bab i pendahuluan a. latar belakang...

22
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat Indonesia khususnya berada pada masa krisis, dimana mereka telah dihadapkan dengan suatu tatanan masyarakat baru dengan formasi kapitalis yang sering disebut dengan ‘globalisasi’ 1 . Fenomena globalisasi memang tidak bisa dihindari lagi, karena kolonialime berwajah baru tersebut tengah bersetubuh dengan berbagai sendi kehidupan manusia, baik aspek ekonomi, politik, budaya, tatanan sosial bahkan dalam aspek pendidikan. Dinamika masyarakat dari masyarakat industri menjadi masyarakat yang didominasi oleh informasi dan teknologi serta ilmu pengetahuan ini telah berlangsung dan proses transformasinya selalu meningkat, yang belum pernah ditemui dalam sejarah lintasan manusia di era sebelumnya. Dinamika tersebut menciptakan pergeseran paradigma (shifting paradigm) dan perubahan tingkah laku manusia yang mecerminkan telah hilangnya nilai-nilai kemanusiaan (humanisme) dan nilai-nilai agama 2 Dalam sambutan Holger Borner (Direktur Freidrik Ebert Stiftung, Jerman) pada konferensi internasional tentang antisipasi kaum sosial 1 Globalisasi terjadi sejak diberlakukannya suatu mekanisme perdagangan melalui penciptaan kebijakan “free trade”, yakni berhasil ditandatanganinya kesepakatan internasional tentang perdagangan pada bulan April 1994 setelah melalui proses yang sulit di Marrakesh, Maroko, yakni suatu perjanjian perdagangan internasional yang dikenal dengan GATT. GATT sesungguhnya merupakan kumpulan aturan internasional yang mengatur perilaku perdagangan antar pemerintah dan juga forum negosiasi perdagangan antar pemerintah. Kesepakatan ini dibangun atas dasar sistem perdagangan terbuka dan bebas lebih efisien. Kemudian muncul yang namanya WTO dan berbagai kesepakatan yang sifatnya regional seperti NAFTA dan SIJORI yang bersifat kawasan. Untuk lebih jelasnya lihat, Mansour Faqih, Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar& INSIST PRESS, 2002). 2 Imam Machali (ed), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi: Buah Pikiran Seputar; Filsafat, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), hlm. 135.

Upload: dangdang

Post on 28-Feb-2018

222 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Saat ini masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat Indonesia

khususnya berada pada masa krisis, dimana mereka telah dihadapkan dengan

suatu tatanan masyarakat baru dengan formasi kapitalis yang sering disebut

dengan ‘globalisasi’1.

Fenomena globalisasi memang tidak bisa dihindari lagi, karena

kolonialime berwajah baru tersebut tengah bersetubuh dengan berbagai

sendi kehidupan manusia, baik aspek ekonomi, politik, budaya, tatanan

sosial bahkan dalam aspek pendidikan. Dinamika masyarakat dari

masyarakat industri menjadi masyarakat yang didominasi oleh informasi dan

teknologi serta ilmu pengetahuan ini telah berlangsung dan proses

transformasinya selalu meningkat, yang belum pernah ditemui dalam sejarah

lintasan manusia di era sebelumnya. Dinamika tersebut menciptakan

pergeseran paradigma (shifting paradigm) dan perubahan tingkah laku

manusia yang mecerminkan telah hilangnya nilai-nilai kemanusiaan

(humanisme) dan nilai-nilai agama2

Dalam sambutan Holger Borner (Direktur Freidrik Ebert Stiftung,

Jerman) pada konferensi internasional tentang antisipasi kaum sosial

1 Globalisasi terjadi sejak diberlakukannya suatu mekanisme perdagangan melalui penciptaan kebijakan “free trade”, yakni berhasil ditandatanganinya kesepakatan internasional tentang perdagangan pada bulan April 1994 setelah melalui proses yang sulit di Marrakesh, Maroko, yakni suatu perjanjian perdagangan internasional yang dikenal dengan GATT. GATT sesungguhnya merupakan kumpulan aturan internasional yang mengatur perilaku perdagangan antar pemerintah dan juga forum negosiasi perdagangan antar pemerintah. Kesepakatan ini dibangun atas dasar sistem perdagangan terbuka dan bebas lebih efisien. Kemudian muncul yang namanya WTO dan berbagai kesepakatan yang sifatnya regional seperti NAFTA dan SIJORI yang bersifat kawasan. Untuk lebih jelasnya lihat, Mansour Faqih, Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar& INSIST PRESS, 2002).

2 Imam Machali (ed), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi: Buah Pikiran Seputar; Filsafat, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), hlm. 135.

2

demokrat terhadap masalah globalisasi telah memperlebar jurang

ketidakadilan masyarakat kita. Tindakan-tindakan politik harus difokuskan

bagi penguatan dasar – dasar kohesi sosial. Bentuk- bentuk tersebut dengan

lebih diperkuat. Dan kita harus memikirkan kembali hubungan pasar dan

Negara dalam level nasional dan internasional. Ketidakadilan pembangunan

di berbagai bagian dunia mengharuskan adanya penghubung masalah-

masalah politik dan ekonomi, dengan kata lain masalah-masalah sosial

global akan mengancam kita3

Jika sebelumnya negara mempunyai peran yang sangat signifikan

terhadap perilaku sosial-ekonomi bisnis ke daerah dan wilayah suatu negara,

namun dengan globalisasi dan ruh neoliberalisme serta kapitralismenya

mampu menerobos batas-batas negara. Negara menjadi lumpuh terkebiri,

bahkan pada sektor yang memenuhi hajat hidup orang banyak (publik) pun

negara tidak berdaya melindungi. Sektor publik seperti BUMN dan

pendidikan mulai dijual (privatisasi) kepada pemodal dengan dalih stabilitas

ekonomi, peningkatan mutu pelayanan dan ketidak mampuan negara

mengelolanya. Semua itu merupakan akibat globalisasi dengan

neoliberalisasinya yaitu “mempersempit peran negara dan menyerahkan

semua persoalan kepada mekanisme pasar”.4 Untuk mencapai tujuan itu

negara-negara kapital merumuskan ajaran yang harus dipatuhi oleh semua

negara yang dikenal dengan the neoliberal Washington consensus.

