bab i pendahuluan a. latar belakang - portal...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan
berbahasa.Untuk dapat berkomunikasi antaranggota kelompok masyarakat
diperlukan suatu alat yang disebut bahasa. Bahasa (language) merupakan sistem
lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu
masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri
(Kridalaksana, 2001: 21). Sebagai alat komunikasi dan alat interaksi, bahasa dapat
dikaji secara internal dan eksternal. Kajian secara internal, artinya pengkajian
bahasa itu hanya dilakukan terhadap struktur intern bahasa itu saja, seperti
struktur fonologi, struktur morfologi, dan struktur sintaksis. Kajian secara
eksternal, berarti kajian bahasa dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor yang
berada di luar kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan (Chaer dan Agustina,
1995: 1)
Salah satu cabang ilmu yang mempelajari bahasa dengan berbagai macam
hubungannya dengan masyarakat pemakai bahasa disebut sosiolinguistik.
Sosiolinguistik merupakan perpaduan antara ilmu sosiologi dan linguistik
(Alwasilah, 1985: 1). Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai
manusia, lembaga-lembaga dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat.
Linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa atau bidang ilmu yang
mengambil bahasa sebagi objek kajiannya (Chaer, 1995: 2) mengatakan, bahwa
1
2
sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan
pemakaiannya di dalam masyarakat.
Bahasa menjadi ciri identitas suatu bangsa, melalui bahasa orang dapat
mengidentifikasi kelompok masyarakat, bahkan dapat mengenali perilaku dan
kepribadian masyarakat penuturnya. Oleh karena itu, masalah kebahasaan tidak
terlepas dari kehidupan masyarakat penuturnya. Pada hakikatnya manusia adalah
makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan bahasa baik lisan
maupun tulisan guna bergaul dengan manusia lain, baik untuk menyatakan
pendapatnya, maupun untuk mempengaruhi orang lain demi kepentingan sendiri
maupun kepentingan kelompok atau kepentingan bersama.
Penutur dan bahasa selalu dihubungkan dengan kegiatan dalam
masyarakat, dengan kata lain, bahasa tidak dipandang sebagai gejala individu,
tetapi juga gejala sosial. Sebagai gejala sosial, bahasa dan pemakai bahasa tidak
hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik, tetapi juga faktor non-linguistik,
yaitu faktor sosial yang dapat mempengaruhi pemakaian bahasa misalnya status
sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin, dsb. Di samping
itu, pemakaian bahasa juga dipengaruhi faktor-faktor situasional, yaitu dengan
siapa ia berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dimana dan mengenai
masalah apa (Suwito, 1983: 3). Faktor-faktor tersebut berlaku untuk penggunaan
bahasa lisan maupun dalam bahasa tulis.
Bahasa sebagai bagian dari masyarakat merupakan gejala sosial yang tidak
dapat terlepas dari pemakainya. Pada masa sekarang ini pemakaian bahasa tidak
hanya digunakan dalam komunikasi percakapan sehari-hari saja, namun juga
3
digunakan untuk berkomunikasi di dalam media massa, baik itu media elektronik
seperti televisi, radio dan internet. Sedangkan komunikasi melalui media cetak
dapat berupa surat kabar, artikel maupun majalah. Salah satu media cetak untuk
berkomunikasi adalah majalah Panjebar Semangat. Panjebar Semangat
merupakan majalah mingguan berbahasa Jawa yang terbit di Surabaya. Yang di
dalamnya terdapat rubrik Crita Sambung, rubrik ini berisi tentang cerita rekaan
(fiksi) berbahasa Jawa yang dimuat secara berturut-turut di majalah Panjebar
Semangat.
Alih kode dan campur kode timbul akibat dari penggunaan bahasa dalam
rubrik Crita Sambung yang terdapat dalam majalah Panjebar Semangat. Hal ini
terjadi dalam masyarakat multilingual yaitu masyarakat yang menggunakan dua
bahasa atau lebih. Dapat diambil kesimpulan bahwa alih kode dan campur kode
merupakan bagian dari sosiolinguistik.
Berikut adalah contoh alih kode dan campur kode dalam cerbung Mulih
Ndesa karya Suryadi WS.
(1) Lamunane buyar jalaran hape-ne muni. Bareng diangkat jebul saka Bu
Rusti.
„Lamunannya buyar karena handphone-nya berbunyi.Setelah diangkat
ternyata dari Bu Rusti.‟
Sekarwangi : “Inggih, Bu. Inggih... sedaya sampun rampung,
dhaharan badhe kula tata samenika... inggih...”
„Iya, Bu. Iya... semua sudah selesai, makanan akan segera
saya tata... iya...‟
Dheweke menyang ruwang makan.
„Dia pergi ke ruang makan.‟
Sekarwangi : “Wisudhane wis rampung, Yu Sarmi,” tembunge marang
kancane.
