1.1 tinjauan botani - · pdf filea. klasifikasi menurut cronquist (1981), ... flavonoid,...

22
3 BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas tinjauan botani tanaman jarak (Ricinus communis L.) dan urang- aring (Eclipta prostrata (L.) L.), ketombe, Malassezia sp., kombinasi antimikroba, ketokonazol, iritasi, kulit, mata, dan metode farmakologi yang digunakan. 1.1 Tinjauan Botani Tanaman-tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji jarak dan daun urang- aring. Kedua tanaman ini telah diketahui memiliki aktivitas antifungi terhadap Pityrosporum ovale, ragi penyebab ketombe yang merupakan salah satu jenis dari genus Malassezia. 1.1.1 Jarak Jarak telah banyak digunakan dalam bidang farmasi, terutama minyaknya sebagai salah satu zat aktif dan bahan tambahan dalam sediaan farmasi. Selain itu, juga telah diketahui secara empiris bahwa bijinya digunakan sebagai antijamur dan penyubur rambut. Gambar 1.1 Morfologi pohon jarak ( Ricinus communis L.), yang sebelah kiri adalah morfologi seluruh bagian tanaman dan sebelah kanan adalah biji jarak yang telah dikeringkan.

Upload: ngothu

Post on 16-Feb-2018

248 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: 1.1 Tinjauan Botani -  · PDF filea. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), ... flavonoid, wedelolakton, dan demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002). e. Efek Farmakologi

3

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dibahas tinjauan botani tanaman jarak (Ricinus communis L.) dan urang-

aring (Eclipta prostrata (L.) L.), ketombe, Malassezia sp., kombinasi antimikroba,

ketokonazol, iritasi, kulit, mata, dan metode farmakologi yang digunakan.

1.1 Tinjauan Botani

Tanaman-tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji jarak dan daun urang-

aring. Kedua tanaman ini telah diketahui memiliki aktivitas antifungi terhadap

Pityrosporum ovale, ragi penyebab ketombe yang merupakan salah satu jenis dari genus

Malassezia.

1.1.1 Jarak

Jarak telah banyak digunakan dalam bidang farmasi, terutama minyaknya sebagai salah

satu zat aktif dan bahan tambahan dalam sediaan farmasi. Selain itu, juga telah diketahui

secara empiris bahwa bijinya digunakan sebagai antijamur dan penyubur rambut.

Gambar 1.1 Morfologi pohon jarak (Ricinus communis L.), yang sebelah kiri adalah morfologi seluruh bagian tanaman dan sebelah kanan adalah

biji jarak yang telah dikeringkan.

Page 2: 1.1 Tinjauan Botani -  · PDF filea. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), ... flavonoid, wedelolakton, dan demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002). e. Efek Farmakologi

4

a. Klasifikasi

Menurut Cronquist (1981), jarak diklasifikasikan dalam divisi Magnoliophyta, kelas

Magnoliopsida, anak kelas Rosidae, bangsa Euphorbiales, suku Euphorbiaceae, marga

Ricinus, dan jenis Ricinus communis L.

b. Nama Daerah

Gloah (Gayo); lulang (Karo); dulang (Batak); lafandru (Nias); jarak jawa (Palembang);

jarak, kalikih alang (Minangkabau); jarag (Lampung); rangam (Dayak); jarak (Jawa);

kaliki, jarak jitun (Sunda); kohongian (Sulawesi Utara); paleng kaliki jera (Bugis); balacai,

balacai roriha (Ternate); batacai (Tidore) (Kasahara and Hemmi, 1995).

c. Morfologi

Tanaman jarak berupa pohon kecil dengan tinggi 1~5 m dengan penyebaran di daerah

Jawa. Batangnya berkayu, bulat licin, berongga, berbuku-buku dengan tanda bekas tangkai

daun yang lepas, berwarna hijau, dengan semburat merah tua. Daun tunggal dan tumbuh

berseling. Bentuk helai daun bundar, bercangap menjari 7 sampai 9, ujung daun runcing,

tepi bergigi. Ukuran daun 10-25 cm x 10-25 cm. Warna permukaan atas daun hijau tua,

sedangkan permukaan bawahnya hijau muda. Tangkai daun panjang, sekitar 30-50 cm,

berwarna merah tua, atau cokelat kehijauan. Bunganya merupakan bunga majemuk bentuk

tandan, tumbuh di ujung batang, berwarna kuning, dan berkelamin satu. Benang sari

banyak, tangkai putik sangat pendek berbentuk benang berwarna merah atau merah muda.

Buahnya berupa buak kotak berbentuk bulat agak lonjong berlekuk tiga, berkumpul dalam

tandan. Di dalam buah terdapat tiga ruang yang masing-masing berisi satu biji. Buahnya

berduri lunak, berwarna hijau muda, dengan rambut berwarna merah. Setelah tua, buah

akan berubah warna menjadi hitam. Biji keras, lonjong, berwarna cokelat, dan berbintik

hitam. Jarak dapat tumbuh di hutan, semak-semak, tanah kosong, dataran rendah sampai

800 m di atas permukaan laut, atau di sepanjang pantai.

d. Kandungan Kimia

Jarak mengandung asam risinoleat, asam palmitat, asam stearat, asam oleat, asam linoleat,

dan asam dihidroksistearat. Minyak bijinya juga mengandung 5% asam glutamat, arginin,

dan risin (Perry, 1980). Selain itu, juga mengandung risinin, sejumlah kecil sitokrom C,

lipase, dan beberapa enzim.

Page 3: 1.1 Tinjauan Botani -  · PDF filea. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), ... flavonoid, wedelolakton, dan demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002). e. Efek Farmakologi

5

e. Efek Farmakologi

Biji digunakan sebagai pencahar, penyubur rambut, dan minyak untuk memasak (Kasahara

and Hemmi, 1995). Di Cina, perasan bijinya digunakan untuk mengobati ketulian, sakit

kepala, scrofula (pembengkakan kelenjar akibat TBC), penyakit kulit, hemorrhage, dropsy

(busung air), konstipasi, bengkak-bengkak, abses, dan sebagai bumbu makanan. Dekok

bijinya digunakan untuk mengobati haemorrhoid. Biji yang telah dikeluarkan dari kulit

bijinya digunakan untuk keperluan laboratorium. Di Filipina, bijinya digunakan sebagai

antireumatik (Perry, 1980).

1.1.2 Urang-aring

Urang-aring telah lama dipakai secara empiris sebagai penyubur rambut dan pemelihara

kehitaman rambut. Ekstrak urang-aring telah digunakan di industri kosmetik sebagai bahan

utama dalam pembuatan sampo penghitam rambut.

a. Klasifikasi

Menurut Cronquist (1981), urang-aring diklasifikasikan dalam divisi Magnoliophyta, kelas

Magnoliopsida, anak kelas Asteridae, bangsa Asterales, suku Asteraceae, marga Eclipta,

dan jenis Eclipta prostrata (L.) L. dengan sinonimnya Eclipta erecta L. serta Eclipta alba

(L.) Hassk.

b. Nama Daerah

Goman, urang-aring (Jawa); telenteya (Madura); daun tinta (Banda) (Kasahara and Hemmi,

1995).

