bab i pendahuluan a. latar belakang...

23
1 Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jumlah anak autis pada beberapa institusi pendidikan, termasuk di sekolah inklusif cukup banyak perkembangan populasinya. Data dari Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung menunjukkan pada setiap sekolah inklusif terdapat tiga sampai empat orang anak autis dalam satu kelas (Tim Pengembang Pendidikan inklusi, 2007: 6). Dalam skala nasional, perkembangan jumlah anak autis menunjukkan perbandingan dengan keseluruhan anak yang lain adalah 5:10.000 dan perbandingan anak autis ini diprediksi akan terus meningkat, seiring dengan beberapa faktor, seperti pola hidup orang tua, pola stimulasi perkembangan anak, tingkat stress orang tua dan anak, dan pola konsumsi makanan (Maulana, 2007: 1). Departemen Pendidikan Nasional menegaskan, anak autis termasuk fenomena baru yang berkembang dalam lapangan pendidikan luar biasa, terutama populasinya berkembang dalam institusi sekolah inklusif, sehingga anak autis, diklasiifikan ke dalam salah satu jenis anak berkebutuhan khusus (Depdiknas, 2005: 12). Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Autis dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat kaya, miskin, di desa dan di kota, berpendidikan maupun tidak berpendidikan, serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia. Jumlah anak autis semakin meningkat pesat di berbagai belahan dunia. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai 40 persen sejak 1980. Di California pada tahun 2002 disimpulkan terdapat 9 kasus autis per-harinya. Di Amerika Serikat jumlah anak autis terjadi pada 6.000 15.000 anak di bawah usia 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan prevalens autis 10 20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002 bahkan dilaporkan angka kejadian autis

Upload: vuongdien

Post on 08-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Jumlah anak autis pada beberapa institusi pendidikan, termasuk di

sekolah inklusif cukup banyak perkembangan populasinya. Data dari Dinas

Pendidikan Kabupaten Bandung menunjukkan pada setiap sekolah inklusif

terdapat tiga sampai empat orang anak autis dalam satu kelas (Tim

Pengembang Pendidikan inklusi, 2007: 6). Dalam skala nasional,

perkembangan jumlah anak autis menunjukkan perbandingan dengan

keseluruhan anak yang lain adalah 5:10.000 dan perbandingan anak autis ini

diprediksi akan terus meningkat, seiring dengan beberapa faktor, seperti pola

hidup orang tua, pola stimulasi perkembangan anak, tingkat stress orang tua

dan anak, dan pola konsumsi makanan (Maulana, 2007: 1). Departemen

Pendidikan Nasional menegaskan, anak autis termasuk fenomena baru yang

berkembang dalam lapangan pendidikan luar biasa, terutama populasinya

berkembang dalam institusi sekolah inklusif, sehingga anak autis, diklasiifikan

ke dalam salah satu jenis anak berkebutuhan khusus (Depdiknas, 2005: 12).

Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai

dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa,

perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Autis dapat terjadi pada semua

kelompok masyarakat kaya, miskin, di desa dan di kota, berpendidikan maupun

tidak berpendidikan, serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia.

Jumlah anak autis semakin meningkat pesat di berbagai belahan dunia. Di

Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai 40 persen sejak 1980. Di

California pada tahun 2002 disimpulkan terdapat 9 kasus autis per-harinya. Di

Amerika Serikat jumlah anak autis terjadi pada 6.000 – 15.000 anak di bawah

usia 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan prevalens autis 10 – 20 kasus

dalam 10.000 orang, bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di

Inggris pada awal tahun 2002 bahkan dilaporkan angka kejadian autis

2

Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

meningkat sangat pesat, diprediksi 1 diantara 10 anak menderita autisma

(Maulana, 2007: 2). Di Indonesia, pada tahun 2010, jumlah penderita autisme

diperkirakan mencapai 2,4 juta orang. Hal itu berdasarkan data yang

dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik. Pada tahun tersebut jumlah penduduk

Indonesia mencapai 237,5 juta orang dengan laju pertumbuhan 1,14 persen.

Jumlah penderita autisme di Indonesia diperkirakan mengalami penambahan

sekitar 500 orang setiap tahun (BPS, 2012: 8). Merujuk pada data BPS tersebut

dengan memperhatikan perkembangan anak autis yang terus meningkat, maka

dapat diperkirakan jumlah autis di Indonesia pada tahun 2012, berkisar 2.1.400

orang. Dilihat dari jenis kelamin, pada dasarnya jumlah penderita autisme

dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibanding perempuan, dengan

perbandingan 4,3:1. Namun sebenarnya penyakit autisme sama sekali tidak

membedakan penyandangnya berdasarkan latar belakang sosial. Autisme bisa

saja diderita orang golongan orang kaya atau miskin, berpendidikan tinggi

ataupun rendah.

Istilah autisme berasal dari kata "autos" yang berarti diri sendiri "isme"

yang berarti suatu aliran. Dengan menggunakan pendekatan terminologi, autis

dapat diartikan suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri.

Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut

komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak

sebelum anak berusia 3 tahun. Bahkan pada autistik infantil gejalanya sudah

ada sejak lahir.