„Wisudanya sudah selesai, mbak Sarmi, ujarnya kepada
temannya.‟
4
Berdasarkan data di atas, terdapat alih kode intern (internal code
switching). Peristiwa alih kode yang terjadi pada data di atas ditandai pada
kalimat yang bercetak tebal. Pada awalnya Sekarwangi (penutur) berbicara
dengan Bu Rusti (mitra tutur) melalui telepon dengan menggunakan
bahasa Jawa ragam Krama “Inggih, Bu. Inggih... sedaya sampun
rampung, dhaharan badhe kula tata samenika... inggih...” karena dalam
cerbung ini Bu Rusti adalah majikannya. Lalu Sekarwangi beralih kode
menggunakan bahasa Jawa ragam Ngoko “Wisudhane wis rampung, Yu
Sarmi,” ketika ia berbicara dengan Yu Sarmi, yaitu teman Sekarwangi.
Fungsi dari alih kode tuturan tersebut dipengaruhi oleh faktor situasional,
yaitu dengan siapa penutur berbicara. Faktor penyebab terjadinya alih
kode adalah hadirnya orang ketiga.
(2) Marta : “Akeh wong sugih mblegedhu ing Jakarta iki, katone waras-wiris
nanging sejatine duwe penyakit, kaya dene penyakit gula darah,
tekanan darah tinggi, lemah jantung, jantung koroner, vertigo,
radang lambung lan sabangsane, sing sok ora kenyana-nyana
kumat saenggon-enggon.”
„Banyak orang yang kaya raya di Jakarta ini, kelihatannya sehat
tetapi sebenarnya punya penyakit, seperti penyakit gula darah,
tekanan darah tinggi, lemah jantung, jantung koroner, vertigo,
radang lambung dan lain sebagainya, yang terkadang tidak
disangka-sangka bisa kambuh dimana-mana.‟
Data di atas merupakan campur kode kata yaitu ditandai dengan masuknya
unsur bahasa Indonesia „gula darah‟, „tekanan darah tinggi‟, „lemah
jantung‟, „jantung koroner‟, „vertigo‟, „radang lambung‟ ke dalam
tuturan bahasa Jawa. Fungsi campur kode kata tersebut adalah untuk
memudahkan penutur dalam menyampaikan maksud tuturannya.
Adapun penelitian yang sejenis dengan penelitian ini diantaranya sebagai
berikut:
5
1. “Alih Kode dan Campur Kode dalam Iklan Berbahasa Jawa Pada
Radio di Kabupaten Sukoharjo” (2012) oleh Sri Kusuma Wardani.
Skripsi tersebut mengkaji bentuk, fungsi dan faktor yang
melatarbelakangi alih kode dan campur kode yang terdapat dalam
iklan berbahasa Jawa pada radio di Kabupaten Sukoharjo.
2. “Alih Kode dan Campur Kode dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia Kelas X SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta” tesis oleh
Rulyandi (2014). Penelitian ini difokuskan pada peristiwa-peristiwa
yang menonjol terjadinya alih kode dan campur kode dalam
pembelajaran bahasa Indonesia kelas X SMA Muhammadiyah 4
Yogyakarta dan faktor-faktor yang melatabelakangi terjadinya alih
kode dan campur kode di dalam pembelajaran bahas Indonesia kelas X
SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta tersebut.
3. “Alih Kode dan Campur Kode dalam Cerbung Dolanan Geni
Karya Suwardi Endraswara” pada tahun 2010 oleh Etik Yuliati
skripsi ini mengkaji tentang peristiwa alih kode dan campur kode yang
terdapat dalam cerbung Dolanan Geni karya Suwardi Endraswara.
4. “Pemakaian Alih Kode dan Campur Kode Bahasa Jawa di Pasar
Elpabes Proliman Balapan Surakarta” pada tahun 2012 oleh
Sukmawan Wisnu Pradanta. Skripsi yang meneliti tentang bentuk,
fungsi dan faktor yang melatarbelakangi alih kode dan campur kode
yang terjadi di pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta.
5. “Alih Kode dan Campur Kode pada Komunikasi Guru-Siswa di
SMA Negeri 1 Wonosari Klaten” tahun 2011 oleh Adi Nugroho.
6
Penelitian ini difokuskan pada peristiwa alih kode dan campur kode
yang terjadi dalam pembelajaran di SMA Negeri 1 Wonosari Klaten.
Penelitian atau skripsi terdahulu yang telah dipaparkan di atas sebagai
salah satu acuan atau referensi bagi peneliti. Penelitian atau skripsi di atas
merupakan sarana pembanding dengan penelitian ini, karena masalah yang
terdapat dalam penelitian ini dengan penelitian sebelumnya berbeda. Yang
membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah data dan sumber
datanya.
Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, menunjukkan bahwa penelitian
tentang alih kode dan campur kode yang terdapat dalam cerbung Mulih Ndesa
karya Suryadi WS belum pernah dilakukan. Adapun penelitian ini diberi judul
“Alih Kode dan Campur Kode Bahasa Jawa dalam Cerbung Mulih Ndesa
Karya Suryadi WS”
B. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini terdapat pembatasan masalah. Hal ini dilakukan agar
penelitian dapat terfokus dan tidak keluar dari masalah yang akan dikaji. Masalah
dalam penelitian ini dibatasi pada alih kode, campur kode dan faktor penyebab
terjadinya alih kode dan campur kode tersebut.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan tiga masalah
penelitian sebagai berikut.
7
1. Bagaimanakah wujud alih kode dan campur kode dalam cerbung
Mulih Ndesa karya Suryadi WS?
2. Bagaimanakah fungsi alih kode dan campur kode dalam cerbung
Mulih Ndesa karya Suryadi WS?
3. Apakah faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode dan campur
kode dalam cerbung Mulih Ndesa karya Suryadi WS?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Mendeskripsikan wujud alih kode dan campur kode dalam cerbung
Mulih Ndesa karya Suryadi WS.
2. Mendeskripsikan fungsi alih kode dan campur kode dalam cerbung
Mulih Ndesa karya Suryadi WS.
3. Menjelaskan hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya alih kode dan
campur kode dalam cerbung Mulih Ndesa karya Suryadi WS.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah teori linguistik Jawa,
khususnya mengenai alih kode dan campur kode bahasa Jawa dalam
cerbung.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat memberi sumbangan materi pelajaran bahasa Jawa bagi guru atau
pengajar bahasa Jawa.
8
b. Dapat digunakan sebagai materi penulisan bagi para penulis cerbung
bahasa Jawa yang efektif dan komunikatif.
c. Dapat memberi informasi tentang alih kode dan campur kode yang
dipergunakan dalam cerbung Mulih Ndesa karya Suryadi WS.
d. Bagi masyarakat yaitu dapat menggunakan bahasa Jawa dalam
berkomunikasi dengan baik dan benar.
F. Kajian Teori
1. Pengertian Sosiolinguistik
Menurut Kridalaksana, sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang
mempelajari hubungan dan saling pengaruh antar perilaku bahasa dan perilaku
sosial (1983: 156). Sosiolinguistik bukan saja menyoroti masalah bahasa dalam
suatu masyarakat melainkan bahasa dengan perilaku sosial.
Chaer dan Agustina (2004: 4) berpendapat bahwa sosiolinguistik adalah
cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan
objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam
masyarakat tutur. Menurut Nababan, sosiolinguistik merupakan studi atau
pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota
masyarakat. Bisa juga dikatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari dan
membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya yang terdapat dalam
bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan, secara khusus dalam
konteks sosial dan kebudayaan yang menghubungkan faktor-faktor kebahasaan,
mengkaji fungsi-fungsi dan penggunaan bahasa dalam masyarakat.
9
Yang berkaitan dengan sosiolinguistik, dalam konferensi sosiolinguistik
berpendapat bahwa, masalah-masalah yang dikaji atau dibahas dalam
sosiolinguistik adalah: (a) Identitas sosial dari penutur, (b) Identitas sosial dari
pendengar yang terlibat dalam proses komuikasi, (c) Lingkungan sosial tempat
peristiwa tutur terjadi, (d) Analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek
sosial, (e) Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk
ujaran, (f) Tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (g) Penerapan praktis dari
penelitian sosiolinguistik (Suwito, 1997: 56)
2. Bilingualisme
Nababan (1993: 27) mengungkapkan bahwa banyak sekali daerah dan kota
terdapat orang-orang yang memakai bahasa-bahasa berlainan. Dengan kata lain,
orang-orang tersebut dapat memakai bahasa lebihdari satu, misalnya bahasa
daerha dan bahasa Indonesia. Nababan berpendapat bahwa istilah kedwibahasaan
ialah kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam berinteraksi dengan orang lain.
Secara sosiolinguistik, kedwibahasaan (bilingualisme) sebagai penggunaan dua
bahasa, seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain. Maka dari itu,
bilingualisme sangat diperlukan untuk berkomunikasi dalam lingkungan
bermasyarakat atau dapat juga untuk perorangan.
Istilah lain bilingualisme dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai
kedwibahasaan, yang memiliki arti pemakaian yang bergantian dua bahasa atau
lebih (Alwasilah, 1985: 125), sedangkan orang yang mampu menggunakan bahasa
10
yang mana saja dalam situasi apa saja disebut orang yang berdwibahasa atau
dwibahasawan.