Gambar 1.2 Morfologi herba urang-aring (Eclipta prostrata (L.) L.), yang sebelah kiri adalah morfologi seluruh bagian tanaman dan sebelah

kanan adalah daun yang telah dikeringkan.

Page 4: 1.1 Tinjauan Botani -  · PDF filea. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), ... flavonoid, wedelolakton, dan demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002). e. Efek Farmakologi

6

c. Morfologi

Tanaman urang-aring berupa herba tahunan atau menahun, tegak-condong atau merayap,

sering berakar pada buku lebih bawah, sering banyak cabang, dan tinggi 10~80 cm.

Batangnya agak membulat, berambut atau gundul, bulat masif, sering keungu-unguan,

berambut putih. Daun berhadapan, duduk, dengan pangkal menyempit, ujung runcing atau

gundul, bulat telur memanjang, atau memanjang lanset, bergerigi atau hampir rata, kedua

permukaan daun berambut halus, 2-15,5 kali 0,5-4 cm. Bunga berbentuk bongkol agak

membulat, tangkai karangan tipis, menebal di bagian ujung, berambut, 0,5-7 cm, braktea

involukralis lonjong, runcing, berambut, rata-rata 6 mm. Mahkota bunga berwarna putih,

bunga tepi berbentuk tabung tipis, dan lidah lurus, dengan dua gigi ujung tumpul, rata-rata

2,5 mm (untuk bunga tengah 2 mm). Tabung kepala sari mula-mula berwarna kuning,

kemudian warna bertambah tua. Tangkai putik dengan dua cabang tumpul. Buah putik

keras memanjang hingga bentuk baji pendek, bersegi pipih, berjerawat rapat, pada

ujungnya kadang-kadang dengan bangunan bentuk cawan bergigi dua dan beberapa

berambut pendek dengan panjang 2 mm. Buah berbentuk akhen, memanjang turbin,

berbenjol, hitam, ujungnya dengan beberapa rambut putih atau gundul, 3 mm. Penyebaran

di daerah Jawa pada ketinggian 1~1500m di atas permukaan laut, juga di tempat basah,

padang rumput, sawah, perkebunan tebu dan kelapa, atau pantai (Sudarsono et al., 2002).

d. Kandungan Kimia

Tanaman ini dilaporkan mengandung alkaloid, nikotin, dan ekliptin (Perry, 1980). Selain

itu, juga mengandung asam fenolik karboksilat sederhana, flavonoid, wedelolakton, dan

demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002).

e. Efek Farmakologi

Daun digunakan untuk mengobati sesak napas, sakit kepala, penyubur ramb ut, penyakit

gigi, bronkhitis, dan gangguan haid, sedangkan semua bagian tanaman juga digunakan

untuk mengobati eksim dan nyeri liver (Kasahara and Hemmi, 1995). Daun juga digunakan

sebagai pengelat, penghenti perdarahan, penanganan pascapersalinan, dan sebagai

penyebab muntah (Sudarsono et al., 2002). Jus daun digunakan untuk menjaga kehitaman

rambut dan meningkatkan pertumbuhan rambut, serta untuk mengobati penyakit jamur di

kulit (Perry, 1980).

Page 5: 1.1 Tinjauan Botani -  · PDF filea. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), ... flavonoid, wedelolakton, dan demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002). e. Efek Farmakologi

7

1.2 Ketombe

Ketombe merupakan kelainan pada kulit kepala yang ditandai dengan pengelupasan

berlebihan dari stratum korneum yang membentuk sisik putih kasar. Sisik-sisik putih ini

akan berjatuhan dan tampak jelas terlihat pada bahu penderita.

1.2.1 Etiologi

Secara umum, penyebab ketombe dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian. Pertama,

ketombe dapat disebabkan oleh kelainan fungsi kulit kepala atau bagian tubuh lainnya.

Peningkatan sekresi kelenjar sebaseus diyakini dapat meningkatkan jumlah minyak pada

kulit kepala dan memicu terjadinya ketombe. Rondoni (1951) mengemukakan bahwa

ketombe dapat terjadi pada pasien yang mengidap penyakit saluran kandung kemih di

mana diyakini terjadi kelebihan jumlah kolesterol dan ikut dieksresikan melalui kulit.

Lubowe (1967) mengklasifisikan faktor internal dan eksternal yang dapat menyebabkan

ketombe. Faktor internal tersebut adalah ketidakseimbangan hormonal, gangguan nutrisi,

pengaruh diet makanan, dan tekanan syaraf. Sedangkan, faktor eksternal adalah perubahan

biokimia pada kulit kepala, peningkatan aktivitas bakteri atau fungi pada kulit kepala, dan

reaksi peradangan yang menyertai pada penggunaan obat-obatan atau kosmetik. Pengaruh

mekanik dan kimia terhadap kulit kepala juga dapat menyebabkan ketombe. Penggarukan

yang kuat pada kulit kepala, penggunaan losion beralkohol tinggi, sabun alkali, atau bahan

lain yang tidak sesuai dengan kulit kepala akan menyebabkan pengelupasan stratum

korneum lebih awal sebelum siap terdeskuamasi secara normal. Selain itu, ditemukan juga

faktor lain yang berpengaruh terhadap produksi ketombe, di antaranya defisiensi vitamin

B, pertumbuhan kulit kepala yang cepat (hiperproliferasi epidermis), masalah psikologis,

dan penurunan sistem kekebalan tubuh terutama pada pasien pengidap AIDS. Ketombe

juga dapat disebabkan oleh faktor imunologi. Keringat manusia mengandung alergen yang

dapat memasuki lapisan kulit dan menyebabkan pengelupasan stratum korneum.

Kedua, produksi ketombe dapat dipengaruhi oleh keberadaan mikroorganisme pada kulit

kepala. Salah satu mikroorganisme yang umum ditemukan pada kulit kepala sebagai flora

normal adalah Pityrosporum ovale. Organisme ini ditemukan berkelompok dalam serpihan

ketombe, rambut yang berminyak, dan di permukaan kulit lainnya seperti hidung, kelopak

mata, lipatan nasolobial, dan dada. Malassez (1874) mengemukakan mikroorganisme ini

merupakan penyebab utama ketombe. P. ovale dalam perkembangannya mengalami

Page 6: 1.1 Tinjauan Botani -  · PDF filea. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), ... flavonoid, wedelolakton, dan demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002). e. Efek Farmakologi

8

berbagai perubahan nama dan terakhir disinonimkan dengan Malassezia furfur seperti

dijelaskan dalam bagian Malassezia sp.

Ketiga, ketombe dapat disebabkan oleh kombinasi dari penyebab pertama dan kedua

tersebut. Para peneliti meyakini bahwa mikroorganisme dan kondisi fungsional tubuh

memberikan pengaruh terhadap kondisi ketombe. Leone (1952) mengemukakan bahwa P.

ovale memiliki aktivitas esterase kuat dan memproduksi asam lemak bebas dari ester dan

diperkirakan mengambil beberapa bahan esensial dari kulit kepala yang kemudian

menyebabkan pengelupasan kulit kepala.

