikut :

26

NEGARA

3. Institusi Formal dan Institusi Informal

Untuk menggambarkan pola relasi antara Negara dan masyarakat

adat, penulis juga menggunakan studi informal institution dari Gretchen

Helmke dan Steven Levitsky. Menurut Helmke dan Levitsky, perbedaan

antara institusi formal dan informal telah dikonsepsikan dalam beberapa

cara, dan perbedaan yang paling umum adalah state-societal.40

Dengan

menggunakan pendekatan ini maka institusi formal mengacu pada lembaga

40

Gretchen Helmke dan Steven Levitsky, 2003. Informal Institutions and Comparative Politics : A

Research Agenda. Working Paper #307, November 2003.

Pemerintahan

Kolonial

Pemerintahan

Orde Lama

Pemerintahan

Orde Baru

Pemerintahan

Masa

Reformasi

- Alat

Penegakkan

Kepemimpinan

Hegemoni

- Alat- Alat

Kekerasan

- Kontestasi

Wacana

Konsensus

Resistensi

HHegemoni

Dominasi

Masyarakat

Adat

Bagan 1. Pola hegemoni dan dominasi negara terhadap masyarakat adat

27

negara (pengadilan, badan legislatif, birokrasi) dan penegak aturan negara

(konstitusi, hukum, regulasi).41

Sementara institusi informal meliputi

organisasi sispil, keagamaan, kekerabatan dan organisisasi serta aturan

kemasyarakatan lainnya.42

Sebuah survey dalam literatur institusi informal menunjukkan

bahwa terdapat dua karakteristik yang cukup berbeda dalam interaksi

antara institusi formal dan informal. Pada satu sisi, banyak studi yang

menunjukkan bahwa institusi informal memainkan peran atau berfungsi

sebagai problem-solving role, namun disisi lain beberapa studi juga

menyebutkan institusi informal sebagai problem creating. Studi ini untuk

melihat fenomena klientilisme, korupsi, patrimonialisme dan klan politik

yang merusak pasar, rezim demokratis, dan institusi formal lainnya.

Berdasarkan hal tersebut kemudian dibangun empat tipologi

interaksi institusi informal dan institusi formal sebagai berikut :

Figure 1

A Tipology Of Informal Institutions

Effective Formal Ineffective Formal

Institutions Institutions

Compatible Goals Complementary Substitutive

Conflicting Goals Accomodating Competing

Bagan 2. Tipologi interaksi Institusi formal dan institusi informal

41

Ibid 42

Ibid

28

Pada pojok kiri atas yang mengkombinasikan compatible goal

dengan institusi formal yang efektif, disebut Lauth sebagai complementary

informal institutions. Hal ini menunjukkan bahwa institusi informal yang

berdampingan dengan institusi formal. Complementary informal

institutions secara umum mengisi celah yang kosong yang ditinggalkan

oleh institusi formal, mengatasi masalah atau kemungkinan-kemungkinan

yang tidak secara eksplisit ditangani dalam aturan formal tanpa melanggar

aturan formal yang melampaui batas.43

Accomodating Informal Institutions mengkombinasikan institusi

formal efektif dengan conflicting actor goal. Accomodating Informal

Institutions dapat dilihat sebagai sebuah “strategi terbaik kedua” untuk

aktor yang tidak menyukai hasil yang dibuat oleh aturan formal namun

tidak bisa merubah atau melanggar aturan tersebut secara terbuka.44

Meskipun mengakomodasi institusi informal mungkin tidak efektif atau

meningkatkan performance pada saat itu, namun secara tidak sengaja

meningkatkan stabilitas atau keberlanjutan dari institusi formal dengan

meredam permintaan perubahan.45

Competing Informal Institutions menunjukkan pada institusi

informal yang berdampingan dengan institusi formal yang lemah atau

tidak efektif yang memiliki tujuan yang berlawanan (antagonistic goal).

