bab i pendahuluan a. latar belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/skripsi bab...

110
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sejak awal lahirnya adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Setiap manusia mempunyai kebutuhan dan kepentingan yang harus dipenuhi. Kebutuhan dan kepentingan tersebut dapat diklasifikasikan dalam: a) Kebutuhan fisiologis, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan, seks; b) Kebutuhan keamanan, ketertiban dan ketentraman dari gangguan, ancaman atau serangan pihak lain; c) Kebutuhan akan kerja sama yang saling menguntungkan atau kerja sama untuk tujuan-tujuan kolektif; d) Kebutuhan akan kehormatan dirinya, akan penghargaan sebagai manusia yang bermartabat dan berkebudayaan; e) Kebutuhan akan eksistensi dirinya dengan jiwanya yang merdeka, yang memiliki daya logika, etika dan estetika atau nalar kreatifitas guna membudayakan dirinya. 1 Manusia saling berinteraksi satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhannya dan dari interaksi tersebut timbul hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Pemenuhan kebutuhan menjadi hak setiap manusia, namun di dalam pelaksanaannya, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut manusia berhadapan dengan kewajiban menghormati hak-hak yang dimiliki oleh orang lain. Contohnya, untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, khususnya makanan, manusia bisa mendapatkannya dengan cara membeli dari orang lain. Pada sebuah hubungan jual beli, kedua pihak dihadapkan dengan hak dan kewajiban sekaligus, yaitu hak si 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, halaman 46.

Upload: buidang

Post on 02-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sejak awal lahirnya adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak

dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Setiap manusia mempunyai kebutuhan

dan kepentingan yang harus dipenuhi. Kebutuhan dan kepentingan tersebut dapat

diklasifikasikan dalam:

a) Kebutuhan fisiologis, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan,

seks;

b) Kebutuhan keamanan, ketertiban dan ketentraman dari gangguan,

ancaman atau serangan pihak lain;

c) Kebutuhan akan kerja sama yang saling menguntungkan atau kerja sama

untuk tujuan-tujuan kolektif;

d) Kebutuhan akan kehormatan dirinya, akan penghargaan sebagai manusia

yang bermartabat dan berkebudayaan;

e) Kebutuhan akan eksistensi dirinya dengan jiwanya yang merdeka, yang

memiliki daya logika, etika dan estetika atau nalar kreatifitas guna

membudayakan dirinya.1

Manusia saling berinteraksi satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan-

kebutuhannya dan dari interaksi tersebut timbul hubungan antara manusia yang satu

dengan yang lain. Pemenuhan kebutuhan menjadi hak setiap manusia, namun di

dalam pelaksanaannya, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut manusia

berhadapan dengan kewajiban menghormati hak-hak yang dimiliki oleh orang lain.

Contohnya, untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, khususnya makanan, manusia bisa

mendapatkannya dengan cara membeli dari orang lain. Pada sebuah hubungan jual

beli, kedua pihak dihadapkan dengan hak dan kewajiban sekaligus, yaitu hak si

1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, halaman 46.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

2

pembeli mendapatkan makanan dan kewajibannya untuk membayar sejumlah

makanan tersebut, begitu juga si penjual berhak menerima pembayaran sejumlah

makanan yang dibeli oleh pembeli dan berkewajiban menyerahkan makanan yang

telah dibayar kepada pembeli.

Berdasarkan contoh di atas cukup menggambarkan, bahwa untuk memenuhi

kebutuhannya, manusia berhadapan dengan kewajiban untuk menghormati hak orang

lain, akan tetapi dalam pelaksanaannya banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran

tehadap hak yang dimiliki manusia yang dilakukan oleh manusia lainnya, oleh karena

itu perlu adanya suatu aturan yang mengatur pelaksanaan hak setiap individu manusia

agar tidak merugikan individu yang lain. Aturan tersebut salah satunya diwujudkan

dalam peraturan-peraturan hukum. Keberadaan hukum di dalam masyarakat adalah

sebagai peraturan yang bersifat umum, di mana seseorang atau kelompok secara

keseluruhan ditentukan batas-batas hak dan kewajibannya.2

Negara mempunyai kewajiban melindungi hak-hak warga negaranya dan

salah satu perwujudannya adalah melalui lembaga peradilan yang mempunyai tugas

menyelenggarakan peradilan demi tegaknya hukum dan demi melindungi

kepentingan-kepentingan umum. Seseorang yang merasa haknya dilanggar oleh orang

lain dan mengakibatkan kerugian pada dirinya dapat mengajukan tuntutan haknya ke

Pengadilan, selama Pengadilan tersebut mempunyai kewenangan untuk mengadili

atau berkompeten sebagaimana diatur dalam Pasal 118 Herziene Inlandsch Reglement

(HIR) yang merumuskan:

2 Ibid, halaman 45.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

3

ayat (1)

“Gugatan perdata yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan

negeri harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh

penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123 kepada ketua pengadilan

negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak

diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya;”

ayat (2)

“Jika tergugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di dalam itu,

dimajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat salah seorang dari

tergugat itu, yang dipilih oleh penggugat. Jika tergugat satu sama lain dalam

perhubungan sebagai perutang utama dan penanggung, maka penggugat itu

dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat orang yang berutang

utama dari salah seorang daripada orang berutang utama itu, kecuali

ditentukan pada ayat (2) dari Pasal 6 reglemen tentang aturan hakim dan

mahkamah serta kebijaksanaan hakim (R.O);”

ayat (3)

“Bilamana tempat diam dari tergugat tidak dikenal, lagipula tempat tinggal

sebetulnya tidak dketahui, atau jika tergugat tidak dikenal, maka surat gugatan

itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat

atau salah seorang dari penggugat, atau jika surat gugat itu tentang barang

gelap, maka surat gugat itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di

daerah hukum siapa terletak barang itu;”

ayat (4)

“Jika dengan surat sah dipilih dan ditentukan suatu tempat berkedudukan,

maka penggugat, jika ia suka, dapat memasukkan surat gugatan itu kepada

ketua pengadilan negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat

berkedudukan yang dipilih itu.”

Pengadilan berkewajiban untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara

yang diajukan kepadanya sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-

undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang merumuskan:

“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus

suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang

jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

Pengajuan tuntutan hak tersebut dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata

dan di dalam masalah gugatan ini, perlu terlebih dahulu mengetahui perbedaan antara

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

4

gugatan dengan permohonan. Perbedaan diantara keduanya yaitu bahwa dalam

perkara gugatan ada suatu sengketa yang harus diselesaikan dan diputuskan oleh

Pengadilan dan disini hakim berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutus

siapa diantara pihak-pihak yang benar dan siapa yang tidak benar. Berbeda halnya

dengan perkara yang disebut permohonan, di sini tidak ada sengketa, hakim hanya

sekadar memberi jasa-jasa sebagai seorang Tenaga Tata Usaha Negara. Hakim

tersebut mengeluarkan penetapan yang lazim disebut putusan declaratoir, suatu

putusan yang bersifat menetapkan atau menerangkan saja. Hakim tidak memutuskan

suatu konflik seperti halnya dalam suatu gugatan.3

Majelis Hakim pemeriksa perkara berkewajiban menawarkan perdamaian

kepada para pihak dalam proses pemeriksaan gugatan di Pengadilan berdasarkan

Pasal 130 ayat (1) HIR, yang merumuskan:

“Jika pada hari yang telah ditentukan kedua belah pihak datang menghadap,

maka pengadilan negeri dengan perantaraan ketuanya berusaha mencapai

perdamaian antara kedua belah pihak”

Majelis Hakim mulai dengan membacakan surat-surat yang dikemukakan

oleh para pihak apabila upaya perdamaian yang dilakukan mengalami kegagalan dan

yang dimaksudkan dengan surat-surat ini ialah permohonan gugat dan “kalau ada”

surat jawaban dari Tergugat.4 Seorang Tergugat mempunyai hak untuk menggugat

kembali si Penggugat dan ini diatur dalam Pasal 132 a dan b HIR, yang merumuskan:

3 M. Nur, Rasaid, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, halaman 19.

4 Ibid, halaman 28.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

5

Pasal 132 a HIR:

ayat (1)

“Tergugat berhak dalam tiap-tiap perkara memasukkan gugatan melawan

kecuali:

1. Kalau penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang

gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya;

2. Kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak

berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok

perselisihan;

3. Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan.”

ayat (2)

“Jikalau dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimajukan gugatan

melawan, maka dalam bandingan tidak dapat mengajukan gugatan itu.”

Pasal 132 b HIR, merumuskan:

ayat (1)

“Tergugat wajib memasukkan gugatan melawan bersama-sama dengan

jawabannya, baik dengan surat maupun dengan lisan;

ayat (2)

“Buat gugatan melawan itu berlaku peraturan dari bagian ini;”

ayat (3)

“Kedua perkara itu diselesaikan sekaligus dan diputuskan dalam satu

keputusan, kecuali kalau sekiranya pengadilan negeri berpendapat, bahwa

perkara yang pertama dapat lebih dahulu diselesaikan daripada yang kedua,

dalam hal mana demikian dapat dilakukan, tetapi gugatan mula-mula dan

gugatan melawan yang belum diputuskan itu masih tetap diperiksa oleh hakim

itu juga, sampai dijatuhkan keputusan terakhir;”

ayat (4)

“Bandingan diperbolehkan, jika banyaknya wang dalam gugatan tingkat

pertama ditambah dengan wang dalam gugatan melawan lebih daripada

jumlah wang yang sebanyak-banyaknya yang dapat diputuskan oleh

pengadilan negeri sebagai hakim yang tertinggi;”

ayat (5)

“Bila kedua perkara itu dibagi-bagi dan keputusan dijatuhkan berasing-asing,

maka haruslah dituruti aturan biasa tentang hak bandingan.”

R. Soesilo memberikan penjelasan terhadap Pasal 132 a HIR, bahwa oleh

karena bagi Tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan melawan, artinya

untuk menggugat kembali Penggugat, maka Tergugat itu tidak perlu mengajukan

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

6

tuntutan baru, akan tetapi cukup dengan memajukan gugatan pembalasan itu

bersama-sama dengan jawabannya terhadap gugatan lawannya. Gugatan melawan ini

dapat diajukan baik secara tertulis, maupun secara lisan (lihat Pasal 132 b). Dengan

diberikannya kesempatan untuk gugat-menggugat ini maka jalannya berperkara

menjadi lebih lancar, oleh karena dua persoalan dapat diperiksa sekaligus.5 Sub 1, 2

dan 3 dari Pasal 132 a ayat (1) HIR memuat pengecualian mengenai pengajuan

gugatan rekonvensi (gugat balik). Pada Pasal 132 a ayat (2) HIR sudah secara

gamblang menjelaskan bahwa apabila gugatan rekonvensi tidak diajukan pada

pemeriksaan tingkat pertama, maka pada tingkat banding tidak dapat diajukan lagi.

R. Soesilo memberikan penjelasan terhadap Pasal 132 b HIR, bahwa menurut

ayat (1) dan (3) pasal ini gugatan perlawanan diajukan bersama-sama jawaban

Tergugat atas gugatannya, baik secara tertulis maupun secara lisan. Gugatan pertama

dan gugatan perlawanan itu harus diperiksa dan diputus sekaligus dalam satu surat

putusan, namun apabila Pengadilan Negeri berpendapat lain, bisa juga perkara itu

diperiksa dan diputus secara terpisah, akan tetapi yang tidak boleh diabaikan ialah

bahwa kedua gugatan itu harus senantiasa diselesaikan pemeriksaannya oleh hakim

itu juga sampai dijatuhkan putusan yang terakhir.6

Gugatan rekonvensi pada hakekatnya merupakan gugat balik terhadap lawan

berperkara, maksudnya adalah gugatan yang diajukan oleh Tergugat dalam gugatan

awal (konvensi) kepada Penggugat dalam gugatan awal, di mana pengajuannya

5 R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, Politeia, Bogor, 1995, halaman 92.

6 Ibid, halaman 93.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

7

dilakukan bersama-sama dengan jawaban Tergugat dalam gugatan awal dan diperiksa

dalam satu persidangan dengan gugatan awal, dengan nomor perkara yang sama, serta

harus diputus dalam satu putusan. Hal ini bertujuan untuk menghemat biaya, waktu,

tenaga, mempermudah prosedur pemeriksaan dan menghindari putusan yang

bertentangan satu sama lain, sedangkan bagi Tergugat Rekonvensi, gugatan

rekonvensi ini berarti menghemat ongkos perkara karena ia tidak diwajibkan

membayar biaya perkara dalam gugatan rekonvensi. Hal itu dikarenakan pengajuan

gugatan rekonvensi merupakan suatu hak istimewa yang diberikan oleh hukum acara

perdata kepada Tergugat untuk mengajukan suatu kehendak untuk menggugat dari

pihak Tergugat kepada pihak Penggugat secara bersama-sama dengan gugat asal

(konvensi), tetapi keduanya haruslah mempunyai dasar hubungan hukum yang sama.

Atas dasar itulah Tergugat dalam hal ini diperbolehkan memajukan gugatan

rekonvensi, tetapi jika soal jawab jinawab sudah selesai dan hakim sudah mulai

dengan melakukan pemeriksaan perkara, maka tergugat tidak diperbolehkan lagi

memajukan gugatan rekonvensi.7 Salah satu contoh mengenai gugat rekonvensi

terdapat di dalam Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg. Putusan tersebut memutus

sengketa antara Alwi Kiswanto yang bertempat tinggal di Jalan Jenderal Ahmad Yani

No.36 RT. 001/RW. 004, Kelurahan Kandang Gampang Kecamatan Purbalingga,

Kabupaten Purbalingga sebagai PENGGUGAT melawan:

7 Wirjono, Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, halaman 80.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

8

1. ST. Yudianto yang bertempat tinggal di RT. 01/RW. 01 Kelurahan

Purbalingga Lor, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga

sebagai TERGUGAT I;

2. Direksi CV. Cipta Usaha yang bertempat tinggal di Desa Babakan RT.

09/RW. 02, Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga sebagai

TERGUGAT II.

Kasus posisi dalam perkara ini dimulai ketika Penggugat mengajukan gugatan

terhadap Tergugat I dan Tergugat II ke Pengadilan Negeri Purbalingga. Gugatan

tersebut didasarkan pada perbuatan cidera janji yang dilakukan oleh para Tergugat.

Penggugat mendalilkan bahwa cidera janji tersebut terjadi karena Tergugat II

membeli aspal kepada Penggugat melalui Tergugat I sebanyak 382 (tiga ratus delapan

puluh dua) drum, namun yang diakui dan dibayar Tergugat II hanya sejumlah 319

(tiga ratus sembilan belas drum), oleh karena itu ada selisih sebanyak 63 (enam puluh

tiga) drum yang belum dibayar oleh Tergugat II. Tergugat I dalam jawaban

gugatannya membenarkan seluruh dalil Penggugat, namun Tergugat II membantah

sekaligus mengajukan gugatan rekonvensi dalam jawaban gugatannya. Gugatan

rekonvensi tersebut didasarkan pada perbuatan Penggugat Konvensi yang melaporkan

Tergugat II Konvensi ke Polsek Purbalingga terkait permasalahan jual beli aspal

tersebut, namun prosesnya tidak dilanjutkan karena Penggugat Konvensi tidak dapat

membuktikan kesalahan Tergugat II Konvensi. Tergugat II Konvensi merasa

dirugikan secara materiil dan imateriil atas laporan Penggugat Konvensi tersebut.

Tergugat II Konvensi mendalilkan telah mengalami kerugian materiil sejumlah Rp

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

9

100. 000. 000, - (seratus juta rupiah) dan kerugian imateriil sejumlah Rp. 1. 000. 000.

000, - (satu milyar rupiah). Penggugat Rekonvensi dalam gugatannya mendudukkan

Penggugat Konvensi sebagai Tergugat Rekonvensi dan Tergugat I Konvensi sebagai

Turut Tergugat Rekonvensi.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purbalingga yang memeriksa dan memutus

perkara tersebut memutuskan untuk menolak seluruh gugatan Penggugat Konvensi,

dengan pertimbangan bahwa penggugat tidak dapat membuktikan adanya hubungan

hukum antara Penggugat dan Tergugat II dan alat-alat buktipun memperkuat dalil-

dalil Tergugat II konvensi. Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim juga menyatakan

tidak menerima gugatan rekonvensi dari Tergugat II (Niet Onvankelijke Verklaard)

dengan pertimbangan hukum bahwa dijadikannya Turut Tergugat Rekonvensi

sebagai pihak dalam gugatan rekonvensi padahal antara Penggugat Rekonvensi dan

Turut Tergugat Rekonvensi dalam gugatan awal (konvensi) berkedudukan sebagai

Tergugat menyalahi prosedur beracara yang telah baku dan lazim di persidangan,

karena esensinya gugatan rekonvensi adalah gugat balas atas lawan berperkara.

Putusan Majelis Hakim tersebut berpedoman pada Putusan Mahkamah Agung Nomor

36 K/Pdt/1984, akan tetapi selain putusan Mahkamah Agung tersebut, masih ada pula

dasar-dasar hukum yang lain dan penjelasan-penjelasan dalam berbagai literatur yang

membahas mengenai gugatan rekonvensi yang dilarang. Amar putusan yang

menyatakan gugatan rekonvensi tidak dapat diterima, memunculkan suatu

konsekuensi hukum, yaitu apabila pihak Penggugat Rekonvensi tidak puas, maka bisa

diajukan gugatan lagi setelah gugatan sebelumnya diperbaiki, namun teknis

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

10

pengajuan gugatan yang seperti demikian masih belum secara gamblang dijelaskan

dalam peraturan-peraturan hukum yang berlaku.

Berdasarkan uraian di latar belakang masalah di atas, penulis dalam menyusun

skripsi ini mengambil judul: “PENERAPAN HUKUM TERHADAP GUGATAN

REKONVENSI PADA PUTUSAN HAKIM NOMOR 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg.”

B. Perumusan Masalah

Dalam penelitian, perumusan masalah sangatlah penting karena memberi arah

dalam membahas masalah yang diteliti, sehingga penelitian dapat dilakukan secara

lebih sistematis dan terarah sesuai dengan sasaran yang ditentukan. Pengertian dari

masalah itu sendiri adalah persoalan-persoalan yang ada hubungannya dengan obyek

penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana penerapan hukum yang dilakukan oleh hakim mengenai gugatan

rekonvensi pada Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg?

2. Bagaimanakah akibat hukum yang ditimbulkan dari Putusan Nomor 17/Pdt.

G/2007/ PN. Pbg?

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

11

C. Tujuan Penelitian

Penelitian yang akan dilaksanakan mempunyai dua tujuan, yaitu:

1. Tujuan obyektif

a. Tujuan obyektif dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan

hukum mengenai gugatan rekonvensi yang dilakukan oleh Majelis Hakim

pada Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg.

b. Tujuan obyektif yang selanjutnya dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan dari Putusan Nomor

17/Pdt.G/2007/PN. Pbg.

2. Tujuan Subyektif

Tujuan subyektif dari penelitian ini adalah untuk memenuhi salah satu

persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan sumbangan

pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum dan sebagai tambahan wacana

referensi acuan penelitian yang sejenis dari permasalahan yang berbeda. Hasil

penelitian ini diharapkan dapat memajukan perkembangan Ilmu di bidang

Hukum Acara Perdata khususnya mengenai gugat rekonvensi.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

12

2. Kegunaan praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan

bagi masyarakat, praktisi hukum, serta para akademisi, terhadap pemahaman

mengenai gugatan rekonvensi serta akibat hukumnya.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. GUGATAN

1. Pengertian Gugatan

Pengertian gugatan menurut Pasal 1 angka 2 Rancangan Undang-Undang

Hukum Acara Perdata adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan diajukan

ke pengadilan untuk mendapatkan putusan8, sedangkan menurut Sudikno

Mertokusumo, tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh

perlindungan yang diberikan oleh Pengadilan untuk mencegah main hakim sendiri

(eigenrichting).9

2. Jenis Gugatan

Perihal jenis gugatan, hukum acara perdata mengenal dua jenis gugatan, yaitu

gugatan voluntair dan gugatan contentiosa. Gugatan voluntair bisa juga disebut

permohonan. Sebutan gugatan voluntair dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 2 ayat

(1) Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman (sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 35

Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970

Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman) yang menyatakan

bahwa:

8Tiar, Ramon, Bahan Kuliah Hukum Acara Perdata, Wordpress, diakses dari

http://tiarramon.wordpress.com/2010/06/04/bab-ii-perihal-gugatan/, pada tanggal 4 September 2011

pukul 12.14. 9 Sudikno, Mertokusumo., Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, halaman 48.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

14

“Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan

mengandung pengertian di dalamnya penyelesaian masalah yang

bersangkutan dengan yurisdiksi voluntair”

Ketentuan Pasal 2 tersebut tidak diatur lagi dalam Undang-undang Nomor 4

Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-undang

Nomor 14 tahun 1970 dan tidak diatur pula di dalam Undang-undang Nomor 48

Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan pengganti dari Undang-

undang Nomor 4 Tahun 2004, namun ketentuan itu merupakan penegasan, di

samping kewenangan badan peradilan penyelesaian masalah atau perkara yang

bersangkutan dengan yurisdiksi contentiosa yaitu penyelesaian masalah yang bersifat

partai (ada pihak Penggugat dan Tergugat), juga memberi kewenangan penyelesaian

masalah atau perkara voluntair yaitu gugatan permohonan secara sepihak tanpa ada

pihak lain yang yang ditarik sebagai Tergugat. Jika undang-undang tersebut

menggunakan istilah voluntair, maka Mahkamah Agung memakai istilah

permohonan. Istilah itu dapat dilihat dalam “Pedoman Pelaksanaan Tugas dan

Administrasi Pengadilan”,10

pada halaman 110 angka 15 digunakan istilah

permohonan, namun pada angka 15 huruf (e) dipergunakan juga istilah voluntair,

yang menjelaskan bahwa: “Perkara permohonan termasuk dalam pengertian

yurisdiksi voluntair”. Dari penjelasan di atas ditemui dua istilah yang sering

10

M. Yahya, Harahap, Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

Pembuktian, dan Putusan Pengadilan), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, halaman 28.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

15

digunakan baik dalam literatur maupun praktek, yaitu permohonan atau voluntair,

oleh karena itu antar keduanya dapat saling dipertukarkan atau interchangeable.11

Gugatan contentiosa adalah perkara yang di dalamnya terdapat sengketa dua

pihak atau lebih yang sering disebut dengan istilah gugatan perdata, artinya ada

konflik yang harus diselesaikan dan harus diputus Pengadilan, apakah berakhir

dengan kalah memang atau damai tergantung pada proses hukumnya, misalnya

sengketa hak milik, warisan dan lain-lain.

