bab i pendahuluan a. latar belakang masalahrepository.ump.ac.id/4674/2/bab i.pdf · dengan anaknya...

15
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ibu merupakan seorang figur yang terdekat dengan seorang anak. Peran seorang ibu dalam perkembangan sang anak sangatlah penting, dimana seorang ibu adalah pengasuh utama bagi anak. Kebersamaan ibu dengan seorang anaknya lebih sering apabila dibandingkan dengan ayah. Ibu orang pertama yang berhubungan, dan juga melakukan kontak fisik dan emosional dengan anak. Kedudukan seorang ibu sebagai tokoh sentral sangat penting untuk melaksanakan kehidupan. Kepedulian ibu terhadap anaknya dianggap sebagai reaksi naluriah. Ibu dapat mengembangkan hubungan emosional yang kuat dengan anaknya. Sehingga seorang ibu memiliki harapan-harapan yang besar terhadap anaknya (dalam Kartono, 1992). Setiap ibu pasti menginginkan seorang anak yang sehat dan juga sempurna baik secara fisik maupun psikologis. Namun pada kenyataannya, tidak semua anak terlahir ke dunia dengan keadaan sesuai dengan yang diinginkan oleh orangtuanya (dalam Kartono, 1992). Ketika seorang ibu mengetahui bahwa anaknya memiliki sebuah hambatan dalam perkembangannya dan berbeda dari anak lainnya. Bukanlah suatu hal yang mudah bagi seorang ibu untuk dapat menerima kenyataan bahwa buah hati yang di lahirkan mengalami kekurangan, maka sang ibu akan merasa lebih 1 Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017

Upload: truongcong

Post on 30-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ibu merupakan seorang figur yang terdekat dengan seorang anak.

Peran seorang ibu dalam perkembangan sang anak sangatlah penting,

dimana seorang ibu adalah pengasuh utama bagi anak. Kebersamaan ibu

dengan seorang anaknya lebih sering apabila dibandingkan dengan ayah.

Ibu orang pertama yang berhubungan, dan juga melakukan kontak fisik dan

emosional dengan anak. Kedudukan seorang ibu sebagai tokoh sentral

sangat penting untuk melaksanakan kehidupan. Kepedulian ibu terhadap

anaknya dianggap sebagai reaksi naluriah. Ibu dapat mengembangkan

hubungan emosional yang kuat dengan anaknya. Sehingga seorang ibu

memiliki harapan-harapan yang besar terhadap anaknya (dalam Kartono,

1992).

Setiap ibu pasti menginginkan seorang anak yang sehat dan juga

sempurna baik secara fisik maupun psikologis. Namun pada kenyataannya,

tidak semua anak terlahir ke dunia dengan keadaan sesuai dengan yang

diinginkan oleh orangtuanya (dalam Kartono, 1992). Ketika seorang ibu

mengetahui bahwa anaknya memiliki sebuah hambatan dalam

perkembangannya dan berbeda dari anak lainnya. Bukanlah suatu hal yang

mudah bagi seorang ibu untuk dapat menerima kenyataan bahwa buah hati

yang di lahirkan mengalami kekurangan, maka sang ibu akan merasa lebih

1

Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017

2

sensitif dan rapuh atas apa yang terjadi pada anaknya. Perasaan kecewa,

marah, merasa bersalah semuanya menjadi salah satu dari begitu banyak

dampak negatif yang dapat ibu rasakan. Menyadari adanya dampak-dampak

negatif baik secara psikis maupun fisik pada diri ibu atas semua keadaan ini

merupakan langkah yang penting bagi seorang ibu, agar dampak dan beban

yang dihadapi tidak semakin berat. Karena kondisi psikis ibu yang buruk

juga akan memberikan pengaruh buruk terhadap diri anak. Dampak negatif

yang dirasakan oleh seorang ibu membuat tidak sedikit dari mereka yang

menutupi kondisi anaknya dari orang lain. Fokus dari penelitian ini adalah

ibu yang memiliki anak tunagrahita.

