bab i pendahuluan a. latar belakang masalahrepository.ump.ac.id/4674/2/bab i.pdf · dengan anaknya...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ibu merupakan seorang figur yang terdekat dengan seorang anak.
Peran seorang ibu dalam perkembangan sang anak sangatlah penting,
dimana seorang ibu adalah pengasuh utama bagi anak. Kebersamaan ibu
dengan seorang anaknya lebih sering apabila dibandingkan dengan ayah.
Ibu orang pertama yang berhubungan, dan juga melakukan kontak fisik dan
emosional dengan anak. Kedudukan seorang ibu sebagai tokoh sentral
sangat penting untuk melaksanakan kehidupan. Kepedulian ibu terhadap
anaknya dianggap sebagai reaksi naluriah. Ibu dapat mengembangkan
hubungan emosional yang kuat dengan anaknya. Sehingga seorang ibu
memiliki harapan-harapan yang besar terhadap anaknya (dalam Kartono,
1992).
Setiap ibu pasti menginginkan seorang anak yang sehat dan juga
sempurna baik secara fisik maupun psikologis. Namun pada kenyataannya,
tidak semua anak terlahir ke dunia dengan keadaan sesuai dengan yang
diinginkan oleh orangtuanya (dalam Kartono, 1992). Ketika seorang ibu
mengetahui bahwa anaknya memiliki sebuah hambatan dalam
perkembangannya dan berbeda dari anak lainnya. Bukanlah suatu hal yang
mudah bagi seorang ibu untuk dapat menerima kenyataan bahwa buah hati
yang di lahirkan mengalami kekurangan, maka sang ibu akan merasa lebih
1
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
2
sensitif dan rapuh atas apa yang terjadi pada anaknya. Perasaan kecewa,
marah, merasa bersalah semuanya menjadi salah satu dari begitu banyak
dampak negatif yang dapat ibu rasakan. Menyadari adanya dampak-dampak
negatif baik secara psikis maupun fisik pada diri ibu atas semua keadaan ini
merupakan langkah yang penting bagi seorang ibu, agar dampak dan beban
yang dihadapi tidak semakin berat. Karena kondisi psikis ibu yang buruk
juga akan memberikan pengaruh buruk terhadap diri anak. Dampak negatif
yang dirasakan oleh seorang ibu membuat tidak sedikit dari mereka yang
menutupi kondisi anaknya dari orang lain. Fokus dari penelitian ini adalah
ibu yang memiliki anak tunagrahita.
Orangtua atau ibu yang memiliki anak tunagrahita memiliki beban
berat dalam mengurus anak, karena anak tunagrahita memiliki kelemahan-
kelemahan tersendiri dan harus mendapat perhatian lebih yang berbeda
dengan anak normal lainnya. Selain itu, beban lain yang dirasakan ibu yang
memiliki anak tunagrahita biasanya berasal dari lingkungan sosial. “Orang
awam” yang tidak memiliki pengetahuan mengenai anak tunagrahita akan
memandang anak tunagrahita sebagai anak yang tidak normal dan acap kali
disepelekan. Penilaian-penilaian dari lingkungan ini akan mempengaruhi
kejiwaan orangtua terutama ibu dari anak tersebut (dalam Listiyaningsih &
Dewayani, 2010).
American Phychological Association (APA) yang dipublikasikan
melalui Manual of Diagnosis and Professional Practice in Mental
Retardation th. 1996, mengemukakan tentang batasan tunagrahita. Batasan
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
3
dari APA ini dapat dimaknai, bahwa anak tunagrahita adalah anak yang
secara signifikan memiliki keterbatasan fungsi intelektual, keterbatasan
fungsi adaptif. Keadaan ini terjadi sebelum usia 22 tahun (dalam Wati,
2012).
Tahun ajaran 2015/2016 SLB C Yakut Purwokerto memiliki siswa
tunagrahita berjumlah 170 siswa. Terdiri dari 110 siswa SD, yaitu 69 laki-
laki dan 41 perempuan. Kemudian ada 40 siswa SMP yang terdiri dari 24
laki-laki dan 16 perempuan. Untuk siswa SMA terdiri dari 20 siswa, yaitu
10 laki-laki dan 10 perempuang (SLB C Yakut Purwokerto, 2016).
Tabel 1.1 Klasifikasi Anak Tunagrahita Berdasar Derajat
Keterbelakangannya (dalam Somantri, 2007)
Level
Keterbelakangan
IQ
Stanford Binet Skala Weschler
Ringan 68-52 69-55
Sedang 51-36 54-40
Berat 32-20 39-25
Sangat Berat >19 >24
Williams & Wright menyatakan bahwa banyak orangtua yang
memiliki pikiran negatif saat mengetahui anaknya memiliki
kekurangan/ketunaan, seperti rasa bersalah dan ketakutan akan masa depan
(dalam Na’imah & Septiningsih, 2015). Besarnya tekanan yang hadapi oleh
seorang ibu bukanlah tanpa alasan. Seorang ibu merupakan sosok atau figur
yang paling dekat dengan anak, sehingga sangat besar tanggung jawab
menjadi seorang ibu yang memiliki anak tunagrahita.
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
4
Hal tersebut diatas sesuai dengan hasil studi pendahuluan yang telah
dilakukan dilapangan. Studi pendahuluan dilakukan dengan wawancara
dengan tiga orang subjek yaitu ibu yang memiliki anak tunagrahita. Subjek
pertama yaitu ibu A (56 tahun), dari hasil wawancara di dapatkan informasi
bahwa tidak jarang subjek merasa sedih bahkan menangis ketika melihat
anaknya yang sudah berumur 14 tahun masih saja bertingkah laku seperti
anak kecil.
Anak subjek merupakan anak yang sudah bisa belajar mandiri
seperti mandi, makan, ganti baju mampu dilakukannya sendiri namun
semua itu dilakukan dengan sangat lamban sehingga terkadang subjek
bahkan tidak mampu untuk mengontrol emosinya yang membuat subjek
memukul anaknya. hal tersebut tidak terjadi hanya semata-mata karena
subjek marah terhadap anaknya karena lamban dalam berbagai hal, subjek
merasa sudah lelah untuk mengajarkan segala sesuatu kepada anaknya dan
anaknya tidak menunjukkan kemajuan.
Subjek memiliki dua anak yang mengalami tunagrahita hanya saja
anaknya yang lebih besar dan sekarang sudah dewasa sangat berbeda
dengan anaknya yang sekarang masih sekolah di kelas 4 SD. Subjek merasa
putus asa ketika subjek harus merayu anaknya untuk masuk kelas setelah
selesai istirahat, apabila subjek memarahi sang anak maka anaknya akan
semakin susah untuk masuk kelas namun apabila tidak dimarahi maka
sampai pelajaran selesai belum tentu sang anak mau untuk masuk kelas.
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
5
Terkadang subjek lebih memilih membawa sang anak pulang
daripada harus berdebat dengan anaknya ketika tidak mau masuk ke
kelasnya. Subjek merasa putus asa dengan perilaku sang anak yang sangat
susah untuk di ajarkan disiplin, namun semua kegiatan ingin dilakukan
sendiri oleh sang anak. Subjek pasrah dan putus asa dengan keadaan sang
anak dan subjek merasa mungkin sudah cukup menyekolahkan anaknya
sampai nanti lulus SD.
Semua rasa putus asa tersebut dikarenakan subjek menyerah untuk
mengajarkan anaknya melakukan segala susatu dengan benar sehingga tidak
menyulitkan orang-orang disekitarnya. Menurut subjek, anaknya sangat
rajin ketika di suruh sholat bahkan ketika subjek sholat subuh anaknya
selalu ikut namun setelah sholat subuh sang anak selalu tidur lagi sehingga
ketika dibangunkan untuk mandi dan berangkat sekolah sangatlah susah.
Setelah bangun ketika mandi benar-benar tidak bisa diganggu bahkan
apabila disuruh untuk sedikit lebih cepat karena pasti terlambat, sang anak
akan marah-marah. Ketika marah sang anak lebih sering memukul kepala
subjek, hal tersebut membuat subjek semakin merasa sedih. Subjek sering
berpikir seandainya anaknya normal pasti tidak akan sesulit itu menghadapi
anaknya.
Hasil wawancara dengan subjek kedua yaitu ibu N (44 tahun)
diperoleh informasi bahwa anak subjek duduk di bangku kelas 4 SD, beban
berat yang subjek rasakan adalah lingkungan sekitar subjek yang tidak bisa
menerima keadaan anak subjek yang memiliki kekurangan. Subjek tinggal
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
6
di lingkungan keluarga suaminya yang hampir semua keluarga dari
suaminya tidak senang dengan keberadaan anak subjek yang dianggap tidak
normal.
Hal tersebut menjadi pukulan berat bagi seorang ibu karena subjek
sudah merasa lelah mengasuh anak yang berbeda dari anak normal yang
membutuhkan perhatian bahkan perlakuan yang lebih tetapi subjek masih
harus menahan semua rasa sakit hati dari perlakuan keluarga suaminya
terhadap anaknya. Pernah suatu ketika anak subjek mengalami demam dan
meminta bantuan keluarganya untuk mengantarkan subjek ke rumah sakit,
namun keluarga terdekatnya menolak apabila harus mengantarkan anak
subjek yang tidak normal. Sehingga subjek harus berjalan ditengah hujan
dengan menggendong anaknya yang sudah terkulai tak berdaya karena
demam tinggi.
Sampai saat ini hubungan subjek dengan keluarga suaminya mulai
terganggu karena perlakuan mereka terhadap anaknya. Terkadang subjek
hanya menangis sendiri melihat perlakuan keluarganya terhadap anaknya
ketika sang anak hendak bermain ke rumah saudaranya namun sang anak
tidak diijinkan memasuki rumah. Saat ini subjek bahkan tidak pernah ikut
berkumpul dengan keluarga besar suaminya karena subjek merasa takut
apabila subjek ikut berkumpul dan sang anak melakukan suatu kesalahan
maka akan membuat sang anak di marahi oleh saudara-saudara dari
suaminya.
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
7
Subjek sering merasa bingung terutama ketika subjek harus
melakukan kegiatan yang tidak bisa membawa serta anaknya. Subjek
bingung karena keluarga di sekitar rumahnya tidak ada yang mau untuk
dititipi anaknya, sehingga subjek harus menitipkan sang anak kepada
keluarganya bukan keluarga suaminya yang jaraknya sangat jauh dari
rumahnya. Ketika subjek sudah benar-benar merasa kesal dengan perlakuan
keluarga suaminya terkadang subjek bercerita kepada suaminya, namun
seperti biasa suaminya menasehati subjek supaya lebih bersabar
menghadapi cobaan tersebut.
Anak subjek masih susah untuk mengontrol emosinya sehingga
sangat sering marah-marah, hal tersebut membuat subjek terkadang
memarahi kembali anaknya karena subjek sudah lelah ketika seharian harus
mengurus sang anak dan juga mengurus rumah. Namun setelah merasa lebih
tenang subjek merasa menyesal telah memarahi sang anak, subjek sadar
bahwa anaknya berbeda dari anak lainnya yang dengan mudah akan
mengerti apa yang diinginkan oleh ibunya.
Wawancara dengan subjek ketiga yaitu ibu D (38 tahun) diperoleh
informasi bahwa emosi sang anak masih sering meledak-ledak seperti
mengamuk. Sang anak sering mengamuk karena biasanya menginginkan
sesuatu namun karena sulit untuk mengungkapkan keinginannya dan subjek
juga tidak bisa memahami apa yang diinginkan oleh anaknya sehingga sang
anak mengamuk bahkan sampai berguling-guling.
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
8
Subjek sering ikut terpancing emosi ketika sang anak susah untuk
berkomunikasi ketika di tanya keinginannya. Rasa lelah harus mengurusi
sang anak dari memandikan, memakaikan baju, menyuapi sang anak, serta
harus seharian menunggui sang anak sekolah walaupun usianya sudah
seharusnya bisa mandiri terkadang membuat subjek sering merasa bahwa
dosa apa yang telah subjek perbuat sehinggan mendapat cobaan berat seperti
ini.
Keinginan terbesar subjek adalah bisa membuat anaknya mandiri,
sehingga kelak tidak selalu merepotkan orang lain. Subjek sering merasa
sedih dan juga takut apabila memikirkan nanti di masa yang akan datang
ketika subjek sudah tiada maka siapa yang akan merawat anaknya. Subjek
menyadari bahwa anaknya sangat membutuhkan bantuan orang lain untuk
melakukan segala sesuatunya karena tidak mampu melakukannya sendiri.
Sang anak yang sangat manja serta susah untuk di atur membuat subjek
merasa terbebani.
Untuk mengulang pelajaran yang telah diberikan di sekolah, subjek
harus berusaha sekuat tenaga supaya anaknya mau untuk memperhatikan.
Sangat jarang sang anak mau untuk mengikuti perintahnya. Waktu yang
dihabiskan lebih banyak bersama anaknya yang memang membutuhkan
perhatian lebih di bandingkan dengan anak normal.
Terkadang subjek menangis ketika sang anak ingin bermain dengan
teman di lingkungan rumahnya, namun anak-anak yang normal tidak
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
9
menginginkan bermain dengan anak subjek. Hal-hal tersebut membuat
subjek semakin merasa tertekan, dan tidak jarang merasa putus asa.
Dari studi pendahuluan yang telah dilakukan kita dapat mengetahui
seberapa berat menjalani hidup sebagai seorang ibu yang membesarkan
anak tunagrahita. Beragam penyesuaian harus dilakukan oleh para ibu
dengan anak tunagrahita, mulai dari beratnya beban dan tanggung jawabnya
membesarkan anak tunagrahita. Perasaan menyalahkan diri sendiri, merasa
khawatir akan masa depan sang anak, masih susah mengendalikan emosi
ketika menghadapi anak, serta tidak jarang para ibu merasa sangat putus
asa. Seorang ibu yang memiliki anak tunagrahita harus mengurangi segala
aktivitasnya dengan lingkungan demi mengurus sang anak. Semua
perhatian harus tertuju kepada sang anak. Perasaan lelah mengasuh anak
terkadang terbersit pula dalam pikirannya yang hanya di simpan dalam hati.
Ibu adalah orang yang kali pertama merasakan suatu tekanan karena ia
merasa tidak berharga dan gagal melahirkan seorang anak yang ia lahirkan
dengan keadaan normal. Ibu yang paling terpukul karena secara tidak
langsung ia yang sangat dekat dengan sang janin saat mengandung sampai
pada masa melahirkan. Namun ketiga subjek menyadari bahwa mereka
harus mampu bertahan menghadapi berbagai rintangan demi memberikan
yang terbaik bagi anak-anak mereka.
Budiarti (dalam Lestari, 2015) berpendapat bahwa ibu yang
memiliki anak berkebutuhan khusus lebih rentan dan lebih mudah merasa
kecewa, sedih dan malu karena ia merasa yang bertanggung jawab atas
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
10
semua yang dialami oleh anaknya. Ibu juga memiliki tanggung jawab
sebagai ‘advocate’, yaitu sebagai pendukung dan pembela kepentingan
anaknya yang berkebutuhan khusus. Hadirnya tanggung jawab yang lebih
kompleks membuat orangtua anak berkebutuhan khusus mengalami
masalah yang lebih besar daripada orangtua dengan anak normal, sehingga
berpotensi menimbulkan stress pada orangtua.
Menurut Muniroh (2010) tekanan psikologis yang dihadapi oleh
orangtua ini berkaitan dengan sejauhmana orangtua memiliki daya lenting
atau resiliensi terhadap cobaan yang sedang dihadapinya. Resiliensi adalah
faktor penting dalam kehidupan kita sekarang ini. Ketika perubahan dan
tekanan hidup berlangsung begitu intens dan cepat, maka seseorang perlu
mengembangkan kemampuan dirinya sedemikian rupa untuk melewati itu
semua secara efektif. Untuk mampu menjaga kesinambungan hidup yang
optimal, maka kebutuhan akan kemampuan untuk menjadi resilien sungguh
menjadi makin tinggi.
Selanjutnya Muniroh (2010) mengemukakan bahwa seseorang yang
memiliki tingkat resiliensi yang rendah akan cenderung membutuhkan
waktu yang lebih lama untuk mampu menerima segala cobaan yang datang
dan sebaliknya jika tingkat resiliensi seseorang itu tinggi maka akan
cenderung lebih kuat dan segera bangkit dari keterpurukan serta berusaha
mencari solusi terbaik untuk memulihkan keadaannya.
Lestari (2015) mengungkapkan bahwa kondisi psikologis yang
mengalami tekanan luar biasa bagi seorang ibu dengan memiliki anak
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
11
berkebutuhan khusus mengharuskan seorang ibu untuk mampu menjadi
individu yang dapat menghadapi segala permasalahan. Oleh karenanya
sangat penting bagi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus untuk
memiliki resiliensi yang tinggi, demi menghadapi segala tantangan dalam
merawat dan membesarkan anak berkebutuhan khusus.
Seorang ibu yang memiliki anak dengan kekurangan seperti halnya
tunagrahita dituntut untuk mampu bertahan dalam menghadapi segala
permasalahan. Ketika ibu memiliki daya tahan yang baik dalam menghadapi
setiap masalah, maka akan membuat ibu lebih mudah untuk menjalani hidup
serta menghadapi setiap masalah secara positif dibandingkan dengan ibu
yang memiliki daya tahan rendah. Daya tahan menghadapi masalah ini
dikenal dengan istilah resiliensi.
Grotberg (dalam Wijayani, 2011) menyatakan bahwa resiliensi
adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan
diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam
hidup. Karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah
masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah
ataupun kesulitan.
Menurut Reivich dan Shatte (2002) menjelaskan resiliensi adalah
kemampuan untuk mengatsi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat
atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan yang
tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau
trauma yang dialami dalam kehidupannya.
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
12
Siebert (dalam Aprilia, 2013) dalam bukunya The Resiliency
Advantage memaparkan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi adalah
kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan hidup pada level yang
tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari
keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara hidup ketika cara yang
lama dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, dan menghadapi
permasalahan tanpa melakukan kekerasan.
Menurut Puspita (dalam Faradina, 2016), reaksi pertama orangtua
ketika mengetahui bahwa anaknya memiliki suatu kekurangan adalah tidak
percaya, shock, sedih, kecewa, merasa bersalah, marah dan menolak. Tidak
mudah bagi seorang ibu untuk mampu terbuka kepada orang lain tentang
kondisi si anak. Amin dan Dwidjosumarto (dalam Listiyaningsih &
Dewayani, 2010) mengemukakan bahwa orangtua yang memiliki anak
tunagrahita biasanya merasa tidak bahagia mempunyai anak yang
berkelainan, bahkan tidak sedikit orangtua merasa malu mempunyai anak
berkelainan, sehingga ada sementara orang tua yang justru
menyembunyikan anak supaya tidak menjadi perhatian orang lain.
Orangtua yang resilien dapat mengatasi perasaan sedih dan
terpuruknya tersebut dengan mencari jalan keluar atas kenyataan bahwa
mereka mempunyai anak yang mengalami kekurangan. Dalam wawancara
terhadap orang tua anak yang mengalami kekurangan, diperoleh gambaran
bahwa kepercayaan yang paling kuat dalam diri orangtua ialah, bahwa anak
adalah anugerah dan amanah dari Tuhan. Anggapan bahwa orang tua yang
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
13
diberikan anak dengan kebutuhan khusus adalah suatu pertanda, bahwa
orangtua tersebut dipilih Tuhan agar menjadi lebih kuat dan menjadi salah
satu penghuni surga kelak. Perasaan jujur juga harus ada, karena dengan
menyembunyikan anak berkebutuhan khusus yang dimiliki maka orang tua
akan selalu dikejar perasaan negatif dalam diri mereka. Dengan menerima
dan jujur pada diri sendiri dan masyarakat akan memberikan suatu perasaan
ikhlas dalam membesarkan anak (dalam Wijayani, 2011).
Menurut Wolins (dalam Desmita, 2011) individu yang resilien akan
mampu beradaptasi dengan baik disaat menghadapi masalah, mengatasi
berbagai hambatan, serta mengembangkan potensi yang dimilikinya secara
maksimal. Seorang individu yang resilien memiliki kemampuan untuk
insight, mandiri, menjalin hubungan baik dengan orang lain, inisiatif,
kreatifitas, humor dan moralitas.
Kemampuan resiliensi seorang individu juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Menurut Everall, dkk. (dalam Puteri & Hartosujono, 2011)
memaparkan tiga faktor yang mempengaruhi resiliensi yaitu: faktor
individual yaitu faktor dari dalam individu itu sendiri misalnya kemampuan
kognitif, regulasi emosi, konsep diri dan harga diri. Sedangkan faktor
berikutnya adalah faktor keluarga yaitu dukungan yang berasal dari
keluarga terdekat. Faktor komunitas yang meliputi lingkungan masyarakat
disekitar subjek.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka
peneliti tertarik meneliti tentang resiliensi dan faktor-faktor yang
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
14
mempengaruhi pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB C YAKUT
Purwokerto.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat
diambil perumusan masalah sebagai berikut “Bagaimana resiliensi dan
faktor-faktor yang mempengaruhi pada ibu yang memiliki anak tunagrahita
di SLB C YAKUT Purwokerto?”
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengkaji tentang resiliensi dan faktor-faktor yang
mempengaruhi pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB C YAKUT
Purwokerto.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan
mengembangkan ilmu psikologi, khususnya dalam bidang Psikologi
Klinis dan juga menambah wawasan baru bagi peneliti lainnya tentang
resiliensi pada ibu yang memiliki anak tunagrahita.
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
15
2. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan
yang bermanfaat bagi ibu yang memiliki anak tunagrahita mengenai
dinamika psikologis yang dihadapi. Ibu diharap mendapat masukan
supaya bisa lebih menjadi individu yang resilien serta adanya pelatihan
resiliensi untuk ibu-ibu yang memiliki anak tunagrahita.
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017