Terdapat sepuluh kebijakan yang dirumuskan dalam the neoliberal

Washington consensus yaitu: (1) disiplin fiskal, yang intinya ialah

memerangi defisit perdangan; (2) public expenditure atau anggaran

pengeluaran untuk publik yakni prioritas anggaran belanja pemerintah

melalui pemotongan segala subsidi; (3) pembaharuan pajak, sering kali

3 Anas Ma’ruf dan Anas,SA (Ed), Shaping Globalization; Jawaban Kaum Social Democrat atas Neoliberalisme,terj, (Yogyakarta: Jendela,2000), hlm. 4

4 Sindhunata (Ed), Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 42

3

berupa pemberian kelonggaran bagi paara pengusaha untuk kemudahan

membayar pajak; (4) liberasi keuangan, berupa kebijakan bunga bank yang

ditentukan oleh mekanisme pasar; (5) nilai uang yang kompetitif, berupa

kebijakan untuk melepaskan nilai tukar uang tanpa control dari pemerintah;

berupa kebijakan untuk melepaskan pemerintah; (6) trade liberalization

barier, yaitu kebijakan untuk menyingkirkan segenap hal yang mengganggu

perdagangan bebas, seperti kebijakan untuk mengganti segala bentuk lisensi

perdagangan dengan tarif pengurangan bea tarif; (7) foreing direct

investment, berupa kebijakan untuk menyingkirkan segenap aturan

pemerintah yang menghambat pemasukan modal asing; (8) privatisasi, yaitu

kebijakan untuk memberikan semua pengelolaan perusahaan Negara kepada

pihak swasta; (9) deregulasi kompetisi, yakni mengurangi peraturan

pemerintah dalam segala hal yang bisa menurunkan keuntungan, termasuk

dalam hal prelindungan alam dan keselamatan kerja; (10) intellectual

property rights atau paten.5

Dengan sepuluh ajaran ini membawa pengaruh yang luar biasa

terhadap formasi sistem sosial, ekonomi politik dan budaya. Pendidikan

sebagai salah satu sistem sosial juga mengalami dampak yang sama.

Konsekuensi yang harus dibayar oleh lembaga pendidikan adalah perubahan

logika pendidikan; sekolah perguruan tinggi yang semula merupakan

pelayanan publik (public servant) dengan memosisikan siswa dan

mahasiswa sebagai warga Negara (citizen) yang berhak mendapatkanm

pendidikan yang layak6, namun ketika status Badan Hukum Milik Negara

(BHMN) menjadi target, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) –privatisasi

pendidikan- atau lebih sebagai produsen, sedangkan siswa dan mahasiswa

sebagai konsumennya jaringan relasional yang membentuk pun mengarah

5 Mansour Fakih, Jalan Lain Manifesto Intelektual Organik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 189-190.

6 Dalam UUD 45 Ayat 31 disebutkan; “ Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”.

4

pada transaksi harga antara penjual dan pembeli7, sementara produk (out

put) yang dihasilkan adalah pesanan dari pemodal untuk memenuhi

kebutuhan produsen dan mengabaikan aspek kesadaran kritis peserta didik.

Dengan demikian pendidikan yang semula sebagai aktivitas sosial

budaya berubah menjadi komunitas budaya yang siap diperjual belikan.

Biaya pendidikan menjadi mahal sehingga tidak terjangkau oleh rakyat

miskin dan hanya terjangkau oleh orang kaya, gelar dalam atau luar negeri

pun siap diperdagangkan kepada yang mampu membelinya. Inilah babak

baru kapitalisme pendidikan global yang melucuti makna pendidikan.

Pendidikan yang semula dipahami sebagai proses pendewasaan sosial

manusia menuju tataran ideal, yang menyangkut tujuan memelihara dan

mengembangkan fitrah serta potensi atau sumber daya insani menuju

terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil)8, yang dilakukan melalui

aktivitas sosial budaya, telah hilang makna prennial-nya. Pendidikan kini

telah menjadi ajang mencari laba dan aktivitas mencari keuntungan. Secara

sederhana dapat dibedakan pendidikan sebagai aktivitas sosial budaya

dengan pendidikan sebagai aktivitas bisnis dan berorientasi keuntungan.

Nilai-nilai pendidikan secara umum dan khususnya pendidikan Islam

semakin lama justru semakin larut kedalam gegap gempita perubahan

tersebut. Selama ini refleksi tentang situasi pendidikan Islam yang dilakukan

oleh para pemerhati, praktisi, pengamat pendidikan hanya merujuk pada

persoalan klasik.9 Pendidikan Islam yang selama ini dilabelkan (eksklusif),

7 Triyono Lukmantoro, PTN dalam Hegemoni Fundamentalisme Pasar, Kompas, 26 Mei

2004. 8 Moh. Hanif Dhakiri, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, (Yogyakarta: Penerbit

Jembatan, 2000), hlm. 3. 9 Persoalan klasik tersebut adalah adanya dualisme-dikotomik, yaitu dengan memandang

bahwa segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan. Dari pandangan ini kemudian dikembangkan dalam melihat dan memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani, sehingga pendidikan Islam hanya diletakkan pada aspek rohani atau akhirat. Pendidikan keagamaan dihadapkan dengan pendidikan non-keagamaan, pendidikan agama dengan umum, demikian seterusnya. Pandangan ini kemudian selalu menjadi pembicaraan yang terus-

5

ternyata lebih inklusif, selalu konteks dengan perubahan zaman dan pada

dasarnya pendidikan Islam lebih fleksibel sesuai dengan tuntutan zamannya.