3. Tingkat Tutur
Menurut Soepomo Poedjosoedarmo pembagian tingkat tutur bahasa Jawa
dibagi menjadi tiga tingkat tutur yaitu tingkat tutur ngoko, tingkat tutur krama dan
tingkat tutur madya. Berikut ini adalah penjelasan mengenai ketiganya:
1. Tingkat tutur ngoko adalah tingkat tutur bahasa Jawa yang
mencerminkan rasa tidak berjarak antara O1 terhadap O2. Artinya O1
tidak memiliki rasa segan (jiguh pekewuh) terhadap O2. Jadi, buat
seorang yang ingin menyatakan keakrabannya terhadap O2. Tingkat
tutur ngoko inilah yang seharusnya dipakai.
2. Tingkat tutur krama adalah tingkat tutur yang memancarkan arti penuh
sopan santun. Tingkat tutur ini menandakan adanya perasaan segan
(pekewuh) O1 terhadap O2, dikarenakan O2 adalah orang yang belum
dikenal, berpangkat, priyayi, berwibawa, dan lain-lain.
3. Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah atau krama dan
ngoko. Ia menunjukkan perasaan sopan secara sedang-sedang saja.
Tingkat ini bermula adalah tingkat tutur krama, tetapi dalam proses
perkembangannya telah mengalami tiga perkembangan penting.
Perkembangan itu adalah proses perkembangan kolokialisasi
(informalisasi), penurunan tingkat, dan ruralasi. Inilah sebabnya bagi
kebanyakan orang tingkat tutur madya ini dianggap tingkat tutur yang
setengah sopan dan setengah tidak. Adanya anggapan bahwa pengguna
11
madya itu adalah suatu penanda bahwa si pemakai itu orang desa.
Madya juga dianggap tingkat tutur yang setengah-setengah
(Poedjosoedarmo, 1979:14-16).
4. Kode dan Alih Kode
Kode adalah suatu sistem tutur yang penerapannya serta unsur
kebahasaannya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi
penutur dengan lawan tuturnya situasi tutur yang ada (Poedjosoedarmo dalam
Rahardi, 2001: 20)
Alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian atau peralihan
pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa atau bahkan
beberapa gaya darisatu ragam (Hymes dalam Rahardi, 2001: 20). Hymes
membagi alih kode berdasarkan sifatnya menjadi dua yaitu alih kode intern
(internal code switching) dan alih kode ekstern (external code switching).
Suwito (1983: 68-69) mengungkapkan bahwa alih kode mungkin
berwujud alih varian, alih ragam, alih gaya, atau alih register. Ciri-ciri alih kode
adalah penggunaan dua bahasa (atau lebih) itu ditandai oleh (a) masing-masing
bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, (b)
fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan
perubahan konteks. Disimpulkan bahwa bentuk alih kode adalah alih varian, alih
gaya atau alih register. Alih kode secara bahasa dapat dilihat dali alih bahasa dan
alih ragam dalam dua konteks yang berbeda.
Chaer dan Agustina (2004: 108) berpendapat bahwa penyebab alih kode
antara lain: (a) Pembicara atau penutur, (b) Pendengar atau lawan tutur, (c)
12
Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (d) Perubahan dari informal ke
informal atau sebaliknya, (e) Perubahan topik pembicaraan.
Suwito (1983: 72-75) menjelaskan beberapa hal tentang fungsi alih kode
sebagai berikut:
a. Penutur (O1)
Seorang penutur kadang-kadang dengan sadar berusaha beralih
kode terhadap lawan tuturnya karena suatu maksud. Biasanya usaha
tersebut dilakukan dengan maksud mengubah situasi, yaitu situasi resmi ke
situasi tak resmi.
b. Mitra tutur (O2)
Setiap penutur ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh
mitra tutur.
c. Hadirnya penutur ketiga
Dua orang berasal dari etnik yang sama umumnya saling
berinteraksi dengan bahasa kelompok etniknya, tetapi apabila kemudian
hadir orang ketiga dalam pembicaraan itu, dan orang itu berbeda latar
belakang kebahasaannya, biasanya dua oran pertama akan beralih
kebahasa yang dikuasai oleh ketiganya.
d. Pokok pembicaraan
Pokok pembicaraan merupakan faktor yang termasuk dominan
dalam menentukan terjadinya alih kode.