1.2.2 Patologi

Pada kulit kepala normal, lapisan tanduk terdiri dari 25-35 lapisan sel yang terkeratinisasi

sempurna dan saling berhubungan, sedangkan pada kulit kepala berketombe biasanya

lapisan tanduk hanya mengandung kurang dari 10 lapisan sel dan sering berubah tidak

teratur.

Secara normal, proses pertumbuhan kulit diawali dengan perkembangan sel pada lapisan

stratum germinativum dari epidermis. Sel-sel pada lapisan ini akan terus mengalami

pertumbuhan dan penggandaan sehingga mendorong sel-sel yang ada di lapisan atasnya

hingga mencapai stratum korneum. Selama proses pertumbuhan sel ini, pigmen melanin

akan terdekomposisi, sel menjadi datar dan liat, kehilangan air, serta membentuk struktur

jembatan silang antarsel. Pada akhirnya sel akan menjadi mati dan membentuk serbuk

terkeratinisasi. Proses ini terjadi selama 15-30 hari pada manusia normal, namun pada

pasien berketombe proses ini berlangsung lebih cepat yaitu sekitar 2 minggu sekali. Hal ini

mengakibatkan sel-sel kulit mati akan terkelupas lebih cepat dan menumpuk dalam jumlah

yang besar, yang tampak sebagai serpihan-serpihan kecil berwarna putih atau kelabu di

kulit kepala.

1.2.3 Kondisi Klinik

Ketombe ditandai dengan kondisi klinik berupa pengelupasan kulit kepala (stratum

korneum) secara berlebihan. Stratum korneum yang terkelupas ini berupa sisik berwarna

putih keabu-abuan dan berukuran 2-3 mm, serta biasanya jatuh di bahu penderita sehingga

terlihat jelas seperti titik-titik putih. Pengelupasan ini tidak menyebabkan reaksi

peradangan. Sisik-sisik ini dapat dihilangkan dengan penggunaan sampo yang sesuai

Page 7: 1.1 Tinjauan Botani -  · PDF filea. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), ... flavonoid, wedelolakton, dan demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002). e. Efek Farmakologi

9

namun dapat kembali muncul 4-7 hari kemudian. Sisik-sisik ini juga dapat menjadi

berminyak ketika bercampur dengan sebum yang dieksresikan melalui saluran kelenjar

sebaseus. Dalam kasus ini dilaporkan terjadi peradangan dan lebih lanjut dapat menjadi

seborrhoeic dermatitis.

Gambar 1.3 Kondisi klinik kulit kepala berketombe.

Secara umum, ketombe terdiri dari dua bentuk yaitu pityriasis simplex capitis (pityriasis

sicca) dan pityriasis steatoides (pityriasis serosa). Sidi mengemukakan bentuk pityriasis

simplex capitis mulai menyerang sejak usia sebelas atau dua belas tahun. Bentuk ketombe

ini menghasilkan deskuamasi dan sisik pada semua bagian kulit kepala, tanpa disertai

peradangan, dan biasanya terlihat berjatuhan di bagian bahu. Sisik ini berwarna putih

keabu-abuan dan berukuran 2-3 mm. Sisik-sisik ini akan kembali bermunculan setelah lima

hari pencucian kulit kepala. Pityriasis steatoides ditemukan dalam beberapa kasus berupa

sisik yang menempel pada kulit kepala. Sisik ini dilekatkan pada kulit kepala oleh minyak

yang diekskresikan oleh kelenjar minyak. Dalam beberapa kasus dilaporkan terjadi

peradangan pada bentuk ketombe ini.

1.2.4 Pengobatan

Pengobatan untuk ketombe dapat dibagi berdasarkan jenis ketombe yang menyerang kulit

kepala penderita. Pengobatan untuk jenis ketombe kering dapat didasarkan pada

penghentian penggunaan sampo, losion beralkohol, humektan, atau emolien yang tidak

sesuai yang dapat menjadikan kulit kepala kering. Untuk jenis ketombe berminyak dapat

dilakukan pengobatan dengan menggunakan beberapa germisida, seperti resorsinol, timol,

dan kelompok fenol lainnya. Penggunaan beberapa germisida seperti larutan Cetavlon 5%,

selfasetamid natrium, turunan triklorometilmerkapto, kadmium sulfida, selenium disulfida,

telurium dioksida, heksaklorofan, tar, dan asam salisilat telah dilaporkan dalam pengobatan

Page 8: 1.1 Tinjauan Botani -  · PDF filea. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), ... flavonoid, wedelolakton, dan demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002). e. Efek Farmakologi

10

ketombe. Zinc pyridinium-thiol-N-oxide (Zinc PtO) dan zinc undecylenat merupakan dua

zat terbaru yang diperkenalkan sebagai antiketombe. Zinc pyridinium-thiol-N-oxide

merupakan antibakteri yang aman dan sesuai digunakan dalam sampo. Bagaimanapun,

penggunaan obat-obatan antiketombe ini lebih baik disertai dengan pemeliharaan kulit

kepala yang teratur seperti mencuci, memijat dan menjaga kelembapan rambut.

Pengelupasan kulit kepala berlebihan pada penderita ketombe dapat dikurangi dengan

perawatan rambut yang tepat. Dengan mencuci rambut secara reguler, kulit-kulit mati akan

terlepas sebelum terkumpul banyak dan terkelupas. Penggunaan sampo yang tepat juga

akan membantu mengembalikan tingkat keasaman kulit kepala yang baik, memecah

minyak, dan mencegah sel-sel kulit mati bertumpuk menjadi serpihan yang terlihat.

Pada umumnya, ada berbagai sampo antiketombe yang dapat dipilih, antara lain:

- Sampo sulfur, bekerja dengan melepaskan lapisan tanduk kulit dan mengurangi

pembentukan lemak di kulit kepala.

- Sampo ter-, bekerja dengan mengurangi pembentukan lemak kulit dan menekan

pembentukan dan pelepasan kulit kepala (epidermal turnover).

- Sampo selenium, seperti selenium sulfida bekerja dengan menekan pembentukan dan

pengelupasan kulit kepala.

- Sampo yang mengandung zinc pyridinium thiol, namun banyak pasien mengeluh

bahwa rambut mereka menjadi berminyak setelah menggunakan sampo ini.

- Sampo yang mengandung zat antifungi seperti tetrasiklin, ketokonazol, atau

itrakonazol, bekerja dengan membunuh atau menghambat pertumbuhan jamur

penyebab ketombe di kulit kepala.

- Ramuan tradisional berupa ekstrak tanaman, bekerja dengan membunuh atau

menghambat pertumbuhan jamur di kulit kepala dan mengembalikan kelembapan alami

kulit kepala.