Orangtua atau ibu yang memiliki anak tunagrahita memiliki beban

berat dalam mengurus anak, karena anak tunagrahita memiliki kelemahan-

kelemahan tersendiri dan harus mendapat perhatian lebih yang berbeda

dengan anak normal lainnya. Selain itu, beban lain yang dirasakan ibu yang

memiliki anak tunagrahita biasanya berasal dari lingkungan sosial. “Orang

awam” yang tidak memiliki pengetahuan mengenai anak tunagrahita akan

memandang anak tunagrahita sebagai anak yang tidak normal dan acap kali

disepelekan. Penilaian-penilaian dari lingkungan ini akan mempengaruhi

kejiwaan orangtua terutama ibu dari anak tersebut (dalam Listiyaningsih &

Dewayani, 2010).

American Phychological Association (APA) yang dipublikasikan

melalui Manual of Diagnosis and Professional Practice in Mental

Retardation th. 1996, mengemukakan tentang batasan tunagrahita. Batasan

Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017

3

dari APA ini dapat dimaknai, bahwa anak tunagrahita adalah anak yang

secara signifikan memiliki keterbatasan fungsi intelektual, keterbatasan

fungsi adaptif. Keadaan ini terjadi sebelum usia 22 tahun (dalam Wati,

2012).

Tahun ajaran 2015/2016 SLB C Yakut Purwokerto memiliki siswa

tunagrahita berjumlah 170 siswa. Terdiri dari 110 siswa SD, yaitu 69 laki-

laki dan 41 perempuan. Kemudian ada 40 siswa SMP yang terdiri dari 24

laki-laki dan 16 perempuan. Untuk siswa SMA terdiri dari 20 siswa, yaitu

10 laki-laki dan 10 perempuang (SLB C Yakut Purwokerto, 2016).

Tabel 1.1 Klasifikasi Anak Tunagrahita Berdasar Derajat

Keterbelakangannya (dalam Somantri, 2007)

Level

Keterbelakangan

IQ

Stanford Binet Skala Weschler

Ringan 68-52 69-55

Sedang 51-36 54-40

Berat 32-20 39-25

Sangat Berat >19 >24

Williams & Wright menyatakan bahwa banyak orangtua yang

memiliki pikiran negatif saat mengetahui anaknya memiliki

kekurangan/ketunaan, seperti rasa bersalah dan ketakutan akan masa depan

(dalam Na’imah & Septiningsih, 2015). Besarnya tekanan yang hadapi oleh

seorang ibu bukanlah tanpa alasan. Seorang ibu merupakan sosok atau figur

yang paling dekat dengan anak, sehingga sangat besar tanggung jawab

menjadi seorang ibu yang memiliki anak tunagrahita.

Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017

4

Hal tersebut diatas sesuai dengan hasil studi pendahuluan yang telah

dilakukan dilapangan. Studi pendahuluan dilakukan dengan wawancara

dengan tiga orang subjek yaitu ibu yang memiliki anak tunagrahita. Subjek

pertama yaitu ibu A (56 tahun), dari hasil wawancara di dapatkan informasi

bahwa tidak jarang subjek merasa sedih bahkan menangis ketika melihat

anaknya yang sudah berumur 14 tahun masih saja bertingkah laku seperti

anak kecil.

Anak subjek merupakan anak yang sudah bisa belajar mandiri

seperti mandi, makan, ganti baju mampu dilakukannya sendiri namun

semua itu dilakukan dengan sangat lamban sehingga terkadang subjek

bahkan tidak mampu untuk mengontrol emosinya yang membuat subjek

memukul anaknya. hal tersebut tidak terjadi hanya semata-mata karena

subjek marah terhadap anaknya karena lamban dalam berbagai hal, subjek

merasa sudah lelah untuk mengajarkan segala sesuatu kepada anaknya dan

anaknya tidak menunjukkan kemajuan.