e. Membangkitkan rasa humor
Alih kode sering dimanfaatkan oleh pelawak, guru atau pimpinan
rapat untuk membangkitkan rasa humor. Bagi pelawak, untuk membuat
13
penonton merasa puas dan senang. Bagi pemimpin rapat rasa humor untuk
menghilangkan ketegangan yang muncul dalam memecahkan masalah
f. Sekedar bergengsi
Sebagian penutur yang beralih kode sekedar untuk bergengsi. Hal
itu terjadi apabila baik faktor situasi, lawan bicara, topik dan faktor-faktor
sosio-situasional yang sebenarnya tidak mengharuskan dia untuk beralih
kode (1983: 72-74)
5. Campur Kode
Peristiwa campur kode terjadi apabila terdapat unsur-unsur bahasa lain
yang digunakan untuk komunikasi dalam bahasa sehari-hari, misalnya dalam
berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa, seorang penutur memasukkan unsur-
unsur bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa yang digunakan. Peristiwa di atas
merupakan salah satu gejala dari campur kode. Di dalam campur kode ciri-ciri
ketergantungan ditandai dengan hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi
kebahasaan (Suwito, 1983: 75)
Campur kode adalah suatu keadaan berbahasa bilamana orang mencampur
dua atau lebih bahasa dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu
ke dalam bahasa yang lain, unsur-unsur yang menyisip tersebut tidak lagi
mempunyai fungsi tersendiri (Suwito, 1983: 68). Suatu keadaan berbahasa
bilamana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa alam suatu
tindak bahasa itu, hanya kesantaian penutur dan kebiasaannya yang dituruti
disebut dengan campur kode (Nababan, 1993: 32)
14
Ciri yang menonjol dalam campur kode ini adalah kesantaian atau situasi
informal. Dalam situasi berbahasa formal, jarang terjadi campur kode, kalau
terdapat campur kode dalam keadaan itu karena tidak ada kata atau ungkapan
yang tepat untuk menggunakan bahasa yang sedang dipakai sehingga perlu
memakai kata atau ungkapan dari bahasa daerah atau bahasa asing (Nababan,
1991: 32)
Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu: (a) Campur kode ke dalam (inner
code mixing), campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala
variasinya, (b) Campur kode ke luar (outer code mixing), campur kode yang
berasal dari bahasa asing.
Dwi Sutana (2000: 76-89) membagi beberapa fungsi terjadinya campur
kode sebagai berikut: (a) Fungsi campur kode untuk penghormatan, (b) Fungsi
campur kode untuk menegaskan suatu maksud tertentu, (c) Fungsi campur kode
untuk menunjukkan identitas diri dan (d) Fungsi campur kode karena pengaruh
materi pembicaraan.
6. Faktor yang Melatarbelakangi Pemakaian Bahasa Jawa dalam
Cerbung Mulih Ndesa
Peristiwa tutur adalah terjadinya interaksi linguistik dalam satu bentuk
ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur,
dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Abdul
Chaer dan Leonie Agustina, 2004:47). Jadi, interaksi yang berlangsung antara
tokoh-tokoh dalam cerbung Mulih Ndesa pada waktu tertentu dengan
menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur.
15
Sebuah percakapan baru dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur jika
memenuhi syarat 8 komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan
menjadi akronim SPEAKING (Hymes dalam Chaer dan Agustina, 2004: 47). Ke
8 komponen itu adalah:
1. S:Setting dan Scene yaitu tempat bicara dan situasi bicara
2. P: Partisipan yaitu pembicara, lawan bicara dan pendengar
3. E: End atau tujuan yaitu tujuan aktif tuturan. Tujuan aktif yang
dimaksudkan dalam penelitian ini adalah tujuan tuturan khususnya
tujuan alih kode dan campur kode bahasa Jawa.
4. A: Act yaitu suatu peristiwa dimana seorang pembicara sedang
mempergunakan kesempatan bicaranya.
5. K: Key atau nada suara dan ragam bahasa yang dipergunakan dalam
menyampaikan pendapatnya, dan cara mengemukakan pendapatnya.
6. I: Instrumen yaitu alat untuk menyampaikan pendapat.
7. N: Norm, norma yaitu aturan permainan yang mesti ditaati oleh setiap
penutur.
8. G: Genre, yaitu jenis kegiatan. Jenis kegiatan dalam penelitian ini
bentuk tuturan yang terdiri dari dua yaitu dialog dan monolog. Dialog
adalah percakapan kemudian monolog adalah pembicaraan tunggal.
Disimpulkan bahwa komponen tutur merupakan faktor yang
melatarbelakangi tuturan (bersifat sosio-situasional) beserta fungsi kebahasaan
yang berpengaruh terhadap bentuk tutur. Penelitian ini dianalisis dengan
menggunakan komponen tutur yang dikemukakan oleh Hymes. Adapun
komponen tutur yang dipakai untuk menganalisis latar belakang penggunaan alih
16
kode dan campur kode adalah: (1) Penutur, (2) Mitra tutur, (3) Situasi tutur, (4)
Tujuan tutur, dan (5) Hal yang dituturkan.
7. Pengertian Cerita Sambung
Cerita sambung adalah salah satu hasil dari karya sastra modern yang
dimuat tidak hanya sekali pada suatu majalah atau media massa lainnya,
melainkan dimuat beberapa kali secara berturut-turut. Cerita sambung biasanya
sangat panjang karena teknik penceritaan yang mendetail antara satu kejadian
dengan kejadian selanjutnya dan juga lengkapnya penuturan dari satu bagian ke
bagian lain dalam cerita bersambung tersebut. Cerita bersambung juga
mempunyai tokoh utama ada pula tokoh pembantu yang terdapat dalam suatu
cerita bersambung dan biasanya lebih kompleks dan lebih banyak (Suripan Sadi
Hutomo, 1987: 5)
Cerbung memiliki struktur yang sama dengan novel, cerpen/roman, yaitu
memiliki tema, amanat, penokohan, alur dan latar dalam cerita. Perbedaannya
disajikan bagian demi bagian.