3. Bentuk Gugatan

Gugatan yang diajukan ke pengadilan negeri dapat berbentuk:

1. Tertulis Pasal 118 ayat (1) HIR

2. Lisan Pasal 120 HIR

Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis.12

Pengutamaan mengenai gugatan tertulis diatur dalam HIR yang menyatakan gugatan

tingkat pertama harus dimasukkan dengan suatu surat permintaan yang

ditandatangani oleh Penggugat atau wakilnya. Penegasannya ini tercantum dalam

Pasal 118 ayat (1) HIR yang merumuskan:

“Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan

negeri, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh

penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123, kepada ketua pengadilan

negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak

diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya.”

11

Loc. cit. 12

Ibid, halaman 49.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

16

Pasal 118 ayat (1) HIR yang disebutkan di atas mengatur mengenai gugatan tertulis,

sedangkan untuk gugatan lisan diatur dalam Pasal 120 HIR. Perihal gugatan lisan,

HIR memberi kelonggaran bagi Penggugat yang buta huruf untuk mengajukan

gugatan secara lisan. Pasal 10 HIR yang merumuskan:

“Bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya yang dapat

dimasukkannya dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri yang mencatat

gugatan.”

Dewasa ini gugatan lisan sudah tidak lazim lagi, bahkan menurut Yurisprudensi

Mahkamah Agung tanggal 4-12-1975 Nomor 369 K/Sip/1973, orang yang menerima

kuasa tidak diperbolehkan mengajukan gugatan secara lisan13

Yurisprudensi Mahkamah Agung tentang syarat dalam menyusun gugatan:

1. Orang bebas menyusun dan merumuskan surat gugatan asal cukup

memberikan gambaran tentang kejadian materil yang menjadi dasar tuntutan

(Mahkamah Agung tanggal 15-3-1970 Nomor 547 K/Sip/1972);

2. Apa yang dituntut harus disebut dengan jelas (Mahkamah Agung tanggal 21-

11-1970 Nomor 492 K/Sip/1970);

3. Pihak-pihak yang berperkara harus dicantumkan secara lengkap (Mahkamah

Agung tanggal 13-5-1975 Nomor 151 /Sip/1975);

4. Khusus gugatan mengenai tanah harus menyebut dengan jelas letak, batas-

batas dan ukuran tanah (Mahkamah Agung tanggal 9-7-1973 Nomor 81

K/Sip/1971).

13

Tiar, Ramon, Loc. cit.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

17

Tidak memenuhi syarat di atas gugatan menjadi tidak sempurna maka gugatan

dinyatakan tidak dapat diterima. Ketidaksempurnaan diatas dapat dihindarkan jika

Penggugat atau kuasanya sebelum memasukkan gugatan meminta nasihat dulu ke

Ketua Pengadilan, namun karena sekarang sudah banyak Advokat atau Pengacara

maka sangat jarang terjadi kecuali mereka tidak bisa tulis dan baca.

Dalam hukum acara perdata terdapat istilah gugatan tidak dapat diterima dan

gugatan ditolak. Kedua istilah tersebut mempunyai akibat hukum yang berbeda,

selain itu kedua istilah tersebut juga disebabkan oleh hal yang berbeda. Perbedaan

mengenai istilah gugatan tidak dapat diterima dan gugatan ditolak adalah sebagai

berikut:

1. Gugatan tidak diterima adalah gugatan yang tidak bersandarkan hukum, yaitu

apabila peristiwa-peristiwa sebagai dasar tuntutan tidak membenarkan

tuntutan. Putusan tidak diterima ini bermaksud menolak gugatan diluar pokok

perkara. Dalam hal ini Penggugat masih dapat mengajukan kembali

gugatannya atau banding. Lebih kepada tidak memenuhi syarat formil.

2. Gugatan ditolak adalah gugatan tidak beralasan hukum yaitu apabila tidak

diajukan peristiwa-peristiwa yang membenarkan tuntutan. Putusan hakim

dengan melakukan penolakan bermaksud menolak setelah

mempertimbangkan pokok perkara. Dalam hal ini Penggugat tidak ada

kesempatan mengajukan kembali tapi haknya adalah banding. Lebih kepada

tidak memenuhi syarat materil (pembuktian).

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

18

4. Syarat Gugatan

HIR maupun Rbg tidak mengatur secara tegas perihal syarat-syarat membuat

suatu gugatan, akan tetapi di dalam praktek, suatu gugatan hendaklah memenuhi

ketentuan sebagai berikut:

a) Syarat formil terdiri dari tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan, materai

dan tanda tangan.

b) Syarat materil terdiri dari identitas para pihak karena dalam suatu gugatan

harus jelas diuraikan mengenai identitas dari Penggugat maupun Tergugat.

Identitas itu umumnya menyangkut:

1. Nama lengkap;

2. Umur, tempat dan tanggal lahir;

3. Pekerjaan;

4. Alamat atau domisili.

Dalam hal Penggugat dan Tergugatnya adalah suatu badan hukum, maka harus tegas

disebutkan siapa yang berhak mewakili menurut anggaran dasarnya.

5. Isi Gugatan

Perihal isi gugatan diatur dalam Pasal 8 Rv (Reglement op de

Rechtsvordering). Menurut Pasal 8 Rv pada intinya gugatan harus memuat:

1. Identitas para pihak,

2. Dasar atau dalil gugatan/posita/fundamentum petendi berisi tentang peristiwa

dan hubungan hukum,

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

19

3. Tuntutan/petitum terdiri dari tuntutan primer dan tuntutan

subsider/tambahan.14

Identitas para pihak adalah keterangan yang lengkap dari pihak-pihak yang

berpekara yaitu nama, tempat tinggal dan pekerjaan. Kalau mungkin juga agama,

umur dan status kawin, sedangkan fundamentum petendi (posita) adalah dasar dari

gugatan yang memuat tentang adanya hubungan hukum antara pihak-pihak yang

berpekara (Penggugat dan Tergugat) yang terdiri dari dua bagian yaitu:

1) Uraian tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa (eittelijke

gronden) adalah merupakan penjelasan duduk perkaranya;

2) Uraian tentang hukumnya (rechtsgronden) adalah uraian tentang adanya

hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari gugatan.

Petitum adalah yang dimohon atau dituntut supaya diputuskan Pengadilan.

Petitum ini akan mendapat jawabannya dalam diktum atau amar putusan Pengadilan,

oleh karena itu Penggugat harus merumuskan petitum tersebut dengan jelas dan tegas,

kalau tidak, bisa menyebabkan gugatan tidak dapat diterima.

6. Pengajuan Gugatan

Gugatan yang diajukan oleh Penggugat harus benar-benar memperhatikan

kompetensi atau kewenangan dari Pengadilan yang akan memeriksa dan memutus

perkara. Dalam hukum acara perdata dikenal adanya 2 (dua) macam kewenangan

(kompetensi) mengadili, yaitu:

14

Loc. Cit.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

20

a. Kewenangan mutlak (Kompetensi Absolut) sebagaimana diatur dalam Pasal

18 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

adalah wewenang badan Pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu

yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan Pengadilan lain, baik

dalam lingkungan peradilan yang sama (Pengadilan Negeri dengan

Pengadilan Tinggi) maupun dalam lingkungan peradilan yang lain

(Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Agama), dengan demikian wewenang

yang mutlak ini menjawab pertanyaan badan peradilan macam apa yang

berwenang untuk mengadili sengketa yang bersangkutan. Kalau suatu perkara

diajukan kepada hakim yang secara mutlak (absolut) tidak berwenang

memeriksa perkara tersebut, maka hakim harus menyatakan dirinya tidak

berwenang secara ex officio untuk memeriksanya dan tidak bergantung pada

ada tidaknya eksepsi dari Tergugat tentang ketidakwenangannya itu. Setiap

saat selama persidangan berlangsung dapat diajukan tangkisan bahwa hakim

tidak berwenang memeriksa perkara tersebut.

b. Kewenangan Relatif (Kompetensi Relatif), yaitu mengatur tentang pembagian

jenis kekuasaan mengadili antar Pengadilan yang serupa atau sejenis

(Pengadilan Negeri Bukittinggi dengan Pengadilan Negeri Padang Panjang).

Dengan demikian wewenang relatif ini akan menjawab pertanyaan Pengadilan

yang berada di mana yang berwenang untuk mengadili perkara yang

bersangkutan. Jadi dalam hal ini akan berkaitan dengan wilayah hukum suatu

Pengadilan. Kalau seseorang digugat di muka hakim yang tidak berwenang

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

21

secara relatif memeriksa perkara tersebut, maka hakim hanya dapat

menyatakan dirinya tidak berwenang secara relatif memeriksa perkara

tersebut apabila Tergugat mengajukan eksepsi (tangkisan) bahwa hakim tidak

berwenang memeriksa perkara tersebut dan tangkisan tersebut diajukan pada

sidang pertama atau setidak-tidaknya belum mengajukan tangkisan lain.15

Pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri diatur dalam Pasal 118 HIR, yang

merumuskan:

ayat (1)

“Gugatan perdata yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan

negeri harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh

penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123 kepada ketua pengadilan

negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak

diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya;”

ayat (2)

“Jika tergugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di dalam itu,

dimajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat salah seorang dari

tergugat itu, yang dipilih oleh penggugat. Jika tergugat satu sama lain dalam

perhubungan sebagai perutang utama dan penanggung, maka penggugat itu

dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat orang yang berutang

utama dari salah seorang daripada orang berutang utama itu, kecuali

ditentukan pada ayat (2) dari Pasal 6 reglemen tentang aturan hakim dan

mahkamah serta kebijaksanaan hakim (R.O);”

ayat (3)

“Bilamana tempat diam dari tergugat tidak dikenal, lagipula tempat tinggal

sebetulnya tidak dketahui, atau jika tergugat tidak dikenal, maka surat gugatan

itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat

atau salah seorang dari penggugat, atau jika surat gugat itu tentang barang

gelap, maka surat gugat itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di

daerah hukum siapa terletak barang itu;”

ayat (4)

“Jika dengan surat sah dipilih dan ditentukan suatu tempat berkedudukan,

maka penggugat, jika ia suka, dapat memasukkan surat gugatan itu kepada

ketua pengadilan negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat

berkedudukan yang dipilih itu.”

15

M. Nur, Rasaid, Op. cit, halaman 19.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

22

Pasal 118 tersebut memberi penjelasan bahwa pada asasnya gugatan harus

diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal Tergugat. Asas ini dalam bahasa Latin

dikenal dengan sebutan asas Actor Sequitor Forum Rei. Hal ini memang sudah

sepantasnyalah demikian karena tidaklah layak kiranya apabila Tergugat harus

menghadap ke Pengadilan tempat tinggal Penggugat, karena bukanlah kehendak dari

si Tergugat bahwa dirinya digugat ke Pengadilan. Terdapat beberapa pengecualian

terhadap asas Actor Sequitor Forum Rei ini, yaitu antara lain:

a) Apabila tempat tinggal Tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan ke

Pengadilan Negeri tempat kediaman Penggugat;

b) Apabila Tergugat terdiri dari dua orang atau lebih dan mereka tinggal pada

tempat yang berlainan, maka gugatan dapat diajukan pada tempat tinggal

salah seorang Tergugat;

c) Apabila yang digugat itu terdiri dari orang-orang berutang dan penanggung,

maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri di tempat orang yang berutang;

d) Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman atau orang yang digugat tidak

diketahui atau tidak dikenal, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri

tempat tinggal Penggugat;

e) Dalam hal keadaan nomor di atas, apabila gugatannya mengenai barang tetap,

maka gugatan diajukan ke Pengadilan tempat di mana barang tetap (tidak

bergerak) tersebut berada. Asas ini dikenal dengan sebutan asas Actor

Sequitor Forum Sitei;

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

23

f) Kalau kedua belah pihak memilih tempat tinggal khusus dengan akta yang

tertulis, maka Penggugat kalau mau dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan

Negeri di tempat yang dipilih dalam akta tersebut.16

Ketentuan dalam Pasal 118 ayat (1) HIR sejalan dengan apa yang digariskan

pada Pasal 123 ayat (1) HIR, yang merumuskan:

“Bilamana dikehendaki, kedua belah pihak dapat dibantu atau diwakili oleh

kuasa, yang dikuasakannya untuk melakukan itu dengan surat kuasa

teristimewa, kecuali kalau yang memberii kuasa itu sendiri hadir. Penggugat

dapat juga memberii kuasa itu dalam surat permintaan yang ditandatangani

dan dimasukkan menurut ayat pertama Pasal 118 atau jika gugatan dilakukan

dengan lisan menurut Pasal 120, maka dalam hal terakhir ini, yang demikian

itu harus disebutkan dalam catatan yang dibuat surat gugat ini.”

Pada intinya Pasal 123 ayat (1) HIR menyatakan bahwa baik Penggugat dan Tergugat

(kedua belah pihak):

1. Dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa yang dikuasakan untuk melakukan

tindakan di depan Pengadilan;

2. Kuasa itu dapat diberikan dengan surat kuasa khusus (special power of

attorney). Supaya pembuatan dan penandatanganan serta pengajuan gugatan

yang dilakukan kuasa sah dan tidak cacat hukum, harus ditempuh prosedur

berikut;

3. Sebelum membuat dan menandatangani surat gugatan, kuasa yang akan

bertindak mewakili Penggugat, harus terlebih dahulu diberi surat kuasa

khusus;

16

Ibid, halaman 21.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

24

4. Berdasarkan surat kuasa, kuasa bertindak membuat, menandatangani dan

mengajukan surat gugatan atas nama dan kepentingan Penggugat atau pemberi

kuasa (latsgever, mandate);

5. Kuasa atau penerima kuasa (lasthebber; mandataris), membuat,

menandatangani dan mengajukan gugatan sebelum mendapat kuasa atau lebih

dahulu membuat dan menandatangani gugatan daripada tanggal surat kuasa:

1) Gugatan yang dibuat dan ditandatangani kuasa itu, dianggap mengandung

cacat formil;

2) Akibatnya, gugatan itu akan dinyatakan pengadilan tidak sah dan tidak

dapat diterima atas alasan gugatan ditandatangani oleh orang yang tidak

berwenang (unauthorized) untuk itu, karena pada waktu surat kuasa

menandatangai gugatan, dia sendiri belum mempunyai surat kuasa.17

Penjelasan di atas merupakan penegasan bahwa jika bertindak membuat dan

menandatangani surat gugatan adalah kuasa maka sebelum itu dilakukannya, kuasa

tersebut harus terlebih dahulu mendapat kuasa yang dituangkan dalam bentuk surat

kuasa khusus dari Penggugat. Paling tidak agar penandatanganan surat gugatan sah

dan tidak cacat, tanggal surat kuasa dengan tanggal penandatanganan surat gugatan

diberi dan dibuat pada hari dan tanggal yang sama.18

Pendahuluan akan pemeriksaan perkara perdata oleh Pengadilan Negeri

adalah pemasukkan surat permohonan yang harus ditandatangani oleh Penggugat atau

17

M. Yahya, Harahap, Op. cit, halaman 51. 18

Loc. Cit.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

25

wakilnya. Surat permohonan itu, sesudah diterima dan setelah Penggugat membayar

biaya administrasi dan ongkos pemanggilan dan pemberitahuan kepada kedua pihak

dan biaya materai, yang harus dibayar oleh Penggugat, dicatat dalam daftar perkara

oleh Panitera. Ketua Pengadilan Negeri menetapkan hari persidangan Pengadilan

dengan perintah untuk memanggil kedua pihak untuk datang menghadap di

persidangan itu. Bersamaan dengan pemanggilan itu, salinan surat permintaan atau

surat gugatan (introductief rekest) diserahkan kepada Tergugat dengan pemberitahuan

bahwa ia jika dikehendakinya dapat menjawab dengan surat.19

B. Pemeriksaan Gugatan di Persidangan

Proses pemeriksaan gugatan perdata di persidangan termasuk ke dalam tata

urutan persidangan perkara perdata di Pengadilan Negeri sebagai berikut:

1. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum;

2. Para pihak (penggugat dan tergugat) diperintahkan memasuki ruang sidang;

3. Para pihak diperiksa identitasnya (surat kuasanya), demikian pula diperiksa

surat ijin praktik dari organisasi advokat;

4. Apabila kedua belah pihak lengkap maka diberi kesempatan untuk

menyelesaikan dengan perkara secara damai;

5. Ditawarkan apakah akan menggunakan mediator dari lingkungan PN atau

dari luar (lihat PERMA RI No.1 Tahun 2008);

6. Apabila tidak tercapai kesepakatan damai maka sidang dilanjutkan dengan

pembacaan surat gugat oleh penggugat/kuasanya;

19

R. Soesilo, Op. cit, halaman 78.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

26

7. Apabila perdamaian berhasil maka dibacakan dalam persidangan dalam

bentuk akta perdamaian yang bertitel DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YME;

8. Apabila tidak ada perubahan acara selanjutnya jawaban dari Tergugat;

(jawaban berisi eksepsi, bantahan, permohonan putusan provisionil,

gugatan rekonvensi);

9. Apabila ada gugatan rekonvensi Tergugat juga berposisi sebagai Penggugat

Rekonvensi;

10. Replik dari Penggugat, apabila digugat rekonvensi maka ia berkedudukan

sebagai Tergugat Rekonvensi;

11. Pada saat surat menyurat (jawab jinawab) ada kemungkinan ada gugatan

intervensi (voeging, vrijwaring, toesenkomst);

12. Sebelum pembuktian ada kemungkinan muncul putusan sela (putusan

provisionil, putusan tentang dikabulkannya eksepsi absolut, atau ada gugat

intervensi);

13. Pembuktian;

14. Dimulai dari Penggugat berupa surat bukti dan saksi;

15. Dilanjutkan dari Tergugat berupa surat bukti dan saksi;

16. Apabila menyangkut tanah dilakukan pemeriksaan setempat;

17. Kesimpulan;

18. Musyawarah oleh Majelis Hakim (bersifat rahasia);

19. Pembacaan Putusan;

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

27

20. Isi putusan: a. Gugatan dikabulkan, b. Gugatan ditolak, c. Gugatan tidak

dapat diterima;

21. Atas putusan ini para pihak diberitahu hak-haknya apakah akan menerima,

pikir-pikir atau akan banding. Apabila pikir-pikir maka diberi waktu

selama 14 hari;

22. Dalam hal ada pihak yang tidak hadir maka diberitahu terlebih dahulu dan

dalam waktu 14 hari setelah pemberitahuan diberi hak untuk menentukan

sikap. Apabila waktu 14 hari tidak menentukan sikap maka dianggap

menerima putusan.20

Sistem pemeriksaan gugatan perdata digariskan dalam Pasal 125 dan 127

HIR. Pasal 125 HIR merumuskan:

ayat (1)

“Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa, atau tidak

pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil

dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek), kecuali

kalau nyata kepada pengadilan negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak

atau tidak beralasan;”

ayat (2)

“Akan tetapi jika tergugat, di dalam surat jawabannya yang tersebut pada

Pasal 121, mengemukakan perlawanan (exceptie) bahwa pengadilan negeri

tidak berkuasa memeriksa perkaranya, maka meskipun ia sendiri atau

wakilnya tidak hadir, ketua pengadilan negeri wajib memberii keputusan

tentang perlawanan itu, sesudah didengarnya penggugat dan jika hanya

perlawanan itu tidak diterima, maka ketua pengadilan negeri memutuskan

tentang perkara itu”

ayat (3)

Jika surat gugat diterima, maka atas perintah ketua diberitahukanlah

keputusan pengadilan negeri kepada orang yang dikalahkan itu serta

20 Pengadilan Negeri Sukoharjo, Tata Urutan Persidangan Perkara Perdata, diakses dari http://www.pn-sukoharjo.go.id/index.php/kepaniteraan/bagian-perdata/tata-urutan-persidangan-

perkara-perdata.html, pada tanggal 5 Mei 2012.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

28

menerangkan pula kepadanya, bahwa ia berhak memajukan perlawanan

(verzet) di dalam tempo dan dengan cara yang ditentukan Pasal 129 tentang

keputusan itu di muka pengadilan itu juga”

ayat (4)

“Panitera mencatat di bawah surat putusan itu kepada siapakah dulunya

diperintahkan menjalankan pekerjaan itu dan apakah yang diterangkan orang

itu tentang hal itu, baik dengan surat maupun dengan lisan.”

Pasal 127 HIR merumuskan:

“Jika seseorang atau lebih tergugat tidak datang atau tidak menyuruh orang

lain menghadap mewakilinya, maka pemeriksaan perkara itu diundurkan

sampai pada hari persidangan lain, yang paling dekat. Hal mengundurkan diri

itu diberitahukan pada waktu persidangan kepada pihak yang hadir, bagi

mereka pemberitahuan itu sama dengan panggilan, sedang tergugat yang tidak

datang, disuruh panggil oleh ketua sekali lagi menghadap hari persidangan

yang lain. Ketika itu perkara diperiksa dan kemudian diputuskan bagi sekalian

pihak dalam satu keputusan, atas mana tidak diperkenankan perlawanan

(verzet).”

Pada intinya Pasal 125 dan 127 HIR tersebut mengatur bahwa sistem dan

proses pemeriksaan adalah sebagai berikut:

a. Dihadiri Kedua Belah Pihak secara In Person atau Kuasa.