Pendidikan Islam sebagai salah satu media strategis dalam

penciptaan SDM berkualitas perlu selalu mengkontekskan dan

merefleksikan kalau perlu memformat kembali dalam arangka mensikapi

kondisi masyarakat yang harus direspon serius baik secara konseptual,

strategis dan praktis.

Atau dengan kata lain, pendidikan Islam bertujuan untuk

mempersiapkan peserta didik untuk menempuh kesempurnaan insani dalam

menghadapi masyarakat yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah

SWT. Sedangkan yang bertujuan pendek lebih menekankan pada kebutuhan

masyarakat ketika melihat kondisi atau perubahan masyarakat kekinian.

Seperti penyiapan tenaga-tenaga profesional, penciptaan nalar kritis peserta

didik dalam menganalisa fenomena sosial yang terjadi di masyarakat dan

penyiapan sumber daya manusia (SDM) sebagai upaya menjawab tantangan

zaman yang membutuhkan jawaban solutif.

Dalam perspektif pendidikan, era globalisasi memang memiliki

keterkaitan dengan pendidikan. Karena globalisasi merupakan proses,

dinamika atau perkembangan masyarakat yang sebelumnya memang belum

terjadi, yang menciptakan pola-pola baru dalam struktur sosial masyarakat.

Baik dalam aspek ekonomi, politik, sosial, budaya dan pendidikan.

Sementara pendidikan memiliki tujuan jangka panjang dan jangka pendek.

Adapun yang bertujuan jangka panjang seperti untuk pencapaian proses

menerus sehingga pengembangan pendidikan Islam pun justru akhirnya ketinggalan. Karena hanya berkutat pada persoalan klasik yang diinginkan para praktisi, pemerhati atau pengamat pendidikan Islam untuk selalu diaktualkan. Memang munculnya pemahaman dikotomik tersebut tidak terlepas dari warisan penjajah kolonial Belanda. Artinya, pada zaman kolonial Belanda, memulai membedakan pendidikan “umum” di satu pihak dan pendidikan “agama” di pihak lain dalam praktik pendidikannya. Untuk persoalan klasik sebenarnya masih banyak persoalan-persoalan yang menghambat majunya pendidikan Islam ( Untuk selanjutnya lihat, Hujair Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani Indonesia (Yogyakarta: UII Press & Safiria Insani Press, 2003), hlm. 96-98.

6

pemanusiaan kembali manusia (humanisasi)10 dan terlebih dalam Islam

seperti yang diungkapkan oleh Atiya Al-Abrasy salah satu tujuan pendidikan

menurutnya adalah untuk mempersiapkan kehidupan di dunia dan akhirat.11

Ketika pendidikan tinggi, baik negeri maupun swasta terseret arus

besar industrialisasi yang menjelma kedalam komodifikasi pendidikan,

maka juga tidak luput masuk ke dalam perangkap dilema industrialisasi.

Pendidikan tinggi ingin menggali pendanaan lokal dengan menjual jasa

pendidikan kepada masyarakat secara cepat dan menguntungkan namun

terjadi degradasi kualitas pendidikan, atau tetap mempertahankan kualitas

pendidikan namun kesulitan dalam pengadaan dana pendidikan. Supaya

pendidikan tinggi bisa cepat dipasarkan, maka mereka harus merumuskan

pendidikan yang cepat saji, cepat disantap oleh konsumen, cepat berproduksi

lagi, cepat menciptakan kesejahteraan. Maka jadilah apa yang dinamakan

“McDonaldisasi Perguruan Tinggi”12

Privatisasi pendidikan adalah konsekuensi logis dari 'McDonaldisasi

masyarakat' (McDonaldization of Society) yang menjunjung prinsip

teknologisasi, kuantifikasi, keterprediksian dan efisiensi dalam setiap sendi

kehidupan. Dalam masyarakat seperti ini, pendidikan tidak lagi dipandang

sebagai public goods, melainkan private goods.13 Sebagaimana barang

konsumsi lainnya, pendidikan tidak lagi harus disediakan oleh pemerintah

secara massal untuk menjamin harga murah.

10 Humanisasi merupakan serangkaian proses untul mencapai pemerdekaan manusia.

Manusia adalah penguasa atas dirinya, dank arena itu fitrah manusia adalah menjadi bebas. Ini merupakan tujuan akhir dari upaya humanisasinya freire. Humanisasi karenanya juga berarti pemerdekaan atau pembebasan manusia dari situasi-situasi batas yang menindas diluar kehendaknya. (Paulo Freire, The Politik of Education, Culture, Power, and Liberalization, terj, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1999), hlm. ix.)

11 Omar Muhammad, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 416 12 Heru Nugroho (ed), McDonaldisasi Pendidikan Tinggi, (Yogyakarta: Kanisius, 2002),

hlm. 13 13 Media Indonesia, 18 Februari 2004

7

Istilah McDonaldisasi masyarakat pertama-tama di kemukakan oleh

seorang sosiolog Amerika, George Ritzer dalam tulisannya yang terkenal di

Journal Of American Culture tahun 1983.14 pengertian ini lebih merebak

dengan terbitnya bukunya The McDonaldlizatoan of Society (1993) serta

publikasi-publikasi lainnya yang berkenaan dengan itu.

Dunia pendidikan tinggi telah dimasuki oleh wabah McDonaldisasi

seperti yang telah diperlihatkan dalam pertemuan internasioanal mengenai

McDonaldisasi pendidikan tinggi yang diadakan di Universitas Kent,

Canterbury pada tanggal 1 Juli 2001. Di Indonesia gejala McDonaldisasi

pendidikan tinggi mulai merebak ketika muncul peraturan pemerintah

mengenai otonomi perguruan tinggi (PP 61/1999) di era pemerintahan B.J.