Dalam struktur ini, untuk mengikuti suatu aturan seorang aktor harus

43

Ibid 44

Ibid 45

Ibid

29

melanggar aturan lainnya. Contohnya termasuk klientilisme,

patrimonialisme, klan politik dan institusi partikularistik lainnya.

Yang terakhir adalah Substitutive Informal Institutions yang

menggabungkan institusi formal yang lemah dengan compatible goal.

Substitutive Informal Institutions diciptakan atau dipekerjakan oleh aktor

yang ingin memperoleh hasil seperti yang diharapkan oleh institusi formal,

namun gagal dicapai.

Berdasarkan empat tipe interaksi tersebut, beberapa observasi telah

dilakukan. Studi institusi informal di negara industri maju cenderung

terfokus pada complementary dan accomodating institutions, sementara

studi di negara berkembang serta negara post communist cenderung fokus

pada substitutive dan competing institutions.46

Hal ini dikarenakan

complementary dan accomodating institutions hadir dalam institusi yang

stabil yang lebih banyak ditemukan di negara industri maju (walaupun

juga ditemukan di negara-negara berkembang seperti Costa Rica, Chile

dan Singapura) dan substitutive dan competing institutions hadir dalam

konteks kelemahan dan instabilitas institusi formal yang sering ditemukan

di negara-negara berkembang dan negara-negara post communist.

Dengan menggunakan empat tipologi interaksi institusi formal dan

informal tersebut akan dilihat tipe interaksi yang terjadi antara negara

dengan masyarakat Kampung Naga. Dengan mengetahui tipe interkasi

antara negara dan masyarakat adat tersebut dapat dilihat bagaimana posisi

46

Ibid

30

kekuatan negara dan kekuatan masyarakat Kampung Naga untuk melihat

relasi kuasa diantara keduanya.

4. Non Resistensi, Resistensi Pasif dan Resistensi Aktif

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Stanley Milgram di Yale

yang menguji batas kepatuhan kepada penguasa dan bagaimana batas

tersebut gagal dibawah sosialisme nasional,47

hasil dari percobaan tersebut

menunjukkan bahwa tingkat kedekatan, atau jarak dari korban, bersamaan

dengan kontak fisik langsung terhadap korban, adalah faktor penentu yang

mempengaruhi perilaku subyek. Perilaku subjek menjadi dipaksa karena

tekanan dari otoritas, hal ini disebabkan fakta bahwa setiap anak sejak

lahir sampai dewasa sangat disosialisasikan dalam prinsip ketaatan, di

sekolah, di dalam keluarga atau selama dinas militer, atau bahkan di

perusahaan di mana ia menemukan pekerjaan pertamanya. Di sisi lain,

yang harus diperhatikan adalah bahwa peningkatan kecenderungan

ketidaktaatan muncul sebagai akibat dari meningkatnya tingkat

pendidikan.

Studi lain mengenai ketaatan dan ketidaktaatan ini dilakukan oleh

Erich Fromm, Fromm membedakan antara ketaatan heteronom ke institusi

atau pada kekuatan eksternal terhadap subjek, yang berarti penyerahan dan

pelepasan otonomi sendiri, dan ketaatan otonom dengan keyakinan sendiri.

Hal yang membedakan terkait dengan hal tersebut adalah mengenai

konsep hati nurani dan otoritas.

47

Tella, Maria Jose Falcon Y, The Right to Resistance to Injustice”, Cuadernos Constitutionales

de la Catedra Fadrique Furio Ceriol No 62/63, pp. 65-76. Hal. 65

31

Kata hati nurani memiliki dua modalitas: hati nurani otoriter, yaitu

suara internal otoritas kita yang harus ditaati, yang disebut Freud dengan

Super-Ego, seperti perintah dan larangan dari ayah diterima oleh anak, dan

nurani manusiawi, yaitu suara yang hadir dalam setiap manusia dan sanksi

eksternal atau imbalan yang bersifat independen.48

Berdasarkan sentimen,

setiap orang memiliki apa yang disebut manusiawi dan apa yang tidak

manusiawi, dari apa yang bermanfaat bagi kehidupan dan apa yang terjadi

terhadap kehidupan. Otoriter nurani super ego mengandaikan ketaatan

kepada kekuatan di luar diri kita, meskipun kekuatan ini telah

diinternalisasi. Dalam perlawanan terhadap ketidakadilan, kita akan

berhadapan dengan memperhatikan hati nurani kemanusiaan yang disebut

hati nurani individu itu sendiri, seperti terhadap hati nurani otoriter yang

dikenakan oleh Negara.

Sekali lagi, terdapat dua kemungkinan makna dari otoritas: otoritas

irasional dan rasional.49

Sebuah contoh dari otoritas rasional adalah yang

yang terjadi antara siswa dan gurunya. Sedangkan dalam konteks otoritas

irasional adalah yang terjadi antara hamba dan tuannya. Dalam

kepentingan guru dan siswa, guru senang jika mahasiswa berhasil,

keberhasilan siswa merupakan keberhasilan guru itu sendiri. Dilain pihak,

kepentingan budak dan tuannya bersifat antagonis, dalam hal ini apa yang

bermanfaat bagi satu merugikan bagi yang lain.

48

Ibid Hal. 68 49

Ibid, Hal. 86

32

Berdasarkan contoh tersebut maka yang pertama otoritas rasional

didasarkan pada alasan, dan yang kedua otoritas irasional berdasarkan

pada paksaan atau sugesti, karena pada prinsipnya tidak akan ada orang

yang membiarkan dirinya dimanfaatkan jika ia bebas untuk mencegahnya.

Resistensi terhadap ketidakadilan muncul tepat sebagai protes ketika

otoritas rasional berubah menjadi otoritas irasional, persetujuan menjadi

kekerasan.50

Fromm mempertanyakan mengapa orang begitu rentan terhadap

ketaatan dan jadi benci ketidaktaatan?. Jawaban atas pertanyaan ini

terletak pada kenyataan bahwa ketaatan menciptakan rasa keamanan dan

perlindungan dari yang ditaati.51

Ketaatan membuat kita satu dengan

kekuatan yang kita taati dan karena itu memungkinkan kita berbagi dalam

kemahakuasaannya. Untuk tidak taat, seseorang perlu memiliki keberanian

untuk mampu bertahan sendiri dan untuk bertahan dari kemungkinan

dirinya yang salah.

Fenomena lain yang secara historis terkait dengan ketidakpatuhan

adalah perlawanan (resistensi). Terdapat beberapa tingkatan resistensi, dari

yang paling rendah ke intensitas yang lebih besar, dari non-resistensi

terhadap hak untuk menolak, kemudian resistensi pasif dan aktif. Berikut

Maria menganalisis secara terpisah masing-masing jenis resistensi :

50

Ibid, Hal. 68 51

Ibid, Hal. 68-69

33

1. Non Resistensi

Non-resistensi secara harfiah berarti tidak akan melawan, tidak

menentang, tetapi, pada saat yang sama, untuk tidak menyerah. Non-

resistensi bersatu dalam konteks budaya Kristen, dalam konteks kitab suci

disebutkan “memberikan pipi yang lain” dan dalam Khotbah di Bukit

mengenai “menolak bukan dia yang jahat”.52

Menurut filsafat ini, satu-

satunya cara mengatasi kejahatan adalah membiarkannya memadamkan

sendiri tanpa menentang perlawanan aktif untuk itu, karena resistensi

dianggap hanya membuat sesuatu menjadi lebih buruk, sedangkan ketika

kejahatan tidak menghadapi oposisi atau hambatan, tapi hanya kekuatan

bertahan, maka ia dihadapkan dengan kekuatannya sendiri.

Pembangkangan sipil hanya memiliki kesamaan karakter non-

kekerasan dengan non-resistensi. Keduanya dapat dibedakan dengan motif

masing-masing, yakni iman, dalam kasus non resistensi, dan politik, dalam

arti luas, dalam kasus pembangkangan sipil.53

Dengan metode yang

berbeda yang mereka gunakan, bersikap pasif dalam pelaksanaan

sebelumnya, ada yang aktif dan melakukan publisitas. Kemudian dengan

tujuan mereka yang berbeda, keselamatan pribadi dan penebusan diri dari

kejahatan dengan non-resistensi, dan penegasan keadilan terhadap hukum

yang tidak adil dengan pembangkangan sipil.54

52

Ibid, Hal. 69 53

Ibid, Hal. 69 54

Ibid, Hal. 69

34

2. Resistensi Pasif

Jenis resistensi historis kedua adalah perlawanan pasif. Hubungan

antara resistensi pasif dan non-resistensi sangat jauh. Yang pertama adalah

lebih dari sarana menjaga integritas spiritual itu sendiri, sarana membela

hak, yang memberikan tempat untuk gagasan keadilan. Cosi menyatakan

bahwa jika non-resistensi, atas dasar imperatif tidak melawan kejahatan,

dalam praktiknya mengambil langkah kedua dalam arah yang diinginkan

oleh penindas, perlawanan pasif bahkan menolak untuk mengambil yang

pertama.55

Sebuah contoh yang jelas tentang perlawanan pasif adalah Gerakan

Pembebasan India, dalam upayanya untuk meraih kemerdekaan dari

Kerajaan Inggris. Namun demikian, Gandhi setelah titik tertentu,

menganggap bahwa perlawanan pasif tidak memadai untuk

menggambarkan gerakan yang ia pimpin. Di Inggris, istilah “perlawanan

pasif” memiliki dua konotasi dimana Gandhi tidak mau terkait dengan

gerakan di India: pertama “perlawanan pasif” dianggap senjata yang

lemah, yang kedua, bahwa resistensi pasif tidak menolak kekerasan bukan

karena prinsip, tapi karena mereka tidak dalam posisi untuk menaklukkan

dengan kekuatan.

Karakteristik resistensi pasif ini berupa non-kooperasi dan

omission ; pemogokan dan boikot, asalkan tidak merosot menjadi

sabotase. Pasif bagaimanapun tidak bertepatan dengan kepasifan, baik

55

Ibid, Hal. 69

35

kehendak atau emosi. Adam Ballou, yang dipengaruhi Tolstoi dan melalui

dia, Gandhi mencoba untuk memadukan non-resistensi dan perlawanan

pasif bersama-sama, membangun konsep resistensi moral.

Protes keras mungkin seringkali menjadi suatu bentuk perlawanan

pasif, namun hal yang sama tidak dapat dikatakan sebagai pembangkangan

sipil, mengingat kepasifan yang diprediksi sebelumnya tapi bukan dari

pembangkangan sipil. Sedangkan mereka yang menolak secara pasif hanya

memiliki resistensi pasif itu sendiri sebagai tujuan, membuat kehendak

lawan tidak efektif, ketidaktaatan sipil lebih jauh terlihat untuk mengubah,

untuk melakukan metamorfosis situasi yang ia tentang. Perbedaan lain

antara dua fenomena tersebut adalah bahwa sementara jumlah ketidaktaan

sipil kecil, dalam perlawanan pasif sebaliknya, jumlahnya seringkali

sangat besar, contohnya adalah kampanye besar Gandhi di India.

3. Resistensi Aktif

Ciri utama yang membedakan dari resistensi pasif dan aktif atau

tanpa kekerasan, adalah tindakan langsung atau tepatnya merupakan sifat

aktifnya. Perlawanan pasif pada dasarnya omissive dan abstentionist,

sementara resistensi aktif bersifat komisif dan intervensionis. Dimana

yang sebelumnya berupaya untuk mundur dari area masalah, yang kedua

mengambil inisiatif dan langsung menuju pusat konflik. Selanjutnya,

seperti dicatat oleh Passerin D'Entrèves, dan juga bertentangan dengan

perlawanan pasif, resistensi aktif menyatakan penggunaan kekerasan, yang

36

dilakukan secara individual maupun kolektif, terorganisir, hampir

mengambil bentuk revolusioner.56

5. Masyarakat adat dan Tanah Ulayat

Masyarakat adat seringkali diidentikkan dengan masyarakat asli

(native) atau masyarakat pribumi (indigenous people). Banyak istilah lain

yang digunakan untuk menyebut kelompok masyarakat ini, misalnya first

peoples di kalangan antropolog, first nation di Amerika Serikat dan Kanada,

indigenous cultural communities di Filipina, bangsa asal dan orang asli di

Malaysia. PBB sendiri menggunakan istilah indigenous peoples sebagaimana

tertuang dalam seluruh dokumen The United Nations Declaration on the

Rights of the Indigenous Peoples.

AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) dalam Keputusan

Kongres AMAN No. 01/KMAN/1999 mendefinisikan masyarakat adat

sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun

temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai idieologi,

ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah sendiri.

Sedang Konvensi ILO 169 tahun 1989 tentang Convention Concerning

Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries mendefinisikan

masyarakat adat sebagai

“tribal peoples in independent countries whose social, cultural and

economic conditions distinguish them from other sections of the

national community, and whose status is regulated wholly or partially

by their own customs or traditions or by special laws or regulations”

56

Ibid, Hal. 70

37

Sebelum institusi modern seperti pasar dan negara hadir, masyarakat

adat telah memiliki tata kelola pengaturan diri sendiri (self governing

community), namun berangsur-angsur sejak kolonialisme, Orde Lama

Soekarno dan puncaknya di masa rejim Orde Baru Soeharto, dengan

diterbitkannya UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintah Desa dan UU. No. 5

tahun 1979 tentang Pemerintahan Daerah negara benar-benar menghancurkan

self governing community. Kedua Undang-undang ini bertujuan meninjau

dan mengganti UU. No. 19 tahun 1965 tentang Desa Praja. Keduanya tidak

hanya melakukan penyeragaman corak pemerintahan desa sesuai tipe

nasional. Selain itu, lembaga-lembaga adat yang sebelumnya berfungsi

dalam pengelolaan desa ikut tersapu bersih dengan tersingkirnya peran para

tetua adat, yang digantikan oleh pemilihan kepala desa yang tentu telah

melalui proses screening oleh negara.

Keyakinan dan kepercayaan masyarakat adat yang telah diwariskan

secara turun temurun oleh leluhurnya seringkali dianggap sebagai sesuatu

yang primitif oleh negara. Akibatnya, negara dengan faham modernisasinya

kemudian tidak mengakui kepercayaan-kepercayaan yang masih bersifat

animistik atau politeistik tersebut. Sebagai gantinya mereka kemudian

“dipaksa” untuk memilih salah satu agama resmi negara.

Salah satu ciri dari masyarakat adat adalah memiliki wilayah teritorial

sendiri yang disebut sebagai tanah ulayat. Berdasarkan Peraturan Menteri

Negara Agraria/ Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (2), pengertian

38

tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari

suatu masyarakat hukum adat tertentu.

Ciri-ciri dari kewenangan yang dimiliki oleh persekutuan hukum adat

terhadap tanah ulayat bagi Teer Haar adalah pertama, hak ulayat berlaku

kedalam, bahwa masyarakat atau anggota-anggotanya berwenang

menggunakan hak ini dengan jalan memungut hasil dari tanah beserta

binatang-binatang dan tanaman-tanaman yang terdapat di wilayah

kekuasaannya. Kedua, kewenangan yang berlaku keluar, bahwa orang hanya

boleh memungut hasil pertuanan setelah mendapat izin dari persekutuan,

orang luar tersebut harus membayar uang pengakuan dimuka dan dibelakang.

Sedangkan sifat dari hak ulayat itu sendiri adalah mempunyai hubungan yang

abadi dengan masyarakat hukum pendukungnya, yang berarti tetap ada

sepanjang tanah sebagai objeknya dan masyarakat adat sebagai subjeknya

ada.57

F. Definisi Operasional dan Definisi Konseptual

1. Definisi Konseptual

a. Kontinuitas

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimakud dengan

kontinuitas adalah kesinambungan, kelanjutan, kelangsungan, keadaan

kontinu.58

Dalam studi ini, yang dimaksud dengan kontinuitas adalah suatu

kondisi yang berlangsung secara berkesinambungan atau secara terus

57

Ter, Haar, 1999. Asas–asas dan susunan Hukum Adat, Jakarta :Pradnya Paramita, hal 72-80. 58

http://kbbi.web.id/kontinuitas diakses tanggal 20 Desember 2013.

39

menerus. Dalam hal ini adalah penguasaan tanah ulayat Kampung Naga

oleh negara yang terus berlanjut dari masa pemerintahan kolonial Belanda

hingga masa reformasi.

b. Hegemoni dan Dominasi

Berdasarkan pemaparan teori diatas, maka yang dimaksud dengan

hegemoni dalam penelitian ini adalah suatu bentuk kekuasaan yang

diperoleh melalui alat-alat penegakkan hegemoni (means of establishing

hegemonic leadership) dan alat-alat kekerasan (means of coercion)

sehingga tercapai sebuah konsensus dan legitimasi terhadap para

penguasa, dan masyarakat menerima ketidakadilan atas mereka sebagai

sebuah kewajaran dan memandang tidak perlu untuk dilakukan

perlawanan. Sedangkan jika kekuasaan tersebut hanya diperoleh

berdasarkan alat-alat kekerasan tanpa disertai adanya konsensus dari

masyarakat, maka kekuasaan tersebut sifatnya dominasi.

c. Masyarakat Adat

Yang dimaksud dengan masyarakat adat disini adalah komunitas

masyarakat yang pada umumnya mempunyai klaim terhadap suatu wilayah

teritorial tertentu yang telah diwariskan secara turun temurun, struktur

masyarakat dan sistem nilai tertentu seperti budaya, hukum, kepercayaan

(agama) dan lain sebagainya, dimana seluruh tata kehidupan mereka

seluruhnya atau sebagian diatur oleh nilai dan hukum adat tersebut.

40

d. Negara

Dari berbagai definisi tersebut diatas, dalam penelitian ini penulis

menggunakan konsepsi Negara Prof. Miriam Budiardjo dan Antonio Gramsci

yakni sebagai suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed)

oleh sejumlah pejabat, yang dengannya kelas yang berkuasa tak cuma

membenarkan dan memelihara dominasinya, tetapi memenangkan konsensus

aktif dari yang diatur dan berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan

pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol)

monopolistis terhadap kekuasaan yang sah.

e. Tanah Ulayat

Yang dimaksud dengan tanah ulayat disini adalah sebuah klaim atas

wilayah teritorial tertentu, atas sebidang tanah yang diatasnya terdapat hak

ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu yang telah diwariskan

secara turun temurun.

2. Definisi Operasional

Berdasarkan definisi konseptual diatas, maka kemudian dirumuskan

definisi operasional dari variabel-variabel tersebut sebagai berikut :

1) Berdasarkan teori Gramsci, Hegemoni berhubungan dengan dua hal,

yakni means of coercion dan means of establishing hegemonic

leadership. Sehingga untuk melihat bagaimana hegemoni bekerja

maka dilakukan pelacakan melalui :

a) Means of establishing hegemonic leadership merupakan

perangkat yang mampu membujuk masyarakat beserta

41

pranata-pranatanya untuk patuh kepada mereka yang berkuasa

melalui institusi pendidikan, agama, dan lain sebagainya.

Dalam konteks Kampung Naga akan dilacak perangkat atau

media yang bisa memberikan kepatuhan dari masyarakat

Kampung Naga kepada negara.

b) Means of coercion berhubungan dengan alat atau tindakan

kekerasan yang bersifat memaksa, atau yang bersifat law

enforcement, seperti militer, pengadilan, dan lain-lain. Dalam

studi ini akan dilihat bagaimana hubungan alat-alat tersebut

dengan masyarakat adat Kampung Naga.

2) Berdasarkan teori Laclau dan Mouffe, hegemoni bekerja melalui

wacana. Oleh karena itu, dalam studi ini juga akan dilihat wacana apa

saja yang digunakan oleh Negara untuk mempertahankan

hegemoninya.

3) Hegemoni dikatakan berhasil jika ada konsensus dari masyarakat.

Konsensus ditunjukkan dengan tidak adanya resistensi dari

masyarakat. Dengan demikian, untuk melihat bekerja atau tidaknya

hegemoni negara maka perlu dilacak bagaimana reaksi masyarakat

terhadap upaya hegemoni negara, yakni dengan mengkaji peristiwa-

peristiwa yang melibatkan masyarakat Kampung Naga dengan Negara

dan melalui wawancara mendalam dengan masyarakat dan lembaga

adat.

42

4) Dalam studi ini, yang dimaksud dengan negara sebagai sebagai suatu

daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah

pejabat merujuk pada :

a) Pemerintah Republik Indonesia mulai dari tingkat pemerintah

pusat, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, sampai Pemerintah

Kabupaten Tasikmalaya.

b) Perusahaan milik negara, yakni PT. Perhutani dan PT.

Perkebunan Nusantara.

5) Batasan untuk masyarakat adat dalam studi ini adalah masyarakat adat

Kampung Naga, yakni sebuah kelompok masyarakat adat di Desa

Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa

Barat.

6) Tanah ulayat yang menjadi fokus dalam kajian ini adalah tanah ulayat

milik masyarakat Kampung Naga.

G. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan pendekatan

studi kasus. Pendekatan studi kasus untuk penelitian ditetapkan sebagai

pendekatan yang paling berguna sebagai sebuah studi yang intensif dari satu

unit atau sejumlah kecil unit (kasus), dengan tujuan untuk memahami kelas

kasus yang lebih besar dari unit yang sama (populasi kasus).59

Kasus

beralihnya tanah ulayat masyarakat adat ke tangan negara maupun swasta

terjadi hampir di seluruh nusantara, dan sangat sulit jika harus meneliti semua

59

Gerring, John. 2007. Case Study Research Principles and Practices. New York : Cambridge

University Press

43

masyarakat adat yang ada di Indonesia, sehingga kemudian pendekatan studi

kasus dianggap sebagai metode penelitian yang paling tepat untuk kajian ini.

Studi kasus yang menjadi lokasi penelitian adalah masyarakat adat

Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa barat. Masyarakat

Kampung Naga merupakan masyarakat adat yang dikenal sebagai masyarakat

yang tetap memegang teguh adat dan tradisi, self governing community yang

kuat, dan menolak modernisasi. Permasalahan paling mendasar yang dialami

oleh masyarakat adat Kampung Naga adalah hilangnya tanah ulayat yang telah

beralih menjadi milik PT. Perhutani dan perusahaan swasta.

H. Teknik Pengumpulan Data

Dalam rangka pengumpulan data, penulis akan melakukan langkah-

langkah teknik pegumpulan data sebagai berikut :

1. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan merupakan langkah awal untuk mengetahui

dinamika sosial masyarakat Kampung Naga dan konsep-konsep untuk

mengkerangkainya. Namun, data-data pendukung tersebut merupakan data

sekunder. Data sekunder ini bisa berupa catatan, transkrip, catatan

etnografis lainnya tentang Kampung Naga, buku, media massa, laporan

penelitian, jurnal, majalah, dan sebagainya.

44

2. Wawancara

Wawancara yang dilakukan ditekankan pada wawancara yang

bersifat dialogis dan bisa bersifat formal maupun informal. Adapun

responden yang akan menjadi target dari penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1) Pemimpin Adat dan Masyarakat Adat Kampung Naga

Melalui wawancara dengan pemimpin adat dan masyarakat

Kampung Naga akan dicari informasi mengenai klaim wilayah adat

berdasarkan sejarah leluhur mereka, kehadiran pariwisata dan

bagaimana pendapat mereka dengan adanya kebijakan negara tersebut.

2) Pemerintah Daerah

Yang dimaksud dengan pemerintah daerah disini adalah dinas-

dinas terkait yang dianggap mengetahui kegiatan tersebut, diantaranya

Dinas Pariwisata dan PT. Perhutani. Melalui Dinas Pariwisata akan

ditanyakan mengenai sejak kapan kegiatan pariwisata hadir di

Kampung Naga, pengelolaannya, serta bagaimana hubungan

pemerintah dengan masyarakat adat Kampung Naga. Sedangkan

melalui PT. Perhutani akan ditanyakan mengenai pengelolaan hutan

serta hubungannya dengan masyarakat adat Kampung Naga.

3) Masyarakat luar Kampung Naga

Yang dimaksud dengan masyarakat luar Kampung Naga disini

adalah kelompok masyarakat yang mempunyai ikatan keturunan

Kampung Naga namun sudah tinggal di luar wilayah Kampung Naga.

45

Melalui mereka akan ditanyakan mengenai bagaimana pendapat

mereka dengan kehadiran pariwisata di Kampung Naga, serta klaim

wilayah adat berdasarkan sejarah leluhur mereka.

3. Etnografi

Seperti yang diungkapkan oleh Bronislaw Malinowski, tujuan

etnografi adalah “memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya

dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai

dunianya”.60

Metode ini digunakan untuk memahami bagaimana relasi

kekuasaan yang ada dalam stuktur masyarakat Kampung Naga, serta untuk

melihat bagaimana pandangan masyarakat terhadap Negara melalui

aktivitas kehidupan sehari-hari.

I. Sistematika Penulisan

Bab I terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat,

studi literatur, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab

I ini berisi landasan pemikiran tesis dan operasional kerja tesis. Bab pertama

ini bertujuan untuk memberi pemahaman kepada pembaca tentang masalah

mendasar penelitian ini, termasuk didalamnya mengapa masalah penelitian ini

penting untuk dikaji dalam konteks sekarang.

Bab II mendeskripsikan tentang profil masyarakat adat Kampung Naga

sebagai kelompok masyarakat adat dengan melihat dari sejarah, struktur sosial

dan ekonomi, struktur politik, serta bagaimana kekuasaan direproduksi oleh

lembaga adat

60

Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta : Tiara Wacana Hal. 3-4

46

Bab III menjelaskan tentang hilangnya tanah ulayat Kampung Naga,

mulai dari klaim berdasarkan sejarah leluhur, penguasaan masa penjajahan

Belanda yang berlanjut sampai masa pasca kemerdekaan.

Bab IV membahas dinamika relasi kuasa antara negara dan masyarakat

Kampung Naga dari masa pemerintahan kolonial Belanda hingga masa

reformasi

Bab V membahas bagaimana dampak dan reaksi masyarakat atas

kebijakan negara yang menguasai tanah ulayat Kampung Naga

Bab VI adalah bab terakhir yang merupakan refleksi teoritis terkait

dengan fenomena yang terjadi di masyarakat adat Kampung Naga sekaligus

kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan penelitian.