G. Metode Penelitian
Istilah metode dalam penelitian linguistik ditafsirkan sebagai strategi kerja
berdasarkan ancangan tertentu. Dengan demikian ancangan tersebut merupakan
kerangka berpikir untuk menentukan metode sekaligus teknik penelitian.Istilah
teknik dapat diartikan sebagai langkah dalam kegiatan yang terdapat pada
kerangka strategi kerja tertentu.Secara lebih khusus teknik itu adalah
pengumpulan data dan teknik analisis data (Edi Subroto, 1992: 32).
17
Dalam metode penelitian ini meliputi hal-hal seperti: (1) jenis penelitian,
(2) sumber data dan data, (3) metode pengumpulan data, (4) teknik klasifikasi data
(5) metode analisis data, dan (6) metode penyajian hasil analisis.
1. Jenis Penelitian
Penelitian berjudul “Alih Kode dan Campur Kode Bahasa Jawa
dalam Cerbung Mulih Ndesa Karya Suryadi WS” termasuk jenis
penelitian deskriptif kualitatif.
Deskriptif kualitatif yaitu pemerian data yang berupa kata-kata dan
bukan angka-angka, yang berusaha memberikan dan menjelaskan
berbagai segi kebahasaan yang muncul sebagai fenomena penelitian
sehingga apa yang dihasilkan adalah paparan apa adanya (Sudaryanto,
1992: 62).
Deskriptif dalam arti penelitian yang dilakukan semata hanya
berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang memang secara
empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan atau
yang dicatat berupa pemerian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya
sebagai potret: paparan seperti nyatanya (Sudaryanto, 1993: 62).
Kualitatif merupakan penelitian yang metode pengkajian atau
metode penelitian terhadap suatu masalah yang tidak didesain atau
dirancang menggunakan prosedur-prosedur statistik (Edi Subroto,
1992: 5)
Oleh karena itu penelitian alih kode dan campur kode bahasa Jawa
dalam cerbung Mulih Ndesa mereduksi fenomena bahasa yang
18
digunakan oleh penulis melalui tuturan para tokoh yang terdapat dalam
cerbung tersebut berupa kata, frasa, kalimat dan bukan angka-angka.
2. Data dan Sumber Data
Data adalah fenomena lingual khusus yang mengandung dan
berkaitan langsung dengan masalah yang dimaksud (Sudaryanto, 1992:
5). Data dalam penelitian ini adalah data tulis berupa tuturan yang di
dalamnya terdapat alih kode dan campur kode yang digunakan oleh
para tokoh dalam cerbung Mulih Ndesa karya Suryadi WS.
Sumber data dalam penelitian ini adalah cerbung Mulih Ndesa dari
episode awal hingga akhir. Cerbung berjudul Mulih Ndesa ini
merupakan karya Suryadi WS yang dimuat secara teratur dalam
majalah berbahasa Jawa, Panjebar Semangat. Mulai dari edisi nomor
27 yaitu tanggal 4 Juli 2015 sampai dengan edisi nomor 52 tanggal 26
Desember 2015, dan terdiri dari 26 episode yang dimuat secara
berturut-turut.
3. Alat Penelitian
Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Alat utama
dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Disebut alat utama karena
alat tersebut yang paling dominan dalam penelitian khususnya dalam
pencarian data. Sedangkan alat bantu dalam penelitian ini yakni
bolpoint untuk menandai data dalam sumber data dan komputer.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis dan
menjelaskan suatu fenomena (Harimurti Kridalaksana, 2001 136).
19
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak.
Metode simak atau penyimakan, dilakukan dengan menyimak
pengguna bahasa (Sudaryanto, 1988 2). Adapun teknik dasar yang
dipakai adalah teknik pustaka, sedangkan teknik lanjutan yang
digunakan adalah catat.
Metode simak untuk membantu memperoleh data tulis dengan
menggunakan teknik pustaka, yaitu mengguanakan sumber tulis untuk
memperoleh data (Edi Subroto, 1992: 42). Melalui metode simak ini
penulis mengamati penggunaan alih kode dan campur kode pada
cerbung Mulih Ndesa yang kemudian dilanjutkan dengan teknik catat.
Adapun langkah-langkah pengumpulan data tulis adalah sebagai
berikut, pertama, peneliti menyimak sumber data tulis yang telah
ditentukan pada sampel data. Kedua, peneliti mencari tuturan tokoh
yang mengandung alih kode dan campur kode untuk dijadikan data
penelitian. Kemudian memberi tanda garis bawah dengan bolpoint
pada tuturan tokoh yang di dalamnya mengandung peristiwa alih kode
dan campur kode. Ketiga, peneliti menggunakan teknik catat yakni
dengan mencatat tuturan-tuturan yang mengandung alih kode dan
campur kode.