Habibi yang mengatur tentang perubahan Perguruan Tinggi Negeri (PTN)

menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN),

dan sebagai implikasinya adalah otonomi kampus, hal ini menjadi legitimasi

pemerintah untuk menyerahkan pendidikan kepada mekanisme pasar.

Pendewasaan terhadap mekanisme pasar adalah ruh dari gagasan

neoliberalisme dan anak kandung globalisasi dengan liberalisme

ekonominya.15

Proses McDonaldisasi apabila dicermati memang telah memasuki

dunia pendidikan tinggi. Derek Bok, mantan Presiden Universitas Hardvard

di dalam bukunya yang menjadi best seller: Universities in the Marketplace,

The Commercialization of Higher Education (2003), menunjukkan dengan

jelas betapa proses komersialisasi telah mulai mengancam otonomi

pendidikan tinggi. Ancaman terhadap otonomi pendidikan tinggi mulai

terasa ketika pemerintah federal mulai menciutkan dananya ke pendidikan

tinggi sehingga membuka peluang kepada lembaga-lembaga pendidikan

tinggi mencari dana terutama dari perusahaan-prusahaan besar. Masuknya

14 H. A. R. Tilaar, Multikulturalisme (Jakarta: PT Grasindo, 2004), hlm. 267. 15 Imam Machali (ed), Op.Cit., hlm. 125.

8

dana perusahaan-prusahaan besar pada akhirnya menimbulkan conflict of

interest antara mempertahankan nilai-nilai akademik atau memajukan nilai-

nilai komersial. Bok melihat bahaya dari universitas-universitas swasta

ternama sampai universitas-universitas milik negara (state university),

berebutan mencari dana-dana pengembangan yang ditawarkan oleh

perusahaan-perusahaan besar yang tidak lepas dari tujuan komersial.16

Terganggunya integritas pedidikan tinggi dikhawatirkan akan

melahirkan McUniversity dimana lembaga pedidikan tinggi berubah menjadi

semacam lembaga tukang jahit yang hanya menanti pesanan para

konsumen.17 McUniversity akan melahirkan McMahasiswa yaitu mahasiswa

yang hanya mengejar ijazah dan bukan untuk mengejar integritas pribadi

sebagai seorang sarjana.

Menurut Ritzer prinsip franchise dari Mcdonald’s berdasarkan

kepada empat prinsip:

a) Prinsip efisiensi. Prinsip ini dikenal secara luas di dalam dunia

bisnis. Berdasarkan kepada prinsip Fordism (assembly line), scientifis

management, dan prinsip birokrasi, maka restoran Mcdonald’s dikelola

secara sangat efisien. Pada pokoknya restoran tersebut melaksanakan prinsip

uniformitas, menu standart, porsi yang sama, dengan harga yang sama, dan

kualitas yang sama di dalam setiap restoran McDonald’s.

b) Kalkulabilitas. Bisnis yang diadakan haruslah dapat dihitung

untung ruginya. Apabial tidak memungkinkan maka dicari jalan pemecahan

agar bisnis tetap memberi keuntungan, sebagai contoh misalnya, pola

franchising McDonald’s tidak menarik fee dasar yang besar tetapi setiap

pembelian dikenakan 1,9 % kepada franchisee. Jadi yang dipentingkan ialah

keuntungan dari pada franchisee. Demikian pula uniformitas tidak

16 Derek Bok, Universities in the Marketplace, The Commercialization of Higher

Education, (Princeton: Princeton University Press, 2003), hlm. 35. 17 H. A. R. Tilaar, Op.Cit., hlm. 271

9

menghalangi adanya inovasi. Oleh sebab itu McDonald’s Indonesia

mempunyai rasa yang cocok dengan lidah Indonesia karena menyertakan

nasi di samping french fries atau kentang goring.

c) Prediktabilitas. Dengan adanya kalkulabilitas maka dengan

sendirinya dapat diprediksikan keuntungan yang di peroleh oleh outlet

McDonald’s. Setiap outlet telah memprediksikan tempat-tempat yang

strategis dimana orang akan mencari makan secara cepat, misalnya di

lingkungan-dilingkungan perkantoran dimana orang tergesa-gesa untuk

makan dan berkerja kembali. Demkian pula di highway-highway dimana

orang mencari makan di tengah paerjalanannya secara cepat.

d) Kontrol: dari kontrol manusia menuju kontrol robot yang

mekanistik. Bisnis McDonald’s mempunyai manual yang sangat tepat yang

sudah ditqerbitkan sejak tahun 1958. bahkan pada tahun 1961 ia mendirikan

suatu pusat pelatihan, sejenis “hamburger university” dengan gelar

“hamburologi”. Demikianlah cara-cara memberikan servis yang cepat yang

dikontrol secara mekanis dan terarah telah dapat mempertahankan kualitas

makanan secara cepat dan menyenangkan banyak orang.18

Dari keempat prinsip ini, McDonald’s telah membuat restoran cepat-

saji tersebut menjadi semacam icon dari proses Amerikanisasi budaya dunia.

Prinsip McDonald’s ini diterapkan bukan hanya direstorannya tetapi juga

merambah ke hampir semua sektor kehidupan modern yang tidak

dimasukinya, McDonald’s telah menjadi suatu lifestyle manusia modern.

Sebagai icon modernisasi, prinsip McDonaldisasi juga telah memasuki

dunia pendidikan, termasuk dunia pendidikan tinggi.

Menurut Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta Prof Dr H.

A. R. Tilaar, proses globalisasi yang merembet dengan terbukanya pasar

bebas di dunia pendidikan sudah sangat nyata. Contoh konkret, saat ini

18 George Ritzer, McDonaldization, The Reader (Thousand Oaks, CA: Pine Forge Press,

2000), hlm. 15.