Mengamati perilaku anak autis tidak dapat dilakukan sepintas dan juga

sulit untuk dibuat generalisasi dari kasus satu anak autis dengan kasus anak

autis lainnya. Manoj dalam Lee & June (2002: 167) memberikan makna atas

kata autism, dalam istilah (always, unique, totally, intriguing, sometime,

mysterius), yang dapat dipahami bahwa sosok setiap individu anak autis itu

selalu unik, selalu membutuhkan layanan pendidikan secara total, memahami

sosok anak autis selalu menimbulkan rasa kepenasaran, selalu berubah-ubah

perilakunya setiap saat, dan sosok anak autis itu sendiri adalah misterius—

3

Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

masih perlu diteliti lebih mendalam. Ciri-ciri perilaku anak autis merentang

dalam tiga simptom dengan sejumlah ciri-ciri berperilaku, yaitu (1) rentang

perhatian yang kurang (gerakan yang kacau; cepat lupa; mudah bingung;

kesulitan dalam mencurahkan perhatian terhadap tugas-tugas atau kegiatan

bermain; (2) impulsivitas yang berlebihan; dan (3) adanya hiperaktivitas

(emosi gelisah; mengalami kesulitan bermain dengan tenang; mengganggu

anak lain; dan selalu bergerak) (Baihaqi & Sugiarmin, 2006: 8). Dengan

demikian, gejala autisme tersebut, berimplikasi terhadap masalah perilaku

sosial anak di sekolah yang menunjukkan anak autis akan menyebabkan

mengalami kesulitan belajar, kesulitan berperilaku, kesulitan sosial, dan

kesulitan-kesulitan lain yang saling berkaitan.

Memahami sosok anak autis memerlukan upaya yang serius dengan

memperhatikan aspek-aspek perkembangannya. Hasil pengamatan sesaat

belumlah dapat disimpulkan sebagai hasil mutlak dari kemampuan dan

perilaku seorang anak dikatakan sebagai autis. Masukan dari orang tua

mengenai kronologi perkembangan anak adalah hal terpenting dalam

menentukan keakuratan hasil diagnosa. Secara sekilas penyandang autis dapat

terlihat seperti anak dengan keterbelakangan mental, kelainan perilaku,

gangguan pendengaran atau bahkan berperilaku aneh dan unik. Yang lebih

menyulitkan lagi adalah semua gejala tersebut di atas dapat timbul secara

bersamaan. Karenanya sangatlah penting untuk membedakan antara autisme

dengan yang lainnya sehingga diagnosa yang akurat dan penanganan sedini

mungkin dapat dilakukan untuk menentukan intervensi yang tepat.

Pendidikan inklusif dipandang sebagai sebuah kebijakan yang memiliki

nilai strategis dalam memberikan akses yang seluas-luasnya bagi setiap warga

negara dalam memperoleh layanan pendidikan secara memadai, termasuk di

dalamnya anak autis. Oleh karena itu, pendidikan inklusif memiliki nilai-nilai

universal yang diakui oleh dunia internasional dan selaras dengan gerakan hak

asasi manusia. Hal tersebut dapat dipahami dari sejarah lahirnya konsep

pendidikan inklusi yang bermula dari gerakan internasional tentang Education

4

Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

For All (EFA) yang direkomendasikan UNESCO sebagai kesepakatan global

hasil World Education Forum di Dakkar, Sinegal Tahun 2000 penuntasan EFA

diharapkan tercapai pada Tahun 2015 (Depdiknas, 2005: 4). Sejalan dengan

nilai-nilai universal tersebut, dalam Pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap

warga negara untuk memperoleh pendidikan dan dalam Undang-Undang

Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

pada Pasal 32 secara eksplisit terkandung layanan pendidikan mengenai

pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus.

Pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus dilandasi

pernyataan Salamanca Tahun 1994. Pernyataan Salamanca ini merupakan

perluasan tujuan Education For All dengan mempertimbangkan pergeseran

kebijakan mendasar yang diperlukan untuk mengimplementasikan pendekatan

pendidikan inklusif. Melalui pendidikan inklusif ini diharapkan sekolah-

sekolah reguler dapat melayani semua anak, termasuk mereka yang memiliki

kebutuhan pendidikan khusus. Di Indonesia melalui Keputusan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986 telah dirintis pengembangan

sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusi yang melayani penuntasan wajib

belajar bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus.

Operasionalisasi dari kebijakan tersebut, Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan, telah merumuskan tiga pilar pembangunan pendidikan nasional,

yang salah satunya berkaitan dengan implementasi pendidikan inklusi, adalah

pilar pertama, yaitu “pemerataan dan peningkatan aksesibilitas pendidikan”.

Pilar inilah yang menggambarkan adanya jaminan pemerataan dan kesempatan

layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, termasuk di dalamnya

anak autis.

Layanan pendidikan bagi anak autis pada umumnya diselenggarakan di

sekolah inklusif, dan ada juga yang diselenggarakan dalam bentuk pusat terapis

anak autis, seperti di Indocare Jakarta Utara, Suryakanti di Bandung, dan

beberapa pusat terapis lainnya. Atas dasar tersebut, pemerintah saat ini, melalui

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkoordinasi dengan Dinas

5

Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

Pendidikan Provinsi dan Kota/Kabupaten, dan Pusat Pengembangan dan

Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Taman Kanak-Kanak dan

Pendidikan Luar Biasa (PPPPTK TK dan PLB), sedang mengembangkan

sekolah inklusif, sebagai salah satu bentuk lembaga pendidikan yang

menyertakan anak berkebutuhan khusus—termasuk di dalamnya anak autis

dengan anak-anak reguler).

Situasi pembelajaran di sekolah inklusif memiliki potensi untuk

digunakan sebagai situasi untuk mengembangkan keterampilan sosial bagi

anak autis. Pengembangan keterampilan sosial bagi anak autis merupakan hal

yang harus mendapatkan perhatian guru di sekolah inklusif. Oleh karena itu,

anak autis sangat membutuhkan intervensi pendidikan dalam upaya

mengembangkan keterampilan sosial. Jennifer dalam Bauminger, et al (2003:

15) mengemukakan bahwa pengembangan keterampilan sosial pada anak autis

dapat dipahami sebagai pintu pertama dan utama untuk membantu anak autis

memasuki lingkungan yang lebih luas. Selanjutnya, Suryo (2012: 8)

mengemukakan bahwa untuk mengembangkan keterampilan sosial pada anak

autis, guru dapat menggunakan berbagai teknik, di antaranya teknik bermain

dalam kegiatan kelompok.

