bab i pendahuluan a. latar belakang masalah....

Download BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/22/jtptiain-gdl-s1... · dinamis, seiring dengan semakin tingginya kecurigaan terhadap

If you can't read please download the document

Upload: duonghanh

Post on 06-Feb-2018

225 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pada era modern ini, ilmu pengetahuan dan tehnologi dianggap sebagai

    soko guru kemajuan hidup. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi

    masyarakat barat telah sampai kepada the post indrustrial society yaitu

    masyarakat yang secara matrial telah tiba pada taraf makmur, peralatan-peralatan

    terkendali secara otomatis dan mekanis.1

    Tetapi disisi lain, kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan tehnologi

    ternyata membawa ekses yang tak terelakan. Ini bias di lihat di berbagai kawasan

    di atas bumi ini bahwa alam dan kekayaan banyak termanipulasi lingkungan

    material di cekik oleh industrialisasi dan mekanisasi yang di rasakan dampaknya

    oleh segenap segi kehidupan.

    Ekses yang paling nyata adalah keamanan dan kehidupan manusia dan

    segenap mahluk bumi lainya terancam oleh persenjataan. Kekayaan perut bumi di

    kuras habis hingga tak dapat di perbaharui kembali, meminjam istilah Seyyed

    Hossein Nasr manusia sering memperlakuakn bumi sebagai pelacur dakm rangka

    pemuasan diri tanpa batas.2

    Jurang antara kaya dan miskin di perlebar dengan pertumbuhan ekonomi

    yang tidak merata, pada akhirnya masyarakat modern seperti ini tanpa disadari

    integritas kemanusiaanya tereduksi karena mereka terperangkap dalam jaringan

    sistem rasionalitas ilmu pengetahuan dan tehnologi yang mengabaikan moral,

    sementara agama yang menanamkan keyakinan kepada manusia tentang adanya

    kekuatan transcendental secara perlahan semakin terkikis, mereka menganggap

    agama menjadi tidak relevan lagi dan tidak cocock di anut di masa modern.

    Sistem rasionalitas ilmu pengetahuan telah mengantarkan kehidupan

    manusia pada suasana moderisme, dengan kehidupan modern manusia berusaha

    1 Ali Anwar, Hierarki Ilmu dan Pengaruhnya Terhadap Kebahagiaan Kajiaan atas

    Pemikiran Seyyed Hossein Nasr, Empirisme Journal Pemikiran dan Kebudayaan Islam Vol.13 No. 1juli 2004 (Kediri; STAIN Kediri 2004) hlm 126.

    2 Abdurrahman Masud, Menggagas Pendidikan Nondikotomok; Humanis Relegius Sebagai Paradigma Islam (Yogyakarta; Gama Media,2002) hlm 52-53.

  • 2

    menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan persoalan-

    persoalan hidupnya, manusia di pandang sebagai mahluk yang bebas, independent

    dari tuhan dan alam bahkan masyarakatnya sendiri.3

    Manusia barat sengaja membebaskan dirinya dari tatanan ilahiyah

    (theomorphisme) untuk selanjutnya membangun tatanan yang semata-mata

    berpusat pada manusia (antropomorpisme), bahkan lebih gila lagi Nietzsche

    pernah mengatakan God is death intinya manusia ingin menjadi raja yang

    bebas dan menentukan nasibnya sendiri tanpa disibukan oleh persoalan yang

    bersifat spiritual-trasendental.

    Namun ironisnya justru manusia modern barat pada akhirnya tidak mampu

    menjawab persoalan hidupnya sendiri, proses modernisasi yang di jalankan

    ternyata tidak selalu berhasil memenui janjinya mengangkat harakat

    kemanusiaanya dan sekaligus memberi makna yang lebih mendalam bagi

    kehidupan4, mereka di hinggapi rasa dan ketidak bermaknaan hidup, ada sesuatu

    yang rancau dalam kehidupanya, mereka kehilangan visi keilahiaan dan

    mengalami kehampaan spiritual, mereka menderita keterasingan (aliansi), baik

    teraliansi dari dirinya, lingkungan social dan dari tuhannya. Mereka tidak

    mengetahui makna dan tujuan hidup, meminjam istilah cak Nur masyarakat

    modern menalami kepanikan epistimologi5.

    Konsep ilmu pengetahuan dan tehnologi modern telah mengalami

    desakralisasi pengetahuan yakni pengetahuan yang mereka agung-agungkan bias

    membawa kebahagiyaan ternyata malah berbalik arah justru membawa kepada

    kegilasahan, halini karena konsep pengetahuan telah terceraikan dengan aspek

    spiritual sebagai akibatnya manusia modern telah kehilangan sense of wonder

    yang mengakibatkan lenyapnya pengetahuan tentang kesucian.6

    3 Roger Garaudy, Promesses DelIslam, terj H.M Rosyidi, (Jakarta; Bulan Bintang, 1985)

    hlm 75. 4 Arnold J Toybee, Surviving The Future, terj Nin Bakdi Sumanto, (Yogyakarta; Gajah

    Mada Univercity Press, 1988) hlm 60. 5 Nurcholis Majid, Islam Doktrin Peradaban ; Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah

    Keimanan dan Kemoderenenan, (Jakarta ;Yayasan Wakaf Paramadina, 1992) hlm 58 6 Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesuciaan, terj Suharsono dkk (Jakarta;Inisiasi

    Press,2004) hlm 2.

  • 3

    Lalu bagaimana dengan umat Islam dengan konsep keilmuanya? Konsep

    pengetahuan Islam yang dianggap bersentuhan dengan nilai-nilai teologis, terlalu

    beroriantasi pada religuitas dan spritualitas tanpa memperdulikan betapa

    pentingnya ilmu-ilmu umum yang dianggap sekuler.

    Demi menjaga identitasnya dalam persaingan budaya global, para ilmuan

    muslim bersikap definisif dengan mengambil posisi konservatif-statis, yakni

    dengan melarang segala bentuk inovasi dan mengedepankan ketaatan fanatik

    terhadap syariah (fiqh produk abad pertengahan) yang di anggap telah final.

    Mereka melupakan sumber kreatifitas yakni ijtihad bahkan mencanangkan

    ketertutupan.

    Sikap keilmuan muslim tersebut pada akhirnya menimbulkan pemisahan

    wahyu dan akal, pemisahan pemikiran dari aksi dan cultural, bahkan

    menimbulkan stagnasi keilmuan di kalangan mereka, sedemikian sehingga

    dampak negative dari model keilmuan Islam sendiri tidak kalah membahayakan di

    banding konsep ilmu pengetahuan barat.

    Dengan demikian ilmu-ilmu non agama atau keduniawian (profan)

    khususnya ilmu-ilmu alam dan eksakta ( merupakan akar-akar pengembangan

    sains dan tehnologi) sejak awal perkembangan madrasah dan al- jamiah sudah

    berada dalam posisi termarjinalkan, meski Islam pada dasarnya tidak

    membedakan nilai-nilai ilmu agama dan non agama, tetapi dalam prakteknya

    supremasi lebih di berikan kepada ilmu-ilmu agama, ini disebabkan sikap

    keagamaan dan kesalehan yang memandang ilmu agama sebagai jalan tol

    menuju Tuhan.7

    Memang sebelum kehancuran aliran theology Mutazilah pada masa

    khalifah abasyiah al-Makmun (198-218) M mempelajari ilmu-ilmu umum yang

    bertitik tolak dari nalar dan kajian-kajian empiris bukan sesuatu yang tidak ada

    sama sekali dalam kurikulum madrasah, tetapi dengan pemakruhan untuk tidak

    menyatakan pengharaman penggunaan nalar, setelah runtuhnya Mutazilah, ilmu-

    ilmu umum yang di curigai itu di hapus dari kurikulum madrasah, mereka yang

    7 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam ; Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru,

    (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1999) hlm ix.

  • 4

    cendrung dan masih berminat kepada ilmu-ilmu umum itu terpaksa mempelajari

    secara sendiri-sendiri atau bahkan di bawah tanah karena mereka di pandang

    sebagai ilmu-ilmu subersif yang dapat dan akan menggugat kemapanan doktrin

    Sunni terutama dalam bidang kalam (theologi) dan fiqh.8

    Kenapa legalisme fiqh atau syariah bisa begitu dominan terhadap

    lembaga-lembaga pendidikan islam ? Pertama karena dengan pandangan

    ketinggian syariah. Kedua karena secara institusional lembaga-lembaga

    pendidikan Islam oleh mereka yang ahli dalam bidang bidang agama berhasil

    membagi struktur akademis yang cukup canggih dan elaboratif, karena itu dalam

    kelembagaan madrasah yang baik misalnya ada Masyakhat al- Quran (

    professorship keguruan al-Quran) Masyakhat al Hadist, an-Nahwu dan

    sebagainya, sebaliknya tidak dikenal misalnya Masyakhat al-Kimiyah, at-Tib dan

    mereka cukup terpadu plus di dukung institusi lembaga-lembaga pendidikan itu

    sendiri, sehingga siap menangkis kemunculan (di pandang sebagai tantangan)

    kaum ilmuan (sains) muslim yang tidak mempunyai dukungan institusional,

    Ketiga hampir seluruh madrasah atau al-Jamiah didirikan dan dipertahankan

    dengan dana wakaf baik dari dermawan kaya atau penguasa politik muslim,

    motifasi kesalihan mendorong para dermawan untuk mengarahkan madrasah

    bergerak dalam lapangan-lapangan ilmu-ilmu agama yang di pandang akan lebih

    mendatangkan pahala ketimbang ilmu-ilmu umum, yang mempunyai aura profan

    dan tak terkait begitu jelas dengan soal pahala.9

    Jika dipandang semata-mata dari sudut keagamaan dalam pengertian

    terbatas supremasi dan dominasi ilmu-ilmu agama yang dewasa ini, termasuk

    ilmu-ilmu profan dalam batas tertentu, agaknya mengandung implikasi positif,

    supremasi itu membuat tranmisi syariah yang merupakan salah satu inti Islam

    dari generasi awal muslim kepada generasi berikutnya menjadi lebih terjamin,

    cuma sayangnya supremasi syariah ini tidak berlangsung dalam cara yang

    dinamis, seiring dengan semakin tingginya kecurigaan terhadap nalar, tranmisi

    8 Ibid, hlm ix. 9 Ibid, hlm x

  • 5

    ilmu-ilmu keagamaan tidak berlangsung secara kreatif dan imajinatif, ijtihad

    betapapun terbatasnya di cekik secara sempurna melalui pintu ijtihad itu sendiri.

    Akibatnya syariah yang di tranmisikan melalui madrasah itu tidak lebih

    dari upaya pengawetan, doktrin-doktrin yang sebagainya telah usang dan tidak

    berbunyi ketika di hadapkan kepada realitas sosial yang terus berubah, disini

    kemudian lembaga-lembaga pendidikan Islam diharapkan menjadi salah satu

    faktor dinamis dalam masyarakat Islam justru menjadi bastion kubu kemapanan

    yang dengan gigih membela kebekuan pemikiran dan keilmuan .

    Jika dilihat dalm perspektif yang lebih luas supremasi ilmu-ilmu agama

    menimbulkan dampak yang substansial, bukan hanya terhadap perkembangan

    ilmu pengetahuan Islam, tapi juga peradaban Islam secara keseluruhan, secara

    keilmuan perkembangan semacam ini menimbulkan dikhotomisasi dan

    antagonisasi berbagai cabang ilmu.