10

program-program studi yang sangat laku di pasaran makin bertambah

gemuk. Sebaliknya, program yang tidak laku dijual semakin kurus.

Program-program studi seperti itu sengaja didesain untuk kepentingan

komersial. Ironisnya, proses komersialisasi pendidikan ini tidak hanya di

pendidikan tinggi tapi sudah mulai sejak pendidikan pra sekolah yang

diembel-embeli produk impor. "Inilah yang disebut pendidikan mengikuti

ide Darwinisme sosial” Pendidikan pun diberikan secara cepat saji, seperti

McDonaldisasi, disajikan dengan cepat namun miskin isi.19

Dari kaca mata pakar pendidikan ini, masuknya kekuatan pasar

global atau liberalisasi, budaya korporasi, dan kekuatan industri memang

telah mengarahkan misi pendidikan tinggi. Maka tak heran, bila etika dan

moral d dunia pendidikan tinggi dikuasai oleh etika dan moral bisnis yang

berdasarkan mencari keuntungan dan efisiensi. Akuntabilitas pendidikan

tinggi yang diagung-agungkan adalah akuntabilitas dari pemegang modal.

Gejala ini disinyalir telah memasuki institusi pendidikan tinggi kita,

baik negeri maupun swasta sama-sama mempercepat proses industrialisasi

pendidikan. Yang dimaksud dengan McDonaldisasi Perguruan Tinggi

Agama Islam (PTAI) dalam hal ini adalah upaya mengemas PTAI menjadi

standar, di mana-mana rasa atau harmoninya sama, sehingga mudah

dikunyah atau dinikmati dengan cepat oleh setiap pemakai jasa pendidikan

tinggi Islam. Kalau cara ini yang terjadi maka sosialisasi perguruan tinggi

agama Islam tidak berlangsung secara komplet.

Memasyarakatkan sebuah hasil pendidikan tanpa mengerti pririt

pendidikan tersebut sama artinya membeli teknologi tanpa mengerti filsafat

teknologinya. Maka sangat dimungkinkan terjadi penonjolan salah satu

bentuk pendidikan yang dapat di-McDonaldisasikan tanpa orang mengerti

seluk beluk dan arah yang akan dicapai dalam pendidikan tersebut.

19 www.google.com, Kamis 05 Mei 2005

11

Dampak yang akan terjadi dari fenomena ini adalah terjadinya

reduksi bentuk perguruan tinggi agama Islam yang sangat luas dan

sophisticated kedalam salah satu bentuk yang sederhana dan trivial, yaitu

pendidikan Islam yang kapitalistik. Ini merupakan fenomena pemiskinan

PTAI yang perlu dihindari karena memasyarakatkan PTAI sama artinya juga

dengan memasyarakatkan spirit, visi, misi dan latar belakang historis

pendidikan tinggi Islam.

Dari uraian di atas, maka menurut penulis perlu adanya kajian yang

mendalam terhadap pemikiran George Ritzer yang berkaitan dengan

McDonaldisasi, terutama aspek pendidikan yang sekarang banyak

diperbincangkan para tokoh pendidikan. Karena McDonaldisasi hingga

sekarang masih menjadi diskursus yang cukup menarik untuk dilirik secara

seksama. Kajian tersebut akan dijabarkan dengan judul “Relevansi Konsep

McDonaldisasi George Ritzer Terhadap Pendidikan Tinggi Islam”.

Kajian yang paling utama dalam penelitian ini adalah pernik-pernik

pemikiran dari tokoh sosiolog asal Amerika Serikat yang menghasilkan

pemikiran McDonaldisasi pendidikan lewat bukunya The Mcdonaldization

Thesis: Explorations and Extensions, Serta McUniversity in the Post

Modern Consumer Society, in Quality in Higher Education, gejala

McDonaldisai ini disinyalir telah masuk kedalam pendidikan tinggi Islam.

Bagaimanapun penelitian ini nantinya tidak mengupas soal

McDonald atau mungkin bisnis fast food, meskipun keduanya berulangkali

disinggung dalam keseluruhan pembahasan. Tidak lebih kehadiran

McDonald di sini sebagai contoh utama sebuah “paradigma” dari sebuah

proses berlingkup luas yang menurut Ritzer dinamakan dengan

McDonaldisasi.20

20 Sebuah proses dimana berbagai prinsip restoran fast food hadir untuk mendominasi lebih

banyak sektor kehidupan Amerika serta diberbagai belahan lain dunia (George Ritzer, The McDonaldizarion of Society, California: Pine Forge Press 2002), hlm. 1

12

Penelitian ini mencoba memaparkan alternatif pemikiran khusus

memberikan corak rasionalitas dalam pendidikan Islam dengan meminjam

teori McDonaldisasinya George Ritzer. Penulis sengaja mengambil George

Ritzer sebagai bagan untuk menciptakan suasana berbagi ide.

B. Alasan Pemilihan Judul

Sebelum berbicara panjang tentang formulasi skripsi ini, perlu

disampaikan reason penulisan judul skripsi “Relevansi Pemikiran George

Ritzer tentang McDonaldisasi terhadap Pendidikan Tinggi Islam” sebagai

bahan penjelas. Diantara alasan pemilihan judul ini adalah sebagai berikut :

1. Tokoh sekaliber George Ritzer yang dapat dipetakan dalam berbagai

disiplin keilmuan, sangat penting juga ditinjau dari perspektif pendidikan

Islam. Terutama dalam gagasan besarnya tentang McDonaldisasi. Maka

McDonaldisasi sangat urgen menjadi topik kajian dengan tinjauan

spesifik masalah point-point pendidikan Islam.