5. Teknik Klasifikasi Data
Klasifikasi data dilakukan sesuai dengan poko persoalan yang
diteliti.Hasil klasifikasi data harus memberikan manfaat dan
kemudahan analisis data (Tri Mastoyo, 2007: 47). Klasifikasi berarti
penyusunan bersistem dalam kelompok atau golongan menurut kaidah
20
atau standar yang ditetapkan (KBBI, 2008: 706). Klasifikasi data
dilakukan setelah semua data yang dibutuhkan telah terkumpul.
Menutur Subroto pengklasifikasian data merupakan maslah pengaturan
data menutur asas-asas tertentu, hal ini mempunyai kepentingan yang
cukup strategis di dalam penelitian (2007: 51)
Data yang dikumpulkan dikelompok-kelompokkan terlebuh dahulu
dengan maksud untuk mendapatkan tipe-tipe data yang tepat dan
cermat. Klasifikasi data akan dapat memberikan arah serta gambaran
mengenai langkah-langkah analisis dalam tahap selanjutnya.
Klasifikasi data pada penelitian ini dilakukan dengan penyimakan
terhadap data-data yang mengandung alih kode dan campur kode.
Adanya pengurutan data bermanfaat untuk mencocokkan data-data
dengan analisisnya, yaitu memberikan syarat tambahan apa yang akan
dikerjakan berikutnya dan bagaimana tahapan ini dilakukan dengan
mengurutkan sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun penomoran data
disesuaikan menurut nomor urut contoh data, sumber data,
namapengarang, edisi, tanggal, bulan dan tahun. Contoh:
(7MN/SWS/28/2015)
Keterangan
7 : nomor urut data
MN : Mulih Ndesa (judul cerbung)
SWS : Suryadi WS (nama pengarang)
28 : edisi terbit majalah Panjebar Semangat
2015 : tahun terbit majalah
21
6. Metode Analisis Data
Analisis merupakan upaya peneliti menangani langsung masalah
yang terkandung pada data (Sudaryanto, 1992: 6). Analisis data
bertujuan untuk mengetahui masalah-masalah yang berhubungan
dengan alih kode, campur kode, dan fungsi pemakaian bahasa dalam
cerbung Mulih Ndesa. Dengan demikian dapat diketahui pengaruh
peristiwa-peristiwa terhadap pemakaian bahasa Jawa, sehingga
pernyataan dalam perumusan masalah dapat terjawab, penulis
menganalisis data dengan menggunakan metode distribusional dan
metode padan.
a. Metode Distribusional
Metode distribusional yaitu metode analisis data yang alat
penentunya unsur dari bahasa itu sendiri (Sudaryanto, 1992:
15). Metode distribusional digunakan untuk menganalisis
bentuk alih kode dan campur kode dalam tuturan para tokoh.
Teknik dasar yang digunakan adalah teknik bagi unsur
langsung (BUL). Teknik ini digunakan untuk membagi satuan
lingual data menjadi beberapa unsur dan unsur-unsur yang
bersangkutan dipandang sebagai bagian yang membentuk
satuan lingual yang dimaksud ( Sudaryanto, 1993: 13). Teknik
ini digunakan untuk menganalisis bentuk pemakaian bahsa
Jawa. Teknik lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik ganti. Yaitu dengan cara mengganti satuan
lingual dengan satuan lingual lain. Teknik ini memiliki kadar
22
kesamaan kelas kata atau kategori unsur yang terganti dengan
yang mengganti (Sudaryanto, 1993: 41)
Adapun contoh penerapannya adalah sebagai berikut:
(1) “Ya wis aku manut Mas, aku arep didhawuhi ngapa?”
„Ya sudah saya menurut Mas, saya akan disuruh apa?‟
(Episode 7)
Unsur langsung kalimat tersebut adalah ya wis aku manut Mas
„ya sudah saya menurut Mas‟ dan aku arep didhawuhi ngapa?
„saya akan disuruh apa?‟. Terdapat jeda diantara kedua unsur
langsung tersebut.Pada data di atas terdapatcampur kode ke
dalam (inner code-mixing) yaitu bahasa Jawa ragam Krama
„didhawuhi‟. Hal ini bisa dibuktikan ketika kata „didhawuhi‟
diganti dengan kata „dikongkon‟, maka tidak terjadi peristiwa
campur kode dalam tuturan pada data tersebut. Namun, kata
„dikongkon‟ tersebut tidak digunakan dalam tuturan pada data
di atas karena penutur (O1) masih bertindak sopan terhadap
mitra tuturnya (O2).
b. Metode Padan
Metode padan adalah metode analisis data yang alat
penentunya di luar, terlepas dan tidak menjadi bagian yang
bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Metode padan
digunakan untuk menganalisis tuturan bahasa Jawa dengan
memperhatikan konteks sosial antara penutur dan mitra tutur
berdasarkan waktu dan tempat terjadinya peristiwa tutur.