    Padahal menurut S.H Nasr berbagai cabang ilmu atau bentuk pengetahuan

    di pandang dari perspektif Islam pada ahirnya adalah satu. Dalam Islam tidak

    dikenal pemisahan esensial antara ilmu agama dan ilmu profan, berbagai ilmu

    dalm perspektif intelektual yang di kembagkan dalam Islam memang mempunyai

    suatu herarki, tetapi herarki ini pada ahirnya bermuara pada pengetahuan tentang

    yang maha tinggi substansi dari segenap ilmu, inilah alasan mengapa para ilmuan

    muslim mengintregasiakn ilmu-ilmu yang di kembangkan peradaban-peradaban

    kedalam skema herarki ilmu pengetahuan menurut Islam.10

    Jadi tak kala bagian-bagian besar ilmu-ilmu tersebut terjadi

    pendikhotomian atau pemakruhan terciptalah kepincangan kepincangan yang

    pada giliranya mendorong terjadinya kemunduran peradaban secara keseluruhan,

    di barat sains unggul tapi rapuh dalam spiritual, dunia Islam unggul dalam

    spiritual tapi gagap dalam sains.

    M. Iqbal seorang penyair dan filosof muslim pernah menyindir sinis

    kepincangan dua problem tersebut, dalam sairnya ia berdialog dengan Jalaludin

    Rumi atas problem diatas,

    10 Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di dalam Islam,terj Mahyudin, (Bandung;

    Pustaka, 1986), hlm 42.

  • 6

    Mata yang memandang mencucurkan air mata darah;

    Pengetahuan modern telah menjadi perusak agama .

    Yang di jawab oleh Rumi,

    Kalau kau terapkan pengetahuan hanya pada jasadmu saja;

    Maka ia akan menjadi ular berbisa, tapi bila kau terapkan ia kehatimu, ia

    akan menjadi temanmu.

    Dalam konsep pengetahuan Islam Iqbal pernah bertanya sinis kepada Rumi,

    Pikiran-pikiranku yang luhur tinggi menyentuh langit,

    Tapi diatas bumi aku terhina, terhina dan sekarat

    Aku tak mampu mengurus urusan urusan dunia ini

    Dan aku terus-menerus menghadapi batu-batu penghalangan di jalanku

    Mengapa orang-orang yang ahli agama tolol dalam masalah dunia.

    Dan ia memperoleh jawaban yang menghancurkan ;

    Siapa saja yang mengaku mampu berjalan di atas langit,

    Mengapa baginya susah berjalan diatas bumi?11

    Karena itu perlu usaha usaha untuk mempertemukan kelebihan di antara

    keduanya sehingga lahir konsep ilmu pengetahuan yang canggih tetapi tetap

    bersifat relegius dan bernafaskan tauhid.

    Diantara pemikiran muslim kontemporer yang menganggap fenomena di

    atas sebagai malapetaka yang mengancam kehidupan adalah Seyyed Hossein

    Nasr, ia adalah seorang ilmuan produk Iran tradisional dan barat modern, yang

    banyak memberi kritik atas krisis yang terjadi di barat dan merembes ketimur,

    sebagi ilmuan yang mendapat dua pengaruh tradisi wajar kalau Nasr berusaha

    untuk menjadikan Islam sebagai pusat semangat spiritual dan tempat menemukan

    nilai-nilai hakiki kemanusiaan.

    Nasr sebagai seorang pemikir muslim kontemporer terkemuka pada

    tingkat internasional, dewasa ini banyak memberikan perhatiaan pada masalah-

    masalah manusia modern, dan memberikan kritik yang cukup tajam. Melihat

    11 Fazlu Rahman, Islam dan Modernitas; Tentang Transfomasi Intelektual, terj .Ahsin

    Muhamad,(Bandung; Pustaka, 2000), hlm 67-68.

  • 7

    karya-karyanya, Nasr adalah pemikir yang memiliki karya yang sangat komplek

    dan multidimensi, dengan sejarah ilmu pengetahuan sebagai spesialisasinya.12

    Berangkat dari kenyataan diatas , penulis berasumsi bahwa Nasr hendak

    menjadiakn Islam sebagai pemberi semangat spiritual kepada kemajuan ilmu

    pengetahuan dan teknologi , dengan memahami agama dan ajaranyan dengan

    seksama dan menyeluruh sebagai suatu unitas, maka umat Islam akan mampu

    membangun peradaban keemasan baru sebagai mana yang pernah di capai umat

    Islam masa klasik, tentunya saluran yang paling pas adalah lewat pendidikan.

    Melihat corak dan posisi pemikiran Nasr diatas , penulisan beranggapan

    bahwa pemikiran Nasr menarik untuk di kaji, karena hal ini akan mempunyai arti

    dalam mengurangi ekses ilmu pengetahuan modern yang saat ini merembes di

    mana-mana.

    Pokok permasalahan yang akan di kaji dalam penelitian ini adalah

    bagaimana konsep pengetahuan menurut Nasr dan implikasinya bagi

    pengembangan pendidikan Islam.

    B. PENEGASAN ISTILAH.

    Untuk menghindari bias pemahaman , maka perlu memberikan batasan-

    batasan istilah sebagai penegasan judul.

    Dalam bab ini akan di kemukakan mengenai pokok pokok istilah sebagai

    berikut;

    1. KONSEP.

    Konsep berasal dari bahasa Inggris concept yang berarti buram;

    bagan; rencana; pengertian. Kata ini dalam bahasa Indonesia di tulis

    dengan konsep dengan arti ruang; rancangan; buram (surat). Adapun

    yang dimaksud dalam judul ini adalah konsep dengan makna rancangan13.

    12 Azyumardi Azra, Memperkenalkan Pemikiran Seyyed Hossein Nasr, ( Jakarta; Yayasan

    Wakaf Paramadina, 1993) hlm, 35. 13 Wj.S. Poerwodarminta, Kamus Bahasa Indonesia,( Jakarta; PN Balai Pustaka, 1985)

    hlm, 377.

  • 8

    2. ILMU PENGETAHUAN.

    Ilmu Pengetahuan adalah segala sesuatu yang kita ketahui yang

    belum teruji kebenaranya yang biasanya disamakan dengan opini atau

    knowledge dalam bahasa inggrisnya14.

    3. IMPLIKASI.

    Implikasi berarti keterlibatan atau keadaan terlibat; apa yang

    termasuk atau tersimpul; sesuatu yang di sugestikan tetapi tidak di

    nyatakan .

    Dalam judul ini yang di maksud dengan implikasi adalah

    keterlibatan atau dengan kata lain pengaruh pengetahuan tersebut.15

    4. PENDIDIKAN ISLAM.

    Dalam kamus bahasa Indonesia di sebutkan bahwa pendidikan

    merupakan proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau

    sekelompok orang dalam usaha mendewasakan kepribadiaan melalui

    upaya pengajaran dan latihan. Pendidikan berarti pula sebagai

    pengembangan potensi yang terpendam dan tersembunyi. Dalam bahasa

    Inggris pendidikan berasal dari kata education kemudian istilah ini

    menjadi berkembang yang meliputi, a) Development in knowledge, skill,

    ability, or character by teaching, training, study or expereance. b)

    Knowlegde , skill, aballity, or character devoleped by teaching, training,

    study, or experience. c) Science and art that deal with the pringsiples,

    problem,ect,of teaching and learning.16

    Sedangkan pendidikan Islam menekankan pada pemahaman

    terhadap Islam sebagai suatu kekuatan yang memberi hidup bagi suatu

    peradaban raksasa termasuk di dalamnya pendidikan.17 Ahmadi

    memberikan pengertiaan pendidikan menurut pandangan Islam yaitu

    14 Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistimologi Islam, (Bandung; Mizan, 2003) hlm, 2. 15 Wj.S. Poerwodarminta, Op,Cit, hlm 520. 16 E.L Thorndhike, Clarence L. Barnthart, Advenceu Junior Dictionari, (New York;

    Doubleday and Company Inc, 1965) hlm 257. 17 Hasan Lagullung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta; PT. Al-Husna Zikra, 2000)

    hlm. 29

  • 9

    tindakan yang dilakukan secara sadar denagn tujuan memelihara dan

    mengembangkan firah serta potensi (sumber daya) insani menuju

    terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).18

    5. SEYYED HOSSEIN NASR.

    Seyyed Hossein Nasr adalah Intelektual Islam lahir di Iran pada

    tanggal 7 April 1933, Dia adalah salah satu dari sekian intelektual muslim

    yang melanglang buana dalam pemikiran keislaman, dia menjadi salah

    satu professor di tiga benua dalam bidang keahliaan filsafat, sejarah sains

    Islam.19

    C. RUMUSAN MASALAH.

    Berdasarkan latar belakang maka penelitian ini akan memfokuskan kajian

    pada konsep pengetahuaan S.H. Nasr dan implikasinya bagi pengembangan

    pendidikan Islam, untuk menjawab permasalahan ini perlu dirumuskan kelompok

    dalam sub-sub masalah sebagai berikut.

    1. Bagaimanakah konsep Ilmu pengetahuan S.H Nasr ?

    2. Bagaimanakah implikasinya bagi pengembangan pendidikan Islam?

    D.TUJUAN PENELITIAN.

    1. Tujuan penulisan skripsi.

    Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka tujuan yang

    hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:

    a. Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya konsep Ilmu

    pengetahuan S.H Nasr.

    b. Untuk menggali konsep Ilmu pengetahuan S.H Nasr dan sejauh

    mana implikasinya bagi pengembangan pendidikan Islam.

    2. Manfaat penulisan skripsi.

    Nilai guna yang dapat diambil dari penulisan skripsi ini adalah;

    18 Ahmadi, Islam Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta; Aditya Media, 1999) hlm,

    16. 19 Zainul Hasan, Islam Tradisional; Kajian atas pemikiran Nasr, (Pamekasan; Journal

    Studi Keislaman, Vol,V, No,I. STAIN Pamekasan, 2004) hlm, 341.

  • 10

    a. Sebagai usaha dalam mengembangkan sebuah tatanan model

    pengetahuan yang tanpa mengenal batas.

    b. Sebagai upaya mensinergikan dan mengenalkan konsep

    pengetahuan bagi pengembangan pendidikan islam.

    E. KAJIAN KEPUSTAKAAN.

    Sampai sejauh ini kajian tentang pemikiran Seyyed Hossein Nasr sudah

    cukup banyak, baik berupa penulisan dalam bentuk skripsi, buku dan journal

    kebanyakan penulisan itu berkisar tentang konsep Tasawuf, Filsafat, Pengetahuan

    dan Sains serta masalah Seni.

    Dalam penulisan bidang sains dan epistimologi (teori pengetahuan) yang

    berhubungan dengan penulisan skripsi ini pernah di tulis oleh Fathurahman

    (4193081) dari Fakultas Ushuludin IAIN Walisongo Semarang dengan judul

    Epistimologi menurut Seyyed Hossein Nasr di dalam tulisan itu diterangkan bahwa

    telah terjadi pendikhotomian metode pencarian pengetahuan pasca renaisance yakni

    dengan mengesampingkan aspek metafisik dalam arti pengetahuan telah mengalami

    sekulerisasi.

    Hampir sama juga penelitian yang pernah dilakuakn oleh Ali Maksum NIP

    (150275405) IAIN Sunan Ampel yang mengambil tema Epistimologi Seyyed

    Hossein Nasr Dalam Filsafat Islam, disana penulis menerangkan tentang pengalihan

    landasan epistimologi dari Theosentris ke Antroposentris yang di lakukan pada

    zaman modern ini yang merembes ke dunia islam.

    Ali Anwar pernah menulis dalam Journal Empirisma Vol 13 NO 1 juli 2004

    dengan judul Hierarki Ilmu dan Kebahagiyaan ( Studi atas pemikiran S.H Nasr) di

    sana di terangkan kepanikan mayarakat modern akibat kesalahan dalam mengambil

    epistimologi mereka mengalami kehampaan spiritual dan tidak bias mengahadapi

    hidup, mereka merasa terasing dengan Tuhan, lingkungan bahkan dirinya sendiri,

    dan dalam penulisan itu di jelaskan tentang akan pentingnya kembali ketradisi yakni

    agama.