Upaya mengembangkan keterampilan sosial pada anak autis sebagaimana

dikemukakan oleh para ahli di atas, jelaslah memerlukan suatu upaya atau

intervensi yang dirancang dan dilaksanakan secara terprogram dan

berkelanjutan. Intervensi pendidikan di sekolah inklusif dapat dipahami

sebagai suatu ikhtiar dalam mengembangkan potensi anak autis, termasuk di

dalamnya keterampilan sosial. Rahardja (2011: 87) menyatakan bahwa layanan

pendidikan di sekolah inklusif ditujukan untuk memenuhi kebutuhan khusus

pendidikan dan aspek sosial anak berkebutuhan khusus, dan layanan bimbingan

dan konseling adalah salah satu program yang harus terintegrasi dengan

program pendidikan secara umum di sekolah. Pendapat tersebut menegaskan

bahwa layanan bimbingan dan konseling merupakan bagian terpadu dari

6

Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

program layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus—termasuk di

dalamnya anak autis—di sekolah inklusif.

Seiring dengan arti penting layanan bimbingan dan konseling, nyatanya

ada permasalahan yang dihadapi oleh anak autis yang tidak dapat diatasi

dengan menggunakan pendekatan pembelajaran (instructional approach), akan

tetapi memerlukan layanan pendidikan yang berbasis pada pendekatan

psikologi pendidikan (psychoeducation approach), yang dalam praktik di

sekolah dilaksanakan dalam bentuk layanan bimbingan dan konseling.

Layanan bimbingan dan konseling dalam memfasilitasi perkembangan

optimal peserta didik, memiliki peranan strategis sebagaimana dikemukakan

oleh banyak ahli di bidang pendidikan, khususnya di bidang bimbingan dan

konseling. Menurut Hallen (2005: 53) tujuan bimbingan dan konseling yaitu:

(a) agar peserta didik mengenal kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri serta

menerima secara positif dan dinamis sebagai modal pengembangan diri lebih

lanjut, (b) agar peserta didik mengenal lingkungannya secara obyektif baik

lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya yang sarat dengan nilai-nilai dan

norma-norma, maupun lingkungan fisik dan menerima kondisi lingkungan

secara positif, (c) agar pesrta didik mampu mempertimbangkan dan mengambil

putusan tentang masa depan dirinya, baik yang menyangkut bidang pendidikan,

bidang karier, maupun bidang budaya, keluarga, dan masyarakat. Dari uraian

tersebut, jelaslah bahwa bimbingan dan konseling mempunyai tujuan untuk

membantu siswa, agar dapat mencapai tujuan-tujuan perkembangannya dan

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

dan berbudi pekerti luhur.

Sebagai layanan profesional, tentunya implementasi bimbingan dan

konseling di sekolah harus taat asas. Hal ini ditujukan supaya layanan

bimbingan dan konseling tersebut dapat mencapai sasaran dengan tetap

memperhatikan prinsip-prinsip etis. Menurut Nurihsan (2004: 15) asas

bimbingan dan konseling adalah: (a) asas kerahasiaan, (b) asas kesukarelaan,

(c) asas keterbukaan, (d) asas kekinian, (e) asas kemandirian, (f) asas kegiatan,

7

Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

(g) asas kedinamisan, (h) asas keterpaduan, (i) asas kenormatifan, (j) asas

keahlian, (k) asas alih tangan, dan (l) asas tutwuri handayani.

Salah satu jenis dalam layanan bimbingan dan konseling adalah konseling

kelompok. Natawidjaja (2008: 12) menjelaskan pengertian konseling kelompok

sebagai “upaya bantuan kepada individu dalam suasana kelompok, bersifat

pencegahan, penyembuhan, dan pengembangan”, serta memberi kemudahan

perkembangan dan pertumbuhan”. Definisi lainnya dikemukakan oleh

Pietrosfesa et al yang dikutip Natawidjaja (2009: 6) yang menyatakan, bahwa

“Group counseling .... is a problem-oriented and largely remedial process that

accelerates individual problem resulation in a group setting.” Batasan ini

menjelaskan bahwa konseling kelompok cocok diterapkan bagi orang-orang

yang mengalami beberapa kesulitan, ketidakpuasan, atau yang terlibat dalam

perilaku yang bersifat menghambat perkembangan diri (self-defeating). Dari

batasan tersebut, dapat dipahami bahwa melalui kegiatan konseling kelompok

tersebut, konselor dapat memfasilitasi pemecahan permasalahan yang dihadapi

individu dan sekaligus mengembangkan potensi individu melalui penciptaan

suasana kelompok yang relevan, kondusif, dan diperlukan serta dipahami oleh

anggota dalam kelompok.

Konseling kelompok sebagai salah satu jenis layanan dalam pelaksanaan

bimbingan dan konseling, secara konseptual memiliki relevansi dengan upaya

pengembangan keterampilan sosial pada anak autis. Melalui konseling

kelompok dimaksud, persoalan-persoalan individu pada anak autis, dapat

diatasi dalam situasi kelompok. Natawidjaja (2008: 13) mengemukakan tujuan

dari konseling kelompok, sebagai berikut:

1. membantu menemukan masalah bersama;

2. menyediakan informasi yang berguna untuk memecahkan masalah

penyesuaian diri;

3. menyediakan peluang untuk berfikir dalam suasana kelompok;

4. menyediakan peluang untuk mendapatkan pengalaman yang dapat

meningkatkan pemahaman diri;

5. meletakkan landasan untuk konseling individual; dan

6. melaksanakan diskusi yang bersifat terapeutik.