Para pihak dipanggil dengan resmi dan patut oleh juru sita menghadiri

persidangan yang telah ditentukan dan ini merupakan prinsip umum yang harus

ditegakkan agar sesuai dengan asas due process of law, namun ketentuan ini, dapat

dikesampingkan berdasarkan Pasal 125 ayat (1) dan Pasal 127 HIR, yang memberi

kewenangan bagi hakim untuk melakukan proses pemeriksaan:

1. Secara verstek (putusan di luar hadirnya tergugat) apabila tidak menghadiri

sidang tanpa alasan yang sah, padahal sudah dipanggil secara sah dan patut,

2. Pemeriksaan tanpa bantahan dilakukan apabila pada sidang berikut tidak hadir

tanpa alasan yang sah, misalnya persidangan diundurkan pada hari yang

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

29

ditentukan oleh hakim dan ternyata Penggugat atau Tergugat tidak hadir pada

hari tersebut tanpa alasan yang sah. Dalam kasus yang seperti ini, proses

pemeriksaan dapat dilanjutkan untuk memeriksa pihak yang hadir tanpa

sanggahan (without defence) dari pihak yang tidak hadir.21

b. Proses Pemeriksaan Berlangsung secara Op Tegenspraak.

Sistem inilah yang dimaksud dengan proses contradictoir dan sistem ini

memberi hak serta kesempatan (opportunity) kepada Tergugat untuk membantah dalil

Penggugat. Sebaliknya Penggugat juga berhak untuk melawan bantahan Tergugat.

Proses dan sistem yang seperti ini yang disebut contradictoir yaitu pemeriksaan

perkara berlangsung dengan proses sanggah menyanggah baik dalam bentuk replik-

duplik maupun dalam bentuk konklusi, akan tetapi seperti dijelaskan di atas, proses

contradictoir dapat dikesampingkan baik melalui verstek atau tanpa bantahan, apabila

pihak yang bersangkutan tidak menghadiri persidangan yang ditentukan tanpa alasan

yang sah padahal sudah dipanggil secara sah dan patut oleh juru sita, namun tanpa

mengurangi pengecualian tersebut:

1. Pada prinsipnya pemeriksaan tidak boleh dilakukan secara sepihak (ex parte),

hanya pihak Penggugat atau Tergugat saja;

2. Sistem pemeriksaan secara contradictoir harus ditegakkan dan berlangsung

sejak permulaan sidang sampai putusan dijatuhkan tanpa mengurangi

kebolehan mengucapkan putusan tanpa hadirnya salah satu pihak.22

21

M. Yahya, Harahap, Op. cit, halaman 69. 22

M. Yahya, Harahap, Loc. Cit.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

30

C. GUGATAN REKONVENSI

1. Pengertian Gugatan Rekonvensi

Gugat rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh Tergugat terhadap

Penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan diantara mereka.23

Pengertian

gugatan rekonvensi juga diatur dalam Pasal 132 a ayat (1) HIR, yang merumuskan:

“Tergugat berhak dalam tiap-tiap perkara memasukkan gugatan melawan

kecuali:

1. Kalau penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang

gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya;

2. Kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak

berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok

perselisihan;

3. Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan.”

Pasal 132 a ayat (1) tersebut hanya memberi pengertian singkat. Maknanya menurut

pasal itu:

1) Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan Tergugat sebagai gugatan

balasan terhadap gugatan yang diajukan Penggugat kepadanya dan;

2) Gugatan rekonvensi itu, diajukan Tergugat kepada Pengadilan Negeri,

pada saat berlangsung proses pemeriksan gugatan yang diajukan

Penggugat.24

2. Pengaturan Mengenai Gugatan Rekonvensi

Pengaturan mengenai gugat rekonvensi diatur dalam Pasal 132 a dan b HIR.

Pasal 132 a HIR merumuskan:

23

Soedikno, Mertokusumo, Op. cit, halaman 117. 24

M. Yahya, Harahap, Op. cit., halaman 468.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

31

ayat (1)

“Tergugat berhak dalam tia-tiap perkara memasukkan gugatan melawan

kecuali:

1. Kalau penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang

gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya;

2. Kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak

berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok

perselisihan;

3. Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan.”

ayat (2)

“Jikalau dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimajukan gugatan

melawan, maka dalam bandingan tidak dapat mengajukan gugatan itu.”

Pasal 132 b HIR merumuskan:

ayat (1)

“Tergugat wajib memasukkan gugatan melawan bersama-sama dengan

jawabannya, baik dengan surat maupun dengan lisan;

ayat (2)

“Buat gugatan melawan itu berlaku peraturan dari bagian ini;”

ayat (3)

“Kedua perkara itu diselesaikan sekaligus dan diputuskan dalam satu

keputusan, kecuali kalau sekiranya pengadilan negeri berpendapat, bahwa

perkara yang pertama dapat lebih dahulu diselesaikan daripada yang kedua,

dalam hal mana demikian dapat dilakukan, tetapi gugatan mula-mula dan

gugatan melawan yang belum diputuskan itu masih tetap diperiksa oleh hakim

itu juga, sampai dijatuhkan keputusan terakhir;”

ayat (4)

“Bandingan diperbolehkan, jika banyaknya wang dalam gugatan tingkat

pertama ditambah dengan wang dalam gugatan melawan lebih daripada

jumlah wang yang sebanyak-banyaknya yang dapat diputuskan oleh

pengadilan negeri sebagai hakim yang tertinggi;”

ayat (5)

“Bila kedua perkara itu dibagi-bagi dan keputusan dijatuhkan berasing-asing,

maka haruslah dituruti aturan biasa tentang hak bandingan.”

Pada asanya gugatan rekonvensi dapat diajukan mengenai segala hal, ini

terlihat dari kalimat ”…in alle zaken” dalam Pasal 132 a ayat (1) HIR, akan tetapi

Pasal 132 a ayat (1) nomor 1, 2 dan 3 HIR memberikan pengecualian, yaitu dalam

hal:

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

32

1. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi kepada diri orang yang bertindak

berdasarkan suatu kualitas. Larangan tentang hal ini diatur dalam Pasal 132 a

ayat (1) ke-1 HIR yang tidak memperbolehkan pengajuan gugatan rekonvensi

kepada diri pribadi Penggugat, sedangkan dia di tengah bertindak sebagai

Penggugat mewakili kepentingan principal, misalnya seorang kuasa yang

bertindak mengajukan gugatan kepada Tergugat untuk kepentingan dan atas

nama (on behalf) pemberi kuasa (principal). Berarti kuasa tersebut adalah

orang yang bertindak dalam kualitas mewakili kepentingan pemberi kuasa.

2. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi di luar yursdiksi Pengadilan Negeri

yang memeriksa perkara. Larangan kedua, apabila gugatan rekonvensi

diajukan di luar yurisdiksi Pengadilan Negeri yang memeriksa gugatan

semula. Sebagai contoh, A menggugat B atas sengketa transaksi jual beli

tanah. Terhadap gugatan itu, B mengajukan gugatan rekonvensi mengenai

sengketa hibah. Tindakan B tersebut tidak dapat dibenarkan karena sesuai

dengan ketentuan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, sengketa

hibah bagi yang beragama islam menjadi yurisdiksi absolute lingkungan

peradilan agama.

3. Gugatan rekonvensi terhadap eksekusi. Larangan berikutnya, tidak boleh

mengajukan rekonvensi terhadap sengketa yang menyangkut perlawanan

terhadap eksekusi putusan, misalnya A mengajukan perlawanan terhadap

eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Terhadap

gugatan perlawanan tersebut pihak Terlawan tidak dibenarkan mengajukan

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

33

gugatan rekonvensi. Alasan larangan itu adalah gugatan perlawanan terhadap

eksekusi putusan dianggap perkara yang sudah selesai diputus

persengketaannya. Dalam teori dan praktek dikatakan, sengketa eksekusi atau

executie geschillen adalah sengketa yang sudah selesai pokok perkaranya,

akan tetapi jika bertitik tolak dari ketentuan Pasal 379 Rv yang menyatakan

tata cara pemeriksaan perkara gugatan biasa berlaku sepenuhnya terhadap

gugatan perlawanan, baik yang berbentuk derden verzet (perlawanan pihak

ketiga) atau party verzet (perlawanan para pihak), berarti hukum

memperbolehkan terlawan mengajukan gugatan rekonvensi atas gugatan

perlawanan terhadap eksekusi. Sehubungan adanya kontroversi dalam

ketentuan Pasal 132 a ayat (1) ke-3 HIR dengan Pasal 379 Rv, dalam praktek

terdapat acuan penerapan sebagai berikut:

a) Pada prinsipnya Terlawan tidak boleh mengajukan gugatan rekonvensi

terhadap gugatan perlawanan atas eksekusi. Bertitik tolak dari Pasal 132 a

ayat (1) ke-3 HIR, pada prinsipnya undang-undang melarang Terlawan

mengajukan gugatan rekonvensi terhadap gugatan perlawanan, baik hal

itu dalam bentuk perlawnan pihak ketiga (derden verzet) atau perlawanan

pihak partai (party verzet). Alasan yang mendukung larangan ini, ialah

gugatan rekonvensi terhadap perlawanan menjalankan eksekusi putusan

dianggap bertentangan dengan ketertiban beracara, sebab penyelesaian

sengketa perlawanan terhadap eksekusi menuntut penyelesaian yang

cepat, oleh karena itu membolehkan Terlawan mengajukan rekonvensi

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

34

mengakibatkan penyelesaian eksekusi berlarut-larut dalam proses

pemeriksaan yang panjang, dengan demikian apabila perlawanan yang

diajukan murni ditujukan terhadap penetapan perintah eksekusi, maka

tepatlah untuk menegakkan larangan ini, dengan ketentuan:

1. Putusan yang hendak dieksekusi sudah bersifat menyudahi secara

tuntas materi pokok perkara;

2. Perlawanan yang diajukan Terlawan terhadap eksekusi itu, tidak

mengandung pokok perselisihan baru yang erat kaitannya dengan

putusan yang hendak dieksekusi.

b) Secara kasuistik terlawan dapat mengajukan gugatan rekonvensi. Dalam

praktek, perlawanan yang banyak terjadi terhadap eksekusi bukan party

verzet, tetapi perlawanan pihak ketiga atau derden verzet. Jika pada party

verzet, perlawanan yang diajukan murni ditujukan kepada pelaksanaan

eksekusi putusan pengadilan maka pada derden verzet gugatan

perlawanan yang diajukan selalu mengandung dua aspek:

1. Aspek pertama, ditujukan kepada penundaan atau pembatalan

pelaksanaan eksekusi;

2. Aspek kedua, berisi dalil gugatan baru yang menyatakan barang objek

eksekusi adalah milik Terlawan, sehingga dalam gugatan perlawanan

tersebut terkandung pokok sengketa baru yang langsung berkaitan

dengan pokok materi yang terdapat dalam putusan yang hendak

dieksekusi.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

35

Dalam kasus demikian, gugatan perlawanan tidak murni semata-mata

terhadap pelaksanaan eksekusi, tetapi sekaligus terkandung di dalamnya

pokok perkara baru antara Pelawan, Pemohon dan Termohon eksekusi. Pada

dasarnya derden verzet ditujukan terhadap putusan yang hendak dieksekusi,

sehingga gugatan perlawanan itu ditujukan terhadap pihak Penggugat dan

Tergugat yang tercantum dalam putusan itu sebagai pihak Terlawan. Terhadap

perlawanan yang berbentuk derden verzet, secara kasuistik dimungkinkan

mengajukan gugatan rekonvensi, akan tetapi sepanjang gugatan perlawanan

berbentuk party verzet yang sifat gugatannya murni mengenai sengketa

eksekusi (executie geschill) dilarang mengajukan gugatan rekonvensi.

4. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat banding. Larangan itu

ditegaskan dalam Pasal 132 a ayat (2) HIR. Dikatakan, jika dalam proses

pemeriksaan tingkat pertama, yaitu di Pengadilan Negeri tidak diajukan

gugatan rekonvensi, hal tersebut tidak dapat diajukan dalam tingkat banding

di Pengadilan Tinggi, dengan demikian kebolehan dan kesempatan

mengajukan gugatan rekonvensi hanya pada tahap proses pemeriksaan

Pengadilan Negeri. Gugatan rekonvensi yang diajukan baik tersendiri maupun

dalam memori banding tidak memenuhi syarat formil karena diajukan kepada

instansi Pengadilan yang tidak memiliki yurisdiksi untuk itu. Lain halnya jika

dalam tingkat pertama diajukan gugatan rekonvensi maka gugatan itu

berlanjut meliputi yurisdiksi Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding, oleh

karena itu jika pada tingkat Pengadilan Negeri Tergugat mengajukan gugatan

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

36

rekonvensi lantas pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi lalai

mempertimbangkan dan memutusnya, maka hal itu dianggap merupakan

pelanggaran terhadap tata tertib beracara. Hal ini ditegaskan dalam Putusan

Mahkamah Agung No. 1250 K/ Pdt/ 1986, bahwa Pengadilan Tinggi yang

lalai mempertimbangkan dan memutus gugatan rekonvensi dalam tingkat

banding dianggap telah melakukan kekeliruan dalam tata cara mengadili dan

dapat dijadikan alasan oleh Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan

dan bersamaan dengan itu memerintahkan Pengadilan Tinggi untuk

memeriksa dan memutus gugatan rekonvensi yang dimaksud. Sehubungan

dengan larangan ini, apabila Tergugat mempunyai tuntutan kepada Penggugat,

tetapi ia lalai mengajukannya sebagai gugatan rekonvensi pada saat proses

pemeriksaan berlangsung di Pengadilan Negeri, jalan keluar yang harus

ditempuhnya ialah dengan mengjukan gugatan perkara biasa.

5. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat kasasi. Secara tegas,

tidak dijumpai ketentuan undang-undang yang melarang pengajuan gugatan

rekonvensi dalam tingkat kasasi, dengan demikian berdasarkan prinsip

penafsiran a contrario, boleh mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat

kasasi karena undang-undang sendiri tidak tegas melarangnya, akan tetapi

fungsi Mahkamah Agung bukan peradilan judex factie yang berwenang

memeriksa dan menilai permasalahan fakta (feitelijke kwesties), sehingga

tidak dibenarkan mengajukan rekonvensi kepada Mahkamah Agung dalam

tingkat kasasi meskipun tidak ada ketentuan yang melarangnya. Larangan

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

37

tentang itu dijumpai dalam putusan peradilan, antara lain Putusan Mahkamah

Agung No. 209 K/ Sip/ 1970 yang mengatakan gugatan rekonvensi dalam

tingkat kasasi tidak dapat diajukan, oleh karena itu kalau pada peradilan

tingkat pertama Tergugat lalai mengajukan gugatan rekonvensi, gugatan itu

harus diajukannya secara tersendiri melalui gugatan biasa ke Pengadilan

Negeri.25

D. PUTUSAN PENGADILAN

Putusan pengadilan adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai Pejabat

Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan

untuk menghakimi atau menyelesaikan perkara atau sengketa antara para pihak.26

Pada umumnya, tujuan suatu proses di muka Pengadilan adalah untuk memperoleh

putusan hakim yang baik dan berkekuatan hukum tetap, artinya suatu putusan hakim

yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan yang tidak dapat diubah lagi.27

Putusan membuat hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara

ditetapkan untuk selama-lamanya, dengan maksud apabila tidak ditaati secara

sukarela, maka berlakunya dipaksakan dengan bantuan Alat-alat Negara (dengan

kekuatan umum). Putusan hakim dijatuhkan setelah melalui rangkaian proses

pemeriksaan oleh hakim atas fakta-fakta yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang

berperkara selesai dilakukan dan atas fakta-fakta tersebut, hakim telah menetapkan

25

M. Yahya, Harahap, Op. cit, halaman 493. 26

Sudikno, Mertokusumo, Op. cit, halaman 175. 27

Sri, Wardah, dan Bambang, Sutiyoso, Hukum Acara Perdata, Gama Media, Yogyakarta, 2007,

halaman 211.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

38

(mengkonstantir) kebenarannya dan menetapkan hukum yang berlaku atau

menetapkan hubungan hukumnya antara kedua belah pihak yang berperkara

(mengkualifisir). Hal ini dalam praktek, dapat dibaca dalam perumusan

pertimbangan-pertimbangan mengenai duduk perkaranya dan kemudian

pertimbangan-pertimbangan mengenai hukumnya, setelah itu hakim memberi

konstitusinya yang dirumuskan dalam diktum akhir.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

39

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian (research) berarti pencarian kembali. Pencarian yang dimaksud

adalah pencarian terhadap pengetahuan yang benar (ilmiah), karena hasil dari

pencarian ini akan dipakai untuk menjawab permasalahan tertentu.28

Metode adalah

cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai

dengan yang dikehendaki. Merujuk pada pengertian di atas, maka metode penelitian

memiliki pengertian sebagai suatu cara teratur yang digunakan untuk melakukan

pencarian terhadap pengetahuan yang ilmiah dengan tujuan untuk menjawab suatu

permasalahan tertentu. Metode Penelitian tersebut terdiri dari:

1. Metode Pendekatan

Tipe penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis

normatif dengan pendekatan konseptual, pendekatan undang-undang dan pendekatan

penelitian hukum klinis. Pendekatan konseptual disini berfungsi memunculkan

obyek-obyek yang menarik perhatian dari sudut pandang praktis dan sudut pandang

pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu,29

sedangkan pendekatan

undang-undang disini bertujuan untuk meneliti berbagai aturan hukum yang menjadi

fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian, oleh karena itu peneliti harus melihat

hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

28

Amirudin, dan H. Zainal, Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2003, halaman 19. 29

Johny, Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang, 2008,

halaman 306

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

40

1) Comprehensive, artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait

antara satu dengan yang lainnya secara logis.

2) All Inclusive, bahwa kumpulan norma hukum tersebut mampu menampung

permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak ada kekurangan hukum.

3) Sistematic, bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang lain, norma-

norma hukum tersebut juga harus tersusun secara hierarkis.30

Penelitian ini juga memakai pendekatan penelitian hukum klinis, yaitu

penelitian yang berusaha menemukan apa hukumnya bagi suatu perkara in concreto.

Seperti halnya pada penelitian untuk menemukan asas-asas hukum (doktrinal),

penelitian untuk menemukan hukum in concreto bagi suatu perkara tertentu, juga

mensyaratkan adanya inventarisasi hukum positif in abstracto. Norma hukum in

abstracto dipergunakan sebagai premise mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan

dalam perkara (legal fact) dipergunakan sebagai premise minor .31

2. Spesifikasi Penelitian

Penelitian dalam karya ilmiah ini merupakan penelitian hukum normatif, yang

disebut juga sebagai penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian ini, acapkali hukum

dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in

books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan

30

Ibid, halaman 302 31

Ibid, halaman 125.

Page 41: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

41

berperilaku manusia yang dianggap pantas.32

Penelitian hukum normatif terdiri dari

beberapa jenis, yaitu sebagai berikut:

1. Penelitian inventarisasi hukum positif. Jenis penelitian ini merupakan

kegiatan pendahluan yang sangat mendasar. Sebelum menemukan norma

hukum in concreto, haruslah diketahui lebih dahulu hukum positif yang

berlaku. Sebagian orang beranggapan bahwa kegiatan inventarisasi hukum

hanyalah pekerjaan mengumpulkan peraturan perundang-undangan saja dan

pekerjaan itu sulit disebut sebagai penelitian. Anggapan tersebut adalah keliru,

karena kegiatan inventarisasi hukum positif adalah proses identifikasi yang

kritis-analitis serta logis sistematis.33

2. Penelitian asas-asas hukum. Asas-asas hukum itu dipertanyakan, dari

manakah asas hukum tersebut “ditarik” atau berasal? Faktor-faktor apakah

yang mempengaruhinya? Menurut Paul Scholten, faktor-faktor yang

mempengaruhi adanya asas-asas hukum adalah hati nurani yang bersih dan

perasaan hukum.34

3. Penelitian hukum klinis, yaitu penelitian yang berusaha menemukan apa

hukumnya bagi suatu perkara in concreto. Seperti halnya pada penelitian

untuk menemukan asas-asas hukum (doktrinal), penelitian untuk menemukan

hukum in concreto bagi suatu perkara tertentu, juga mensyaratkan adanya

inventarisasi hukum positif in abstracto. Norma hukum in abstracto

32

Amirudin, dan H. Zainal, Asikin, Op.cit, halaman 118. 33

Ibid, halaman 121. 34

Ibid, halaman 124.

Page 42: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

42

dipergunakan sebagai premise mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan

dalam perkara (legal fact) dipergunakan sebagai premise minor .35

4. Penelitian hukum yang mengkaji sistematika peraturan perundang-undangan,

yaitu diawali dengan mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang

menjadi focus penelitian, selanjutnya mengklasifikasikan berdasarkan

kronologis dari bagian-bagian yang diatur oleh peraturan tersebut. Proses

selanjutnya adalah analisis dengan mengemukakan pengertian-pengertian

dasar dari sistem hukum, yang mencakup: subjek hukum; hak dan kewajiban;

peristiwa hukum; hubungan hukum; dan objek hukum, yang kemudian

dianalisis hanya pasal-pasal yang isinya mengandung kaidah hukum,

kemudian lakukan konstruksi dengan cara memasukkan pasal-pasal tertentu

ke dalam kategori-kategori berdasarkan pengertian-pengertian dasar dari

sistem hukum tersebut.36

5. Penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan perundang-

undangan, yaitu baik secara vertical maupun horizontal. Apabila peraturan

perundang-undangan itu ditelaah secara vertical, berarti akan dilihat

bagaimana hierarkisnya. Apabila peraturan perundang-undangan itu ditelaah

secara horizontal, maka yang diteliti adalah sejauh mana peraturan perundang-

35

Ibid, halaman 125. 36

Ibid, halaman 128.