    Melihat hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dipaparkan di atas

    ternyata belum ada yang secara khusus mengkaji tentang Konsep Pengetahuan

  • 11

    Seyyed Hossein Nasr Dan Implikasinya Bagi Pengembangan Pendidikan Islam,

    sedangkan yang membedakan pada penelitian ini dengan beberapa penelitian di atas

    adalah di sini peneliti akan mengungkapkan pemikiran-pemikiran Seyyed Hossein

    Nasr tentang pengetahuan dan Implikasinya bagi pengembangan pendidikan Islam.

    F. METODE PENELITIAN.

    1. Jenis Penelitin

    Jenis penelitian ini adalah kepustakaan (Library Research), yaitu

    dengan cara mengadakan studi secara teliti literatur-literatur yang

    berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas. 20

    2. Pendekatan

    Pendekatan yang dipakai dalam penelitian skripsi ini adalah

    pendekatan faktual historis. Sedang yang dimaksud dengan faktual historis

    yaitu suatu pendekatan dengan mengemukakan historisitas faktual

    mengenai tokoh.21 Pemakaian pendekatan dengan berusaha membuat

    interpretasi secara sistematis dan hipotesis.22 Pendekatan ini penulis

    gunakan dalam mengungkapkan historisitas Seyyed Hossein Nasr tentang

    konsep pengetahuan.

    3. Sumber Data

    Adapun sumber-sumber yang penulis gunakan sebagai berikut:

    a. Sumber Primer, artinya

    Sumber primer dalam penelitian ini adalah bahan utama yang di

    jadikan refrensi yaitu pendapat Seyyed Hossein Nasr tentang konsep

    pengetahuan yang tertuang dalam karya Knowlegde and Secred yang

    diterjemahkan oleh Suharsono dengan judul Pengetahuaan dan

    Kesuciaan yang di terbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta 1997

    20 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I (Yogyakarta: Andi Offset, 1989) hlm 9 21 Anton Bekker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat

    (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 61 22 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jajarta: Raja Grifindo Persada, 1996), hlm.

    134

  • 12

    yang kemudian di rilis ulang penerjemahan tersebut dengan judul

    Intelegensi dan Spritualitas Agama-agama oleh Suharsono dkk,

    diterbitkan oleh Inisiasi Press Jakarta 2004 serta karya-karya beliau

    lainya yang ada hubunganya dengan pengetahuan.

    b. Sumber Skunder, artinya

    Sumber sekunder yaitu sumber-sumber lain yang membahas pemikiran

    Seyyed Hossein Nasr yang dapat di temukan dalm berbagai journal

    maupun majalah, seperti tulisan pada journal Studi Keislaman VOL V.

    NO.I. STAIN Pamekasan 2004 yang menulis tentang biografi dan

    pemikiranya tentang Islam Tradisional .

    c. Sumber Tertier, artinya

    Sumber tertier yaitu sumber penunjang dalam pembahasan skripsi ini,

    yaitu literature-literatur lain yang berkaitan dengan judul skripsi diatas.

    4. Metode Pengumpulan Data.

    Metode pengumpulan data yang penulis gunakan adalah:

    Dokumentasi yang di pakai penulis untuk menemukan data-data tentang

    konsep Seyyed Hossein Nasr yang berhubungan dengan pengetahuan

    5. Metode Analisis Data.

    Untuk menganalisis data penulis menggunakan metode:

    1.Metode Historis

    Metode Historis yaitu metode merekonstruksi masa lampau secara

    obyektif dan sistematis dengan mengumpulkan, mengevaluasi serta

    mensitesiskan bukti-bukti untuk menegakan fakta.23 Penulis menggunakan

    metode ini untuk mengungkap dan menganalisis historisitas Seyyed

    Hossein Nasr beserta konsepnya tentang pengetahuan

    2. Metode Interpretatif

    23 Mohamad Nasir, Metodologi Penelitian, (Jakarta; Ghalia Indonesia, 1988) hlm 56.

  • 13

    Metode Interpretatif adalah menyelami buku dengan setepat

    mungkin mampu mengungkapkan arti dan makna uraian yang di sajikan24.

    Metode ini penulis gunakan untuk memahami dengan seksama pemikiran-

    pemikiran Seyyed Hossein Nasr yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.

    3. Metode Analitik Kritis adalah mendiskripsikan, membahas dan

    mengkritik gagasan primer yang selanjutnya di konfirmasikan dengan

    gagasan primer yang lain dalam upaya studi perbandingan, hubungan dan

    pengembangan model.25

    Penulis menggunakan metode ini untuk mendiskripsikan

    membahas dan mengkritik gagasan-gagasan Seyyed Hossein Nasr tentang

    ilmu pengetahuan dengan memperbandingkan gagasan-gagasan beliau

    yang lain.

    G. SISTEMATIKA PENULISAN SKRIPSI.

    Untuk mempermudah pemahaman dan menghindari kesalah fahamandalam

    tulisan ini di bagi tiga bagian.

    1. Bagian muka .

    Pada bagian ini berupa sampul judul, persembahan, lembar nota

    pembimbing, pengantar, pengesahan,moto, kata pengantar, daftar isi.

    2. Bagian isi.

    Pada bagian isi ini ada lima bab yang secara utuh dan berkaitan yaitu

    sebagai berikut:

    Bab I, Pendahuluan.

    A. Latar Belakang Masalah

    B. Penjelasan Istilah.

    C. Rumusan Masalah.

    D. Tujuan Penulisan.

    E Telaah Kepustakaan.

    F. Metodologi Penelitian.

    24 Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair, Metode Penelitian Filsafat, (Yogyakarta;

    Kanisius, 1990) hlm 63. 25 Anton Bakker dan Charis Zubair, Ibid, hlm 62.

  • 14

    Bab II, KONSEP DASAR ILMU PENGETAHUAN

    A. Pengertian pengetahuan

    B. Pembagian Pengetahuan

    C. Dasar Ontologis Ilmu Pengetahuan

    D. Dasar Epistemologi Ilmu Pengetahuan

    E. Dasar Aksiologi Ilmu Pengetahuan

    F. Kedudukan ilmu pengetahuan dalam Pendidikan Islam

    Bab III, KONSEP PENGETAHUAN SEYYED HOSSEIN NASR.

    A. Riwayat hidup Seyyed Hossein Nasr.

    B. Karya-karya Seyyed Hossein Nasr.

    C. Hakikat pengetahuan menurut Seyyed Hossein Nasr.

    D. Sumber pengetahuan menurut Seyyed Hossein Nasr.

    E. Jalan memperoleh pengetahuan. menurut Seyyed Hossein Nasr.

    F. Pendidikan Islam menurut Seyyed Hossein Nasr.

    Bab IV, ANALISIS DATA.

    Konsep pengetahuan Seyyed Hossein Nasr dan implikasinya bagi

    pengembangan pendidikan Islam.

    A. Tradisi dalam pendidikan Islam.

    B. Pendidikan Islam dan Modernitas

    C. Pendidikan Islam dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan.

    Bab V, KESIMPULAN

    Berisis mengenahi kesimpulan dan saran-saran.

    3. Bagian belakang.

    Pada bagian belakang berupa daftar pustaka dan lampiran-lampiran.

  • 15

    BAB II

    KONSEP DASAR ILMU PENGETAHUAN

    A. DEFENISI PENGETAHUAN

    Pada umumnya pembahasan tentang epistemologi26 (teori

    pengetahuan) di mulai dengan penjelasan tentang defenisi sains,

    pengetahuan, dan ilmu yang kesemua itu memerlukan pengertian yang jelas

    karena ketiga istilah tersebut mempunyai konotasi yang sama yakni berkisar

    tentang pengetahuan sesuatu sebagaimana adanya.

    Namun seiring dengan perkembangan filsafat yakni tantang teori

    pengetahuan (epistimologi) ada sesuatu yang menarik yaitu adanya

    pembedaan antara teori pengetahuan Islam dengan barat, perbedaanya sangat

    fundamental dan perlu penjelasan yang sangat jeli agar tidak menimbulkan

    kekaburan dan kesalahfahaman, lebih-lebih era sekarang di mana wacana

    ilmiah di dominasi oleh barat dan kebanyakan sarjana muslim hanya mengenal

    teori dari barat dan jarang sekali yang serius mendalami teori-teori

    pengetahuan Islam.

    Kata science sebenarnya dapat saja diterjemahkan dengan ilmu, tanpa

    ada perbedaan. Seperti kata science, kata ilmu dalam epistemologi Islam, tidak

    sama dengan pengetahuan biasa saja, tetapi sebagaimana yang telah di

    definisikan oleh Ibn Hazm ( W. 1064 M ) ilmu difahami sebagai pengetahuan

    tentang sesuatu sebagaimana adanya, dan seperti science di bedakan dengan

    knowlegde, ilmu juga di bedakan oleh ilmuan muslim dengan opini. Akan

    tetapi di barat ilmu dalam pengetahuan ini telah di batasi hanya pada bidang

    fisik-empiris dan dalam teori pengetahuan Islam ilmu tidak hanya mengkaji

    26 Epistemology or the theory of knowledge is the branch of philosophy which is

    concerned with the nature and scope of knowledge its presupposition and base and the general reliability of claim to knowledge. Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy, Vol. III (Colliermas Millan, London, 1972 ), Hal. 8-9. Harun Nasution mendefenisikan bahwa epistemology adalah teori pengetahuan yang membahas apa itu pengetahuan dan bagaimana cara memperolehnya. Lihat Harun Nasution Falsafah Agama, ( Bulan Bintang, Jakarta, 1973 ), hal. 7

  • 16

    pada kajian fisisk-empiris tapi juga nonfisik dan metafisik, penyetaraann ini

    dapat dilacak atas pernyataan Karier pengarang buku scientist of the mind

    bahwa pada masa-masa abad ke-19 sains di fahami sebagai any organized

    kowlegde atau sembarang pengetahuan yang terorganisasi termasuk teologi

    dengan pengertian seperti ini sebenarnya kata ilmu harus di fahami.27

    Untuk membahas agak rinci tentang defenisi dari ilmu dan sains serta

    menentukan batasan-batasan apa yang di kajinya akan di bahas dahulu tentang

    sains kemudian ilmu adapun mengenai opini atau rayi tidak akan di bahas

    cukup di pahami sebagai pengetahuan umum yang belum teruji kebenaranya

    atau barang kali bisa di katakan dengan common sense.

    Menurut kamus Websters New World dictionary, kata sains berasal

    dari kata latin, scire berarti mengetahui, secara bahasa scince berarti keadaan

    atau fakta mengetahui dan sering di di ambil dalam arti pengetahuan

    (knowlegde) yang di kontraskan dengan intuisi atau kepercayaan.28

    Namun kata ini kemudian mengalami perkembangan dan perubahan

    pemaknaan sehingga berarti pengetahuan yang sistematis yang berasal dari

    observasi, kajian dan percobaan percobaan yang di kaji, dengan demikian

    telah terjadi pergeseran makna sains dari pengetahuan menjadi pengetahuan

    yang sistematis berdasarkan observasi indrawi. Tren ini kemudian mengarah

    pada pembahasan lingkup sains hanya pada dunia fisik, hal ini dapat dirujuk

    dengan pengertian sains sebagai pengetahuan yang sistematis tentang alam

    dan dunia fisik.

    Sebagai pengetahuan yang sistematis sains barangkali tidak begitu

    unik karena semua ilmu seperti teologi dan metafisika, memang harus

    sistematis dan organized. Karakter sains baru muncul ketika pengetahuan yang

    sistematis tersebut harus muncul dengan; observasi dan yang di sebut dengan

    27 Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar Epistemologi Islam.

    (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 7 28 Webster New Word Dictionary Of The American Language. (Cleveland and New York:

    The Publishing Company, 1962), hlm. 1305

  • 17

    observasi disini adalah observasi indrawi apakah keadaanya dengan alat indra

    telanjang tanpa alat bantuan alat atau dengan alat dengan teleskop.