2. Kajian mendasar yang banyak diteliti dan ditulis tentang pemikiran

George Ritzer masih hanya seputar ilmu sosial, makroekonomi saja. Dari

sini muncul inisiatif untuk mendeskripsikan figur George Ritzer dalam

bidang pendidikan Islam, yang mana hal ini akan bisa memberikan

kontribusi di dunia akademik sebagai maraji’ (literature).

3. Memulai kembali kajian-kajian pembaharuan yang sampai saat ini masih

jarang disentuh oleh kalangan akademisi, terutama dalam hal pemahaman

latar belakang sosial seorang tokoh. Misalnya, seorang George Ritzer

yang banyak dikatakan sebagai tokoh sosiologi modern, tentu dalam

karya tentang pendidikan juga diwarnai dengan abstraksi disiplin

pembaharuannya—terutama dengan model dialog antara tradisi dan

modernisasi.

13

C. Penegasan Istilah

Dalam rangka memberikan penjelasan dan penegasan istilah yang

terdapat dalam judul “Relevansi Pemikiran George Ritzer tentang

McDonaldisasi terhadap Pendidikan Islam (kekurangan dan kelebihan teori)“,

maka disertakan pula definisi peristilahan yang dimaksud. Hal ini juga untuk

menghindari kesalahpahaman terhadap judul di atas. Maka, penulis berusaha

menjelaskan istilah-istilah tersebut dengan formulasi yang banyak

disampaikan oleh para tokoh, sebagai berikut:

1. Relevansi

Relevansi adalah hubungan, keterkaitan.21 Jadi yang dimaksud judul ini

adalah keterkaitan teori McDonaldisasi George Ritzer dengan

Pendidikan Islam.

2. Konsep

Konsep berasal dari bahasa Inggris concept yang berarti buram; bagan;

rencana; pengertian. Kata ini dalam bahasa Indonesia ditulis dengan

“konsep” dengan arti: ruang; rancangan; atau buram (surat).22 Adapun

yang dimaksud dalam judul ini adalah konsep dengan makna rancangan

dari sebuah proses yang berlingkup luas yang dinamakan dengan

McDonaldisasi.

3. McDonaldisasi

Mcdonaldisasi adalah sebuah istilah yang sudah dibakukan oleh pakar

ilmuan sosiologi george ritzer untuk menggambarkan bentuk dari

rasionalitas dan standarisasi yang secara terstruktur menambah lahan

21 Bahrudin Salam, Etika Individual, Pola Dasar Filsafat Moral, (Jakarta: Renika Cipta,

2000), hlm. 3 22 WJS. Poerwodarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka,

1985), hlm. 653.

14

bagi kehidupan sosial di amerika serikat dan lebih-lebih di dunia pada

umumnya.23

McDonaldisasi merupakan sebuah proses dimana berbagai prinsip

restoran fast food hadir untuk mendominasi banyak sektor kehidupan

Amerika serta di berbagai belahan dunia.

4. George Ritzer

George Ritzer adalah Distinguished University Professor di Universitas

Maryland. Minat utamanya adalah teori sosiologi dan sosiologi

konsumsi. Dia pernah menjabat sebagai ketua American Sociological

Association’s Section on Theoritycal Sociology and Organizations and

Occupations. Profesor Ritzer juga seorang Distinguished Scholar-

Teacher di Maryland dan menerima Teaching Excellence Award. Dia

menjabat sebagai UNESCO Chair in Social Theory di Akadeni Sains

Rusia.24

Ritzer mengajar dijurusan sosiologi selama lebih dari 30 tahun dan telah

menulis sejumlah besar buku kajian sosiologi, dan mengajar sosiologi di

seluruh dunia, namun tak satupun gelar kesarjanaannya bukan dibidang

sisiologi.25

Karya metateoritis pertama Ritzer adalah “Sociology: A Multiple

Paradigm Science” terbit pada tahun 1975, sedangkan karya The

McDonaldization of Society yang penulis gunakan sebagai dasar

penelitian ini telah diterjemahkan kedalam sekitar dua belas terjemahan.

5. Pendidikan Tinggi Islam

Dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pendidikan

merupakan: “proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau

sekelompok orang dalam usaha mendewasakan kepribadiannya melalui

23 Craig Calhoun, Dictionary of the Social Sciences, (New York: Oxford University Press, 2002), hlm. 301

24 Alimandan, Teori Sosiologi Modern,terj, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. ii 25 Ibid, hlm. A-10

15

upaya pengajaran dan latihan". Pendidikan berarti pula sebagai

pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi. Dalam

bahasa Inggris, Pendidikan berasal dari kata “education”, kemudian

pengertian ini menjadi berkembang.26 Sedangkan pendidikan Tinggi

Islam itu menekankan pada pemahaman terhadap Islam sebagai suatu

kekuatan yang memberi hidup bagi suatu peradaban raksasa—termasuk

di dalamnya pendidikan.27 Ahmadi juga memberikan pengertian

pendidikan menurut pandangan Islam, yaitu tindakan yang dilakukan

secara sadar dengan tujuan memelihara dan mngembangkan fitrah serta

potensi (sumber daya) insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya

(insan kamil).28.

Secara garis besar judul dalam penelitian ini akan memberikan

apresiasi terhadap pemikiran George Ritzer tentang gejala McDonaldisasi

yang terjadi di perguruan tinggi. Dan tidak menutup kemungkinan terjadi di

perguruan tinggi islam. Sehingga pendidikan tinggi islam dapat dijadikan

topik kajian untuk kemudian di relevansikan dengan pemikiran George Ritzer

tentang McDonaldisasi. Disana tentu muncul berbagai pemikiran pendidikan

yang berbeda dengan tokoh lainnya. Apalagi dalam peta pemikirannya

didasarkan pada studi pemikiran masa pramodern, modern hingga

neomodern. Tentu saja pemikiran McDonaldisasi pada akhirnya menyentuh

bidang pendidikan islam. Pada bagian inilah penulis ingin memberikan telaah

26 Perkembangan makna itu meliputi: 1. development in knowledge, skill, abality or

caracter by teaching, training, study or experience; 2. knowledge, skill, abality, or caracter developed by teaching, training, study, or experience; 3. science and art that deals with the principles, problems, etc., of teaching and learning. Lihat E.L Thorndike, Clarence L. Barnhart, Advanceu Junior Dictionary, (NewYork: Doubleday and Company Inc., 1965), hlm. 257.

27 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 2000), hlm. 29.

28 Achmadi, Islam Paradigma Ilmu Pendidikan., (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), hlm. 16.

16

secara mendalam tentang pandangan McDonaldisasi dan relevansinya

tehadap pendidikan tinggi Islam.

D. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di muka, maka ada beberapa

permasalahan yang akan dikaji melalui penelitian ini. Permasalahan-

permasalahan tersebut antara lain:

1. Bagaimana pemikiran George Ritzer tentang McDonaldisasi?

2. Bagaimana pemikiran George Ritzer tentang pendidikan?

3. Bagaimana relevansi pemikiran McDonaldisasi George Ritzer terhadap

pendidikan tinggi Islam?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan ini tidak saja dimaksudkan untuk mengesahkan

asumsi penulis, namun justru akan melihat secara objektif bagaimana

sebenarnya relevansi pemikiran McDonaldisasi yang digagas oleh George

Ritzer terhadap pendidikan Islam. Sesuai dengan latar belakang masalah

tersebut, maka penelitian ini bertujuan:

1. Mengetahui pemikiran George Ritzer tentang McDonaldisasi

2. Memahami secara detail pemikiran George Ritzer tentang pendidikan

3. Menganalisis sejauh mana relevansi pemikiran McDonaldisasi George

Ritzer terhadap pendidikan tinggi Islam.

F. Tinjauan Pustaka

Kajian yang dibahas dalam penelitian ini difokuskan pada gagasan

George Ritzer tentang McDonaldisasi dalam ranah Pendidikan Islam. Dari

sini dibutuhkan satu tinjauan kepustakaan, dan dalam hal ini penulis di bantu

banyak peneliti yang mengkaji tentang ketokohan George Ritzer dengan teori

17

McDonaldisasinya yang menghebohkan dunia. Untuk mencari data

pendukung dalam rangka mengetahui secara luas tentang tema tersebut,

penulis berikhtiar mengumpulkan karya George Ritzer, baik berupa buku,

artikel, jurnal atau makalah. Kesemua data tersebut akan di klasifikasikan

pada satu prioritas utama yaitu tentang Pendidikan Islam.

Dari karya-karya yang penulis jumpai, data primer yang dapat

menyokong kajian ini adalah karya George Ritzer The McDonaldization of

Society. Bahasan utama dalam buku yang diterbitkan Pine Forge Press tahun

2000 adalah sebuah bisnis makanan cepat saji ala McDonald yang tak sekadar

bisnis belaka, tapi telah merambah dunia pendidikan tinggi.

Dosen universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dr Heru Nugroho dkk,

mengungkapkan dengan lugas pemikiran pendidikan George Ritzer ini

didasarkan pada gejala McDonaldisasi yang terjadi dikampus Universitas

Gadjah Mada (UGM). Ia menggariskan hal tersebut dalam tulisannya di buku

McDonaldisasi Pendidikan Tinggi. Heru menggaris bawahi bahwa gejala

McDonaldisasi yang terjadi di UGM bermula ketika pemerintah menjadikan

UGM sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lewat otonomi perguruan

tinggi.

Dalam rangka menjawab problematika McDonaldisasi yang terjadi di

perguruan tinggi negeri yang kian hari bertambah pelik, H.A.R Tilaar

mengungkapkan gejala McDonaldisasi ini dengan istilah McUniversity. Ide

ini dituangkan dalam buku yang diterbitkan penerbit PT Grasindo berjudul

Multikulturalisme. Buku ini menjelaskan bahwa proses otonomi perguruan

tinggi telah mengancam integritas perguruan tinggi, hal ini terasa ketika

pemerintah menciutkan dananya ke perguruan tinggi sehingga membuka

peluang perguruan tinggi mencari dana lain, terutama dari perusahaan-

perusahaan besar. Masuknya dana perusahaan besar pada akhirnya

menumbuhkan conflik of interest antara mempertahankan nilai-nilai akademik

18

atau memajukan nilai-nilai komersial. Terganggunya integritas perguruan

tinggi dikhawatirkan akan melahirkan McUniversity.

Data primer lain yang menyokong kajian ini adalah buku Modern

Sociological Theory (teori sosiologi modern) karya George Ritzer dan

Douglas J.Goodman, buku ini membahas teori rasionalitasnya Max Weber,

dan restoran cepat-saji ala McDonald adalah cermin dari paradigma

rasionalitas formal. Dari empat dimensi rasionalitas formal: efisiensi,

kemampuan untuk diprediksi (Predictability), lebih menekankan pada

kuantitas ketimbang kualitas –bentuk rasionalitas inilah yang cenderung

menyebabkan ketakrasionalan dari sesuatu yang rasional (the Irracionality of

Rationality)

G. Metode Penelitian

Penelitian dan pembahasan skripsi ini menggunakan metode library

research atau penelitian kepustakaan29 dengan menggunakan jenis penelitian

intelectual biography yaitu penelitian dengan menelusuri perjalanan

kehidupan tokoh dalam bidang keintelektualannya yang meliputi juga

perjalanan karier tokoh dalam bidang pendidikan.

1. Pendekatan

Pendekatan yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Pendekatan Phenomenologi, yaitu pendekatan yang mengemukakan

bahwa objek ilmu tidak terbatas pada yang empirik (sensual),

melainkan mencakup fenomena lain baik persepsi, pemikiran,

kemauan dan keyakinan subjek tentang suatu yang transenden,

disamping yang aposteoritik.30

29 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas

Psikologi UGM, 1987), hlm. 9. 30 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000),

edisi IV, hlm.17.

19

b. Pendekatan Historis Faktual, yaitu pendekatan dengan mengemukakan

historis faktual mengenai tokoh.31 Pemakaian pendekatan dengan

berusaha membuat interpretasi secara sistematis dan hipotesis.32

c. Pendekatan Logika Reflektif, yaitu cara berfikir dalam proses mondar-

mandir secara cepat antara induksi dan deduksi. Logika induksi

umumnya memerlukan penyajian data empirik yang cukup untuk

membuat abstraksi, sedangkan logika deduktif memerlukan penjabaran

sistematik spesifik yang luas menyeluruh.33

2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang penulis gunakan adalah dengan

menggunakan dokumentasi. Dokumentasi dipakai penulis untuk

menemukan data-data tentang pola pemikiran pendidikan yang

dikembangkan oleh George Ritzer dengan tatapan McDonaldisasi.

Adapun sumber dokumentasi antara lain:

1) Sumber Primer

Sumber primer yang dimaksud merupakan karya yang langsung

diperoleh dari tangan pertama yang terkait dengan tema penelitian

ini. Jadi data-data primer ini merupakan karya dari George Ritzer

baik yang berbentuk artikel, makalah seminar, buku maupun

wawancara. Diantara karya-karya George Ritzer yang akan

dipergunakan sebagai bahan rujukan dalam penelitian ini adalah, The

McDonaldization of Society, Modern Sociological Theory,

McDonaldization; The Reader, McUniversity in the Post Modern

Consumer Society; in Quality in Higher Education, The

Mcdonaldization of Society: An Investigation into the Changing

31Anton Bekker, Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 61.

32 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 134.

33 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), hlm. 6.

20

Character of Contemporary Social Life, The Mcdonaldization

Thesis: Explorations and Extensions.

2) Sumber Sekunder

Yaitu sumber yang berasal dari orang kedua atau bukan sumber yang

datang langsung dari George Ritzer. Artinya sumber ini merupakan

interpretasi dari seorang penulis terhadap karya George Ritzer.

Diantara karya yang mengetengahkan pemikiran Ritzer antara lain,

Fast food Fast Talk: Service Work ang the Routinization of Everyday

Life karya Robin Leidner, McMilestone Restaurant Open door in

Dele City karya John F Harris, McEducation-and Bits on the Side

karya James Panton, The McDonaldization of Information karya

Tom Larney, The McDonaldization of Higher Education karya

Dennis Hayes, Universities in the Marketplace, The

Commercialization of Higher Education karya Derek Bok,

McDonaldisasi Pendidikan Tinggi editor Heru Nugroho,

Multikulturalisme karya H.A.R Tilaar

3. Metode Analisis Data

Dalam analisis data, penulis berusaha untuk mencoba memberikan

arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, dan

mencari hubungan di antara dimensi-dimensi uraian.34

Adapun metode-metode yang dipakai dalam menganalis data

sebagai berikut:

1. Metode Deskriptif-Analitik

Berdasarkan data yang diperoleh untuk menyusundan menganalisa

data-data yang terkumpul dipakai metode Deskriptif-Analitik. Metode ini

akan penulis gunakan untuk melakukan pelacakan dan analisa terhadap

34 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya,

2001),, hlm. 103

21

pemikiran, biografi dan kerangka metodologis pemikiran George Ritzer.

Selain itu metode ini akan penulis gunakan ketika menggambarkan dan

menganalisa pemikiran Ritzer saat ia mencetuskan gagasannya tentang

McDonalisasi.

Kerja dari metode deskriptif-analitik ini yaitu dengan cara

menganalisa data yang diteliti dengan memaparkan data-data tersebut

kemudian diperoleh kesimpulan.35 Dengan kata lain metode deskriptif

adalah memberikan gambaran yang jelas dan akurat tentang material atau

fenomena yang diselidiki. Metode ini digunakan untuk mendiskripsikan

dan sekaligus menganalisis pemikiran-pemikiran George Ritzer tentang

McDonaldisasi dalam perspektif pendidikan Islam.

2. Metode Content Analysis

Metode Content analysis adalah suatu metode untuk

mengungkapkan isi pemikiran tokoh yang diteliti. Soedjono memberikan

definisi content analisis adalah usaha untuk mengungkapkan isi sebuah

buku yang menggambarkan situasi penulis dan masyarkat pada waktu itu

ditulis.36 Content analysis (analisa isi) digunakan untuk mengkaji data

yang diteliti. Dari hasil analisis isi ini diharapkan akan mempunyai

sumbangan teoritik.37

3. Metode Historis

Metode histories adalah prosedur-prosedur pemecahan masalah

dengan menggunakan data atau informasi masa lalu, yang bernilai sebagai

peninggalan.38 Dengan metode ini dapat diungkapkan kejadian atau

35 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,

1992), hlm. 210 36Soedjono, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan, (Jakarta: Rineka Cipta,

1999), hlm. 14 37 Noeng Muhadjir, Op.Cit., hlm. 51 38Hadari Nawawi, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press, 1996),

hlm. 214

22

keadaan pada saat teori itu dikemukakan, terlepas dari keadaan itu terjadi

pada masa sekarang. Dalam hal ini akan diungkapkan pemikiran George

Ritzer ditinjau dari segi sejarahnya sesuai dengan realita atau tidak.

Apabila tidak sesuai, peneliti berusaha untuk memperbaiki penuturan suatu

peristiwa atau kejadian yang mungkin dinilai tidak sesuai dengan

sebenarnya terjadi di masa sekarang.