8

Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa persoalan pokok yang dihadapi anak

autis adalah menyangkut kesulitan dalam mengembangkan perilaku yang dapat

diterima oleh lingkungan, dan hal ini terkait dengan rendahnya keterampilan

sosial yang dimiliki oleh anak autis. Dengan demikian, intervensi terhadap

anak autis, akan menekankan pada pembentukkan perilaku yang dapat diterima

oleh lingkungan. Dalam perspektif konseling kelompok, upaya ke arah

pemecahan masalah perilaku konseli, secara konseptual relevan dengan

menggunakan pendekatan behavioristik. Hal ini sejalan dengan pendapat

Krumboltz & Thoresen yang dikutip Natawidjaja (2009: 259) yang

mengatakan bahwa:

Konseling kelompok dengan pendekatan perilaku (behavioristik)

menekankan pada upaya melatih atau mengajar konseli tentang

keterampilan pengelolaan diri yang dapat digunakannya untuk

mengendalikan kehidupannya, untuk menangani masalah masa kini dan

masa datang, dan untuk mampu berfungsi dengan memadai tanpa terapi

terus menerus.

Lee & June (2002: 165) mengemukakan konsep Triad Impairment yang

menjadi gejala umum keterbatasan anak autis, yaitu: “(1) social interaction; (2)

social communication; and (3) imagination”. Ketiga permasalahan ini

merupakan ciri-ciri umum dari autisme, meskipun bentuk perilakunya pada

setiap anak autis, sangatlah unik. Dengan adanya tiga keterbatasan umum yang

dimiliki anak autis, menyebabkan anak autis dihadapkan pada kesulitan dalam

mengembangkan keterampilan sosial. Ciri utama dari anak yang belum

memiliki keterampilan sosial, adalah bermuara pada permasalahan gangguan

perilaku. Gangguan perilaku, yaitu gangguan penyesuaian diri terhadap

lingkungan sosial yang disebabkan oleh lemahnya kontrol diri, merupakan

kasus yang paling banyak terjadi pada anak-anak. Dari seluruh anak-anak yang

dirujuk karena mengalami gangguan klinis, sepertiga sampai setengah di

antaranya karena mengalami gangguan perilaku. Bahkan pada populasi yang

bukan klinis, ditemukan bahwa 50% atau lebih anak usia 4-5 tahun telah

menunjukkan beberapa simptom gangguan perilaku eksternal yang dapat

9

Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

berkembang menjadi gangguan perilaku yang tetap (Campbell, Coie & Reid,

dalam Bennett, Brown, Lipman, Racine, Boyle & Offord) dalam Suryo (2012:

21). Fenomena seperti ini umum terjadi di banyak negara. Penelitian

epidemiologi di beberapa negara seperti di Kanada, Queensland, dan Selandia

Baru menunjukkan sekitar 5 – 7 % anak-anak mengalami gangguan perilaku

(Krasny, 2003: 3).

Kondisi yang sama dialami oleh anak autis yang memiliki permasalahan

dalam mengembangkan perilaku adaptif. Hal ini karena memang secara

potensial, anak autis mengalami hambatan dalam hal keterampilan sosial.

Pengembangan keterampilan sosial pada anak autis dapat dilakukan dengan

menciptakan kondisi lingkungan yang memungkinkan anak autis untuk

mengembangkan keterampilan sosialnya. Hasil studi awal yang dilakukan pada

tiga Sekolah dasar inklusif di Kota Bandung, yakni SDN Puteraco, SD Dewi

Sartika, dan SD Tunas Harapan, mengemuka beberapa permasalahan yang

dihadapi oleh anak autis di sekolah inklusif. Hasil penelitian Sensus, dkk, di

SDN Puteraco Kota Bandung (2008: 87) menujukkan bahwa perilaku anak

autis sebagai berikut: (1) memiliki permasalahan dalam melakukan komunikasi

dengan teman sebaya, guru, dan orang yang baru dikenalinya; (2) kurang

memiliki inisiatif dalam memulai kontak sosial dengan lingkungan sekitar,

seperti dengan teman sebaya dan guru; (3) kalaupun ada anak autis yang

menunjukkan minat dalam berkomunikasi, namun arah komunikasinya tidak

terfokus dan kontekstual dengan tema yang dibicarakan; dan (4) lebih asyik

dengan kegiatan sendiri dan kurang menunjukkan minat untuk berinteraksi

dengan lingkungan sekitar.

Temuan lainnya dari hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa layanan

pembelajaran bagi anak autis SD Puteraco Kota Bandung, belum adanya

layanan bimbingan dan konseling yang didasarkan pada analisis perilaku anak

autis dan kerangka dasar bimbingan dan konseling. Layanan pembelajaran bagi

anak autis di sekolah inklusif tersebut, baru sebatas pada layanan instruksional

(pembelajaran di dalam kelas) dan program penunjang lainnya, seperti

10

Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

diagnosis medis dan psikologis (Sensus, dkk, 2008: 90). Di samping hasil

penelitian di atas, dari observasi ke SD Dewi Sartika yang dilakukan pada

tahun 2009 menunjukkan adanya gejala yang sama pada perilaku anak autis,

seperti kurang berminat berinteraksi sosial, perilaku impulsif dan agresif.