    Sarat observasi inilah yang membuat sains harus bersifat empiris yakni

    yang bisa dialami atau diamati secara indrawi, agar bisa bersifat empiris dan

    dapat diukur maka objek yang dikaji adalah berupa alam dan dunia fisik atau

    istilah August Comte positivistik, jadi sains haruslah positifistik, ini

    merupakan ciri atau karakter dasar sains dan mempunyai dampak myang

    sangat fundamental terhadap pandangan keagamaan seseorang yang bisa

    membawa kepada ateisme.

    Masih ada satu yang berkaitan denga karakteristik sains yaitu masalah

    matematika. Jika sains harus bersifat fisik dan positifistik bagaimana dengan

    kedudukan matematika, apakah matematika termasuk sains materinya-

    subjeknya empiris atau tidak ? tampaknya matematika adalah masuk dalam

    kategori sains, sehingga munculah istilah mathematical science dan tidak ada

    keraguan bahwa matematika selalu berkaitan denga atau di abstraksikan dari

    benda-benda fisik, walaupun pada dirinya tidak lagi bersifat fisik, namun

    justru di sinilah letak persaratanya, jika materi-subjek matematika pada

    dirinya bukan fisik, bagaimanakah matematika bisa di pandang sebagai sains

    hal ini bukan karena alat atau insterumen sains ternyata jawabanya tidak

    begitu jelas.

    Menurut Paul Davies mengatakan bahwa para matematikawan

    terpecah belah menjadi dua kelompok, ada yang menyatakan bahwa objek

    matematika mempunyai status ontologis yang jelas seperti kaum platonis,

    tetapi yang lain menolak status tersebut. Tapi matematika memang dimasukan

    atau dapat diklasifikasikan kedalam ilmu-ilmu pasti (exact science), sifat

    kepastian inilah dan bukan status ontologis objeknya yang barang kali menjadi

    pembenaran matematika dimasukan kedalam kategori sains.29

    29 Paul Davies, Membaca Pikiran Tuhan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2001), hlm. 54

  • 18

    Sekarang beralih kemasalah pengertian atau pembahasan masalah

    ilmu, ilmu berasal dari kata alima yang artinya mengetahui, jadi kata ilmu

    secara harfiah tidak berbeda dengan science yang berasal dari kata scire yang

    artinya juga mengetahui. Ilmu bisa di definisikan pengetahuan sebagaimana

    adanya, pengetian ini mengisaratkan bahwa ilmu tidak begitu saja sebagai

    pengetahuan biasa yang didasarkan pada opini atau kesan keliru dari indra

    tetapi ilmu merupakan pengetahuan yang telah teruji kebenaranya berdasarkan

    bukti-bukti yang yang kuat dan tidak hanya berdasarkan praduga atau asumsi

    dengan kreteria lain, ilmu sama dengan sains dalam hal sebagai pengetahuan

    yang sestimatis dan organis.30

    Namun kajian ilmu berbeda dengan sains kalau sains hanya berkutat

    kemasalah empiris positifistik, ilmu melampauinya dengan tidak menjamah

    masalah empiris saja tapi juga nonempiris seperi matematika dan metafisika.

    Dari sini dapat disimpulkan bahwa awalnya ilmu dan sains mempunyai

    pengertian yang sama bahkan juga lingkup yang sama, namun kemudian sains

    membatasi dirinya pada dunia fisik sedangkan ilmu masih tetap meliputi tidak

    hanya fisik tetapi juga bidang matematika dan metafisika, adapun mengenai

    opini seperti yang telah disinggung adalah pengetahuan umum atau sembarang

    pengetahuan yang kebenaranya belum teruji melalui penelitian-penelitian

    seksama.

    Sering ada juga ungkapan bahwa ilmu tidak bertentangan dengan

    agama, makanya tidak perlu dipertentangkan denganya, namun al-Quran

    mensyinyalir adanya ilmu yang bermanfaat dan tidak, hal ini mengidenfikasi

    bahwa ilmu yang berkembang sesuai dengan ajaran-ajaran agama jelas tidak

    bertentangan, namun ilmu yang dikembangkan tanpa menghiraukan tuhan dan

    para pendukungnya menolak tuhan atas nama ilmu harus diwaspadai.

    Jadi tidak semua ilmu bersifat positif atau sportif terhadap agama

    bahkan ada ilmu yang mempunyai pringsip yang bertentangan dengan

    30 Mulyadi Kartanegara, Op Cit, hlm. 4

  • 19

    pringsip-pringsip agama dan ini harus di kritisi namun jika ilmu itu

    menjelaskan fenomena alam sebagai tanda kekuasaan tuhan jelas bahwa ilmu

    itu bukan hanya tidak bertentangan dengan agama melainkan harus dipandang

    mulia dan sakral.

    B. PEMBAGIAN PENGETAHUAN

    1. Sains

    Sebagaiman telah diketahui bahwa sains adalah pengetahuan yang

    sistematis tentang alam dan dunia fisik jadi kebenarannya adalah berdasar

    pada suatu yang riil, imbas dari lingkup sains yang hanya pada bidang fisik

    empiris membuat pandangan dunianya bersifat sekuler materialistik dalam arti

    kosmologi yang sains kenalkan adalah yang jauh dari unsur-unsur spritual

    seperti Tuhan, malaikat dan ruh.31

    Kosmologi sains adalah susunan kosmosfisik, manusia bahkan hanya

    di pandang semata-mata sebagai mahluk fisik, manusia telah kehilangan

    dimensi spritual bahkan bumi sendiri tidak mempunyai kedudukan istemewa

    di taklukan sedemikian hebatnya di ibaratkan sebagai pelacur di kuras tanpa

    memandang sebab akibatnya

    2. Filsafat

    Jika sains mengandalkan indrawi sebagai pemasok pengetahuan,

    filsafat mengandalkan penalaran rasional, untuk kawasan yang di kaji filsafat

    adalah lebih luas dari sains kalau sains hanya berkutat pada masalah fisik,

    filsafat beroprasi pada level yang lebih tinggi dari sains yaitu metafisik.

    Para ilmuan muslim mengatakan bahwa sains berkutat pada dunia

    indrawi (al-mahsusat) sedangkan berkutat pada dunia akal (al-Makulat),

    maka dari itu objek-objek filsafat berpusat pada ide-ide, pemikiran atau

    konsep-konsep sehingga proses penelitianya lebih banyak melibatkan

    penalaran rasional dari pada pengamatan atau observasi indrawi, makanya

    filsafat lebih luas lingkupnya dari sains dan tentunya akan berbeda dengan

    31 Mulyadi Kartanegara, Op Cit,hlm. 9

  • 20

    sains, dunia misalnya menurut para filosuf bukan sebagi realitas akhir

    melainkan sebagai karya agung agen external yang telah sedemikian rapi dan

    serasi sehingga alam bisa berjalan dengan dengan sedimikian kompak dan

    serasi, agen external disini biasanya di sebut tuhan.32

    Karena berbeda dengan sains maka berbeda pula para filosof dalam

    memandang manusia, para filosof tidak memandang manusia sebagai hanya

    mahluk fisik-kimia, tetapi di sebut sebagai mahluk makrokosmos, mahluk

    yang bermartabat, bermoral karena diyakini bahwa manusia merupakan agen

    yang punya kebebasan berkehendak atau memilih dalam bentuk tindakan

    volunter yang hakiki, manusia adalah mahluk yang memiliki jiwa yang

    independen dan bersifat spritual, sifat inilah yang nantinya akan di mintai

    pertanggungjawaban di hadapan tuhan setelah mati.

    3. Agama

    Setelah memahami sains dan filsafat dan tahu wilayah kajianya serta

    keunggulanya dan kekurangan, kajian selanjutnya adalah agama. Berbeda

    dengan sains yang mengandalkan indra, filsafat mengandalkan rasio, agama

    bersandar pada wahyu, yang berarti bersandar pada otoritas penerima wahyu

    atau yang di wahyui yang disebut nabi atau rasul, maka dari itu pengetahuan

    agama disebut dengan naqli (tranmitted) bukan aqli (rasional), tujuan ilmu

    agama menurut Ibnu Khaldun33 bersifat praksis yaitu menjamin pelaksanaan

    kehendak syariat, sedangkan ilmu-ilmu rasional bersifat teoritis karena ingin

    mengetahui segala sesuatu sebagiman adanya.34

    Karena berbeda dengan sains dan filsafat dalam sumber pengetahuan

    maka agamapun mempunyai pandangan tersendiri yang tidak sama dengan

    sains dan filsafat. Alam semesta misalnya menurut agama bukanlah realitas

    32 Ibid, hlm. 12 33 Nama lengkapnya adalah Abdurrahman Abu Zaid Ibn Khaldun (732 H/ 1322 M-808 H

    / 1406 M) dikenal sebagai seorang filosof sejarah dan cendikiawan prilaku manusia, berasal dari Yaman dan menetap di Spanyol, ia sendiri lahir di Tunis tempat ia belajar agama dan filsafat dan ia tertarik dengan ajaran Nashirudin at Thusi. Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di dalam Islam, (Bandung: Pustaka Bandung,1986), hlm 40

    34 Mulyadi Kartanegara, Op Cit, hlm. 15

  • 21

    independen apalagi terakhir tetapi menurut agama alam semesta merupakan

    tanda-tanda (ayat) kebesaran dan keberadaan tuhan jadi mempelajari alam

    adalah sama dengan mempelajari jejak-jejak ilahi dan karena itu pengkajian

    akan dapat menambah keimanan kepada tuhan dan bukan penolakan terhadap

    keberadaan tuhan seperti yang telah dilakukan saintis besar barat sepaerti

    Darwin, Freud dan Laplace.

    Dalam kacamata agama tuhan merupakan dzat yang bertanggung

    jawab atas turunya hujan, menghidupkan bumi yang mati memancarkan air

    dari tanah semua itu di gambarkan tuhan sebagai hasil langsung kerja tuhan,

    namun kadang tuhan bekerja lewat perantara malaikat dengan berbagai

    tugasnya. Apapun hubungan langsung dan tidak langsung antara tuhan dengan

    alam yang jelas alam tidak akan bisa independen dari kebijaksanaan tuhan

    atau tidak akan pernah absen dari unsur-unsur ilahi atau spritual, jadi

    pandangan agama yang kaya ini berbeda dengan sekali dengan pandangan

    dunia saintis yang sepi dan sunyi bahkan mati karena telah di bersihkan dari

    unsur-unsur supernatural.35

    Agama memandang manusia sangat istimewa seperti dalam filsafat,

    manusia menurut agama adalah wakil tuhan yang di turunkan di muka bumi,

    sebuah kedudukan yang sanat istimewa yang tidak pernah di berikan oleh

    aliran filsafat humanisme, bahkan manusia di beri hak wewenang untuk

    mengelola bumi asal sesuai dengan aturan ilahi.

    Agama juga memberikan atas berbagai soal yang tidak bisa di jawab

    oleh sains dan filsafat, misalnya masalah nasib, mati, keadaan alam qubur

    hanya agama yang mempunyai otoritas untuk menjawab masalah-masalah

    diatas.36

    Jadi disini agama bisa memberi jawaban pengetahuan makna yang

    lebih tinggi dan melengkapi pandangan sains dan filsafat, karena agama

    35 Ibid, hlm. 15 36 Ibid, hlm. 16

  • 22

    menjawab dengan dengan bahasa simbol dan mistis yang sangat memperkaya

    pandangan dunia, agama sebenarnya tidak perlu kuatir dan terdesak dengan

    pandangan sains dan filsafat karena keduanya mempunyai kontribusi masing-

    masing.

    C. DASAR ONTOLOGI ILMU PENGETAHUAN

    Koento Wibisono menjelaskan ontologi ilmu adalah meliputi apa

    hakekat ilmu itu, apa hakekat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan

    pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan

    bagaimana (yang ) ada itu (being).37

    Masalah utama dalam kajian ontologi ini adalah apa yang ada(what is

    being), dimana yang ada dan apa kebenaran itu. Sedemikian mendasar dan

    mendalamnya persoalan-persoaln ini sehingga manusia di hadapkan pada

    jawaban yang berbeda-beda, semua itu adalah pilihan yang mendasarkan

    keyakinan sehingga menimbulkan berbagai macam jawaban dan aliran.