Subjek memiliki dua anak yang mengalami tunagrahita hanya saja

anaknya yang lebih besar dan sekarang sudah dewasa sangat berbeda

dengan anaknya yang sekarang masih sekolah di kelas 4 SD. Subjek merasa

putus asa ketika subjek harus merayu anaknya untuk masuk kelas setelah

selesai istirahat, apabila subjek memarahi sang anak maka anaknya akan

semakin susah untuk masuk kelas namun apabila tidak dimarahi maka

sampai pelajaran selesai belum tentu sang anak mau untuk masuk kelas.

Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017

5

Terkadang subjek lebih memilih membawa sang anak pulang

daripada harus berdebat dengan anaknya ketika tidak mau masuk ke

kelasnya. Subjek merasa putus asa dengan perilaku sang anak yang sangat

susah untuk di ajarkan disiplin, namun semua kegiatan ingin dilakukan

sendiri oleh sang anak. Subjek pasrah dan putus asa dengan keadaan sang

anak dan subjek merasa mungkin sudah cukup menyekolahkan anaknya

sampai nanti lulus SD.

Semua rasa putus asa tersebut dikarenakan subjek menyerah untuk

mengajarkan anaknya melakukan segala susatu dengan benar sehingga tidak

menyulitkan orang-orang disekitarnya. Menurut subjek, anaknya sangat

rajin ketika di suruh sholat bahkan ketika subjek sholat subuh anaknya

selalu ikut namun setelah sholat subuh sang anak selalu tidur lagi sehingga

ketika dibangunkan untuk mandi dan berangkat sekolah sangatlah susah.

Setelah bangun ketika mandi benar-benar tidak bisa diganggu bahkan

apabila disuruh untuk sedikit lebih cepat karena pasti terlambat, sang anak

akan marah-marah. Ketika marah sang anak lebih sering memukul kepala

subjek, hal tersebut membuat subjek semakin merasa sedih. Subjek sering

berpikir seandainya anaknya normal pasti tidak akan sesulit itu menghadapi

anaknya.

Hasil wawancara dengan subjek kedua yaitu ibu N (44 tahun)

diperoleh informasi bahwa anak subjek duduk di bangku kelas 4 SD, beban

berat yang subjek rasakan adalah lingkungan sekitar subjek yang tidak bisa

menerima keadaan anak subjek yang memiliki kekurangan. Subjek tinggal

Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017

6

di lingkungan keluarga suaminya yang hampir semua keluarga dari

suaminya tidak senang dengan keberadaan anak subjek yang dianggap tidak

normal.

Hal tersebut menjadi pukulan berat bagi seorang ibu karena subjek

sudah merasa lelah mengasuh anak yang berbeda dari anak normal yang

membutuhkan perhatian bahkan perlakuan yang lebih tetapi subjek masih

harus menahan semua rasa sakit hati dari perlakuan keluarga suaminya

terhadap anaknya. Pernah suatu ketika anak subjek mengalami demam dan

meminta bantuan keluarganya untuk mengantarkan subjek ke rumah sakit,

namun keluarga terdekatnya menolak apabila harus mengantarkan anak

subjek yang tidak normal. Sehingga subjek harus berjalan ditengah hujan

dengan menggendong anaknya yang sudah terkulai tak berdaya karena

demam tinggi.

Sampai saat ini hubungan subjek dengan keluarga suaminya mulai

terganggu karena perlakuan mereka terhadap anaknya. Terkadang subjek

hanya menangis sendiri melihat perlakuan keluarganya terhadap anaknya

ketika sang anak hendak bermain ke rumah saudaranya namun sang anak

tidak diijinkan memasuki rumah. Saat ini subjek bahkan tidak pernah ikut

berkumpul dengan keluarga besar suaminya karena subjek merasa takut

apabila subjek ikut berkumpul dan sang anak melakukan suatu kesalahan

maka akan membuat sang anak di marahi oleh saudara-saudara dari

suaminya.

Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017

7

Subjek sering merasa bingung terutama ketika subjek harus

melakukan kegiatan yang tidak bisa membawa serta anaknya. Subjek

bingung karena keluarga di sekitar rumahnya tidak ada yang mau untuk

dititipi anaknya, sehingga subjek harus menitipkan sang anak kepada

keluarganya bukan keluarga suaminya yang jaraknya sangat jauh dari

rumahnya. Ketika subjek sudah benar-benar merasa kesal dengan perlakuan

keluarga suaminya terkadang subjek bercerita kepada suaminya, namun

seperti biasa suaminya menasehati subjek supaya lebih bersabar

menghadapi cobaan tersebut.

Anak subjek masih susah untuk mengontrol emosinya sehingga

sangat sering marah-marah, hal tersebut membuat subjek terkadang

memarahi kembali anaknya karena subjek sudah lelah ketika seharian harus

mengurus sang anak dan juga mengurus rumah. Namun setelah merasa lebih

tenang subjek merasa menyesal telah memarahi sang anak, subjek sadar

bahwa anaknya berbeda dari anak lainnya yang dengan mudah akan

mengerti apa yang diinginkan oleh ibunya.

Wawancara dengan subjek ketiga yaitu ibu D (38 tahun) diperoleh

informasi bahwa emosi sang anak masih sering meledak-ledak seperti

mengamuk. Sang anak sering mengamuk karena biasanya menginginkan

sesuatu namun karena sulit untuk mengungkapkan keinginannya dan subjek

juga tidak bisa memahami apa yang diinginkan oleh anaknya sehingga sang

anak mengamuk bahkan sampai berguling-guling.

Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017

8

Subjek sering ikut terpancing emosi ketika sang anak susah untuk

berkomunikasi ketika di tanya keinginannya. Rasa lelah harus mengurusi

sang anak dari memandikan, memakaikan baju, menyuapi sang anak, serta

harus seharian menunggui sang anak sekolah walaupun usianya sudah

seharusnya bisa mandiri terkadang membuat subjek sering merasa bahwa

dosa apa yang telah subjek perbuat sehinggan mendapat cobaan berat seperti

ini.

Keinginan terbesar subjek adalah bisa membuat anaknya mandiri,

sehingga kelak tidak selalu merepotkan orang lain. Subjek sering merasa

sedih dan juga takut apabila memikirkan nanti di masa yang akan datang

ketika subjek sudah tiada maka siapa yang akan merawat anaknya. Subjek

menyadari bahwa anaknya sangat membutuhkan bantuan orang lain untuk

melakukan segala sesuatunya karena tidak mampu melakukannya sendiri.

Sang anak yang sangat manja serta susah untuk di atur membuat subjek

merasa terbebani.

Untuk mengulang pelajaran yang telah diberikan di sekolah, subjek

harus berusaha sekuat tenaga supaya anaknya mau untuk memperhatikan.

Sangat jarang sang anak mau untuk mengikuti perintahnya. Waktu yang

dihabiskan lebih banyak bersama anaknya yang memang membutuhkan

perhatian lebih di bandingkan dengan anak normal.

Terkadang subjek menangis ketika sang anak ingin bermain dengan

teman di lingkungan rumahnya, namun anak-anak yang normal tidak

Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017

9

menginginkan bermain dengan anak subjek. Hal-hal tersebut membuat

subjek semakin merasa tertekan, dan tidak jarang merasa putus asa.

Dari studi pendahuluan yang telah dilakukan kita dapat mengetahui

seberapa berat menjalani hidup sebagai seorang ibu yang membesarkan

anak tunagrahita. Beragam penyesuaian harus dilakukan oleh para ibu

dengan anak tunagrahita, mulai dari beratnya beban dan tanggung jawabnya

membesarkan anak tunagrahita. Perasaan menyalahkan diri sendiri, merasa

khawatir akan masa depan sang anak, masih susah mengendalikan emosi

ketika menghadapi anak, serta tidak jarang para ibu merasa sangat putus

asa. Seorang ibu yang memiliki anak tunagrahita harus mengurangi segala

aktivitasnya dengan lingkungan demi mengurus sang anak. Semua

perhatian harus tertuju kepada sang anak. Perasaan lelah mengasuh anak

terkadang terbersit pula dalam pikirannya yang hanya di simpan dalam hati.

Ibu adalah orang yang kali pertama merasakan suatu tekanan karena ia

merasa tidak berharga dan gagal melahirkan seorang anak yang ia lahirkan

dengan keadaan normal. Ibu yang paling terpukul karena secara tidak

langsung ia yang sangat dekat dengan sang janin saat mengandung sampai

pada masa melahirkan. Namun ketiga subjek menyadari bahwa mereka

harus mampu bertahan menghadapi berbagai rintangan demi memberikan

yang terbaik bagi anak-anak mereka.

Budiarti (dalam Lestari, 2015) berpendapat bahwa ibu yang

memiliki anak berkebutuhan khusus lebih rentan dan lebih mudah merasa

kecewa, sedih dan malu karena ia merasa yang bertanggung jawab atas

Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017

10

semua yang dialami oleh anaknya. Ibu juga memiliki tanggung jawab

sebagai ‘advocate’, yaitu sebagai pendukung dan pembela kepentingan

anaknya yang berkebutuhan khusus. Hadirnya tanggung jawab yang lebih

kompleks membuat orangtua anak berkebutuhan khusus mengalami

masalah yang lebih besar daripada orangtua dengan anak normal, sehingga

berpotensi menimbulkan stress pada orangtua.

Menurut Muniroh (2010) tekanan psikologis yang dihadapi oleh

orangtua ini berkaitan dengan sejauhmana orangtua memiliki daya lenting

atau resiliensi terhadap cobaan yang sedang dihadapinya. Resiliensi adalah

faktor penting dalam kehidupan kita sekarang ini. Ketika perubahan dan

tekanan hidup berlangsung begitu intens dan cepat, maka seseorang perlu

mengembangkan kemampuan dirinya sedemikian rupa untuk melewati itu

semua secara efektif. Untuk mampu menjaga kesinambungan hidup yang

optimal, maka kebutuhan akan kemampuan untuk menjadi resilien sungguh

menjadi makin tinggi.

Selanjutnya Muniroh (2010) mengemukakan bahwa seseorang yang

memiliki tingkat resiliensi yang rendah akan cenderung membutuhkan

waktu yang lebih lama untuk mampu menerima segala cobaan yang datang

dan sebaliknya jika tingkat resiliensi seseorang itu tinggi maka akan

cenderung lebih kuat dan segera bangkit dari keterpurukan serta berusaha

mencari solusi terbaik untuk memulihkan keadaannya.

Lestari (2015) mengungkapkan bahwa kondisi psikologis yang

mengalami tekanan luar biasa bagi seorang ibu dengan memiliki anak

Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017

11

berkebutuhan khusus mengharuskan seorang ibu untuk mampu menjadi

individu yang dapat menghadapi segala permasalahan. Oleh karenanya

sangat penting bagi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus untuk

memiliki resiliensi yang tinggi, demi menghadapi segala tantangan dalam

merawat dan membesarkan anak berkebutuhan khusus.

Seorang ibu yang memiliki anak dengan kekurangan seperti halnya

tunagrahita dituntut untuk mampu bertahan dalam menghadapi segala

permasalahan. Ketika ibu memiliki daya tahan yang baik dalam menghadapi

setiap masalah, maka akan membuat ibu lebih mudah untuk menjalani hidup

serta menghadapi setiap masalah secara positif dibandingkan dengan ibu

yang memiliki daya tahan rendah. Daya tahan menghadapi masalah ini

dikenal dengan istilah resiliensi.

Grotberg (dalam Wijayani, 2011) menyatakan bahwa resiliensi

adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan

diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam

hidup. Karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah

masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah

ataupun kesulitan.

Menurut Reivich dan Shatte (2002) menjelaskan resiliensi adalah

kemampuan untuk mengatsi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat

atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan yang

tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau

trauma yang dialami dalam kehidupannya.

Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017

12

Siebert (dalam Aprilia, 2013) dalam bukunya The Resiliency

Advantage memaparkan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi adalah

kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan hidup pada level yang

tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari

keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara hidup ketika cara yang

lama dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, dan menghadapi

permasalahan tanpa melakukan kekerasan.

Menurut Puspita (dalam Faradina, 2016), reaksi pertama orangtua

ketika mengetahui bahwa anaknya memiliki suatu kekurangan adalah tidak

percaya, shock, sedih, kecewa, merasa bersalah, marah dan menolak. Tidak

mudah bagi seorang ibu untuk mampu terbuka kepada orang lain tentang

kondisi si anak. Amin dan Dwidjosumarto (dalam Listiyaningsih &

Dewayani, 2010) mengemukakan bahwa orangtua yang memiliki anak

tunagrahita biasanya merasa tidak bahagia mempunyai anak yang

berkelainan, bahkan tidak sedikit orangtua merasa malu mempunyai anak

berkelainan, sehingga ada sementara orang tua yang justru

menyembunyikan anak supaya tidak menjadi perhatian orang lain.

Orangtua yang resilien dapat mengatasi perasaan sedih dan

terpuruknya tersebut dengan mencari jalan keluar atas kenyataan bahwa

mereka mempunyai anak yang mengalami kekurangan. Dalam wawancara

terhadap orang tua anak yang mengalami kekurangan, diperoleh gambaran

bahwa kepercayaan yang paling kuat dalam diri orangtua ialah, bahwa anak

adalah anugerah dan amanah dari Tuhan. Anggapan bahwa orang tua yang

Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017

13

diberikan anak dengan kebutuhan khusus adalah suatu pertanda, bahwa

orangtua tersebut dipilih Tuhan agar menjadi lebih kuat dan menjadi salah

satu penghuni surga kelak. Perasaan jujur juga harus ada, karena dengan

menyembunyikan anak berkebutuhan khusus yang dimiliki maka orang tua

akan selalu dikejar perasaan negatif dalam diri mereka. Dengan menerima

dan jujur pada diri sendiri dan masyarakat akan memberikan suatu perasaan

ikhlas dalam membesarkan anak (dalam Wijayani, 2011).

Menurut Wolins (dalam Desmita, 2011) individu yang resilien akan

mampu beradaptasi dengan baik disaat menghadapi masalah, mengatasi

berbagai hambatan, serta mengembangkan potensi yang dimilikinya secara

maksimal. Seorang individu yang resilien memiliki kemampuan untuk

insight, mandiri, menjalin hubungan baik dengan orang lain, inisiatif,

kreatifitas, humor dan moralitas.

Kemampuan resiliensi seorang individu juga dipengaruhi oleh

beberapa faktor. Menurut Everall, dkk. (dalam Puteri & Hartosujono, 2011)

memaparkan tiga faktor yang mempengaruhi resiliensi yaitu: faktor

individual yaitu faktor dari dalam individu itu sendiri misalnya kemampuan

kognitif, regulasi emosi, konsep diri dan harga diri. Sedangkan faktor

berikutnya adalah faktor keluarga yaitu dukungan yang berasal dari

keluarga terdekat. Faktor komunitas yang meliputi lingkungan masyarakat

disekitar subjek.

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka

peneliti tertarik meneliti tentang resiliensi dan faktor-faktor yang

Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017

14

mempengaruhi pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB C YAKUT

Purwokerto.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat

diambil perumusan masalah sebagai berikut “Bagaimana resiliensi dan

faktor-faktor yang mempengaruhi pada ibu yang memiliki anak tunagrahita

di SLB C YAKUT Purwokerto?”

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengkaji tentang resiliensi dan faktor-faktor yang

mempengaruhi pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB C YAKUT

Purwokerto.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan

mengembangkan ilmu psikologi, khususnya dalam bidang Psikologi

Klinis dan juga menambah wawasan baru bagi peneliti lainnya tentang

resiliensi pada ibu yang memiliki anak tunagrahita.

Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017

15

2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan

yang bermanfaat bagi ibu yang memiliki anak tunagrahita mengenai

dinamika psikologis yang dihadapi. Ibu diharap mendapat masukan

supaya bisa lebih menjadi individu yang resilien serta adanya pelatihan

resiliensi untuk ibu-ibu yang memiliki anak tunagrahita.

Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017