Teknik dasar yang digunakan adalah teknik Pilah Unsur
23
Penentu (PUP). Teknik ini digunakan untuk mengetahui faktor
yang melatarbelakangi pemakaian bahasa Jawa dalam cerbung
Mulih Ndesa dan fungsi pemakaian bahasanya.
Teknik lanjutannya adalah teknik Hubung Banding
Memperbedakan (HBB). Teknik ini digunakan untuk
menganalisis alih kode dan campur kode dalam cerbung Mulih
Ndesa.
Fungsi pemakaian bahasa Jawa dalam cerbung ini dapat
dilihat dari komponen tutur yang melatarbelakanginya.
Penerapan dari metode tersebut dalam menganalisis data
adalah sebagai berikut:
(2) O1 : “Supaya olehe jagongan kepenak, wiwit saiki kowe ora
sah basa krama. Ngoko wae”
„Biar ngobrolnya enak, mulai sekarang kamu tidak usah
pakai bahasa Krama. Ngoko saja‟
O2 : “Ah mboten,” saure Sekarwangi. “Kula menika rak
namung babu. Babu menika batur.”
„Ah tidak, jawab Sekarwangi.„Saya ini kan hanya babu.
Babu itu pembantu‟
O1 : “O ya aku lali. Kowe ki batur lan aku bendara. Ngono
ya?”
„O iya aku lupa. Kamu ini kan pembantu dan saya majikan.
Gitu ya?‟
O2 : “Inggih.”
„Ya‟
O1 : “Batur ki kudu ngajeni bendarane, ya?”
„Pembantu itu harus menghormati majikannya, ya?‟
O2 : “Inggih.”
„Ya‟
O1 : “Didhawuhi apa-apa kudu manut, ya?”
„Disuruh apa-apa harus nurut, ya?‟
O2 : “Inggih ngaten.”
„Ya begitu‟
O1 : “Bener?” ucape Damarjati karo ngguyu. “Saiki
bendaramu iki dhawuh: Sekar, wiwit saiki kowe ora susah
basa karo aku. Kudu manut.”
24
„Betul? Sekarang majikanmu ini menyuruh: Sekar, mulai
sekarang kamu tidak usah pakai bahasa Krama sama aku.
Harus nurut.‟
O2 : “Wah, ketleyek aku.”
„Wah ketipu saya‟
O2 : “Ya wis aku manut Mas. Aku arep didhawuhi ngapa?”
„Ya sudah saya nurut Mas. Saya akan disuruh apa?‟
O1 : “Ora dakkon ngapa-ngapa, mung dak jak jagongan. Ning
daktakon dhisik, jane kowe ki mau arep nyang endi?”
„Tidak aku suruh ngapa-ngapain, cuma ingin aku ajak
ngobrol. Tetapi aku mau tanya dulu, sebenernya kamu tadi
mau kemana?‟
Tuturan O1 adalah Damarjati (majikan) dan O2 adalah
Sekarwangi (pembantu).
Tuturan di atas merupakan dialog yang menunjukkan
terjadinya peristiwa alih kode intern (internal code
switching) antara bahasa Jawa ragam Krama dengan bahasa
Jawa ragam Ngoko. Awalnya Sekarwangi (O1)
menggunakan bahasa Jawa ragam Krama ketika berbicara
dengan Damarjati (O2) karena Sekarwangi menghormati
Damarjati yang adalah majikannya. Lalu Damarjati
meminta Sekarwangi untuk berbahasa Jawa Ngoko ketika
berbicara dengannya. Karena menghormati majikannya,
akhirnya Sekarwangi pun menggunakan bahasa Jawa
Ngoko ketika berbicara kepada Damarjati.
7. Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Hasil dari analisis data disajikan dalam bentuk kaidah-kaidah yang
berkaitan dengan alih kode dan campur kode dalam cerbung Mulih
25
Ndesa yang berupa kalimat-kalimat yang kemudian dilengkapi dengan
pemerian yang lebih rinci
Teknik yang digunakan dalam penyajian data ini menggunakan
teknik informal dan formal. Teknik informal adalah rumusan kata-kata,
biasanya walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya. Teknik
formal adalah rumusan dengan tanda antara lain (*, bagan, tabel,
diagram dan gambar) dan lambang huruf sebagai singkatan nama
(S,P,O,K) (Sudaryanto, 1993: 145). Hasil analisis data akan berupa
tuturan para tokoh dalam cerbung Mulih Ndesa saat berinteraksi
dengan tokoh lain yan didasarkan pada alih kode, campur kode dan
faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode dan campur
kode.