    Persoaln pertama , what is being ? memberikan alternatif yang

    berbeda-beda sesuai dengan keyakinan mereka,(1) Monisme, yang ada hanya

    satu, dan yang satu itu serba spirit atau idea maka akan melahirkan aliran

    spritualisme atau idealisme, tetapi jika yang satu itu serba materi akan

    melahirkan materialisme.(2)Dualisme, yang ada itu serba dua, misalnya jiwa

    dan raga maka terlahirlah aliran eksistensialisme, dan (3) Pluralisme, menurut

    aliran ini yang ada itu terdiri dari banyak unsur dan serba plural, (4) Yang ada

    adalah sesuatu yang tidak dapat di ketahui, maka lahirlah aliran agnotisme.38

    Persoalan yang kedua where is being ? . jawaban dari pertanyaan ini

    adalah (1) yang bersemayam dalam dunia ide, yang bersifat abstrak tetap dan

    abadi (2)yang ada bermulim di dunia ide, bersifat konkrit dan dan individual

    sehingga kebenaran yang diperolehnya terbatas dan berubah-ubah.

    37 Kunto Wibisono, Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenahi Kelahiran dan

    Perkembanganya Sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu, makalah kuliah filsafat ilmu progam pascasarjana IAIN sunan kalijaga, 1996, p.6.

    38 Ibid

  • 23

    Persoaln ketiga adalah what is truth?. Jika yang dimaksud kebenaran

    itu kekal dan abadi, maka tidak ada jawaban kecuali kemutlakan dan

    kekuasaan Tuhan, tetapi jika yang di maksud adalah kebenaran yang berubah-

    ubah, maka persoaln yang muncul adalah bagaimana perubahan itu dan apa

    yang menentukan perubahan itu.

    Dasar ontologi yang bermula dari pertanyaan what is being? Pada

    prosesnya memunculkan klasifikasi ontologik kedalam tiga bagian yaitu:

    (1)ontologi bersahaja, segala sesuatu dipandang sebagai keadaan sewajarnya

    dan apa adanya, (2) ontologi kuantitatif dan kualitatif, kuantitatif karena

    mempertanyakan tunggal atau jamak sedangkan kualitatif berangkat dari

    pertanyaan apakah yang merupakan jenis pertanyaan itu, dan (3) ontologi

    monistik, kenyataan itu tunggal adanya, keanekaragaman, perbedaan dan

    perubahan dianggap semu belaka39 pada giliranya nanti ontologi ini akan

    melahirkan mekanisme, idealisme dan materialisme.

    Dasar-dasar ontologis ini berlaku untuk semua jenis ilmu pengetahuan

    terutama tentang eksistensi bangun dan berkembangnya agar selaras dengan

    makna dan hakekat serta fungsi manusia diciptakan.

    D. HIERARKI PENGETAHUAN

    Dalam teori pengetahuan suatu ilmu tidak akan bisa mencapai status

    ilmiah yang sah kecuali status ontologisnya jelas diakui, oleh karena itu status

    ontologis akan sangat berpengaruh sebagai basis klasifikasi ilmu,para filosof

    muslim sangat peduli dengan masalah ini diantaranya al-Kindi, al-Farabi, ibn

    Sina, al-Gazali, Qutbudin al-Syirazi dan Mullashadra.40

    Menurut S.H Nasr apa yang mereka lakukan adalah dalam rangka

    menjelaskan hierarki ilmu dan mengharmoniskan wahyu dan akal atau antara

    agama dan ilmu, sebagaimana telah dijelaskan bahwa antara epiestimologi

    39 Louis O Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargo, (Yogyakarta: Tiara

    Wacana , 1992) hal. 191-192. 40 Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanis-Teosentris, (Yogyakarta:

    Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 130-131

  • 24

    Islam dan barat sangat berbeda, jika barat hanya berbijak pada hal yang

    beraura mahsusat yakni objek-objek indrawi tapi para filosof muslim

    mengakui ststus ontologi mahsusut dan maqulat.

    Dari kerangkam berfikir seperti itu epiestemologi Islam telah berhasil

    menyusun klasifikasi ilmu yang komprehensif dan disusun secara hierarkis

    yaitu metafisisyang menmpati posisi tertinggi disusul oleh matematika dan

    terahir ilmu-ilmu fisik atau fisika.

    Dari trikotomo seprti itu lahir berbagai disiplin ilmu rasional dalam

    dunia Islam seperti ontologi, teologi, kosmologi, anggelologi dan eskatologi

    yang termasuk dalam kategori ilmu-ilmu metafisik. Geometri,aljabbar,

    aritmatika, musik dan trigonometri yang termasuk didalamnya kategori ilmu-

    ilmu matematika. Dan fisika, kimia, geologi, geografi, astronomi, optika yang

    termasuk dalam kategori ilmu-ilmu fisik.41

    E. DASAR EPISTEMOLOGI ILMU PENGETAHUAN

    Epistemologi atau teori ilmu pengetahuan membahas secara mendalam

    segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh

    pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses

    tertentu yang dinamakan metode keilmuan.

    Epistemologi berkaitan dengan beberapa masalah diantaranya:

    bagiamana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa

    ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang diperhatikan agar

    mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu

    sendiri? Apakah kreterianya ? cara atau teknik sarana apa yang membantu

    dalam mendapatkan pengetahuan berupa ilmu?.42

    41 Mulyadi Kartanegara Menyibak Tirai Kejahilan, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 43 42 Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar

    Harapan, 1995), hal. 33

  • 25

    I. SUMBER PENGETAHUAN

    Epistemologi meliputi sumber sarana dan tatacara menggunakan sarana

    untuk mencapai pengetahuan (ilmiah), adapun sumber-sumber pengetahuan

    adalah indra, akal dan hati

    1. INDERA

    Sebagai sumber atau ada yang mengatakan alat, pengetahuan, indra

    tentu amat penting. Begitu pentingnya indra sehingga oleh aliran filsafat

    seperti empirisme indra dipandang sebagai satu-satunya sumber

    pengetahuan, melalui indralah kita mengenal dunia sekeliling kita, melalui

    mata kita bisa melihat bentuk keberadaan, sifat-sifat atau karakteristik

    benda-benda yang ada di dunia. Telingan denganya kita bisa mengenal

    dimensi lain dari objek-objek fisik yang tidak bisa di cerap oleh mata yaitu

    suara, demikian juga lewat indra perasa kita bisa merasakan rasa masam,

    asin, manis, pahit, dan lain-lain yang tentunya tidak dapat dilihat dan di

    dengar mata dan telingan.

    Tak kalah pentingnya adalah adanya indra pencium yang dapat

    mencerap aspek lain dari objek-objek fisik yang tidak bisa dilihat, didengar

    atau dirasa yaitu bau yang bisa membedakan antara harum dan dingin,

    lunak, halus serta kasar.

    Mengenai fungsi indra sebagai sumber pengetahuan dapat diantaranya

    sebagai alat adaptasi dengan lingkungan dan sebagai alat pertahanan hidup

    (survival) contoh mata sangat berguna untuk mengamati bahaya yang

    mungkin akan mengancam nyawa seperti tertabrak kendaraan bermotor,

    terbakar oleh api atau terjerembak kedalam parit dan dengan itu kita bisa

    mengambil tindakan seperlunya untuk menyelamatkan diri, telingan juga

    sangat berfungsi untuk menghindari bahaya serupa misalnya mendengar

    klakson mobil ketika mata karena sesuatu hal tidak bisa melihatnya, indra

    perasa untuk menghindari dari memakan benda-benda yang sudah busuk

    atau beracun, dengan demikian bahwa indra tidak hanya sebagai sumber

  • 26

    pengetahuan tetapi juga diperlukan untuk menghindari dari bahaya atau

    dengan kata lain pancra indra merupakan instrumen untuk kelangsungan

    hidup.43

    Setelah tahu seluk beluk indra fungsi dan keistemewaanya mungkin

    perlu juga mengkritisinya, pertanyaanya adalah apakah indra telah cukup

    memasok kebutuhan sebagi pengetahuan tentang sesuatu apa adanya?

    Apakah misalnya penglihatan kita telah mampu memberi pengetahuan

    tentang sebuah benda, katakanlah langit, bulan atau bintang? Sepintas kita

    akan menjawab ya misalnya kita bisa mengatakan bahwa langit itu biru,

    bulan itu bulat pipih seperti piring atau bintang kecil, namun apakah

    penglihatan kita melaporkan benda-benda itu sendiri sebagimana adanya

    atau hanya kesan yang tercerap oleh mata kita belaka? Apakah kesan

    indrawi kita sama dengan kenyataan, ternyata kita tahu bahwa kesan indra

    itu tidak sesuai dengan benda itu sebagaimana adanya.

    Indra penglihatan misalnya akan menduga bahwa bintang dilangit yang

    berkelip-kelip padahal menurut penyelidikan ilmiah bisa saja bintang yang

    berkelip adalah cahaya yang terpancar dari bintang jutaan tahuan yang lalu

    karena bintang yang berjarak jauh memang membutuhkan jutaan tahun

    untuk merambat sampai kemata, jadi jelas bahwa bahwa kesan yang di

    tangkap jauh berbeda dengan keadan sebenarnya.

    Begitupun indra pendengaran suara gunung berapi yang meletus,

    didengar pada pukul 10.06 misalnya belum tentu terjadi pada saat

    mendengarnya, sebab gelombang suara membutuhkan waktu bebrapa saat

    untuk mencapai ketelingan mungkin hanya beberapa detik atau 1-4 menit,

    selain itu tidak semua gelombang suara dapat didengar karena telingan

    hanya mampu mendengar gelombang suara yang berfrekkuensi tertentu saja,

    bukan gelombang suara yang jauh di luar batas frekuensi tertentu saja.

    43 Mulyadi Kartanegara, Op, Cit, hlm. 19

  • 27

    Dua contoh diatas telah cukup memberi kita pengetahuan (informasi)

    tentang benda-benda indrawi ternyata tidak memadai untuk mengetahui

    sesuatu sebagaimana adanya, namun juga kecakapan-kecakapan lain dari

    mental yang di sebut panca indra batin atau biasa disebut indra bersama (al-

    Hiss al-Mustarak). Indra ini menyebabkan sebuah objek indrawi muncul

    sebagi sebuah kesatuan yang utuh dengan segala dimensinya dan tidak lagi

    parsial yang biasa disumbangkan oleh tiap indra lahir.44

    Kedua khayal atau daya imajinasi retentif, indra ini adalah daya yang

    bisa melestarikan bentuk yang ditangkap oleh mata atau suara yang didengar

    oleh telingan. Daya ini sangat penting karena kita bisa mengingat wajah

    seorang yang cantik nan anggun atau anggota keluarga kita dan jika tanpa

    daya tersebut tak bisa di bayangkan akibatnya kita akan seperti orang yang

    kehilangan ingatan.45

    Indra batin yang ketiga disebut daya estiminasi (wahm) indra ini

    adalah untuk menilai apakah benda itu berbahaya atau bermanfaat untuk di

    jahui dan didekati, jadi wahm adalah daya unyuk menyimpulkan sesuatu

    benda yang mengharapkan untuk bertindak apakah menjahui atau

    mendekati.46

    Indra batin yang keempat disebut imajinasi ( Mutakhaliyah atau

    compositif imaginatif faculty) sebenarnya hampir sama dengan indra

    bersama cuma imajinasi dapat menggabungkan sesuatu benda menurut

    selera yang kita kehendaki misalnya kita menggabungkan bentuk manusia

    dengan burung dalam sebuah bentuk yang unik bisa disebut dengan buroq.47

    Indra batin yang kelima disebut memori (al-Hafizhah) indra ini

    berguna untuk melastarikan bentuk-bentuk imajiner yang meliputi fisik dan

    44 Ibid, hlm. 21 45 Ibid, hlm. 22 46 Ibid, hlm. 34 47 Ibid, hlm. 23

  • 28

    bentuk nonfisik atau abstrak48, dari berbagi corak keistemewaan serta

    kekurangan dari indra ini adalah ternyata ia tidak memadai untuk

    mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, oleh karena itu dibutuhkan

    bantuan alat atau sumber lain untuk mengetahui tentang sesuatu

    sebagaimana adanya,

    Al- Gazali49 dalam kitabnya Miskah al-Anwar memandang akal

    lebih patut di sebut cahaya dari pada indra dengan kata lain akal lebih patut

    di sebut sebagi sumber ilmu dari pada indra misalnya misalnya dengan indra

    kita bisa melihat separuh dari bulan yang terlihat dalam hal ini akalah yang

    dapat meyempurnakan bentuk bulan sebagai bola dan dengan akal pula kita

    bisa tahu bahwa pensil dalm gelas yang penuh dengan air itu lurus sekalipun

    tampak.