Pengembangan keterampilan sosial pada anak autis, sesungguhnya tidak

hanya dalam setting sesama anak autis, akan tetapi harus lebih luas

dikembangkan dalam setting anak-anak reguler pada umumnya. Dalam konteks

ini, guru harus memiliki kompetensi dalam menciptakan lingkungan kondusif

yang mampu memfasilitasi pengembangan keterampilan sosial anak autis.

Keterampilan sosial pada anak autis yang menjadi target utama dalam model

konseling kelompok dengan teknik bermain peran dalam penelitian ini, adalah

hal yang sangat diperlukan untuk dimiliki oleh anak autis. Apalagi dalam

konteks keterampilan sosial anak autis di sekolah inklusif, yang mendorong

terjadinya interaksi sosial antara anak autis dengan anak reguler secara wajar.

Keterampilan sosial yang dimiliki oleh anak autis sesungguhnya akan menjadi

modal sosial bagi anak autis dalam mengatasi persoalan perilaku maladapted,

seperti: perilaku yang asik dengan diri sendiri, kebingungan dalam memulai

interaksi, keengganan dalam melakukan komunikasi sosial dengan lingkungan

sekitar, dan bentuk perilaku sosial lainnya.

Apabila dikaitkan dengan konsep dasar konseling kelompok dengan

teknik bermain peran yang dalam prakteknya menekankan pada penggunaan

prinsip-prinsip belajar yang disusun berdasarkan eksperimen untuk tujuan

mengubah perilaku yang tidak sesuai (Wolpe dalam Natawidjaja, 2009: 261).

Oleh karena itu, pendekatan konseling kelompok yang digunakan dalam

penelitian ini adalah pendekatan behavioristik. Pendekatan behavioristik dalam

konseling kelompok menempatkan bahwa perilaku konseli dapat dipelajari,

dirubah dan diperbaiki ke arah perilaku yang lebih baik melalui penataan

lingkungan kondusif sebagai bentuk stimulus-respon yang terstruktur

(Wibowo, 2005: 14). Konseling kelompok dengan pendekatan behavioristik

11

Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

memiliki 13 teknik konseling kelompok, yang salah satunya adalah teknik

bermain peran.

Berdasarkan kerangka teoretis dan analisis kontekstual permasalahan

yang dihadapi oleh anak autis di sekolah dasar inklusif sebagaimana

dipaparkan di atas, perumusan model konseling kelompok dengan teknik

bermain peran memiliki kaitan konseptual-kontekstual dengan upaya ke arah

pengembangan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di

sekolah dasar inklusif.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Layanan pendidikan bagi anak autis di sekolah inklusif dihadapkan pada

persoalan bagaimana guru mampu merencanakan dan melaksanakan layanan

pendidikan yang mengintegrasikan interaksi anak autis dengan anak-anak

reguler lainnya. Upaya untuk mengembangkan keterampilan sosial pada anak

autis di sekolah inklusif memerlukan kecermatan dari guru untuk mendesain

jenis layanan seperti apa yang relevan dengan karakteristik autisme dan target

yang hendak dicapai dari tujuan layanan pembelajaran. Untuk mencapai tujuan

pengembangan keterampilan sosial pada anak autis, guru harus menciptakan

suasana kelompok yang memungkinkan anak autis dan anak-anak reguler

lainnya untuk berinterkasi sosial, sehingga pada akhirnya keterampilan sosial

pada anak autis dapat ditingkatkan.

Namun demikian, tidak mudah bagi guru anak autis di sekolah inklusif

untuk mengembangkan keterampilan sosial pada anak autis. Hal tersebut

disebabkan bahwa pada umumnya sekolah inklusif dimana di dalamnya ada

anak autis, belum memiliki guru pembimbing (konselor), sehingga layanan-

layanan pembelajaran yang berbasis pada pendekatan bimbingan dan konseling

masih belum dilaksanakan secara terprogram. Hal lainnya yang menjadi

persoalan terkait dengan layanan bimbingan dan konseling bagi anak autis di

sekolah inklusif, adalah belum dipahaminya esensi, ekpektasi, dan prosedur

penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling oleh warga sekolah.

12

Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

Kenyataan ini mendorong intervensi bagi anak autis identik dengan intervensi

psikologi, pedagogik, dan medis, sementara layanan bimbingan dan konseling

belum banyak dilakukan di sekolah inklusif.

Kenyataan ini memberikan landasan empirik-konseptual akan pentingnya

merumuskan dan melaksanakan model konseling kelompok dengan teknik

bermain peran untuk mengembangkan keterampilan sosial anak autis di

sekolah dasar inklusif. Model konseling kelompok dalam penelitian ini

berbasis pada pendekatan behavioral dengan teknik bermain peran dan hasil

analisis empirik-kontekstual tentang perilaku anak autis di sekolah dasar

inklusif.

Mencermati sifat dari konseling kelompok, maka secara konseptual upaya

ke arah mengembangkan keterampilan sosial pada anak autis, memiliki

peluang untuk dilakukan. Selanjutnya penerapan konseling kelompok dengan

teknik bermain peran memerlukan kemampuan dasar pada konseli dan anggota

kelompok untuk memiliki minat untuk berinteraksi, dan memiliki kemampuan

dasar dalam memahami perintah atau instruksi verbal. Sementara di sisi

lainnya, permasalahan pada anak autis merentang dari yang ringan sampai ke

permasalahan yang bersifat kompleks. Gejala autisme sebagai sebuah

spektrum, merentang dari kategori low function menuju high function, dari

kategori hyposensitive menuju hypersensitive. Mencermati persyaratan dasar

dari penggunaan konseling kelompok dengan teknik bermain peran, maka

subyek dari penelitian ini adalah anak dengan High Functioning Autism (HFA).