Page 43: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

43

undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai hubungan

fungsional secara konsisten.37

6. Penelitian perbandingan hukum, yaitu penelitian hukum yang

membandingkan sistem hukum masyarakat yang satu dengan sistem hukum

masyarakat yang lain.38

7. Penelitian sejarah hukum, yaitu penelitian yang bermaksud untuk menjelaskan

perkembangan dari bidang-bidang hukum yang diteliti. Dengan penelitian

jenis ini, akan terungkap ke permukaan mengenai fakta hukum masa silam

dalam hubngannya dengan fakta hukum masa kini.39

Peneliti menggunakan jenis penelitian hukum klinis di dalam karya ilmiah ini,

dimana nantinya peneliti berusaha menemukan apa hukumnya bagi suatu perkara in

concreto, yaitu dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor

17/Pdt. G/2007/PN. Pbg. Peneliti nantinya akan melakukan inventarisasi hukum

positif in abstracto tentang penerapan hukum gugatan rekonvensi dan akibat

hukumnya apabila Majelis Hakim memutuskan menolak ataupun menyatakan

gugatan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard). Hukum positif in abstracto

tersebut, nantinya akan digunakan sebagai premise mayor dan premise minornya

adalah segala fakta-fakta yang relevan dalam perkara perdata yang termuat dalam

putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg.

37

Ibid, halaman 129. 38

Ibid, halaman 130. 39

Ibid, halaman 131.

Page 44: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

44

3. Bahan Hukum

Peneliti di dalam penelitiannya ini akan menggunakan tiga jenis bahan

hukum, yaitu:

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat Bahan hukum primer

terdiri dari peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, catatan resmi,

lembar negara penjelasan, risalah, putusan hakim dan yurisprudensi.40

Bahan

hukum yang akan digunakan peneliti dalam penelitian ini, diantaranya adalah

Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg., HIR, Rv, Kitab Undang-undang

Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman dan bahan hukum primer lainnya.

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari pustaka di bidang ilmu hukum,

penelitian di bidang ilmu hukum, jurnal hukum, artikel ilmiah, laporan

hukum, berita, eksaminasi publik dan semua publikasi baik dari media cetak

maupun elektronik.41

40

Peter, Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Perdana Media Group, Surabaya, 2007,

halaman 141. 41

Loc. Cit.

Page 45: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

45

c) Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti

kamus (hukum), ensiklopedia.42

4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, bahan sekunder diperoleh dengan melakukan studi

kepustakaan berupa inventarisasi Putusan Pengadilan, peraturan-peraturan dan

ketentuan- ketentuan serta literatur yang memberikan pengaturan tentang gugatan

rekonvensi. Selain itu, metode pengumpulan bahan hukum yang digunakan juga

berupa studi kepustakaan, internet browsing, telaah artikel ilmiah, telah karya ilmiah

sarjana dan studi dokumen, termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah maupun jurnal

surat kabar yang memberikan informasi bagi terbentuknya karya tulis ini.

5. Metode Penyajian Bahan Hukum

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk uraian dan disusun secara

sistematis sesuai dengan sistematika, yang didahului dengan pendahuluan yang berisi

latar belakang masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan

diteruskan dengan analisa data dan hasil pembahasan serta diakhiri dengan simpulan.

Bahan hukum sekunder akan disajikan sesuai dengan kebutuhan analisis

namun tidak menghilangkan maksud yang terkandung dalam bahan hukum tersebut.

Penyajian bahan ini dapat ditempatkan pada seluruh bab maupun sub bab pada

penelitian ini sesuai dengan relevansinya pada hal yang sedang dibicarakan.

42

Amirudin, dan H. Zainal, Asikin, Op. cit, halaman 32.

Page 46: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

46

6. Metode Analisa Bahan Hukum

Metode analisa bahan hukum dalam penelitian ini mempergunakan metode

kualitatif, yaitu menguraikan bahan-bahan hukum secara bermutu, dalam bentuk

kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif dan kemudian

dilakukan pembahasan. Berdasarkan hasil pembahasan diambil kesimpulan secara

induktif sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.43

Analisa diarahkan

kepada penerapan hukum hakim dalam gugatan rekonvensi, serta bagaimana akibat

hukum dari suatu putusan yang menyatakan gugatan rekonvensi dinyatakan tidak

dapat diterima (niet onvankelijk verklaard).

43

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, 2008, halaman 16.

Page 47: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

47

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Identitas Putusan

Penelitian ini dilakukan terhadap Putusan Pengadilan Negeri yang memiliki

identitas sebagai berikut:

1. Nomor Putusan: 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg;

2. Pengadilan Negeri: Purbalingga;

3. Majelis Hakim Pemeriksa Perkara: Wahyono, S. H., sebagai Hakim Ketua,

Alfon, S. H., M. H. dan Khoiruman Pandu Kesuma Harahap, S. H.,

masing-masing sebagai Hakim Anggota;

4. Para Pihak:

a) Penggugat: Alwi Kiswanto, bertempat tinggal di Jalan Jenderal Ahmad

Yani Nomor 36 RT. 001/RW. 004, Kelurahan Kandang Gampang,

Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga;

b) Tergugat:

1) Tergugat I: S. T. Yudianto, bertempat tinggal di RT. 01/RW. 01,

Kelurahan Purbalingga Lor, Kecamatan Purbalingga;

2) Tergugat II: Direksi CV. Cipta Usaha, beralamat di Desa Babakan

RT. 09/RW. 02, Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga.

B. Kasus Posisi

Kasus posisi dalam perkara ini dimulai ketika Penggugat, yaitu Alwi

Kiswanto, mengajukan gugatan terhadap ST. Yudianto dan Direksi CV. Cipta Usaha

Page 48: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

48

ke Pengadilan Negeri Purbalingga. Gugatan tersebut didasari atas kerugian yang

dirasa diderita oleh penggugat yang disebabkan oleh perbuatan para Tergugat.

Perbuatan yang dimaksud adalah perihal perbedaan jumlah aspal yang dikirim oleh

Penggugat dan yang diterima oleh Tergugat. Penggugat mendudukan ST. Yudianto

sebagai Tergugat I, dan Direksi CV. Cipta Usaha sebagai Tergugat II. Pada awalnya

Tergugat I berkenalan dengan Tergugat II karena Tergugat II mendapat proyek air

bersih di Kabupaten Purbalingga, sedangkan Tergugat I adalah karyawan di

Departemen Pekerjaan Umum Kabupaten Purbalingga. Proyek tersebut menyebabkan

Tergugat I dan Tergugat II menjadi sering berhubungan, dan pada suatu saat Tergugat

I meminjam uang pada Tergugat II, yang apabila ditotal jumlahnya senilai Rp. 5. 000.

000, - (lima juta rupiah). Tergugat I berjanji akan membayar utang tersebut dengan

aspal. Aspal yang dikirim oleh Tergugat I ternyata adalah milik Penggugat. Tergugat

I kemudian memasok aspal untuk Tergugat II, yang pada akhirnya menjadi perkara,

karena ternyata Tergugat I mengambil aspal dari Penggugat untuk dikirim kepada

Tergugat II. Penggugat merasa dirugikan, karena merasa telah mengirim tiga ratus

delapan puluh dua (382) drum aspal, namun hanya diakui sebanyak tiga ratus

sembilan belas (319) drum oleh Tergugat II, dan Tergugat II tidak merasa telah

membeli aspal dari Penggugat, melainkan dari Tergugat I. Penggugat mengajukan

gugatan yang pada intinya meminta agar Majelis Hakim menyatakan para Tergugat

telah melakukan cidera janji, dan meminta para Tergugat mengakui bahwa aspal yang

dikirim Penggugat dan diterima para Tergugat adalah sebanyak tiga ratus delapan

puluh dua (382) drum, serta meminta ganti rugi, dan sita jaminan. Tergugat I, dalam

Page 49: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

49

jawabannya membenarkan seluruh dalil Penggugat. Tergugat II dalam jawabannya

mengatakan bahwa sama sekali tidak ada cedera janji antara Penggugat dan Tergugat

II karena tidak ada hubungan hukum antara mereka, baik yang lahir karena undang-

undang, maupun yang lahir karena perjanjian, sehingga tidak mungkin ada cidera

janji. Tergugat II mengemukakan dalil, bahwa untuk terjadinya cidera janji, harus ada

ingebrekestelling (pernyataan lalai) terlebih dahulu, baik berupa surat perintah

ataupun akta sejenis (Pasal 1238 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Pada

peristiwa jual beli aspal tersebut, Tergugat II hanya mengetahui bahwa aspal tersebut

adalah milik Tergugat I, karena Tergugat I tidak pernah menyebut-nyebut Penggugat,

apalagi menerangkan Penggugat sebagai pemilik aspal, selain itu aspal yang dikirim

pada Tergugat II tadinya memang disimpan di gudang Tergugat I, sehingga Tergugat

II berdasarkan Pasal 1977 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata berdalil

bahwa terhadap benda bergerak, maka barangsiapa menguasainya dianggap sebagai

pemiliknya. Tergugat II pun menyangkal bahwa aspal yang dikirim Penggugat

melalui Tergugat I adalah sebanyak tiga ratus delapan puluh dua (382) drum,

melainkan hanya sebanya tiga ratus sembilan belas (319) drum, karena selisih

sebanyak enam puluh tiga (63) drum yang dipersoalkan Penggugat didasarkan pada

rekap saudari Ari Suprihatin, S. E., Akt., tanpa seiizin dan sepengetahuan manajemen

CV. Cipta Usaha, dan rekap tersebut dibuat atas dasar permintaan Tergugat I dengan

membayar saudari Ari Suprihatin, S. E., Akt., sebesar Rp. 25. 000, - (dua puluh lima

ribu rupiah). Tergugat II berdalil bahwa yang sebenarnya terjadi adalah jual beli aspal

gelap antara Penggugat dan Tergugat I, namun karena Tergugat I tidak mampu

Page 50: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

50

melaksanakan kewajiban pembayaran, maka Tergugat II dijadikan sebagai tumbal.

Tergugat II juga menyatakan bahwa kasus tersebut sudah diselesaikan di Kepolisian

Resort Purbalingga, namun tidak dilanjutkan karena Penggugat tidak dapat

membuktikan kesalahan Tergugat II. Tergugat II merasa dirugikan secara moral

maupun materiil, oleh karena itu Tergugat II mengajukan gugatan rekonvensi

bersamaan dengan jawaban gugatannya. Gugatan rekonvensi tersebut berisi

permintaan Penggugat Rekonvensi agar mendudukkan Penggugat Konvensi sebagai

Tergugat Rekonvensi, dan Tergugat I Konvensi sebagai Turut Tergugat Rekonvensi,

selain itu memohon agar Majelis Hakim mengabulkan tuntutan ganti rugi atas

rusaknya nama baik Penggugat Rekonvensi karena laporan Tergugat Rekonvensi

kepada Kepolisian Resort Purbalingga, yang akhirnya tidak dilanjutkan karena

kesalahan Penggugat Rekonvensi tidak bisa dibuktikan, sehingga timbul rasa malu,

serta jatuhnya harkat dan martabat Penggugat Rekonvensi. Ganti rugi moral yang

dituntut senilai Rp. 1. 000. 000. 000, - (satu milyar rupiah), ditambah ganti rugi

materiil untuk transportasi, biaya makan, dan kehilangan pendapatan berhari-hari

senilai Rp. 100. 000. 000, - (seratus juta rupiah).

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purbalingga yang memeriksa dan memutus

perkara tersebut memutuskan untuk menolak seluruh gugatan Penggugat Konvensi,

dengan pertimbangan bahwa penggugat tidak dapat membuktikan adanya hubungan

hukum antara Penggugat Konvensi dan Tergugat II Konvensi, selain itu alat-alat

buktipun memperkuat dalil-dalil Tergugat II konvensi. Dalam putusan tersebut,

Page 51: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

51

Majelis Hakim juga menyatakan tidak dapat menerima gugatan rekonvensi dari

tergugat II Konvensi sebagai Penggugat Rekonvensi dengan pertimbangan hukum

bahwa dijadikannya Tergugat I Konvensi sebagai Turut Tergugat dalam gugatan

rekonvensi padahal antara Penggugat Rekonvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi

dalam gugatan awal (konvensi) sama-sama berkedudukan sebagai Tergugat

menyalahi prosedur beracara yang telah baku dan lazim di persidangan, karena

esensinya gugatan rekonvensi adalah gugat balas atas lawan berperkara. Putusan

Majelis Hakim tersebut berpedoman pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 636

K/Pdt/1984.

C. Pertimbangan Majelis Hakim

Menimbang, bahwa untuk ringkasnya putusan ini, maka dengan menunjuk

segala sesuatu yang termuat dalam berita acara sidang yang merupakan satu kesatuan

yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.

TENTANG HUKUMNYA

A. DALAM KONVENSI

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat Konvensi adalah

sebagai mana yang telah diuraikan di atas;

I. DALAM EKSEPSI

Menimbang, bahwa Tergugat II Konvensi dalam jawabannya mengajukan

beberapa buah dalil eksepsi yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:

1. Bahwa gugatan Penggugat Konvensi harus ditolak karena tidak jelas dan

kabur. Bahwa gugatan Penggugat Konvensi a quo perihal cidera janji, namun

Page 52: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

52

dalam fundamentum petendi sama sekali tidak nampak diuraikan adanya

perikatan baik yang lahir dari undang-undang maupun perjanjian antara

Tergugat II Konvensi dengan Penggugat Konvensi, sehingga tidak jelas hak

dan kewajiban masing-masing. Bahwa dalam gugatan cidera janji, di samping

harus jelas hubungan hukumnya, juga harus jelas hak dan kewajiban masing-

masing pihak antara debitur dan krediturnya;

2. Bahwa ternyata dalil-dalil dalam surat gugatan Penggugat Konvensi hanya

menunjukan adanya hubungan hukum antara Penggugat konvensi dengan

Tergugat I Konvensi sehingga penempatan Tergugat II Konvensi dalam

perkara a quo adalah berlebihan dan keliru (error in subjecto);

3. Bahwa syarat seseorang dinyatakan telah melakukan cidera janji apabila

dengan surat perintah atau akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, ……(eks.

Pasal 1238 KItab Undang-undang Hukum Perdata). Bahwa casu quo tidak

pernah ada ingebrekestelling kepada Tergugat II Konvensi, sehingga secara

hukum tidak mungkin ada perbuatan cidera janji dari Tergugat II Konvensi

terhadap Penggugat Konvensi;

4. Bahwa in casu penempatan Tergugat II Konvensi oleh Penggugat Konvensi

nampak ragu-ragu, hal ini sebagaimana terbaca pada petitum huruf b. Petitum

demikian adalah tidak lazim dan secara formal melanggar azas dalam sistem

hukum acara (perdata) dan menunjukkan keragu-raguan pihak Penggugat

Konvensi sehingga tidak dapat dikabulkan.

Page 53: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

53

Menimbang, bahwa terhadap dalil-dalil eksepsi tersebut, Penggugat Konvensi

menanggapi melalui repliknya yang pada pokoknya sebagai berikut:

1. Bahwa Penggugat Konvensi dalam posita gugatannya telah menjelaskan jika

Penggugat Konvensi melalui Tergugat I Konvensi telah memasok aspal

kepada Tergugat II Konvensi, sehingga aspal tersebut adalah milik Penggugat

Konvensi, sedangkan Tergugat I Konvensi hanya sebagai perantara saja,

demikian pula dengan petitum gugatannya menerangkan hal yang sama,

sehingga gugatan ini tidak dapat dikualifisir tidak jelas dan kabur;

2. Bahwa gugatan Penggugat Konvensi telah menunjukkan hubungan hukum

para pihak, hal mana dengan adanya fakta bahwa yang menerima aspal-aspal

milik Penggugat Konvensi adalah Tergugat II Konvensi, sehingga

penempatan Tergugat II Konvensi dalam perkara a quo telah benar;

3. Bahwa terhadap dalil eksepsi angka 3 (tiga) Penggugat menolaknya karena

aspal-aspal tersebut adalah milik Penggugat Konvensi, sedangkan Tergugat I

Konvensi tidak punya kemampuan secara financial/modal untuk membeli

aspal-aspal tersebut, sehingga secara hukum Tergugat II Konvensi telah

melakukan cidera janji;

4. Bahwa tidak ada keraguan dari Penggugat Konvensi untuk menempatkan

Tergugat II Konvensi sebagai pihak dalam perkara a quo.

Menimbang, bahwa terhadap dalil-dalil eksepsi dan tanggapan tersebut di

atas, maka Majelis Hakim akan mempertimbangkannya sebagaimana pertimbangan-

pertimbangan di bawah ini:

Page 54: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

54

Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim mencermati dalil-dalil eksepsi dari

Tergugat II Konvensi, maka dapat disimpulkan secara garis besar eksepsi-eksepsi

mana berkait mengenai pokok dalil/petitum gugatan Penggugat Konvensi yang

menurut Tergugat II Konvensi diformulasikan secara tidak jelas/kabur serta tentang

hubungan hukum yang terjadi antara Penggugat Konvensi dengan Tergugat II

Konvensi dalam perkara a quo.

Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim membaca serta mencermati secara

seksama isi dari gugatan, baik dari posita maupun petitumnya, maka Majelis dapat

menyimpulkan pokok sengketa dari perkara in casu adalah tentang cidera janji, di

mana dalam posita gugatannya pada pokoknya dinyatakan telah terjadi pembelian

aspal dari Penggugat Konvensi sebagai penjual dan Tergugat II Konvensi sebagai

pembeli dengan perantara Tergugat I Konvensi, akan tetapi ternyata Tergugat II

Konvensi telah cidera janji dengan tidak membayar seluruh uang pembelian aspal

tersebut, sehingga masih terdapat sebanyak enam puluh tiga (63) drum yang

pembayarannya belum dilunasi.

Menimbang, bahwa apakah dalil-dalil tersebut benar adanya sehingga

mendukung petitum gugatannya, maka Majelis berpendapat hal tersebut haruslah

melalui proses pembuktian sehingga telah masuk pada lingkup/domain pokok

perkara, karenanya eksepsi mana tidak beralasan.

Menimbang, bahwa demikian pula dengan eksepsi tentang hubungan hukum

antara para pihak yang berperkara khususnya hubungan Penggugat Konvensi dengan

Tergugat II Konvensi, menurut Majelis juga telah masuk atau merupakan pokok

Page 55: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

55

perkara, oleh karena itu masih harus melalui proses pembuktian perkara dengan dasar

fakta-fakta yang terungkap di persidangan dengan mengacu pada alat-alat bukti yang

diajukan dan hubungan ini merupakan jalan masuk bagi Majelis dalam memeriksa

pokok sengketanya (cidera janji).

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dalil eksepsi

mana juga tidak berdasar untuk dikabulkan, sehingga berdasarkan pada seluruh

pertimbangan di atas, maka eksepsi dari Tergugat II Konvensi harus ditolak.

II. DALAM POKOK PERKARA

Menimbang, bahwa Penggugat Konvensi dalam gugatannya terdaftar tanggal

16 Agustus 2007 mendalilkan hal-hal yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:

1. Bahwa Penggugat Konvensi melalui Tergugat I Konvensi telah memasok

aspal yang dikemas dalam drum-drum sejak tanggal 7 Juli 2006 kepada

Tergugat II Konvensi;

2. Bahwa Tergugat II Konvensi hanya mengakui aspal yang dikirim seperti pada

posita nomor 2 di atas sebanyak tiga ratus sembilan belas (319) drum,

sedangkan yang sebenarnya menurut Penggugat Konvensi adalah tiga ratus

delapan puluh dua (382) drum;

3. Bahwa perbedaan tersebut menurut Tergugat I Konvensi karena pengiriman

aspal tanggal 7 Juli 2006 sebanyak enam (6) drum, tanggal 11 agustus 2006

sebanyak tujuh (7) drum dan tanggal 15 Agustus 2006 sebanyak lima puluh

(50) drum tidak diakui oleh Tergugat II Konvensi, padahal waktu itu diterima

oleh Tergugat II Konvensi dan ada saksi-saksinya;

Page 56: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

56

4. Bahwa perhitungan tersebut tidak sesuai dengan perhitungan yang diterima

Penggugat Konvensi melalui Tergugat I Konvensi diketahui pada sekitar awal

bulan September 2006, yaitu ada selisih aspal sebanyak enam puluh tiga (63)

drum dengan total harga sebesar Rp. 45. 675. 000, - (empat puluh lima juta

enam ratus tujuh puluh lima ribu rupiah);

5. Bahwa akibatnya Penggugat Konvensi merasa sangat dirugikan oleh karena

ternyata sampai dengan sekarang Tergugat II Konvensi tidak melaksanakan

kewajibannya untuk melunasi hutangnya kepada Penggugat Konvensi baik

melalui Tergugat I Konvensi ataupun langsung kepada Penggugat, dengan

demikian para Tergugat Konvensi telah melakukan perbuatan cidera janji

dengan segala akibat hukumnya.

Menimbang, bahwa atas dalil gugatan tersebut, Tergugat I Konvensi dalam

jawabannya pada prinsipnya membenarkan hal tersebut, sedangkan Tergugat II

Konvensi membantahnya dengan mengemukakan dalil-dalil sebagai berikut:

1. Bahwa jawaban dalam eksepsi sepanjang berkaitan dengan pokok perkara

mohon agar terbaca pula pada jawaban dalam pokok perkara;

2. Bahwa pada pokoknya Tergugat II Konvensi menolak seluruh dalil gugatan

penggugat karena Tergugat II Konvensi tidak pernah mempunyai hubungan

hukum apapun dengan Penggugat Konvensi dan tidak pernah membeli aspal

dari Penggugat Konvensi, kenalpun tidak, bagaimana mungkin Tergugat II

Konvensi dituduh melakukan cidera janji terhadap Penggugat Konvensi?;

Page 57: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

57

3. Bahwa jika seandainya, quod non, benar Penggugat Konvensi pedagang aspal

dan kebetulan Tergugat I Konvensi selaku pembelinya belum membayar

lunas, maka hal tersebut adalah merupakan tanggung jawab dan urusan

Tergugat I Konvensi sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan Tergugat II

Konvensi, sehingga mendudukkan Tergugat II Konvensi selaku Tergugat

Konvensi dalam perkara quod non adalah keliru;

4. Bahwa Tergugat II Konvensi selaku kontraktor tidak pernah sekalipun

mendapat pasokan aspal dari Penggugat Konvensi, baik secara langsung

maupun melalui Tergugat I Konvensi. Selama Tergugat I Konvensi menjual

aspal kepada Tergugat II Konvensi, tidak pernah sekalipun disinggung bahwa

aspal yang ia jual adalah milik Penggugat Konvensi dan Tergugat I Konvensi

hanya sebagai perantara saja, juga tidak ada tanda-tanda atau petunjuk atau

indikasi bahwa aspal yang dijual Tergugat I Konvensi ke Tergugat II

Konvensi adalah milik Penggugat Konvensi. Demikian pula semua transaksi

dilakukan secara langsung antara pihak Tergugat II Konvensi dengan

Tergugat I Konvensi, tanpa melibatkan (keterlibatan) Penggugat Konvensi,

sehingga tidak ada kewajiban hukum dari Tergugat II Konvensi untuk

mengakui bahwa aspal yang dijual oleh Tergugat I Konvensi kepada Tergugat

II Konvensi adlah milik Penggugat Konvensi.