    2. AKAL

    Akal secara bahasa mempunyai arti terikat atau mengikat yakni

    mengikat manusia dengan Awalnya50, oleh para filosuf muslim akal di bagi

    menjadi 2 akal praksis dan akal teoritis, dalam hal ini akal teoritis adalah

    berhubungan dengan pengetahuan sedangkan akal praksis berhubungan

    dengan etika, disini akan di bahas keistimewaan atau kelebihan serta

    kekurangan akal sebagai pemasok alat pengetahuan.

    Manusia di bedakan dengan hewan oleh kecakapan mental yang luar

    biasa yang tidak dimiliki oleh hewan apapun yaitu akal, akal bisa melakukan

    hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh indra (baik lahir-maupun batin) yaitu

    bertanya secara kritis, akal misalnya dapat bertanya tentang dimana sebuah

    benda berada, kapan peristiwa terjadi, apa penyebabnya, dan siapa

    48 Ibid, hlm. 23 49 Abu Hamid Muhammad al-Gazali (450 H/ 1058 M-505 H/ 1111 M) nama latinya al

    Gazel bukanlah seorang saintis dan filosof dalam arti biasa, tapi meninggalkan pengaruh yang luar biasa pada kehidupan intelektual Islam, hingga tak cukuplah ketika bicara soal sains tanpa menyinggung peranya. Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di dalam Islam, (Bandung: Pustaka Bandung,1986), hlm. 34

    50 Seyyed Hossein Nasr Intelegensi dan Spritualitas Agama-Agama, (Jakarta: Inisani Press, 2004), hlm.11

  • 29

    pelakunya ? akal telah menjadi sumber luar biasa yang melebihi dari indera,

    itu tak lain karena akal memiliki perangkat atau konstruksi mental atau yang

    disebut oleh Immanuel Kant sebagai kategori-kategori seperti ruang, waktu,

    substansi, kualitas, relasi dan kuantitas.

    Kecakapan yang paling istimewa dimiliki akal adalah kemampuan

    untuk menangkap quiditas atau esensi dari suatu yang diamati atau di

    pahami, ketika berbicara tentang esensi meja akal sudah tidak lagi berbicara

    tentang meja yang berbentuk bundar, segitiga, segiempat, akan tetapi ia

    berbicara tentang hakekat atau quiditas yang meliputi semua meja partikular

    atau tertentu, hal inilah yang disebut bentuk ( Form) atau Surrah oleh

    Ariestoteles, dengan kemampuan akal menangkap esensi ( Mahiyah) dari

    benda-benda yang diamatinya, manusia bisa menyimpan jutaan makna atau

    pemahaman tentang berbagai objek ilmu yang bersifat abstrak sehingga

    tidak memerlukan ruang fisik yang luas didalam pikiran manusia.

    Setelah tahu tentang kelebihan yang dimiliki akal akan lebih baiknya

    juga tahu kekurangan atau kelemahan akal sebagai sumber pengetahuan.

    Rumi pernah berkata akal boleh menguasai seribu satu cabang ilmu, tetapi

    tentang hidupnya sendiri ia tidak tahu apa-apa. Akal memang sangat

    berguna sebagai sumber ilmu tapi hanya sebagai kecakapan intelektual atau

    kecerdasan intelegensi. Akal sering tidak berdaya jika dihadapkan pada sisi

    emosional manusia, ketika dihadapkan pada persoalan cinta, misalnya akal

    tidak bisa berkata apa-apa pikiran kita akan buntu dan lidah menjadi kelu,

    dengan kata lain akal tidak mengerrti tentang pengalaman esensial yaitu

    pengalaman yang kita rasakan bukan di konsepsikan.51

    Akal dengan kebiasaannya meruang-ruang ( sepatilize) apapun yang

    menjadi objeknya cenderung memahami secara general atau homogen

    sehingga tidak tahu tentang keunikan sesuatu moment atau runag, akal tidak

    51 Mulyadi Kartanegara, Op Cit, hlm. 27

  • 30

    akan mengerti mengapa bagi seseorang ada tempat yang sakral dan yang

    profan52.

    Akal seperti yang dikatakan Rumi dan Bergson, tidak mampu

    memahami objek penelitian secara langsung karena akal dengan

    menggunakan kata-kata atau simbol akan berputar-putar seperti objek

    tersebut, ia tidak akan langsung dapat menyentuhnya, pengenalan akal pada

    sebauh benda hanyalah bersifat simbolis yakni melalaui kata-kata, tetapi

    kata-kata saja tidak akan cukup memberi pengetahuan sejati tentang objek

    yang dikajinya.53

    3.HATI

    Untuk menutupi kekurangan akal manusia dilengkapi oleh tuhan

    dengan intuisi atau hati ( Qalb) sehingga akan lengkaplah seluruh perangkap

    ilmu bagi manusia. Ketika akal tidak mampu memahami wilayah kehidupan

    emosional manusia, hati kemudian dapat memahaminya. Hati yang terlatih

    akan dapat memahami perasaan seseorang hanya misalnya dengan

    mendenmgar suara atau memandang matanya.

    Ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran hati bisa menerobos

    kealam ketidaksadaran atau alam ghaib dalam bahasa agama, sehingga bisa

    mengalami pemgalaman non inderawi, bahkan bisa berkomunikasi dengan

    mahluk-mahluk ghaib seperti malaikat, jin bahkan tuhan sendiri seperti yag

    dialami oleh para nabi.

    Ibarat radar hati manusia terkadang mampu menangkap sinyal dari

    langit dengan begitu terang betapapun redupnya sinar itu dari sudut pandang

    akal.

    52 Mulyadi Kartanegara, Menembus Batas; Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan,

    2002), hlm. 13 53 Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar Epistemologi Islam,

    (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 27

  • 31

    Dengan hatilah manusia bisa merasakan pengalaman-pengalaman

    eksistensial tanpa ada generelasi atau kecendrungan meruang-ruang, dan

    dapat mengenal objek secara lebih akrab dan langsung.

    Pengetahuan hati adalah pengetahuan eksistensial atau pengetahuan

    yang didasarkan pada pengalaman, ia juga disebut pengetahuan presence54

    karena objeknya di pandang hadir dalam diri atau jiwa seseorang dan ini

    tidak mungkin bisa di pahami oleh akal, akal hanya mungkin mengerti cinta

    lewat mulut atau teori-teori tapi hati memahaminya langsung bukan lewat

    teori tapi hati mendalaminya sendiri sehingga ia tahu karena ia telah

    merasakan bukan tahu lewat omongan.

    II. METODE ILMIAH

    Kalau sementara klasifikasi ilmu berkaitan dengan pertanyaan apa yang

    dapat dikaji atau dapat diketahui, metode ilmu berkaitan dengan pertanyaan

    bagaima dapat mengetahui sebuah objek pengetahuan, pertanyaan bagaimana

    untuk mengetahui objek-objek ilmu tentu sangat penting bagi setiap teori

    pengetahauan karena dengan begitu kita bisa mengetahui langkah-langkah dan

    prosedur apa yang dapat di ambil oleh seorang ilmuan untuk sampai pada

    pengetahuan tentang sebuah objek sebagiman adanya.

    Seperti apa yang pernah di lontarkan Ziaudin Sardar sementara para

    ilmuwan barat menggunakn hanya pada satu macam metode ilmiah yaitu

    observasi, para pemikir muslim menggunakan tiga macam metode sesuai

    dengan tingkat atau hierarki objek-objeknya yaitu 1) metode observasi

    sebagaimana yang telah digunakan oleh teori barat atau biasa di sebut dengan

    Bayani 55atau Tajribi,56 2) metode logis atau demontratif yang disebut dengan

    54 Mehdi Hairi Yazdi Menghadirkan Cahaya Tuhan, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 17 55 Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks secara

    langsung atau tidak langsung dan dijustifikasi oleh akal. Kebahasaanya yang di gali lewat infrensi (istidlal) secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikanya tanpa perlu pemikiran secara langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu ditafsir meskipun demikian akal atau rasio tidak bebas menentukan makna dan maksudnya tetapi tetap harus bersandar pada teks. Bayani berasal dari kata Arab yang berarti penjelasan eskplanasi, al-Jabbiri mengatakan berdasarkan beberapa makna yang

  • 32

    Burhani,57 3) metode intuitif atau yang biasa disebut dengan Irfani 58yang

    masing-masing bersumber pada indra,akal dan hati.

    1.Metode observasi

    Metode observasi adalah metode eksperimen yang berkaitan dengan

    pengamatan indrawi yang tentunya sanat cocok atau sesuai dengan objek-

    objek fisik, al kindi misalnya di kenal bukan hanya sebagai seorang filosof

    melainkan ilmuan yang menggunakan metode observasi di laboratium kimia

    dan fisikanya.59

    2. Metode demontratif

    Metode demontratif atau burhani pada dasarnya adalah metode logika

    atau penalaran rasional yang di gunakan untuk menguji kebenaran dan

    kekliruan dari sebuah penyataan atau teori-teori ilmiah dan filosofis dengan

    cara memperhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan

    ilmiah.60

    di berikan kamus lisan al arab suatu kamus karya ibn Mansur dan di anggap sebagai karya pertama yang belum tercemari pengetahuan lain tentang kata ini memberikan arti sebagai al Fashl wa Intishal (memisah dan terpisah) dan ad Dhuhur wa al Idhar (jelas dan menjelaskan )makna al fashl wa al Idhar dalam kaitanya dengan metodologi sedang wa Dhuhur berkaitan dengan visi (ray) dari metode bayani. A. Khudhori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 177

    56 Tajribi adalah metode yang mengkaji objak-objak fisik yang tentunya Indra adalah alat dan sekaligus sumber utamanya utamanya, lihat Mulyadi Op Cit, hlm. 52

    57 al-Burhani secara sederhana bisa diartikan sebagai suatu aktifitas untuk menetapkan kebenaran proposisi yang satu dengan yang lain yang telah terbukti kebenaranya secara aksiomatik, menurut al Jabbiri pringsip-pringsip burhani pertamakali di kenalkan oleh Ariestoteles yang di kenal dengan metode analitik ( tahlili) suatu cara berfikir yang didasarkan atas proposisi tertentu, proposisi hamliyah( kategori) atau proposisi sartiyah dengan mengambil 10 kategori sebagai objek kaitan yaitu kualitas, ruang, waktu dan seterusnya. Pada masa Alexander Aprodisi murid serta komentator Aristoteles di gunakan istilah Logika dan ketika masuk khasanah pemikiran Islam berganti nama dengan Burhani. A. Khudori Soleh Op Cit, hlm. 220

    58 Irfani berasal dari kata dasar bahasa Arab Arafa semakna dengan Marifat berarti pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman (ekperiens) sedang ilmu menunjuk pada pada pengatahuan yang di peroleh lewat tranformasi ( Naql) atau rasional (Aql) karena secara termenilogi Irfan bias diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang di peroleh lewat penyinaran oleh ruhani ( Riyadlah) yang dilakukan atas dasar cinta. Mehdi Hairi Yazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan, (Bandung: Mizan, 2004), hlm.47-48 . Hal ini merupakan kebalikan dari metode Bayani,karena sasaran bidik Irfani adalah aspek esoteris syariat, apa yang ada di balik teks.A. Khudori Soleh, Op Cit, hlm. 194

    59 Mulyadi Kartanegara Op Cit, hlm. 53 60 Ibid, hlm. 56

  • 33

    Menurut para filosof metode burhani di gunakan dalm penelitian

    ilmiah dan filosofis sekalipun di ketahui bahwa kadang-kadang mereka juga

    menggunakan metode dealikta yang biasanya di gunakan oleh para teologi

    perbedaan antar keduanya terletak pada dasar premis mereka, premis

    demonstratisf didasarkan pada pengetahuan ilmiah sementara premis-premis

    dealikta opini

    3.Metode intuitif

    Kalau metode bayani berkaitan dengan indrawi, metode burhani

    berkaitan dengan akal maka intuitif sesuai dengan namanya berkaitan dengan

    intuisiatau hati (qalb).