Kelle et al (2009: 1) mengemukakan bahwa High Functioning Autism

(HFA) adalah kelompok anak autis yang memiliki kemampuan untuk

memahami perintah komunikasi, baik secara verbal—meskipun terbatas

dibandingkan dengan anak reguler lainnya--, maupun memahami komunikasi

dengan menggunakan media bantuan. Selanjutnya HFA juga memiliki

kemampuan untuk mengikuti pembelajaran bersama anak reguler di sekolah

penyelenggara pendidikan inklusi. Pendapat ini memperkuat landasan

konseptual untuk menentukan HFA sebagai subyek penelitian ini. Dilihat dari

13

Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

luasnya setting penelitian yakni sekolah penyelenggara pendidikan inklusi yang

ada di Kota Bandung, maka fokus penelitian ini dibatasi pada SDN Puteraco.

Berangkat dari kondisi empirik-konseptual sebagaimana dipaparkan di

atas, fokus penelitian ini adalah untuk merumuskan dan mengimplementasikan

model konseling kelompok dengan teknik bermain peran yang efektif untuk

mengembangkan keterampilan sosial pada anak dengan High Functioning

Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung”.

C. Pertanyaan Penelitian

Sebagaimana dinyatakan dalam rumusan masalah, bahwa penelitian ini

akan merumuskan dan mengimplementasikan model konseling kelompok

dengan teknik bermain peran yang efektif untuk mengembangkan keterampilan

sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota

Bandung. Operasionalisasi dari rumusan penelitian dimaksud, dilaksanakan

dalam dua tahapan penelitian, yakni penelitian tahap kesatu dengan fokus

untuk merumuskan model konseling kelompok dengan teknik teknik bermain

peran yang efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan

High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung, dan

penelitian tahap kedua dengan fokus untuk mengimplementasikan model

konseling kelompok dengan teknik bermain peran yang efektif yang dihasilkan

dalam penelitian ini untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan

High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.

Dalam penelitian tahap kesatu ini, fokus penelitian adalah untuk

merumuskan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran yang

efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan High

Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung. Untuk

merumuskan model dimaksud, diperlukan data-data lapangan sebagai dasar

empirik.

14

Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

Terkait dengan tujuan penelitian tahap kesatu sebagaimana dipaparkan di

atas, berikut dirumuskan pertanyaan penelitian yang memfokuskan pada

kondisi obyek keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism:

1. Hambatan dan kemampuan apa saja yang dialami oleh anak dengan High

Functioning Autism dalam mengembangkan keterampilan sosial dengan

anak-anak reguler di sekolah dasar inklusif?

2. Aspek-aspek apa saja yang difahami guru tentang keterampilan sosial anak

dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif?

3. Bagaimana pengetahuan guru dalam melaksanakan konseling kelompok

dengan teknik bermain peran untuk mengembangkan keterampilan sosial

pada anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif?

4. Dukungan apa saja yang diberikan orang tua siswa dalam mengembangkan

keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar

inklusif?

5. Seperti apakah model konseling kelompok dengan teknik bermain peran

untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning

Autism di sekolah dasar inklusif?

Dalam penelitian tahap kedua, rumusan masalah penelitian adalah

“bagaimana implementasi model konseling kelompok dengan teknik bermain

peran untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan High

Functioning Autism di sekolah dasar inklusif?” Terkait dengan rumusan

masalah dalam penelitian tahap kedua ini, dirumuskan pertanyaan penelitian

sebagai berikut:

1. Apakah penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain

peran dapat meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High

Functioning Autism yang berperilaku agresif dan menyendiri di sekolah

dasar inklusif Kota Bandung?

2. Apakah penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain

peran dapat meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High

15

Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

Functioning Autism kelas rendah dan kelas tinggi di sekolah dasar inklusif

Kota Bandung?

3. Apakah penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain

peran dapat meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High

Functioning Autism yang berasal dari keluarga yang memiliki dukungan

memadai dan kurang memadai di sekolah dasar inklusif Kota Bandung?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan dan mengimplementasikan

model konseling kelompok dengan teknik bermain peran untuk

mengembangkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di

sekolah dasar inklusif Kota Bandung. Mencermati tujuan penelitian dimaksud,

maka penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahapan kegiatan penelitian.

Tujuan penelitian dalam penelitian tahap kesatu, adalah merumuskan

model konseling kelompok dengan teknik bermain peran untuk

mengembangkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di

sekolah dasar inklusif Kota Bandung. Untuk merumuskan tujuan penelitian

tersebut diperlukan data lapangan sebagai berikut:

1. Hambatan dan kemampuan yang dialami oleh anak dengan High

Functioning Autism dalam mengembangkan keterampilan sosial dengan

anak-anak reguler di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.

2. Aspek-aspek yang difahami guru tentang keterampilan sosial anak dengan

High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.

3. Kompetensi guru di sekolah dasar inklusif dalam melaksanakan model

bermain peran dengan teknik bermain peran untuk mengembangkan

keterampilan sosial pada anak dengan High Functioning Autism di sekolah

dasar inklusif Kota Bandung.

4. Dukungan yang diberikan orang tua siswa dalam mengembangkan

keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah

dasar inklusif di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.

16

Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

Tujuan penelitian dalam tahap kedua, adalah untuk

mengimplementasikan model konseling kelompok dengan teknik bermain

peran yang telah dirumuskan untuk mengembangkan keterampilan sosial anak

dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.

Dalam mengimplementasikan model konseling kelompok dengan teknik

bermain peran ini, dikelompokan berdasarkan kriteria sebagai berikut:

1. Penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran untuk

meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism

yang berperilaku agresif dan menyendiri di sekolah dasar inklusif Kota

Bandung.

2. Penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran untuk

meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism

kelas rendah dan kelas tinggi di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.

3. Penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran untuk

meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Auti

yang berasal dari keluarga yang memiliki dukungan memadai dan kurang

memadai di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan diskusi untuk mengkaji konsep-

konsep yang berkenaan dengan aspek-aspek perkembangan belajar anak

dengan High Functioning Autism yang mengikuti pendidikan di sekolah dasar

inklusif dan implikasinya bagi pengembangan model konseling kelompok

dengan teknik bermain peran yang efektif di sekolah dasar inklusif. Upaya

untuk mengkaji aspek-aspek dimaksud dipandang penting, mengingat ada

kecenderungan peningkatan jumlah anak autis yang mengikuti pendidikan di

sekolah inklusif, dan aspek-aspek perkembangan belajar anak autis sendiri

diprediksi akan mempengaruhi keberhasilan dalam mengikuti pendidikan

inklusi tersebut. Sisi lainnya, dari manfaat teoretis ini adalah dapat

17

Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

mengembangkan keterkaitan atau lintasan teori pendidikan khusus, termasuk di

dalamnya kajian anak autis dengan kerangka konseling kelompok di sekolah

inklusif. Kajian ini juga dapat bermanfaat mengingat dewasa ini terjadi

kecenderungan untuk mengembangkan layanan bimbingan konseling dalam

berbagai setting, termasuk di dalamnya dalam setting layanan bimbingan

konseling bagi anak autis.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendatangkan manfaat praktis, di

antaranya sebagai berikut:

a. Sebagai bahan masukkan bagi pihak-pihak terkait di sekolah dasar inklusif,

seperti kepala sekolah, guru mata pelajaran dan khususnya guru BK tentang

taraf keterampilan sosial anak autis dan upaya pengembangannya;

b. Sebagai bahan pertimbangan bagi guru kelas dan guru BK di sekolah

inklusif dalam melaksanakan layanan bimbingan dan konseling, khususnya

dengan konseling kelompok dengan teknik bermain peran pada anak

dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif;

c. Bagi peneliti selanjutnya, dapat dijadikan bahan kajian untuk mendalami

variabel atau lingkup penelitian lebih lanjut misalnya tentang faktor-faktor

kontekstual yang mempengaruhi perkembangan anak autis secara

komprehensif.

F. Definisi Operasional Variabel

Untuk memberikan arah atau batasan yang jelas tentang aspek-aspek

yang akan diungkap dalam penelitian ini, perlu dijelaskan beberapa batasan

sebagai berikut:

1. Model Konseling Kelompok dengan Teknik Bermain Peran

Menurut Nugent, dalam (Blochler, 1987: 23) menjelaskan bahwa

“konseling kelompok adalah intervensi yang direncanakan, sistematis, yang

ditujukan untuk membantu individu menjadi lebih sadar atas dirinya sendiri,

memaksimalkan kebebasan dan efektivitas manusia”. Aspek-aspek dimaksud

18

Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

nampak dalam definisi deskriptif tentang konseling kelompok sebagaimana

dikemukakan oleh Shertzer & Stone (1980: 46) sebagai berikut: “konseling

kelompok adalah suatu proses pemberian bantuan kepada individu melalui

suasana kelompok yang memungkinkan individu dapat mengembangkan

wawasan dan pemahaman yang diperlukan tentang suatu masalah tertentu,

mengeksplorasi dan menentukan alternatif terbaik untuk memecahkan masalah

atau dalam upaya mengembangkan pribadinya.

Secara konseptual konseling kelompok adalah “upaya bantuan kepada

individu dalam suasana kelompok, bersifat pencegahan, penyembuhan, dan

pengembangan”, serta memberi kemudahan perkembangan dan pertumbuhan”.

Dari batasan tersebut, dapat dipahami bahwa melalui kegiatan konseling

kelompok tersebut, konselor dapat memfasilitasi pengembangan potensi

individu melalui penciptaan suasana kelompok yang relevan, kondusif, dan

diperlukan serta dipahami oleh anggota dalam kelompok.

Konseling kelompok dengan pendekatan behavioral dalam

perkembangannya terdiri dari berbagai teknik. Salah satu teknik yang populer

dalam konseling kelompok adalah teknik bermain peran. Konseling kelompok

dengan dengan teknik bermain peran ini menekankan pada upaya melatih atau

mengajar konseli tentang keterampilan mengelola diri yang dapat

digunakannya untuk mengendalikan kehidupannya, untuk menangani masalah

masa kini dan masa datang, dan untuk mampu berfungsi dengan memadai

tanpa terapi yang terus menerus (Krumboltz & Thoresen, 1976, dalam

Natawidjaja (2009: 259). Para ahli dalam pendekatan behavioristik banyak

menekankan pendapatnya tentang upaya membantu manusia ke arah

pembentukan “perilaku pengarahan diri” (self-directed behavior) dan “gaya

hidup yang dikelola diri sendiri” (self-managed live style) (Natawidjaja, 2009:

259).

Perumusan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran

yang efektif dalam penelitian ini dihasilkan dari analisis empirik tentang

keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar

19

Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

inklusif dan kerangka konseptual konseling kelompok dengan teknik bermain

peran. Dengan demikian, maka dapat dirumuskan bahwa model konseling

kelompok dengan teknik bermain peran dalam penelitian ini adalah sebuah

model konseling kelompok yang dirumuskan berdasarkan analisis empirik

perilaku sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif

dan analisis konseptual tentang konseling kelompok dengan teknik bermain

peran yang ditujukan untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan

High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.