Sampo ketombe diharapkan dapat membersihkan rambut dan kulit kepala tanpa

menjadikan rambut berlemak atau kering dan menjadikan rambut mudah diatur; tidak

merangsang kelenjar lemak tetapi hanya meningkatkan aktivitasnya; efektif sebagai

germisida dan fungisida sehingga dapat mencegah peningkatan pertumbuhan bakteri dan

jamur, bahkan dapat mencegah infeksi untuk beberapa waktu setelah keramas; serta tidak

Page 9: 1.1 Tinjauan Botani -  · PDF filea. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), ... flavonoid, wedelolakton, dan demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002). e. Efek Farmakologi

11

meningkatkan kepekaan kulit kepala seperti menyebabkan rasa gatal, pengelupasan kulit,

atau peradangan dengan kadar zat berkhasiat yang digunakan (Ditjen POM, 1985).

Selain sampo, juga dapat digunakan sediaan losion yang mengandung senyawa aktif yang

dioleskan di kulit kepala. Losion yang mengandung sulfur dan asam salisilat dapat

membuat ketombe menjadi lebih lembut dan tidak kuat menempel pada kulit kepala

sehingga mudah dibersihkan. Losion tembaga dan zink sulfat serta merkuri dan asam

salisilat adalah contoh lainnya, namun jarang digunakan atau digunakan untuk jangka

pendek karena bersifat toksik.

1.3 Malassezia sp.

Malassezia sp. merupakan bagian dari flora normal kulit sebesar 90% pada orang dewasa.

Malassezia sp. bersifat lipofilik dan ditemukan pada area kulit yang memiliki kelenjar

minyak, seperti pada wajah, kulit kepala, dada, dan punggung. Kelompok genus ini

menggunakan lipid sebagai sumber karbon dan dapat tumbuh dalam media yang

mengandung asam lemak rantai panjang (C12-C24).

1.3.1 Klasifikasi

Malassezia sp. diklasifikasikan ke dalam dunia Fungi, divisi Basidiomycetes, subdivisi

Hymenomycotina, kelas Heterobasidiomycetes, bangsa Tremellales, marga Malassezia,

dan jenis Malassezia sp. 1

1.3.2 Sejarah

Pada awalnya peneliti membedakan spesies Malassezia menjadi dua bagian berdasarkan

fase hidupnya, yaitu fase ragi (dikenal sebagai Pityrosporum) dan fase miselial (dikenal

sebagai Malassezia). Penelitian ini diawali pada tahun 1846 ketika Eichstedt pertama kali

menemukan hubungan bahwa lesi pada pityriasis versicolor disebabkan oleh semacam

jamur. Tahun 1853, Robin menamakan jamur tersebut Microsporum furfur. Di tahun 1874,

Malassez menemukan hubungan bahwa terdapat semacam jamur yang menyebabkan

munculnya sisik pada kulit kepala yang kemudian jamur tersebut diberi nama Malassezia.

1http://en.wikipedia.org/wiki/Malassezia, diakses 4 Oktober 2007.

Page 10: 1.1 Tinjauan Botani -  · PDF filea. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), ... flavonoid, wedelolakton, dan demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002). e. Efek Farmakologi

12

Sabouraud merupakan orang pertama yang mengemukakan bahwa bentuk ragi dan miselial

dari Malassezia memiliki keterkaitan, kemudian didukung oleh Panja (1927) yang

mengklasifikasikan kedua jamur pada fase hidup tersebut ke dalam satu genus yang sama,

Pityrosporum, yang terdiri dari dua spesies, yaitu Pityrosporum ovale (pada manusia) dan

Pityrosporum pachydermatis (pada hewan). Pada awal tahun 1950, Martin-Scott dan Spoor

et al. menemukan Malassezia pada orang berpenyakit seborrhoeic dermatitis (dermatitis

seboroika) dan juga pada orang normal. Van Der Wyk dan Hechemy menemukan bahwa

pengurangan jumlah Malassezia berhubungan dengan pengurangan ketombe. Di tahun

1970, sebanyak tiga spesies dari genus Malassezia telah diketahui, yaitu Pityrosporum

ovale (ditemukan pada manusia dengan bentuk sel oval), Pityrosporum orbiculare

(ditemukan pada manusia dengan bentuk sel melingkar), dan Pityrosporum pachydermatis

(ditemukan pada hewan), serta diyakini bahwa memang terdapat keterkaitan antara bentuk

ragi dan miselial dari Malassezia. Tahun 1977, diketahui bahwa perbedaan bentuk sel

antara Pityrosporum ovale dengan Pityrosporum orbiculare merupakan perbedaan fase

hidup dari organisme yang sama, yaitu Malassezia, sehingga Malassezia kembali

diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu Malassezia furfur (ditemukan pada manusia

yang terdiri dari Pityrosporum orbiculare, Pityrosporum ovale, dan Malassezia furfur) dan

Malassezia pachydermatis (ditemukan pada hewan yang terdiri dari Pityrosporum

pachydermatis). Pada tahun 1990, ditemukan spesies baru oleh Simmons dan Gueho , yaitu

M. sympodialis, juga Cunningham et al. membagi M. furfur menjadi 3 serovar yaitu

serovar A, B, dan C. Di tahun 1995, Guillot dan Gueho mempublikasikan penemuannya

terhadap 104 isolat spesies Malassezia yang dibedakan berdasarkan studi subunit tRNA

dan inti DNA. Dari hasil studi tersebut, mereka menetapkan tujuh spesies Malassezia, yaitu

M. furfur, M. sympodialis, M. obtusa, M. globosa, M. restricta, M. sloofiae, dan M.

pachydermatis. Penamaan ini dianggap sebagai penamaan terakhir yang masih berlaku

sampai sekarang. Beberapa karakteristik dari tujuh spesies Malassezia ditampilkan dalam

tabel 1.1 berikut ini:

Page 11: 1.1 Tinjauan Botani -  · PDF filea. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), ... flavonoid, wedelolakton, dan demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002). e. Efek Farmakologi

13

Tabel 1.1 Karakteristik dari Tujuh Spesies Malassezia

Karakteristik

Spesies Malassezia

M. furfur

M. sympodialis

M. Obtusa

M. globosa

M. restricta

M. sloofiae

M. pachydermatis

Sinonim P. ovale M. furfur

serovar A P. ovale M. furfur

serovar B M. furfur serovar C

P. ovale P. pachydermatis

Morfologi dan tekstur koloni

Umbonat,

licin, lembut, serpihan

Datar, licin,

shlay, lembut

Konveks

pucat, licin, lembut,

serpihan

Kasar, course,

mudah pecah

Melipat,

mudah pecah

Tumpul,

licin, keras, mudah pecah

Licin, datar,

lengket

Warna koloni Krem Krem hingga buff

krem Krem hingga buff

Krem hingga buff

Krem Krem

Ukuran dan permukaan sel

Terelongasi, oval atau

sferik, 6 m

Ovoid, globos,

panjang 2,5-

5 m

Silinder, panjang 2,5-

4,0 m

Sferik, diameter 6-8

m

Silinder, panjang 1,5-

3,5 m

Sferik, oval,

2-4 m Silinder, 4-6 m

Bentuk kuncup (budding)

Dasar kuncup

menyebar

Beberapa kuncup

berbentuk simpodial

Dasar kuncup menyebar,

kuncup prut tergantikan

Dasar kuncup

sempit

Dasar kuncup

menyebar

Dasar kuncup

sempit

Dasar kuncup menyebar

Kandungan G + C

66,4 62,2 55,6 63,5 68,7 59,9 60,7

Reaksi katalase

+ + v + + - +

Reaksi DBB

+ + + + + + +

Reaksi urease

+ + + + + + +

Pertumbuhan pada 37 ºC

Baik Baik Baik Buruk Baik Buruk Buruk

Suhu maksimum

pertumbuhan

40-41 40-41 40-41 38 40-41 38 38

Pemanfaatan sumber lipid

Tween 20

+ - + - + - -

Tween 40 atau 60

+ + + - + - -

Tween 80

+ + + - - - -

Kromofor EL

v - v - - - -

Kemampuan membelah diri

- + v - - - +

Keterangan: + (positif), - (negatif), v (bervariasi), DBB (Diazonium Blue B).

1.3.3 Struktur, Fisiologi, dan Biokimia

Malassezia sp. dapat berada dalam bentuk ragi (terdapat pada kulit normal) atau bentuk

miselial. Malassezia sp. mengalami reproduksi aseksual melalui pembentukan tunas

enteroblastik yang monopolar dengan dasar yang luas. Sel induk dan sel anak terpisah oleh

septum, dan berkembang biak dengan membelah diri. Dinding sel dari genus Malassezia

bentuknya tipis dibandingkan dengan dinding sel ragi yang lain dan sulit terkarakterisasi.

Komponen utama dinding selnya terdiri dari gula (~70%), protein (~10%), lipid (15-10%),

Page 12: 1.1 Tinjauan Botani -  · PDF filea. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), ... flavonoid, wedelolakton, dan demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002). e. Efek Farmakologi

14

serta sejumlah kecil nitrogen dan sulfur. Beberapa peneliti meyakini bahwa dinding selnya

terdiri dari banyak lapisan dengan lapisan terluar berupa lapisan lamela yang melingkupi

dinding sel. Lapisan lamela ini dapat menempel pada kulit manusia atau hewan.

Gambar 1.4 Biakan Malassezia sp.

Fisiologis Malassezia sp. masih belum banyak diketahui karena kesulitan dalam

mengkultur dan memelihara organisme ini. Malassezia sp. menggunakan lipid sebagai

sumber karbon, metionin atau sistein sebagai sumber sulfur, asam amino sebagai sumber

nitrogen, serta tidak membutuhkan vitamin, trace element, atau elektrolit. Malassezia sp.

dapat tumbuh normal secara in vitro dalam lingkungan aerobik, anaerobik, atau

mikroaerofilik. Malassezia sp. tidak dapat membentuk asam lemak rantai panjang sehingga

kebutuhan asam lemak ini diperoleh dari lingkungan. Berdasarkan suatu penelitian,

penambahan asam lemak dengan jumlah atom karbon lebih besar dari 10 ke dalam medium

pertumbuhan memberikan kondisi pertumbuhan yang memadai. Wilde dan Stewart

mengemukakan bahwa lemak pada kulit kepala orang normal mampu memenuhi

kebutuhan lemak dari Malassezia sp.

Secara in vitro dan in vivo, Malassezia sp. memiliki aktivitas lipolitik yang

mengindikasikan produksi lipase. Lipase terletak dalam dinding sel dan/atau pada

membran sitoplasma. Terdapat tiga jenis lipase yang berbeda pada Malassezia sp. yang

sangat penting untuk pertumbuhannya. Secara in vitro, Malassezia sp. juga memproduksi

fosfolipase yang berperan dalam pelepasan asam arakidonat dari sel HEp-2 yang dapat

menyebabkan inflamasi. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya inflamasi pada pasien

seborrhoeic dermatitis. Malassezia sp. memproduksi enzim melalui aktivitas lipoksigenase

dengan kemampuannya mengoksidasi asam lemak tidak jenuh teresterifikasi, yaitu skualen

dan kolesterol menjadi produk berupa lipoperoksidase yang dapat merusak membran sel

Page 13: 1.1 Tinjauan Botani -  · PDF filea. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), ... flavonoid, wedelolakton, dan demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002). e. Efek Farmakologi

15

dan mempengaruhi aktivitas selular, mekanisme inilah yang menyebabkan pigmentasi kulit

pada pasien pityriasis versicolor.

1.3.4 Penyakit yang Disebabkan oleh Malassezia sp.

Sejak puluhan tahun yang lalu, Malassezia sp. telah diketahui memiliki peranan yang

cukup besar terhadap munculnya beberapa penyakit kulit pada manusia. Di antara penyakit

kulit tersebut adalah:

a. Pityriasis versicolor

Pityriasis versicolor biasanya menyerang pada bagian atas tubuh. Penyakit ini berupa

lesi berbentuk sisik akibat hipopigmentasi atau hiperpigmentasi lapisan kulit dengan

rasa gatal yang minimal. Penyakit ini biasanya menyerang pada usia remaja ketika

kelenjar sebaseus mulai bekerja lebih aktif, meskipun juga ditemukan pada anak-anak

dan orang dewasa.

b. Seborrhoeic dermatitis dan ketombe

Seborrhoeic dermatitis adalah penyakit yang ditandai oleh pengelupasan kulit

membentuk sisik dan terjadi inflamasi pada bagian tubuh yang banyak terdapat kelenjar

sebaseus. Sedangkan, ketombe merupakan kondisi seborrhoeic dermatitis yang tidak

diikuti inflamasi atau terjadi inflamasi ringan pada kulit kepala. Malassezia sp. terdapat

sekitar 46% pada orang normal sebagai flora normal, namun pada pasien berketombe

meningkat hingga 74% dan 83% pada pasien seborrhoeic dermatitis.

c. Malassezia foliculitis

Malassezia foliculitis adalah penyakit yang ditandai dengan munculnya papula dan

pustula yang menimbulkan rasa gatal pada tubuh dan lengan bagian atas. Penyakit ini

biasanya mengiringi seseorang yang sedang menjalani terapi biopsi, juga diketahui

terjadi pada masa kehamilan, pasien leukemia, transplantasi sumsum tulang, AIDS,

down’s syndrome, penyakit Hodgkin, diabetes, serta transplantasi ginjal dan jantung.

Malassezia foliculitis lebih sering terjadi pada daerah tropis karena pengaruh panas dan

lembap yang cukup tinggi.

d. Atopic dermatitis

Atopic dermatitis (sinonim atopic eczema) merupakan penyakit kulit berupa inflamasi

kronis dengan penyebab yang masih belum diketahui secara pasti. Gejalanya dapat

diinduksi oleh stres emosional, infeksi, iritan mekanik atau kimiawi, keringat, atau

alergen (alergen makanan, aeroalergen, serta alergen yang berasal dari kulit dan

patogen).

Page 14: 1.1 Tinjauan Botani -  · PDF filea. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), ... flavonoid, wedelolakton, dan demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002). e. Efek Farmakologi

16

e. Penyakit lain

Penyakit lain dapat berupa penyakit superfisial ataupun penyakit dalam. Penyakit

superfisial yang dapat menyerang di antaranya acne vulgaris, dacryocyctitis,

seborrhoeic blepharitis, neonatal pustulosis, papilomatosis, onychomycosis, infeksi

rambut, dan psoriasis. Penyakit dalam seperti mastitis, sinusitis, septic arthritis,

malignant otitis externa, peritonitis, dan fungemia catheter.

1.4 Kombinasi Antimikroba

Kombinasi antimikroba merupakan alternatif penggunaan senyawa antimikroba yang dapat

menghindari efek negatif atau meningkatkan efikasi dari suatu penggunaan senyawa

antimikroba tunggal. Penggunaan kombinasi senyawa antimikroba diperbolehkan untuk

terapi empiris terhadap infeksi yang penyebabnya tidak diketahui, untuk pengobatan

infeksi polimikroba, untuk meningkatkan aktivitas antimikroba untuk infeksi yang spesifik,

atau untuk mencegah timbulnya resistensi. Sifat dari penggunaan kombinasi antimikroba

dapat berupa sinergis, aditif, atau antagonis. Sifat sinergis terjadi ketika efek yang

ditimbulkan dari penggunaan kombinasi senyawa antimikroba lebih besar dari efek

penjumlahan masing-masing senyawa tunggal. Sifat aditif terjadi ketika efek yang muncul

merupakan penjumlahan dari efek masing-masing senyawa antimikroba tunggal.

Sedangkan, sifat antagonis ditunjukkan ketika kombinasi senyawa antimikroba

memberikan efek yang lebih rendah dari penggunaan senyawa antimikroba tunggal.

Pengujian aktivitas kombinasi antimikroba dapat dilakukan dengan metode pengenceran

antimikroba dua kali lipat secara berseri dalam kaldu yang diinokulasikan dengan sejumlah

standar mikroorganisme uji membentuk suatu susunan konsentrasi antimikroba dalam

perbandingan yang berbeda-beda. Sinergisme didefinisikan sebagai penghambatan

pertumbuhan oleh kombinasi antimikroba pada konsentrasi kurang dari atau sama dengan

25% KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) masing-masing antimikroba jika bekerja

sendiri-sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa satu antimikroba memengaruhi

mikroorganisme sedemikian rupa sehingga menjadi lebih peka terhambat efek hambat

antimikroba lainnya. Jika diperlukan setengah dari konsentrasi hambat masing-masing

antimikroba untuk menghasilkan hambatan, maka hasilnya disebut aditif [indeks fraksi

konsentrasi inhibisi (FKI) = 1], menunjukkan bahwa kerja dua antimikroba tersebut tidak

saling tergantung satu sama lain. Jika diperlukan lebih dari setengah KHM masing-maisng

Page 15: 1.1 Tinjauan Botani -  · PDF filea. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), ... flavonoid, wedelolakton, dan demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002). e. Efek Farmakologi

17

antimikroba untuk menghasilkan efek hambat, maka antimikroba tersebut dikatakan

bersifat antagonis.

Kombinasi antimikroba yang diuji dengan suatu susunan konsentrasi antimikroba dalam

perbandingan yang berbeda-beda akan membentuk suatu isobologram. Sinergisme

ditunjukkan oleh kurva cekung, efek aditif oleh suatu garis lurus, dan antagonisme oleh

kurva cembung. Keterbatasan penting pada metode ini adalah bahwa titik akhirnya berupa

terhambatnya pertumbuhan, bukan pemusnahan.

Indeks FKI sama dengan jumlah nilai FKI masing-masing antimikroba:

1.5 Ketokonazol

Ketokonazol merupakan antifungi yang dapat dipakai untuk mengatasi seborrhoeic

dermatitis dan ketombe serta beberapa penyakit kulit lainnya. Penelitian yang dilakukan

oleh Hammer et al. (1999) menunjukkan bahwa ketokonazol memberikan konsentrasi

hambat minimum (KHM) yang paling kecil untuk ketujuh jenis Malassezia sp.

dibandingkan terhadap ekonazol, mikonazol, dan minyak pohon teh.

Gambar 1.5 Efek kombinasi dua senyawa antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba.

Indeks FKI = KHM A dan B + KHM B dan A

KHM A saja KHM B saja

Page 16: 1.1 Tinjauan Botani -  · PDF filea. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), ... flavonoid, wedelolakton, dan demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002). e. Efek Farmakologi

18

Gambar 1.6 Struktur ketokonazol.

Ketokonazol merupakan antimikotika golongan azol derivat imidazol dengan mekanisme

kerja menghambat sintesis membran (ergosterol). Antimikotika golongan azol bersifat

sangat lipofil sehingga mencapai sitokrom P-450 retikulum endoplasma dan mitokondria

fungi. Antimikotika golongan azol bekerja dengan mempengaruhi biosintesis ergosterol

melalui pengikatan dengan enzim sitokrom P-450 termediasi yang dikenal sebagai 14- -

demetilase (P-450DM). Hal ini mengakibatkan pemblokan formasi ergosterol melalui

pencegahan metilasi lanosterol (suatu prekursor ergosterol) yang menghasilkan

pengurangan sejumlah ergosterol dalam membran sel fungi, diikuti ketidakstabilan

membran, penghambatan pertumbuhan, dan kematian sel dalam beberapa kasus. Dapat

pula terjadi pembentukan produk toksik intermediet yang berakibat fatal terhadap sel.

Ketokonazol efektif pada penyakit blastomikosis, histoplasmosis, koksidioidomikosis,

pseudallescheriasis, parakoksidioidomikosis, ringworm (tinea), tinea versikolor,

kandidiasis mukokutan kronis, vulvovaginitis Candida, serta kandidiasis oral dan esofagus.

Efikasinya buruk pada pasien yang respon imunnya ditekan dan pada pasien meningitis.

Dosis lazim dewasa adalah 400 mg sekali sehari. Anak-anak diberi 3,3 – 6,6 mg/kg per

hari. Respon yang lambat terhadap terapi membuat ketokonazol tidak sesuai untuk pasien

dengan mikosis parah atau mikosis yang berkembang cepat.

Efek samping ketokonazol yang umum bila digunakan secara oral adalah mual, anoreksia

dan muntah yang semuanya tergantung pada dosis dan terjadi pada sekitar 20% dari pasien

yang menerima pengobatan 400 mg/hari. Pemberian bersama makanan, sebelum tidur, atau

dalam dosis terbagi dapat memperbaiki toleransi. Ruam akibat alergi muncul pada sekitar

4% pasien yang diobati dengan ketokonazol dan pruritus tanpa ruam muncul sekitar 2%.

Kerontokan rambut juga juga pernah dilaporkan. Ketokonazol dapat menghambat

biosintesis steroid pada pasien dengan menghambat sistem enzim yang tergantung pada

Page 17: 1.1 Tinjauan Botani -  · PDF filea. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), ... flavonoid, wedelolakton, dan demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002). e. Efek Farmakologi

19

sitokrom P-450 sehingga beberapa kelainan endokrin dapat terjadi. Dilaporkan pula terjadi

peningkatan aminotransferase yang ringan dan asimtomatik dalam plasma umum terjadi

pada 5-10% pasien, tetapi akan kembali ke keadaan normal secara spontan. Antimikotika

golongan azol juga memiliki kontraindikasi pada wanita hamil, menyusui, dan insufisiensi

hati berat.

1.6 Iritasi

Iritasi biasanya ditunjukkan dengan gejala berupa kemerahan yang tampak di sekitar

daerah pemakaian senyawa pengganggu yang diikuti oleh proses udema pada daerah yang

sama atau pada daerah yang lebih luas di sekitar tempat pemakaian. Proses selanjutnya

adalah kulit menjadi panas, terjadi gatal-gatal, dan terbentuk luka. Senyawa iritasi

menyebabkan efek secara langsung dalam sel pada saat penetrasi ke dalam dermis. Tahap

pertama dari proses iritasi adalah terjadinya dilatasi vena pada permukaan kulit yang

menyebabkan kulit berwarna kemerahan, diikuti bengkak yang disebabkan hilangnya

cairan dari pembuluh-pembuluh (udem) dan dilatasi arteri (pemerahan tersebar di sekitar

kulit yang teriritasi). Bersamaan dengan proses ini juga dilepaskan senyawa-senyawa

kimia, seperti histamin dari sel utama dalam dermis yang bergranul. Sel-sel ini menjadi

rusak dan melepaskan granul pada waktu terjadinya pemecahan sel. Selanjutnya,

menyebabkan kulit panas, gatal dan luka.

1.7 Kulit

Kulit merupakan bagian dari sistem integumen yang melingkupi bagian terluar dari tubuh

dan membatasi lingkungan dalam tubuh dengan lingkungan luar tubuh.

Kulit terdiri dari tiga lapisan, yaitu:

a. Epidermis

Epidermis merupakan bagian terluar dari kulit. Bagian ini tersusun dari jaringan epitel

skuamosa bertingkat yang mengalami keratinisasi, tidak memiliki pembuluh darah, dan

sel-selnya tersusun sangat rapat. Sel-sel epidermal menerima nutrisi dan oksigen

melalui difusi dari pembuluh darah kapiler pada dermis. Bagian epidermis tersusun dari

5 lapisan sebagai berikut:

Page 18: 1.1 Tinjauan Botani -  · PDF filea. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), ... flavonoid, wedelolakton, dan demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002). e. Efek Farmakologi

20

i) Stratum germinativum

Lapisan ini merupakan lapisan tunggal sel-sel yang melekat pada jaringan ikat dari

lapisan kulit di bawahnya. Pada bagian ini terjadi pembelahan sel yang cepat dan

sel ini terdorong masuk ke lapisan berikutnya.

ii) Stratum spinosum

Lapisan ini terdiri dari 8-10 lapisan keratinosit yang berikatan bersama oleh

desmosom. Lapisan ini tersusun atas lapisan sel spina atau tanduk, disebut

demikian karena sel-sel tersebut disatukan oleh tonjolan yang menyerupai spina.

iii) Stratum granulosum

Lapisan ini terdiri dari tiga sampai lima lapisan sel dengan granula-granula

keratohialin yang merupakan prekursor pembentukan keratin. Keratin adalah

protein keras dan resilien serta bersifat antiair dan melindungi permukaan kulit

yang terbuka. Keratin pada lapisan epidermis merupakan keratin lunak yang

berkadar sulfur rendah, berlawanan dengan keratin yang berada pada kuku dan

rambut. Saat keratohialin dan keratin berakumulasi, nukleus sel berdisintegrasi dan

menyebabkan kematian sel.

Gambar 1.7 Kulit manusia beserta lapisan- lapisannya.

arteri

v ena

korpuskel Paccini

kelenjar keringat

serabut sy araf

Pembuluh darah

dan limf e

papila rambut

kelenjar sebaseus

f olikel rambut

JARINGAN LEMAK

SUBKUTAN

(hy podermis)

DERMIS

sy araf sensori peraba

papila dermal

pori-pori keringat

batang rambut

stratum korneum

lapisan pigmen

otot pili arektor

Page 19: 1.1 Tinjauan Botani -  · PDF filea. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), ... flavonoid, wedelolakton, dan demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002). e. Efek Farmakologi

21

iv) Stratum lusidum

Lapisan ini merupakan lapisan jernih dan tembus cahaya dari sel-sel pipih tidak

bernukleus yang mati atau hampir mati dengan ketebalan empat sampai tujuh

lapisan sel.

v) Stratum korneum

Lapisan ini merupakan lapisan epidermis teratas yang terdiri dari 15 sampai 30

lapisan sisik tidak hidup yang sangat terkeratinisasi dan semakin pipih saat

mendekati permukaan kulit. Stratum korneum mengalami pembaharuan sel-sel

terdeskuamasi yang konstan karena terjadi pembelahan sel di stratum

germinativum. Sel-sel pada stratum germinativum tersebut bergerak ke arah

permukaan kulit dan mengalami keratinisasi yang kemudian mati. Dengan

demikian, seluruh permukaan tubuh terbuka tertutupi oleh lembaran sel epidermis

mati. Keseluruhan lapisan epidermis akan diganti dari dasar ke permukaan kulit

setiap 15-30 hari.

b. Dermis

Dermis merupakan lapisan di bawah epidermis yang dipisahkan dari lapisan epidermis

dengan adanya membran dasar atau lamina. Membran ini tersusun dari dua lapisan

jaringan ikat, yaitu:

i) Lapisan papilar

Lapisan ini merupakan jaringan areolar yang mengandung pembuluh darah kapiler,

limfatik, dan sel saraf sensorik. Pembuluh darah kapiler memberi nutrisi pada

lapisan epidermis di atasnya.

ii) Lapisan retikular

Lapisan ini terletak lebih dalam dari lapisan papilar yang tersusun dari jaringan ikat

ireguler yang rapat, kolagen, dan serat elastik. Sejalan dengan penambahan usia,

deteriorasi normal pada simpul kolagen dan serat elastik mengakibatkan

pengeriputan kulit.

Infeksi lokal atau peradangan dapat terasa menyakitkan karena terdapatnya reseptor

sensorik pada dermis. Dermatitis merupakan suatu peradangan pada kulit yang

melibatkan lapisan papilari dermis. Peradangan ini diawali pada bagian kulit yang

terpapar infeksi atau iritasi oleh zat kimia, radiasi, atau stimulus mekanik. Dermatitis

dapat menyebabkan ketidaknyamanan, atau dapat memproduksi rasa gatal. Bentuk lain

dari kondisi ini dapat menyebabkan rasa sakit yang cepat dan peradangan dapat

menyebar secara cepat menembus lapisan integumen.

Page 20: 1.1 Tinjauan Botani -  · PDF filea. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), ... flavonoid, wedelolakton, dan demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002). e. Efek Farmakologi

22

c. Hipodermis atau subkutan

Lapisan terbawah dari kulit ini mengikat kulit secara longgar dengan organ-organ yang

terdapat di bawahnya. Pada lapisan ini terdapat jaringan lemak yang berfungsi sebagai

tempat penyimpanan lemak tubuh, serta berisi banyak pembuluh darah dan ujung saraf.

1.8 Mata

Secara umum, mata terdiri dari tiga lapisan (tunik) berbeda, yaitu tunik fibrosa, tunik

vaskular, dan tunik neural. Tunik fibrosa merupakan lapisan terluar mata yang berfungsi

memberikan perlindungan fisik dan mekanik, sebagai tempat melekatnya otot mata

ekstrinsik, dan mengandung struktur yang berperan dalam pemfokusan objek. Tunik

fibrosa terdiri dari sklera dan kornea. Tunik vaskular terdiri dari sejumlah pembuluh darah,

pembuluh limfatik, dan otot-otot mata intrinsik yang memiliki peran dalam pendistribusian

nutrisi ke jaringan mata, mengatur sejumlah cahaya yang masuk ke mata, sekresi dan

reabsorbsi aqueous humor, serta mengontrol ketajaman lensa. Tunik vaskular terdiri dari

iris, badan ciliary, dan koroid. Tunik neural atau retina merupakan lapisan terdalam mata

yang terdiri dari bagian terpigmentasi (tipis) dan bagian neural (tebal).

Gambar 1.8 Struktur mata.

Penilaian efek iritasi mata untuk iritasi yang diinduksi langsung oleh zat kimia dapat

dilakukan pada struktur yang terpapar langsung seperti kornea, konjungtiva, dan iris. Jika

zat kimia mampu berpenetrasi lebih dalam, bagian struktur lain dari mata dapat

terpengaruh.(Hayes, 2001).

Konjungtiva

Ora serrata

Badan siliari Aqueous

Iris Ruang anterior

Kornea Pupil Lensa

Ruang posterior

Kanal Schlemm

Konjungtiva

Vitreous

Sklera Koroid

Retina

Makula

Arteri retina

Saraf optik

Vena retina

Rektus medialis

Page 21: 1.1 Tinjauan Botani -  · PDF filea. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), ... flavonoid, wedelolakton, dan demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002). e. Efek Farmakologi

23

a. Kornea

Kornea terdiri dari suatu matriks padat yang mengandung berlapis-lapis fiber kolagen.

Kornea tidak memiliki pembuluh darah sehingga oksigen dan nutrisi didapatkan dari air

mata yang membasahi permukaan kornea. Kemampuan refraktif kornea tergantung dari

kejernihan dan kesesuaian hidrasinya. Penurunan transparansi dan hidrasi dapat merupakan

akibat dari luka atau edema pada kornea (Hayes, 2001).

b. Konjungtiva

Konjungtiva merupakan suatu membran mukosa yang terlapisi oleh epitel skuamosa

bertingkat. Konjungtiva palpebral menyelimuti bagian dalam kelopak mata dan

konjungtiva okular menyelimuti permukaan anterior mata. Iritasi pada permukaan

konjugtiva disebut konjungtivitis dengan gejala berupa pemerahan konjungtiva akibat

pelebaran pembuluh darah epitelium konjungtiva. Keadaan ini dapat diakibatkan oleh

infeksi patogen atau iritasi fisik dan mekanik pada permukaan konjungtiva.

c. Iris

Iris mengandung pembuluh darah, sel-sel pigmen, dan dua lapis fiber otot halus. Kontraksi

otot ini akan menyebabkan perubahan diameter pupil atau pembukaan pusat iris. Iris terdir i

dari jaringan yang sangat tervaskularisasi dan terpigmentasi. Permukaan anterior memiliki

suatu lapisan fibroblast dan melanosit. Permukaan posterior dilapisi oleh epitelium

terpigmentasi. Warna mata tergantung pada kerapatan dan distribusi melanosit dan

epitelium terpigmentasi ini. Pembuluh darah iris berdilatasi dan teraliri cairan vaskular saat

kontak dengan iritan menghasilkan edema. Pada iritasi parah, kerusakan jaringan dapat

terjadi menyebabkan pupil tidak bereaksi terhadap cahaya.

1.9 Metode Farmakologi

Metode farmakologi yang digunakan meliputi metode pengenceran agar serta penetapan

iritasi dermal dan mata akut.

1.9.1 Pengenceran Agar

Metode pengenceran agar digunakan dalam pengujian aktivitas antifungi ekstrak etanol,

penentuan KHM ekstrak etanol dan kombinasinya, serta penentuan kesetaraan ekstrak

etanol dengan antifungi pembanding terhadap Malassezia sp. dalam penelitian ini.

Page 22: 1.1 Tinjauan Botani -  · PDF filea. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), ... flavonoid, wedelolakton, dan demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002). e. Efek Farmakologi

24

Metode pengenceran agar menggunakan sejumlah seri pengenceran senyawa antimikrobial

yang dicampurkan ke dalam sejumlah agar cair lalu dibiarkan memadat. Kemudian

sejumlah suspensi mikroba diinokulasikan ke atas permukaan agar lalu dilihat tumbuh atau

tidaknya mikroba tersebut setelah diinkubasi pada kondisi yang sesuai.

Metode pengenceran agar selain dapat digunakan untuk menguji aktivitas suatu

antimikroba terhadap mikroba tertentu juga dapat digunakan untuk menentukan harga

konsentrasi hambat minimum (KHM). Metode pengenceran agar lebih sering digunakan

dalam penentuan KHM suatu antimikroba karena interpretasi hasil yang lebih jelas. Harga

KHM suatu antimikroba berlainan dengan antimikroba yang lain untuk suatu

mikroorganisme tergantung kepada kepekaan masing-masing mikroorganisme tersebut.

Semakin kecil KHM suatu antimikroba menunjukkan semakin tinggi potensinya dalam

menghambat pertumbuhan mikroba tersebut.

1.9.2 Pengujian Iritasi

Pengujian iritasi meliputi penentuan iritasi dermal akut pada kulit punggung kelinci dan

iritasi mata akut pada mata kelinci.

Efek iritasi dapat diketahui melalui penetapan iritasi dermal dan mata akut pada hewan

percobaan. Iritasi dermal didefinisikan sebagai produksi kerusakan reversibel pada kulit

selama 4 jam setelah pemberian zat uji. Iritasi mata didefinisikan sebagai perubahan pada

permukaan anterior mata yang mengikuti pemberian zat uji yang dapat reversibel antara 21

hari dari pemberian zat uji. Keadaan kerusakan ireversibel sebagai efek lebih lanjut dari

pengujian iritasi didefinisikan sebagai korosi. Korosi dermal didefinisikan sebagai produksi

kerusakan ireversibel pada kulit; yang diberi nama nekrosis visibel pada epidermis dan

sampai ke dermis selama 4 jam setelah pemberian zat uji. Reaksi korosif dermal ditandai

dengan terjadinya ulcer, perdarahan, sisik-sisik berdarah, dan pada akhir pengamatan (hari

ke-14), terjadi penghilangwarnaan pada kulit, alopecia, dan bopeng (scars). Korosi mata

didefinisikan sebagai kerusakan jaringan mata, atau terjadi penghambatan penglihatan yang

serius setelah pemberian zat uji pada permukaan anterior mata, yang tidak dapat reversibel

antara 21 hari setelah pemberian.