    Metode pendekatan intuitif biasanya juga disebut metode dzauqi ada

    juga yang menyebut presensial karena objek-objeknya hadir dalam jiwa

    seseorang bisa dialami langsung oleh pelakunya, modus ilmu seperti ini

    biasanya disebut ilmu hudhuri (knowlegde by presense).61

    Dalam dunia Islam dihiasi oleh karya-karya mistik yang agung dan

    sangat inspirasional seperti Fushus al Hikam dan al Futuhat al Makiyah

    karangan ibn Arabi, Manthiq atThoir karangan Faridudin Atthar, al Matsnawi

    al Manawi karya Jalaludin ar Rumi.

    F. DASAR AKSIOLOGI ILMU PENGETAHUAN

    Sampailah kita pada dasar ilmu pengetahuan yang ketiga yaitu

    aksiologi yang menanyakan tetang kegunaan ilmu itu sendiri, aksiologi

    meliputi nilai-nilai yang ebrsifat normatif dalam pemberian makna tehadap

    kebenaran atau kenyataan sebagaiman di jumpai dalam kehidupan kita yang

    menjelajah berbagai wilayah baik sosial, simbolok ataupun fisik materiil, lebih

    dari itu nilai-nilai juga ditunjukan oleh aksiologi sebagi suatu Conditio sine

    quanon yang wajib di patuhi dalam kegiatan penelitian maupun dalam

    penerapan ilmu.

    61 Ibid, hlm. 60

  • 34

    Telah terjadi perdebatan panjang tentang apakah ilmu itu bebas nilai

    atau tidak sebagianberpendapat bahwa ilmu pengetahuan sendiri merupakan

    tujuan Pokok bagi yang menekuninya dan mereka ungkapkan dengan

    semboyang science for science sebagaimana mereka ungkapkan art for

    art .

    Sebagian lagi cendrung berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan

    adalah upaya bagi para peneliti menjadiakan alat atau jalan untuk menambah

    kesenagna dalam kehidupanya yang terbatas di muka bumi sedangkan

    sebagian cendrung menjadikan sebagi alat untuk meningkatkan kebudayaan

    dan kemajuan bagi umat manusia. Adapun al-Quran menjadiaknya sebagai

    alat untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dan lebih umum dari sekedar

    ilmu pengetahuan itu sendiri.62

    Pada dasarnya ilmu itu harus di gunakan untuk kepentingan

    kemaslahatan umat manusia Ilmu pengetahuan adalah suatu sistem yang di

    kembangkan manusia untuk mengetahui keadaanya dan lingkunganya atau

    menyesuaikan lingkunganya dengan dirinya dalam rangka strategi

    kehidupanya-63 dalam ini ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat

    dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat

    manusia, kelestarian lingkungan dan keseimbangan alam.

    Kenyataanya bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh membiarkan diri

    terpengaruh oleh nilai-nilai yang letaknya di luar ilmu pengetahuan atau

    dengan ungkapan yang agak singkat bahwa ilmu pengetahuan itu seharusnya

    bebas, namun demikian jelaslah kiranya bahwa kebebasan yang dituntut ilmu

    pengetahuan tidak sama dengan ketidakterikatan mutlak, terkait dengan

    pembicaraan ini Van Melsen berkesimpulan bahwa ilmu pengetahuan tidak

    62 Ali Abdul Adzim, Epistemologi dan aksiologi Ilmu Perspektif al-Quran, (Bandung:

    CV. Rosda, 1989), hal. 268 63 T. Jacob, Manusia Ilmu dan Tehnologi; Pergumpulan Abadi dalam Perang dan Damai,

    (Yogyakarta; Tiara Wacana, 1988), hal. 7

  • 35

    pernah bebas nilai sebab ia sendiri mengejawantahkan suatu nilai etis ,

    bertambah relevansi etisnya karena semakin erat kaitanya dengan praktis.64

    G. KEDUDUKAN PENGETAHUAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM

    Membicarkan pengetahuan tidak akan lepas dengan yang namanya

    pendidikan, karena antara pengetahuan dan pendidikan mempunyai hubungan

    yang erat dan saling mempengarui.

    Islam adalah agama yang mewarisi berbagai macam tradisi mulai dari

    budaya, seni dan berbagai macam ilmu dan Islam telah berhasil

    mengembangkan dengan cirinya sendiri, maka peradaban Islam klasik di hiasi

    oleh para ilmuan dan filosof yang sangat berpengaruh.

    Salah satu hal yang di anggap paten sekarang untuk melestarikan dan

    mengembangkan khasanah keilmuan Islam adalah pendidikan, pendidikan

    juga dianggap sebagai hal terpenting dalam pengembangan Islam itu sendiri,

    alasan lain adalah karena pendidikan dianggap mampu menyelesaikan

    problem sosial secara simultan dan bersifat permanen, artinya bahwa

    pendidikan dapat memberikan kontribusi kepada umat terhadap laju

    kehidupan sosial secara mapan.

    Pemaknaan kemapanan kontribusi tersebut dilihat dari proses

    transformasi pengetahuan keilmuan, ilmu di trasnformasikan oleh seorang ahli

    kepada peserta didik. Ilmu yang dimaksudkan adalah salah satu hasil dari

    usaha manusia untuk dirinya sendiri.

    Kalau melihat sepanjang sejarah pendidikan Islam di Madrasah atau

    al-Jamiah diabdikan untuk pentransferan pengetahuan baik ilmu agama

    dengan penekanan lebih khusus, di bandingkan pengetahuan umum hal ini

    nantinya merupakan akar dari munculnya istilah antara ilmu yang di wajibka

    dan ada ilmu yang di makruhkan.

    64 A.G.M. Van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, terj. K.

    Bertens.(Jakarta; Gramedia , 1992) hal. 93

  • 36

    Persoalan dikhotomik ini memang membawa dampak yang sangat luar

    biasa hal ini kalau di lacak dari akar persoalan adalah berhubungan erat

    dengan hierarki pengetahuan, jika ada salah satu dari herarki pengetahuan

    yang hilang maka yang terjadi adalah kepincangan atau dikhotomi.

    Kesan sekarang yang menggema dalam pendidikan Islam adalah

    pendidikan yang hanya mengutamakan ilmu-ilmu agama serta

    mengesampingkan ilmu-ilmu umum karena mereka menganggap bahwa

    dengan mempelajari ilmu agama maka jalan menuju sorga terbuka lebar.

    Di samping itu setelah sebagian dunia Islam memerdekakan dirinya

    dari penjajahan juga berimbas yang sangat krusial, hal ini bisa di tinjau dari

    berbagai negara Islam, mereka telah merdeka dari negara belanda misalnya

    memiliki sistem pendidikan modern ala belanda65 seperti Indonesia hasilnya

    sekarang terjadi dualisme sistem pendidikan yang satu lebih menekankan

    umum yang satu lebih menekankan agama.

    Padahal sebagaimana yang telah di katakan S.H Nasr bahwa berbagai

    cabang pengetahuan di pandang dari perspektif Islam pada ahirnya adalah

    satu di dalam Islam tidak di kenal pemisahan esensial antara ilmu agama dan

    ilmu umum.

    Berbagai ilmu dari perspektif intelektual yang di kembangkan dalam

    Islam memang mempunyai hierarki, tetapi hierarki ini pada akhirnya bermuara

    pada pengetahuan pada yang tunggal yaitu subtansi dari segenap ilmu, inilah

    alasan kenapa para ilmuan muslim berusaha menitregasikan ilmu-ilmu yang di

    kembangkan peradaban-peradaban lain kedalam skema hierarki ilmu

    pengetahuan menurut Islam makanyan tak ayal jika peradaban klasik Islam di

    hiasi para filosof dan ilmuwan agung mereka bukan hanya pandai dalam ilmu

    agama dan juga dalam ilmu umum.

    65 Moh. Sofyan, Pendidikan Berparadigma Profetik, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2004),

    hlm.124

  • 37

    Jadi sudah seharusnya sekarang mengahiri tentang pelarangan atas

    kajian suatu ilmu dengan alasan bahwa ilmu itu tidak bisa menghasilakn

    pahala, lebih-lebih didunia pendidikan Islam, kalau melihat perkembangan

    sekarang banyak lembaga pendidikan Islam yang sudah berlapang dada guna

    mengajarkan ilmu-ilmu yang dulunya di anggap makruh bahkan haram.

  • 38

    BAB III

    PEMIKIRAN

    SEYYED HOSSEIN NASR TENTANG ILMU PENGETAHUAN DAN

    PENDIDIKAN ISLAM

    A. Riwayat Hidup dan Karya-karyanya

    Seyyed Hossein Nasr dilahirkan di Teheran, Iran dan mendapatkan

    pendidikan dasarnya di kota kelahirannya sendiri, pendidikan tingginya

    ditempuh di Amerika di Massachusetts Institut of Technology (MIT), disana

    berhasil mendapatkan diploma B.S. (Bachelor of Science) dan M.A. (Master

    of Arts) dalam bidang fisika. Prestasi yang disandangnya belum memuaskan

    dirinya. Lalu Seyyed Hossein Nasr melanjutkan Universitas Harvard

    menekuni History of Science and Philosophy, di Perguruan tinggi ini Nasr

    berhasil memperoleh gelar Ph.D (Doctor of Philosophy) pada tahun 1958.66

    Seyyed Hossein Nasr adalah salah seorang diantara muslim yang

    mempunyai keahlian dalam bidang kajian Islam yang menembus hambatan-

    hambatan ilmiah untuk menggali Islam sebagai pengkajian secara obyektif dan

    jujur.67

    Sejak tahun 1958, Nasr mengajar di Universitas Teheran, dimana Nasr

    mendapat gelar Professor dalam bidang sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat.

    Tahun 1962 beliau menjadi dosen tamu di Harvard University dan tinggal

    disana sampai tahun1965. Tahun 1994 1965 Nasr menjadi pimpinan Aga

    Khan Chair of Islamic Studies pada American University of Beirut. Nasr juga

    memberikan ceramah dan kuliah di beberapa negara antara lain : Amerika,

    Eropa, Timur Tengah, Pakistan, India, Jepang dan Australia, Nasr mengarang

    lebih dari dua belas buku dan sejumlah artikel. Hasil karyanya telah

    66 Komaruddin Hidayat, Upaya Pembebasan Manusia Sufistik Terhadap Manusia

    Modern Menurut Seyyed Hossein Nasr, Konsep Manusia Menurut Islam, Peny. Lawam Raharjo, Grafiti Pers, Jakarta, 1987, hlm. 183

    67 Seyyed Hossein Nasr, Islam Dalam Cita dan Fakta. Terj. Abdurrahman Wahid, Leppenas, Jakarta. 1983, hlm. 183

  • 39

    diterjemahkan kedalam lebih dari sepuluh bahasa asing. Ceramah-ceramahnya

    berkisar pada pemikiran Islam dan problem manusia modern.68

    Reputasinya sebagai Guru Besar dalam kajian sejarah ilmu

    pengetahuan dan filsafat menunjukkan kedalaman dan ketajaman

    pemikirannya. Nasr juga ilmuwan muslim yang melanjutkan kritik sedemikian

    hebatnya, kepada dunia Barat dan peradaban modern pada umumnya, dengan

    menggunakan pedang intelektualnya.

    Sebagai ilmuwan yang sekarang hidup dalam status setengah

    pengasingan karena dahulu bersedia bekerja sama dengan Shah Reeza

    Pahlevi di Teheran dalam mendirikan dan kemudian memimpin sebuah institut

    pengkajian filsafat dan menerima gelas kebangsawanan dari sang raja diraja

    itu, reputasi Nasr tidak menurun hanya saja Nasr meninggalkan Iran dan

    menetap di salah sebuah universitas di Amerika Serikat. Selama ilmuwan

    tidak menjual pengetahuan yang dimilikinya untuk melenyapkan,

    mengaburkan atau menutupi kebenaran, selama itu pula integritas ilmunya

    tidak terganggu sama sekali.69

    Kedudukannya sebagai pemimpin Aga Khan Chair of Islamic Studies

    pada Amerika University of Beirut, menunjukkan reputasinya dalam

    pemikiran Islam dalam karya-karyanya yang cemerlang. Nasr yakin bahwa

    tugas dalam Aga Khan Chair yang dipimpinnya adalah memperkenalkan Islam

    dalam khasanah kehidupan intelektualnya secara setia dalam bahasa yang

    kontemporer tanpa menyimpang dari sudut tradisional, juga untuk

    mengadakan dialog dengan agama lain di luar Islam, terutama Kristen yang

    berdiri berdampingan dengan Islam di Libanon, serta untuk mengadakan studi

    tentang aliran-aliran Islam yang bersama-sama mewakili di Negeri ini.

    Ada dua metode yang mendukun pengembangan Nasr, pertama metode

    komperatif yaitu sutau metode yang diperlukan untuk melakukan studi

    perbandingan yang berarti antar tradisi-tradisi religius dan metafisis timur dan

    barat, kedua metode historis yaitu melangkah ke lembaran sejarah kemudain

    68 Kata Pengantar Abdurrahman Wahid dalam Seyyed Hossein Nasr. Islam Dalam Cita dan Fakta. Up right, hlm. x

    69 Ibid,. hlm. ix

  • 40

    membandingkan sumber-sumber dari berbagai filsafat sain yang diadopsi oleh

    filsafat Islam dari filsafat Yunani kemudian melangkah kedepan untuk

    membandingkan filsafat Islam di tranfisi dari filsafat barat.

    Seyyed Hossein Nasr berjasa dalam meyakinkan bahwa pemikiran dan

    kebudayan Islam tersebut masih hidup dengan kuatnya. Nasr juga

    menyarankan semua itu dipandang dengan menjauhkan dari sikap rasional dan

    sekuler faham Helenistis, dengan pengunduran diri dari ujian dan gejolak

    sejarah, timbul kesadaran yang lebih dalam akan pangilannya sendiri sebagai

    umat religius Timur dekat.70 Seyyed Hossein Nasr sebagain tokoh pemikir

    Islam dengan bahasa kontemporer tanpa meninggalkan sisi tradisional itu

    sendiri, berusaha menghadapi dan memberikan jawaban terhadap pandangan

    orientalis yang banyak berpijak pada pemikiran modern seperti materialisme,

    scientisisme dan sebagainya.

    Karya-karyanya yang tertulis dalam bahasa Eropa yang meniliti Islam

    dari sudut pandangnya sendiri, pandangan tradisional sedang karya-karyanya

    yang tertulis dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh dunia Islam, meskipun

    yang biak biasanya didasarkan pada argumentasi-argumentasi yang ditujukan

    kepada intelegensi muslim tradisional yang kesulitan dam keraguan

    sekelompok masayarakat yang telah dimodernisir. Argumentasi dan otoritas

    agama yang tradisional adalah sepenuhnya memiliki validitas dan bahasa

    mereka adalah apa yang seharusnya digunakan. Lebih tepat, keadaan luar

    biasa pada saat itu telah membawa situasi yang mana bahasa-bahasa dan jalur

    argumentasi harus diubah untuk menjadikannya menarik dan dimengerti.71

    Demikianlah perjalan hidup Seyyed Hossein Nasr yang mencurahkan

    segala tenaga dan pikirannya demi tegaknya agama Islam di muka bumi ini.

    Karya-karya Seyyed Hossein Nasr, antara lain :

    1. Buku terdiri atas :

    a. Islam and The Plinght of Modern Man (Islam dan Nestapa Manusia

    Modern)

    70 Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di Dalam Islam, Terj. J. Mahyudin. Penerbit Pustaka, Bandung, 1986, hlm. v-vi

    71 Seyyed Hossein Nasr, Op. Cit. hlm. xi

  • 41

    Buku ini berisi tentang masalah-masalah penting yang dihadapi

    oleh manusia modern. Buku ini juga membahas cara-cara penerapan

    ajaran warisan intelektual dan spiritual Islam. Selain juga alternatif

    besar ajaran Islam tersebut untuk mencari jalan keluar dari kedudukan

    manusia modern melalui penerapan ajaran Islam.

    b. Ideals and Realities od Islam (Islam Dalam Cita dan Fakta)

    Buku menggambarkan sebagai aspek yang esensial dalam

    Islam sebagai kekuatan yang tetep hidup dan ditujukan kepada orang-

    orang yang terbiasa dengan dialektika pemikiran modern. Buku ini

    juga menjawab berbagai serangan terhadap Islam yang dilakukan

    beberapa ahli Barat yang berkisar pada keimanan.

    c. Science and Civilation in Islam (Sains dan Peradaban di Dalam Islam)

    Buku ini bertujuan untuk menyadarkan manusia muslim

    mengenai apa yang harus dibenahi dalam menyerap Ilmu Pengetahuan

    barat yang didominasi dunia sekarang ini karena ilmu pengetahuan

    modern mengalami krisis. Salah satu sumbernya adalah anggapan yang

    netralitas ilmu dari konteknya yakni hikmat dan wahyu. Berpijak dari

    hikmat dan wahyu, maka bumi ini menjelaskan kembali peran ilmu

    pengetahuan dan peradaban Islam menetralisir pendapat tersebut.

    d. Living Sufism (Tasawuf Dulu dan Sekarang)

    Buku ini berisi beberapa persoalan masa kini yang dihadapi

    dunia modern pad aumumnya dan dunia Islam khususnya yaitu

    persoalan yang penyelesaiannya tergantung pada pemahaman dan

    pemakaian prinsip-prinsip tasawuf secara keseluruhannya. Buku ini

    diharapkan dapat menjadi kuci untuk membuka sejumlah pintu meuju

    gudang perbendaharaan tasawuf sejak dulu hingga sekarang.

    e. Knowledge and The Sacred (Pengetahuan dan Kesucian)

    Buku ini bermaksud untuk menggambarkan kekuatan yang

    berbahaya yang dimiliki manusia, yaitu bahwa kemampuan rasional

    dapat menajadi kekuatan setan jika dipisahkan dari intelek wahyu yang

    memberikan kualitas pengetahuan dan kandungan sucinya. Manusia

  • 42

    sebagai makhluk yang diberkati dengan intelegensi penuh yang

    berpusat pada Yang Absolut, manusia harus menjadi manusia yang

    sebenarnya. Menjadi manusia mengetahui pada akhirnya berarti

    mengetahui dan juga melebihi diri sendiri. Mengetahui pada akhirnya

    berarti mengetahui Substansi Tertinggi (sumber dari segala sesuatu).

    f. A Young Muslims Guide to The Modern World (Menjelajah Dunia

    Modern)

    Buku ini memberikan bimbingan kepada kaum muda muslim

    dalam menjelajahi dunia modern, agar mampu memahami lebih dalam

    lagi tentang peradaban Barat dan pemikiran modern yang telah

    mempengaruhi dunia Islam selama kurang dua abad belakangan ini.

    Diharapkan pula agar kaum muslim menjadi akrab dengan agama dan

    akar-akar budaya sendiri, sehingga makna pandangan moral dan

    intelektual yang diperlukan untuk bertahan dan berperan dalam dunia

    modern tanpa kehilangan keimannya. Bahkan lebih jauh dari itu

    menekankan sebagai keyakinan dan pandangan hidup.

    Selain karya karya yang telah disebutkan diatas ada beberapa buku

    atau karya-karya lain seperti : Islam Tradisi, Intelektual Islam, Three

    Muslim Sages, Islamic of Art and Spirituality.

    2. Makalah, terdiri atas :

    Islam in the Islamic worls and today, Dedance, Deficition and

    Renaissance in The Context of Contemporary, Philosophia Perennis and

    Study of Religion, dan Dunia Barat dan Tantangan-tantangan terhadap

    Islam.

    B. Hakikat Pengetahuan

    Berbicara masalah pengetahuan, tidak lepas dengan adanya istilah

    tradisi. Pengetahuan dan tradisi keduanya sangat erat hubungannya, karena

    pengetahuan berada dalam setiap jantung tradisi, dan tradisi berasal dari

    agama.

    Tradisi sebagaimana yang dipergunakan oleh para tradisionalis,

    menyiratkan sesuatu yang sakral, seperti yang disampaikan kepada manusia

  • 43

    melalui wahyu maupun pengungkapan pengembangan peran sakral itu dalam

    sejarah kemanusiaan tertentu, dalam satu cara yang mengimplikasikan baik

    kesinambungan horizontal dengan Sumber maupun rantai-antai vertikal yang

    menghubungkan setiap denyut kehidupan tradisi yang sedang diperbincangkan

    dengan relaitas transender. Tradisi bisa berarti ad-din dalam pengertian yang

    seluas-luasnya yang mencakup semua aspek agama dan peradabannya, bisa

    pula di sebut as-sunnah, yaitu apa yang didasarkan pada mode-mode sakral,

    bisa juga diartikan as-silsilah yaitu mata rantai yang mengkaitkan setiiap

    periode, episode atau tahap kehidupan dan pemikiran dunia tradisional kepada

    sumber (Tuhan).72

    Istilah tradisi dalam penggunaan secar teknis, dalam karya ini atau

    yang lain, berarti kesejatian-kesejatian, atau prinsip-prinsip dari Yang Asal

    Ilahi (The Divine Origin) yang diwahyukan atau dibeberkan kepada manusia

    dan keseluruhan wilayah kosmos alam, melalalui berbagai figur yang lain,

    beserta percabangan dan aplikasinya dalam berbagai wilayah realitas yang

    mencakup hukum dan struktur sosial, seni, simbolisme serta berbagai cabang

    ilmu pengetahuan Suprim sekaligus cara-cara mendapatkannya.73

    Tradisi dalam pengertian yang lebih universal, dapat dianggap

    memasukkan prinsip-prinsip yang mengikat manusia ke surga atau ke langit

    yang disebut juga agama. Tradisi di lihat dalam maknanya yang essensial atau

    hakikat adalah prnsip-prinsip yang ditampakkan surga (yang diwahyukan itu

    sendiri) yang berfungsi mengikat manusia kepada permulaanya (dengan yang

    Asal).74 Tradisi dalam pengertian yang konkrit dapat dianggap sebagai

    aplikasi prinsip-prinsip tersebut, tradisi mengimplikasikan adanya kesejatian-

    kesejatian yang berkarakter supra individual yang berakar pada hakikat

    Realitas. Tradisi bukanlan mitologi kekanak-kanakan dan usang, tetapi sebuah

    ilmu yang benar-benar nyata. Tradisi sebagaimana juga agama terdiri dari dua

    72 Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman

    Hakim, Pustaka, Bandung, 1994. hlm.3 73 Ahmad Harun Permata, (ed), Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi, PT. Tiara

    Wacana Yogya, Yogyakarta, 1996, hlm. 147 74 Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. el), Pustaka

    Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm. 77

  • 4