Implementasi dari model konseling kelompok dengan teknik bermain

peran yang efektif ini, dilaksanakan dalam 3 tahapan utama, yaitu:

a. Tahapan Permulaan; yaitu suatu tahapan sebelum terbentuknya kelompok

konseling dan pertemuan-pertemuan pertama dari keseluruhan rencana

konseling. Dalam tahapan permulaan pada konseling kelompok dengan

teknik bermain peran ini, peneliti menentukan jumlah anggota dalam

konseling kelompok—berapa orang anak dengan High Functioning Autism

dan anak reguler dalam kelompok konseling, dan target perilaku (target

behavior) yang hendak dicapai dalam proses konseling kelompok.

b. Tahapan Pelaksanaan; yaitu tahapan dimana peneliti (konselor)

merumuskan rancangan perilaku bantuan dan penerapan teknik bermain

peran.

c. Tahapan Akhir; yaitu suatu tahapan konseling kelompok dimana peneliti

(konselor) pertama-tama berusaha membantu konseli untuk mengalihkan

perubahan yang telah diperoleh konseli dalam kegiatan kelompok kepada

keadaan yang sebenarnya dalam aktivitas sehari-hari.

20

Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

2. Keterampilan Sosial Anak dengan High Functioning Autism

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah keterampilan sosial anak

dengan High Functioning Autism. Sebelum merumuskan batasan operasional

keterampilan sosial pada anak dengan High Functioning Autism, perlu dikupas

dulu batasan konseptual tentang keterampilan sosial.

Menurut Scheneider, et al (dalam Fajar.multifly.com) agar seseorang

berhasil dalam interaksi sosial, maka secara umum dibutuhkan beberapa

keterampilan sosial yang terdiri dari pikiran, pengaturan emosi, dan perilaku

yang tampak. Anak yang memiliki keterampilan sosial dapat diketahui dari

bagaimana cara berinteraksi dan berperilaku yang tepat sesuai dengan tuntutan

lingkungan. Dalam kaitannya dengan keterampilan anak dengan High

Functioning Autism, dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan dengan

keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism, adalah kemampuan

dalam berinteraksi dengan teman sebaya, seperti peer acceptance, keterampilan

berkomunikasi, perilaku interpersonal, perilaku personal, dan kemampuan

menyelesaikan tugas-tugas akademis.

Secara terstruktur, Elksnin & Elksnin (dalam Fajar.multifly.com)

mengidentifikasi keterampilan sosial dengan beberapa ciri sebagai berikut:

1) Peer acceptance

Perilaku yang berhubungan dengan kemampuan dalam memposisikan

dirinya sebagai bagian dari lingkungan atau teman sebaya. Data yang

diungkap memfokuskan pada target behaviour, yakni meningkatnya

kemauan dan kemampuan untuk memberi salam atau menyapa.

2) Keterampilan Komunikasi

Kemampuan anak dalam berkomunikasi dengan lingkungan, seperti

dengan guru dan teman sebaya. Data yang diungkap memfokuskan pada

target behaviour, yakni meningkatnya kemauan dan kemampuan untuk

mempertahankan perhatian dalam pembicaraan.

21

Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

3) Perilaku Interpersonal

Merupakan perilaku menyangkut keterampilan yang dipergunakan selama

melakukan interaksi sosial. Analisis data dalam dimensi ini memfokuskan

pada tercapainya perilaku yang dikehendaki (target behaviour) yaitu

meningkatnya kemauan untuk memberikan bantuan.

4) Perilaku Personal

Merupakan keterampilan untuk mengatur diri sendiri dalam situasi sosial.

Dalam penelitian ini, data tentang perilaku interpersonal memfokuskan

pada pada target behaviour, yakni meningkatnya kemauan dan

kemampuan untuk menghadapi kendala/kesulitan.

5) Perilaku yang berhubungan dengan kesuksesan akademis

Merupakan perilaku atau keterampilan sosial yang dapat mendukung

prestasi belajar di sekolah. Dalam data ini memfokuskan pada target

behaviour, yakni meningkatnya kemauan dan kemampuan untuk

mendengarkan penjelasan materi pelajaran.

G. Asumsi Penelitian

1. Layanan program bimbingan dan penyuluhan merupakan bagian

integral dari sistem pendidikan anak luar biasa, termasuk di dalamnya

bagi anak autis. (Moerdiani, 1987: 12).

2. Program bimbingan dan konseling harus fleksibel, disesuaikan dengan

kebutuhan individu, masyarakat, dan kondisi lembaga (Depdikbud,

1994).

3. Semua anak memerlukan pendidikan yang membantu mereka

berkembang untuk hidup dalam masyarakat yang normal (Sunanto,

2000: 4).

4. Individu akan mencapai perkembangan secara optimal, manakala

terjadi interaksi yang sehat antara individu dengan lingkungan.

(Ahman, 1997: 3).

22

Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

H. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan analisis teori tentang rancang bangun konseling kelompok

dengan teknik bermain peran dan karakrteristik perilaku anak dengan High

Functioning Autism di sekolah dasar inklusif, maka dapat dirumuskan hipotesis

penelitian sebagai berikut:

1. Penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran dapat

meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism

yang berperilaku agresif dan menyendiri di sekolah dasar inklusif Kota

Bandung.

2. Penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran dapat

meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism

kelas rendah dan kelas tinggi di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.

3. Penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran yang

efektif dapat meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High

Functioning Autism yang berasal dari keluarga yang memiliki dukungan

memadai dan kurang memadai di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.

23

Agus Irawan Sensus, 2014. MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu