bab i pendahuluan a. latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68213/potongan/s2...2 dari...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan YP2AS (1997) terhadap
kampung-kampung adat di Pulau Jawa, ditemukan problem pokok yang
dihadapi hampir seluruh kampung adat, yakni berpindah tangannya tanah yang
menjadi wilayah adat mereka ke pihak luar. Di Pulau Jawa, sampai hari ini,
sejumlah komunitas yang setia pada aturan masing-masing leluhurnya masih
bertahan.1
Kampung Naga merupakan sebuah perkampungan di wilayah
Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat yang dikenal masih menjunjung
tinggi adat istiadat leluhurnya. Hal ini bisa dilihat dari bentuk rumah mereka
yang masih sangat tradisional dan berbagai upacara adat yang masih terus
dilaksanakan. Disamping itu, dalam masyarakat Kampung Naga juga masih
dikenal stuktur kekuasaan yang bersifat turun temurun dengan pemimpin
adatnya yang disebut dengan Kuncen.
Sebagaimana kelompok masyarakat adat lainnya, masyarakat Kampung
Naga juga memiliki klaim atas wilayah yang dianggap sebagai tanah ulayat
mereka. Berdasarkan hasil studi Komisi Pembaruan Agraria (KPA) luas
wilayah adat Kampung Naga meliputi lahan di sekitar aliran Sungai Ciwulan
1Setiawan, Usep. 2010. Kembali Ke Agraria. Yogyakarta : STPN Press
2
dari hulu (Gunung Karacak) sampai ke hilir (daerah Salawu). Secara
administratif, wilayah Naga meliputi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan
Cigalontang, Salawu, dan Cilawu; serta berada di dua kabupaten yaitu
Tasikmalaya dan Garut, Provinsi Jawa Barat. Luas lahan masyarakat adat Naga
(yang sesungguhnya) diperkirakan sekitar 16 ribu hektar. Tiga garis pinggir
dari wilayah adat ini meliputi sekitar daerah Salawu, Cilawu, Cigalontang.
Kampung ini juga dikelilingi tiga gunung, yakni Gunung Cikuray, Gunung
Karacak, dan Gunung Galungggung.2
Namun demikian, sebagian besar tanah ulayat masyarakat Kampung
Naga kini sudah beralih kepemilikan diantaranya menjadi milik PT. Perhutani
dan menjadikannya sebagai hutan pinus, Departemen Kehutanan serta milik
swasta yang mengelola perkebunan teh. Sedangkan Kampung Naga sendiri
kemudian dijadikan sebagai salah satu objek wisata andalan di Kabupaten
Tasikmalaya.
Permasalahan hilangnya tanah ulayat Kampung Naga ini merupakan
sebuah permasalahan yang cukup mendasar yang sudah terjadi sejak zaman
kolonial Belanda. Menurut cerita leluhur Kampung Naga, masyarakat
Kampung Naga memiliki lahan garapan dari batas sungai Ciwulan sampai
sungai Cipaingeun yang digunakan untuk ladang, sawah dan perkampungan
masyarakat Kampung Naga yang keluar dari Kampung Naga. 3 Kini, wilayah
yang diakui sebagai wilayah adat Kampung Naga hanya tinggal seluas 1,5
2Setiawan, Usep. 2010. Kembali Ke Agraria. Yogyakarta : STPN Press Hal. 81-82
3Ibid, Hal. 82
3
hektar yang digunakan sebagai lahan pemukiman masyarakat adat Kampung
Naga.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, beralihnya kepemilikan
tanah ulayat terjadi hampir di seluruh masyarakat adat di Indonesia.
Berdasarkan sejarah, sebelum kehadiran pemerintahan Belanda di Indonesia,
wilayah yang kini dikenal sebagai Negara Indonesia merupakan wilayah yang
terdiri dari berbagai kerajaan dan komunitas adat. Namun setelah kehadiran
penjajahan Belanda, kerajaan-kerajaan tersebut mulai ditaklukkan dan tanah-
tanah mereka mulai diambil alih untuk kepentingan Belanda. Hal ini tidak
berubah ketika jepang kemudian mengambil alih penjajahan atas wilayah
Indonesia dari Belanda. Demikian halnya setelah Indonesia mengalami vacuum
of power pasca Perang Dunia ke-2, ketika Ir. Soekarno dan Moh. Hatta
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, wilayah yang sebelumnya
dikuasai oleh penjajah kemudian disatukan kedalam sebuah negara kesatuan
yakni Republik Indonesia. Bergantinya rezim pemerintahan sampai dengan
saat ini sesungguhnya hanya melanjutkan kekuasaan dari Belanda, terutama
terkait dengan penguasaan tanah. Tanah-tanah yang diambil alih pada masa
penjajahan Belanda tidak dikembalikan kepada masyarakat, melainkan tetap
dikuasai oleh negara.
Berdasarkan fakta sejarah tersebut, penulis kemudian melihat bahwa
terjadi kontinuitas penguasaan tanah dari masa pemerintahan kolonial Belanda
hingga masa pemerintahan sekarang. Sehingga kemudian penulis tertarik untuk
melihat mengapa terjadi kontinuitas penguasaan tanah ulayat oleh negara.
4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan diatas maka dirumuskan permasalahan yakni :
“Mengapa terjadi kontinuitas penguasaan tanah ulayat Kampung Naga oleh
Negara?”
Adapun turunan pertanyaannya sebagai berikut :
1. Bagaimana relasi kuasa yang terjadi antara negara dan masyarakat
Kampung Naga dari masa pemerintahan kolonial Belanda hingga masa
reformasi?
2. Bagaimana dampak dan reaksi masyarakat terhadap kebijakan negara
terkait dengan tanah ulayat Kampung Naga?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengungkap dinamika relasi kuasa antara negara dan masyarakat
adat Kampung Naga yang mengakibatkan terjadinya kontinuitas
penguasaan tanah ulayat Kampung Naga.
2. Untuk melacak alat-alat yang digunakan oleh negara untuk
mempertahankan kekuasaannya.
3. Untuk mengungkap dampak dari hilangnya tanah ulayat masyarakat
Kampung Naga
4. Untuk melihat reaksi masyarakat terhadap kebijakan negara terkait
tanah ulayat Kampung Naga
5
D. Literatur Review
Masyarakat adat termasuk kelompok marginal yang secara sendiri-
sendiri tidak mempunyai bargaining position berhadapan dengan kekuatan-
kekuatan yang lebih besar, baik terhadap Negara maupun terhadap perusahaan-
perusahaan besar yang mempunyai kepentingan atas sumber daya alam yang
ada pada comunal lands yang secara historis mereka miliki. Walaupun secara
historis terdapat niat para pendiri Negara untuk menghormati hak masyarakat
adat serta hak tradisionalnya, seperti tercatum pada penjelasan pasal 18 UUD
1945, namun rangkaian peraturan perundang-undangan nasional secara
sistematik, struktural dan berkelanjutan menegasikan niat itu, sengaja atau
tidak sengaja telah memarginalkan masyarakat hukum adat tersebut.4
Selama ini, studi mengenai hutan Indonesia lebih banyak fokus pada
hutan diluar pulau Jawa (Sumatra, Kalimantan, dan Papua) dimana 97% hutan
Indonesia berada di daerah tersebut. Sebaliknya, Pulau Jawa dikenal sebagai
pulau penghasil beras. Bahkan satu per empat tanah Jawa secara hukum
diklasifikasikan sebagai hutan negara, dan Jawa merupakan tempat pertama
diterapkannya manajemen hutan di Indonesia.5 Pulau Jawa merupakan tempat
dimana pemerintah sebelum kolonial, pemerintah kolonial, serta pemerintahan
pasca kolonial memberikan dampak yang sangat membekas pada hutan serta
komunitas berbasis hutan di Jawa.
Dari hasil kajian yang dilakukan YP2AS (1997) terhadap kampung-
kampung adat di Pulau Jawa, ditemukan problem pokok yang dihadapi hampir
4 Ibid
55 Peluso, Nancy Lee, 1992, “Rich Forests Poor People : Resource Control and Resistance in
Java”, California : University of California Press, Hal. 5
6
seluruh kampung adat, yakni berpindah tangannya tanah yang menjadi wilayah
adat mereka ke pihak luar. 6
Di Pulau Jawa, sampai hari ini, sejumlah
komunitas yang setia pada aturan masing-masing leluhurnya masih bertahan.
Beberapa komunitas masyarakat adat itu, Kasepuhan Banten Kidul,Ciptarasa
(Sukabumi), Kampung Dukuh (Garut), Kampung Naga (Tasikmalaya),
Kampung Kuta (Ciamis) dan Baduy (Lebak). Sedangkan di Jateng ada Orang
Samin (Sleman, Yogyakarta), dan diJatim dikenal Orang Tengger (Malang dan
Purbalingga) serta OrangOsing (sekitar tapal kuda, Banyuwangi).
Dengan mengambil sampel kasus hilangnya wilayah adat OrangNaga,
sebenarnya kita sedang bercermin pada kenyataan yang lebih besar. Bahwa
dewasa ini memang tengah terjadi perubahan sosial dalam masyarakat
Indonesia. Titik penting yang mendorong terjadinya perubahan itu adalah
hilangnya akses dan kontrol atas sumber-sumber agraria yang secara tradisi
mereka kuasai dan dikelola secara arif.
Berbicara mengenai hilangnya sebagian besar tanah ulayat masyarakat
adat di Indonesia yang beralih menjadi milik negara ataupun beralih ke pihak
swasta atas kebijakan negara, maka hal ini menunjukkan kekuasaan negara
yang begitu besar. Berdasarkan sejarah, terdapat berbagai macam definisi
negara yang berbeda-beda dari masa ke masa.
Pada zaman Yunani kuno, Aristoteles telah merumuskan pengertian
mengenai Negara dalam buku yang berjudul Politica. Namun, pada masa itu
polis (negara dalam pengertian sekarang) memiliki wilayah yang kecil, berbeda
6Setiawan, Usep. 2010. Kembali Ke Agraria. Yogyakarta : STPN Press
7
dengan negara pada saat ini yang telah memiliki wilayah yang cukup luas
dengan jumlah penduduk yang cukup besar. Oleh karena itu Aristoteles
merumuskan negara sebagai negara hukum yang didalamnya terdapat sejumlah
warga negara yang ikut serta dalam permusyawaratan negara (ecclesia) . Yang
dimaksud negara hukum disini adalah negara yang berdiri diatas hukum, yang
menjamin keadilan kepada warga negaranya.
Selanjutnya pada abad Renaissance, Machiavelli (1469 – 1527) dalam
bukunya Il Principle mengartikan negara sebagai negara kekuasaan.
Menurutnya, untuk mencapai tujuannya negara harus memiliki alat-alat
kekuasaan fisik. Kekuasaan ini yang dimaksud oleh Machiavelli yang
memusatkan segala pada raja-raja bagaimana sebaiknya ia memerintah.
Ajaran Machiavelli kemudian mendapatkan tantangan, terutama karena
ajarannya membuat raja-raja dapat bertindak sewenang-wenang. Pada Abad
ke-17 kemudian muncul ajaran-ajaran dari Thomas Hobbes, Jhon Locke dan
Rousseau yang mengartikan negara sebagai badan atau organisasi hasil
daripada perjanjian masyarakat. Rousseau menambahkan bahwa yang
berdaulat didalam negara adalah rakyat sendiri, dan jika terdapat penguasa
dalam negara itu maka hanya merupakan mandataris daripada rakyat, jadi
ketika hak-hak itu diserahkan kepada penguasa, maka hal tersebut
dimaksudkan agar penguasa mempunyai wewenang untuk menjalankan
tugasnya melindungi hak-hak rakyat.
Ketika sistem ekonomi liberal membuat kaum borjuis mempunyai
kedudukan penting dalam Negara, maka kemudian muncul ajaran-ajaran baru
8
mengenai negara dari kelompok sosialis seperti Marx dan Lenin. Namun Marx
tidak mengembangkan teori tentang Negara secara khusus, pandangannnya
tentang Negara banyak dipengaruhi oleh kritikannya terhadap konsep Negara
yang dikemukakan oleh Hegel melalui proses dialektikanya. Marx menolak
pandangan bahwa Negara merupakan kesepakatan dari seluruh masyarakat
seperti yang diungkapkan oleh Hegel, Rousseau, Locke dan Hobbes. Marx
menawarkan formulasinya tentang masyarakat kapitalis sebagai suatu
masyarakat kelas yang didominasi oleh borjuis, karenanya Negara merupakan
ekspresi politik dari kelas dominan itu.
Pada perkembangan selanjutnya kemudian muncul pemikiran Gramsci
yang berakar pada pemikiran Marx dan Lenin, namun gagasan Marx tentang
Negara tidak pernah dikembangkan secara penuh. Walaupun dia pernah
merencanakan membuat satu volume dari Das Kapital tentang Negara, namun
tidak pernah terwujud sampai dengan ajalnya.7 Gramsci kemudian
menawarkan pandangan alternatif Marxis tentang Negara, yaitu suatu kesatuan
kompleks dari kegiatan teori dan praktek, yang dengannya kelas yang berkuasa
tak cuma membenarkan dan memelihara dominasinya, tetapi memenangkan
konsensus aktif dari yang diatur. 8
Negara, sebagai suatu aparat koersif,
mengontrol hukum dan administrasi “keadilan” dalam wilayah tertentu;
lembaga hukum tersebut membantu membentuk “suatu masyarakat” yang
tunduk terhadapnya.
7Nezar Patria dan Andi Arief, 1999. Antonio Gramsci : Negara dan Hegemoni. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar Offset. Hal. 8 8Quintin Hoare dan Geoffrey Nowell Smith Op.Cit
9
Negara lahir dari pertentangan kelas antara borjuis dan proletar dalam
struktur masyarakat yang tidak terdamaikan, negara juga mengontrol
perjuangan sosial dari kepentingan ekonomi yang berbeda, dimana kontrol
tersebut dipegang oleh kelas yang kuat secara ekonomi dalam masyarakat.9
Dengan demikian negara juga menjadi alat represif bagi kelas yang berkuasa.
Pada perkembangan selanjutnya muncul pemikiran-pemikiran baru
mengenai negara. Menurut Max Weber, negara adalah satu-satunya lembaga
yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap
warganya.10
Selanjutnya weber menyebutkan bahwa “a state is a human
community that (succesfully) claims the monopoly of the legitimate use of
physical force within a given territory”11
(Negara adalah suatu masyarakat
yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah
dalam suatu wilayah). Hal ini hampir sama dengan yang disampaikan Harold J.
Laski bahwa negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena
mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung
daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu.12
Dalam perspektif hukum, menurut ajaran Hans Kelsen, negara pada
hakekatnya adalaha merupakan zwangsordnung, suatu tertib hukum atau tertib
masyarakat yang mempunyai sifat memaksa, yang menimbulkan hak
memerintah dan kewajiban tunduk.13
Sedangkan menurut H.J Laski, negara
9 Ibid hal.18
10 Budiman, Arief. 1996, Teori Negara, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, Hal. 6
11 H.H Gerth and C. Wright Mills (Eds), 1947, From Max Weber : Essay In Sociology, London :
Lowe&Brydone Printers.Ltd, Hal. 78 12
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 1995, Ilmu Negara, Jakarta : Gaya Media Pratama 13
Soehino, 1993, lmu Negara, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, Hal. 191
10
sebagai sistem peraturan hukum, adalah suatu paralelogram sementara dari
kekuatan-kekuatan yang berubah-ubah bentuknya menurut perubahan
kekuatannya. 14
Berkaitan dengan aturan hukum, dari masa pemerintahan kolonial
Belanda sampai dengan masa reformasi, terdapat beberapa aturan agraria yang
digunakan di Indonesia. Pada masa pemerintahan Belanda terdapat Undang
Undang Agraria (Agrarische Wet Staatsblad) 1870 No. 55, Keputusan Agraria
(Agrarisch Besluit) yang dijabarkan dalam Staatsblad 1870 No. 118, dan
produk-produk selanjutnya berisi perubahan berbagai pasal dari Staatsblad
1870 No. 118 tersebut.15
Selain itu juga ada peraturan-peraturan Agraria
(Agrarische Reglementen) yang diterbitkan untuk mengatur hak milik pribumi
di wilayah-wilayah luar Jawa dan Madura.16
Pada masa Orde Lama dibawah pemerintahan Presiden Soekarno,
kemudian lahir peraturan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 yang dikenal
dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria. Pada Masa Orde Baru
dibawah pemeritahan Presiden Soeharto dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam
Negeri No.2 Tahun 1976. Peraturan ini memberikan pengaturan keuntungan
yang lebih besar bagi pemilik modal dibandingkan pemilik tanah, khususnya
dalam hal bentuk dan besar ganti kerugian.17
Pada masa pemerintahan ini juga
lahir Hak Penguasaan Hutan (HPH) yang secara ekologis, sosiologis dan
kultural merugikan kepentingan masyarakat setempat, khususnya masyarakat
14
Ibid, Hal. 141 15
Van Vollenhoven, Op.Cit. Hal. 167 16
Ibid, Hal. 168 17
Kuswanto, Heru. 2011, Modul Hukum Agraria, Fakultas Hukum : Universitas Narotama
Surabaya, Hal. 7
11
adat sebagai pemegang hak tanah ulayat.18
Permendagri diatas kemudian
diubah dalam Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993. Jatuhnya rezim Orde
Baru kemudian menjadi menjadi momentum untuk melakukan tinjauan kritis
terhadap peraturan agraria yang dianggap telah menyimpang dan dijadikan
instrumen kekuasaan. Tuntutan reformasi agraria ini kemudian disahkan dalam
Ketetapan MPR RI No. IX Tahun 2001 tentang pembaharuan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam.
Penelitian mengenai masyarakat adat dengan negara terkait dengan
tanah ulayat bukanlah sesuatu hal yang baru, sudah banyak sekali penelitian
yang dilakukan diberbagai masyarakat adat yang ada di Indonesia. Oleh karena
itu sangat perlu untuk melakukan studi literatur terhadap penelitian-penelitian
yang sudah ada untuk melihat perbedaan dan signifikansi dari penelitian ini.
Pertama, studi yang dilakukan oleh Egie Pratama Mulya (2011),
dengan judul “Konflik Tanah Ulayat (Studi Kasus Konflik Tanah Ulayat
Masyarakat Adat Pasukuan Tanjung Manggopoh Dengan PT. Mutiara Agam,
Kabupaten Agam)”. Dalam penelitian ini penulis lebih menekankan pada studi
konflik yakni untuk memahami kelemahan-kelemahan pendekatan resolusi
konflik dari pemerintah daerah.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa kegagalan resolusi konflik
diantaranya adalah keterbatasan kemampuan pemda dalam mekanisme
pengelolaan sengketa lahan ulayat, masyarakat berpijak pada hukum adat
sementara perusahaan pada hukum formal. Dilain pihak, pemda tidak
18
Ibid, Hal. 6-7
12
mempunyai perangkat hukum yang jelas untuk melegitimasi hak-hak ulayat
masyarakat adat, sehingga perbedaan kedua hukum ini menimbulkan
pertentangan yang sulit ditemukan kesepakatan sebagai pijakan konsensus.
Selain itu juga dikarenakan banyaknya aktor yang membawa kepentingan
sosial, ekonomi, dan politik dalam konflik, sehingga tidak ditemukan
kesepahaman isu sebagai pijakan kesepakatan.
Kedua, studi yang dilakukan oleh Abdul Putra Ginda Hasibuan (2011),
dengan judul “Gerakan Perlawanan Masyarakat Lokal : (Studi Tentang
Perlawanan Masyarakat Bangun Purba Dalam Mempertahankan Hak Ulayat Di
Kecamatan Bangun Purba kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau)”. Dalam
penelitian ini penulis lebih menekankan pada gerakan perlawanan yang
tujuannya untuk mengetahui latar belakang, bentuk dan pola gerakan
perlawanan masyarakat dalam mempertahankan hak ulayat.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa terdapat proses
pengkapitalisasian tanah, yakni terdapat pengalihan penguasaan tanah terhadap
para pemilik modal dan diduga adanya kolaborasi antara penguasa, pengusaha
dan oknum tokoh adat sehingga berimplikasi pada dua fase perlawanan yang
dilakukan. Pertama, perlawanan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi
atau perlawanan sehari-hari (everyday forms of resistance) dan kedua
perlawanan secara terbuka (fase pelawanan kedua) yakni dengan adanya NGO
yang berfungsi sebagai mediasi konflik juga, namun disisi lain keberadaan
NGO ini juga memperluas jaringan masyarakat dalam melakukan perlawanan.
13
Konflik ini muncul dari faktor internal yakni kekecewaan masyarakat terhadap
tokoh adat yang diduga bermain mata dengan pengusaha.
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Josly (2011) dengan judul
”Konflik Masyarakat Adat Krayan Dan Taman Nasional Kayan Mentarang”.
Dalam penelitian ini penulis lebih menekankan pada pelacakan bagaimana
konflik terjadi, faktor penyebab serta cara penyelesaian konflik tersebut.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa konflik ini merupakan konflik
yang sudah lama ada sejak Orde Baru dan pada masa itu masyarakat tidak
dibenarkan melakukan protes maupun melawan kebijakan. Konflik sulit untuk
diselesaikan karena masyarakat mendapat pengakuan hak ulayat sehingga
terjadi tumpang tindih status hukum kepemilikan kaswasan tersebut. Resolusi
konflik yang bersifat persuasif kurang membuahkan hasil sehingga kemudian
dilakukan sinergisasi di berbagai sektor melalui konsultasi publik untuk
mencapai kesepahaman yang sama.
Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Suryaningsih (2010) dengan
judul “Konflik Pengelolaan Tambang Batu Bara di kawasan Hak Ulayat Nagari
Sijantang Kota Sawahlunto, Sumatera Barat. Dalam penelitian ini penulis lebih
menekankan pada upaya analisa penyelesaian akar konflik dalam pengelolaan
tambang batu bara. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa konflik
pengelolaan batu bara yang terjadi di nagari sijantang terus bertransformasi
karena upaya yang dilakukan pemerintah tidah menyentuh akar permasalahan.
Upaya-upaya yang dilakukan hanya menyelesaikan permukaan konflik saja,
yakni dengan memberikan bantuan khusu dan tindakan represif
14
Dari keempat penelitian yang sudah ada tersebut penulis melihat bahwa
sebagian besar dari studi mengenai konflik Negara dan masyarakat adat hampir
semuanya menekankan pada studi konflik, gerakan perlawanan dan kebijakan
publik. Penulis belum menemukan penelitian yang melakukan pelacakan dari
sisi historis yang melihat relasi Negara dan masyarakat adat untuk melacak
dominasi dan hegemoni negara dalam melakukan penguasaan terhadap
masyarakat adat yang pada akhirnya menimbulkan resistensi dan berakhir
dengan konflik atau bahkan tidak mendapatkan perlawanan dari masyarakat.
Oleh karena itu, penulis menganggap studi ini perlu dilakukan sebagai sebuah
alternatif analisis baru dalam melakukan kajian relasi Negara dan masyarakat
adat serta untuk mengungkap pola serta alat penegakan hegemoni yang dimiliki
oleh negara.
E. Kerangka Teori
Untuk mengungkap mengapa terjadi kontinuitas penguasaan tanah
ulayat oleh negara, penulis akan menggunakan berbagai pendekatan konsep
dan teori. Studi ini menekankan pada relasi kuasa yang terjadi diantara negara
dan masyarakat adat, serta melihat bagaimana reaksi masyarakat adat atas
kebijakan negara yang kemudian mengakibatkan terjadinya kontinuitas
penguasaan tanah ulayat Kampung Naga oleh Negara.
1. Negara
Dalam kehidupan sehari-hari, negara adalah sebuah realitas politik
yang nyaris kita terima sebagai sesuatu yang given. Terdapat banyak
definisi mengenai Negara, dan definisi tersebut terus berkembang seiring
15
perubahan zaman. Dalam teori negara modern, Max Weber menyatakan
bahwa “a state is a human community that (succesfully) claims the
monopoly of the legitimate use of physical force within a given territory”19
(negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam
penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah).
Prof. Miriam Budiardjo mendefinisikan negara sebagai suatu daerah
teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan
yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan
perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis
terhadap kekuasaan yang sah.20
Sedangkan Harold J. Laski menyebutkan
bahwa negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena
mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih
agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari
masyarakat itu.
Berdasarkan hal tersebut, maka kita bisa melihat bahwa negara
memilki kekuasaan yang begitu besar dan mempunyai aturan yang bersifat
memaksa serta mengikat seluruh masyararakatnya. Miriam Budiardjo
mengartikan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok
manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau orang lain
sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan
19
H.H Gerth and C. Wright Mills (Eds), 1947, From Max Weber : Essay In Sociology, London :
Lowe&Brydone Printers.Ltd, Hal. 78 20
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, Hal. 49
16
keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.21
Sementara Mac Iver merumuskan kekuasaan sebagai “the capacity to
control the behavior of others either directly by fiat or inderictly by the
manipulation of available means”22
yang artinya kemampuan untuk
mengendalikan tingkah laku baik secara langsung melalui perintah atau
secara tidak langsung melalui manipulasi dengan menggunakan berbagai
alat dan cara yang tersedia.
Adapun yang menjadi unsur-unsur dari negara adalah sebagai
berikut :23
1. Wilayah
2. Rakyat
3. Pemerintahan yang diakui
Berkaitan dengan pemerintah sebagai salah satu unsur negara, maka
negara mempunyai sifat yang lebih kekal baik mengenai bentuk maupun
susunannya, sedangkan pemerintah bisa berubah-ubah. Seperti halnya
yang terjadi di Indonesia yang telah mengalami beberapa kali perubahan
periode pemerintahan, yakni masa pemerintahan kolonial Belanda, Orde
Lama, Orde Baru serta era reformasi. Perubahan politik disebabkan karena
perubahan tujuan politik daripada negara, karena pemerintah pada
hakekatnya merupakan suatu alat untuk mengejar tujuan itu.24
21
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 1995, Ilmu Negara, Jakarta : Gaya Media Pratama, Hal.
111 22
Ibid, Hal. 112 23
Ibid, Hal. 101 24
Ibid, Hal. 108
17
2. Hegemoni Negara
Untuk mengetahui mengapa terjadi kontinuitas penguasaan tanah
ulayat oleh negara, dalam studi ini akan dilacak melalui relasi kuasa yang
terjadi diantara negara dan masyarakat Kampung Naga. Teori hegemoni
dan dominasi digunakan untuk menganalisa karakteristik relasi kuasa yang
terjadi diantara negara dan masyarakat pada masa pemerintahan kolonial
Belanda, Orde Lama, Orde Baru dan masa reformasi. Dengan mengetahui
relasi kuasa tersebut dapat dilihat bagaimana negara menggunakan alat-
alat kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaannya atas masyarakat
adat.
Hegemoni berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu „eugemonia‟,
Dalam Encyclopedia Britanica dijelaskan bahwa dalam prakteknya di
Yunani, hegemoni diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang
diklaim oleh negara-negara kota (polis atau city states) secara individual,
misalnya yang dilakukan oleh negara kota Athena dan Sparta, terhadap
negara-negara lain yang sejajar.
Gagasan tentang hegemoni pertama kali diperkenalkan pada 1885
oleh para marxis Rusia, terutama oleh Plekhanov pada 1883-1984. Istilah
tersebut menunjukkan kepemimpinan hegemoni yang harus dibentuk oleh
kelompok proletar, dan wakil-wakil politiknya dalam suatu aliansi dengan
kelompok-kelompok lain, termasuk beberapa kritikus borjuis, petani dan
intelektual yang berusaha mengakhiri negara polisi tsaris.
18
Menurut Gramsci hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan
yang didapat melalui mekanisme konsensus ketimbang melalui penindasan
terhadap kelas sosial lainnya. Seperti yang ditulis oleh Benedetto Fontana
bahwa “hegemony is defined by Gramsci as intellectual and moral
leadership (direzione) whose principal constituting elements are consent
and persuasion”. 25
Selanjutnya juga disebutan bahwa kemudian hegemoni dipahami
sebagai alat dari kelas dominan untuk membangun sistem persetujuan
yang permanen.
“hegemony is thus conceived as the vehicle whereby the
dominant social groups establish a system of “permanent
consent” that legitimates a prevailing social order by
encompassing a complex network of mutually reinforcing and
interwoven ideas affirmed and articulated by intellectuals.” 26
Berdasarkan teori Gramsci, Hegemoni berhubungan dengan dua
hal, yakni means of coercion dan means of establishing hegemonic
leadership. Means of coercion berhubungan dengan alat atau tindakan
kekerasan yang bersifat memaksa, atau yang bersifat law enforcement.
Sedangkan means of establishing hegemonic leadership merupakan
perangkat yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata-pranatanya
untuk patuh kepada mereka yang berkuasa melalui institusi pendidikan,
agama, dan lain sebagainya.
Jika negara hanya menggunakan means of coercion saja, maka
kemudian hanya akan menghasilkan dominasi. Dilain pihak negara tidak
25
Fontana, Benedetto. 1993. On The Relation Between Gramsci and Machiavelli. Minnesota :
University of Minnesota press. Hal. 140 26
Ibid, Hal. 141
19
bisa terus melakukan tindakan pemaksaan, sehingga kemudian untuk
mengabsahkan kekuasaannya negara menggunakan means of establishing
hegemonic leadership. Jika hegemoni terus tercapai, negara tidak perlu
terus menerus melakukan tindakan kekerasan, karena masyarakat sudah
mulai menerima atau tidak lagi melihat ketimpangan yang merugikan
mereka. Atau juga mereka melihat ketimpangan sebagai sesuatu yang
wajar, alamiah sehingga tidak perlu lagi diperlukan perlawanan.
Dalam konsep hegemoni dan negaranya Gramsci juga dipengaruhi
oleh pemikiran Machiavelli, yakni mengenai force dan consent.
The dual nature of Machiavelli's centaur represents the two aspects or
"moments" of politics: force and consent, dominio and direzione. This
double nature of power leads Grarnsci to redefine and to broaden the
typically Marxist and Leninist theory of the state.27
Dari pemikiran tersebut kemudian Gramsci berpendapat bahwa
negara hanya bisa dipahami jika kelas dominan dianalisa dalam seluruh
aspeknya, sebagai kekuatan (force) ditambah persetujuan (consent), dan
jika negara tidak lagi dilihat sebagai alat kekuatan dari sebuah kelas
(seperti yang dikembangkan Marx, Engels dan Lenin) tapi sebagai semua
jenis kegiatan dalam seluruh jangkauan tempat dimana hubungan produksi
sosial mampu direproduksi.28
Berbicara mengenai consent (konsensus), secara spesifik Gramsci
tidak melihat tipe dan macam konsensus apa yang secara determinan
27
Ibid, Hal. 143 28
Sassoon, 1978 dikutip oleh Nezar Patria dan Andi Arief 1999. Antonio Gramsci : Negara dan
Hegemoni. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
20
menentukan situasi hegemonis. Joseph Femia29
(dikutip oleh Nezar Patria
dan Andi Arief) memaparkan setidaknya ada empat model konsensus yang
ada dalam perjalanan sejarah yaitu: Pertama, dalam sejarah Romawi kuno.
Disini pusat kekuasaan ada di tangan kaisar, sehingga “konsensus” disini
terletak ditangan kaisar. Kedua, dalam sejarah pra modern, pandangan
tentang konsensus disini tampil sejalan dengan konsepsi masyarakat
organik yang tampil dengan paham bahwa setiap orang mempunyai status
dan fungsi yang ditentukan dalam hierarki alamiah (kodrat). Ketiga, dalam
masyarakat kapitalis lanjut secara filosofis dan politik tampil teori-teori
hukum alam dan kontrak sosial. Konsensus dipandang sebagai tindakan
yang dikehendaki atau sekuarang-kurangnya sukarela secara individual.
Keempat, dalam pemikiran politik dewasa ini. Disini ada perubahan
pengertian konsensus dari pengertian liberal sebelumnya dan
mengungkapkan tuntutan baru. Warga negara secara individual menuntut
keterlibatan secara langsung ataupun tidak langsung dalam masyarakat
politik yang diorganisasikan dan ditentukan. Karena itu dapat dikatakan
bahwa konsep ini mengisi arti pokok yang tidak ada dalam pemikiran
mengenai kontrak sosial. Konsensus dipandang sebagai kekhususan sifat
dari sistem lembaga-lembaga demokratis yang familiar. Dalam hal ini
Negara atau pemerintah mendapat konsensus dari masyarakat melalui
mekanisme pemilihan umum dan berbagai teknis demokrasi lainnya.30
29
Joseph Femia (1981), dalam buku “Gramsci‟s Political Thought. Hegemony, Consciousness and
Revolutionary Process” 30
Nezar Patria dan Andi Arief, Op.Cit. Hal. 120
21
Praktek hegemoni negara menurut Gramsci adalah sebagai beikut :
“Hegemonic practices have a twofold end : first they aim at the
constitution and consolidation of historical bloc. Second they seek the
stabilisation of society around a project that not only expresses the
fundamental interests of the dominant social group /(or groups), but also
takes into account the interests of some of the subordinate groups.” 31
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat kita simpulkan bahwa praktek
hegemoni, salah satu tujuan akhirnya adalah untuk mencari stabilitas
dalam masyarakat terkait sebuah kepentingan tertentu. Sehingga kemudian
dalam kaitannya dengan Masyarakat Kampung Naga, maka praktek
hegemoni yang dilakukan bertujuan untuk menciptakan stabilitas dalam
masyarakat tersebut.
Perry Anderson mengklasifikasi hegemoni kedalam tiga model.
Model pertama, hegemoni Gramsci adalah menyangkut kebudayaan dan
kepemimpinan moral yang dilaksanakan dalam masyarakat sipil. Dalam
model ini negara menempatkan kekuasaan koersi dalam bentuk polisi dan
angkatan bersenjata; secara ekonomi negara juga mengatur disiplin kerja
serta kontrol moneter.
Model kedua, hegemoni digerakkan dalam negara sebagaimana
halnya digerakkan dalam masyarakat sipil. Pada titik ini ia melihat
pentingnya peran pendidikan dan lembaga-lembaga hukum dalam
menjalankan hegemoni.
31
Mark McNally and John Schwarzmantel (Eds). 2009. Gramsci and Global Politics. New
York : Routledge
22
Model ketiga, menurut anderson perbedaan antara negara dan
masyarakat sipil dihilangkan secara bersamaan. Disini Gramsci
mendefinisikan negara sebagai political society ditambah civil society.
Model ketiga ini kemudian disebut sebagai negara integral yang memiliki
dua aspek, yakni aspek alat-alat kekerasan (means of coercion) dan alat
penegakkan kepemilikan hegemonis (means of establishing hegemonic
leadership) seperti pendidikan, agama, media, penerbitan dan lain-lain.
Dalam konsep superstruktur, Gramsci membagi superstruktur
menjadi dua tingkatan, “masyarakat sipil” dan “masyarakat politik” atau
“Negara”.Satu tingkatan yang biasa disebut “masyarakat sipil”, yakni
kumpulan organisme yang lazim disebut “privat” dan “masyarakat politik”
atau “Negara”. Kedua tingkatan ini bersesuaian disatu pihak dengan fungsi
“hegemoni”, yang dilaksanakan kelompok dominan diseluruh masyarakat,
dan dipihak lain, dengan “dominasi langsung” yang diekspresikan melalui
negara dan pemerintah “yuridis”.32
Dalam model hegemoni Gramsci yang dikutip oleh Perry
Anderson, dapat kita lihat bahwa dalam model pertama Gramsci
melakukan counterposses hegemoni terhadap political society atau negara,
sementara dalam model kedua negara itu sendiri menjadi aparat hegemoni.
Sedangkan dalam model ketiga perbedaan diantara civil society dan
political society dihilangkan secara bersama-sama. Persetujuan dan
32
Quintin Hoare dan Geoffrey Nowell Smith (Eds), Op.Cit
23
paksaan menjadi koekstensif dengan negara. Gramsci menulis “negara
(dalam pengertian negara integral) adalah kediktatoran + hegemoni.33
Negara integral merupakan hasil perpaduan antara sumber koersi
dalam masyarakat dan tempat kepemimpinan hegemonik. Negara integral
merupakan hegemoni yang dilapisi dengan selubung berupa kekuasaan
koersi hegemoni, sekalipun bekerja ditingkat kesadaran namun dia selalu
didampingi oleh langkah koersi.34
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
negara integral memiliki dua aspek, yakni alat-alat kekerasan dan alat
penegakan kepemimpinan hegemonis seperti pendidikan, agama, media,
penerbitan dan lain-lain.
Alat kekerasan terdiri dari alat-alat paksa dan represi negara,
sementara alat pemilikan kepemimpinan hegemonis merujuk pada institusi
dalam formasi sosial yang bukan bagian dalam proses produksi ekonomi
material juga bukan menjadi bagian dari organisasi negara.35
Organisasi
dalam wilayah kepemimpinan hegemonis ini bekerja dan hidup diluar
wilayah kekuatan itu, contohnya adalah organisasi komunikasi, olahraga,
perkumpulan pemuda dan lain-lain.
Konsep hegemoni merupakan gagasan yang sentral dan original
dalam filsafat dan teori sosial Gramsci. Konsep hegemoni Gramsci ini
kemudian mengilhami pemikiran-pemikiran di masa selanjutnya, seperti
dalam karya Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe yang merupakan
penganut pos marxisme. Meskipun berpijak pada teori hegemoni Gramsci,
33
Perry Anderson, Op.Cit 34
Nezar Patria dan Andi Arief, Op. Cit. 35
Ibid
24
Laclau dan Mouffe memiliki perbedaan dengan pemikiran Gramsci dalam
melakukan analisa terhadap kepolitikan, dimana Gramsci memijakkan
paradigma teoritiknya pada analisa kelas, sementara Laclau dan Mouffe
memijakkan paradigma teoritiknya pada analisa diskursus (discourse
analysis).36
Teori ini menelaah bagaimana praktek-praktek sosial
mengartikulasikan dan mengkontestasikan diskursus-diskursus yang
membentuk realitas sosial.37
Laclau dan Mouffe menjelaskan diskursus
sebagai “The structured totality resulting from the articulatory practice”.38
Menurut Laclau dan Mouffe, hegemoni menekankan cara-cara di
mana kekuasaan beroperasi untuk membentuk pemahaman hubungan
sosial kita sehari-hari, dan untuk mengatur cara-cara dimana kita setuju
untuk (dan mereproduksi) hubungan kekuasaan secara terselubung.39
Lebih lanjut Laclau dan Mouffe menjelaskan bahwa terkait dengan kelas-
kelas “yang dieksploitasi”, terdapat bentuk subordinasi lain diluar bidang
ekonomi. Subordinasi dapat bersifat politis, sosial, atau budaya.
Ketika Gramsci banyak berbicara mengenai kelas pekerja dengan
analisis kelasnya sebagai sebuah kelas “yang tereksploitasi” atau
tersubordinasi secara ekonomi, maka dengan menggunakan pemikiran
Laclau dan Mouffe inilah penulis menempatkan masyarakat adat sebagai
36
Daniel Hutagalung. 2008. “Hegemoni dan Demokrasi Radikal-Plural : Membaca Laclau dan
Mouffe” dalam pengantar “Hegemoni dan Sosialis Strategi : Pos Marxisme dan Gerakan Sosial
Baru” Yogyakarta : Resist Book 37
Ibid Hal. xxviii 38
Ernesto laclau dan Chantal Mouffe. 2001. Hegemony and Socialist Strategy Towards a Radical
Democratic Politics. London : Verso 39
Butler Judith, dkk. 2000. Contingency, Hegemony, Universality : Contemporary Dialogues On
The Left. London & New York : Verso
25
kelas “yang tereksploitasi” atau tersubordinasi oleh kekuasaan negara. Hal
ini dikarenakan subordinasi yang terjadi terhadap masyarakat adat, dalam
hal ini masyarakat Kampung Naga tidak secara ekonomi, melainkan secara
politik dan budaya.
Dengan demikian maka konsep hegemoni yang digunakan disini
sifatnya tidak tunggal, atau terbatas pada konsepsi hegemoni Gramsci saja,
melainkan ditambah dengan konsepsi hegemoni dari Laclau dan Mouffe.
Hal ini dikarenakan kondisi sosial politik yang banyak berubah pasca
Perang Dunia Kedua yang jauh berbeda dengan kondisi sosial politik pada
masa kehidupan Gramsci. Dengan menggabungkan konsepsi hegemoni
tersebut maka disusun sebuah kerangka teori hegemoni dan dominasi
negara terhadap masyarakat adat untuk melihat bagaimana suatu relasi
kuasa dibangun untuk mempertahankan kekuasaan negara terhadap
masyarakat adat, yakni sebagai berikut :
26
NEGARA
3. Institusi Formal dan Institusi Informal
Untuk menggambarkan pola relasi antara Negara dan masyarakat
adat, penulis juga menggunakan studi informal institution dari Gretchen
Helmke dan Steven Levitsky. Menurut Helmke dan Levitsky, perbedaan
antara institusi formal dan informal telah dikonsepsikan dalam beberapa
cara, dan perbedaan yang paling umum adalah state-societal.40
Dengan
menggunakan pendekatan ini maka institusi formal mengacu pada lembaga
40
Gretchen Helmke dan Steven Levitsky, 2003. Informal Institutions and Comparative Politics : A
Research Agenda. Working Paper #307, November 2003.
Pemerintahan
Kolonial
Pemerintahan
Orde Lama
Pemerintahan
Orde Baru
Pemerintahan
Masa
Reformasi
- Alat
Penegakkan
Kepemimpinan
Hegemoni
- Alat- Alat
Kekerasan
- Kontestasi
Wacana
Konsensus
Resistensi
HHegemoni
Dominasi
Masyarakat
Adat
Bagan 1. Pola hegemoni dan dominasi negara terhadap masyarakat adat
27
negara (pengadilan, badan legislatif, birokrasi) dan penegak aturan negara
(konstitusi, hukum, regulasi).41
Sementara institusi informal meliputi
organisasi sispil, keagamaan, kekerabatan dan organisisasi serta aturan
kemasyarakatan lainnya.42
Sebuah survey dalam literatur institusi informal menunjukkan
bahwa terdapat dua karakteristik yang cukup berbeda dalam interaksi
antara institusi formal dan informal. Pada satu sisi, banyak studi yang
menunjukkan bahwa institusi informal memainkan peran atau berfungsi
sebagai problem-solving role, namun disisi lain beberapa studi juga
menyebutkan institusi informal sebagai problem creating. Studi ini untuk
melihat fenomena klientilisme, korupsi, patrimonialisme dan klan politik
yang merusak pasar, rezim demokratis, dan institusi formal lainnya.
Berdasarkan hal tersebut kemudian dibangun empat tipologi
interaksi institusi informal dan institusi formal sebagai berikut :
Figure 1
A Tipology Of Informal Institutions
Effective Formal Ineffective Formal
Institutions Institutions
Compatible Goals Complementary Substitutive
Conflicting Goals Accomodating Competing
Bagan 2. Tipologi interaksi Institusi formal dan institusi informal
41
Ibid 42
Ibid
28
Pada pojok kiri atas yang mengkombinasikan compatible goal
dengan institusi formal yang efektif, disebut Lauth sebagai complementary
informal institutions. Hal ini menunjukkan bahwa institusi informal yang
berdampingan dengan institusi formal. Complementary informal
institutions secara umum mengisi celah yang kosong yang ditinggalkan
oleh institusi formal, mengatasi masalah atau kemungkinan-kemungkinan
yang tidak secara eksplisit ditangani dalam aturan formal tanpa melanggar
aturan formal yang melampaui batas.43
Accomodating Informal Institutions mengkombinasikan institusi
formal efektif dengan conflicting actor goal. Accomodating Informal
Institutions dapat dilihat sebagai sebuah “strategi terbaik kedua” untuk
aktor yang tidak menyukai hasil yang dibuat oleh aturan formal namun
tidak bisa merubah atau melanggar aturan tersebut secara terbuka.44
Meskipun mengakomodasi institusi informal mungkin tidak efektif atau
meningkatkan performance pada saat itu, namun secara tidak sengaja
meningkatkan stabilitas atau keberlanjutan dari institusi formal dengan
meredam permintaan perubahan.45
Competing Informal Institutions menunjukkan pada institusi
informal yang berdampingan dengan institusi formal yang lemah atau
tidak efektif yang memiliki tujuan yang berlawanan (antagonistic goal).
Dalam struktur ini, untuk mengikuti suatu aturan seorang aktor harus
43
Ibid 44
Ibid 45
Ibid
29
melanggar aturan lainnya. Contohnya termasuk klientilisme,
patrimonialisme, klan politik dan institusi partikularistik lainnya.
Yang terakhir adalah Substitutive Informal Institutions yang
menggabungkan institusi formal yang lemah dengan compatible goal.
Substitutive Informal Institutions diciptakan atau dipekerjakan oleh aktor
yang ingin memperoleh hasil seperti yang diharapkan oleh institusi formal,
namun gagal dicapai.
Berdasarkan empat tipe interaksi tersebut, beberapa observasi telah
dilakukan. Studi institusi informal di negara industri maju cenderung
terfokus pada complementary dan accomodating institutions, sementara
studi di negara berkembang serta negara post communist cenderung fokus
pada substitutive dan competing institutions.46
Hal ini dikarenakan
complementary dan accomodating institutions hadir dalam institusi yang
stabil yang lebih banyak ditemukan di negara industri maju (walaupun
juga ditemukan di negara-negara berkembang seperti Costa Rica, Chile
dan Singapura) dan substitutive dan competing institutions hadir dalam
konteks kelemahan dan instabilitas institusi formal yang sering ditemukan
di negara-negara berkembang dan negara-negara post communist.
Dengan menggunakan empat tipologi interaksi institusi formal dan
informal tersebut akan dilihat tipe interaksi yang terjadi antara negara
dengan masyarakat Kampung Naga. Dengan mengetahui tipe interkasi
antara negara dan masyarakat adat tersebut dapat dilihat bagaimana posisi
46
Ibid
30
kekuatan negara dan kekuatan masyarakat Kampung Naga untuk melihat
relasi kuasa diantara keduanya.
4. Non Resistensi, Resistensi Pasif dan Resistensi Aktif
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Stanley Milgram di Yale
yang menguji batas kepatuhan kepada penguasa dan bagaimana batas
tersebut gagal dibawah sosialisme nasional,47
hasil dari percobaan tersebut
menunjukkan bahwa tingkat kedekatan, atau jarak dari korban, bersamaan
dengan kontak fisik langsung terhadap korban, adalah faktor penentu yang
mempengaruhi perilaku subyek. Perilaku subjek menjadi dipaksa karena
tekanan dari otoritas, hal ini disebabkan fakta bahwa setiap anak sejak
lahir sampai dewasa sangat disosialisasikan dalam prinsip ketaatan, di
sekolah, di dalam keluarga atau selama dinas militer, atau bahkan di
perusahaan di mana ia menemukan pekerjaan pertamanya. Di sisi lain,
yang harus diperhatikan adalah bahwa peningkatan kecenderungan
ketidaktaatan muncul sebagai akibat dari meningkatnya tingkat
pendidikan.
Studi lain mengenai ketaatan dan ketidaktaatan ini dilakukan oleh
Erich Fromm, Fromm membedakan antara ketaatan heteronom ke institusi
atau pada kekuatan eksternal terhadap subjek, yang berarti penyerahan dan
pelepasan otonomi sendiri, dan ketaatan otonom dengan keyakinan sendiri.
Hal yang membedakan terkait dengan hal tersebut adalah mengenai
konsep hati nurani dan otoritas.
47
Tella, Maria Jose Falcon Y, The Right to Resistance to Injustice”, Cuadernos Constitutionales
de la Catedra Fadrique Furio Ceriol No 62/63, pp. 65-76. Hal. 65
31
Kata hati nurani memiliki dua modalitas: hati nurani otoriter, yaitu
suara internal otoritas kita yang harus ditaati, yang disebut Freud dengan
Super-Ego, seperti perintah dan larangan dari ayah diterima oleh anak, dan
nurani manusiawi, yaitu suara yang hadir dalam setiap manusia dan sanksi
eksternal atau imbalan yang bersifat independen.48
Berdasarkan sentimen,
setiap orang memiliki apa yang disebut manusiawi dan apa yang tidak
manusiawi, dari apa yang bermanfaat bagi kehidupan dan apa yang terjadi
terhadap kehidupan. Otoriter nurani super ego mengandaikan ketaatan
kepada kekuatan di luar diri kita, meskipun kekuatan ini telah
diinternalisasi. Dalam perlawanan terhadap ketidakadilan, kita akan
berhadapan dengan memperhatikan hati nurani kemanusiaan yang disebut
hati nurani individu itu sendiri, seperti terhadap hati nurani otoriter yang
dikenakan oleh Negara.
Sekali lagi, terdapat dua kemungkinan makna dari otoritas: otoritas
irasional dan rasional.49
Sebuah contoh dari otoritas rasional adalah yang
yang terjadi antara siswa dan gurunya. Sedangkan dalam konteks otoritas
irasional adalah yang terjadi antara hamba dan tuannya. Dalam
kepentingan guru dan siswa, guru senang jika mahasiswa berhasil,
keberhasilan siswa merupakan keberhasilan guru itu sendiri. Dilain pihak,
kepentingan budak dan tuannya bersifat antagonis, dalam hal ini apa yang
bermanfaat bagi satu merugikan bagi yang lain.
48
Ibid Hal. 68 49
Ibid, Hal. 86
32
Berdasarkan contoh tersebut maka yang pertama otoritas rasional
didasarkan pada alasan, dan yang kedua otoritas irasional berdasarkan
pada paksaan atau sugesti, karena pada prinsipnya tidak akan ada orang
yang membiarkan dirinya dimanfaatkan jika ia bebas untuk mencegahnya.
Resistensi terhadap ketidakadilan muncul tepat sebagai protes ketika
otoritas rasional berubah menjadi otoritas irasional, persetujuan menjadi
kekerasan.50
Fromm mempertanyakan mengapa orang begitu rentan terhadap
ketaatan dan jadi benci ketidaktaatan?. Jawaban atas pertanyaan ini
terletak pada kenyataan bahwa ketaatan menciptakan rasa keamanan dan
perlindungan dari yang ditaati.51
Ketaatan membuat kita satu dengan
kekuatan yang kita taati dan karena itu memungkinkan kita berbagi dalam
kemahakuasaannya. Untuk tidak taat, seseorang perlu memiliki keberanian
untuk mampu bertahan sendiri dan untuk bertahan dari kemungkinan
dirinya yang salah.
Fenomena lain yang secara historis terkait dengan ketidakpatuhan
adalah perlawanan (resistensi). Terdapat beberapa tingkatan resistensi, dari
yang paling rendah ke intensitas yang lebih besar, dari non-resistensi
terhadap hak untuk menolak, kemudian resistensi pasif dan aktif. Berikut
Maria menganalisis secara terpisah masing-masing jenis resistensi :
50
Ibid, Hal. 68 51
Ibid, Hal. 68-69
33
1. Non Resistensi
Non-resistensi secara harfiah berarti tidak akan melawan, tidak
menentang, tetapi, pada saat yang sama, untuk tidak menyerah. Non-
resistensi bersatu dalam konteks budaya Kristen, dalam konteks kitab suci
disebutkan “memberikan pipi yang lain” dan dalam Khotbah di Bukit
mengenai “menolak bukan dia yang jahat”.52
Menurut filsafat ini, satu-
satunya cara mengatasi kejahatan adalah membiarkannya memadamkan
sendiri tanpa menentang perlawanan aktif untuk itu, karena resistensi
dianggap hanya membuat sesuatu menjadi lebih buruk, sedangkan ketika
kejahatan tidak menghadapi oposisi atau hambatan, tapi hanya kekuatan
bertahan, maka ia dihadapkan dengan kekuatannya sendiri.
Pembangkangan sipil hanya memiliki kesamaan karakter non-
kekerasan dengan non-resistensi. Keduanya dapat dibedakan dengan motif
masing-masing, yakni iman, dalam kasus non resistensi, dan politik, dalam
arti luas, dalam kasus pembangkangan sipil.53
Dengan metode yang
berbeda yang mereka gunakan, bersikap pasif dalam pelaksanaan
sebelumnya, ada yang aktif dan melakukan publisitas. Kemudian dengan
tujuan mereka yang berbeda, keselamatan pribadi dan penebusan diri dari
kejahatan dengan non-resistensi, dan penegasan keadilan terhadap hukum
yang tidak adil dengan pembangkangan sipil.54
52
Ibid, Hal. 69 53
Ibid, Hal. 69 54
Ibid, Hal. 69
34
2. Resistensi Pasif
Jenis resistensi historis kedua adalah perlawanan pasif. Hubungan
antara resistensi pasif dan non-resistensi sangat jauh. Yang pertama adalah
lebih dari sarana menjaga integritas spiritual itu sendiri, sarana membela
hak, yang memberikan tempat untuk gagasan keadilan. Cosi menyatakan
bahwa jika non-resistensi, atas dasar imperatif tidak melawan kejahatan,
dalam praktiknya mengambil langkah kedua dalam arah yang diinginkan
oleh penindas, perlawanan pasif bahkan menolak untuk mengambil yang
pertama.55
Sebuah contoh yang jelas tentang perlawanan pasif adalah Gerakan
Pembebasan India, dalam upayanya untuk meraih kemerdekaan dari
Kerajaan Inggris. Namun demikian, Gandhi setelah titik tertentu,
menganggap bahwa perlawanan pasif tidak memadai untuk
menggambarkan gerakan yang ia pimpin. Di Inggris, istilah “perlawanan
pasif” memiliki dua konotasi dimana Gandhi tidak mau terkait dengan
gerakan di India: pertama “perlawanan pasif” dianggap senjata yang
lemah, yang kedua, bahwa resistensi pasif tidak menolak kekerasan bukan
karena prinsip, tapi karena mereka tidak dalam posisi untuk menaklukkan
dengan kekuatan.
Karakteristik resistensi pasif ini berupa non-kooperasi dan
omission ; pemogokan dan boikot, asalkan tidak merosot menjadi
sabotase. Pasif bagaimanapun tidak bertepatan dengan kepasifan, baik
55
Ibid, Hal. 69
35
kehendak atau emosi. Adam Ballou, yang dipengaruhi Tolstoi dan melalui
dia, Gandhi mencoba untuk memadukan non-resistensi dan perlawanan
pasif bersama-sama, membangun konsep resistensi moral.
Protes keras mungkin seringkali menjadi suatu bentuk perlawanan
pasif, namun hal yang sama tidak dapat dikatakan sebagai pembangkangan
sipil, mengingat kepasifan yang diprediksi sebelumnya tapi bukan dari
pembangkangan sipil. Sedangkan mereka yang menolak secara pasif hanya
memiliki resistensi pasif itu sendiri sebagai tujuan, membuat kehendak
lawan tidak efektif, ketidaktaatan sipil lebih jauh terlihat untuk mengubah,
untuk melakukan metamorfosis situasi yang ia tentang. Perbedaan lain
antara dua fenomena tersebut adalah bahwa sementara jumlah ketidaktaan
sipil kecil, dalam perlawanan pasif sebaliknya, jumlahnya seringkali
sangat besar, contohnya adalah kampanye besar Gandhi di India.
3. Resistensi Aktif
Ciri utama yang membedakan dari resistensi pasif dan aktif atau
tanpa kekerasan, adalah tindakan langsung atau tepatnya merupakan sifat
aktifnya. Perlawanan pasif pada dasarnya omissive dan abstentionist,
sementara resistensi aktif bersifat komisif dan intervensionis. Dimana
yang sebelumnya berupaya untuk mundur dari area masalah, yang kedua
mengambil inisiatif dan langsung menuju pusat konflik. Selanjutnya,
seperti dicatat oleh Passerin D'Entrèves, dan juga bertentangan dengan
perlawanan pasif, resistensi aktif menyatakan penggunaan kekerasan, yang
36
dilakukan secara individual maupun kolektif, terorganisir, hampir
mengambil bentuk revolusioner.56
5. Masyarakat adat dan Tanah Ulayat
Masyarakat adat seringkali diidentikkan dengan masyarakat asli
(native) atau masyarakat pribumi (indigenous people). Banyak istilah lain
yang digunakan untuk menyebut kelompok masyarakat ini, misalnya first
peoples di kalangan antropolog, first nation di Amerika Serikat dan Kanada,
indigenous cultural communities di Filipina, bangsa asal dan orang asli di
Malaysia. PBB sendiri menggunakan istilah indigenous peoples sebagaimana
tertuang dalam seluruh dokumen The United Nations Declaration on the
Rights of the Indigenous Peoples.
AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) dalam Keputusan
Kongres AMAN No. 01/KMAN/1999 mendefinisikan masyarakat adat
sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun
temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai idieologi,
ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah sendiri.
Sedang Konvensi ILO 169 tahun 1989 tentang Convention Concerning
Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries mendefinisikan
masyarakat adat sebagai
“tribal peoples in independent countries whose social, cultural and
economic conditions distinguish them from other sections of the
national community, and whose status is regulated wholly or partially
by their own customs or traditions or by special laws or regulations”
56
Ibid, Hal. 70
37
Sebelum institusi modern seperti pasar dan negara hadir, masyarakat
adat telah memiliki tata kelola pengaturan diri sendiri (self governing
community), namun berangsur-angsur sejak kolonialisme, Orde Lama
Soekarno dan puncaknya di masa rejim Orde Baru Soeharto, dengan
diterbitkannya UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintah Desa dan UU. No. 5
tahun 1979 tentang Pemerintahan Daerah negara benar-benar menghancurkan
self governing community. Kedua Undang-undang ini bertujuan meninjau
dan mengganti UU. No. 19 tahun 1965 tentang Desa Praja. Keduanya tidak
hanya melakukan penyeragaman corak pemerintahan desa sesuai tipe
nasional. Selain itu, lembaga-lembaga adat yang sebelumnya berfungsi
dalam pengelolaan desa ikut tersapu bersih dengan tersingkirnya peran para
tetua adat, yang digantikan oleh pemilihan kepala desa yang tentu telah
melalui proses screening oleh negara.
Keyakinan dan kepercayaan masyarakat adat yang telah diwariskan
secara turun temurun oleh leluhurnya seringkali dianggap sebagai sesuatu
yang primitif oleh negara. Akibatnya, negara dengan faham modernisasinya
kemudian tidak mengakui kepercayaan-kepercayaan yang masih bersifat
animistik atau politeistik tersebut. Sebagai gantinya mereka kemudian
“dipaksa” untuk memilih salah satu agama resmi negara.
Salah satu ciri dari masyarakat adat adalah memiliki wilayah teritorial
sendiri yang disebut sebagai tanah ulayat. Berdasarkan Peraturan Menteri
Negara Agraria/ Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (2), pengertian
38
tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari
suatu masyarakat hukum adat tertentu.
Ciri-ciri dari kewenangan yang dimiliki oleh persekutuan hukum adat
terhadap tanah ulayat bagi Teer Haar adalah pertama, hak ulayat berlaku
kedalam, bahwa masyarakat atau anggota-anggotanya berwenang
menggunakan hak ini dengan jalan memungut hasil dari tanah beserta
binatang-binatang dan tanaman-tanaman yang terdapat di wilayah
kekuasaannya. Kedua, kewenangan yang berlaku keluar, bahwa orang hanya
boleh memungut hasil pertuanan setelah mendapat izin dari persekutuan,
orang luar tersebut harus membayar uang pengakuan dimuka dan dibelakang.
Sedangkan sifat dari hak ulayat itu sendiri adalah mempunyai hubungan yang
abadi dengan masyarakat hukum pendukungnya, yang berarti tetap ada
sepanjang tanah sebagai objeknya dan masyarakat adat sebagai subjeknya
ada.57
F. Definisi Operasional dan Definisi Konseptual
1. Definisi Konseptual
a. Kontinuitas
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimakud dengan
kontinuitas adalah kesinambungan, kelanjutan, kelangsungan, keadaan
kontinu.58
Dalam studi ini, yang dimaksud dengan kontinuitas adalah suatu
kondisi yang berlangsung secara berkesinambungan atau secara terus
57
Ter, Haar, 1999. Asas–asas dan susunan Hukum Adat, Jakarta :Pradnya Paramita, hal 72-80. 58
http://kbbi.web.id/kontinuitas diakses tanggal 20 Desember 2013.
39
menerus. Dalam hal ini adalah penguasaan tanah ulayat Kampung Naga
oleh negara yang terus berlanjut dari masa pemerintahan kolonial Belanda
hingga masa reformasi.
b. Hegemoni dan Dominasi
Berdasarkan pemaparan teori diatas, maka yang dimaksud dengan
hegemoni dalam penelitian ini adalah suatu bentuk kekuasaan yang
diperoleh melalui alat-alat penegakkan hegemoni (means of establishing
hegemonic leadership) dan alat-alat kekerasan (means of coercion)
sehingga tercapai sebuah konsensus dan legitimasi terhadap para
penguasa, dan masyarakat menerima ketidakadilan atas mereka sebagai
sebuah kewajaran dan memandang tidak perlu untuk dilakukan
perlawanan. Sedangkan jika kekuasaan tersebut hanya diperoleh
berdasarkan alat-alat kekerasan tanpa disertai adanya konsensus dari
masyarakat, maka kekuasaan tersebut sifatnya dominasi.
c. Masyarakat Adat
Yang dimaksud dengan masyarakat adat disini adalah komunitas
masyarakat yang pada umumnya mempunyai klaim terhadap suatu wilayah
teritorial tertentu yang telah diwariskan secara turun temurun, struktur
masyarakat dan sistem nilai tertentu seperti budaya, hukum, kepercayaan
(agama) dan lain sebagainya, dimana seluruh tata kehidupan mereka
seluruhnya atau sebagian diatur oleh nilai dan hukum adat tersebut.
40
d. Negara
Dari berbagai definisi tersebut diatas, dalam penelitian ini penulis
menggunakan konsepsi Negara Prof. Miriam Budiardjo dan Antonio Gramsci
yakni sebagai suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed)
oleh sejumlah pejabat, yang dengannya kelas yang berkuasa tak cuma
membenarkan dan memelihara dominasinya, tetapi memenangkan konsensus
aktif dari yang diatur dan berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan
pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol)
monopolistis terhadap kekuasaan yang sah.
e. Tanah Ulayat
Yang dimaksud dengan tanah ulayat disini adalah sebuah klaim atas
wilayah teritorial tertentu, atas sebidang tanah yang diatasnya terdapat hak
ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu yang telah diwariskan
secara turun temurun.
2. Definisi Operasional
Berdasarkan definisi konseptual diatas, maka kemudian dirumuskan
definisi operasional dari variabel-variabel tersebut sebagai berikut :
1) Berdasarkan teori Gramsci, Hegemoni berhubungan dengan dua hal,
yakni means of coercion dan means of establishing hegemonic
leadership. Sehingga untuk melihat bagaimana hegemoni bekerja
maka dilakukan pelacakan melalui :
a) Means of establishing hegemonic leadership merupakan
perangkat yang mampu membujuk masyarakat beserta
41
pranata-pranatanya untuk patuh kepada mereka yang berkuasa
melalui institusi pendidikan, agama, dan lain sebagainya.
Dalam konteks Kampung Naga akan dilacak perangkat atau
media yang bisa memberikan kepatuhan dari masyarakat
Kampung Naga kepada negara.
b) Means of coercion berhubungan dengan alat atau tindakan
kekerasan yang bersifat memaksa, atau yang bersifat law
enforcement, seperti militer, pengadilan, dan lain-lain. Dalam
studi ini akan dilihat bagaimana hubungan alat-alat tersebut
dengan masyarakat adat Kampung Naga.
2) Berdasarkan teori Laclau dan Mouffe, hegemoni bekerja melalui
wacana. Oleh karena itu, dalam studi ini juga akan dilihat wacana apa
saja yang digunakan oleh Negara untuk mempertahankan
hegemoninya.
3) Hegemoni dikatakan berhasil jika ada konsensus dari masyarakat.
Konsensus ditunjukkan dengan tidak adanya resistensi dari
masyarakat. Dengan demikian, untuk melihat bekerja atau tidaknya
hegemoni negara maka perlu dilacak bagaimana reaksi masyarakat
terhadap upaya hegemoni negara, yakni dengan mengkaji peristiwa-
peristiwa yang melibatkan masyarakat Kampung Naga dengan Negara
dan melalui wawancara mendalam dengan masyarakat dan lembaga
adat.
42
4) Dalam studi ini, yang dimaksud dengan negara sebagai sebagai suatu
daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah
pejabat merujuk pada :
a) Pemerintah Republik Indonesia mulai dari tingkat pemerintah
pusat, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, sampai Pemerintah
Kabupaten Tasikmalaya.
b) Perusahaan milik negara, yakni PT. Perhutani dan PT.
Perkebunan Nusantara.
5) Batasan untuk masyarakat adat dalam studi ini adalah masyarakat adat
Kampung Naga, yakni sebuah kelompok masyarakat adat di Desa
Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa
Barat.
6) Tanah ulayat yang menjadi fokus dalam kajian ini adalah tanah ulayat
milik masyarakat Kampung Naga.
G. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan pendekatan
studi kasus. Pendekatan studi kasus untuk penelitian ditetapkan sebagai
pendekatan yang paling berguna sebagai sebuah studi yang intensif dari satu
unit atau sejumlah kecil unit (kasus), dengan tujuan untuk memahami kelas
kasus yang lebih besar dari unit yang sama (populasi kasus).59
Kasus
beralihnya tanah ulayat masyarakat adat ke tangan negara maupun swasta
terjadi hampir di seluruh nusantara, dan sangat sulit jika harus meneliti semua
59
Gerring, John. 2007. Case Study Research Principles and Practices. New York : Cambridge
University Press
43
masyarakat adat yang ada di Indonesia, sehingga kemudian pendekatan studi
kasus dianggap sebagai metode penelitian yang paling tepat untuk kajian ini.
Studi kasus yang menjadi lokasi penelitian adalah masyarakat adat
Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa barat. Masyarakat
Kampung Naga merupakan masyarakat adat yang dikenal sebagai masyarakat
yang tetap memegang teguh adat dan tradisi, self governing community yang
kuat, dan menolak modernisasi. Permasalahan paling mendasar yang dialami
oleh masyarakat adat Kampung Naga adalah hilangnya tanah ulayat yang telah
beralih menjadi milik PT. Perhutani dan perusahaan swasta.
H. Teknik Pengumpulan Data
Dalam rangka pengumpulan data, penulis akan melakukan langkah-
langkah teknik pegumpulan data sebagai berikut :
1. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan merupakan langkah awal untuk mengetahui
dinamika sosial masyarakat Kampung Naga dan konsep-konsep untuk
mengkerangkainya. Namun, data-data pendukung tersebut merupakan data
sekunder. Data sekunder ini bisa berupa catatan, transkrip, catatan
etnografis lainnya tentang Kampung Naga, buku, media massa, laporan
penelitian, jurnal, majalah, dan sebagainya.
44
2. Wawancara
Wawancara yang dilakukan ditekankan pada wawancara yang
bersifat dialogis dan bisa bersifat formal maupun informal. Adapun
responden yang akan menjadi target dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1) Pemimpin Adat dan Masyarakat Adat Kampung Naga
Melalui wawancara dengan pemimpin adat dan masyarakat
Kampung Naga akan dicari informasi mengenai klaim wilayah adat
berdasarkan sejarah leluhur mereka, kehadiran pariwisata dan
bagaimana pendapat mereka dengan adanya kebijakan negara tersebut.
2) Pemerintah Daerah
Yang dimaksud dengan pemerintah daerah disini adalah dinas-
dinas terkait yang dianggap mengetahui kegiatan tersebut, diantaranya
Dinas Pariwisata dan PT. Perhutani. Melalui Dinas Pariwisata akan
ditanyakan mengenai sejak kapan kegiatan pariwisata hadir di
Kampung Naga, pengelolaannya, serta bagaimana hubungan
pemerintah dengan masyarakat adat Kampung Naga. Sedangkan
melalui PT. Perhutani akan ditanyakan mengenai pengelolaan hutan
serta hubungannya dengan masyarakat adat Kampung Naga.
3) Masyarakat luar Kampung Naga
Yang dimaksud dengan masyarakat luar Kampung Naga disini
adalah kelompok masyarakat yang mempunyai ikatan keturunan
Kampung Naga namun sudah tinggal di luar wilayah Kampung Naga.
45
Melalui mereka akan ditanyakan mengenai bagaimana pendapat
mereka dengan kehadiran pariwisata di Kampung Naga, serta klaim
wilayah adat berdasarkan sejarah leluhur mereka.
3. Etnografi
Seperti yang diungkapkan oleh Bronislaw Malinowski, tujuan
etnografi adalah “memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya
dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai
dunianya”.60
Metode ini digunakan untuk memahami bagaimana relasi
kekuasaan yang ada dalam stuktur masyarakat Kampung Naga, serta untuk
melihat bagaimana pandangan masyarakat terhadap Negara melalui
aktivitas kehidupan sehari-hari.
I. Sistematika Penulisan
Bab I terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat,
studi literatur, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab
I ini berisi landasan pemikiran tesis dan operasional kerja tesis. Bab pertama
ini bertujuan untuk memberi pemahaman kepada pembaca tentang masalah
mendasar penelitian ini, termasuk didalamnya mengapa masalah penelitian ini
penting untuk dikaji dalam konteks sekarang.
Bab II mendeskripsikan tentang profil masyarakat adat Kampung Naga
sebagai kelompok masyarakat adat dengan melihat dari sejarah, struktur sosial
dan ekonomi, struktur politik, serta bagaimana kekuasaan direproduksi oleh
lembaga adat
60
Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta : Tiara Wacana Hal. 3-4
46
Bab III menjelaskan tentang hilangnya tanah ulayat Kampung Naga,
mulai dari klaim berdasarkan sejarah leluhur, penguasaan masa penjajahan
Belanda yang berlanjut sampai masa pasca kemerdekaan.
Bab IV membahas dinamika relasi kuasa antara negara dan masyarakat
Kampung Naga dari masa pemerintahan kolonial Belanda hingga masa
reformasi
Bab V membahas bagaimana dampak dan reaksi masyarakat atas
kebijakan negara yang menguasai tanah ulayat Kampung Naga
Bab VI adalah bab terakhir yang merupakan refleksi teoritis terkait
dengan fenomena yang terjadi di masyarakat adat Kampung Naga sekaligus
kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan penelitian.