Menimbang, bahwa dari hal-hal tersebut di atas, maka didapat beberapa

permasalahan hukum antara para pihak, khususnya Penggugat Konvensi dengan

Tergugat II Konvensi, yang pada pokoknya adlah sebagai berikut:

Page 58: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

58

1. Apakah benar terdapat hubungan hukum berupa jual beli aspal antara

Penggugat Konvensi dengan Tergugat II Konvensi melalui Tergugat I

Konvensi sebagai perantaranya;

2. Jika terdapat hubungan hukum, apakah benar telah terjadi cidera janji atas jual

beli aspal tersebut;

Menimbang, bahwa permasalahan-permasalan mana bersesuaian dengan apa

yang terurai dalam dalil eksepsi Tergugat II Konvensi yang oleh Majelis dalam

pertimbangan sebelumnya telah masuk pada ranah pokok perkara, sehingga akan

dipertimbangkan selanjutnya pada pertimbangan di bawah ini:

Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalil gugatannya tersebut, pihak

Penggugat mengajukan enam buah bukti surat bertanda P-1 sampai dengan P-6, serta

enam orang saksi, yaitu Achmad Safroni, Acis, Priyo Suharyadi, Eka Widayati,

Suchud dan Isno Wiyanto. Tergugat I Konvensi tidak mengajukan alat bukti

walaupun telah diberi kesempatan kepadanya, sedangkan Tergugat II Konvensi untuk

membuktikan sangkalannya telah mengajukan empat belas buah bukti surat bertanda

T. II-1 sampai dengan T. II-14 dan empat orang saksi, yaitu Akhmad Jakiman,

Suwitno, Suwarno dan Manis bin Madroji.

Menimbang, bahwa karena dalil gugatan Penggugat Konvensi tersebut

disangkal oleh Tergugat II Konvensi, maka menurut ketentuan Pasal 163 HIR, pihak

Penggugat Konvensi harus membuktikan terlebih dahulu akan dalil gugatannya.

Menimbang, bahwa sebelumnya Majelis akan mempertimbangkan peran dan

fungsi pengakuan Tergugat I Konvensi dalam jawabannya, bahwa pengakuan tersebut

Page 59: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

59

tidak serta merta mengikat pada diri Tergugat II Konvensi, pengakuan tersebut hanya

mengikat secara mutlak/sempurna pada Tergugat I Konvensi saja, sedangkan

terhadap posisi Tergugat II Konvensi haruslah dibuktikan lebih lanjut oleh Penggugat

Konvensi, sebab jika konstruksi hukum pembuktian hanya disandarkan pada

pengakuan salah satu pihak saja yang walaupun mempunyai kapasitas yang sama

sebagai Tergugat, tapi mempunyai kualitas yang beda dalam permasalahan hukum

dan individunya, satu dan hal lain tersebut juga perlu diketengahkan agar dalam suatu

perkara tidak terjadi adanya “penyelundupan hukum.”

Menimbang, bahwa menurut Penggugat Konvensi dalam surat gugatannya

tertanggal 16 Agustus 2007 tersebut pada pokoknya mengajukan gugatan atas adanya

selisih pembayaran sebanyak enam puluh tiga (63) drum aspal yang belum dibayar

oleh Tergugat II Konvensi atas pembeliannya dari Penggugat Konvensi melalui

Tergugat I Konvensi pada tanggal 7 Juli 2006 sebanyak enam (6) drum, tanggal 11

Agustus 2006 sebanyak tujuh (7) drum dan tanggal 15 Agustus 2006 sebanyak lima

puluh (50) drum, dengan total harga sebesar Rp. 45. 675. 000, - (empat puluh lima

juta enam ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).

Menimbang, bahwa atas gugatan Penggugat Konvensi tersebut Tergugat II

Konvensi menyangkal dengan alasan tidak pernah ada pengiriman aspal dari

Penggugat Konvensi kepada Tergugat II Konvensi pada tanggal-tanggal tersebut, lagi

pula Tergugat II Konvensi merasa tidak pernah melakukan hubungan hukum apapun

dengan Penggugat Konvensi, apalagi membeli aspal.

Page 60: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

60

Menimbang, bahwa bukti P-1 yang berupa rekapitulasi sisa uang aspal Pak

Yudi, menerangkan bahwa sisa uang pembayaran aspal Tergugat I Konvensi yang

ada pada Tergugat II Konvensi hanya sebesar Rp. 3. 085. 000, - (tiga juta delapan

puluh lima ribu rupiah) dari total pengiriman tiga ratus sembilan belas (319) drum

aspal, dengan demikian bukti P-1 tersebut justru membuktikan dalil sangkalan

Tergugat II Konvensi, yakni bahwa Tergugat II Konvensi hanya menerima aspal dari

Tergugat I Konvensi sebanyak tiga ratus sembilan belas (319) drum, bukan tiga ratus

delapan puluh dua (382) drum sebagaimana didalilkan Penggugat Konvensi lebih

lanjut bahwa bukti P-2 yang merupakan rekapitulasi aspal Pak Yudi DPUK

Purbalingga, menerangkan bahwa total pembelian aspal Tergugat II Konvensi dari

Tergugat I Konvensi hanya tiga ratus sembilan belas (319) drum aspal, bahwa dari

bukti P-2 tersebut terbukti tidak ada pembelian sebanyak enam (6) drum aspal pada

tanggal 7 Juli 2006 dan sebanyak tujuh (7) drum pada tanggal 11 Agustus 2006,

memang ada pembelian tanggal 15 agustus 2006 namun hanya sebanyak tujuh (7)

drum, bukan lima puluh (50) drum sebagaimana didalilkan Penggugat Konvensi,

dengan demikian bukti P-2 juga justru malah memperkuat dalil sangkalan Tergugat II

Konvensi.

Menimbang, bahwa bukti P-1 dan P-2 tersebut sama atau bersesuaian dengan

bukti Tergugat II Konvensi bertanda T. II-1 dan T. II-2, sehingga berdasarkan bukti

tersebut (T. II-1 dan T. II-2) maka Tergugat II Konvensi telah berhasil membuktikan

dalil bantahan/sangkalannya, yaitu bahwa tidak ada hubungan hukum jual beli aspal

antara Penggugat dengan Tergugat II Konvensi, bahwa total pembelian aspal

Page 61: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

61

Tergugat II dari Tergugat I hanya sebanyak tiga ratus sembilan belas (319) drum dan

telah dibayar.

Menimbang, bahwa kemudian begitu pula setelah Majelis mencermati bukti-

bukti tertulis selain dan selebihnya P-3 sampai dengan P-6 sebagaimana yang

diajukan Penggugat Konvensi tersebut, ternyata tidak ada satupun surat bukti yang

menunjukkan adanya hubungan hukum jual beli aspal antara Penggugat Konvensi

dan Tergugat II Konvensi, apalagi membuktikan adanya selisih sebanyak enam puluh

tiga (63) drum aspal yang belum dibayar oleh Tergugat II Konvensi kepada

Penggugat Konvensi, bahkan bukti P-3 tersebut telah dibantah kebenarannya oleh

saksi Suwitno.

Menimbang, bahwa ternyata dari ke enam orang saksi yang diajukan oleh

Penggugat Konvensi tersebut, tidak seorangpun yang menerangkan secara tandas dan

gamblang tentang hubungan kerjasama jual beli aspal antara Penggugat Konvensi

dengan Tergugat II Konvensi, oleh karena saksi Akhmad Safroni hanya menerangkan

jika pernah mencoba akan menurunkan aspal sebanyak lima puluh (50) drum aspal di

daerah Babakan disaksikan Tergugat I Konvensi, saksi Acis menerangkan jika lima

puluh (50) drum aspal tersebut adalah kepunyaan Penggugat Konvensi yang disuplai

oleh Tergugat I Konvensi untuk Tergugat II Konvensi, akan tetapi hal tersebut hanya

bersifat de auditu tanpa dikuatkan bukti lain terlebih ternyata terbukti saksi tersebut

punya hubungan kerjasama dalam penyertaan modal dengan Tergugat I Konvensi,

saksi Priyo Suharyadi menerangkan pernah mengantar aspal ke depan rumah

Tergugat II Konvensi dan menyatakan jika ada perjanjian kerjasama antara

Page 62: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

62

Penggugat Konvensi dengan Tergugat Konvensi akan tetapi terhadap perjanjian

tersebut saksi lupa, saksi Isno Wiyanto menerangkan jika pernah mengantar lima

puluh (50) drum aspal ke Babakan tempat Tergugat II Konvensi dan menyatakan jika

dalam nota surat antaran tertera jika aspal dari Penggugat ke Tergugat II Konvensi

dan yang menerimakan saat itu adalah Tergugat I Konvensi, akan tetapi notanya tidak

diajukan menjadi bukti, kesemua saksi di atas seragam menyebut jika tanggal

pengantaran aspal tersebut tanggal 15 Agustus 2006, sedangkan saksi selebihnya

pada pokoknya menerangkan jika Tergugat I Konvensi pernah mengantar aspal pada

Tergugat II Konvensi.

Menimbang, bahwa selanjutnya saksi Tergugat II Konvensi justru

memberikan keterangan yang kontradiktif dengan keterangan saksi-saksi Penggugat

Konvensi dengan menyatakan pengiriman lima puluh (50) drum aspal dimana saksi

Akhmad safroni tidak jadi bongkar adalah pada hari Jumat tanggal 1 September 2006

(saksi Akhmad Jakiman) sesuai pula dengan bukti P-2/T. II-1, selanjutnya ada juga

yang menyatakan jika hubungan kerjasama aspal adalah antara Tergugat I Konvensi

dengan Tergugat II Konvensi tanpa pernah melibatkan Penggugat Konvensi (saksi

Manis Bin Madroji).

Menimbang, bahwa dari seluruh pertimbangan-pertimbangan di atas, maka

didapati petunjuk adalah benar jika ada kerjasama penyediaan aspal antara Penggugat

Konvensi dengan Tergugat I Konvensi, selanjutnya ada pula kerjasama tentang

penyediaan aspal antara Tergugat I Konvensi dengan Tergugat II Konvensi, akan

tetapi Majelis tidak mendapatkan keyakinan yang cukup tentang adanya hubungan

Page 63: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

63

kerjasama jual beli aspal antara Penggugat Konvensi dengan Tergugat II Konvensi,

oleh karena bukti-bukti tertulis tidak mendukung akan hal tersebut dan dibantah oleh

Tergugat II Konvensi melalui saksi-saksinya.

Menimbang, bahwa berdasarakan hal tersebut Majelis berpendapat penggugat

Konvensi tidak dapat membuktikan hubungan hukumnya berupa perjanjian jual beli

aspal dengan Tergugat II Konvensi, apalagi lebih jauh membuktikan akan cidera janji

Tergugat II Konvensi.

Menimbang, bahwa oleh karenanya adalah berdasar jika gugatan Penggugat

Konvensi ditolak untuk seluruhnya.

B. DALAM REKONVENSI

Menimbang, bahwa di samping mengajukan jawabannya atas gugatan

Penggugat Konvensi, Tergugat II Konvensi juga telah mengajukan gugatan

rekonvensi terhadap Pengguggat Konvensi dan Tergugat I Konvensi, sehingga dalam

gugatan rekonvensi ini kualitas Tergugat II Konvensi menjadi Penggugat Rekonvensi

sedangkan Penggugat Konvensi menjadi Tergugat Rekonvensi dan Tergugat I

Konvensi menjadi Turut Tergugat Rekonvensi.

Menimbang, segala sesuatu yang telah terurai dalam pertimbangan konvensi

secara mutatis mutandis diambil alih menjadi dasar pertimbangan dalam gugatan

rekonvensi ini.

Page 64: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

64

I. DALAM EKSEPSI

Menimbang, bahwa dalam repliknya Tergugat Rekonvensi dan dalam

tanggapan Turut Tergugat Rekonvensi mengajukan eksepsi yang sama terhadap

gugatan rekonvensi tersebut yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:

1. Bahwa ditempatkannya Tergugat I Konvensi sebagai Turut Tergugat dalam

gugatan rekonvensi tidak dapat dibenarkan karena kedudukan awal mereka

dalam gugatan konvensi adalah sama-sama sebagai Tergugat, sehingga

berdasarkan hal tersebut di atas, maka beralasan hukum jika gugatan

rekonvensi tersebut ditolak;

2. Bahwa dalam positanya Turut Tergugat Rekonvensi banyak diuraikan akan

tetapi dalam petitumnya tidak dihukum untuk melakukan apapun, sehingga

antara posita dan petitum kontradiktif, hal mana berakibat gugatan mana

menjadi tidak jelas.

Menimbang, bahwa atas eksepsi tersebut Penggugat Rekonvensi mengajukan

tanggapannya yang pada pokoknya sebagai berikut:

1. Bahwa ditempatkannya Tergugat I Konvensi sebagai Turut Tergugat dalam

gugatan rekonvensi bukan merupakan pelanggaran terhadap ketentuan hukum

baik formil maupun substantif, sehingga secara formil telah memenuhi syarat

sebagai sebuah surat gugatan, yakni gugatan konvensi dengan rekonvensi,

juga hubungan pertautannya sangat erat sehingga penyelesaiannya dapat

dilakukan secara efektif dalam satu proses dan putusan sehingga merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari gugatan konvensi;

Page 65: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

65

2. Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, maka beralasan hukum jika eksepsi

Tergugat Rekonvensi tersebut ditolak untuk seluruhnya.

Menimbang, bahwa atas eksepsi dan tanggapannya tersebut, Majelis

mempertimbangkan jika dijadikannya Turut Tergugat Rekonvensi sebagai pihak

dalam gugatan rekonvensi padahal antara Penggugat Rekonvensi dan Turut Tergugat

Rekonvensi dalam gugatan awal/konvensi berkedudukan sebagai Tergugat menyalahi

prosedur beracara yang telah baku dan lazim di persidangan, karena esensi gugatan

rekonvensi adalah gugat balas atas lawan berperkara, bukan atas pihak yang sama

kualitasnya dalam perkara perkara konvensinya, sehingga hal tersebut tidak

diperbolehkan (Vide: Putusan Mahkamah Agung No. 636 K/Pdt/1984).

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka eksepsi Tergugat

Rekonvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi beralasan untuk dikabulkan.

II. DALAM POKOK PERKARA

Menimbang, bahwa oleh karena eksepsi dari Tergugat Rekonvensi dan Turut

Tergugat Rekonvensi dikabulkan, maka terhadap pokok perkaranya tidak perlu

dibuktikan lebih lanjut dan gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima.

C. DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI

Menimbang, bahwa terhadap alat-alat bukti yang diajukan dalam perkara ini

akan tetapi tidak dipertimbangkan dalam pembuktian perkara, hal mana dikarenakan

alat bukti tersebut irrelevant dengan pembuktian perkara a quo.

Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Penggugat Konvensi/Tergugat

Rekonvensi dinyatakan ditolak untuk seluruhnya, maka Penggugat

Page 66: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

66

Konvensi/Tergugat Rekonvensi dihukum untuk membayar ongkos perkara yang

timbul dalam perkara ini.

Mengingat akan ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan utamanya

Pasal 184 ayat (1) HIR dan peraturan lain yang berkaitan:

MENGADILI:

A. DALAM KONVENSI

I. DALAM EKSEPSI

Menolak eksepsi Tergugat II Konvensi;

II. DALAM POKOK PERKARA

Menolak gugatan Penggugat Konvensi untuk seluruhnya;

B. DALAM REKONVENSI

I. DALAM EKSEPSI

Mengabulkan eksepsi Tergugat Rekonvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi;

II. DALAM POKOK PERKARA

Menyatakan gugatan Penggugat Rekonvensi tidak dapat diterima;

C. DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI

Menghukum Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk membayar

biaya perkara ini sebesar Rp. 259. 000, - (dua ratus lima puluh sembilan ribu

rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam musyawarah Majelis Hakim pada hari Rabu

tanggal 6 Februari 2008, oleh kami: WAHYONO, S. H., sebagai Hakim Ketua

Majelis, dengan ALFON, S. H., M. H. dan KHOIRUMAN PANDU KESUMA

Page 67: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

67

HARAHAP, S. H., masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan mana diucapkan

dalam sidang yang terbuka untuk umum pada hari Rabu tanggal 13 Februari 2008

oleh Majelis Hakim tersebut dengan dibantu oleh WINDARMONO sebagai Panitera

Pengganti dan dihadiri oleh Kuasa Penggugat serta dihadiri oleh Tergugat I dan

Tergugat II.

D. Pembahasan

1. Penerapan Hukum Gugatan Rekonvensi oleh Hakim dalam Putusan

Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg

Kasus posisi dalam Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg secara singkat

dimulai dari adanya gugatan dari Alwi Kiswanto terhadap ST. Yudianto dan Direksi

CV. Cipta Usaha ke Pengadilan Negeri Purbalingga perihal cidera janji dalam

pembayaran jual beli aspal. ST. Yudianto didudukkan sebagai Tergugat I Konvensi,

dan Direksi CV. Cipta Usaha sebagai Tergugat II Konvensi. Tergugat II konvensi

kemudian mengajukan gugatan rekonvensi dalam jawaban gugatannya, dan

mendudukkan Penggugat Konvensi sebagai Tergugat Rekonvensi serta Tergugat I

Konvensi sebagai Turut Tergugat Rekonvensi. Pada akhirnya gugatan konvensi

Penggugat dinyatakan ditolak seluruhnya oleh Majelis Hakim, sedangkan gugatan

rekonvensi yang diajukan Tergugat II Konvensi sebagai Penggugat Rekonvensi

dinyatakan tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim, dengan pertimbangan yang pada

intinya sebagai berikut:

1. Majelis mengabulkan eksepsi Tergugat Rekonvensi dan Turut Tergugat

Rekonvensi yang menyatakan bahwa ditempatkannya Tergugat I Konvensi

Page 68: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

68

sebagai Turut Tergugat dalam gugatan rekonvensi tidak dapat dibenarkan

karena kedudukan awal mereka dalam gugatan konvensi adalah sama-sama

sebagai Tergugat. Majelis mempertimbangkan jika dijadikannya Turut

Tergugat Rekonvensi sebagai pihak dalam gugatan rekonvensi, padahal antara

Penggugat Rekonvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi dalam gugatan awal

(konvensi) berkedudukan sebagai Tergugat telah menyalahi prosedur beracara

yang telah baku dan lazim di persidangan karena esensi gugatan rekonvensi

adalah gugat balas atas lawan berperkara, bukan atas pihak yang sama

kualitasnya dalam perkara konvensinya sehingga hal tersebut tidak

diperbolehkan (Vide: Putusan Mahkamah Agung Nomor: 636 K/Pdt/1984);

2. Majelis mempertimbangkan bahwa dengan dikabulkannya eksepsi Tergugat

Rekonvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi maka pokok perkaranya tidak

perlu dibuktikan lebih lanjut dan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.

Sumber hukum mengenai gugatan rekonvensi dapat ditemui dalam Pasal 132

a dan b HIR, yaitu sebgai berikut:

Pasal 132 a HIR:

ayat (1)

“Tergugat berhak dalam tiap-tiap perkara memasukkan gugatan melawan

kecuali :

1. Kalau penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang

gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya;

2. Kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak

berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok

perselisihan;

3. Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan.”

ayat (2)

“Jikalau dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimajukan gugatan

melawan, maka dalam bandingan tidak dapat mengajukan gugatan itu.”

Page 69: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

69

Pasal 132 b HIR, merumuskan:

ayat (1)

“Tergugat wajib memasukkan gugatan melawan bersama-sama dengan

jawabannya, baik dengan surat maupun dengan lisan;

ayat (2)

“Buat gugatan melawan itu berlaku peraturan dari bagian ini;”

ayat (3)

“Kedua perkara itu diselesaikan sekaligus dan diputuskan dalam satu

keputusan, kecuali kalau sekiranya pengadilan negeri berpendapat, bahwa

perkara yang pertama dapat lebih dahulu diselesaikan daripada yang kedua,

dalam hal mana demikian dapat dilakukan, tetapi gugatan mula-mula dan

gugatan melawan yang belum diputuskan itu masih tetap diperiksa oleh hakim

itu juga, sampai dijatuhkan keputusan terakhir;”

ayat (4)

“Bandingan diperbolehkan, jika banyaknya uang dalam gugatan tingkat

pertama ditambah dengan uang dalam gugatan melawan lebih daripada jumlah

uang yang sebanyak-banyaknya yang dapat diputuskan oleh pengadilan negeri

sebagai hakim yang tertinggi;”

ayat (5)

“Bila kedua perkara itu dibagi-bagi dan keputusan dijatuhkan berasing-asing,

maka haruslah dituruti aturan biasa tentang hak bandingan.”

Pasal 132 a dan b HIR hanya mengatur mengenai pengertian gugatan

rekonvensi, batas waktu pengajuan dan tata cara pengajuan serta pemeriksaannya di

Persidangan. Aturan tambahan mengenai gugatan rekonvensi terdapat dalam

beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung, antara lain Putusan Mahkamah Agung

Nomor 636 K/Pdt/1984 yang berisi putusan perkara di mana Tergugat I Konvensi

menarik Tergugat II Konvensi sebagai Tergugat Rekonvensi dan begitu juga

sebaliknya, Tergugat II Konvensi menarik Tergugat I Konvensi sebagai Tergugat

Rekonvensi. Majelis Hakim di Mahkamah Agung dalam putusan tersebut

berpendapat bahwa hal demikian tidak dibenarkan oleh hukum acara karena gugatan

rekonvensi hanya dapat diajukan pada Penggugat Konvensi, oleh karena itu gugatan

Page 70: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

70

rekonvensi harus dinyatakan tidak dapat diterima. Yurisprudensi lain adalah Putusan

Mahkamah Agung Nomor 1501 K/Pdt/1983 yang di dalamnya judex factie dianggap

salah menerapkan tata tertib beracara karena memperbolehkan gugatan rekonvensi di

samping ditujukan kepada Penggugat Konvensi, juga kepada Tergugat Konvensi

yang lain, yaitu Tergugat II, IV dan VI Konvensi. Kekeliruan yang terjadi tidak hanya

sampai di situ saja, bahkan Penggugat Rekonvensi telah menarik pihak ketiga yang

tidak ikut sebagai pihak dalam perkara menjadi Tergugat Rekonvensi. Tindakan

tersebut secara formil telah melampaui batas ruang lingkup gugatan rekonvensi, oleh

karena itu kekeliruan yang terjadi dalam kasus perkara tersebut harus diluruskan

dengan memberikan batasan, yaitu gugatan rekonvensi hanya dapat diajukan

Tergugat terhadap Penggugat Konvensi, sedang terhadap Tergugat Rekonvensi yang

lain harus dinyatakan tidak dapat diterima. Sekiranya Penggugat Rekonvensi

mempunyai hak atau tuntutan kepada mereka itu, harus menempuhnya melalui

gugatan perdata biasa, bukan dalam bentuk gugatan rekonvensi.

Sumber hukum mengenai gugatan rekonvensi sangat terbatas, sehingga

banyak diatur di luar undang-undang, salah satunya mengenai syarat pengajuan

gugatan rekonvensi yang diatur dalam doktrin. Syarat pengajuan gugatan rekonvensi

terdiri dari syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil berkenaan dengan

intensitas hubungan antara materi gugatan konvensi dengan rekonvensi, apakah

Page 71: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

71

secara imperatif ada hubungan yang erat antara materi gugatan konvensi dengan

rekonvensi?44

1. Undang-undang Tidak Mengatur Syarat Materiil.

Undang-undang tidak mengatur hal itu. Tidak ada ketentuan mengenai syarat

materiil. Pasal 132 a HIR hanya berisi penegasan, bahwa:

a) Tergugat dalam setiap perkara berhak mengajukan gugatan rekonvensi;

b) Tidak disyaratkan antara keduanya mesti mempunyai hubungan yang erat

atau koneksitas yang substansial;

c) Oleh karena itu, yang menjadi syarat utama, apabila ada gugatan konvensi

yang diajukan kepada Tergugat, hukum memberi hak kepadanya untuk

mengajukan gugatan rekonvensi tanpa mempersoalkan ada atau tidaknya

koneksitas yang substansial antara keduanya.

2. Praktek Pengadilan Cenderung Mensyaratkan Koneksitas.

Meskipun undang-undang tidak mengatur syarat koneksitas antara gugatan

rekonvensi dengan konvensi, ternyata praktek peradilan cenderung menerapkannya.

Seolah-olah koneksitas merupakan syarat materiil gugatan rekonvensi, oleh karena itu

gugatan rekonvensi baru dianggap sah dan dapat diterima (admissible) untuk

diakumulasi dengan gugatan konvensi, apabila terpenuhi syarat sebagai berikut:

a) Terdapat faktor pertautan hubungan mengenai dasar hukum dan kejadian

yang relevan antara gugatan konvensi dengan rekonvensi;

44

M. Yahya, Harahap, Op. cit, halaman 474.

Page 72: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

72

b) Hubungan pertautan itu harus sangat erat (innerlijke samen hangen),

sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan secara efektif dalam satu proses

dan putusan.

Jika penerapan ini diikuti, gugatan rekonvensi mesti merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari gugatan konvensi. Sikap yang berpendirian mesti ada faktor

koneksitas mempunyai alasan yang masuk akal karena salah satu tujuan pokok sistem

rekonvensi adalah untuk menyederhanakan proses serta sekaligus untuk menghemat

biaya dan waktu. Jika demikian halnya, membolehkan pengajuan gugatan rekonvensi

yang tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan gugatan konvensi, akan

menjauhkan proses penyelesaian ke arah yang bertentangan dengan tujuan tersebut,

sebab apabila gugatan rekonvensi jauh menyimpang dari konvensi, cara

penyelesaiannya memerlukan perlakuan khusus dan tersendiri sehingga besar

kemungkinan akan mengenyampingkan penyelesaian gugatan konvensi, oleh karena

itu agar tujuan yang diamanatkan sistem ini tidak menyimpang dari arah yang dicita-

citakan, sedapat mungkin gugatan rekonvensi mempunyai koneksitas yang

substansial dan relevan dengan gugatan konvensi. Prinsip ini tidak boleh mengurangi

hak Tergugat untuk mengajukan gugatan rekonvensi yang bersifat berdiri sendiri

yang benar-benar terlepas kaitannya dengan gugatan konvensi.

3. Sifat Asesor Rekonvensi Terhadap Putusan Konvensi.

Apakah memang gugatan rekonvensi asesor dengan konvensi? Pada dasarnya

tidak! Seperti yang sudah dijelaskan berulangkali, eksistensi gugatan rekonvensi tidak

tergantung pada gugatan konvensi. Rekonvensi pada dasarnya berdiri sendiri dan

Page 73: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

73

dapat diajukan secara terpisah dalam proses penyelesaian yang berbeda, cuma secara

eksepsional hukum memberi hak kepada Tergugat untuk menggabungkannya ke

dalam gugatan konvensi.45

Pada dasarnya keberadaannya tidak asesor dengan gugatan

konvensi, namun demikian dalam praktek berkembang acuan tata tertib beracara yang

mengaitkan faktor-faktor, ada atau tidaknya hubungan yang erat antara gugatan

konvensi dengan rekonvensi.

a) Putusan rekonvensi asesor dengan putusan negatif konvensi apabila

terdapat koneksitas. Dalam hal terdapat hubungan erat atau koneksitas

antara gugatan konvensi dengan rekonvensi dan putusan yang dijatuhkan

kepada gugatan konvensi bersifat negatif dalam bentuk gugatan tidak dapat

diterima, atas alasan gugatan mengandung cacat formil (error in persona,

obscuur libel, tidak berwenang mengadili dan sebagainya) maka dalam

kasus seperti ini:

1) Putusan rekonvensi asesor mengikuti putusan konvensi;

2) Dengan demikian, karena putusan konvensi menyatakan gugatan tidak

dapat diterima, dengan sendirinya menurut hukum putusan rekonvensi

juga harus dinyatakan tidak dapat diterima.

b) Rekonvensi tidak asesor mengikuti putusan konvensi apabila antara

keduanya tidak ada koneksitas. Lain halnya jika gugatan rekonvensi tidak

mempunyai koneksitas dengan gugatan konvensi. Dalam kasus demikian,

karakter gugatan rekonvensi sebagai gugatan yang berdiri sendiri harus

45

Ibid, halaman 476.

Page 74: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

74

dipertahankan, oleh karena itu sekiranya gugatan rekonvensi dinyatakan

tidak dapat diterima atas alasan cacat formil, gugatan rekonvensi tidak

tunduk mengikuti putusan itu. Materi gugatan rekonvensi tetap dapat

diperiksa dan diselesaikan meskipun gugatan konvensi dinyatakan tidak

dapat diterima apabila secara objektif tidak terdapat hubungan atau

koneksitas antara keduanya. Penerapan putusan tersebut ditegaskan dalam

putusan Mahkamah Agung No. 1057 K/ Sip/ 1973, yang menyatakan:

“karena gugatan dalam rekonvensi tidak didasarkan atas inti gugatan dalam

konvensi melainkan berdiri sendiri (terpisah), dengan tidak dapat

diterimanya gugatan dalam konvensi, tidak dengan sendirinya gugatan

dalam rekonvensi ikut tidak dapat diterima.”

Yahya harahap berpendapat bahwa jika gugatan rekonvensi tidak

berhubungan erat secara substansial dengan konvensi, materi pokok

gugatan rekonvensi dapat diperiksa dan diselesaikan, meskipun gugatan

konvensi dinyatakan tidak dapat diterima. Putusan di atas sekaligus berisi

penegasan atas kebolehan dan keabsahan gugatan rekonvensi walaupun

dalil pokoknya tidak mempunyai hubungan inti yang erat dengan gugatan

konvensi.46

Syarat formil gugatan rekonvensi menjadi kewajiban selain syarat materiil.

Supaya gugatan sah, selain harus dipenuhinya syarat formil gugatan yang bersifat

umum, terdapat pula syarat formil yang bersifat khusus, seperti dijelaskan berikut ini:

1) Gugatan Rekonvensi Diformulasi Secara Tegas.

46

Ibid, halaman 478.

Page 75: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

75

Gugatan rekonvensi harus jelas keberadaannya. Mesti diformulasikan atau

diterangkan tergugat dalam jawaban sebagaimana ditegaskan dalam Putusan

Mahkamah Agung No. 330 K/ Pdt/ 1986. HIR tidak tegas menentukan dan mengatur

syarat gugatan rekonvensi, namun agar gugatan itu dianggap ada dan sah, ia harus

dirumuskan secara jelas dalam jawaban. Tujuannya agar pihak lawan dapat

mengetahui dan mengerti tentang adanya gugatan rekonvensi yang diajukan Tergugat

kepadanya. Bentuk pengajuan boleh secara lisan, tetapi lebih baik dengan tulisan.

Bentuk-bentuk yang mana saja boleh dipilih Tergugat, akan tetapi apapun bentuknya,

yang penting diperhatikan adalah gugatan rekonvensi mesti memenuhi syarat formil

gugatan:

a) Menyebut dengan tegas subjek yang ditarik sebagai tergugat rekonvensi;

b) Merumuskan dengan jelas posita atau dalil gugatan rekonvensi, berupa

penegasan dasar hukum (rechtsgrond) dan dasar peristiwa (fijteljkegrond)

yang melandasi gugatan;

c) Menyebut dengan rinci petitum gugatan.

Berdasarkan penjelasan di atas, apabila unsur-unsur di atas tidak dipenuhi,

gugatan rekonvensi dianggap tidak memenuhi syarat dan harus dinyatakan tidak

dapat diterima, oleh karena itu selain eksistensi gugatan rekonvensi mesti tegas

disebut dalam jawaban, mesti disebut dengan tegas pada pihak yang ditarik sebagai

Tergugat, terang dalil yang dirumuskan, serta rinci satu persatu petitumnya.

Sehubungan dengan itu, menurut Putusan Mahkamah Agung No. 1154 K/Sip/1973,

gugatan rekonvensi yang tidak memenuhi unsur syarat formil gugatan, dianggap

Page 76: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

76

bukan merupakan gugatan rekonvensi yang sungguh-sungguh dan dalam hal

demikian dianggap tidak ada gugatan rekonvensi. Konstruksi ini seolah-olah ada

gugatan rekonvensi pada hal tersebut tidak tegas dinyatakan dalam jawaban Tergugat

atau apabila unsur yang disyaratkan tidak terpenuhi tidak dapat dibenarkan, misalnya

Tergugat menegaskan dalam jawaban mengajukan gugatan rekonvensi tetapi tidak

dibarengi dengan petitum gugatan. Dalam kasus ini, meskipun gugatan itu

merumuskan dalil, gugatan rekonvensi dianggap tidak sah, apabila dalil itu tidak

dibarengi petitum gugatan.47

2) Pihak Yang Dianggap Ditarik Sebagai Tergugat Rekonvensi, Hanya Terbatas

Penggugat Konvensi.

Seperti dikemukakan di atas, supaya gugatan rekonvensi memenuhi syarat

formil, dalam gugatan mesti disebut dengan jelas subjek atau orang yang ditarik

sebagai Tergugat Rekonvensi.

a) Pihak Yang Dapat Ditarik Sebagai Tergugat.

Sesuai dengan pengertian gugatan rekonvensi, yaitu gugatan balik yang

diajukan tergugat menantang gugatan Penggugat maka sejalan dengan itu, subjek

yang ditarik sebagai Tergugat rekonvensi adalah Penggugat Konvensi. Hal ini mesti

ditegaskan dalam gugatan, agar terpenuhi syarat formil seperti yang dinyatakan dalam

Putusan Mahkamah Agung No. 2152/Pdt/1983, gugatan rekonvensi bertujuan untuk

melawan gugatan konvensi. Tidak ada kewajiban bagi Tergugat mengajukan gugatan

rekonvensi, karena pada dasarnya gugatan rekonvensi adalah hak yang diberi undang-

47

Ibid, halaman 479.

Page 77: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

77

undang kepada Tergugat, dengan demikian, oleh karena gugatan rekonvensi

merupakan hak yang diberikan kepada Tergugat melawan konvensi maka pihak yang

dapat ditarik sebagai Tergugat, hanya Penggugat Konvensi.

b) Tidak Mesti Menarik Semua Penggugat Konvensi.

Sekiranya Penggugat Konvensi terdiri dari beberapa orang, tidak mesti

semuanya ditarik sebagai Tergugat Rekonvensi, bisa beberapa orang atau satu orang

saja, tergantung pada kondisi gugatan rekonvensi itu. Pedoman yang dapat dipegang

mengenai hal itu adalah sebagai berikut:

a. Sebaiknya seluruh Penggugat Konvensi ditarik sebagai Tergugat

Rekonvensi apabila gugatan rekonvensi erat kaitannya dengan gugatan

konvensi. Penerapan ini sangat efektif menghindari terjadinya cacat

formil gugatan rekonvensi yang berbentuk plurium litis consortium, yaitu

kurangnya pihak yang ditarik sebagai Tergugat;

b. Tidak perlu menarik semua Penggugat Konvensi sebagai Tergugat

Rekonvensi apabila gugatan rekonvensi tidak mempunyai koneksitas

dengan gugatan konvensi, cukup satu atau beberapa orang yang benar-

benar secara objektif tersangkut dengan materi gugatan rekonvensi.

Seperti dijelaskan di atas, undang-undang dan yurisprudensi

membenarkan pengajuan gugatan rekonvensi yang berdiri sendiri tanpa

mempunyai kaitan inti dengan gugatan konvensi. Sehubungan dengan itu,

jika gugatan rekonvensi yang diajukan hanya bersangkut-paut dengan

satu atau beberapa orang saja, tidak ada urgensinya menarik Penggugat

Page 78: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

78

Konvensi lain yang tidak ada hubungan hukumnya dengan gugatan

rekonvensi tersebut.

c) Dilarang Menarik Sesama Tergugat Konvensi Menjadi Tergugat

Rekonvensi.

Di atas telah dijelaskan, bahwa yang dapat ditarik sebagai Tergugat

Rekonvensi hanya terbatas pada diri Penggugat Konvensi. Dilarang dan tidak

dibenarkan menarik sesama Tergugat Konvensi menjadi Tergugat Rekonvensi.

Larangan itu dengan tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 636

K/Pdt/1984. Dalam gugatan rekonvensi, Tergugat I Konvensi menarik dan

mengajukan gugatan rekonvensi kepada Tergugat II Konvensi. Demikian juga

sebaliknya, Tergugat II Konvensi menarik dan mengajukan gugatan rekonvensi

kepada Tergugat I Konvensi. Menurut Mahkamah Agung, cara yang demikian tidak

dibenarkan hukum acara, sebab gugatan rekonvensi hanya dapat diajukan kepada

Penggugat Konvensi yang menempatkannya dalam kedudukan sebagai Tergugat

Rekonvensi, oleh karena itu dalam kasus ini, Tergugat I Konvensi harus dikeluarkan

sebagai pihak Tergugat dari gugatan rekonvensi yang diajukan Tergugat II Konvensi

serta berbarengan dengan itu, menyatakan gugatan rekonvensi kepada mereka tidak

dapat diterima, dengan demikian yang tinggal tetap sebagai Tergugat Rekonvensi,

hanya Penggugat Konvensi. Larangan yang sama dijumpai dalam putusan Mahkamah

Agung Nomor 1501 K/Pdt/1983. Dalam kasus tersebut judex factie dianggap salah

menerapkan tata tertib beracara karena memperbolehkan gugatan rekonvensi di

samping ditujukan kepada Penggugat Konvensi, juga kepada Tergugat Konvensi

Page 79: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

79

yang lain, yaitu Tergugat II, IV dan VI Konvensi. Kekeliruan yang terjadi tidak hanya

sampai di situ saja, bahkan Penggugat Rekonvensi telah menarik pihak ketiga yang

tidak ikut sebagai pihak dalam perkara menjadi Tergugat Rekonvensi. Tindakan

tersebut secara formil telah melampaui batas ruang lingkup gugatan rekonvensi, oleh

karena itu kekeliruan yang terjadi dalam kasus perkara tersebut harus diluruskan

dengan memberikan batasan, yaitu gugatan rekonvensi hanya dapat diajukan

Tergugat terhadap Penggugat Konvensi, sedang terhadap Tergugat Konvensi yang

lain harus dinyatakan tidak dapat diterima. Sekiranya Penggugat Rekonvensi

mempunyai hak atau tuntutan kepada mereka itu, harus menempuhnya melalui

gugatan perdata biasa, bukan dalam bentuk gugatan rekonvensi. Tindakan

penyelesaian apa yang dapat dilakukan apabila tergugat konvensi ditarik sebagai

tergugat rekonvensi? Sebagai pedoman dapat dirujuk Putusan Mahkamah Agung

Nomor 3227 K/Pdt/1987 yang menyatakan gugatan rekonvensi yang diajukan

Tergugat Konvensi terhadap mereka yang berkedudukan sebagai Tergugat Konvensi,

tidak dibenarkan hukum acara, oleh karena itu gugatan rekonvensi terhadap mereka

dinyatakan tidak dapat diterima.

3) Gugatan Rekonvensi Diajukan Bersama-sama Dengan Jawaban.

Syarat formil yang lain, diatur dalam Pasal 132 b ayat (1) HIR yang berbunyi:

“Tergugat wajib mengajukan gugatan melawan bersama-sama dengan

jawabannya baik dengan surat maupun dengan lisan.”

Saat mengajukan gugatan rekonvensi merupakan syarat imperatif. Di

dalamnya terdapat perkataan wajib diajukan bersama-sama dengan jawaban. Tidak

Page 80: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

80

diajukannya gugatan rekonvensi bersama-sama dengan jawaban mengakibatkan

gugatan rekonvensi tidak memenuhi syarat formil yang mengakibatkan gugatan itu

tidak sah dan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Timbul masalah, yaitu apa yang

dimaksud dengan “jawaban” dalam pasal tersebut? Apakah makna “jawaban” yang

dikemukakan dalam pasal itu sama dengan jawaban pertama atau menjangkau juga

jawaban dalam bentuk duplik? Oleh karena kata jawaban yang tersurat dalam pasal

itu mengandung makna luas (broad term), telah muncul penafsiran yang berbeda

dalam praktek. Sebagian memahaminya secara sempit dan ada pula yang

menafsirkannya secara elastis.

a. Penafsiran Sempit

Pendapat yang beraliran sempit, menafsirkan perkataan “jawaban” bermakna

jawaban pertama. Menurut pendapat ini, agar gugatan rekonvensi memenuhi syarat

formil, wajib diajukan bersama-sama dengan jawaban pertama. Pendapat tersebut

ditafsirkan dari bunyi Pasal 132 b ayat (1) HIR. Makna “jawaban” dalam kalimat

wajib diajukan bersama-sama dengan jawaban adalah jawaban pertama berdasarkan

alasan berikut ini:

1. Membolehkan atau memberi kebebasan bagi Tergugat mengajukan gugatan

rekonvensi di luar jawaban pertama dapat menimbulkan kerugian bagi

Penggugat dalam membela hak dan kepentingannya;

2. Selain itu, membolehkan Tergugat mengajukan gugatan rekonvensi

melampaui jawaban pertama dapat menimbulkan ketidaklancaran

pemeriksaan dan penyelesaian perkara;

Page 81: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

81

3. Rasio yang terkandung dalam pembatasan pengajuan mesti pada jawaban

pertama yaitu agar Tergugat tidak sewenang-wenang dalam mempergunakan

haknya untuk mengajukan gugatan rekonvensi.

Alasan-alasan tersebut yang mendasari pendapat Subekti, bahwa gugatan

rekonvensi yang dapat diajukan sewaktu-waktu sampai tahap pemeriksaan saksi

dimulai hanya dapat dibenarkan dalam proses secara lisan, tetapi tidak dalam proses

secara tertulis. Dalam praktek, terdapat Putusan Mahkamah Agung yang mendukung

pendapat yang sempit ini. Tanpa mengurangi kemungkinan putusan ini sebagai

sempalan, dapat dikemukakan salah satu diantaranya yaitu Putusan Mahkamah

Agung Nomor 346 K/Sip/1975. Dikatakan, gugatan rekonvensi baru diajukan

Tergugat pada jawaban tertulis kedua, oleh karena itu gugatan rekonvensi tersebut

adalah terlambat. Menurut putusan tersebut dianggap melampaui batas waktu

pengajuan sehingga tidak memenuhi syarat formil dan harus dinyatakan tidak dapat

diterima. Pendirian sempit ini terlalu formalistis dan tidak sejalan dengan asas

peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Pendirian sempit ini kurang bernuansa

mencapai penegakan hukum berdasarkan moral justice tetapi lebih mengedepankan

penegakan legal justice.48

b. Penafsiran Luas

Pendapat yang lebih toleran memberi batasan pengajuan gugatan rekonvensi

sampai tahap proses pemeriksaan pembuktian. Pengajuan tidak mesti bersama-sama

dengan “jawaban pertama”, tetapi dibenarkan sampai proses memasuki tahap

48

Ibid, halaman 482.

Page 82: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

82

pembuktian, dengan demikian gugatan rekonvensi tidak mutlak diajukan pada

jawaban pertama, tetapi dimungkinkan pada pengajuan duplik. Pendapat tersebut

merujuk kepada ketentuan Pasal 132 b ayat (1) HIR itu sendiri. Di dalamnya tidak

dijumpai kata atau kalimat yang tegas bahwa yang dimaksud dengan jawaban adalah

“jawaban” pertama. Kalimatnya hanya menyebut bersama-sama dengan jawaban,

dengan demikian ditinjau dari tata tertib beracara dan teknis yustisial, gugatan

rekonvensi tetap terbuka diajukan selama proses pemeriksaan masih dalam tahap

jawab-menjawab. Pada dasarnya yang menjadi syarat ialah rekonvensi diajukan

bersama-sama dengan jawaban. Boleh pada jawaban pertama, boleh juga pada

jawaban duplik terhadap replik Penggugat. Pembatasan tersebut dianggap realistis,

pada tahap itu masih terbuka kesempatan bagi Penggugat Konvensi untuk membela

kepentingannya dengan syarat apabila gugatan rekonvensi diajukan tergugat pada

duplik terhadap replik, kepada Penggugat Konvensi harus diberi hak untuk

mengajukan replik sekali lagi guna menanggapi gugatan rekonvensi dimaksud,

sehingga apabila tahap itu dilampaui, pengajuan rekonvensi tidak sah dan harus

dinyatakan tidak dapat diterima. Putusan-putusan Pengadilan lebih cenderung

menerapkan pendapat yang luas, antara lain putusan Mahkamah Agung Nomot 239

K/Sip/1968. Menurut putusan tersebut, gugatan rekonvensi dapat diajukan selama

proses jawab-menjawab berlangsung karena Pasal 158 R. Bg (Pasal 132 b ayat (1)

HIR) hanya menyebut jawaban, sedangkan duplik dan replik juga merupakan

jawaban meskipun bukan jawaban pertama. Pendapat yang dikemukakan di atas

sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 642 K/Sip/1972 yang

Page 83: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

83

dikemukakan terdahulu, bahwa batas pengajuan gugatan rekonvensi masih terbuka

sampai dimasukinya tahap proses pemeriksaan saksi. Pembatasan yang demikian

disepakati oleh Prof. Sudikno Mertokusumo, yaitu apabila proses pemeriksaan telah

memasuki tahap pembuktian, Tergugat tidak dibenarkan mengajukan gugatan

rekonvensi. 49

Syarat pengajuan gugatan rekonvensi menjadi hal yang harus dipenuhi

sebelum gugatan rekonvensi mulai diperiksa di persidangan. Sistem atau proses

pemeriksaan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi diatur dalam Pasal 132 b

ayat (3) dan ayat (5) HIR. Pasal 132 b ayat (3) HIR merumuskan:

“Kedua perkara itu diselesaikan sekaligus dan diputuskan dalam satu

keputusan, kecuali kalau sekiranya pengadilan negeri berpendapat, bahwa

perkara yang pertama dapat lebih dahulu diselesaikan daripada yang kedua,

dalam hal mana demikian dapat dilakukan, tetapi gugatan mula-mula dan

gugatan melawan yang belum diputuskan itu masih tetap diperiksa oleh hakim

itu juga, sampai dijatuhkan keputusan terakhir.”

Pasal 132 b ayat (5) merumuskan:

“Bila kedua perkara itu dibagi-bagi dan keputusan dijatuhkan berasing-asing,

maka haruslah dituruti aturan biasa tentang hak bandingan.”

Perihal gugatan rekonvensi, apabila ketentuan Pasal 132 b ayat (3)

dihubungkan dengan Pasal 132 b ayat (5), maka terdapat dua sistem penyelesaian

yang dapat ditempuh Pengadilan Negeri, yaitu sebagai berikut:

1. Konvensi dan rekonvensi diperiksa serta diputus sekaligus dalam satu

putusan. Sistem ini merupakan aturan umum (general rule) yang

49

Ibid, halaman 484.

Page 84: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

84

menggariskan proses pemeriksaan dan penyelesaian gugatan konvensi dan

rekonvensi:

1) Dilakukan secara bersama dan serentak dalam suatu proses pemeriksaan,

sesuai dengan tata tertib beracara yang digariskan undang-undang, oleh

karena itu:

a) Terbuka hak mengajukan eksepsi pada konvensi maupun

rekonvensi;

b) Mengajukan replik dan duplik pada konvensi maupun rekonvensi;

c) Mengajukan pembuktian baik untuk konvensi dan rekonvensi;

d) Menyampaikan konklusi dalam konvensi dan rekonvensi;

e) Proses pemeriksaan dituangkan dalam suatu berita acara yang sama.

2) Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara bersamaan dan serentak

dalam satu putusan, dengan sistematika:

a. Menempatkan uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi:

a) Dalil gugatan konvensi;

b) Petitum gugatan konvensi;

c) Uraian pertimbangan konvensi;

d) Kesimpulan hukum gugatan konvensi.

b. Menyusul kemudian, uraian gugatan rekonvensi, meliputi hal-hal

yang sama dengan substansi gugatan konvensi,

c. Amar putusan sebagai bagian terakhir,

Amar putusan merupakan bagian terakhir, terdiri dari amar putusan:

Page 85: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

85

a) Dalam konvensi;

b) Dalam rekonvensi.

Penerapan sistem yang demikian sesuai dengan penyelesaian setiap perkara

kumulasi, oleh karena itu harus diselesaikan serentak dalam satu proses

pemeriksaan yang sama dan dituangkan pula dalam satu putusan yang sama di

bawah nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan pada

waktu dan hari yang sama.50

2. Konvensi dan rekonvensi boleh dilakukan pemeriksaan secara terpisah. Pasal

132 b ayat (3) HIR selain mengatur mengenai tata cara pemeriksaan konvensi

dan rekonvensi secara serentak dan bersamaan, juga mengatur pengecualian,

yaitu berupa sistem pemeriksaan dan penyelesaian secara terpisah dengan

acuan penerapan:

a. Diperiksa secara terpisah tetapi dijatuhkan dalam satu putusan. Apabila

antara konvensi dan rekonvensi benar tidak mengandung koneksitas,

sehingga diperlukan perlakuan pemeriksaan yang sangat berbeda dan

berlainan:

1) Boleh dilakukan pemeriksaan yang terpisah antara konvensi dan

rekonvensi;

2) Masing-masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sidang

yang berlainan;

3) Cara proses pembuktian:

50

Ibid, halaman 494.

Page 86: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

86

a) Proses pemeriksaan gugatan konvensi dituntaskan terlebih dahulu,

namun penjatuhan putusan sampai selesai pemeriksaan gugatan

rekonvensi;

b) Baru menyusul penyelesaian gugatan rekonvensi.

Proses pemeriksaan konvensi dan rekonvensi dapat dilakukan secara terpisah

dan berdiri sendiri, namun tetap pada penyelesaian akhir haruslah mengikuti

tata cara berikut ini:

1. Dijatuhkan dalam satu putusan dengan nomor register perkara yang

sama;

2. Diucapkan dalam waktu dan hari yang sama.

b. Diperiksa secara terpisah dan diputus dalam putusan yang berbeda. Tidak

hanya proses pemeriksaan yang terpisah, tetapi juga putusan yang

dijatuhkan pun dituangkan pada masing-masing putusan yang tersendiri

sehingga terdapat dua putusan yang benar-benar berdiri sendiri, dengan

demikian, meskipun secara teknis yustisial nomor registernya sama dengan

kode konvensi dan rekonvensi, terdapat dua putusan yang terdiri dari:

1) Putusan konvensi;

2) Putusan rekonvensi.

Sistem penyelesaian yang ditempuh menurut cara ini mengandung

konsekuensi, yaitu upaya banding terhadap kedua putusan ini harus

mengacu kepada ketentuan Pasal 132 b ayat (5) HIR:

Page 87: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

87

1. Masing-masing Penggugat Konvensi dan Rekonvensi dapat

mengajukan banding terhadap putusan yang bersangkutan;

2. Tenggang waktu banding untuk masing-masing tunduk kepada

ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947

tentang Pengadilan Peradilan Ulangan, yaitu empat belas (14) hari dari

tanggal putusan dijatuhkan atau empat belas (14) hari dari tanggal

putusan diberitahukan.

Mengenai dasar alasan kebolehan melakukan pemeriksaan secara terpisah

antara konvensi dan rekonvensi, tidak dijelaskan dalam undang-undang sepenuhnya

diserahkan pada penilaian pertimbangan hakim. Alasan yang dianggap rasional dan

objektif, yaitu apabila diantara keduanya tidak terdapat koneksitas yang erat sehingga

penyelesaiannya memerlukan penanganan yang terpisah.51

Pada proses pemeriksaan gugatan rekonvensi tidak dikenal istilah Turut

Tergugat Rekonvensi. Turut Tergugat mempunyai pengertian sebagai orang-orang

atau pihak-pihak yang tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu, namun demi

lengkapnya suatu gugatan maka harus diikutsertakan dalam perkara, jadi kedudukan

turut tergugat bukanlah sebagai sasaran utama akan tetapi hanya sebagai penguat

kedudukan si Tergugat.52 Dalam praktek istilah Turut Tergugat dipergunakan bagi

orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk

melakukan sesuatu, namun hanya demi lengkapnya suatu gugatan harus

51

Ibid, halaman 495. 52

Retnowulan, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2009,

halaman 12.

Page 88: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

88

diikutsertakan (Putusan Mahkamah Agung No. 663 K/Sip/1971). Mereka dalam

petitum hanya sekedar dimohonkan agar tunduk dan taat terhadap putusan hakim.

Istilah Turut Tergugat Rekonvensi tidak dikenal dalam hukum acara perdata karena

pada esensinya gugatan rekonvensi merupakan gugat balas yang terbatas pada lawan

berperkara saja, sehingga yang dikenal hanya istilah Penggugat Rekonvensi dan

Tergugat Rekonvensi.

Pada Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg, Majelis Hakim

mempertimbangkan, bahwa tindakan Penggugat Rekonvensi yang mendudukkan

Tergugat I Konvensi sebagai Turut Tergugat Rekonvensi telah menyalahi aturan

hukum acara yang baku dan lazim karena Penggugat Rekonvensi dan Turut Tergugat

Rekonvensi mempunyai kualitas yang sama dalam perkara konvensi, yaitu sama-

sama sebagai Tergugat Konvensi, oleh karena itu gugatan rekonvensi harus

dinyatakan tidak dapat diterima. Sumber hukum yang dijadikan dasar pertimbangan

Majelis Hakim tersebut adalah sebuah yurisprudensi, yaitu Putusan Mahkamah

Agung Nomor 636 K/Pdt/1984.

Perihal pemilihan Putusan Mahkamah Agung Nomor 636 K/Pdt/1984 sebagai

sumber hukum dalam pertimbangan putusan sudah benar, namun akan lebih tepat

apabila Majelis Hakim menggunakan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1501

K/Pdt/1983 sebagai sumber hukum di dalam pertimbangannya karena kasus posisi

dalam Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg sedikit berbeda dengan Putusan

Mahkamah Agung Nomor 636 K/Pdt/1984. Kasus posisi dalam Putusan Mahkamah

Agung Nomor 636 K/Pdt/1984 tidak menyebutkan Penggugat Rekonvensi

Page 89: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

89

mengajukan gugat balik terhadap Penggugat Konvensi sebagai lawan berperkara,

tetapi hanya menjelaskan perihal saling gugat menggugat antara Tergugat I Konvensi

dan Tergugat II Konvensi dalam perkara rekonvensi, dimana Tergugat I Konvensi

mendudukkan Tergugat II Konvensi sebagai Tergugat Rekonvensi dalam gugatan

rekonvensinya, begitu juga sebaliknya, dalam gugatan rekonvensinya Tergugat II

Konvensi mendudukkan Tergugat I Konvensi sebagai Tergugat Rekonvensi,

sementara Penggugat Konvensi sebagai lawan berperkara di dalam gugatan konvensi

sama sekali tdak ditarik sebagai Tergugat Rekonvensi oleh keduanya.

Berdasarkan kasus posisinya, sumber hukum yang lebih tepat digunakan

sebagai dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 17/Pdt.

G/2007/PN. Pbg adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 1501 K/Pdt/1983 karena

keduanya mempunyai kemiripan yang lebih dibandingkan dengan Putusan

Mahkamah Agung Nomor 636 K/Pdt/1984. Kemiripan tersebut dikarenakan pada

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1501 K/Pdt/1983, gugatan rekonvensi ditujukan

kepada Penggugat Konvensi, Tergugat II, IV dan VI Konvensi, lebih jauh lagi

Penggugat Rekonvensi menarik pihak ketiga yang tidak ada sangkut pautnya dengan

perkara konvensi sebagai Tergugat Rekonvensi. Penarikan Penggugat Konvensi

sebagai Tergugat Rekonvensi tidak ditemui dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor

636 K/Pdt/1984, namun penarikan yang demikian terjadi pada Putusan Nomor

17/Pdt. G/2007/PN. Pbg, oleh karena itu kasus posisi pada putusan Pengadilan Negeri

tersebut lebih menyerupai perkara yang terjadi pada Putusan Mahkamah Agung

Nomor 1501 K/Pdt/1983.

Page 90: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

90

Kekuatan hukum sebuah yurisprudensi sebagai dasar pertimbangan pada

putusan Majelis Hakim cukup kuat, karena merupakan bagian dari sumber hukum

formil. Istilah yurisprudensi sendiri berasal dari bahasa latin, yaitu jurisprudentia

yang berarti pengetahuan hukum (rechts geleerheid). Sumber hukum formil mengacu

kepada suatu rumusan peraturan yang memiliki bentuk tertentu, sebagai dasar

berlaku, sehingga ditaati, mengikat para hakim dan penegak hukum.53

Sumber hukum

formil, menurut Drs. C. S. T. Kansil terdiri dari 5 hal:

1. Undang-undang (statute);

2. Kebiasaan (custom);

3. Keputusan-keputusan Hakim (juris prudentie);

4. Traktat (treaty);

5. Pendapat Para Sarjana (doctrine)54

.

Yurisprudensi dalam sistem hukum di Indonesia memiliki pengertian sebagai

putusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar putusan oleh hakim

kemudian mengenai masalah yang sama. Yurisprudensi digunakan hakim dalam

memberi putusan penyaksian perselisihan suatu masalah dalam hal tidak ada

peraturan perundang-undangannya55

. Yurisprudensi memiliki dasar hukum yang

cukup kuat dan berjalan cukup lama, untuk itu Kansil mempunyai pendapat bahwa

Adapun yang merupakan peraturan pokok yang pertama pada zaman Hindia Belanda

dahulu ialah Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia yang disingkat A.

53

Sudarsono, Op. cit, halaman 79. 54

Ibid, halaman 82. 55

Ibid, halaman 86.

Page 91: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

91

B. (Ketentuan-ketentuan umum tentang Peraturan Perundangan untuk Indonesia). A.

B. ini dikeluarkan pada tanggal 30 april 1847 yang termuat dalam Staattsblad 1847

Nomor 23 dan hingga saat ini masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan

Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan: “Segala badan Negara dan peraturan

yang ada masih langsung berlaku selama hakim belum diadakan yang baru menurut

Undang-undang Dasar ini”. Menurut Pasal 22 A. B.: “de regter, die weigert regt te

sipreken onder voorswendsel van stilwijgen, duisterheid der wetkan uit hoofed van

rechtswijgering vervogd worden”, yang mengandung arti, “Hakim yang menolak

untuk menyelesaiakan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundang-

undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka

ia dapat dituntut dihukum karena menolak mengadili”. Dari ketentuan Pasal 22 A. B.

ini, jelaslah, bahwa seorang hakim mempunyai hak membuat peraturan sendiri untuk

menyelesaikan suatu perkara, sehingga apabila undang-undang ataupun kebiasaan

tidak memberi peraturan yang dapat dipakainya untuk menyelesaikan perkara itu,

maka hakim haruslah membuat peraturan sendiri. Putusan hakim inilah yang

berisikan suatu peraturan sendiri berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Pasal 22

A. B. menjadilah dasar putusan hakim lainnya (hakim kemudian) untuk mengadili

perkara yang serupa dan putusan hakim tersebut lalu menjadi sumber hukum bagi

Pengadilan dan putusan hakim yang demikian yang disebut hukum yurisprudensi.56

56

Ibid, halaman 88.

Page 92: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

92

Pendapat Kansil yang dikemukakan di atas selaras dengan bunyi Pasal 10 ayat

(1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang

merumuskan:

“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus

suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang

jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

Artinya pendapat tersebut masih relevan sampai sekarang untuk dijadikan dasar

berlakunya yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum formil. Error in persona

yang terdapat dalam gugatan rekonvensi yang diajukan Tergugat II Konvensi tidak

diatur oleh undang-undang, akan tetapi hakim tidak boleh menolak suatu perkara

dengan alasan tidak ada hukumnya atau aturannya tidak jelas, hal ini sejalan dengan

adagium Curia Novit Jus, yang artinya hakim dianggap mengetahui dan memahami

segala hukum. Meskipun tidak diatur dalam undang-undang, hakim wajib mencari

dan menemukan hukum objektif dari sumber hukum lain.

Pertimbangan Majelis Hakim di Pengadilan Negeri dalam Putusan Nomor

17/Pdt. G/2007/PN. Pbg pada dasarnya sudah benar, namun akan lebih tepat apabila

mempertimbangkan cacat formil yang ada pada gugatan rekonvensi yang diajukan

Tergugat II Konvensi. Syarat formil gugatan rekonvensi yang dimaksud yaitu

menarik pihak yang sama kualitasnya sebagai Tergugat dalam gugatan konvensi,

menjadi turut tergugat dalam gugatan rekonvensi sehingga terjadi error in persona.

Tidak dipenuhinya syarat formil tersebut menjadikan gugatan rekonvensi

mengandung cacat formil, sehingga Majelis Hakim menjatuhkan Putusan yang

bersifat negatif (menyatakan gugatan tidak dapat diterima).

Page 93: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

93

Pada umumnya, cacat formil yang dijadikan dasar oleh hakim dalam

menjatuhkan putusan akhir yang bersifat negatif berupa pernyataan gugatan tidak

dapat diterima disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

a) Pihak yang mengajukan gugatan adalah kuasa yang tidak didukung oleh surat

kuasa khusus yang memenuhi syarat-syarat yang digariskan Pasal 123 HIR

juncto SEMA Nomor 1 Tahun 1971 juncto SEMA Nomor 4 Tahun 1996;

b) Gugatan mengandung error in persona, bisa dikarenakan diskualifikasi in

person, yakni yang bertindak sebagai Penggugat tidak memiliki persona

standi in judicio, atau bisa juga pihak yang ditarik sebagai Tergugat keliru

(gemis aanhoedanigheid), atau yang bertindak sebagai Penggugat maupun

yang ditarik sebagai Tergugat tidak lengkap, sehingga gugatan mengandung

cacat formil plurium litis consortium;

c) Gugatan di luar yurisdiksi absolute atau relatif Pengadilan. Apabila hakim

berhadapan dengan kasus perkara yang secara absolute atau relatif berada di

luar yurisdiksinya, dia harus menjatuhkan putusan yang berisi amar:

1. Tidak berwenang mengadili;

2. Menyatakan gugatan tidak dapat diterima;

d) Gugatan obscuur libel, yakni gugatan Penggugat kabur, tidak memenuhi

syarat jelas dan pasti (duidelijke en bepaalde conclusie) yang digariskan Pasal

8 ke-3 Rv, yaitu:

“Upaya-upaya dan pokok gugatan disertai kesimpulan yang jelas dan

tertentu”.

Page 94: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

94

Hal-hal yang termasuk kategori obscuur libel adalah sebagai berikut:

1. Dalil gugatan atau fundamentum petendi tidak mempunyai dasar

hukum yang jelas;

2. Objek sengketa tidak jelas;

3. Petitum gugatan tidak jelas;

4. Gugatan yang diajukan mengandung unsur ne bis in idem;

e) Gugatan masih prematur;

f) Gugatan telah daluwarsa. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1946 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata yang merumuskan:

“Daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk

dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas

syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang”.

Dengan demikian, apabila gugatan yang diajukan Penggugat telah melampaui

batas waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk menggugatnya,

berarti Tergugat telah terbebas untuk memenuhinya.57

Gugatan rekonvensi yang diputus dalam Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg

mengandung cacat formil yang dijelaskan pada penjelasan huruf b mengenai cacat

formil yang dapat dijadikan dasar oleh hakim untuk menjatuhkan putusan akhir yang

bersifat negatif di atas, yaitu karena gugatan mengandung error in persona. Error in

persona yang dimaksud adalah kelirunya pihak yang ditarik sebagai Tergugat (gemis

aanhoedanigheid), dikarenakan Tergugat II Konvensi sebagai Penggugat Rekonvensi

menarik Tergugat I Konvensi menjadi Turut Tergugat dalam gugatan rekonvensi,

57

M. Yahya, Harahap, Op. cit, halaman 891.

Page 95: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

95

padahal keduanya mempunyai kualitas yang sama sebagai Tergugat dalam gugatan

konvensi, selain itu hukum acara perdata tidak mengenal istilah Turut Tergugat

Rekonvensi.

Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg menunjukkan bahwa Majelis Hakim

telah benar dalam pertimbangan dan penerapan sumber hukum mengenai gugatan

rekonvensi, namun akan lebih baik apabila dalam pertimbangan putusannya Majelis

Hakim mendasarkan pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1501 K/Pdt/1983,

karena Putusan Mahkamah Agung tersebut mempunyai kemiripan yang lebih dengan

Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg dalam hal kedudukkan para pihaknya

apabila dibandingkan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 636 K/Pdt/1984,

selain itu akan lebih lengkap apabila dalam pertimbangannya Majelis Hakim

menjelaskan dan mempertimbangkan mengenai cacat formil yang terdapat di dalam

gugatan rekonvensi berupa error in persona, yaitu gemis aanhoedanihgheid sehingga

gugatan rekonvensi tersebut sudah tidak memenuhi syarat formil sehingga harus

dinyatakan tidak dapat diterima.

2. Akibat Hukum dari Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg.

Amar Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg pada intinya berisi tiga hal,

yaitu sebagai berikut:

1. Menolak gugatan Penggugat Konvensi untuk seluruhnya karena Penggugat

Konvensi tidak dapat membuktikan adanya hubungan hukum dengan

Tergugat II Konvensi, lebih jauh lagi tidak bisa membuktikan adanya

Page 96: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

96

perbuatan cidera janji oleh Tergugat II Konvensi terhadap Penggugat

Konvensi;

2. Menyatakan gugatan rekonvensi tidak dapat diterima karena Majelis

Hakim mengabulkan eksepsi Tergugat Rekonvensi dan Turut Tergugat

Rekonvensi yang pada intinya mendalilkan bahwa dijadikannya Tergugat I

Konvensi sebagai Turut Tergugat dalam gugatan rekonvensi telah

menyalahi prosedur beracara yang lazim dan benar karena esensinya gugat

rekonvensi adalah gugat balas terhadap lawan berperkara. Majelis Hakim

mendasarkan pertimbangannya pada Putusan Mahkmah Agung Nomor 636

K/Pdt/1984;

3. Menghukum Penggugat Konvensi untuk membayar seluruh biaya perkara.

Putusan tersebut menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang berperkara.

Pengertian akibat hukum itu sendiri adalah segala akibat atau konsekuensi yang

terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap

objek hukum ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan oleh kejadian-kejadian

tertentu yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah ditentukan atau dianggap

sebagai akibat hukum. Akibat hukum inilah yang selanjutnya merupakan sumber

lahirnya hak dan kewajiban lebih lanjut bagi subjek-subjek hukum yang

bersangkutan. Akibat hukum yang dimaksud pada Putusan Nomor 17/Pdt.

G/2007/PN. Pbg difokuskan kepada upaya hukum yang timbul apabila para pihak

tidak puas dengan isi putusan dan akibat-akibat hukum lainnya yang timbul apabila

ditinjau berdasarkan teori kekuatan putusan.

Page 97: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

97

Putusan yang menyatakan gugatan ditolak dan gugatan tidak dapat diterima

merupakan bagian dari jenis putusan berdasarkan isinya. Jenis putusan dapat

dibedakan dari segi prosedur dan isinya. Dilihat dari segi prosedurnya, putusan

pengadilan dapat dibedakan menjadi putusan akhir dan putusan bukan akhir,

sebagaimana apa yang dirumuskan dalam Pasal 185 ayat (1) HIR berikut ini:

“keputusan yang bukan keputusan terakhir, sungguhpun harusdiucapkan

dalam persidangan juga, tidak diperbuat masing-masing sendiri, tetapi hanya

dilakukan dalam surat pemberitaan persidangan.”

Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara

dalam suatu tingkatan peradilan tertentu, misalnya putusan contradictoir, putusan

verstek, putusan perlawanan verzet, putusan serta merta (uitverbaar bij voorad),

putusan diterimanya tangkisan principal dan tangkisan (exeptiet verweer), putusan

banding, putusan kasasi dan sebagainya. Putusan akhir dapat dibedakan menjadi

beberapa jenis menurut sifatnya apabila dilihat dari amar atau diktumnya, yaitu

sebagai berikut:

1. Putusan yang bersifat condemnatoir, yakni amarnya berbunyi menghukum

dan seterusnya, misalnya putusan yang menghukum Tergugat untuk

membayar sejumlah uang kepada Penggugat, untuk menyerahkan suatu

barang atau mengosongkan sebuah persil, melakukan atau melarang Tergugat

melakukan suatu perbuatan atau keadaan tertentu;

2. Putusan yang bersifat declaratoir, yakni amarnya menyatakan suatu keadaan

sebagai keadaan yang sah menurut hukum, misalnya putusan yang

Page 98: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

98

menyatakan Penggugat sebagai pemilik yang sah atas tanah sengketa dan

sebagainya;

3. Putusan yang bersifat constitutief, yakni putusan yang amarnya meniadakan

atau menciptakan suatu keadaan hukum baru, misalnya putusan yang

membatalkan suatu perjanjian, memutuskan suatu ikatan perkawinan antara

Penggugat dan Tergugat.

Putusan bukan akhir disebut sebagai putusan sela atau putusan antara, yaitu

putusan yang fungsinya untuk memperlancar proses pemeriksaan perkara. Putusan

sela diucapkan dalam persidangan dan tidak dibuat secara terpisah, artinya tidak

dibuat dalam bentuk dokumen tersendiri terlepas dari berkas perkaranya, melainkan

hanya dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang, hal ini sesuai apa yang

dirumuskan dalam Pasal 185 ayat (1) HIR sebagai berikut:

“Keputusan yang bukan keputusan terakhir, sungguhpun harus diucapkan

dalam persidangan juga, tidak diperbuat masing-masing sendiri, tetapi hanya

dilakukan dalam surat pemberitaan persidangan”.

HIR dan R.Bg membedakan putusan akhir dan putusan bukan akhir,

sementara Rv mengenal pembedaan beberapa jenis putusan yang dapat digolongkan

ke dalam putusan bukan akhir, yaitu:

1. Putusan Preparatoir, yaitu putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan

untuk melancarkan segala sesuatu gunamengadakan putusan akhir, misalnya

putusan hakim yang menolak pengunduran diri saksi, atau putusan untuk

menggabungkan dua perkara. Putusan Preparatoir ini tidak mempengaruhi

materi perkara;

Page 99: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

99

2. Putusan Interlocutoir, yaitu putusan yang memuat perintah untuk melakukan

pembuktian yang dapat mempengaruhi materi perkara atau bunyi putusan

akhir, misalnya putusan yang memerintahkan untuk diadakannya pemeriksaan

setempat, pemeriksaan saksi, pemeriksaan dokumen, pengambilan sumpah

dan sebagainya;

3. Putusan Insidentil, yaitu putusan yang dijatuhkan berhubungan dengan

insiden, yaitu adanya kejadian yang menunda jalannya proses perkara,

misalnya apabila pemeriksaan sedang berlangsung, kemudian salah satu pihak

mengajukan permohonan bahwa seorang saksi supaya didengar dan

sebagainya;

4. Putusan Provisionil, yaitu putusan yang berkenaan dengan tuntutan

provisional. Tuntutan provisional yaitu permohonan agar sebelum hakim

menjatuhkan putusan atau proses pemeriksaan berjalan, sementara diadakan

tindakan-tindakan pendahuluan, atau untuk melakukan tindakan tertentu

mengenai hal yang bersifat mendesak untuk kepentingan salah satu atau kedua

belah pihak.58

Putusan pengadilan apabila dilihat dari segi isinya terdiri dari tiga jenis, yaitu

sebagai berikut:

1) Putusan yang menyatakan mengabulkan gugatan, yaitu apabila gugatan

beralasan ataupun tidak melawan hak, misalnya gugatan telah memenuhi

syarat formil dan materiil;

58

Ibid, halaman 215.

Page 100: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

100

2) Putusan yang menolak gugatan, yaitu apabila gugatan tidak beralasan atau

dasar gugatan tidak mendukung materi tuntutannya dan apabila tidak puas,

maka cara yang dapat ditempuh hanyalah banding

3) Putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima, yaitu apabila gugatan

melawan hak atau melawan hukum, misalnya gugatan atas suatu piutang yang

didasarkan atas perjudian atau pertaruhan dan apabila tidak puas, maka cara

yang dapat ditempuh adalah mengajukan kembali gugatan setelah diperbaiki

dan banding ke Pengadilan Tinggi.

Terhadap isi suatu putusan, para pihak mempunyai hak untuk melakukan

upaya hukum apabila tidak puas, hal ini diatur dalam Pasal 23 dan Pasal 26 ayat (1)

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman, yang

merumuskan sebagai berikut:

Pasal 23

“Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada

Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-

undang menentukan lain”.

Pasal 26 ayat (1)

“Putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada

Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-

undang menentukan lain”.

Berdasarkan kedua pasal di atas, para pihak yang tidak puas dengan isi

Putusan dapat menggunakan haknya untuk melakukan upaya hukum. Apabila dilihat

dari isi Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg, maka terhadap gugatan konvensi

hanya terbuka upaya hukum banding terhadap isi Putusan Majelis Hakim, namun

untuk amar Putusan mengenai gugatan rekonvensi, upaya hukum yang dilakukan

Page 101: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

101

apabila para pihak tidak puas akan sedikit berbeda karena Putusan tersebut

merupakan Putusan yang mengabulkan eksepsi. Ketentuan mengenai upaya hukum

terhadap putusan eksepsi berpedoman kepada Pasal 9 Undang-undang Nomor 20

Tahun 1947 Tentang Pengadilan Peradilan Ulangan. Bertitik tolak dari ketentuan itu,

dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

a) Putusan Pengadilan Negeri yang dapat dibanding adalah putusan akhir. Pasal

9 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan

peradilan Ulangan menjelaskan sebagai berikut:

1. Putusan Pengadilan Negeri yang dibanding adalah putusan akhir (eind

vonnis, final judgement);

2. Putusan bukan akhir seperti putusan sela hanya dapat dimintakan banding

bersama-sama dengan putusan akhir, oleh karena itu terhadap putusan

sela yang dijatuhkan terhadap eksepsi kompetensi tidak dapat diajukan

banding secara tersendiri.

b) Putusan penolakan eksepsi kompetensi adalah putusan sela, tidak dapat

dibanding tersendiri. Tergugat harus menunggu sampai jatuhnya putusan

akhir apabila ingin mengajukan banding terhadap putusan sela yang menolak

eksepsi.

c) Pengabulan eksepsi kompetensi merupakan putusan akhir, sehingga dapat

diajukan banding. Pengabulan eksepsi kompetensi ini mengakibatkan proses

pemeriksaan selesai dengan sendirinya dengan jatuhnya putusan yang

Page 102: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

102

bersifat negatif (tidak berwenang mengadili) dan untuk kasus yang

demikian, putusan Pengadilan Negeri tersebut merupakan putusan akhir.

d) Larangan mengajukan banding terhadap putusan sela tidak terbatas atas

penolakan eksepsi kompetensi, tetapi meliputi segala putusan sela, misalnya

putusan provisi.

Eksepsi selain eksepsi kompetensi harus diperiksa dan diputus bersama-sama pokok

perkara, hal ini diatur dalam Pasal 136 HIR yang merumuskan:

“Perlawanan yang sekiranya hendak dikemukakan oleh tergugat (exceptie),

kecuali tentang hal hakim tidak berkuasa, tidak akan dikemukakan dan

ditimbang masing-masing, tetapi harus dibicarakan dan diputus bersama-sama

dengan pokok perkara”.

Apabila eksepsi selain eksepsi kompetensi dikabulkan maka putusan akan bersifat

negatif (menyatakan gugatan tidak dapat diterima) karena semata-mata mengandung

cacat formil sesuai eksepsi yang diajukan Tergugat, contohnya terjadi pada Putusan

Mahkamah Agung Nomor 3534 K/Sip/1984, di mana dalam putusan tersebut gugatan

dianggap obscuur libel, karena dalil gugatan kacau dan kabur, bahkan kontradiktif

sehingga gugatan tidak dapat diterima. Berdasarkan putusan tersebut, Pengadilan

tidak menyelesaikan materi pokok perkara karena gugatan tersebut mengandung cacat

formil dalam bentuk obscuur libel. Apabila Penggugat menghendaki penyelesaian

sengketa tentang kasus itu, Penggugat dapat mengajukan gugatan baru dengan jalan

memperbaiki gugatan memperbaiki gugatan dengan dalil gugatan yang jelas59

, akan

tetapi khusus untuk Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg terbuka pula upaya

59

Ibid, halaman 429.

Page 103: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

103

hukum banding untuk gugatan rekonvensi karena putusannya diputus bersama-sama

dengan putusan akhir, hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1)

Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan yang

menyatakan eind vonnis atau final judgement dapat dibanding.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka terhadap Putusan Nomor 17/Pdt.

G/2007/PN. Pbg terbuka kesempatan untuk melakukan upaya hukum bagi para pihak

yang tidak puas dengan isi putusan tersebut dan hal ini didasarkan Pasal 26 Undang-

undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Penggugat Konvensi

dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi terhadap Putusan yang

menyatakan menolak gugatannya untuk seluruhnya, sementara untuk gugatan

rekonvensi yang dinyatakan tidak dapat diterima terbuka dua upaya hukum, yaitu

banding atau mengajukan gugatan baru setelah gugatan sebelumnya diperbaiki cacat

formilnya karena Putusan tersebut merupakan Putusan yang mengabulkan eksepsi

selain eksepsi kompetensi namun diputus bersama-sama dengan pokok perkara dalam

putusan akhir (eind vonnis, final judgement), sehingga berdasarkan Pasal 9 ayat (1)

Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan

menyatakan bahwa terhadap eind vonnis atau final judgement dapat dibanding,

sementara berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3534 K/Sip/1984, apabila

Penggugat Rekonvensi tidak puas, maka cara yang dapat ditempuh adalah

mengajukan gugatan baru setelah gugatan sebelumnya diperbaiki. Pengajuan gugatan

kembali yang demikian tidak merupakan ne bis in idem karena Putusan Mahkamah

Agung Nomor 1566 K/Pdt/1983 menyatakan bahwa pada putusan negatif yang terjadi

Page 104: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

104

karena adanya cacat formil berupa error in persona tidak melekat ne bis in idem, oleh

karena itu gugatan bisa diajukan kembali setelah diperbaiki.

Meskipun upaya hukum terbuka bagi para pihak yang tidak puas terhadap isi

suatu putusan, namun pada dasarnya setiap putusan Pengadilan mempunyai tiga

macam kekuatan. Kekuatan pada putusan tersebut diatur dalam doktrin karena

undang-undang tidak menjelaskan kekuatan yang dimaksud. Tiga kekuatan yang

dimaksud adalah:

1. Kekuatan mengikat berarti suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan

suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Para pihak

yang telah menyerahkan dan mempercayakan sengketanya ke pengadilan

berarti bahwa pihak-pihak yang bersangkutan akan tunduk dan patuh pada

putusan yang dijatuhkan, sehingga tidak boleh bertindak bertentangan dengan

putusan tersebut karena putusan tersebut mempunyai kekuatan mengikat bagi

para pihak.

2. Kekuatan pembuktian dalam suatu putusan mengandung arti bahwa putusan

dalam bentuk tertulis merupakan akta otentik yang tidak lain bertujuan untuk

dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin

diperlukannya untuk mengajukan banding, kasasi atau pelaksanaannya.

3. Kekuatan eksekutorial berarti bahwa suatu putusan tidak semata-mata hanya

menetapkan hak atau hukumnya saja, melainkan realisasi atau

pelaksanaannya, sehingga kekuatan mengikat saja belum cukup, oleh karena

itu putusan hakim mengandung kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk

Page 105: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

105

dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh

alat-alat Negara.

Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg, apabila dihubungkan dengan tiga

teori kekuatan putusan hakim tersebut di atas, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kekuatan mengikat bagi para pihak yang bersengketa, karena pada

dasarnya para pihak telah menyerahkan penyelesaian sengketa kepada

Pengadilan Negeri, oleh karena itu apapun isi putusannya, para pihak harus

menghormatinya serta tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan

tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka Penggugat Konvensi

beserta para Tergugat Konvensi, maupun Penggugat Rekonvensi beserta

Tergugat Konvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi dalam perkara yang

diputus Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg mempunyai kewajiban

mematuhi isi putusan tersebut, namun para pihak tersebut mempunyai hak

untuk mengajukan upaya hukum apabila tidak puas dengan isi putusan

yang sudah dijatuhkan.

2. Putusan tersebut juga mengandung kekuatan pembuktian karena

pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan tersebut bisa

dijadikan dasar mengajukan banding dan kasasi, namun hakim mempunyai

kebebasan untuk menggunakan kekuatan putusan terdahulu atau tidak.

Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg dapat dijadikan bukti, terutama

oleh Tergugat II Konvensi perihal ketiadaan hubungan hukum antara

Penggugat Konvensi dan Tergugat II Konvensi, sehingga tidak terbukti

Page 106: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

106

pula tuduhan cidera janji sebagaimana yang dituduhkan Penggugat

Konvensi pada Tergugat II Konvensi. Berdasarkan putusan hakim tersebut,

yang terbukti hanyalah adanya hubungan hukum antara Penggugat

Konvensi dan Tergugat I Konvensi, selain itu putusan tersebut dapat

dijadikan dasar bagi para pihak yang tidak puas untuk mengajukan upaya

hukum.

3. Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg tersebut juga mempunyai

kekuatan eksekutorial yang ditandai dengan adanya kata-kata “Demi

keadilan berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa”, sehingga dapat

dijalankan dan dipaksakan pelaksanaannya, akan tetapi berdasarkan amar

putusannya, maka yang dapat dijalankan dan dipaksakan pelaksanaannya

hanyalah kewajiban Penggugat Konvensi membayar seluruh biaya yang

timbul karena perkara ini, karena Penggugat Konvensi merupakan pihak

yang kalah dalam perkara tersebut. Tidak ada kewajiban yang lain bagi

para pihak dalam perkara tersebut, hal ini dikarenakan Majelis Hakim

memutuskan menolak untuk seluruhnya gugatan Penggugat Konvensi, dan

menyatakan gugatan rekonvensi yang diajukan Tergugat II Konvensi tidak

dapat diterima, sehingga tidak timbul kewajiban bagi para pihak tersebut

selain menghormati dan mematuhi isi putusan.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas, maka akibat hukum yang

timbul akibat Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg adalah terbukanya kesempatan

bagi para pihak untuk melakukan upaya hukum apabila tidak puas dengan isi putusan

Page 107: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

107

tersebut. Upaya hukum yang dimaksud adalah banding bagi Penggugat Konvensi

karena gugatannya dinyatakan ditolak untuk seluruhnya, sedangkan untuk Penggugat

Rekonvensi terbuka kesempatan mengajukan banding atau gugatan perdata biasa

setelah cacat formil dalam gugatan sebelumnya diperbaiki, hal ini dikarenakan

putusan Majelis Hakim merupakan putusan yang mengabulkan eksepsi selain eksepsi

kompetensi namun diputus bersama-sama dengan pokok perkara dalam putusan

akhir(eind vonnis, final judgement), sehingga berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Undang-

undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan menyatakan

bahwa terhadap eind vonnis atau final judgement dapat dibanding, sementara

berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3534 K/Sip/1984, apabila Penggugat

Rekonvensi tidak puas, maka cara yang dapat ditempuh adalah mengajukan gugatan

baru setelah gugatan sebelumnya diperbaiki. Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg

mengandung tiga kekuatan yang didasarkan kepada teori kekuatan putusan, yaitu

kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekutorial. Kekuatan

mengikat tercermin dengan harus dipatuhinya isi putusan tersebut oleh para pihak

karena mereka telah sepakat untuk menyelesaikan perkaranya di Pengadilan.

Kekuatan pembuktian dalam putusan tersebut telah membuktikan bahwa tidak ada

hubungan hukum antara Penggugat Konvensi dan Tergugat II Konvensi, sehingga

lebih jauh tidak mungkin ada perbuatan cidera janji, sementara itu bagi para pihak

yang tidak puas dengan isi putusan, maka segala yang termuat dalam putusan tersebut

dapat dijadikan dasar pengajuan upaya hukum. Kekuatan yang terkahir adalah

eksekutorial yang ditandai dengan adanya kata-kata “Demi keadilan berdasarkan

Page 108: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

108

keTuhanan Yang Maha Esa”, sehingga dengan begitu putusan dapat dijalankan dan

dipaksakan pelaksanaannya, akan tetapi apabila dikaitkan dengan amar Putusan

Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg, maka amar yang dapat dieksekusi hanyalah perihal

kewajiban Penggugat Konvensi membayar sejumlah biaya perkara, hal ini

dikarenakan amar selebihnya tidak menimbulkan kewajiban bagi para pihak selain

menghormati dan mematuhi isi putusan tersebut.

Page 109: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

109

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

1. Penerapan Hukum Gugatan Rekonvensi oleh Hakim dalam Putusan

Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg

Pada Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg, Majelis Hakim mendasarkan

pertimbangannya tentang gugatan rekonvensi pada Putusan Mahkamah Agung

Nomor 636 K/Pdt/1984. Pertimbangan tersebut sudah benar, namun apabila dilihat

dari kedudukkan para pihak di dalam perkara, akan lebih tepat apabila Majelis Hakim

menggunakan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1501 K/Pdt/1983 sebagai sumber

hukum dalam dasar pertimbangannya karena mempunyai kemiripan yang lebih

dengan Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg apabila dibandingkan dengan

Putusan Mahkamah Agung Nomor 636 K/Pdt/1984, selain itu akan lebih lengkap

apabila dalam pertimbangannya Majelis Hakim menjelaskan dan mempertimbangkan

perihal cacat formil yang terdapat di dalam gugatan rekonvensi, yaitu adanya error in

persona berupa gemis aanhoedanigheid.

2. Akibat Hukum dari Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg.

Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg menimbulkan akibat hukum bagi

para pihak di dalamnya. Akibat hukum yang dimaksdud adalah terbukanya

kesempatan bagi para pihak yang tidak puas dengan isi putusan tersebut untuk

melakukan upaya hukum. Upaya hukum yang dimaksud adalah banding bagi

Penggugat Konvensi, sementara untuk Penggugat Rekonvensi terbuka upaya hukum

Page 110: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI BAB 1-5.pdf · 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, ... Berdasarkan

110

banding atau dapat mengajukan gugatan baru setelah gugatan sebelumnya diperbaiki

cacat formilnya. Akibat hukum yang lain adalah timbulnya tiga kekuatan dalam

putusan tersebut, yaitu kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan

eksekutorial.

B. Saran

Majelis Hakim harus lebih teliti dalam pertimbangan Putusannya karena pada

Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg Majelis Hakim melupakan satu hal yang

penting untuk dijadikan pertimbangan. Hal penting yang dimaksud yaitu mengenai

pemilihan Putusan Mahkamah Agung yang dijadikan sebagai sumber hukum serta

tidak dipertimbangkannya cacat formil berupa error in persona berupa gemis

aanhoedanigheid dalam gugatan rekonvensi sebagai dasar pertimbangan.