bab i pendahuluan a. latar belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/skripsi bab...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sejak awal lahirnya adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak
dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Setiap manusia mempunyai kebutuhan
dan kepentingan yang harus dipenuhi. Kebutuhan dan kepentingan tersebut dapat
diklasifikasikan dalam:
a) Kebutuhan fisiologis, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan,
seks;
b) Kebutuhan keamanan, ketertiban dan ketentraman dari gangguan,
ancaman atau serangan pihak lain;
c) Kebutuhan akan kerja sama yang saling menguntungkan atau kerja sama
untuk tujuan-tujuan kolektif;
d) Kebutuhan akan kehormatan dirinya, akan penghargaan sebagai manusia
yang bermartabat dan berkebudayaan;
e) Kebutuhan akan eksistensi dirinya dengan jiwanya yang merdeka, yang
memiliki daya logika, etika dan estetika atau nalar kreatifitas guna
membudayakan dirinya.1
Manusia saling berinteraksi satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya dan dari interaksi tersebut timbul hubungan antara manusia yang satu
dengan yang lain. Pemenuhan kebutuhan menjadi hak setiap manusia, namun di
dalam pelaksanaannya, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut manusia
berhadapan dengan kewajiban menghormati hak-hak yang dimiliki oleh orang lain.
Contohnya, untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, khususnya makanan, manusia bisa
mendapatkannya dengan cara membeli dari orang lain. Pada sebuah hubungan jual
beli, kedua pihak dihadapkan dengan hak dan kewajiban sekaligus, yaitu hak si
1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, halaman 46.
2
pembeli mendapatkan makanan dan kewajibannya untuk membayar sejumlah
makanan tersebut, begitu juga si penjual berhak menerima pembayaran sejumlah
makanan yang dibeli oleh pembeli dan berkewajiban menyerahkan makanan yang
telah dibayar kepada pembeli.
Berdasarkan contoh di atas cukup menggambarkan, bahwa untuk memenuhi
kebutuhannya, manusia berhadapan dengan kewajiban untuk menghormati hak orang
lain, akan tetapi dalam pelaksanaannya banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran
tehadap hak yang dimiliki manusia yang dilakukan oleh manusia lainnya, oleh karena
itu perlu adanya suatu aturan yang mengatur pelaksanaan hak setiap individu manusia
agar tidak merugikan individu yang lain. Aturan tersebut salah satunya diwujudkan
dalam peraturan-peraturan hukum. Keberadaan hukum di dalam masyarakat adalah
sebagai peraturan yang bersifat umum, di mana seseorang atau kelompok secara
keseluruhan ditentukan batas-batas hak dan kewajibannya.2
Negara mempunyai kewajiban melindungi hak-hak warga negaranya dan
salah satu perwujudannya adalah melalui lembaga peradilan yang mempunyai tugas
menyelenggarakan peradilan demi tegaknya hukum dan demi melindungi
kepentingan-kepentingan umum. Seseorang yang merasa haknya dilanggar oleh orang
lain dan mengakibatkan kerugian pada dirinya dapat mengajukan tuntutan haknya ke
Pengadilan, selama Pengadilan tersebut mempunyai kewenangan untuk mengadili
atau berkompeten sebagaimana diatur dalam Pasal 118 Herziene Inlandsch Reglement
(HIR) yang merumuskan:
2 Ibid, halaman 45.
3
ayat (1)
“Gugatan perdata yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan
negeri harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh
penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123 kepada ketua pengadilan
negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak
diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya;”
ayat (2)
“Jika tergugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di dalam itu,
dimajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat salah seorang dari
tergugat itu, yang dipilih oleh penggugat. Jika tergugat satu sama lain dalam
perhubungan sebagai perutang utama dan penanggung, maka penggugat itu
dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat orang yang berutang
utama dari salah seorang daripada orang berutang utama itu, kecuali
ditentukan pada ayat (2) dari Pasal 6 reglemen tentang aturan hakim dan
mahkamah serta kebijaksanaan hakim (R.O);”
ayat (3)
“Bilamana tempat diam dari tergugat tidak dikenal, lagipula tempat tinggal
sebetulnya tidak dketahui, atau jika tergugat tidak dikenal, maka surat gugatan
itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat
atau salah seorang dari penggugat, atau jika surat gugat itu tentang barang
gelap, maka surat gugat itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di
daerah hukum siapa terletak barang itu;”
ayat (4)
“Jika dengan surat sah dipilih dan ditentukan suatu tempat berkedudukan,
maka penggugat, jika ia suka, dapat memasukkan surat gugatan itu kepada
ketua pengadilan negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat
berkedudukan yang dipilih itu.”
Pengadilan berkewajiban untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara
yang diajukan kepadanya sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-
undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang merumuskan:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Pengajuan tuntutan hak tersebut dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata
dan di dalam masalah gugatan ini, perlu terlebih dahulu mengetahui perbedaan antara
4
gugatan dengan permohonan. Perbedaan diantara keduanya yaitu bahwa dalam
perkara gugatan ada suatu sengketa yang harus diselesaikan dan diputuskan oleh
Pengadilan dan disini hakim berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutus
siapa diantara pihak-pihak yang benar dan siapa yang tidak benar. Berbeda halnya
dengan perkara yang disebut permohonan, di sini tidak ada sengketa, hakim hanya
sekadar memberi jasa-jasa sebagai seorang Tenaga Tata Usaha Negara. Hakim
tersebut mengeluarkan penetapan yang lazim disebut putusan declaratoir, suatu
putusan yang bersifat menetapkan atau menerangkan saja. Hakim tidak memutuskan
suatu konflik seperti halnya dalam suatu gugatan.3
Majelis Hakim pemeriksa perkara berkewajiban menawarkan perdamaian
kepada para pihak dalam proses pemeriksaan gugatan di Pengadilan berdasarkan
Pasal 130 ayat (1) HIR, yang merumuskan:
“Jika pada hari yang telah ditentukan kedua belah pihak datang menghadap,
maka pengadilan negeri dengan perantaraan ketuanya berusaha mencapai
perdamaian antara kedua belah pihak”
Majelis Hakim mulai dengan membacakan surat-surat yang dikemukakan
oleh para pihak apabila upaya perdamaian yang dilakukan mengalami kegagalan dan
yang dimaksudkan dengan surat-surat ini ialah permohonan gugat dan “kalau ada”
surat jawaban dari Tergugat.4 Seorang Tergugat mempunyai hak untuk menggugat
kembali si Penggugat dan ini diatur dalam Pasal 132 a dan b HIR, yang merumuskan:
3 M. Nur, Rasaid, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, halaman 19.
4 Ibid, halaman 28.
5
Pasal 132 a HIR:
ayat (1)
“Tergugat berhak dalam tiap-tiap perkara memasukkan gugatan melawan
kecuali:
1. Kalau penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang
gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya;
2. Kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak
berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok
perselisihan;
3. Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan.”
ayat (2)
“Jikalau dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimajukan gugatan
melawan, maka dalam bandingan tidak dapat mengajukan gugatan itu.”
Pasal 132 b HIR, merumuskan:
ayat (1)
“Tergugat wajib memasukkan gugatan melawan bersama-sama dengan
jawabannya, baik dengan surat maupun dengan lisan;
ayat (2)
“Buat gugatan melawan itu berlaku peraturan dari bagian ini;”
ayat (3)
“Kedua perkara itu diselesaikan sekaligus dan diputuskan dalam satu
keputusan, kecuali kalau sekiranya pengadilan negeri berpendapat, bahwa
perkara yang pertama dapat lebih dahulu diselesaikan daripada yang kedua,
dalam hal mana demikian dapat dilakukan, tetapi gugatan mula-mula dan
gugatan melawan yang belum diputuskan itu masih tetap diperiksa oleh hakim
itu juga, sampai dijatuhkan keputusan terakhir;”
ayat (4)
“Bandingan diperbolehkan, jika banyaknya wang dalam gugatan tingkat
pertama ditambah dengan wang dalam gugatan melawan lebih daripada
jumlah wang yang sebanyak-banyaknya yang dapat diputuskan oleh
pengadilan negeri sebagai hakim yang tertinggi;”
ayat (5)
“Bila kedua perkara itu dibagi-bagi dan keputusan dijatuhkan berasing-asing,
maka haruslah dituruti aturan biasa tentang hak bandingan.”
R. Soesilo memberikan penjelasan terhadap Pasal 132 a HIR, bahwa oleh
karena bagi Tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan melawan, artinya
untuk menggugat kembali Penggugat, maka Tergugat itu tidak perlu mengajukan
6
tuntutan baru, akan tetapi cukup dengan memajukan gugatan pembalasan itu
bersama-sama dengan jawabannya terhadap gugatan lawannya. Gugatan melawan ini
dapat diajukan baik secara tertulis, maupun secara lisan (lihat Pasal 132 b). Dengan
diberikannya kesempatan untuk gugat-menggugat ini maka jalannya berperkara
menjadi lebih lancar, oleh karena dua persoalan dapat diperiksa sekaligus.5 Sub 1, 2
dan 3 dari Pasal 132 a ayat (1) HIR memuat pengecualian mengenai pengajuan
gugatan rekonvensi (gugat balik). Pada Pasal 132 a ayat (2) HIR sudah secara
gamblang menjelaskan bahwa apabila gugatan rekonvensi tidak diajukan pada
pemeriksaan tingkat pertama, maka pada tingkat banding tidak dapat diajukan lagi.
R. Soesilo memberikan penjelasan terhadap Pasal 132 b HIR, bahwa menurut
ayat (1) dan (3) pasal ini gugatan perlawanan diajukan bersama-sama jawaban
Tergugat atas gugatannya, baik secara tertulis maupun secara lisan. Gugatan pertama
dan gugatan perlawanan itu harus diperiksa dan diputus sekaligus dalam satu surat
putusan, namun apabila Pengadilan Negeri berpendapat lain, bisa juga perkara itu
diperiksa dan diputus secara terpisah, akan tetapi yang tidak boleh diabaikan ialah
bahwa kedua gugatan itu harus senantiasa diselesaikan pemeriksaannya oleh hakim
itu juga sampai dijatuhkan putusan yang terakhir.6
Gugatan rekonvensi pada hakekatnya merupakan gugat balik terhadap lawan
berperkara, maksudnya adalah gugatan yang diajukan oleh Tergugat dalam gugatan
awal (konvensi) kepada Penggugat dalam gugatan awal, di mana pengajuannya
5 R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, Politeia, Bogor, 1995, halaman 92.
6 Ibid, halaman 93.
7
dilakukan bersama-sama dengan jawaban Tergugat dalam gugatan awal dan diperiksa
dalam satu persidangan dengan gugatan awal, dengan nomor perkara yang sama, serta
harus diputus dalam satu putusan. Hal ini bertujuan untuk menghemat biaya, waktu,
tenaga, mempermudah prosedur pemeriksaan dan menghindari putusan yang
bertentangan satu sama lain, sedangkan bagi Tergugat Rekonvensi, gugatan
rekonvensi ini berarti menghemat ongkos perkara karena ia tidak diwajibkan
membayar biaya perkara dalam gugatan rekonvensi. Hal itu dikarenakan pengajuan
gugatan rekonvensi merupakan suatu hak istimewa yang diberikan oleh hukum acara
perdata kepada Tergugat untuk mengajukan suatu kehendak untuk menggugat dari
pihak Tergugat kepada pihak Penggugat secara bersama-sama dengan gugat asal
(konvensi), tetapi keduanya haruslah mempunyai dasar hubungan hukum yang sama.
Atas dasar itulah Tergugat dalam hal ini diperbolehkan memajukan gugatan
rekonvensi, tetapi jika soal jawab jinawab sudah selesai dan hakim sudah mulai
dengan melakukan pemeriksaan perkara, maka tergugat tidak diperbolehkan lagi
memajukan gugatan rekonvensi.7 Salah satu contoh mengenai gugat rekonvensi
terdapat di dalam Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg. Putusan tersebut memutus
sengketa antara Alwi Kiswanto yang bertempat tinggal di Jalan Jenderal Ahmad Yani
No.36 RT. 001/RW. 004, Kelurahan Kandang Gampang Kecamatan Purbalingga,
Kabupaten Purbalingga sebagai PENGGUGAT melawan:
7 Wirjono, Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, halaman 80.
8
1. ST. Yudianto yang bertempat tinggal di RT. 01/RW. 01 Kelurahan
Purbalingga Lor, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga
sebagai TERGUGAT I;
2. Direksi CV. Cipta Usaha yang bertempat tinggal di Desa Babakan RT.
09/RW. 02, Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga sebagai
TERGUGAT II.
Kasus posisi dalam perkara ini dimulai ketika Penggugat mengajukan gugatan
terhadap Tergugat I dan Tergugat II ke Pengadilan Negeri Purbalingga. Gugatan
tersebut didasarkan pada perbuatan cidera janji yang dilakukan oleh para Tergugat.
Penggugat mendalilkan bahwa cidera janji tersebut terjadi karena Tergugat II
membeli aspal kepada Penggugat melalui Tergugat I sebanyak 382 (tiga ratus delapan
puluh dua) drum, namun yang diakui dan dibayar Tergugat II hanya sejumlah 319
(tiga ratus sembilan belas drum), oleh karena itu ada selisih sebanyak 63 (enam puluh
tiga) drum yang belum dibayar oleh Tergugat II. Tergugat I dalam jawaban
gugatannya membenarkan seluruh dalil Penggugat, namun Tergugat II membantah
sekaligus mengajukan gugatan rekonvensi dalam jawaban gugatannya. Gugatan
rekonvensi tersebut didasarkan pada perbuatan Penggugat Konvensi yang melaporkan
Tergugat II Konvensi ke Polsek Purbalingga terkait permasalahan jual beli aspal
tersebut, namun prosesnya tidak dilanjutkan karena Penggugat Konvensi tidak dapat
membuktikan kesalahan Tergugat II Konvensi. Tergugat II Konvensi merasa
dirugikan secara materiil dan imateriil atas laporan Penggugat Konvensi tersebut.
Tergugat II Konvensi mendalilkan telah mengalami kerugian materiil sejumlah Rp
9
100. 000. 000, - (seratus juta rupiah) dan kerugian imateriil sejumlah Rp. 1. 000. 000.
000, - (satu milyar rupiah). Penggugat Rekonvensi dalam gugatannya mendudukkan
Penggugat Konvensi sebagai Tergugat Rekonvensi dan Tergugat I Konvensi sebagai
Turut Tergugat Rekonvensi.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purbalingga yang memeriksa dan memutus
perkara tersebut memutuskan untuk menolak seluruh gugatan Penggugat Konvensi,
dengan pertimbangan bahwa penggugat tidak dapat membuktikan adanya hubungan
hukum antara Penggugat dan Tergugat II dan alat-alat buktipun memperkuat dalil-
dalil Tergugat II konvensi. Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim juga menyatakan
tidak menerima gugatan rekonvensi dari Tergugat II (Niet Onvankelijke Verklaard)
dengan pertimbangan hukum bahwa dijadikannya Turut Tergugat Rekonvensi
sebagai pihak dalam gugatan rekonvensi padahal antara Penggugat Rekonvensi dan
Turut Tergugat Rekonvensi dalam gugatan awal (konvensi) berkedudukan sebagai
Tergugat menyalahi prosedur beracara yang telah baku dan lazim di persidangan,
karena esensinya gugatan rekonvensi adalah gugat balas atas lawan berperkara.
Putusan Majelis Hakim tersebut berpedoman pada Putusan Mahkamah Agung Nomor
36 K/Pdt/1984, akan tetapi selain putusan Mahkamah Agung tersebut, masih ada pula
dasar-dasar hukum yang lain dan penjelasan-penjelasan dalam berbagai literatur yang
membahas mengenai gugatan rekonvensi yang dilarang. Amar putusan yang
menyatakan gugatan rekonvensi tidak dapat diterima, memunculkan suatu
konsekuensi hukum, yaitu apabila pihak Penggugat Rekonvensi tidak puas, maka bisa
diajukan gugatan lagi setelah gugatan sebelumnya diperbaiki, namun teknis
10
pengajuan gugatan yang seperti demikian masih belum secara gamblang dijelaskan
dalam peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
Berdasarkan uraian di latar belakang masalah di atas, penulis dalam menyusun
skripsi ini mengambil judul: “PENERAPAN HUKUM TERHADAP GUGATAN
REKONVENSI PADA PUTUSAN HAKIM NOMOR 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg.”
B. Perumusan Masalah
Dalam penelitian, perumusan masalah sangatlah penting karena memberi arah
dalam membahas masalah yang diteliti, sehingga penelitian dapat dilakukan secara
lebih sistematis dan terarah sesuai dengan sasaran yang ditentukan. Pengertian dari
masalah itu sendiri adalah persoalan-persoalan yang ada hubungannya dengan obyek
penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan hukum yang dilakukan oleh hakim mengenai gugatan
rekonvensi pada Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg?
2. Bagaimanakah akibat hukum yang ditimbulkan dari Putusan Nomor 17/Pdt.
G/2007/ PN. Pbg?
11
C. Tujuan Penelitian
Penelitian yang akan dilaksanakan mempunyai dua tujuan, yaitu:
1. Tujuan obyektif
a. Tujuan obyektif dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan
hukum mengenai gugatan rekonvensi yang dilakukan oleh Majelis Hakim
pada Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg.
b. Tujuan obyektif yang selanjutnya dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan dari Putusan Nomor
17/Pdt.G/2007/PN. Pbg.
2. Tujuan Subyektif
Tujuan subyektif dari penelitian ini adalah untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan sumbangan
pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum dan sebagai tambahan wacana
referensi acuan penelitian yang sejenis dari permasalahan yang berbeda. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memajukan perkembangan Ilmu di bidang
Hukum Acara Perdata khususnya mengenai gugat rekonvensi.
12
2. Kegunaan praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan
bagi masyarakat, praktisi hukum, serta para akademisi, terhadap pemahaman
mengenai gugatan rekonvensi serta akibat hukumnya.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. GUGATAN
1. Pengertian Gugatan
Pengertian gugatan menurut Pasal 1 angka 2 Rancangan Undang-Undang
Hukum Acara Perdata adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan diajukan
ke pengadilan untuk mendapatkan putusan8, sedangkan menurut Sudikno
Mertokusumo, tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh
perlindungan yang diberikan oleh Pengadilan untuk mencegah main hakim sendiri
(eigenrichting).9
2. Jenis Gugatan
Perihal jenis gugatan, hukum acara perdata mengenal dua jenis gugatan, yaitu
gugatan voluntair dan gugatan contentiosa. Gugatan voluntair bisa juga disebut
permohonan. Sebutan gugatan voluntair dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 2 ayat
(1) Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 35
Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman) yang menyatakan
bahwa:
8Tiar, Ramon, Bahan Kuliah Hukum Acara Perdata, Wordpress, diakses dari
http://tiarramon.wordpress.com/2010/06/04/bab-ii-perihal-gugatan/, pada tanggal 4 September 2011
pukul 12.14. 9 Sudikno, Mertokusumo., Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, halaman 48.
14
“Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan
mengandung pengertian di dalamnya penyelesaian masalah yang
bersangkutan dengan yurisdiksi voluntair”
Ketentuan Pasal 2 tersebut tidak diatur lagi dalam Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-undang
Nomor 14 tahun 1970 dan tidak diatur pula di dalam Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan pengganti dari Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004, namun ketentuan itu merupakan penegasan, di
samping kewenangan badan peradilan penyelesaian masalah atau perkara yang
bersangkutan dengan yurisdiksi contentiosa yaitu penyelesaian masalah yang bersifat
partai (ada pihak Penggugat dan Tergugat), juga memberi kewenangan penyelesaian
masalah atau perkara voluntair yaitu gugatan permohonan secara sepihak tanpa ada
pihak lain yang yang ditarik sebagai Tergugat. Jika undang-undang tersebut
menggunakan istilah voluntair, maka Mahkamah Agung memakai istilah
permohonan. Istilah itu dapat dilihat dalam “Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Pengadilan”,10
pada halaman 110 angka 15 digunakan istilah
permohonan, namun pada angka 15 huruf (e) dipergunakan juga istilah voluntair,
yang menjelaskan bahwa: “Perkara permohonan termasuk dalam pengertian
yurisdiksi voluntair”. Dari penjelasan di atas ditemui dua istilah yang sering
10
M. Yahya, Harahap, Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, halaman 28.
15
digunakan baik dalam literatur maupun praktek, yaitu permohonan atau voluntair,
oleh karena itu antar keduanya dapat saling dipertukarkan atau interchangeable.11
Gugatan contentiosa adalah perkara yang di dalamnya terdapat sengketa dua
pihak atau lebih yang sering disebut dengan istilah gugatan perdata, artinya ada
konflik yang harus diselesaikan dan harus diputus Pengadilan, apakah berakhir
dengan kalah memang atau damai tergantung pada proses hukumnya, misalnya
sengketa hak milik, warisan dan lain-lain.
3. Bentuk Gugatan
Gugatan yang diajukan ke pengadilan negeri dapat berbentuk:
1. Tertulis Pasal 118 ayat (1) HIR
2. Lisan Pasal 120 HIR
Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis.12
Pengutamaan mengenai gugatan tertulis diatur dalam HIR yang menyatakan gugatan
tingkat pertama harus dimasukkan dengan suatu surat permintaan yang
ditandatangani oleh Penggugat atau wakilnya. Penegasannya ini tercantum dalam
Pasal 118 ayat (1) HIR yang merumuskan:
“Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan
negeri, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh
penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123, kepada ketua pengadilan
negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak
diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya.”
11
Loc. cit. 12
Ibid, halaman 49.
16
Pasal 118 ayat (1) HIR yang disebutkan di atas mengatur mengenai gugatan tertulis,
sedangkan untuk gugatan lisan diatur dalam Pasal 120 HIR. Perihal gugatan lisan,
HIR memberi kelonggaran bagi Penggugat yang buta huruf untuk mengajukan
gugatan secara lisan. Pasal 10 HIR yang merumuskan:
“Bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya yang dapat
dimasukkannya dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri yang mencatat
gugatan.”
Dewasa ini gugatan lisan sudah tidak lazim lagi, bahkan menurut Yurisprudensi
Mahkamah Agung tanggal 4-12-1975 Nomor 369 K/Sip/1973, orang yang menerima
kuasa tidak diperbolehkan mengajukan gugatan secara lisan13
Yurisprudensi Mahkamah Agung tentang syarat dalam menyusun gugatan:
1. Orang bebas menyusun dan merumuskan surat gugatan asal cukup
memberikan gambaran tentang kejadian materil yang menjadi dasar tuntutan
(Mahkamah Agung tanggal 15-3-1970 Nomor 547 K/Sip/1972);
2. Apa yang dituntut harus disebut dengan jelas (Mahkamah Agung tanggal 21-
11-1970 Nomor 492 K/Sip/1970);
3. Pihak-pihak yang berperkara harus dicantumkan secara lengkap (Mahkamah
Agung tanggal 13-5-1975 Nomor 151 /Sip/1975);
4. Khusus gugatan mengenai tanah harus menyebut dengan jelas letak, batas-
batas dan ukuran tanah (Mahkamah Agung tanggal 9-7-1973 Nomor 81
K/Sip/1971).
13
Tiar, Ramon, Loc. cit.
17
Tidak memenuhi syarat di atas gugatan menjadi tidak sempurna maka gugatan
dinyatakan tidak dapat diterima. Ketidaksempurnaan diatas dapat dihindarkan jika
Penggugat atau kuasanya sebelum memasukkan gugatan meminta nasihat dulu ke
Ketua Pengadilan, namun karena sekarang sudah banyak Advokat atau Pengacara
maka sangat jarang terjadi kecuali mereka tidak bisa tulis dan baca.
Dalam hukum acara perdata terdapat istilah gugatan tidak dapat diterima dan
gugatan ditolak. Kedua istilah tersebut mempunyai akibat hukum yang berbeda,
selain itu kedua istilah tersebut juga disebabkan oleh hal yang berbeda. Perbedaan
mengenai istilah gugatan tidak dapat diterima dan gugatan ditolak adalah sebagai
berikut:
1. Gugatan tidak diterima adalah gugatan yang tidak bersandarkan hukum, yaitu
apabila peristiwa-peristiwa sebagai dasar tuntutan tidak membenarkan
tuntutan. Putusan tidak diterima ini bermaksud menolak gugatan diluar pokok
perkara. Dalam hal ini Penggugat masih dapat mengajukan kembali
gugatannya atau banding. Lebih kepada tidak memenuhi syarat formil.
2. Gugatan ditolak adalah gugatan tidak beralasan hukum yaitu apabila tidak
diajukan peristiwa-peristiwa yang membenarkan tuntutan. Putusan hakim
dengan melakukan penolakan bermaksud menolak setelah
mempertimbangkan pokok perkara. Dalam hal ini Penggugat tidak ada
kesempatan mengajukan kembali tapi haknya adalah banding. Lebih kepada
tidak memenuhi syarat materil (pembuktian).
18
4. Syarat Gugatan
HIR maupun Rbg tidak mengatur secara tegas perihal syarat-syarat membuat
suatu gugatan, akan tetapi di dalam praktek, suatu gugatan hendaklah memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a) Syarat formil terdiri dari tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan, materai
dan tanda tangan.
b) Syarat materil terdiri dari identitas para pihak karena dalam suatu gugatan
harus jelas diuraikan mengenai identitas dari Penggugat maupun Tergugat.
Identitas itu umumnya menyangkut:
1. Nama lengkap;
2. Umur, tempat dan tanggal lahir;
3. Pekerjaan;
4. Alamat atau domisili.
Dalam hal Penggugat dan Tergugatnya adalah suatu badan hukum, maka harus tegas
disebutkan siapa yang berhak mewakili menurut anggaran dasarnya.
5. Isi Gugatan
Perihal isi gugatan diatur dalam Pasal 8 Rv (Reglement op de
Rechtsvordering). Menurut Pasal 8 Rv pada intinya gugatan harus memuat:
1. Identitas para pihak,
2. Dasar atau dalil gugatan/posita/fundamentum petendi berisi tentang peristiwa
dan hubungan hukum,
19
3. Tuntutan/petitum terdiri dari tuntutan primer dan tuntutan
subsider/tambahan.14
Identitas para pihak adalah keterangan yang lengkap dari pihak-pihak yang
berpekara yaitu nama, tempat tinggal dan pekerjaan. Kalau mungkin juga agama,
umur dan status kawin, sedangkan fundamentum petendi (posita) adalah dasar dari
gugatan yang memuat tentang adanya hubungan hukum antara pihak-pihak yang
berpekara (Penggugat dan Tergugat) yang terdiri dari dua bagian yaitu:
1) Uraian tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa (eittelijke
gronden) adalah merupakan penjelasan duduk perkaranya;
2) Uraian tentang hukumnya (rechtsgronden) adalah uraian tentang adanya
hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari gugatan.
Petitum adalah yang dimohon atau dituntut supaya diputuskan Pengadilan.
Petitum ini akan mendapat jawabannya dalam diktum atau amar putusan Pengadilan,
oleh karena itu Penggugat harus merumuskan petitum tersebut dengan jelas dan tegas,
kalau tidak, bisa menyebabkan gugatan tidak dapat diterima.
6. Pengajuan Gugatan
Gugatan yang diajukan oleh Penggugat harus benar-benar memperhatikan
kompetensi atau kewenangan dari Pengadilan yang akan memeriksa dan memutus
perkara. Dalam hukum acara perdata dikenal adanya 2 (dua) macam kewenangan
(kompetensi) mengadili, yaitu:
14
Loc. Cit.
20
a. Kewenangan mutlak (Kompetensi Absolut) sebagaimana diatur dalam Pasal
18 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
adalah wewenang badan Pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu
yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan Pengadilan lain, baik
dalam lingkungan peradilan yang sama (Pengadilan Negeri dengan
Pengadilan Tinggi) maupun dalam lingkungan peradilan yang lain
(Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Agama), dengan demikian wewenang
yang mutlak ini menjawab pertanyaan badan peradilan macam apa yang
berwenang untuk mengadili sengketa yang bersangkutan. Kalau suatu perkara
diajukan kepada hakim yang secara mutlak (absolut) tidak berwenang
memeriksa perkara tersebut, maka hakim harus menyatakan dirinya tidak
berwenang secara ex officio untuk memeriksanya dan tidak bergantung pada
ada tidaknya eksepsi dari Tergugat tentang ketidakwenangannya itu. Setiap
saat selama persidangan berlangsung dapat diajukan tangkisan bahwa hakim
tidak berwenang memeriksa perkara tersebut.
b. Kewenangan Relatif (Kompetensi Relatif), yaitu mengatur tentang pembagian
jenis kekuasaan mengadili antar Pengadilan yang serupa atau sejenis
(Pengadilan Negeri Bukittinggi dengan Pengadilan Negeri Padang Panjang).
Dengan demikian wewenang relatif ini akan menjawab pertanyaan Pengadilan
yang berada di mana yang berwenang untuk mengadili perkara yang
bersangkutan. Jadi dalam hal ini akan berkaitan dengan wilayah hukum suatu
Pengadilan. Kalau seseorang digugat di muka hakim yang tidak berwenang
21
secara relatif memeriksa perkara tersebut, maka hakim hanya dapat
menyatakan dirinya tidak berwenang secara relatif memeriksa perkara
tersebut apabila Tergugat mengajukan eksepsi (tangkisan) bahwa hakim tidak
berwenang memeriksa perkara tersebut dan tangkisan tersebut diajukan pada
sidang pertama atau setidak-tidaknya belum mengajukan tangkisan lain.15
Pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri diatur dalam Pasal 118 HIR, yang
merumuskan:
ayat (1)
“Gugatan perdata yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan
negeri harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh
penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123 kepada ketua pengadilan
negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak
diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya;”
ayat (2)
“Jika tergugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di dalam itu,
dimajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat salah seorang dari
tergugat itu, yang dipilih oleh penggugat. Jika tergugat satu sama lain dalam
perhubungan sebagai perutang utama dan penanggung, maka penggugat itu
dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat orang yang berutang
utama dari salah seorang daripada orang berutang utama itu, kecuali
ditentukan pada ayat (2) dari Pasal 6 reglemen tentang aturan hakim dan
mahkamah serta kebijaksanaan hakim (R.O);”
ayat (3)
“Bilamana tempat diam dari tergugat tidak dikenal, lagipula tempat tinggal
sebetulnya tidak dketahui, atau jika tergugat tidak dikenal, maka surat gugatan
itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat
atau salah seorang dari penggugat, atau jika surat gugat itu tentang barang
gelap, maka surat gugat itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di
daerah hukum siapa terletak barang itu;”
ayat (4)
“Jika dengan surat sah dipilih dan ditentukan suatu tempat berkedudukan,
maka penggugat, jika ia suka, dapat memasukkan surat gugatan itu kepada
ketua pengadilan negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat
berkedudukan yang dipilih itu.”
15
M. Nur, Rasaid, Op. cit, halaman 19.
22
Pasal 118 tersebut memberi penjelasan bahwa pada asasnya gugatan harus
diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal Tergugat. Asas ini dalam bahasa Latin
dikenal dengan sebutan asas Actor Sequitor Forum Rei. Hal ini memang sudah
sepantasnyalah demikian karena tidaklah layak kiranya apabila Tergugat harus
menghadap ke Pengadilan tempat tinggal Penggugat, karena bukanlah kehendak dari
si Tergugat bahwa dirinya digugat ke Pengadilan. Terdapat beberapa pengecualian
terhadap asas Actor Sequitor Forum Rei ini, yaitu antara lain:
a) Apabila tempat tinggal Tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan ke
Pengadilan Negeri tempat kediaman Penggugat;
b) Apabila Tergugat terdiri dari dua orang atau lebih dan mereka tinggal pada
tempat yang berlainan, maka gugatan dapat diajukan pada tempat tinggal
salah seorang Tergugat;
c) Apabila yang digugat itu terdiri dari orang-orang berutang dan penanggung,
maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri di tempat orang yang berutang;
d) Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman atau orang yang digugat tidak
diketahui atau tidak dikenal, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri
tempat tinggal Penggugat;
e) Dalam hal keadaan nomor di atas, apabila gugatannya mengenai barang tetap,
maka gugatan diajukan ke Pengadilan tempat di mana barang tetap (tidak
bergerak) tersebut berada. Asas ini dikenal dengan sebutan asas Actor
Sequitor Forum Sitei;
23
f) Kalau kedua belah pihak memilih tempat tinggal khusus dengan akta yang
tertulis, maka Penggugat kalau mau dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Negeri di tempat yang dipilih dalam akta tersebut.16
Ketentuan dalam Pasal 118 ayat (1) HIR sejalan dengan apa yang digariskan
pada Pasal 123 ayat (1) HIR, yang merumuskan:
“Bilamana dikehendaki, kedua belah pihak dapat dibantu atau diwakili oleh
kuasa, yang dikuasakannya untuk melakukan itu dengan surat kuasa
teristimewa, kecuali kalau yang memberii kuasa itu sendiri hadir. Penggugat
dapat juga memberii kuasa itu dalam surat permintaan yang ditandatangani
dan dimasukkan menurut ayat pertama Pasal 118 atau jika gugatan dilakukan
dengan lisan menurut Pasal 120, maka dalam hal terakhir ini, yang demikian
itu harus disebutkan dalam catatan yang dibuat surat gugat ini.”
Pada intinya Pasal 123 ayat (1) HIR menyatakan bahwa baik Penggugat dan Tergugat
(kedua belah pihak):
1. Dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa yang dikuasakan untuk melakukan
tindakan di depan Pengadilan;
2. Kuasa itu dapat diberikan dengan surat kuasa khusus (special power of
attorney). Supaya pembuatan dan penandatanganan serta pengajuan gugatan
yang dilakukan kuasa sah dan tidak cacat hukum, harus ditempuh prosedur
berikut;
3. Sebelum membuat dan menandatangani surat gugatan, kuasa yang akan
bertindak mewakili Penggugat, harus terlebih dahulu diberi surat kuasa
khusus;
16
Ibid, halaman 21.
24
4. Berdasarkan surat kuasa, kuasa bertindak membuat, menandatangani dan
mengajukan surat gugatan atas nama dan kepentingan Penggugat atau pemberi
kuasa (latsgever, mandate);
5. Kuasa atau penerima kuasa (lasthebber; mandataris), membuat,
menandatangani dan mengajukan gugatan sebelum mendapat kuasa atau lebih
dahulu membuat dan menandatangani gugatan daripada tanggal surat kuasa:
1) Gugatan yang dibuat dan ditandatangani kuasa itu, dianggap mengandung
cacat formil;
2) Akibatnya, gugatan itu akan dinyatakan pengadilan tidak sah dan tidak
dapat diterima atas alasan gugatan ditandatangani oleh orang yang tidak
berwenang (unauthorized) untuk itu, karena pada waktu surat kuasa
menandatangai gugatan, dia sendiri belum mempunyai surat kuasa.17
Penjelasan di atas merupakan penegasan bahwa jika bertindak membuat dan
menandatangani surat gugatan adalah kuasa maka sebelum itu dilakukannya, kuasa
tersebut harus terlebih dahulu mendapat kuasa yang dituangkan dalam bentuk surat
kuasa khusus dari Penggugat. Paling tidak agar penandatanganan surat gugatan sah
dan tidak cacat, tanggal surat kuasa dengan tanggal penandatanganan surat gugatan
diberi dan dibuat pada hari dan tanggal yang sama.18
Pendahuluan akan pemeriksaan perkara perdata oleh Pengadilan Negeri
adalah pemasukkan surat permohonan yang harus ditandatangani oleh Penggugat atau
17
M. Yahya, Harahap, Op. cit, halaman 51. 18
Loc. Cit.
25
wakilnya. Surat permohonan itu, sesudah diterima dan setelah Penggugat membayar
biaya administrasi dan ongkos pemanggilan dan pemberitahuan kepada kedua pihak
dan biaya materai, yang harus dibayar oleh Penggugat, dicatat dalam daftar perkara
oleh Panitera. Ketua Pengadilan Negeri menetapkan hari persidangan Pengadilan
dengan perintah untuk memanggil kedua pihak untuk datang menghadap di
persidangan itu. Bersamaan dengan pemanggilan itu, salinan surat permintaan atau
surat gugatan (introductief rekest) diserahkan kepada Tergugat dengan pemberitahuan
bahwa ia jika dikehendakinya dapat menjawab dengan surat.19
B. Pemeriksaan Gugatan di Persidangan
Proses pemeriksaan gugatan perdata di persidangan termasuk ke dalam tata
urutan persidangan perkara perdata di Pengadilan Negeri sebagai berikut:
1. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum;
2. Para pihak (penggugat dan tergugat) diperintahkan memasuki ruang sidang;
3. Para pihak diperiksa identitasnya (surat kuasanya), demikian pula diperiksa
surat ijin praktik dari organisasi advokat;
4. Apabila kedua belah pihak lengkap maka diberi kesempatan untuk
menyelesaikan dengan perkara secara damai;
5. Ditawarkan apakah akan menggunakan mediator dari lingkungan PN atau
dari luar (lihat PERMA RI No.1 Tahun 2008);
6. Apabila tidak tercapai kesepakatan damai maka sidang dilanjutkan dengan
pembacaan surat gugat oleh penggugat/kuasanya;
19
R. Soesilo, Op. cit, halaman 78.
26
7. Apabila perdamaian berhasil maka dibacakan dalam persidangan dalam
bentuk akta perdamaian yang bertitel DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YME;
8. Apabila tidak ada perubahan acara selanjutnya jawaban dari Tergugat;
(jawaban berisi eksepsi, bantahan, permohonan putusan provisionil,
gugatan rekonvensi);
9. Apabila ada gugatan rekonvensi Tergugat juga berposisi sebagai Penggugat
Rekonvensi;
10. Replik dari Penggugat, apabila digugat rekonvensi maka ia berkedudukan
sebagai Tergugat Rekonvensi;
11. Pada saat surat menyurat (jawab jinawab) ada kemungkinan ada gugatan
intervensi (voeging, vrijwaring, toesenkomst);
12. Sebelum pembuktian ada kemungkinan muncul putusan sela (putusan
provisionil, putusan tentang dikabulkannya eksepsi absolut, atau ada gugat
intervensi);
13. Pembuktian;
14. Dimulai dari Penggugat berupa surat bukti dan saksi;
15. Dilanjutkan dari Tergugat berupa surat bukti dan saksi;
16. Apabila menyangkut tanah dilakukan pemeriksaan setempat;
17. Kesimpulan;
18. Musyawarah oleh Majelis Hakim (bersifat rahasia);
19. Pembacaan Putusan;
27
20. Isi putusan: a. Gugatan dikabulkan, b. Gugatan ditolak, c. Gugatan tidak
dapat diterima;
21. Atas putusan ini para pihak diberitahu hak-haknya apakah akan menerima,
pikir-pikir atau akan banding. Apabila pikir-pikir maka diberi waktu
selama 14 hari;
22. Dalam hal ada pihak yang tidak hadir maka diberitahu terlebih dahulu dan
dalam waktu 14 hari setelah pemberitahuan diberi hak untuk menentukan
sikap. Apabila waktu 14 hari tidak menentukan sikap maka dianggap
menerima putusan.20
Sistem pemeriksaan gugatan perdata digariskan dalam Pasal 125 dan 127
HIR. Pasal 125 HIR merumuskan:
ayat (1)
“Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa, atau tidak
pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil
dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek), kecuali
kalau nyata kepada pengadilan negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak
atau tidak beralasan;”
ayat (2)
“Akan tetapi jika tergugat, di dalam surat jawabannya yang tersebut pada
Pasal 121, mengemukakan perlawanan (exceptie) bahwa pengadilan negeri
tidak berkuasa memeriksa perkaranya, maka meskipun ia sendiri atau
wakilnya tidak hadir, ketua pengadilan negeri wajib memberii keputusan
tentang perlawanan itu, sesudah didengarnya penggugat dan jika hanya
perlawanan itu tidak diterima, maka ketua pengadilan negeri memutuskan
tentang perkara itu”
ayat (3)
Jika surat gugat diterima, maka atas perintah ketua diberitahukanlah
keputusan pengadilan negeri kepada orang yang dikalahkan itu serta
20 Pengadilan Negeri Sukoharjo, Tata Urutan Persidangan Perkara Perdata, diakses dari http://www.pn-sukoharjo.go.id/index.php/kepaniteraan/bagian-perdata/tata-urutan-persidangan-
perkara-perdata.html, pada tanggal 5 Mei 2012.
28
menerangkan pula kepadanya, bahwa ia berhak memajukan perlawanan
(verzet) di dalam tempo dan dengan cara yang ditentukan Pasal 129 tentang
keputusan itu di muka pengadilan itu juga”
ayat (4)
“Panitera mencatat di bawah surat putusan itu kepada siapakah dulunya
diperintahkan menjalankan pekerjaan itu dan apakah yang diterangkan orang
itu tentang hal itu, baik dengan surat maupun dengan lisan.”
Pasal 127 HIR merumuskan:
“Jika seseorang atau lebih tergugat tidak datang atau tidak menyuruh orang
lain menghadap mewakilinya, maka pemeriksaan perkara itu diundurkan
sampai pada hari persidangan lain, yang paling dekat. Hal mengundurkan diri
itu diberitahukan pada waktu persidangan kepada pihak yang hadir, bagi
mereka pemberitahuan itu sama dengan panggilan, sedang tergugat yang tidak
datang, disuruh panggil oleh ketua sekali lagi menghadap hari persidangan
yang lain. Ketika itu perkara diperiksa dan kemudian diputuskan bagi sekalian
pihak dalam satu keputusan, atas mana tidak diperkenankan perlawanan
(verzet).”
Pada intinya Pasal 125 dan 127 HIR tersebut mengatur bahwa sistem dan
proses pemeriksaan adalah sebagai berikut:
a. Dihadiri Kedua Belah Pihak secara In Person atau Kuasa.
Para pihak dipanggil dengan resmi dan patut oleh juru sita menghadiri
persidangan yang telah ditentukan dan ini merupakan prinsip umum yang harus
ditegakkan agar sesuai dengan asas due process of law, namun ketentuan ini, dapat
dikesampingkan berdasarkan Pasal 125 ayat (1) dan Pasal 127 HIR, yang memberi
kewenangan bagi hakim untuk melakukan proses pemeriksaan:
1. Secara verstek (putusan di luar hadirnya tergugat) apabila tidak menghadiri
sidang tanpa alasan yang sah, padahal sudah dipanggil secara sah dan patut,
2. Pemeriksaan tanpa bantahan dilakukan apabila pada sidang berikut tidak hadir
tanpa alasan yang sah, misalnya persidangan diundurkan pada hari yang
29
ditentukan oleh hakim dan ternyata Penggugat atau Tergugat tidak hadir pada
hari tersebut tanpa alasan yang sah. Dalam kasus yang seperti ini, proses
pemeriksaan dapat dilanjutkan untuk memeriksa pihak yang hadir tanpa
sanggahan (without defence) dari pihak yang tidak hadir.21
b. Proses Pemeriksaan Berlangsung secara Op Tegenspraak.
Sistem inilah yang dimaksud dengan proses contradictoir dan sistem ini
memberi hak serta kesempatan (opportunity) kepada Tergugat untuk membantah dalil
Penggugat. Sebaliknya Penggugat juga berhak untuk melawan bantahan Tergugat.
Proses dan sistem yang seperti ini yang disebut contradictoir yaitu pemeriksaan
perkara berlangsung dengan proses sanggah menyanggah baik dalam bentuk replik-
duplik maupun dalam bentuk konklusi, akan tetapi seperti dijelaskan di atas, proses
contradictoir dapat dikesampingkan baik melalui verstek atau tanpa bantahan, apabila
pihak yang bersangkutan tidak menghadiri persidangan yang ditentukan tanpa alasan
yang sah padahal sudah dipanggil secara sah dan patut oleh juru sita, namun tanpa
mengurangi pengecualian tersebut:
1. Pada prinsipnya pemeriksaan tidak boleh dilakukan secara sepihak (ex parte),
hanya pihak Penggugat atau Tergugat saja;
2. Sistem pemeriksaan secara contradictoir harus ditegakkan dan berlangsung
sejak permulaan sidang sampai putusan dijatuhkan tanpa mengurangi
kebolehan mengucapkan putusan tanpa hadirnya salah satu pihak.22
21
M. Yahya, Harahap, Op. cit, halaman 69. 22
M. Yahya, Harahap, Loc. Cit.
30
C. GUGATAN REKONVENSI
1. Pengertian Gugatan Rekonvensi
Gugat rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh Tergugat terhadap
Penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan diantara mereka.23
Pengertian
gugatan rekonvensi juga diatur dalam Pasal 132 a ayat (1) HIR, yang merumuskan:
“Tergugat berhak dalam tiap-tiap perkara memasukkan gugatan melawan
kecuali:
1. Kalau penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang
gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya;
2. Kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak
berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok
perselisihan;
3. Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan.”
Pasal 132 a ayat (1) tersebut hanya memberi pengertian singkat. Maknanya menurut
pasal itu:
1) Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan Tergugat sebagai gugatan
balasan terhadap gugatan yang diajukan Penggugat kepadanya dan;
2) Gugatan rekonvensi itu, diajukan Tergugat kepada Pengadilan Negeri,
pada saat berlangsung proses pemeriksan gugatan yang diajukan
Penggugat.24
2. Pengaturan Mengenai Gugatan Rekonvensi
Pengaturan mengenai gugat rekonvensi diatur dalam Pasal 132 a dan b HIR.
Pasal 132 a HIR merumuskan:
23
Soedikno, Mertokusumo, Op. cit, halaman 117. 24
M. Yahya, Harahap, Op. cit., halaman 468.
31
ayat (1)
“Tergugat berhak dalam tia-tiap perkara memasukkan gugatan melawan
kecuali:
1. Kalau penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang
gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya;
2. Kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak
berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok
perselisihan;
3. Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan.”
ayat (2)
“Jikalau dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimajukan gugatan
melawan, maka dalam bandingan tidak dapat mengajukan gugatan itu.”
Pasal 132 b HIR merumuskan:
ayat (1)
“Tergugat wajib memasukkan gugatan melawan bersama-sama dengan
jawabannya, baik dengan surat maupun dengan lisan;
ayat (2)
“Buat gugatan melawan itu berlaku peraturan dari bagian ini;”
ayat (3)
“Kedua perkara itu diselesaikan sekaligus dan diputuskan dalam satu
keputusan, kecuali kalau sekiranya pengadilan negeri berpendapat, bahwa
perkara yang pertama dapat lebih dahulu diselesaikan daripada yang kedua,
dalam hal mana demikian dapat dilakukan, tetapi gugatan mula-mula dan
gugatan melawan yang belum diputuskan itu masih tetap diperiksa oleh hakim
itu juga, sampai dijatuhkan keputusan terakhir;”
ayat (4)
“Bandingan diperbolehkan, jika banyaknya wang dalam gugatan tingkat
pertama ditambah dengan wang dalam gugatan melawan lebih daripada
jumlah wang yang sebanyak-banyaknya yang dapat diputuskan oleh
pengadilan negeri sebagai hakim yang tertinggi;”
ayat (5)
“Bila kedua perkara itu dibagi-bagi dan keputusan dijatuhkan berasing-asing,
maka haruslah dituruti aturan biasa tentang hak bandingan.”
Pada asanya gugatan rekonvensi dapat diajukan mengenai segala hal, ini
terlihat dari kalimat ”…in alle zaken” dalam Pasal 132 a ayat (1) HIR, akan tetapi
Pasal 132 a ayat (1) nomor 1, 2 dan 3 HIR memberikan pengecualian, yaitu dalam
hal:
32
1. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi kepada diri orang yang bertindak
berdasarkan suatu kualitas. Larangan tentang hal ini diatur dalam Pasal 132 a
ayat (1) ke-1 HIR yang tidak memperbolehkan pengajuan gugatan rekonvensi
kepada diri pribadi Penggugat, sedangkan dia di tengah bertindak sebagai
Penggugat mewakili kepentingan principal, misalnya seorang kuasa yang
bertindak mengajukan gugatan kepada Tergugat untuk kepentingan dan atas
nama (on behalf) pemberi kuasa (principal). Berarti kuasa tersebut adalah
orang yang bertindak dalam kualitas mewakili kepentingan pemberi kuasa.
2. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi di luar yursdiksi Pengadilan Negeri
yang memeriksa perkara. Larangan kedua, apabila gugatan rekonvensi
diajukan di luar yurisdiksi Pengadilan Negeri yang memeriksa gugatan
semula. Sebagai contoh, A menggugat B atas sengketa transaksi jual beli
tanah. Terhadap gugatan itu, B mengajukan gugatan rekonvensi mengenai
sengketa hibah. Tindakan B tersebut tidak dapat dibenarkan karena sesuai
dengan ketentuan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, sengketa
hibah bagi yang beragama islam menjadi yurisdiksi absolute lingkungan
peradilan agama.
3. Gugatan rekonvensi terhadap eksekusi. Larangan berikutnya, tidak boleh
mengajukan rekonvensi terhadap sengketa yang menyangkut perlawanan
terhadap eksekusi putusan, misalnya A mengajukan perlawanan terhadap
eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Terhadap
gugatan perlawanan tersebut pihak Terlawan tidak dibenarkan mengajukan
33
gugatan rekonvensi. Alasan larangan itu adalah gugatan perlawanan terhadap
eksekusi putusan dianggap perkara yang sudah selesai diputus
persengketaannya. Dalam teori dan praktek dikatakan, sengketa eksekusi atau
executie geschillen adalah sengketa yang sudah selesai pokok perkaranya,
akan tetapi jika bertitik tolak dari ketentuan Pasal 379 Rv yang menyatakan
tata cara pemeriksaan perkara gugatan biasa berlaku sepenuhnya terhadap
gugatan perlawanan, baik yang berbentuk derden verzet (perlawanan pihak
ketiga) atau party verzet (perlawanan para pihak), berarti hukum
memperbolehkan terlawan mengajukan gugatan rekonvensi atas gugatan
perlawanan terhadap eksekusi. Sehubungan adanya kontroversi dalam
ketentuan Pasal 132 a ayat (1) ke-3 HIR dengan Pasal 379 Rv, dalam praktek
terdapat acuan penerapan sebagai berikut:
a) Pada prinsipnya Terlawan tidak boleh mengajukan gugatan rekonvensi
terhadap gugatan perlawanan atas eksekusi. Bertitik tolak dari Pasal 132 a
ayat (1) ke-3 HIR, pada prinsipnya undang-undang melarang Terlawan
mengajukan gugatan rekonvensi terhadap gugatan perlawanan, baik hal
itu dalam bentuk perlawnan pihak ketiga (derden verzet) atau perlawanan
pihak partai (party verzet). Alasan yang mendukung larangan ini, ialah
gugatan rekonvensi terhadap perlawanan menjalankan eksekusi putusan
dianggap bertentangan dengan ketertiban beracara, sebab penyelesaian
sengketa perlawanan terhadap eksekusi menuntut penyelesaian yang
cepat, oleh karena itu membolehkan Terlawan mengajukan rekonvensi
34
mengakibatkan penyelesaian eksekusi berlarut-larut dalam proses
pemeriksaan yang panjang, dengan demikian apabila perlawanan yang
diajukan murni ditujukan terhadap penetapan perintah eksekusi, maka
tepatlah untuk menegakkan larangan ini, dengan ketentuan:
1. Putusan yang hendak dieksekusi sudah bersifat menyudahi secara
tuntas materi pokok perkara;
2. Perlawanan yang diajukan Terlawan terhadap eksekusi itu, tidak
mengandung pokok perselisihan baru yang erat kaitannya dengan
putusan yang hendak dieksekusi.
b) Secara kasuistik terlawan dapat mengajukan gugatan rekonvensi. Dalam
praktek, perlawanan yang banyak terjadi terhadap eksekusi bukan party
verzet, tetapi perlawanan pihak ketiga atau derden verzet. Jika pada party
verzet, perlawanan yang diajukan murni ditujukan kepada pelaksanaan
eksekusi putusan pengadilan maka pada derden verzet gugatan
perlawanan yang diajukan selalu mengandung dua aspek:
1. Aspek pertama, ditujukan kepada penundaan atau pembatalan
pelaksanaan eksekusi;
2. Aspek kedua, berisi dalil gugatan baru yang menyatakan barang objek
eksekusi adalah milik Terlawan, sehingga dalam gugatan perlawanan
tersebut terkandung pokok sengketa baru yang langsung berkaitan
dengan pokok materi yang terdapat dalam putusan yang hendak
dieksekusi.
35
Dalam kasus demikian, gugatan perlawanan tidak murni semata-mata
terhadap pelaksanaan eksekusi, tetapi sekaligus terkandung di dalamnya
pokok perkara baru antara Pelawan, Pemohon dan Termohon eksekusi. Pada
dasarnya derden verzet ditujukan terhadap putusan yang hendak dieksekusi,
sehingga gugatan perlawanan itu ditujukan terhadap pihak Penggugat dan
Tergugat yang tercantum dalam putusan itu sebagai pihak Terlawan. Terhadap
perlawanan yang berbentuk derden verzet, secara kasuistik dimungkinkan
mengajukan gugatan rekonvensi, akan tetapi sepanjang gugatan perlawanan
berbentuk party verzet yang sifat gugatannya murni mengenai sengketa
eksekusi (executie geschill) dilarang mengajukan gugatan rekonvensi.
4. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat banding. Larangan itu
ditegaskan dalam Pasal 132 a ayat (2) HIR. Dikatakan, jika dalam proses
pemeriksaan tingkat pertama, yaitu di Pengadilan Negeri tidak diajukan
gugatan rekonvensi, hal tersebut tidak dapat diajukan dalam tingkat banding
di Pengadilan Tinggi, dengan demikian kebolehan dan kesempatan
mengajukan gugatan rekonvensi hanya pada tahap proses pemeriksaan
Pengadilan Negeri. Gugatan rekonvensi yang diajukan baik tersendiri maupun
dalam memori banding tidak memenuhi syarat formil karena diajukan kepada
instansi Pengadilan yang tidak memiliki yurisdiksi untuk itu. Lain halnya jika
dalam tingkat pertama diajukan gugatan rekonvensi maka gugatan itu
berlanjut meliputi yurisdiksi Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding, oleh
karena itu jika pada tingkat Pengadilan Negeri Tergugat mengajukan gugatan
36
rekonvensi lantas pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi lalai
mempertimbangkan dan memutusnya, maka hal itu dianggap merupakan
pelanggaran terhadap tata tertib beracara. Hal ini ditegaskan dalam Putusan
Mahkamah Agung No. 1250 K/ Pdt/ 1986, bahwa Pengadilan Tinggi yang
lalai mempertimbangkan dan memutus gugatan rekonvensi dalam tingkat
banding dianggap telah melakukan kekeliruan dalam tata cara mengadili dan
dapat dijadikan alasan oleh Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan
dan bersamaan dengan itu memerintahkan Pengadilan Tinggi untuk
memeriksa dan memutus gugatan rekonvensi yang dimaksud. Sehubungan
dengan larangan ini, apabila Tergugat mempunyai tuntutan kepada Penggugat,
tetapi ia lalai mengajukannya sebagai gugatan rekonvensi pada saat proses
pemeriksaan berlangsung di Pengadilan Negeri, jalan keluar yang harus
ditempuhnya ialah dengan mengjukan gugatan perkara biasa.
5. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat kasasi. Secara tegas,
tidak dijumpai ketentuan undang-undang yang melarang pengajuan gugatan
rekonvensi dalam tingkat kasasi, dengan demikian berdasarkan prinsip
penafsiran a contrario, boleh mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat
kasasi karena undang-undang sendiri tidak tegas melarangnya, akan tetapi
fungsi Mahkamah Agung bukan peradilan judex factie yang berwenang
memeriksa dan menilai permasalahan fakta (feitelijke kwesties), sehingga
tidak dibenarkan mengajukan rekonvensi kepada Mahkamah Agung dalam
tingkat kasasi meskipun tidak ada ketentuan yang melarangnya. Larangan
37
tentang itu dijumpai dalam putusan peradilan, antara lain Putusan Mahkamah
Agung No. 209 K/ Sip/ 1970 yang mengatakan gugatan rekonvensi dalam
tingkat kasasi tidak dapat diajukan, oleh karena itu kalau pada peradilan
tingkat pertama Tergugat lalai mengajukan gugatan rekonvensi, gugatan itu
harus diajukannya secara tersendiri melalui gugatan biasa ke Pengadilan
Negeri.25
D. PUTUSAN PENGADILAN
Putusan pengadilan adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai Pejabat
Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan
untuk menghakimi atau menyelesaikan perkara atau sengketa antara para pihak.26
Pada umumnya, tujuan suatu proses di muka Pengadilan adalah untuk memperoleh
putusan hakim yang baik dan berkekuatan hukum tetap, artinya suatu putusan hakim
yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan yang tidak dapat diubah lagi.27
Putusan membuat hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara
ditetapkan untuk selama-lamanya, dengan maksud apabila tidak ditaati secara
sukarela, maka berlakunya dipaksakan dengan bantuan Alat-alat Negara (dengan
kekuatan umum). Putusan hakim dijatuhkan setelah melalui rangkaian proses
pemeriksaan oleh hakim atas fakta-fakta yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang
berperkara selesai dilakukan dan atas fakta-fakta tersebut, hakim telah menetapkan
25
M. Yahya, Harahap, Op. cit, halaman 493. 26
Sudikno, Mertokusumo, Op. cit, halaman 175. 27
Sri, Wardah, dan Bambang, Sutiyoso, Hukum Acara Perdata, Gama Media, Yogyakarta, 2007,
halaman 211.
38
(mengkonstantir) kebenarannya dan menetapkan hukum yang berlaku atau
menetapkan hubungan hukumnya antara kedua belah pihak yang berperkara
(mengkualifisir). Hal ini dalam praktek, dapat dibaca dalam perumusan
pertimbangan-pertimbangan mengenai duduk perkaranya dan kemudian
pertimbangan-pertimbangan mengenai hukumnya, setelah itu hakim memberi
konstitusinya yang dirumuskan dalam diktum akhir.
39
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian (research) berarti pencarian kembali. Pencarian yang dimaksud
adalah pencarian terhadap pengetahuan yang benar (ilmiah), karena hasil dari
pencarian ini akan dipakai untuk menjawab permasalahan tertentu.28
Metode adalah
cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai
dengan yang dikehendaki. Merujuk pada pengertian di atas, maka metode penelitian
memiliki pengertian sebagai suatu cara teratur yang digunakan untuk melakukan
pencarian terhadap pengetahuan yang ilmiah dengan tujuan untuk menjawab suatu
permasalahan tertentu. Metode Penelitian tersebut terdiri dari:
1. Metode Pendekatan
Tipe penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis
normatif dengan pendekatan konseptual, pendekatan undang-undang dan pendekatan
penelitian hukum klinis. Pendekatan konseptual disini berfungsi memunculkan
obyek-obyek yang menarik perhatian dari sudut pandang praktis dan sudut pandang
pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu,29
sedangkan pendekatan
undang-undang disini bertujuan untuk meneliti berbagai aturan hukum yang menjadi
fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian, oleh karena itu peneliti harus melihat
hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
28
Amirudin, dan H. Zainal, Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003, halaman 19. 29
Johny, Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang, 2008,
halaman 306
40
1) Comprehensive, artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait
antara satu dengan yang lainnya secara logis.
2) All Inclusive, bahwa kumpulan norma hukum tersebut mampu menampung
permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak ada kekurangan hukum.
3) Sistematic, bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang lain, norma-
norma hukum tersebut juga harus tersusun secara hierarkis.30
Penelitian ini juga memakai pendekatan penelitian hukum klinis, yaitu
penelitian yang berusaha menemukan apa hukumnya bagi suatu perkara in concreto.
Seperti halnya pada penelitian untuk menemukan asas-asas hukum (doktrinal),
penelitian untuk menemukan hukum in concreto bagi suatu perkara tertentu, juga
mensyaratkan adanya inventarisasi hukum positif in abstracto. Norma hukum in
abstracto dipergunakan sebagai premise mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan
dalam perkara (legal fact) dipergunakan sebagai premise minor .31
2. Spesifikasi Penelitian
Penelitian dalam karya ilmiah ini merupakan penelitian hukum normatif, yang
disebut juga sebagai penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian ini, acapkali hukum
dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in
books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan
30
Ibid, halaman 302 31
Ibid, halaman 125.
41
berperilaku manusia yang dianggap pantas.32
Penelitian hukum normatif terdiri dari
beberapa jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Penelitian inventarisasi hukum positif. Jenis penelitian ini merupakan
kegiatan pendahluan yang sangat mendasar. Sebelum menemukan norma
hukum in concreto, haruslah diketahui lebih dahulu hukum positif yang
berlaku. Sebagian orang beranggapan bahwa kegiatan inventarisasi hukum
hanyalah pekerjaan mengumpulkan peraturan perundang-undangan saja dan
pekerjaan itu sulit disebut sebagai penelitian. Anggapan tersebut adalah keliru,
karena kegiatan inventarisasi hukum positif adalah proses identifikasi yang
kritis-analitis serta logis sistematis.33
2. Penelitian asas-asas hukum. Asas-asas hukum itu dipertanyakan, dari
manakah asas hukum tersebut “ditarik” atau berasal? Faktor-faktor apakah
yang mempengaruhinya? Menurut Paul Scholten, faktor-faktor yang
mempengaruhi adanya asas-asas hukum adalah hati nurani yang bersih dan
perasaan hukum.34
3. Penelitian hukum klinis, yaitu penelitian yang berusaha menemukan apa
hukumnya bagi suatu perkara in concreto. Seperti halnya pada penelitian
untuk menemukan asas-asas hukum (doktrinal), penelitian untuk menemukan
hukum in concreto bagi suatu perkara tertentu, juga mensyaratkan adanya
inventarisasi hukum positif in abstracto. Norma hukum in abstracto
32
Amirudin, dan H. Zainal, Asikin, Op.cit, halaman 118. 33
Ibid, halaman 121. 34
Ibid, halaman 124.
42
dipergunakan sebagai premise mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan
dalam perkara (legal fact) dipergunakan sebagai premise minor .35
4. Penelitian hukum yang mengkaji sistematika peraturan perundang-undangan,
yaitu diawali dengan mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang
menjadi focus penelitian, selanjutnya mengklasifikasikan berdasarkan
kronologis dari bagian-bagian yang diatur oleh peraturan tersebut. Proses
selanjutnya adalah analisis dengan mengemukakan pengertian-pengertian
dasar dari sistem hukum, yang mencakup: subjek hukum; hak dan kewajiban;
peristiwa hukum; hubungan hukum; dan objek hukum, yang kemudian
dianalisis hanya pasal-pasal yang isinya mengandung kaidah hukum,
kemudian lakukan konstruksi dengan cara memasukkan pasal-pasal tertentu
ke dalam kategori-kategori berdasarkan pengertian-pengertian dasar dari
sistem hukum tersebut.36
5. Penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan perundang-
undangan, yaitu baik secara vertical maupun horizontal. Apabila peraturan
perundang-undangan itu ditelaah secara vertical, berarti akan dilihat
bagaimana hierarkisnya. Apabila peraturan perundang-undangan itu ditelaah
secara horizontal, maka yang diteliti adalah sejauh mana peraturan perundang-
35
Ibid, halaman 125. 36
Ibid, halaman 128.
43
undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai hubungan
fungsional secara konsisten.37
6. Penelitian perbandingan hukum, yaitu penelitian hukum yang
membandingkan sistem hukum masyarakat yang satu dengan sistem hukum
masyarakat yang lain.38
7. Penelitian sejarah hukum, yaitu penelitian yang bermaksud untuk menjelaskan
perkembangan dari bidang-bidang hukum yang diteliti. Dengan penelitian
jenis ini, akan terungkap ke permukaan mengenai fakta hukum masa silam
dalam hubngannya dengan fakta hukum masa kini.39
Peneliti menggunakan jenis penelitian hukum klinis di dalam karya ilmiah ini,
dimana nantinya peneliti berusaha menemukan apa hukumnya bagi suatu perkara in
concreto, yaitu dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor
17/Pdt. G/2007/PN. Pbg. Peneliti nantinya akan melakukan inventarisasi hukum
positif in abstracto tentang penerapan hukum gugatan rekonvensi dan akibat
hukumnya apabila Majelis Hakim memutuskan menolak ataupun menyatakan
gugatan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard). Hukum positif in abstracto
tersebut, nantinya akan digunakan sebagai premise mayor dan premise minornya
adalah segala fakta-fakta yang relevan dalam perkara perdata yang termuat dalam
putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg.
37
Ibid, halaman 129. 38
Ibid, halaman 130. 39
Ibid, halaman 131.
44
3. Bahan Hukum
Peneliti di dalam penelitiannya ini akan menggunakan tiga jenis bahan
hukum, yaitu:
a) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat Bahan hukum primer
terdiri dari peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, catatan resmi,
lembar negara penjelasan, risalah, putusan hakim dan yurisprudensi.40
Bahan
hukum yang akan digunakan peneliti dalam penelitian ini, diantaranya adalah
Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg., HIR, Rv, Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman dan bahan hukum primer lainnya.
b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari pustaka di bidang ilmu hukum,
penelitian di bidang ilmu hukum, jurnal hukum, artikel ilmiah, laporan
hukum, berita, eksaminasi publik dan semua publikasi baik dari media cetak
maupun elektronik.41
40
Peter, Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Perdana Media Group, Surabaya, 2007,
halaman 141. 41
Loc. Cit.
45
c) Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus (hukum), ensiklopedia.42
4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, bahan sekunder diperoleh dengan melakukan studi
kepustakaan berupa inventarisasi Putusan Pengadilan, peraturan-peraturan dan
ketentuan- ketentuan serta literatur yang memberikan pengaturan tentang gugatan
rekonvensi. Selain itu, metode pengumpulan bahan hukum yang digunakan juga
berupa studi kepustakaan, internet browsing, telaah artikel ilmiah, telah karya ilmiah
sarjana dan studi dokumen, termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah maupun jurnal
surat kabar yang memberikan informasi bagi terbentuknya karya tulis ini.
5. Metode Penyajian Bahan Hukum
Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk uraian dan disusun secara
sistematis sesuai dengan sistematika, yang didahului dengan pendahuluan yang berisi
latar belakang masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan
diteruskan dengan analisa data dan hasil pembahasan serta diakhiri dengan simpulan.
Bahan hukum sekunder akan disajikan sesuai dengan kebutuhan analisis
namun tidak menghilangkan maksud yang terkandung dalam bahan hukum tersebut.
Penyajian bahan ini dapat ditempatkan pada seluruh bab maupun sub bab pada
penelitian ini sesuai dengan relevansinya pada hal yang sedang dibicarakan.
42
Amirudin, dan H. Zainal, Asikin, Op. cit, halaman 32.
46
6. Metode Analisa Bahan Hukum
Metode analisa bahan hukum dalam penelitian ini mempergunakan metode
kualitatif, yaitu menguraikan bahan-bahan hukum secara bermutu, dalam bentuk
kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif dan kemudian
dilakukan pembahasan. Berdasarkan hasil pembahasan diambil kesimpulan secara
induktif sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.43
Analisa diarahkan
kepada penerapan hukum hakim dalam gugatan rekonvensi, serta bagaimana akibat
hukum dari suatu putusan yang menyatakan gugatan rekonvensi dinyatakan tidak
dapat diterima (niet onvankelijk verklaard).
43
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, 2008, halaman 16.
47
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Identitas Putusan
Penelitian ini dilakukan terhadap Putusan Pengadilan Negeri yang memiliki
identitas sebagai berikut:
1. Nomor Putusan: 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg;
2. Pengadilan Negeri: Purbalingga;
3. Majelis Hakim Pemeriksa Perkara: Wahyono, S. H., sebagai Hakim Ketua,
Alfon, S. H., M. H. dan Khoiruman Pandu Kesuma Harahap, S. H.,
masing-masing sebagai Hakim Anggota;
4. Para Pihak:
a) Penggugat: Alwi Kiswanto, bertempat tinggal di Jalan Jenderal Ahmad
Yani Nomor 36 RT. 001/RW. 004, Kelurahan Kandang Gampang,
Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga;
b) Tergugat:
1) Tergugat I: S. T. Yudianto, bertempat tinggal di RT. 01/RW. 01,
Kelurahan Purbalingga Lor, Kecamatan Purbalingga;
2) Tergugat II: Direksi CV. Cipta Usaha, beralamat di Desa Babakan
RT. 09/RW. 02, Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga.
B. Kasus Posisi
Kasus posisi dalam perkara ini dimulai ketika Penggugat, yaitu Alwi
Kiswanto, mengajukan gugatan terhadap ST. Yudianto dan Direksi CV. Cipta Usaha
48
ke Pengadilan Negeri Purbalingga. Gugatan tersebut didasari atas kerugian yang
dirasa diderita oleh penggugat yang disebabkan oleh perbuatan para Tergugat.
Perbuatan yang dimaksud adalah perihal perbedaan jumlah aspal yang dikirim oleh
Penggugat dan yang diterima oleh Tergugat. Penggugat mendudukan ST. Yudianto
sebagai Tergugat I, dan Direksi CV. Cipta Usaha sebagai Tergugat II. Pada awalnya
Tergugat I berkenalan dengan Tergugat II karena Tergugat II mendapat proyek air
bersih di Kabupaten Purbalingga, sedangkan Tergugat I adalah karyawan di
Departemen Pekerjaan Umum Kabupaten Purbalingga. Proyek tersebut menyebabkan
Tergugat I dan Tergugat II menjadi sering berhubungan, dan pada suatu saat Tergugat
I meminjam uang pada Tergugat II, yang apabila ditotal jumlahnya senilai Rp. 5. 000.
000, - (lima juta rupiah). Tergugat I berjanji akan membayar utang tersebut dengan
aspal. Aspal yang dikirim oleh Tergugat I ternyata adalah milik Penggugat. Tergugat
I kemudian memasok aspal untuk Tergugat II, yang pada akhirnya menjadi perkara,
karena ternyata Tergugat I mengambil aspal dari Penggugat untuk dikirim kepada
Tergugat II. Penggugat merasa dirugikan, karena merasa telah mengirim tiga ratus
delapan puluh dua (382) drum aspal, namun hanya diakui sebanyak tiga ratus
sembilan belas (319) drum oleh Tergugat II, dan Tergugat II tidak merasa telah
membeli aspal dari Penggugat, melainkan dari Tergugat I. Penggugat mengajukan
gugatan yang pada intinya meminta agar Majelis Hakim menyatakan para Tergugat
telah melakukan cidera janji, dan meminta para Tergugat mengakui bahwa aspal yang
dikirim Penggugat dan diterima para Tergugat adalah sebanyak tiga ratus delapan
puluh dua (382) drum, serta meminta ganti rugi, dan sita jaminan. Tergugat I, dalam
49
jawabannya membenarkan seluruh dalil Penggugat. Tergugat II dalam jawabannya
mengatakan bahwa sama sekali tidak ada cedera janji antara Penggugat dan Tergugat
II karena tidak ada hubungan hukum antara mereka, baik yang lahir karena undang-
undang, maupun yang lahir karena perjanjian, sehingga tidak mungkin ada cidera
janji. Tergugat II mengemukakan dalil, bahwa untuk terjadinya cidera janji, harus ada
ingebrekestelling (pernyataan lalai) terlebih dahulu, baik berupa surat perintah
ataupun akta sejenis (Pasal 1238 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Pada
peristiwa jual beli aspal tersebut, Tergugat II hanya mengetahui bahwa aspal tersebut
adalah milik Tergugat I, karena Tergugat I tidak pernah menyebut-nyebut Penggugat,
apalagi menerangkan Penggugat sebagai pemilik aspal, selain itu aspal yang dikirim
pada Tergugat II tadinya memang disimpan di gudang Tergugat I, sehingga Tergugat
II berdasarkan Pasal 1977 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata berdalil
bahwa terhadap benda bergerak, maka barangsiapa menguasainya dianggap sebagai
pemiliknya. Tergugat II pun menyangkal bahwa aspal yang dikirim Penggugat
melalui Tergugat I adalah sebanyak tiga ratus delapan puluh dua (382) drum,
melainkan hanya sebanya tiga ratus sembilan belas (319) drum, karena selisih
sebanyak enam puluh tiga (63) drum yang dipersoalkan Penggugat didasarkan pada
rekap saudari Ari Suprihatin, S. E., Akt., tanpa seiizin dan sepengetahuan manajemen
CV. Cipta Usaha, dan rekap tersebut dibuat atas dasar permintaan Tergugat I dengan
membayar saudari Ari Suprihatin, S. E., Akt., sebesar Rp. 25. 000, - (dua puluh lima
ribu rupiah). Tergugat II berdalil bahwa yang sebenarnya terjadi adalah jual beli aspal
gelap antara Penggugat dan Tergugat I, namun karena Tergugat I tidak mampu
50
melaksanakan kewajiban pembayaran, maka Tergugat II dijadikan sebagai tumbal.
Tergugat II juga menyatakan bahwa kasus tersebut sudah diselesaikan di Kepolisian
Resort Purbalingga, namun tidak dilanjutkan karena Penggugat tidak dapat
membuktikan kesalahan Tergugat II. Tergugat II merasa dirugikan secara moral
maupun materiil, oleh karena itu Tergugat II mengajukan gugatan rekonvensi
bersamaan dengan jawaban gugatannya. Gugatan rekonvensi tersebut berisi
permintaan Penggugat Rekonvensi agar mendudukkan Penggugat Konvensi sebagai
Tergugat Rekonvensi, dan Tergugat I Konvensi sebagai Turut Tergugat Rekonvensi,
selain itu memohon agar Majelis Hakim mengabulkan tuntutan ganti rugi atas
rusaknya nama baik Penggugat Rekonvensi karena laporan Tergugat Rekonvensi
kepada Kepolisian Resort Purbalingga, yang akhirnya tidak dilanjutkan karena
kesalahan Penggugat Rekonvensi tidak bisa dibuktikan, sehingga timbul rasa malu,
serta jatuhnya harkat dan martabat Penggugat Rekonvensi. Ganti rugi moral yang
dituntut senilai Rp. 1. 000. 000. 000, - (satu milyar rupiah), ditambah ganti rugi
materiil untuk transportasi, biaya makan, dan kehilangan pendapatan berhari-hari
senilai Rp. 100. 000. 000, - (seratus juta rupiah).
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purbalingga yang memeriksa dan memutus
perkara tersebut memutuskan untuk menolak seluruh gugatan Penggugat Konvensi,
dengan pertimbangan bahwa penggugat tidak dapat membuktikan adanya hubungan
hukum antara Penggugat Konvensi dan Tergugat II Konvensi, selain itu alat-alat
buktipun memperkuat dalil-dalil Tergugat II konvensi. Dalam putusan tersebut,
51
Majelis Hakim juga menyatakan tidak dapat menerima gugatan rekonvensi dari
tergugat II Konvensi sebagai Penggugat Rekonvensi dengan pertimbangan hukum
bahwa dijadikannya Tergugat I Konvensi sebagai Turut Tergugat dalam gugatan
rekonvensi padahal antara Penggugat Rekonvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi
dalam gugatan awal (konvensi) sama-sama berkedudukan sebagai Tergugat
menyalahi prosedur beracara yang telah baku dan lazim di persidangan, karena
esensinya gugatan rekonvensi adalah gugat balas atas lawan berperkara. Putusan
Majelis Hakim tersebut berpedoman pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 636
K/Pdt/1984.
C. Pertimbangan Majelis Hakim
Menimbang, bahwa untuk ringkasnya putusan ini, maka dengan menunjuk
segala sesuatu yang termuat dalam berita acara sidang yang merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
TENTANG HUKUMNYA
A. DALAM KONVENSI
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat Konvensi adalah
sebagai mana yang telah diuraikan di atas;
I. DALAM EKSEPSI
Menimbang, bahwa Tergugat II Konvensi dalam jawabannya mengajukan
beberapa buah dalil eksepsi yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:
1. Bahwa gugatan Penggugat Konvensi harus ditolak karena tidak jelas dan
kabur. Bahwa gugatan Penggugat Konvensi a quo perihal cidera janji, namun
52
dalam fundamentum petendi sama sekali tidak nampak diuraikan adanya
perikatan baik yang lahir dari undang-undang maupun perjanjian antara
Tergugat II Konvensi dengan Penggugat Konvensi, sehingga tidak jelas hak
dan kewajiban masing-masing. Bahwa dalam gugatan cidera janji, di samping
harus jelas hubungan hukumnya, juga harus jelas hak dan kewajiban masing-
masing pihak antara debitur dan krediturnya;
2. Bahwa ternyata dalil-dalil dalam surat gugatan Penggugat Konvensi hanya
menunjukan adanya hubungan hukum antara Penggugat konvensi dengan
Tergugat I Konvensi sehingga penempatan Tergugat II Konvensi dalam
perkara a quo adalah berlebihan dan keliru (error in subjecto);
3. Bahwa syarat seseorang dinyatakan telah melakukan cidera janji apabila
dengan surat perintah atau akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, ……(eks.
Pasal 1238 KItab Undang-undang Hukum Perdata). Bahwa casu quo tidak
pernah ada ingebrekestelling kepada Tergugat II Konvensi, sehingga secara
hukum tidak mungkin ada perbuatan cidera janji dari Tergugat II Konvensi
terhadap Penggugat Konvensi;
4. Bahwa in casu penempatan Tergugat II Konvensi oleh Penggugat Konvensi
nampak ragu-ragu, hal ini sebagaimana terbaca pada petitum huruf b. Petitum
demikian adalah tidak lazim dan secara formal melanggar azas dalam sistem
hukum acara (perdata) dan menunjukkan keragu-raguan pihak Penggugat
Konvensi sehingga tidak dapat dikabulkan.
53
Menimbang, bahwa terhadap dalil-dalil eksepsi tersebut, Penggugat Konvensi
menanggapi melalui repliknya yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa Penggugat Konvensi dalam posita gugatannya telah menjelaskan jika
Penggugat Konvensi melalui Tergugat I Konvensi telah memasok aspal
kepada Tergugat II Konvensi, sehingga aspal tersebut adalah milik Penggugat
Konvensi, sedangkan Tergugat I Konvensi hanya sebagai perantara saja,
demikian pula dengan petitum gugatannya menerangkan hal yang sama,
sehingga gugatan ini tidak dapat dikualifisir tidak jelas dan kabur;
2. Bahwa gugatan Penggugat Konvensi telah menunjukkan hubungan hukum
para pihak, hal mana dengan adanya fakta bahwa yang menerima aspal-aspal
milik Penggugat Konvensi adalah Tergugat II Konvensi, sehingga
penempatan Tergugat II Konvensi dalam perkara a quo telah benar;
3. Bahwa terhadap dalil eksepsi angka 3 (tiga) Penggugat menolaknya karena
aspal-aspal tersebut adalah milik Penggugat Konvensi, sedangkan Tergugat I
Konvensi tidak punya kemampuan secara financial/modal untuk membeli
aspal-aspal tersebut, sehingga secara hukum Tergugat II Konvensi telah
melakukan cidera janji;
4. Bahwa tidak ada keraguan dari Penggugat Konvensi untuk menempatkan
Tergugat II Konvensi sebagai pihak dalam perkara a quo.
Menimbang, bahwa terhadap dalil-dalil eksepsi dan tanggapan tersebut di
atas, maka Majelis Hakim akan mempertimbangkannya sebagaimana pertimbangan-
pertimbangan di bawah ini:
54
Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim mencermati dalil-dalil eksepsi dari
Tergugat II Konvensi, maka dapat disimpulkan secara garis besar eksepsi-eksepsi
mana berkait mengenai pokok dalil/petitum gugatan Penggugat Konvensi yang
menurut Tergugat II Konvensi diformulasikan secara tidak jelas/kabur serta tentang
hubungan hukum yang terjadi antara Penggugat Konvensi dengan Tergugat II
Konvensi dalam perkara a quo.
Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim membaca serta mencermati secara
seksama isi dari gugatan, baik dari posita maupun petitumnya, maka Majelis dapat
menyimpulkan pokok sengketa dari perkara in casu adalah tentang cidera janji, di
mana dalam posita gugatannya pada pokoknya dinyatakan telah terjadi pembelian
aspal dari Penggugat Konvensi sebagai penjual dan Tergugat II Konvensi sebagai
pembeli dengan perantara Tergugat I Konvensi, akan tetapi ternyata Tergugat II
Konvensi telah cidera janji dengan tidak membayar seluruh uang pembelian aspal
tersebut, sehingga masih terdapat sebanyak enam puluh tiga (63) drum yang
pembayarannya belum dilunasi.
Menimbang, bahwa apakah dalil-dalil tersebut benar adanya sehingga
mendukung petitum gugatannya, maka Majelis berpendapat hal tersebut haruslah
melalui proses pembuktian sehingga telah masuk pada lingkup/domain pokok
perkara, karenanya eksepsi mana tidak beralasan.
Menimbang, bahwa demikian pula dengan eksepsi tentang hubungan hukum
antara para pihak yang berperkara khususnya hubungan Penggugat Konvensi dengan
Tergugat II Konvensi, menurut Majelis juga telah masuk atau merupakan pokok
55
perkara, oleh karena itu masih harus melalui proses pembuktian perkara dengan dasar
fakta-fakta yang terungkap di persidangan dengan mengacu pada alat-alat bukti yang
diajukan dan hubungan ini merupakan jalan masuk bagi Majelis dalam memeriksa
pokok sengketanya (cidera janji).
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dalil eksepsi
mana juga tidak berdasar untuk dikabulkan, sehingga berdasarkan pada seluruh
pertimbangan di atas, maka eksepsi dari Tergugat II Konvensi harus ditolak.
II. DALAM POKOK PERKARA
Menimbang, bahwa Penggugat Konvensi dalam gugatannya terdaftar tanggal
16 Agustus 2007 mendalilkan hal-hal yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:
1. Bahwa Penggugat Konvensi melalui Tergugat I Konvensi telah memasok
aspal yang dikemas dalam drum-drum sejak tanggal 7 Juli 2006 kepada
Tergugat II Konvensi;
2. Bahwa Tergugat II Konvensi hanya mengakui aspal yang dikirim seperti pada
posita nomor 2 di atas sebanyak tiga ratus sembilan belas (319) drum,
sedangkan yang sebenarnya menurut Penggugat Konvensi adalah tiga ratus
delapan puluh dua (382) drum;
3. Bahwa perbedaan tersebut menurut Tergugat I Konvensi karena pengiriman
aspal tanggal 7 Juli 2006 sebanyak enam (6) drum, tanggal 11 agustus 2006
sebanyak tujuh (7) drum dan tanggal 15 Agustus 2006 sebanyak lima puluh
(50) drum tidak diakui oleh Tergugat II Konvensi, padahal waktu itu diterima
oleh Tergugat II Konvensi dan ada saksi-saksinya;
56
4. Bahwa perhitungan tersebut tidak sesuai dengan perhitungan yang diterima
Penggugat Konvensi melalui Tergugat I Konvensi diketahui pada sekitar awal
bulan September 2006, yaitu ada selisih aspal sebanyak enam puluh tiga (63)
drum dengan total harga sebesar Rp. 45. 675. 000, - (empat puluh lima juta
enam ratus tujuh puluh lima ribu rupiah);
5. Bahwa akibatnya Penggugat Konvensi merasa sangat dirugikan oleh karena
ternyata sampai dengan sekarang Tergugat II Konvensi tidak melaksanakan
kewajibannya untuk melunasi hutangnya kepada Penggugat Konvensi baik
melalui Tergugat I Konvensi ataupun langsung kepada Penggugat, dengan
demikian para Tergugat Konvensi telah melakukan perbuatan cidera janji
dengan segala akibat hukumnya.
Menimbang, bahwa atas dalil gugatan tersebut, Tergugat I Konvensi dalam
jawabannya pada prinsipnya membenarkan hal tersebut, sedangkan Tergugat II
Konvensi membantahnya dengan mengemukakan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Bahwa jawaban dalam eksepsi sepanjang berkaitan dengan pokok perkara
mohon agar terbaca pula pada jawaban dalam pokok perkara;
2. Bahwa pada pokoknya Tergugat II Konvensi menolak seluruh dalil gugatan
penggugat karena Tergugat II Konvensi tidak pernah mempunyai hubungan
hukum apapun dengan Penggugat Konvensi dan tidak pernah membeli aspal
dari Penggugat Konvensi, kenalpun tidak, bagaimana mungkin Tergugat II
Konvensi dituduh melakukan cidera janji terhadap Penggugat Konvensi?;
57
3. Bahwa jika seandainya, quod non, benar Penggugat Konvensi pedagang aspal
dan kebetulan Tergugat I Konvensi selaku pembelinya belum membayar
lunas, maka hal tersebut adalah merupakan tanggung jawab dan urusan
Tergugat I Konvensi sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan Tergugat II
Konvensi, sehingga mendudukkan Tergugat II Konvensi selaku Tergugat
Konvensi dalam perkara quod non adalah keliru;
4. Bahwa Tergugat II Konvensi selaku kontraktor tidak pernah sekalipun
mendapat pasokan aspal dari Penggugat Konvensi, baik secara langsung
maupun melalui Tergugat I Konvensi. Selama Tergugat I Konvensi menjual
aspal kepada Tergugat II Konvensi, tidak pernah sekalipun disinggung bahwa
aspal yang ia jual adalah milik Penggugat Konvensi dan Tergugat I Konvensi
hanya sebagai perantara saja, juga tidak ada tanda-tanda atau petunjuk atau
indikasi bahwa aspal yang dijual Tergugat I Konvensi ke Tergugat II
Konvensi adalah milik Penggugat Konvensi. Demikian pula semua transaksi
dilakukan secara langsung antara pihak Tergugat II Konvensi dengan
Tergugat I Konvensi, tanpa melibatkan (keterlibatan) Penggugat Konvensi,
sehingga tidak ada kewajiban hukum dari Tergugat II Konvensi untuk
mengakui bahwa aspal yang dijual oleh Tergugat I Konvensi kepada Tergugat
II Konvensi adlah milik Penggugat Konvensi.
Menimbang, bahwa dari hal-hal tersebut di atas, maka didapat beberapa
permasalahan hukum antara para pihak, khususnya Penggugat Konvensi dengan
Tergugat II Konvensi, yang pada pokoknya adlah sebagai berikut:
58
1. Apakah benar terdapat hubungan hukum berupa jual beli aspal antara
Penggugat Konvensi dengan Tergugat II Konvensi melalui Tergugat I
Konvensi sebagai perantaranya;
2. Jika terdapat hubungan hukum, apakah benar telah terjadi cidera janji atas jual
beli aspal tersebut;
Menimbang, bahwa permasalahan-permasalan mana bersesuaian dengan apa
yang terurai dalam dalil eksepsi Tergugat II Konvensi yang oleh Majelis dalam
pertimbangan sebelumnya telah masuk pada ranah pokok perkara, sehingga akan
dipertimbangkan selanjutnya pada pertimbangan di bawah ini:
Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalil gugatannya tersebut, pihak
Penggugat mengajukan enam buah bukti surat bertanda P-1 sampai dengan P-6, serta
enam orang saksi, yaitu Achmad Safroni, Acis, Priyo Suharyadi, Eka Widayati,
Suchud dan Isno Wiyanto. Tergugat I Konvensi tidak mengajukan alat bukti
walaupun telah diberi kesempatan kepadanya, sedangkan Tergugat II Konvensi untuk
membuktikan sangkalannya telah mengajukan empat belas buah bukti surat bertanda
T. II-1 sampai dengan T. II-14 dan empat orang saksi, yaitu Akhmad Jakiman,
Suwitno, Suwarno dan Manis bin Madroji.
Menimbang, bahwa karena dalil gugatan Penggugat Konvensi tersebut
disangkal oleh Tergugat II Konvensi, maka menurut ketentuan Pasal 163 HIR, pihak
Penggugat Konvensi harus membuktikan terlebih dahulu akan dalil gugatannya.
Menimbang, bahwa sebelumnya Majelis akan mempertimbangkan peran dan
fungsi pengakuan Tergugat I Konvensi dalam jawabannya, bahwa pengakuan tersebut
59
tidak serta merta mengikat pada diri Tergugat II Konvensi, pengakuan tersebut hanya
mengikat secara mutlak/sempurna pada Tergugat I Konvensi saja, sedangkan
terhadap posisi Tergugat II Konvensi haruslah dibuktikan lebih lanjut oleh Penggugat
Konvensi, sebab jika konstruksi hukum pembuktian hanya disandarkan pada
pengakuan salah satu pihak saja yang walaupun mempunyai kapasitas yang sama
sebagai Tergugat, tapi mempunyai kualitas yang beda dalam permasalahan hukum
dan individunya, satu dan hal lain tersebut juga perlu diketengahkan agar dalam suatu
perkara tidak terjadi adanya “penyelundupan hukum.”
Menimbang, bahwa menurut Penggugat Konvensi dalam surat gugatannya
tertanggal 16 Agustus 2007 tersebut pada pokoknya mengajukan gugatan atas adanya
selisih pembayaran sebanyak enam puluh tiga (63) drum aspal yang belum dibayar
oleh Tergugat II Konvensi atas pembeliannya dari Penggugat Konvensi melalui
Tergugat I Konvensi pada tanggal 7 Juli 2006 sebanyak enam (6) drum, tanggal 11
Agustus 2006 sebanyak tujuh (7) drum dan tanggal 15 Agustus 2006 sebanyak lima
puluh (50) drum, dengan total harga sebesar Rp. 45. 675. 000, - (empat puluh lima
juta enam ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).
Menimbang, bahwa atas gugatan Penggugat Konvensi tersebut Tergugat II
Konvensi menyangkal dengan alasan tidak pernah ada pengiriman aspal dari
Penggugat Konvensi kepada Tergugat II Konvensi pada tanggal-tanggal tersebut, lagi
pula Tergugat II Konvensi merasa tidak pernah melakukan hubungan hukum apapun
dengan Penggugat Konvensi, apalagi membeli aspal.
60
Menimbang, bahwa bukti P-1 yang berupa rekapitulasi sisa uang aspal Pak
Yudi, menerangkan bahwa sisa uang pembayaran aspal Tergugat I Konvensi yang
ada pada Tergugat II Konvensi hanya sebesar Rp. 3. 085. 000, - (tiga juta delapan
puluh lima ribu rupiah) dari total pengiriman tiga ratus sembilan belas (319) drum
aspal, dengan demikian bukti P-1 tersebut justru membuktikan dalil sangkalan
Tergugat II Konvensi, yakni bahwa Tergugat II Konvensi hanya menerima aspal dari
Tergugat I Konvensi sebanyak tiga ratus sembilan belas (319) drum, bukan tiga ratus
delapan puluh dua (382) drum sebagaimana didalilkan Penggugat Konvensi lebih
lanjut bahwa bukti P-2 yang merupakan rekapitulasi aspal Pak Yudi DPUK
Purbalingga, menerangkan bahwa total pembelian aspal Tergugat II Konvensi dari
Tergugat I Konvensi hanya tiga ratus sembilan belas (319) drum aspal, bahwa dari
bukti P-2 tersebut terbukti tidak ada pembelian sebanyak enam (6) drum aspal pada
tanggal 7 Juli 2006 dan sebanyak tujuh (7) drum pada tanggal 11 Agustus 2006,
memang ada pembelian tanggal 15 agustus 2006 namun hanya sebanyak tujuh (7)
drum, bukan lima puluh (50) drum sebagaimana didalilkan Penggugat Konvensi,
dengan demikian bukti P-2 juga justru malah memperkuat dalil sangkalan Tergugat II
Konvensi.
Menimbang, bahwa bukti P-1 dan P-2 tersebut sama atau bersesuaian dengan
bukti Tergugat II Konvensi bertanda T. II-1 dan T. II-2, sehingga berdasarkan bukti
tersebut (T. II-1 dan T. II-2) maka Tergugat II Konvensi telah berhasil membuktikan
dalil bantahan/sangkalannya, yaitu bahwa tidak ada hubungan hukum jual beli aspal
antara Penggugat dengan Tergugat II Konvensi, bahwa total pembelian aspal
61
Tergugat II dari Tergugat I hanya sebanyak tiga ratus sembilan belas (319) drum dan
telah dibayar.
Menimbang, bahwa kemudian begitu pula setelah Majelis mencermati bukti-
bukti tertulis selain dan selebihnya P-3 sampai dengan P-6 sebagaimana yang
diajukan Penggugat Konvensi tersebut, ternyata tidak ada satupun surat bukti yang
menunjukkan adanya hubungan hukum jual beli aspal antara Penggugat Konvensi
dan Tergugat II Konvensi, apalagi membuktikan adanya selisih sebanyak enam puluh
tiga (63) drum aspal yang belum dibayar oleh Tergugat II Konvensi kepada
Penggugat Konvensi, bahkan bukti P-3 tersebut telah dibantah kebenarannya oleh
saksi Suwitno.
Menimbang, bahwa ternyata dari ke enam orang saksi yang diajukan oleh
Penggugat Konvensi tersebut, tidak seorangpun yang menerangkan secara tandas dan
gamblang tentang hubungan kerjasama jual beli aspal antara Penggugat Konvensi
dengan Tergugat II Konvensi, oleh karena saksi Akhmad Safroni hanya menerangkan
jika pernah mencoba akan menurunkan aspal sebanyak lima puluh (50) drum aspal di
daerah Babakan disaksikan Tergugat I Konvensi, saksi Acis menerangkan jika lima
puluh (50) drum aspal tersebut adalah kepunyaan Penggugat Konvensi yang disuplai
oleh Tergugat I Konvensi untuk Tergugat II Konvensi, akan tetapi hal tersebut hanya
bersifat de auditu tanpa dikuatkan bukti lain terlebih ternyata terbukti saksi tersebut
punya hubungan kerjasama dalam penyertaan modal dengan Tergugat I Konvensi,
saksi Priyo Suharyadi menerangkan pernah mengantar aspal ke depan rumah
Tergugat II Konvensi dan menyatakan jika ada perjanjian kerjasama antara
62
Penggugat Konvensi dengan Tergugat Konvensi akan tetapi terhadap perjanjian
tersebut saksi lupa, saksi Isno Wiyanto menerangkan jika pernah mengantar lima
puluh (50) drum aspal ke Babakan tempat Tergugat II Konvensi dan menyatakan jika
dalam nota surat antaran tertera jika aspal dari Penggugat ke Tergugat II Konvensi
dan yang menerimakan saat itu adalah Tergugat I Konvensi, akan tetapi notanya tidak
diajukan menjadi bukti, kesemua saksi di atas seragam menyebut jika tanggal
pengantaran aspal tersebut tanggal 15 Agustus 2006, sedangkan saksi selebihnya
pada pokoknya menerangkan jika Tergugat I Konvensi pernah mengantar aspal pada
Tergugat II Konvensi.
Menimbang, bahwa selanjutnya saksi Tergugat II Konvensi justru
memberikan keterangan yang kontradiktif dengan keterangan saksi-saksi Penggugat
Konvensi dengan menyatakan pengiriman lima puluh (50) drum aspal dimana saksi
Akhmad safroni tidak jadi bongkar adalah pada hari Jumat tanggal 1 September 2006
(saksi Akhmad Jakiman) sesuai pula dengan bukti P-2/T. II-1, selanjutnya ada juga
yang menyatakan jika hubungan kerjasama aspal adalah antara Tergugat I Konvensi
dengan Tergugat II Konvensi tanpa pernah melibatkan Penggugat Konvensi (saksi
Manis Bin Madroji).
Menimbang, bahwa dari seluruh pertimbangan-pertimbangan di atas, maka
didapati petunjuk adalah benar jika ada kerjasama penyediaan aspal antara Penggugat
Konvensi dengan Tergugat I Konvensi, selanjutnya ada pula kerjasama tentang
penyediaan aspal antara Tergugat I Konvensi dengan Tergugat II Konvensi, akan
tetapi Majelis tidak mendapatkan keyakinan yang cukup tentang adanya hubungan
63
kerjasama jual beli aspal antara Penggugat Konvensi dengan Tergugat II Konvensi,
oleh karena bukti-bukti tertulis tidak mendukung akan hal tersebut dan dibantah oleh
Tergugat II Konvensi melalui saksi-saksinya.
Menimbang, bahwa berdasarakan hal tersebut Majelis berpendapat penggugat
Konvensi tidak dapat membuktikan hubungan hukumnya berupa perjanjian jual beli
aspal dengan Tergugat II Konvensi, apalagi lebih jauh membuktikan akan cidera janji
Tergugat II Konvensi.
Menimbang, bahwa oleh karenanya adalah berdasar jika gugatan Penggugat
Konvensi ditolak untuk seluruhnya.
B. DALAM REKONVENSI
Menimbang, bahwa di samping mengajukan jawabannya atas gugatan
Penggugat Konvensi, Tergugat II Konvensi juga telah mengajukan gugatan
rekonvensi terhadap Pengguggat Konvensi dan Tergugat I Konvensi, sehingga dalam
gugatan rekonvensi ini kualitas Tergugat II Konvensi menjadi Penggugat Rekonvensi
sedangkan Penggugat Konvensi menjadi Tergugat Rekonvensi dan Tergugat I
Konvensi menjadi Turut Tergugat Rekonvensi.
Menimbang, segala sesuatu yang telah terurai dalam pertimbangan konvensi
secara mutatis mutandis diambil alih menjadi dasar pertimbangan dalam gugatan
rekonvensi ini.
64
I. DALAM EKSEPSI
Menimbang, bahwa dalam repliknya Tergugat Rekonvensi dan dalam
tanggapan Turut Tergugat Rekonvensi mengajukan eksepsi yang sama terhadap
gugatan rekonvensi tersebut yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:
1. Bahwa ditempatkannya Tergugat I Konvensi sebagai Turut Tergugat dalam
gugatan rekonvensi tidak dapat dibenarkan karena kedudukan awal mereka
dalam gugatan konvensi adalah sama-sama sebagai Tergugat, sehingga
berdasarkan hal tersebut di atas, maka beralasan hukum jika gugatan
rekonvensi tersebut ditolak;
2. Bahwa dalam positanya Turut Tergugat Rekonvensi banyak diuraikan akan
tetapi dalam petitumnya tidak dihukum untuk melakukan apapun, sehingga
antara posita dan petitum kontradiktif, hal mana berakibat gugatan mana
menjadi tidak jelas.
Menimbang, bahwa atas eksepsi tersebut Penggugat Rekonvensi mengajukan
tanggapannya yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa ditempatkannya Tergugat I Konvensi sebagai Turut Tergugat dalam
gugatan rekonvensi bukan merupakan pelanggaran terhadap ketentuan hukum
baik formil maupun substantif, sehingga secara formil telah memenuhi syarat
sebagai sebuah surat gugatan, yakni gugatan konvensi dengan rekonvensi,
juga hubungan pertautannya sangat erat sehingga penyelesaiannya dapat
dilakukan secara efektif dalam satu proses dan putusan sehingga merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari gugatan konvensi;
65
2. Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, maka beralasan hukum jika eksepsi
Tergugat Rekonvensi tersebut ditolak untuk seluruhnya.
Menimbang, bahwa atas eksepsi dan tanggapannya tersebut, Majelis
mempertimbangkan jika dijadikannya Turut Tergugat Rekonvensi sebagai pihak
dalam gugatan rekonvensi padahal antara Penggugat Rekonvensi dan Turut Tergugat
Rekonvensi dalam gugatan awal/konvensi berkedudukan sebagai Tergugat menyalahi
prosedur beracara yang telah baku dan lazim di persidangan, karena esensi gugatan
rekonvensi adalah gugat balas atas lawan berperkara, bukan atas pihak yang sama
kualitasnya dalam perkara perkara konvensinya, sehingga hal tersebut tidak
diperbolehkan (Vide: Putusan Mahkamah Agung No. 636 K/Pdt/1984).
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka eksepsi Tergugat
Rekonvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi beralasan untuk dikabulkan.
II. DALAM POKOK PERKARA
Menimbang, bahwa oleh karena eksepsi dari Tergugat Rekonvensi dan Turut
Tergugat Rekonvensi dikabulkan, maka terhadap pokok perkaranya tidak perlu
dibuktikan lebih lanjut dan gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
C. DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI
Menimbang, bahwa terhadap alat-alat bukti yang diajukan dalam perkara ini
akan tetapi tidak dipertimbangkan dalam pembuktian perkara, hal mana dikarenakan
alat bukti tersebut irrelevant dengan pembuktian perkara a quo.
Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Penggugat Konvensi/Tergugat
Rekonvensi dinyatakan ditolak untuk seluruhnya, maka Penggugat
66
Konvensi/Tergugat Rekonvensi dihukum untuk membayar ongkos perkara yang
timbul dalam perkara ini.
Mengingat akan ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan utamanya
Pasal 184 ayat (1) HIR dan peraturan lain yang berkaitan:
MENGADILI:
A. DALAM KONVENSI
I. DALAM EKSEPSI
Menolak eksepsi Tergugat II Konvensi;
II. DALAM POKOK PERKARA
Menolak gugatan Penggugat Konvensi untuk seluruhnya;
B. DALAM REKONVENSI
I. DALAM EKSEPSI
Mengabulkan eksepsi Tergugat Rekonvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi;
II. DALAM POKOK PERKARA
Menyatakan gugatan Penggugat Rekonvensi tidak dapat diterima;
C. DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI
Menghukum Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk membayar
biaya perkara ini sebesar Rp. 259. 000, - (dua ratus lima puluh sembilan ribu
rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam musyawarah Majelis Hakim pada hari Rabu
tanggal 6 Februari 2008, oleh kami: WAHYONO, S. H., sebagai Hakim Ketua
Majelis, dengan ALFON, S. H., M. H. dan KHOIRUMAN PANDU KESUMA
67
HARAHAP, S. H., masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan mana diucapkan
dalam sidang yang terbuka untuk umum pada hari Rabu tanggal 13 Februari 2008
oleh Majelis Hakim tersebut dengan dibantu oleh WINDARMONO sebagai Panitera
Pengganti dan dihadiri oleh Kuasa Penggugat serta dihadiri oleh Tergugat I dan
Tergugat II.
D. Pembahasan
1. Penerapan Hukum Gugatan Rekonvensi oleh Hakim dalam Putusan
Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg
Kasus posisi dalam Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg secara singkat
dimulai dari adanya gugatan dari Alwi Kiswanto terhadap ST. Yudianto dan Direksi
CV. Cipta Usaha ke Pengadilan Negeri Purbalingga perihal cidera janji dalam
pembayaran jual beli aspal. ST. Yudianto didudukkan sebagai Tergugat I Konvensi,
dan Direksi CV. Cipta Usaha sebagai Tergugat II Konvensi. Tergugat II konvensi
kemudian mengajukan gugatan rekonvensi dalam jawaban gugatannya, dan
mendudukkan Penggugat Konvensi sebagai Tergugat Rekonvensi serta Tergugat I
Konvensi sebagai Turut Tergugat Rekonvensi. Pada akhirnya gugatan konvensi
Penggugat dinyatakan ditolak seluruhnya oleh Majelis Hakim, sedangkan gugatan
rekonvensi yang diajukan Tergugat II Konvensi sebagai Penggugat Rekonvensi
dinyatakan tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim, dengan pertimbangan yang pada
intinya sebagai berikut:
1. Majelis mengabulkan eksepsi Tergugat Rekonvensi dan Turut Tergugat
Rekonvensi yang menyatakan bahwa ditempatkannya Tergugat I Konvensi
68
sebagai Turut Tergugat dalam gugatan rekonvensi tidak dapat dibenarkan
karena kedudukan awal mereka dalam gugatan konvensi adalah sama-sama
sebagai Tergugat. Majelis mempertimbangkan jika dijadikannya Turut
Tergugat Rekonvensi sebagai pihak dalam gugatan rekonvensi, padahal antara
Penggugat Rekonvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi dalam gugatan awal
(konvensi) berkedudukan sebagai Tergugat telah menyalahi prosedur beracara
yang telah baku dan lazim di persidangan karena esensi gugatan rekonvensi
adalah gugat balas atas lawan berperkara, bukan atas pihak yang sama
kualitasnya dalam perkara konvensinya sehingga hal tersebut tidak
diperbolehkan (Vide: Putusan Mahkamah Agung Nomor: 636 K/Pdt/1984);
2. Majelis mempertimbangkan bahwa dengan dikabulkannya eksepsi Tergugat
Rekonvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi maka pokok perkaranya tidak
perlu dibuktikan lebih lanjut dan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.
Sumber hukum mengenai gugatan rekonvensi dapat ditemui dalam Pasal 132
a dan b HIR, yaitu sebgai berikut:
Pasal 132 a HIR:
ayat (1)
“Tergugat berhak dalam tiap-tiap perkara memasukkan gugatan melawan
kecuali :
1. Kalau penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang
gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya;
2. Kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak
berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok
perselisihan;
3. Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan.”
ayat (2)
“Jikalau dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimajukan gugatan
melawan, maka dalam bandingan tidak dapat mengajukan gugatan itu.”
69
Pasal 132 b HIR, merumuskan:
ayat (1)
“Tergugat wajib memasukkan gugatan melawan bersama-sama dengan
jawabannya, baik dengan surat maupun dengan lisan;
ayat (2)
“Buat gugatan melawan itu berlaku peraturan dari bagian ini;”
ayat (3)
“Kedua perkara itu diselesaikan sekaligus dan diputuskan dalam satu
keputusan, kecuali kalau sekiranya pengadilan negeri berpendapat, bahwa
perkara yang pertama dapat lebih dahulu diselesaikan daripada yang kedua,
dalam hal mana demikian dapat dilakukan, tetapi gugatan mula-mula dan
gugatan melawan yang belum diputuskan itu masih tetap diperiksa oleh hakim
itu juga, sampai dijatuhkan keputusan terakhir;”
ayat (4)
“Bandingan diperbolehkan, jika banyaknya uang dalam gugatan tingkat
pertama ditambah dengan uang dalam gugatan melawan lebih daripada jumlah
uang yang sebanyak-banyaknya yang dapat diputuskan oleh pengadilan negeri
sebagai hakim yang tertinggi;”
ayat (5)
“Bila kedua perkara itu dibagi-bagi dan keputusan dijatuhkan berasing-asing,
maka haruslah dituruti aturan biasa tentang hak bandingan.”
Pasal 132 a dan b HIR hanya mengatur mengenai pengertian gugatan
rekonvensi, batas waktu pengajuan dan tata cara pengajuan serta pemeriksaannya di
Persidangan. Aturan tambahan mengenai gugatan rekonvensi terdapat dalam
beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung, antara lain Putusan Mahkamah Agung
Nomor 636 K/Pdt/1984 yang berisi putusan perkara di mana Tergugat I Konvensi
menarik Tergugat II Konvensi sebagai Tergugat Rekonvensi dan begitu juga
sebaliknya, Tergugat II Konvensi menarik Tergugat I Konvensi sebagai Tergugat
Rekonvensi. Majelis Hakim di Mahkamah Agung dalam putusan tersebut
berpendapat bahwa hal demikian tidak dibenarkan oleh hukum acara karena gugatan
rekonvensi hanya dapat diajukan pada Penggugat Konvensi, oleh karena itu gugatan
70
rekonvensi harus dinyatakan tidak dapat diterima. Yurisprudensi lain adalah Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1501 K/Pdt/1983 yang di dalamnya judex factie dianggap
salah menerapkan tata tertib beracara karena memperbolehkan gugatan rekonvensi di
samping ditujukan kepada Penggugat Konvensi, juga kepada Tergugat Konvensi
yang lain, yaitu Tergugat II, IV dan VI Konvensi. Kekeliruan yang terjadi tidak hanya
sampai di situ saja, bahkan Penggugat Rekonvensi telah menarik pihak ketiga yang
tidak ikut sebagai pihak dalam perkara menjadi Tergugat Rekonvensi. Tindakan
tersebut secara formil telah melampaui batas ruang lingkup gugatan rekonvensi, oleh
karena itu kekeliruan yang terjadi dalam kasus perkara tersebut harus diluruskan
dengan memberikan batasan, yaitu gugatan rekonvensi hanya dapat diajukan
Tergugat terhadap Penggugat Konvensi, sedang terhadap Tergugat Rekonvensi yang
lain harus dinyatakan tidak dapat diterima. Sekiranya Penggugat Rekonvensi
mempunyai hak atau tuntutan kepada mereka itu, harus menempuhnya melalui
gugatan perdata biasa, bukan dalam bentuk gugatan rekonvensi.
Sumber hukum mengenai gugatan rekonvensi sangat terbatas, sehingga
banyak diatur di luar undang-undang, salah satunya mengenai syarat pengajuan
gugatan rekonvensi yang diatur dalam doktrin. Syarat pengajuan gugatan rekonvensi
terdiri dari syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil berkenaan dengan
intensitas hubungan antara materi gugatan konvensi dengan rekonvensi, apakah
71
secara imperatif ada hubungan yang erat antara materi gugatan konvensi dengan
rekonvensi?44
1. Undang-undang Tidak Mengatur Syarat Materiil.
Undang-undang tidak mengatur hal itu. Tidak ada ketentuan mengenai syarat
materiil. Pasal 132 a HIR hanya berisi penegasan, bahwa:
a) Tergugat dalam setiap perkara berhak mengajukan gugatan rekonvensi;
b) Tidak disyaratkan antara keduanya mesti mempunyai hubungan yang erat
atau koneksitas yang substansial;
c) Oleh karena itu, yang menjadi syarat utama, apabila ada gugatan konvensi
yang diajukan kepada Tergugat, hukum memberi hak kepadanya untuk
mengajukan gugatan rekonvensi tanpa mempersoalkan ada atau tidaknya
koneksitas yang substansial antara keduanya.
2. Praktek Pengadilan Cenderung Mensyaratkan Koneksitas.
Meskipun undang-undang tidak mengatur syarat koneksitas antara gugatan
rekonvensi dengan konvensi, ternyata praktek peradilan cenderung menerapkannya.
Seolah-olah koneksitas merupakan syarat materiil gugatan rekonvensi, oleh karena itu
gugatan rekonvensi baru dianggap sah dan dapat diterima (admissible) untuk
diakumulasi dengan gugatan konvensi, apabila terpenuhi syarat sebagai berikut:
a) Terdapat faktor pertautan hubungan mengenai dasar hukum dan kejadian
yang relevan antara gugatan konvensi dengan rekonvensi;
44
M. Yahya, Harahap, Op. cit, halaman 474.
72
b) Hubungan pertautan itu harus sangat erat (innerlijke samen hangen),
sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan secara efektif dalam satu proses
dan putusan.
Jika penerapan ini diikuti, gugatan rekonvensi mesti merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari gugatan konvensi. Sikap yang berpendirian mesti ada faktor
koneksitas mempunyai alasan yang masuk akal karena salah satu tujuan pokok sistem
rekonvensi adalah untuk menyederhanakan proses serta sekaligus untuk menghemat
biaya dan waktu. Jika demikian halnya, membolehkan pengajuan gugatan rekonvensi
yang tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan gugatan konvensi, akan
menjauhkan proses penyelesaian ke arah yang bertentangan dengan tujuan tersebut,
sebab apabila gugatan rekonvensi jauh menyimpang dari konvensi, cara
penyelesaiannya memerlukan perlakuan khusus dan tersendiri sehingga besar
kemungkinan akan mengenyampingkan penyelesaian gugatan konvensi, oleh karena
itu agar tujuan yang diamanatkan sistem ini tidak menyimpang dari arah yang dicita-
citakan, sedapat mungkin gugatan rekonvensi mempunyai koneksitas yang
substansial dan relevan dengan gugatan konvensi. Prinsip ini tidak boleh mengurangi
hak Tergugat untuk mengajukan gugatan rekonvensi yang bersifat berdiri sendiri
yang benar-benar terlepas kaitannya dengan gugatan konvensi.
3. Sifat Asesor Rekonvensi Terhadap Putusan Konvensi.
Apakah memang gugatan rekonvensi asesor dengan konvensi? Pada dasarnya
tidak! Seperti yang sudah dijelaskan berulangkali, eksistensi gugatan rekonvensi tidak
tergantung pada gugatan konvensi. Rekonvensi pada dasarnya berdiri sendiri dan
73
dapat diajukan secara terpisah dalam proses penyelesaian yang berbeda, cuma secara
eksepsional hukum memberi hak kepada Tergugat untuk menggabungkannya ke
dalam gugatan konvensi.45
Pada dasarnya keberadaannya tidak asesor dengan gugatan
konvensi, namun demikian dalam praktek berkembang acuan tata tertib beracara yang
mengaitkan faktor-faktor, ada atau tidaknya hubungan yang erat antara gugatan
konvensi dengan rekonvensi.
a) Putusan rekonvensi asesor dengan putusan negatif konvensi apabila
terdapat koneksitas. Dalam hal terdapat hubungan erat atau koneksitas
antara gugatan konvensi dengan rekonvensi dan putusan yang dijatuhkan
kepada gugatan konvensi bersifat negatif dalam bentuk gugatan tidak dapat
diterima, atas alasan gugatan mengandung cacat formil (error in persona,
obscuur libel, tidak berwenang mengadili dan sebagainya) maka dalam
kasus seperti ini:
1) Putusan rekonvensi asesor mengikuti putusan konvensi;
2) Dengan demikian, karena putusan konvensi menyatakan gugatan tidak
dapat diterima, dengan sendirinya menurut hukum putusan rekonvensi
juga harus dinyatakan tidak dapat diterima.
b) Rekonvensi tidak asesor mengikuti putusan konvensi apabila antara
keduanya tidak ada koneksitas. Lain halnya jika gugatan rekonvensi tidak
mempunyai koneksitas dengan gugatan konvensi. Dalam kasus demikian,
karakter gugatan rekonvensi sebagai gugatan yang berdiri sendiri harus
45
Ibid, halaman 476.
74
dipertahankan, oleh karena itu sekiranya gugatan rekonvensi dinyatakan
tidak dapat diterima atas alasan cacat formil, gugatan rekonvensi tidak
tunduk mengikuti putusan itu. Materi gugatan rekonvensi tetap dapat
diperiksa dan diselesaikan meskipun gugatan konvensi dinyatakan tidak
dapat diterima apabila secara objektif tidak terdapat hubungan atau
koneksitas antara keduanya. Penerapan putusan tersebut ditegaskan dalam
putusan Mahkamah Agung No. 1057 K/ Sip/ 1973, yang menyatakan:
“karena gugatan dalam rekonvensi tidak didasarkan atas inti gugatan dalam
konvensi melainkan berdiri sendiri (terpisah), dengan tidak dapat
diterimanya gugatan dalam konvensi, tidak dengan sendirinya gugatan
dalam rekonvensi ikut tidak dapat diterima.”
Yahya harahap berpendapat bahwa jika gugatan rekonvensi tidak
berhubungan erat secara substansial dengan konvensi, materi pokok
gugatan rekonvensi dapat diperiksa dan diselesaikan, meskipun gugatan
konvensi dinyatakan tidak dapat diterima. Putusan di atas sekaligus berisi
penegasan atas kebolehan dan keabsahan gugatan rekonvensi walaupun
dalil pokoknya tidak mempunyai hubungan inti yang erat dengan gugatan
konvensi.46
Syarat formil gugatan rekonvensi menjadi kewajiban selain syarat materiil.
Supaya gugatan sah, selain harus dipenuhinya syarat formil gugatan yang bersifat
umum, terdapat pula syarat formil yang bersifat khusus, seperti dijelaskan berikut ini:
1) Gugatan Rekonvensi Diformulasi Secara Tegas.
46
Ibid, halaman 478.
75
Gugatan rekonvensi harus jelas keberadaannya. Mesti diformulasikan atau
diterangkan tergugat dalam jawaban sebagaimana ditegaskan dalam Putusan
Mahkamah Agung No. 330 K/ Pdt/ 1986. HIR tidak tegas menentukan dan mengatur
syarat gugatan rekonvensi, namun agar gugatan itu dianggap ada dan sah, ia harus
dirumuskan secara jelas dalam jawaban. Tujuannya agar pihak lawan dapat
mengetahui dan mengerti tentang adanya gugatan rekonvensi yang diajukan Tergugat
kepadanya. Bentuk pengajuan boleh secara lisan, tetapi lebih baik dengan tulisan.
Bentuk-bentuk yang mana saja boleh dipilih Tergugat, akan tetapi apapun bentuknya,
yang penting diperhatikan adalah gugatan rekonvensi mesti memenuhi syarat formil
gugatan:
a) Menyebut dengan tegas subjek yang ditarik sebagai tergugat rekonvensi;
b) Merumuskan dengan jelas posita atau dalil gugatan rekonvensi, berupa
penegasan dasar hukum (rechtsgrond) dan dasar peristiwa (fijteljkegrond)
yang melandasi gugatan;
c) Menyebut dengan rinci petitum gugatan.
Berdasarkan penjelasan di atas, apabila unsur-unsur di atas tidak dipenuhi,
gugatan rekonvensi dianggap tidak memenuhi syarat dan harus dinyatakan tidak
dapat diterima, oleh karena itu selain eksistensi gugatan rekonvensi mesti tegas
disebut dalam jawaban, mesti disebut dengan tegas pada pihak yang ditarik sebagai
Tergugat, terang dalil yang dirumuskan, serta rinci satu persatu petitumnya.
Sehubungan dengan itu, menurut Putusan Mahkamah Agung No. 1154 K/Sip/1973,
gugatan rekonvensi yang tidak memenuhi unsur syarat formil gugatan, dianggap
76
bukan merupakan gugatan rekonvensi yang sungguh-sungguh dan dalam hal
demikian dianggap tidak ada gugatan rekonvensi. Konstruksi ini seolah-olah ada
gugatan rekonvensi pada hal tersebut tidak tegas dinyatakan dalam jawaban Tergugat
atau apabila unsur yang disyaratkan tidak terpenuhi tidak dapat dibenarkan, misalnya
Tergugat menegaskan dalam jawaban mengajukan gugatan rekonvensi tetapi tidak
dibarengi dengan petitum gugatan. Dalam kasus ini, meskipun gugatan itu
merumuskan dalil, gugatan rekonvensi dianggap tidak sah, apabila dalil itu tidak
dibarengi petitum gugatan.47
2) Pihak Yang Dianggap Ditarik Sebagai Tergugat Rekonvensi, Hanya Terbatas
Penggugat Konvensi.
Seperti dikemukakan di atas, supaya gugatan rekonvensi memenuhi syarat
formil, dalam gugatan mesti disebut dengan jelas subjek atau orang yang ditarik
sebagai Tergugat Rekonvensi.
a) Pihak Yang Dapat Ditarik Sebagai Tergugat.
Sesuai dengan pengertian gugatan rekonvensi, yaitu gugatan balik yang
diajukan tergugat menantang gugatan Penggugat maka sejalan dengan itu, subjek
yang ditarik sebagai Tergugat rekonvensi adalah Penggugat Konvensi. Hal ini mesti
ditegaskan dalam gugatan, agar terpenuhi syarat formil seperti yang dinyatakan dalam
Putusan Mahkamah Agung No. 2152/Pdt/1983, gugatan rekonvensi bertujuan untuk
melawan gugatan konvensi. Tidak ada kewajiban bagi Tergugat mengajukan gugatan
rekonvensi, karena pada dasarnya gugatan rekonvensi adalah hak yang diberi undang-
47
Ibid, halaman 479.
77
undang kepada Tergugat, dengan demikian, oleh karena gugatan rekonvensi
merupakan hak yang diberikan kepada Tergugat melawan konvensi maka pihak yang
dapat ditarik sebagai Tergugat, hanya Penggugat Konvensi.
b) Tidak Mesti Menarik Semua Penggugat Konvensi.
Sekiranya Penggugat Konvensi terdiri dari beberapa orang, tidak mesti
semuanya ditarik sebagai Tergugat Rekonvensi, bisa beberapa orang atau satu orang
saja, tergantung pada kondisi gugatan rekonvensi itu. Pedoman yang dapat dipegang
mengenai hal itu adalah sebagai berikut:
a. Sebaiknya seluruh Penggugat Konvensi ditarik sebagai Tergugat
Rekonvensi apabila gugatan rekonvensi erat kaitannya dengan gugatan
konvensi. Penerapan ini sangat efektif menghindari terjadinya cacat
formil gugatan rekonvensi yang berbentuk plurium litis consortium, yaitu
kurangnya pihak yang ditarik sebagai Tergugat;
b. Tidak perlu menarik semua Penggugat Konvensi sebagai Tergugat
Rekonvensi apabila gugatan rekonvensi tidak mempunyai koneksitas
dengan gugatan konvensi, cukup satu atau beberapa orang yang benar-
benar secara objektif tersangkut dengan materi gugatan rekonvensi.
Seperti dijelaskan di atas, undang-undang dan yurisprudensi
membenarkan pengajuan gugatan rekonvensi yang berdiri sendiri tanpa
mempunyai kaitan inti dengan gugatan konvensi. Sehubungan dengan itu,
jika gugatan rekonvensi yang diajukan hanya bersangkut-paut dengan
satu atau beberapa orang saja, tidak ada urgensinya menarik Penggugat
78
Konvensi lain yang tidak ada hubungan hukumnya dengan gugatan
rekonvensi tersebut.
c) Dilarang Menarik Sesama Tergugat Konvensi Menjadi Tergugat
Rekonvensi.
Di atas telah dijelaskan, bahwa yang dapat ditarik sebagai Tergugat
Rekonvensi hanya terbatas pada diri Penggugat Konvensi. Dilarang dan tidak
dibenarkan menarik sesama Tergugat Konvensi menjadi Tergugat Rekonvensi.
Larangan itu dengan tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 636
K/Pdt/1984. Dalam gugatan rekonvensi, Tergugat I Konvensi menarik dan
mengajukan gugatan rekonvensi kepada Tergugat II Konvensi. Demikian juga
sebaliknya, Tergugat II Konvensi menarik dan mengajukan gugatan rekonvensi
kepada Tergugat I Konvensi. Menurut Mahkamah Agung, cara yang demikian tidak
dibenarkan hukum acara, sebab gugatan rekonvensi hanya dapat diajukan kepada
Penggugat Konvensi yang menempatkannya dalam kedudukan sebagai Tergugat
Rekonvensi, oleh karena itu dalam kasus ini, Tergugat I Konvensi harus dikeluarkan
sebagai pihak Tergugat dari gugatan rekonvensi yang diajukan Tergugat II Konvensi
serta berbarengan dengan itu, menyatakan gugatan rekonvensi kepada mereka tidak
dapat diterima, dengan demikian yang tinggal tetap sebagai Tergugat Rekonvensi,
hanya Penggugat Konvensi. Larangan yang sama dijumpai dalam putusan Mahkamah
Agung Nomor 1501 K/Pdt/1983. Dalam kasus tersebut judex factie dianggap salah
menerapkan tata tertib beracara karena memperbolehkan gugatan rekonvensi di
samping ditujukan kepada Penggugat Konvensi, juga kepada Tergugat Konvensi
79
yang lain, yaitu Tergugat II, IV dan VI Konvensi. Kekeliruan yang terjadi tidak hanya
sampai di situ saja, bahkan Penggugat Rekonvensi telah menarik pihak ketiga yang
tidak ikut sebagai pihak dalam perkara menjadi Tergugat Rekonvensi. Tindakan
tersebut secara formil telah melampaui batas ruang lingkup gugatan rekonvensi, oleh
karena itu kekeliruan yang terjadi dalam kasus perkara tersebut harus diluruskan
dengan memberikan batasan, yaitu gugatan rekonvensi hanya dapat diajukan
Tergugat terhadap Penggugat Konvensi, sedang terhadap Tergugat Konvensi yang
lain harus dinyatakan tidak dapat diterima. Sekiranya Penggugat Rekonvensi
mempunyai hak atau tuntutan kepada mereka itu, harus menempuhnya melalui
gugatan perdata biasa, bukan dalam bentuk gugatan rekonvensi. Tindakan
penyelesaian apa yang dapat dilakukan apabila tergugat konvensi ditarik sebagai
tergugat rekonvensi? Sebagai pedoman dapat dirujuk Putusan Mahkamah Agung
Nomor 3227 K/Pdt/1987 yang menyatakan gugatan rekonvensi yang diajukan
Tergugat Konvensi terhadap mereka yang berkedudukan sebagai Tergugat Konvensi,
tidak dibenarkan hukum acara, oleh karena itu gugatan rekonvensi terhadap mereka
dinyatakan tidak dapat diterima.
3) Gugatan Rekonvensi Diajukan Bersama-sama Dengan Jawaban.
Syarat formil yang lain, diatur dalam Pasal 132 b ayat (1) HIR yang berbunyi:
“Tergugat wajib mengajukan gugatan melawan bersama-sama dengan
jawabannya baik dengan surat maupun dengan lisan.”
Saat mengajukan gugatan rekonvensi merupakan syarat imperatif. Di
dalamnya terdapat perkataan wajib diajukan bersama-sama dengan jawaban. Tidak
80
diajukannya gugatan rekonvensi bersama-sama dengan jawaban mengakibatkan
gugatan rekonvensi tidak memenuhi syarat formil yang mengakibatkan gugatan itu
tidak sah dan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Timbul masalah, yaitu apa yang
dimaksud dengan “jawaban” dalam pasal tersebut? Apakah makna “jawaban” yang
dikemukakan dalam pasal itu sama dengan jawaban pertama atau menjangkau juga
jawaban dalam bentuk duplik? Oleh karena kata jawaban yang tersurat dalam pasal
itu mengandung makna luas (broad term), telah muncul penafsiran yang berbeda
dalam praktek. Sebagian memahaminya secara sempit dan ada pula yang
menafsirkannya secara elastis.
a. Penafsiran Sempit
Pendapat yang beraliran sempit, menafsirkan perkataan “jawaban” bermakna
jawaban pertama. Menurut pendapat ini, agar gugatan rekonvensi memenuhi syarat
formil, wajib diajukan bersama-sama dengan jawaban pertama. Pendapat tersebut
ditafsirkan dari bunyi Pasal 132 b ayat (1) HIR. Makna “jawaban” dalam kalimat
wajib diajukan bersama-sama dengan jawaban adalah jawaban pertama berdasarkan
alasan berikut ini:
1. Membolehkan atau memberi kebebasan bagi Tergugat mengajukan gugatan
rekonvensi di luar jawaban pertama dapat menimbulkan kerugian bagi
Penggugat dalam membela hak dan kepentingannya;
2. Selain itu, membolehkan Tergugat mengajukan gugatan rekonvensi
melampaui jawaban pertama dapat menimbulkan ketidaklancaran
pemeriksaan dan penyelesaian perkara;
81
3. Rasio yang terkandung dalam pembatasan pengajuan mesti pada jawaban
pertama yaitu agar Tergugat tidak sewenang-wenang dalam mempergunakan
haknya untuk mengajukan gugatan rekonvensi.
Alasan-alasan tersebut yang mendasari pendapat Subekti, bahwa gugatan
rekonvensi yang dapat diajukan sewaktu-waktu sampai tahap pemeriksaan saksi
dimulai hanya dapat dibenarkan dalam proses secara lisan, tetapi tidak dalam proses
secara tertulis. Dalam praktek, terdapat Putusan Mahkamah Agung yang mendukung
pendapat yang sempit ini. Tanpa mengurangi kemungkinan putusan ini sebagai
sempalan, dapat dikemukakan salah satu diantaranya yaitu Putusan Mahkamah
Agung Nomor 346 K/Sip/1975. Dikatakan, gugatan rekonvensi baru diajukan
Tergugat pada jawaban tertulis kedua, oleh karena itu gugatan rekonvensi tersebut
adalah terlambat. Menurut putusan tersebut dianggap melampaui batas waktu
pengajuan sehingga tidak memenuhi syarat formil dan harus dinyatakan tidak dapat
diterima. Pendirian sempit ini terlalu formalistis dan tidak sejalan dengan asas
peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Pendirian sempit ini kurang bernuansa
mencapai penegakan hukum berdasarkan moral justice tetapi lebih mengedepankan
penegakan legal justice.48
b. Penafsiran Luas
Pendapat yang lebih toleran memberi batasan pengajuan gugatan rekonvensi
sampai tahap proses pemeriksaan pembuktian. Pengajuan tidak mesti bersama-sama
dengan “jawaban pertama”, tetapi dibenarkan sampai proses memasuki tahap
48
Ibid, halaman 482.
82
pembuktian, dengan demikian gugatan rekonvensi tidak mutlak diajukan pada
jawaban pertama, tetapi dimungkinkan pada pengajuan duplik. Pendapat tersebut
merujuk kepada ketentuan Pasal 132 b ayat (1) HIR itu sendiri. Di dalamnya tidak
dijumpai kata atau kalimat yang tegas bahwa yang dimaksud dengan jawaban adalah
“jawaban” pertama. Kalimatnya hanya menyebut bersama-sama dengan jawaban,
dengan demikian ditinjau dari tata tertib beracara dan teknis yustisial, gugatan
rekonvensi tetap terbuka diajukan selama proses pemeriksaan masih dalam tahap
jawab-menjawab. Pada dasarnya yang menjadi syarat ialah rekonvensi diajukan
bersama-sama dengan jawaban. Boleh pada jawaban pertama, boleh juga pada
jawaban duplik terhadap replik Penggugat. Pembatasan tersebut dianggap realistis,
pada tahap itu masih terbuka kesempatan bagi Penggugat Konvensi untuk membela
kepentingannya dengan syarat apabila gugatan rekonvensi diajukan tergugat pada
duplik terhadap replik, kepada Penggugat Konvensi harus diberi hak untuk
mengajukan replik sekali lagi guna menanggapi gugatan rekonvensi dimaksud,
sehingga apabila tahap itu dilampaui, pengajuan rekonvensi tidak sah dan harus
dinyatakan tidak dapat diterima. Putusan-putusan Pengadilan lebih cenderung
menerapkan pendapat yang luas, antara lain putusan Mahkamah Agung Nomot 239
K/Sip/1968. Menurut putusan tersebut, gugatan rekonvensi dapat diajukan selama
proses jawab-menjawab berlangsung karena Pasal 158 R. Bg (Pasal 132 b ayat (1)
HIR) hanya menyebut jawaban, sedangkan duplik dan replik juga merupakan
jawaban meskipun bukan jawaban pertama. Pendapat yang dikemukakan di atas
sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 642 K/Sip/1972 yang
83
dikemukakan terdahulu, bahwa batas pengajuan gugatan rekonvensi masih terbuka
sampai dimasukinya tahap proses pemeriksaan saksi. Pembatasan yang demikian
disepakati oleh Prof. Sudikno Mertokusumo, yaitu apabila proses pemeriksaan telah
memasuki tahap pembuktian, Tergugat tidak dibenarkan mengajukan gugatan
rekonvensi. 49
Syarat pengajuan gugatan rekonvensi menjadi hal yang harus dipenuhi
sebelum gugatan rekonvensi mulai diperiksa di persidangan. Sistem atau proses
pemeriksaan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi diatur dalam Pasal 132 b
ayat (3) dan ayat (5) HIR. Pasal 132 b ayat (3) HIR merumuskan:
“Kedua perkara itu diselesaikan sekaligus dan diputuskan dalam satu
keputusan, kecuali kalau sekiranya pengadilan negeri berpendapat, bahwa
perkara yang pertama dapat lebih dahulu diselesaikan daripada yang kedua,
dalam hal mana demikian dapat dilakukan, tetapi gugatan mula-mula dan
gugatan melawan yang belum diputuskan itu masih tetap diperiksa oleh hakim
itu juga, sampai dijatuhkan keputusan terakhir.”
Pasal 132 b ayat (5) merumuskan:
“Bila kedua perkara itu dibagi-bagi dan keputusan dijatuhkan berasing-asing,
maka haruslah dituruti aturan biasa tentang hak bandingan.”
Perihal gugatan rekonvensi, apabila ketentuan Pasal 132 b ayat (3)
dihubungkan dengan Pasal 132 b ayat (5), maka terdapat dua sistem penyelesaian
yang dapat ditempuh Pengadilan Negeri, yaitu sebagai berikut:
1. Konvensi dan rekonvensi diperiksa serta diputus sekaligus dalam satu
putusan. Sistem ini merupakan aturan umum (general rule) yang
49
Ibid, halaman 484.
84
menggariskan proses pemeriksaan dan penyelesaian gugatan konvensi dan
rekonvensi:
1) Dilakukan secara bersama dan serentak dalam suatu proses pemeriksaan,
sesuai dengan tata tertib beracara yang digariskan undang-undang, oleh
karena itu:
a) Terbuka hak mengajukan eksepsi pada konvensi maupun
rekonvensi;
b) Mengajukan replik dan duplik pada konvensi maupun rekonvensi;
c) Mengajukan pembuktian baik untuk konvensi dan rekonvensi;
d) Menyampaikan konklusi dalam konvensi dan rekonvensi;
e) Proses pemeriksaan dituangkan dalam suatu berita acara yang sama.
2) Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara bersamaan dan serentak
dalam satu putusan, dengan sistematika:
a. Menempatkan uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi:
a) Dalil gugatan konvensi;
b) Petitum gugatan konvensi;
c) Uraian pertimbangan konvensi;
d) Kesimpulan hukum gugatan konvensi.
b. Menyusul kemudian, uraian gugatan rekonvensi, meliputi hal-hal
yang sama dengan substansi gugatan konvensi,
c. Amar putusan sebagai bagian terakhir,
Amar putusan merupakan bagian terakhir, terdiri dari amar putusan:
85
a) Dalam konvensi;
b) Dalam rekonvensi.
Penerapan sistem yang demikian sesuai dengan penyelesaian setiap perkara
kumulasi, oleh karena itu harus diselesaikan serentak dalam satu proses
pemeriksaan yang sama dan dituangkan pula dalam satu putusan yang sama di
bawah nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan pada
waktu dan hari yang sama.50
2. Konvensi dan rekonvensi boleh dilakukan pemeriksaan secara terpisah. Pasal
132 b ayat (3) HIR selain mengatur mengenai tata cara pemeriksaan konvensi
dan rekonvensi secara serentak dan bersamaan, juga mengatur pengecualian,
yaitu berupa sistem pemeriksaan dan penyelesaian secara terpisah dengan
acuan penerapan:
a. Diperiksa secara terpisah tetapi dijatuhkan dalam satu putusan. Apabila
antara konvensi dan rekonvensi benar tidak mengandung koneksitas,
sehingga diperlukan perlakuan pemeriksaan yang sangat berbeda dan
berlainan:
1) Boleh dilakukan pemeriksaan yang terpisah antara konvensi dan
rekonvensi;
2) Masing-masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sidang
yang berlainan;
3) Cara proses pembuktian:
50
Ibid, halaman 494.
86
a) Proses pemeriksaan gugatan konvensi dituntaskan terlebih dahulu,
namun penjatuhan putusan sampai selesai pemeriksaan gugatan
rekonvensi;
b) Baru menyusul penyelesaian gugatan rekonvensi.
Proses pemeriksaan konvensi dan rekonvensi dapat dilakukan secara terpisah
dan berdiri sendiri, namun tetap pada penyelesaian akhir haruslah mengikuti
tata cara berikut ini:
1. Dijatuhkan dalam satu putusan dengan nomor register perkara yang
sama;
2. Diucapkan dalam waktu dan hari yang sama.
b. Diperiksa secara terpisah dan diputus dalam putusan yang berbeda. Tidak
hanya proses pemeriksaan yang terpisah, tetapi juga putusan yang
dijatuhkan pun dituangkan pada masing-masing putusan yang tersendiri
sehingga terdapat dua putusan yang benar-benar berdiri sendiri, dengan
demikian, meskipun secara teknis yustisial nomor registernya sama dengan
kode konvensi dan rekonvensi, terdapat dua putusan yang terdiri dari:
1) Putusan konvensi;
2) Putusan rekonvensi.
Sistem penyelesaian yang ditempuh menurut cara ini mengandung
konsekuensi, yaitu upaya banding terhadap kedua putusan ini harus
mengacu kepada ketentuan Pasal 132 b ayat (5) HIR:
87
1. Masing-masing Penggugat Konvensi dan Rekonvensi dapat
mengajukan banding terhadap putusan yang bersangkutan;
2. Tenggang waktu banding untuk masing-masing tunduk kepada
ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947
tentang Pengadilan Peradilan Ulangan, yaitu empat belas (14) hari dari
tanggal putusan dijatuhkan atau empat belas (14) hari dari tanggal
putusan diberitahukan.
Mengenai dasar alasan kebolehan melakukan pemeriksaan secara terpisah
antara konvensi dan rekonvensi, tidak dijelaskan dalam undang-undang sepenuhnya
diserahkan pada penilaian pertimbangan hakim. Alasan yang dianggap rasional dan
objektif, yaitu apabila diantara keduanya tidak terdapat koneksitas yang erat sehingga
penyelesaiannya memerlukan penanganan yang terpisah.51
Pada proses pemeriksaan gugatan rekonvensi tidak dikenal istilah Turut
Tergugat Rekonvensi. Turut Tergugat mempunyai pengertian sebagai orang-orang
atau pihak-pihak yang tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu, namun demi
lengkapnya suatu gugatan maka harus diikutsertakan dalam perkara, jadi kedudukan
turut tergugat bukanlah sebagai sasaran utama akan tetapi hanya sebagai penguat
kedudukan si Tergugat.52 Dalam praktek istilah Turut Tergugat dipergunakan bagi
orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk
melakukan sesuatu, namun hanya demi lengkapnya suatu gugatan harus
51
Ibid, halaman 495. 52
Retnowulan, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2009,
halaman 12.
88
diikutsertakan (Putusan Mahkamah Agung No. 663 K/Sip/1971). Mereka dalam
petitum hanya sekedar dimohonkan agar tunduk dan taat terhadap putusan hakim.
Istilah Turut Tergugat Rekonvensi tidak dikenal dalam hukum acara perdata karena
pada esensinya gugatan rekonvensi merupakan gugat balas yang terbatas pada lawan
berperkara saja, sehingga yang dikenal hanya istilah Penggugat Rekonvensi dan
Tergugat Rekonvensi.
Pada Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg, Majelis Hakim
mempertimbangkan, bahwa tindakan Penggugat Rekonvensi yang mendudukkan
Tergugat I Konvensi sebagai Turut Tergugat Rekonvensi telah menyalahi aturan
hukum acara yang baku dan lazim karena Penggugat Rekonvensi dan Turut Tergugat
Rekonvensi mempunyai kualitas yang sama dalam perkara konvensi, yaitu sama-
sama sebagai Tergugat Konvensi, oleh karena itu gugatan rekonvensi harus
dinyatakan tidak dapat diterima. Sumber hukum yang dijadikan dasar pertimbangan
Majelis Hakim tersebut adalah sebuah yurisprudensi, yaitu Putusan Mahkamah
Agung Nomor 636 K/Pdt/1984.
Perihal pemilihan Putusan Mahkamah Agung Nomor 636 K/Pdt/1984 sebagai
sumber hukum dalam pertimbangan putusan sudah benar, namun akan lebih tepat
apabila Majelis Hakim menggunakan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1501
K/Pdt/1983 sebagai sumber hukum di dalam pertimbangannya karena kasus posisi
dalam Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg sedikit berbeda dengan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 636 K/Pdt/1984. Kasus posisi dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 636 K/Pdt/1984 tidak menyebutkan Penggugat Rekonvensi
89
mengajukan gugat balik terhadap Penggugat Konvensi sebagai lawan berperkara,
tetapi hanya menjelaskan perihal saling gugat menggugat antara Tergugat I Konvensi
dan Tergugat II Konvensi dalam perkara rekonvensi, dimana Tergugat I Konvensi
mendudukkan Tergugat II Konvensi sebagai Tergugat Rekonvensi dalam gugatan
rekonvensinya, begitu juga sebaliknya, dalam gugatan rekonvensinya Tergugat II
Konvensi mendudukkan Tergugat I Konvensi sebagai Tergugat Rekonvensi,
sementara Penggugat Konvensi sebagai lawan berperkara di dalam gugatan konvensi
sama sekali tdak ditarik sebagai Tergugat Rekonvensi oleh keduanya.
Berdasarkan kasus posisinya, sumber hukum yang lebih tepat digunakan
sebagai dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 17/Pdt.
G/2007/PN. Pbg adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 1501 K/Pdt/1983 karena
keduanya mempunyai kemiripan yang lebih dibandingkan dengan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 636 K/Pdt/1984. Kemiripan tersebut dikarenakan pada
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1501 K/Pdt/1983, gugatan rekonvensi ditujukan
kepada Penggugat Konvensi, Tergugat II, IV dan VI Konvensi, lebih jauh lagi
Penggugat Rekonvensi menarik pihak ketiga yang tidak ada sangkut pautnya dengan
perkara konvensi sebagai Tergugat Rekonvensi. Penarikan Penggugat Konvensi
sebagai Tergugat Rekonvensi tidak ditemui dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
636 K/Pdt/1984, namun penarikan yang demikian terjadi pada Putusan Nomor
17/Pdt. G/2007/PN. Pbg, oleh karena itu kasus posisi pada putusan Pengadilan Negeri
tersebut lebih menyerupai perkara yang terjadi pada Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1501 K/Pdt/1983.
90
Kekuatan hukum sebuah yurisprudensi sebagai dasar pertimbangan pada
putusan Majelis Hakim cukup kuat, karena merupakan bagian dari sumber hukum
formil. Istilah yurisprudensi sendiri berasal dari bahasa latin, yaitu jurisprudentia
yang berarti pengetahuan hukum (rechts geleerheid). Sumber hukum formil mengacu
kepada suatu rumusan peraturan yang memiliki bentuk tertentu, sebagai dasar
berlaku, sehingga ditaati, mengikat para hakim dan penegak hukum.53
Sumber hukum
formil, menurut Drs. C. S. T. Kansil terdiri dari 5 hal:
1. Undang-undang (statute);
2. Kebiasaan (custom);
3. Keputusan-keputusan Hakim (juris prudentie);
4. Traktat (treaty);
5. Pendapat Para Sarjana (doctrine)54
.
Yurisprudensi dalam sistem hukum di Indonesia memiliki pengertian sebagai
putusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar putusan oleh hakim
kemudian mengenai masalah yang sama. Yurisprudensi digunakan hakim dalam
memberi putusan penyaksian perselisihan suatu masalah dalam hal tidak ada
peraturan perundang-undangannya55
. Yurisprudensi memiliki dasar hukum yang
cukup kuat dan berjalan cukup lama, untuk itu Kansil mempunyai pendapat bahwa
Adapun yang merupakan peraturan pokok yang pertama pada zaman Hindia Belanda
dahulu ialah Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia yang disingkat A.
53
Sudarsono, Op. cit, halaman 79. 54
Ibid, halaman 82. 55
Ibid, halaman 86.
91
B. (Ketentuan-ketentuan umum tentang Peraturan Perundangan untuk Indonesia). A.
B. ini dikeluarkan pada tanggal 30 april 1847 yang termuat dalam Staattsblad 1847
Nomor 23 dan hingga saat ini masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan
Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan: “Segala badan Negara dan peraturan
yang ada masih langsung berlaku selama hakim belum diadakan yang baru menurut
Undang-undang Dasar ini”. Menurut Pasal 22 A. B.: “de regter, die weigert regt te
sipreken onder voorswendsel van stilwijgen, duisterheid der wetkan uit hoofed van
rechtswijgering vervogd worden”, yang mengandung arti, “Hakim yang menolak
untuk menyelesaiakan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka
ia dapat dituntut dihukum karena menolak mengadili”. Dari ketentuan Pasal 22 A. B.
ini, jelaslah, bahwa seorang hakim mempunyai hak membuat peraturan sendiri untuk
menyelesaikan suatu perkara, sehingga apabila undang-undang ataupun kebiasaan
tidak memberi peraturan yang dapat dipakainya untuk menyelesaikan perkara itu,
maka hakim haruslah membuat peraturan sendiri. Putusan hakim inilah yang
berisikan suatu peraturan sendiri berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Pasal 22
A. B. menjadilah dasar putusan hakim lainnya (hakim kemudian) untuk mengadili
perkara yang serupa dan putusan hakim tersebut lalu menjadi sumber hukum bagi
Pengadilan dan putusan hakim yang demikian yang disebut hukum yurisprudensi.56
56
Ibid, halaman 88.
92
Pendapat Kansil yang dikemukakan di atas selaras dengan bunyi Pasal 10 ayat
(1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
merumuskan:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Artinya pendapat tersebut masih relevan sampai sekarang untuk dijadikan dasar
berlakunya yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum formil. Error in persona
yang terdapat dalam gugatan rekonvensi yang diajukan Tergugat II Konvensi tidak
diatur oleh undang-undang, akan tetapi hakim tidak boleh menolak suatu perkara
dengan alasan tidak ada hukumnya atau aturannya tidak jelas, hal ini sejalan dengan
adagium Curia Novit Jus, yang artinya hakim dianggap mengetahui dan memahami
segala hukum. Meskipun tidak diatur dalam undang-undang, hakim wajib mencari
dan menemukan hukum objektif dari sumber hukum lain.
Pertimbangan Majelis Hakim di Pengadilan Negeri dalam Putusan Nomor
17/Pdt. G/2007/PN. Pbg pada dasarnya sudah benar, namun akan lebih tepat apabila
mempertimbangkan cacat formil yang ada pada gugatan rekonvensi yang diajukan
Tergugat II Konvensi. Syarat formil gugatan rekonvensi yang dimaksud yaitu
menarik pihak yang sama kualitasnya sebagai Tergugat dalam gugatan konvensi,
menjadi turut tergugat dalam gugatan rekonvensi sehingga terjadi error in persona.
Tidak dipenuhinya syarat formil tersebut menjadikan gugatan rekonvensi
mengandung cacat formil, sehingga Majelis Hakim menjatuhkan Putusan yang
bersifat negatif (menyatakan gugatan tidak dapat diterima).
93
Pada umumnya, cacat formil yang dijadikan dasar oleh hakim dalam
menjatuhkan putusan akhir yang bersifat negatif berupa pernyataan gugatan tidak
dapat diterima disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
a) Pihak yang mengajukan gugatan adalah kuasa yang tidak didukung oleh surat
kuasa khusus yang memenuhi syarat-syarat yang digariskan Pasal 123 HIR
juncto SEMA Nomor 1 Tahun 1971 juncto SEMA Nomor 4 Tahun 1996;
b) Gugatan mengandung error in persona, bisa dikarenakan diskualifikasi in
person, yakni yang bertindak sebagai Penggugat tidak memiliki persona
standi in judicio, atau bisa juga pihak yang ditarik sebagai Tergugat keliru
(gemis aanhoedanigheid), atau yang bertindak sebagai Penggugat maupun
yang ditarik sebagai Tergugat tidak lengkap, sehingga gugatan mengandung
cacat formil plurium litis consortium;
c) Gugatan di luar yurisdiksi absolute atau relatif Pengadilan. Apabila hakim
berhadapan dengan kasus perkara yang secara absolute atau relatif berada di
luar yurisdiksinya, dia harus menjatuhkan putusan yang berisi amar:
1. Tidak berwenang mengadili;
2. Menyatakan gugatan tidak dapat diterima;
d) Gugatan obscuur libel, yakni gugatan Penggugat kabur, tidak memenuhi
syarat jelas dan pasti (duidelijke en bepaalde conclusie) yang digariskan Pasal
8 ke-3 Rv, yaitu:
“Upaya-upaya dan pokok gugatan disertai kesimpulan yang jelas dan
tertentu”.
94
Hal-hal yang termasuk kategori obscuur libel adalah sebagai berikut:
1. Dalil gugatan atau fundamentum petendi tidak mempunyai dasar
hukum yang jelas;
2. Objek sengketa tidak jelas;
3. Petitum gugatan tidak jelas;
4. Gugatan yang diajukan mengandung unsur ne bis in idem;
e) Gugatan masih prematur;
f) Gugatan telah daluwarsa. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1946 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang merumuskan:
“Daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk
dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang”.
Dengan demikian, apabila gugatan yang diajukan Penggugat telah melampaui
batas waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk menggugatnya,
berarti Tergugat telah terbebas untuk memenuhinya.57
Gugatan rekonvensi yang diputus dalam Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg
mengandung cacat formil yang dijelaskan pada penjelasan huruf b mengenai cacat
formil yang dapat dijadikan dasar oleh hakim untuk menjatuhkan putusan akhir yang
bersifat negatif di atas, yaitu karena gugatan mengandung error in persona. Error in
persona yang dimaksud adalah kelirunya pihak yang ditarik sebagai Tergugat (gemis
aanhoedanigheid), dikarenakan Tergugat II Konvensi sebagai Penggugat Rekonvensi
menarik Tergugat I Konvensi menjadi Turut Tergugat dalam gugatan rekonvensi,
57
M. Yahya, Harahap, Op. cit, halaman 891.
95
padahal keduanya mempunyai kualitas yang sama sebagai Tergugat dalam gugatan
konvensi, selain itu hukum acara perdata tidak mengenal istilah Turut Tergugat
Rekonvensi.
Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg menunjukkan bahwa Majelis Hakim
telah benar dalam pertimbangan dan penerapan sumber hukum mengenai gugatan
rekonvensi, namun akan lebih baik apabila dalam pertimbangan putusannya Majelis
Hakim mendasarkan pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1501 K/Pdt/1983,
karena Putusan Mahkamah Agung tersebut mempunyai kemiripan yang lebih dengan
Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg dalam hal kedudukkan para pihaknya
apabila dibandingkan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 636 K/Pdt/1984,
selain itu akan lebih lengkap apabila dalam pertimbangannya Majelis Hakim
menjelaskan dan mempertimbangkan mengenai cacat formil yang terdapat di dalam
gugatan rekonvensi berupa error in persona, yaitu gemis aanhoedanihgheid sehingga
gugatan rekonvensi tersebut sudah tidak memenuhi syarat formil sehingga harus
dinyatakan tidak dapat diterima.
2. Akibat Hukum dari Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg.
Amar Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg pada intinya berisi tiga hal,
yaitu sebagai berikut:
1. Menolak gugatan Penggugat Konvensi untuk seluruhnya karena Penggugat
Konvensi tidak dapat membuktikan adanya hubungan hukum dengan
Tergugat II Konvensi, lebih jauh lagi tidak bisa membuktikan adanya
96
perbuatan cidera janji oleh Tergugat II Konvensi terhadap Penggugat
Konvensi;
2. Menyatakan gugatan rekonvensi tidak dapat diterima karena Majelis
Hakim mengabulkan eksepsi Tergugat Rekonvensi dan Turut Tergugat
Rekonvensi yang pada intinya mendalilkan bahwa dijadikannya Tergugat I
Konvensi sebagai Turut Tergugat dalam gugatan rekonvensi telah
menyalahi prosedur beracara yang lazim dan benar karena esensinya gugat
rekonvensi adalah gugat balas terhadap lawan berperkara. Majelis Hakim
mendasarkan pertimbangannya pada Putusan Mahkmah Agung Nomor 636
K/Pdt/1984;
3. Menghukum Penggugat Konvensi untuk membayar seluruh biaya perkara.
Putusan tersebut menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang berperkara.
Pengertian akibat hukum itu sendiri adalah segala akibat atau konsekuensi yang
terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap
objek hukum ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan oleh kejadian-kejadian
tertentu yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah ditentukan atau dianggap
sebagai akibat hukum. Akibat hukum inilah yang selanjutnya merupakan sumber
lahirnya hak dan kewajiban lebih lanjut bagi subjek-subjek hukum yang
bersangkutan. Akibat hukum yang dimaksud pada Putusan Nomor 17/Pdt.
G/2007/PN. Pbg difokuskan kepada upaya hukum yang timbul apabila para pihak
tidak puas dengan isi putusan dan akibat-akibat hukum lainnya yang timbul apabila
ditinjau berdasarkan teori kekuatan putusan.
97
Putusan yang menyatakan gugatan ditolak dan gugatan tidak dapat diterima
merupakan bagian dari jenis putusan berdasarkan isinya. Jenis putusan dapat
dibedakan dari segi prosedur dan isinya. Dilihat dari segi prosedurnya, putusan
pengadilan dapat dibedakan menjadi putusan akhir dan putusan bukan akhir,
sebagaimana apa yang dirumuskan dalam Pasal 185 ayat (1) HIR berikut ini:
“keputusan yang bukan keputusan terakhir, sungguhpun harusdiucapkan
dalam persidangan juga, tidak diperbuat masing-masing sendiri, tetapi hanya
dilakukan dalam surat pemberitaan persidangan.”
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara
dalam suatu tingkatan peradilan tertentu, misalnya putusan contradictoir, putusan
verstek, putusan perlawanan verzet, putusan serta merta (uitverbaar bij voorad),
putusan diterimanya tangkisan principal dan tangkisan (exeptiet verweer), putusan
banding, putusan kasasi dan sebagainya. Putusan akhir dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis menurut sifatnya apabila dilihat dari amar atau diktumnya, yaitu
sebagai berikut:
1. Putusan yang bersifat condemnatoir, yakni amarnya berbunyi menghukum
dan seterusnya, misalnya putusan yang menghukum Tergugat untuk
membayar sejumlah uang kepada Penggugat, untuk menyerahkan suatu
barang atau mengosongkan sebuah persil, melakukan atau melarang Tergugat
melakukan suatu perbuatan atau keadaan tertentu;
2. Putusan yang bersifat declaratoir, yakni amarnya menyatakan suatu keadaan
sebagai keadaan yang sah menurut hukum, misalnya putusan yang
98
menyatakan Penggugat sebagai pemilik yang sah atas tanah sengketa dan
sebagainya;
3. Putusan yang bersifat constitutief, yakni putusan yang amarnya meniadakan
atau menciptakan suatu keadaan hukum baru, misalnya putusan yang
membatalkan suatu perjanjian, memutuskan suatu ikatan perkawinan antara
Penggugat dan Tergugat.
Putusan bukan akhir disebut sebagai putusan sela atau putusan antara, yaitu
putusan yang fungsinya untuk memperlancar proses pemeriksaan perkara. Putusan
sela diucapkan dalam persidangan dan tidak dibuat secara terpisah, artinya tidak
dibuat dalam bentuk dokumen tersendiri terlepas dari berkas perkaranya, melainkan
hanya dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang, hal ini sesuai apa yang
dirumuskan dalam Pasal 185 ayat (1) HIR sebagai berikut:
“Keputusan yang bukan keputusan terakhir, sungguhpun harus diucapkan
dalam persidangan juga, tidak diperbuat masing-masing sendiri, tetapi hanya
dilakukan dalam surat pemberitaan persidangan”.
HIR dan R.Bg membedakan putusan akhir dan putusan bukan akhir,
sementara Rv mengenal pembedaan beberapa jenis putusan yang dapat digolongkan
ke dalam putusan bukan akhir, yaitu:
1. Putusan Preparatoir, yaitu putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan
untuk melancarkan segala sesuatu gunamengadakan putusan akhir, misalnya
putusan hakim yang menolak pengunduran diri saksi, atau putusan untuk
menggabungkan dua perkara. Putusan Preparatoir ini tidak mempengaruhi
materi perkara;
99
2. Putusan Interlocutoir, yaitu putusan yang memuat perintah untuk melakukan
pembuktian yang dapat mempengaruhi materi perkara atau bunyi putusan
akhir, misalnya putusan yang memerintahkan untuk diadakannya pemeriksaan
setempat, pemeriksaan saksi, pemeriksaan dokumen, pengambilan sumpah
dan sebagainya;
3. Putusan Insidentil, yaitu putusan yang dijatuhkan berhubungan dengan
insiden, yaitu adanya kejadian yang menunda jalannya proses perkara,
misalnya apabila pemeriksaan sedang berlangsung, kemudian salah satu pihak
mengajukan permohonan bahwa seorang saksi supaya didengar dan
sebagainya;
4. Putusan Provisionil, yaitu putusan yang berkenaan dengan tuntutan
provisional. Tuntutan provisional yaitu permohonan agar sebelum hakim
menjatuhkan putusan atau proses pemeriksaan berjalan, sementara diadakan
tindakan-tindakan pendahuluan, atau untuk melakukan tindakan tertentu
mengenai hal yang bersifat mendesak untuk kepentingan salah satu atau kedua
belah pihak.58
Putusan pengadilan apabila dilihat dari segi isinya terdiri dari tiga jenis, yaitu
sebagai berikut:
1) Putusan yang menyatakan mengabulkan gugatan, yaitu apabila gugatan
beralasan ataupun tidak melawan hak, misalnya gugatan telah memenuhi
syarat formil dan materiil;
58
Ibid, halaman 215.
100
2) Putusan yang menolak gugatan, yaitu apabila gugatan tidak beralasan atau
dasar gugatan tidak mendukung materi tuntutannya dan apabila tidak puas,
maka cara yang dapat ditempuh hanyalah banding
3) Putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima, yaitu apabila gugatan
melawan hak atau melawan hukum, misalnya gugatan atas suatu piutang yang
didasarkan atas perjudian atau pertaruhan dan apabila tidak puas, maka cara
yang dapat ditempuh adalah mengajukan kembali gugatan setelah diperbaiki
dan banding ke Pengadilan Tinggi.
Terhadap isi suatu putusan, para pihak mempunyai hak untuk melakukan
upaya hukum apabila tidak puas, hal ini diatur dalam Pasal 23 dan Pasal 26 ayat (1)
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman, yang
merumuskan sebagai berikut:
Pasal 23
“Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada
Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-
undang menentukan lain”.
Pasal 26 ayat (1)
“Putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada
Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-
undang menentukan lain”.
Berdasarkan kedua pasal di atas, para pihak yang tidak puas dengan isi
Putusan dapat menggunakan haknya untuk melakukan upaya hukum. Apabila dilihat
dari isi Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg, maka terhadap gugatan konvensi
hanya terbuka upaya hukum banding terhadap isi Putusan Majelis Hakim, namun
untuk amar Putusan mengenai gugatan rekonvensi, upaya hukum yang dilakukan
101
apabila para pihak tidak puas akan sedikit berbeda karena Putusan tersebut
merupakan Putusan yang mengabulkan eksepsi. Ketentuan mengenai upaya hukum
terhadap putusan eksepsi berpedoman kepada Pasal 9 Undang-undang Nomor 20
Tahun 1947 Tentang Pengadilan Peradilan Ulangan. Bertitik tolak dari ketentuan itu,
dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
a) Putusan Pengadilan Negeri yang dapat dibanding adalah putusan akhir. Pasal
9 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan
peradilan Ulangan menjelaskan sebagai berikut:
1. Putusan Pengadilan Negeri yang dibanding adalah putusan akhir (eind
vonnis, final judgement);
2. Putusan bukan akhir seperti putusan sela hanya dapat dimintakan banding
bersama-sama dengan putusan akhir, oleh karena itu terhadap putusan
sela yang dijatuhkan terhadap eksepsi kompetensi tidak dapat diajukan
banding secara tersendiri.
b) Putusan penolakan eksepsi kompetensi adalah putusan sela, tidak dapat
dibanding tersendiri. Tergugat harus menunggu sampai jatuhnya putusan
akhir apabila ingin mengajukan banding terhadap putusan sela yang menolak
eksepsi.
c) Pengabulan eksepsi kompetensi merupakan putusan akhir, sehingga dapat
diajukan banding. Pengabulan eksepsi kompetensi ini mengakibatkan proses
pemeriksaan selesai dengan sendirinya dengan jatuhnya putusan yang
102
bersifat negatif (tidak berwenang mengadili) dan untuk kasus yang
demikian, putusan Pengadilan Negeri tersebut merupakan putusan akhir.
d) Larangan mengajukan banding terhadap putusan sela tidak terbatas atas
penolakan eksepsi kompetensi, tetapi meliputi segala putusan sela, misalnya
putusan provisi.
Eksepsi selain eksepsi kompetensi harus diperiksa dan diputus bersama-sama pokok
perkara, hal ini diatur dalam Pasal 136 HIR yang merumuskan:
“Perlawanan yang sekiranya hendak dikemukakan oleh tergugat (exceptie),
kecuali tentang hal hakim tidak berkuasa, tidak akan dikemukakan dan
ditimbang masing-masing, tetapi harus dibicarakan dan diputus bersama-sama
dengan pokok perkara”.
Apabila eksepsi selain eksepsi kompetensi dikabulkan maka putusan akan bersifat
negatif (menyatakan gugatan tidak dapat diterima) karena semata-mata mengandung
cacat formil sesuai eksepsi yang diajukan Tergugat, contohnya terjadi pada Putusan
Mahkamah Agung Nomor 3534 K/Sip/1984, di mana dalam putusan tersebut gugatan
dianggap obscuur libel, karena dalil gugatan kacau dan kabur, bahkan kontradiktif
sehingga gugatan tidak dapat diterima. Berdasarkan putusan tersebut, Pengadilan
tidak menyelesaikan materi pokok perkara karena gugatan tersebut mengandung cacat
formil dalam bentuk obscuur libel. Apabila Penggugat menghendaki penyelesaian
sengketa tentang kasus itu, Penggugat dapat mengajukan gugatan baru dengan jalan
memperbaiki gugatan memperbaiki gugatan dengan dalil gugatan yang jelas59
, akan
tetapi khusus untuk Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg terbuka pula upaya
59
Ibid, halaman 429.
103
hukum banding untuk gugatan rekonvensi karena putusannya diputus bersama-sama
dengan putusan akhir, hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1)
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan yang
menyatakan eind vonnis atau final judgement dapat dibanding.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka terhadap Putusan Nomor 17/Pdt.
G/2007/PN. Pbg terbuka kesempatan untuk melakukan upaya hukum bagi para pihak
yang tidak puas dengan isi putusan tersebut dan hal ini didasarkan Pasal 26 Undang-
undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Penggugat Konvensi
dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi terhadap Putusan yang
menyatakan menolak gugatannya untuk seluruhnya, sementara untuk gugatan
rekonvensi yang dinyatakan tidak dapat diterima terbuka dua upaya hukum, yaitu
banding atau mengajukan gugatan baru setelah gugatan sebelumnya diperbaiki cacat
formilnya karena Putusan tersebut merupakan Putusan yang mengabulkan eksepsi
selain eksepsi kompetensi namun diputus bersama-sama dengan pokok perkara dalam
putusan akhir (eind vonnis, final judgement), sehingga berdasarkan Pasal 9 ayat (1)
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan
menyatakan bahwa terhadap eind vonnis atau final judgement dapat dibanding,
sementara berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3534 K/Sip/1984, apabila
Penggugat Rekonvensi tidak puas, maka cara yang dapat ditempuh adalah
mengajukan gugatan baru setelah gugatan sebelumnya diperbaiki. Pengajuan gugatan
kembali yang demikian tidak merupakan ne bis in idem karena Putusan Mahkamah
Agung Nomor 1566 K/Pdt/1983 menyatakan bahwa pada putusan negatif yang terjadi
104
karena adanya cacat formil berupa error in persona tidak melekat ne bis in idem, oleh
karena itu gugatan bisa diajukan kembali setelah diperbaiki.
Meskipun upaya hukum terbuka bagi para pihak yang tidak puas terhadap isi
suatu putusan, namun pada dasarnya setiap putusan Pengadilan mempunyai tiga
macam kekuatan. Kekuatan pada putusan tersebut diatur dalam doktrin karena
undang-undang tidak menjelaskan kekuatan yang dimaksud. Tiga kekuatan yang
dimaksud adalah:
1. Kekuatan mengikat berarti suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan
suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Para pihak
yang telah menyerahkan dan mempercayakan sengketanya ke pengadilan
berarti bahwa pihak-pihak yang bersangkutan akan tunduk dan patuh pada
putusan yang dijatuhkan, sehingga tidak boleh bertindak bertentangan dengan
putusan tersebut karena putusan tersebut mempunyai kekuatan mengikat bagi
para pihak.
2. Kekuatan pembuktian dalam suatu putusan mengandung arti bahwa putusan
dalam bentuk tertulis merupakan akta otentik yang tidak lain bertujuan untuk
dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin
diperlukannya untuk mengajukan banding, kasasi atau pelaksanaannya.
3. Kekuatan eksekutorial berarti bahwa suatu putusan tidak semata-mata hanya
menetapkan hak atau hukumnya saja, melainkan realisasi atau
pelaksanaannya, sehingga kekuatan mengikat saja belum cukup, oleh karena
itu putusan hakim mengandung kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk
105
dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh
alat-alat Negara.
Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg, apabila dihubungkan dengan tiga
teori kekuatan putusan hakim tersebut di atas, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kekuatan mengikat bagi para pihak yang bersengketa, karena pada
dasarnya para pihak telah menyerahkan penyelesaian sengketa kepada
Pengadilan Negeri, oleh karena itu apapun isi putusannya, para pihak harus
menghormatinya serta tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan
tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka Penggugat Konvensi
beserta para Tergugat Konvensi, maupun Penggugat Rekonvensi beserta
Tergugat Konvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi dalam perkara yang
diputus Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg mempunyai kewajiban
mematuhi isi putusan tersebut, namun para pihak tersebut mempunyai hak
untuk mengajukan upaya hukum apabila tidak puas dengan isi putusan
yang sudah dijatuhkan.
2. Putusan tersebut juga mengandung kekuatan pembuktian karena
pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan tersebut bisa
dijadikan dasar mengajukan banding dan kasasi, namun hakim mempunyai
kebebasan untuk menggunakan kekuatan putusan terdahulu atau tidak.
Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg dapat dijadikan bukti, terutama
oleh Tergugat II Konvensi perihal ketiadaan hubungan hukum antara
Penggugat Konvensi dan Tergugat II Konvensi, sehingga tidak terbukti
106
pula tuduhan cidera janji sebagaimana yang dituduhkan Penggugat
Konvensi pada Tergugat II Konvensi. Berdasarkan putusan hakim tersebut,
yang terbukti hanyalah adanya hubungan hukum antara Penggugat
Konvensi dan Tergugat I Konvensi, selain itu putusan tersebut dapat
dijadikan dasar bagi para pihak yang tidak puas untuk mengajukan upaya
hukum.
3. Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg tersebut juga mempunyai
kekuatan eksekutorial yang ditandai dengan adanya kata-kata “Demi
keadilan berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa”, sehingga dapat
dijalankan dan dipaksakan pelaksanaannya, akan tetapi berdasarkan amar
putusannya, maka yang dapat dijalankan dan dipaksakan pelaksanaannya
hanyalah kewajiban Penggugat Konvensi membayar seluruh biaya yang
timbul karena perkara ini, karena Penggugat Konvensi merupakan pihak
yang kalah dalam perkara tersebut. Tidak ada kewajiban yang lain bagi
para pihak dalam perkara tersebut, hal ini dikarenakan Majelis Hakim
memutuskan menolak untuk seluruhnya gugatan Penggugat Konvensi, dan
menyatakan gugatan rekonvensi yang diajukan Tergugat II Konvensi tidak
dapat diterima, sehingga tidak timbul kewajiban bagi para pihak tersebut
selain menghormati dan mematuhi isi putusan.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas, maka akibat hukum yang
timbul akibat Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg adalah terbukanya kesempatan
bagi para pihak untuk melakukan upaya hukum apabila tidak puas dengan isi putusan
107
tersebut. Upaya hukum yang dimaksud adalah banding bagi Penggugat Konvensi
karena gugatannya dinyatakan ditolak untuk seluruhnya, sedangkan untuk Penggugat
Rekonvensi terbuka kesempatan mengajukan banding atau gugatan perdata biasa
setelah cacat formil dalam gugatan sebelumnya diperbaiki, hal ini dikarenakan
putusan Majelis Hakim merupakan putusan yang mengabulkan eksepsi selain eksepsi
kompetensi namun diputus bersama-sama dengan pokok perkara dalam putusan
akhir(eind vonnis, final judgement), sehingga berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Undang-
undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan menyatakan
bahwa terhadap eind vonnis atau final judgement dapat dibanding, sementara
berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3534 K/Sip/1984, apabila Penggugat
Rekonvensi tidak puas, maka cara yang dapat ditempuh adalah mengajukan gugatan
baru setelah gugatan sebelumnya diperbaiki. Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg
mengandung tiga kekuatan yang didasarkan kepada teori kekuatan putusan, yaitu
kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekutorial. Kekuatan
mengikat tercermin dengan harus dipatuhinya isi putusan tersebut oleh para pihak
karena mereka telah sepakat untuk menyelesaikan perkaranya di Pengadilan.
Kekuatan pembuktian dalam putusan tersebut telah membuktikan bahwa tidak ada
hubungan hukum antara Penggugat Konvensi dan Tergugat II Konvensi, sehingga
lebih jauh tidak mungkin ada perbuatan cidera janji, sementara itu bagi para pihak
yang tidak puas dengan isi putusan, maka segala yang termuat dalam putusan tersebut
dapat dijadikan dasar pengajuan upaya hukum. Kekuatan yang terkahir adalah
eksekutorial yang ditandai dengan adanya kata-kata “Demi keadilan berdasarkan
108
keTuhanan Yang Maha Esa”, sehingga dengan begitu putusan dapat dijalankan dan
dipaksakan pelaksanaannya, akan tetapi apabila dikaitkan dengan amar Putusan
Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg, maka amar yang dapat dieksekusi hanyalah perihal
kewajiban Penggugat Konvensi membayar sejumlah biaya perkara, hal ini
dikarenakan amar selebihnya tidak menimbulkan kewajiban bagi para pihak selain
menghormati dan mematuhi isi putusan tersebut.
109
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Penerapan Hukum Gugatan Rekonvensi oleh Hakim dalam Putusan
Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg
Pada Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg, Majelis Hakim mendasarkan
pertimbangannya tentang gugatan rekonvensi pada Putusan Mahkamah Agung
Nomor 636 K/Pdt/1984. Pertimbangan tersebut sudah benar, namun apabila dilihat
dari kedudukkan para pihak di dalam perkara, akan lebih tepat apabila Majelis Hakim
menggunakan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1501 K/Pdt/1983 sebagai sumber
hukum dalam dasar pertimbangannya karena mempunyai kemiripan yang lebih
dengan Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg apabila dibandingkan dengan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 636 K/Pdt/1984, selain itu akan lebih lengkap
apabila dalam pertimbangannya Majelis Hakim menjelaskan dan mempertimbangkan
perihal cacat formil yang terdapat di dalam gugatan rekonvensi, yaitu adanya error in
persona berupa gemis aanhoedanigheid.
2. Akibat Hukum dari Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg.
Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg menimbulkan akibat hukum bagi
para pihak di dalamnya. Akibat hukum yang dimaksdud adalah terbukanya
kesempatan bagi para pihak yang tidak puas dengan isi putusan tersebut untuk
melakukan upaya hukum. Upaya hukum yang dimaksud adalah banding bagi
Penggugat Konvensi, sementara untuk Penggugat Rekonvensi terbuka upaya hukum
110
banding atau dapat mengajukan gugatan baru setelah gugatan sebelumnya diperbaiki
cacat formilnya. Akibat hukum yang lain adalah timbulnya tiga kekuatan dalam
putusan tersebut, yaitu kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan
eksekutorial.
B. Saran
Majelis Hakim harus lebih teliti dalam pertimbangan Putusannya karena pada
Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg Majelis Hakim melupakan satu hal yang
penting untuk dijadikan pertimbangan. Hal penting yang dimaksud yaitu mengenai
pemilihan Putusan Mahkamah Agung yang dijadikan sebagai sumber hukum serta
tidak dipertimbangkannya cacat formil berupa error in persona berupa gemis
aanhoedanigheid dalam gugatan rekonvensi sebagai dasar pertimbangan.