1.1 tinjauan botani - · pdf filea. klasifikasi menurut cronquist (1981), ... flavonoid,...
TRANSCRIPT
3
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dibahas tinjauan botani tanaman jarak (Ricinus communis L.) dan urang-
aring (Eclipta prostrata (L.) L.), ketombe, Malassezia sp., kombinasi antimikroba,
ketokonazol, iritasi, kulit, mata, dan metode farmakologi yang digunakan.
1.1 Tinjauan Botani
Tanaman-tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji jarak dan daun urang-
aring. Kedua tanaman ini telah diketahui memiliki aktivitas antifungi terhadap
Pityrosporum ovale, ragi penyebab ketombe yang merupakan salah satu jenis dari genus
Malassezia.
1.1.1 Jarak
Jarak telah banyak digunakan dalam bidang farmasi, terutama minyaknya sebagai salah
satu zat aktif dan bahan tambahan dalam sediaan farmasi. Selain itu, juga telah diketahui
secara empiris bahwa bijinya digunakan sebagai antijamur dan penyubur rambut.
Gambar 1.1 Morfologi pohon jarak (Ricinus communis L.), yang sebelah kiri adalah morfologi seluruh bagian tanaman dan sebelah kanan adalah
biji jarak yang telah dikeringkan.
4
a. Klasifikasi
Menurut Cronquist (1981), jarak diklasifikasikan dalam divisi Magnoliophyta, kelas
Magnoliopsida, anak kelas Rosidae, bangsa Euphorbiales, suku Euphorbiaceae, marga
Ricinus, dan jenis Ricinus communis L.
b. Nama Daerah
Gloah (Gayo); lulang (Karo); dulang (Batak); lafandru (Nias); jarak jawa (Palembang);
jarak, kalikih alang (Minangkabau); jarag (Lampung); rangam (Dayak); jarak (Jawa);
kaliki, jarak jitun (Sunda); kohongian (Sulawesi Utara); paleng kaliki jera (Bugis); balacai,
balacai roriha (Ternate); batacai (Tidore) (Kasahara and Hemmi, 1995).
c. Morfologi
Tanaman jarak berupa pohon kecil dengan tinggi 1~5 m dengan penyebaran di daerah
Jawa. Batangnya berkayu, bulat licin, berongga, berbuku-buku dengan tanda bekas tangkai
daun yang lepas, berwarna hijau, dengan semburat merah tua. Daun tunggal dan tumbuh
berseling. Bentuk helai daun bundar, bercangap menjari 7 sampai 9, ujung daun runcing,
tepi bergigi. Ukuran daun 10-25 cm x 10-25 cm. Warna permukaan atas daun hijau tua,
sedangkan permukaan bawahnya hijau muda. Tangkai daun panjang, sekitar 30-50 cm,
berwarna merah tua, atau cokelat kehijauan. Bunganya merupakan bunga majemuk bentuk
tandan, tumbuh di ujung batang, berwarna kuning, dan berkelamin satu. Benang sari
banyak, tangkai putik sangat pendek berbentuk benang berwarna merah atau merah muda.
Buahnya berupa buak kotak berbentuk bulat agak lonjong berlekuk tiga, berkumpul dalam
tandan. Di dalam buah terdapat tiga ruang yang masing-masing berisi satu biji. Buahnya
berduri lunak, berwarna hijau muda, dengan rambut berwarna merah. Setelah tua, buah
akan berubah warna menjadi hitam. Biji keras, lonjong, berwarna cokelat, dan berbintik
hitam. Jarak dapat tumbuh di hutan, semak-semak, tanah kosong, dataran rendah sampai
800 m di atas permukaan laut, atau di sepanjang pantai.
d. Kandungan Kimia
Jarak mengandung asam risinoleat, asam palmitat, asam stearat, asam oleat, asam linoleat,
dan asam dihidroksistearat. Minyak bijinya juga mengandung 5% asam glutamat, arginin,
dan risin (Perry, 1980). Selain itu, juga mengandung risinin, sejumlah kecil sitokrom C,
lipase, dan beberapa enzim.
5
e. Efek Farmakologi
Biji digunakan sebagai pencahar, penyubur rambut, dan minyak untuk memasak (Kasahara
and Hemmi, 1995). Di Cina, perasan bijinya digunakan untuk mengobati ketulian, sakit
kepala, scrofula (pembengkakan kelenjar akibat TBC), penyakit kulit, hemorrhage, dropsy
(busung air), konstipasi, bengkak-bengkak, abses, dan sebagai bumbu makanan. Dekok
bijinya digunakan untuk mengobati haemorrhoid. Biji yang telah dikeluarkan dari kulit
bijinya digunakan untuk keperluan laboratorium. Di Filipina, bijinya digunakan sebagai
antireumatik (Perry, 1980).
1.1.2 Urang-aring
Urang-aring telah lama dipakai secara empiris sebagai penyubur rambut dan pemelihara
kehitaman rambut. Ekstrak urang-aring telah digunakan di industri kosmetik sebagai bahan
utama dalam pembuatan sampo penghitam rambut.
a. Klasifikasi
Menurut Cronquist (1981), urang-aring diklasifikasikan dalam divisi Magnoliophyta, kelas
Magnoliopsida, anak kelas Asteridae, bangsa Asterales, suku Asteraceae, marga Eclipta,
dan jenis Eclipta prostrata (L.) L. dengan sinonimnya Eclipta erecta L. serta Eclipta alba
(L.) Hassk.
b. Nama Daerah
Goman, urang-aring (Jawa); telenteya (Madura); daun tinta (Banda) (Kasahara and Hemmi,
1995).
Gambar 1.2 Morfologi herba urang-aring (Eclipta prostrata (L.) L.), yang sebelah kiri adalah morfologi seluruh bagian tanaman dan sebelah
kanan adalah daun yang telah dikeringkan.
6
c. Morfologi
Tanaman urang-aring berupa herba tahunan atau menahun, tegak-condong atau merayap,
sering berakar pada buku lebih bawah, sering banyak cabang, dan tinggi 10~80 cm.
Batangnya agak membulat, berambut atau gundul, bulat masif, sering keungu-unguan,
berambut putih. Daun berhadapan, duduk, dengan pangkal menyempit, ujung runcing atau
gundul, bulat telur memanjang, atau memanjang lanset, bergerigi atau hampir rata, kedua
permukaan daun berambut halus, 2-15,5 kali 0,5-4 cm. Bunga berbentuk bongkol agak
membulat, tangkai karangan tipis, menebal di bagian ujung, berambut, 0,5-7 cm, braktea
involukralis lonjong, runcing, berambut, rata-rata 6 mm. Mahkota bunga berwarna putih,
bunga tepi berbentuk tabung tipis, dan lidah lurus, dengan dua gigi ujung tumpul, rata-rata
2,5 mm (untuk bunga tengah 2 mm). Tabung kepala sari mula-mula berwarna kuning,
kemudian warna bertambah tua. Tangkai putik dengan dua cabang tumpul. Buah putik
keras memanjang hingga bentuk baji pendek, bersegi pipih, berjerawat rapat, pada
ujungnya kadang-kadang dengan bangunan bentuk cawan bergigi dua dan beberapa
berambut pendek dengan panjang 2 mm. Buah berbentuk akhen, memanjang turbin,
berbenjol, hitam, ujungnya dengan beberapa rambut putih atau gundul, 3 mm. Penyebaran
di daerah Jawa pada ketinggian 1~1500m di atas permukaan laut, juga di tempat basah,
padang rumput, sawah, perkebunan tebu dan kelapa, atau pantai (Sudarsono et al., 2002).
d. Kandungan Kimia
Tanaman ini dilaporkan mengandung alkaloid, nikotin, dan ekliptin (Perry, 1980). Selain
itu, juga mengandung asam fenolik karboksilat sederhana, flavonoid, wedelolakton, dan
demetilwedelolakton (Sudarsono et al., 2002).
e. Efek Farmakologi
Daun digunakan untuk mengobati sesak napas, sakit kepala, penyubur ramb ut, penyakit
gigi, bronkhitis, dan gangguan haid, sedangkan semua bagian tanaman juga digunakan
untuk mengobati eksim dan nyeri liver (Kasahara and Hemmi, 1995). Daun juga digunakan
sebagai pengelat, penghenti perdarahan, penanganan pascapersalinan, dan sebagai
penyebab muntah (Sudarsono et al., 2002). Jus daun digunakan untuk menjaga kehitaman
rambut dan meningkatkan pertumbuhan rambut, serta untuk mengobati penyakit jamur di
kulit (Perry, 1980).
7
1.2 Ketombe
Ketombe merupakan kelainan pada kulit kepala yang ditandai dengan pengelupasan
berlebihan dari stratum korneum yang membentuk sisik putih kasar. Sisik-sisik putih ini
akan berjatuhan dan tampak jelas terlihat pada bahu penderita.
1.2.1 Etiologi
Secara umum, penyebab ketombe dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian. Pertama,
ketombe dapat disebabkan oleh kelainan fungsi kulit kepala atau bagian tubuh lainnya.
Peningkatan sekresi kelenjar sebaseus diyakini dapat meningkatkan jumlah minyak pada
kulit kepala dan memicu terjadinya ketombe. Rondoni (1951) mengemukakan bahwa
ketombe dapat terjadi pada pasien yang mengidap penyakit saluran kandung kemih di
mana diyakini terjadi kelebihan jumlah kolesterol dan ikut dieksresikan melalui kulit.
Lubowe (1967) mengklasifisikan faktor internal dan eksternal yang dapat menyebabkan
ketombe. Faktor internal tersebut adalah ketidakseimbangan hormonal, gangguan nutrisi,
pengaruh diet makanan, dan tekanan syaraf. Sedangkan, faktor eksternal adalah perubahan
biokimia pada kulit kepala, peningkatan aktivitas bakteri atau fungi pada kulit kepala, dan
reaksi peradangan yang menyertai pada penggunaan obat-obatan atau kosmetik. Pengaruh
mekanik dan kimia terhadap kulit kepala juga dapat menyebabkan ketombe. Penggarukan
yang kuat pada kulit kepala, penggunaan losion beralkohol tinggi, sabun alkali, atau bahan
lain yang tidak sesuai dengan kulit kepala akan menyebabkan pengelupasan stratum
korneum lebih awal sebelum siap terdeskuamasi secara normal. Selain itu, ditemukan juga
faktor lain yang berpengaruh terhadap produksi ketombe, di antaranya defisiensi vitamin
B, pertumbuhan kulit kepala yang cepat (hiperproliferasi epidermis), masalah psikologis,
dan penurunan sistem kekebalan tubuh terutama pada pasien pengidap AIDS. Ketombe
juga dapat disebabkan oleh faktor imunologi. Keringat manusia mengandung alergen yang
dapat memasuki lapisan kulit dan menyebabkan pengelupasan stratum korneum.
Kedua, produksi ketombe dapat dipengaruhi oleh keberadaan mikroorganisme pada kulit
kepala. Salah satu mikroorganisme yang umum ditemukan pada kulit kepala sebagai flora
normal adalah Pityrosporum ovale. Organisme ini ditemukan berkelompok dalam serpihan
ketombe, rambut yang berminyak, dan di permukaan kulit lainnya seperti hidung, kelopak
mata, lipatan nasolobial, dan dada. Malassez (1874) mengemukakan mikroorganisme ini
merupakan penyebab utama ketombe. P. ovale dalam perkembangannya mengalami
8
berbagai perubahan nama dan terakhir disinonimkan dengan Malassezia furfur seperti
dijelaskan dalam bagian Malassezia sp.
Ketiga, ketombe dapat disebabkan oleh kombinasi dari penyebab pertama dan kedua
tersebut. Para peneliti meyakini bahwa mikroorganisme dan kondisi fungsional tubuh
memberikan pengaruh terhadap kondisi ketombe. Leone (1952) mengemukakan bahwa P.
ovale memiliki aktivitas esterase kuat dan memproduksi asam lemak bebas dari ester dan
diperkirakan mengambil beberapa bahan esensial dari kulit kepala yang kemudian
menyebabkan pengelupasan kulit kepala.
1.2.2 Patologi
Pada kulit kepala normal, lapisan tanduk terdiri dari 25-35 lapisan sel yang terkeratinisasi
sempurna dan saling berhubungan, sedangkan pada kulit kepala berketombe biasanya
lapisan tanduk hanya mengandung kurang dari 10 lapisan sel dan sering berubah tidak
teratur.
Secara normal, proses pertumbuhan kulit diawali dengan perkembangan sel pada lapisan
stratum germinativum dari epidermis. Sel-sel pada lapisan ini akan terus mengalami
pertumbuhan dan penggandaan sehingga mendorong sel-sel yang ada di lapisan atasnya
hingga mencapai stratum korneum. Selama proses pertumbuhan sel ini, pigmen melanin
akan terdekomposisi, sel menjadi datar dan liat, kehilangan air, serta membentuk struktur
jembatan silang antarsel. Pada akhirnya sel akan menjadi mati dan membentuk serbuk
terkeratinisasi. Proses ini terjadi selama 15-30 hari pada manusia normal, namun pada
pasien berketombe proses ini berlangsung lebih cepat yaitu sekitar 2 minggu sekali. Hal ini
mengakibatkan sel-sel kulit mati akan terkelupas lebih cepat dan menumpuk dalam jumlah
yang besar, yang tampak sebagai serpihan-serpihan kecil berwarna putih atau kelabu di
kulit kepala.
1.2.3 Kondisi Klinik
Ketombe ditandai dengan kondisi klinik berupa pengelupasan kulit kepala (stratum
korneum) secara berlebihan. Stratum korneum yang terkelupas ini berupa sisik berwarna
putih keabu-abuan dan berukuran 2-3 mm, serta biasanya jatuh di bahu penderita sehingga
terlihat jelas seperti titik-titik putih. Pengelupasan ini tidak menyebabkan reaksi
peradangan. Sisik-sisik ini dapat dihilangkan dengan penggunaan sampo yang sesuai
9
namun dapat kembali muncul 4-7 hari kemudian. Sisik-sisik ini juga dapat menjadi
berminyak ketika bercampur dengan sebum yang dieksresikan melalui saluran kelenjar
sebaseus. Dalam kasus ini dilaporkan terjadi peradangan dan lebih lanjut dapat menjadi
seborrhoeic dermatitis.
Gambar 1.3 Kondisi klinik kulit kepala berketombe.
Secara umum, ketombe terdiri dari dua bentuk yaitu pityriasis simplex capitis (pityriasis
sicca) dan pityriasis steatoides (pityriasis serosa). Sidi mengemukakan bentuk pityriasis
simplex capitis mulai menyerang sejak usia sebelas atau dua belas tahun. Bentuk ketombe
ini menghasilkan deskuamasi dan sisik pada semua bagian kulit kepala, tanpa disertai
peradangan, dan biasanya terlihat berjatuhan di bagian bahu. Sisik ini berwarna putih
keabu-abuan dan berukuran 2-3 mm. Sisik-sisik ini akan kembali bermunculan setelah lima
hari pencucian kulit kepala. Pityriasis steatoides ditemukan dalam beberapa kasus berupa
sisik yang menempel pada kulit kepala. Sisik ini dilekatkan pada kulit kepala oleh minyak
yang diekskresikan oleh kelenjar minyak. Dalam beberapa kasus dilaporkan terjadi
peradangan pada bentuk ketombe ini.
1.2.4 Pengobatan
Pengobatan untuk ketombe dapat dibagi berdasarkan jenis ketombe yang menyerang kulit
kepala penderita. Pengobatan untuk jenis ketombe kering dapat didasarkan pada
penghentian penggunaan sampo, losion beralkohol, humektan, atau emolien yang tidak
sesuai yang dapat menjadikan kulit kepala kering. Untuk jenis ketombe berminyak dapat
dilakukan pengobatan dengan menggunakan beberapa germisida, seperti resorsinol, timol,
dan kelompok fenol lainnya. Penggunaan beberapa germisida seperti larutan Cetavlon 5%,
selfasetamid natrium, turunan triklorometilmerkapto, kadmium sulfida, selenium disulfida,
telurium dioksida, heksaklorofan, tar, dan asam salisilat telah dilaporkan dalam pengobatan
10
ketombe. Zinc pyridinium-thiol-N-oxide (Zinc PtO) dan zinc undecylenat merupakan dua
zat terbaru yang diperkenalkan sebagai antiketombe. Zinc pyridinium-thiol-N-oxide
merupakan antibakteri yang aman dan sesuai digunakan dalam sampo. Bagaimanapun,
penggunaan obat-obatan antiketombe ini lebih baik disertai dengan pemeliharaan kulit
kepala yang teratur seperti mencuci, memijat dan menjaga kelembapan rambut.
Pengelupasan kulit kepala berlebihan pada penderita ketombe dapat dikurangi dengan
perawatan rambut yang tepat. Dengan mencuci rambut secara reguler, kulit-kulit mati akan
terlepas sebelum terkumpul banyak dan terkelupas. Penggunaan sampo yang tepat juga
akan membantu mengembalikan tingkat keasaman kulit kepala yang baik, memecah
minyak, dan mencegah sel-sel kulit mati bertumpuk menjadi serpihan yang terlihat.
Pada umumnya, ada berbagai sampo antiketombe yang dapat dipilih, antara lain:
- Sampo sulfur, bekerja dengan melepaskan lapisan tanduk kulit dan mengurangi
pembentukan lemak di kulit kepala.
- Sampo ter-, bekerja dengan mengurangi pembentukan lemak kulit dan menekan
pembentukan dan pelepasan kulit kepala (epidermal turnover).
- Sampo selenium, seperti selenium sulfida bekerja dengan menekan pembentukan dan
pengelupasan kulit kepala.
- Sampo yang mengandung zinc pyridinium thiol, namun banyak pasien mengeluh
bahwa rambut mereka menjadi berminyak setelah menggunakan sampo ini.
- Sampo yang mengandung zat antifungi seperti tetrasiklin, ketokonazol, atau
itrakonazol, bekerja dengan membunuh atau menghambat pertumbuhan jamur
penyebab ketombe di kulit kepala.
- Ramuan tradisional berupa ekstrak tanaman, bekerja dengan membunuh atau
menghambat pertumbuhan jamur di kulit kepala dan mengembalikan kelembapan alami
kulit kepala.
Sampo ketombe diharapkan dapat membersihkan rambut dan kulit kepala tanpa
menjadikan rambut berlemak atau kering dan menjadikan rambut mudah diatur; tidak
merangsang kelenjar lemak tetapi hanya meningkatkan aktivitasnya; efektif sebagai
germisida dan fungisida sehingga dapat mencegah peningkatan pertumbuhan bakteri dan
jamur, bahkan dapat mencegah infeksi untuk beberapa waktu setelah keramas; serta tidak
11
meningkatkan kepekaan kulit kepala seperti menyebabkan rasa gatal, pengelupasan kulit,
atau peradangan dengan kadar zat berkhasiat yang digunakan (Ditjen POM, 1985).
Selain sampo, juga dapat digunakan sediaan losion yang mengandung senyawa aktif yang
dioleskan di kulit kepala. Losion yang mengandung sulfur dan asam salisilat dapat
membuat ketombe menjadi lebih lembut dan tidak kuat menempel pada kulit kepala
sehingga mudah dibersihkan. Losion tembaga dan zink sulfat serta merkuri dan asam
salisilat adalah contoh lainnya, namun jarang digunakan atau digunakan untuk jangka
pendek karena bersifat toksik.
1.3 Malassezia sp.
Malassezia sp. merupakan bagian dari flora normal kulit sebesar 90% pada orang dewasa.
Malassezia sp. bersifat lipofilik dan ditemukan pada area kulit yang memiliki kelenjar
minyak, seperti pada wajah, kulit kepala, dada, dan punggung. Kelompok genus ini
menggunakan lipid sebagai sumber karbon dan dapat tumbuh dalam media yang
mengandung asam lemak rantai panjang (C12-C24).
1.3.1 Klasifikasi
Malassezia sp. diklasifikasikan ke dalam dunia Fungi, divisi Basidiomycetes, subdivisi
Hymenomycotina, kelas Heterobasidiomycetes, bangsa Tremellales, marga Malassezia,
dan jenis Malassezia sp. 1
1.3.2 Sejarah
Pada awalnya peneliti membedakan spesies Malassezia menjadi dua bagian berdasarkan
fase hidupnya, yaitu fase ragi (dikenal sebagai Pityrosporum) dan fase miselial (dikenal
sebagai Malassezia). Penelitian ini diawali pada tahun 1846 ketika Eichstedt pertama kali
menemukan hubungan bahwa lesi pada pityriasis versicolor disebabkan oleh semacam
jamur. Tahun 1853, Robin menamakan jamur tersebut Microsporum furfur. Di tahun 1874,
Malassez menemukan hubungan bahwa terdapat semacam jamur yang menyebabkan
munculnya sisik pada kulit kepala yang kemudian jamur tersebut diberi nama Malassezia.
1http://en.wikipedia.org/wiki/Malassezia, diakses 4 Oktober 2007.
12
Sabouraud merupakan orang pertama yang mengemukakan bahwa bentuk ragi dan miselial
dari Malassezia memiliki keterkaitan, kemudian didukung oleh Panja (1927) yang
mengklasifikasikan kedua jamur pada fase hidup tersebut ke dalam satu genus yang sama,
Pityrosporum, yang terdiri dari dua spesies, yaitu Pityrosporum ovale (pada manusia) dan
Pityrosporum pachydermatis (pada hewan). Pada awal tahun 1950, Martin-Scott dan Spoor
et al. menemukan Malassezia pada orang berpenyakit seborrhoeic dermatitis (dermatitis
seboroika) dan juga pada orang normal. Van Der Wyk dan Hechemy menemukan bahwa
pengurangan jumlah Malassezia berhubungan dengan pengurangan ketombe. Di tahun
1970, sebanyak tiga spesies dari genus Malassezia telah diketahui, yaitu Pityrosporum
ovale (ditemukan pada manusia dengan bentuk sel oval), Pityrosporum orbiculare
(ditemukan pada manusia dengan bentuk sel melingkar), dan Pityrosporum pachydermatis
(ditemukan pada hewan), serta diyakini bahwa memang terdapat keterkaitan antara bentuk
ragi dan miselial dari Malassezia. Tahun 1977, diketahui bahwa perbedaan bentuk sel
antara Pityrosporum ovale dengan Pityrosporum orbiculare merupakan perbedaan fase
hidup dari organisme yang sama, yaitu Malassezia, sehingga Malassezia kembali
diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu Malassezia furfur (ditemukan pada manusia
yang terdiri dari Pityrosporum orbiculare, Pityrosporum ovale, dan Malassezia furfur) dan
Malassezia pachydermatis (ditemukan pada hewan yang terdiri dari Pityrosporum
pachydermatis). Pada tahun 1990, ditemukan spesies baru oleh Simmons dan Gueho , yaitu
M. sympodialis, juga Cunningham et al. membagi M. furfur menjadi 3 serovar yaitu
serovar A, B, dan C. Di tahun 1995, Guillot dan Gueho mempublikasikan penemuannya
terhadap 104 isolat spesies Malassezia yang dibedakan berdasarkan studi subunit tRNA
dan inti DNA. Dari hasil studi tersebut, mereka menetapkan tujuh spesies Malassezia, yaitu
M. furfur, M. sympodialis, M. obtusa, M. globosa, M. restricta, M. sloofiae, dan M.
pachydermatis. Penamaan ini dianggap sebagai penamaan terakhir yang masih berlaku
sampai sekarang. Beberapa karakteristik dari tujuh spesies Malassezia ditampilkan dalam
tabel 1.1 berikut ini:
13
Tabel 1.1 Karakteristik dari Tujuh Spesies Malassezia
Karakteristik
Spesies Malassezia
M. furfur
M. sympodialis
M. Obtusa
M. globosa
M. restricta
M. sloofiae
M. pachydermatis
Sinonim P. ovale M. furfur
serovar A P. ovale M. furfur
serovar B M. furfur serovar C
P. ovale P. pachydermatis
Morfologi dan tekstur koloni
Umbonat,
licin, lembut, serpihan
Datar, licin,
shlay, lembut
Konveks
pucat, licin, lembut,
serpihan
Kasar, course,
mudah pecah
Melipat,
mudah pecah
Tumpul,
licin, keras, mudah pecah
Licin, datar,
lengket
Warna koloni Krem Krem hingga buff
krem Krem hingga buff
Krem hingga buff
Krem Krem
Ukuran dan permukaan sel
Terelongasi, oval atau
sferik, 6 m
Ovoid, globos,
panjang 2,5-
5 m
Silinder, panjang 2,5-
4,0 m
Sferik, diameter 6-8
m
Silinder, panjang 1,5-
3,5 m
Sferik, oval,
2-4 m Silinder, 4-6 m
Bentuk kuncup (budding)
Dasar kuncup
menyebar
Beberapa kuncup
berbentuk simpodial
Dasar kuncup menyebar,
kuncup prut tergantikan
Dasar kuncup
sempit
Dasar kuncup
menyebar
Dasar kuncup
sempit
Dasar kuncup menyebar
Kandungan G + C
66,4 62,2 55,6 63,5 68,7 59,9 60,7
Reaksi katalase
+ + v + + - +
Reaksi DBB
+ + + + + + +
Reaksi urease
+ + + + + + +
Pertumbuhan pada 37 ºC
Baik Baik Baik Buruk Baik Buruk Buruk
Suhu maksimum
pertumbuhan
40-41 40-41 40-41 38 40-41 38 38
Pemanfaatan sumber lipid
Tween 20
+ - + - + - -
Tween 40 atau 60
+ + + - + - -
Tween 80
+ + + - - - -
Kromofor EL
v - v - - - -
Kemampuan membelah diri
- + v - - - +
Keterangan: + (positif), - (negatif), v (bervariasi), DBB (Diazonium Blue B).
1.3.3 Struktur, Fisiologi, dan Biokimia
Malassezia sp. dapat berada dalam bentuk ragi (terdapat pada kulit normal) atau bentuk
miselial. Malassezia sp. mengalami reproduksi aseksual melalui pembentukan tunas
enteroblastik yang monopolar dengan dasar yang luas. Sel induk dan sel anak terpisah oleh
septum, dan berkembang biak dengan membelah diri. Dinding sel dari genus Malassezia
bentuknya tipis dibandingkan dengan dinding sel ragi yang lain dan sulit terkarakterisasi.
Komponen utama dinding selnya terdiri dari gula (~70%), protein (~10%), lipid (15-10%),
14
serta sejumlah kecil nitrogen dan sulfur. Beberapa peneliti meyakini bahwa dinding selnya
terdiri dari banyak lapisan dengan lapisan terluar berupa lapisan lamela yang melingkupi
dinding sel. Lapisan lamela ini dapat menempel pada kulit manusia atau hewan.
Gambar 1.4 Biakan Malassezia sp.
Fisiologis Malassezia sp. masih belum banyak diketahui karena kesulitan dalam
mengkultur dan memelihara organisme ini. Malassezia sp. menggunakan lipid sebagai
sumber karbon, metionin atau sistein sebagai sumber sulfur, asam amino sebagai sumber
nitrogen, serta tidak membutuhkan vitamin, trace element, atau elektrolit. Malassezia sp.
dapat tumbuh normal secara in vitro dalam lingkungan aerobik, anaerobik, atau
mikroaerofilik. Malassezia sp. tidak dapat membentuk asam lemak rantai panjang sehingga
kebutuhan asam lemak ini diperoleh dari lingkungan. Berdasarkan suatu penelitian,
penambahan asam lemak dengan jumlah atom karbon lebih besar dari 10 ke dalam medium
pertumbuhan memberikan kondisi pertumbuhan yang memadai. Wilde dan Stewart
mengemukakan bahwa lemak pada kulit kepala orang normal mampu memenuhi
kebutuhan lemak dari Malassezia sp.
Secara in vitro dan in vivo, Malassezia sp. memiliki aktivitas lipolitik yang
mengindikasikan produksi lipase. Lipase terletak dalam dinding sel dan/atau pada
membran sitoplasma. Terdapat tiga jenis lipase yang berbeda pada Malassezia sp. yang
sangat penting untuk pertumbuhannya. Secara in vitro, Malassezia sp. juga memproduksi
fosfolipase yang berperan dalam pelepasan asam arakidonat dari sel HEp-2 yang dapat
menyebabkan inflamasi. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya inflamasi pada pasien
seborrhoeic dermatitis. Malassezia sp. memproduksi enzim melalui aktivitas lipoksigenase
dengan kemampuannya mengoksidasi asam lemak tidak jenuh teresterifikasi, yaitu skualen
dan kolesterol menjadi produk berupa lipoperoksidase yang dapat merusak membran sel
15
dan mempengaruhi aktivitas selular, mekanisme inilah yang menyebabkan pigmentasi kulit
pada pasien pityriasis versicolor.
1.3.4 Penyakit yang Disebabkan oleh Malassezia sp.
Sejak puluhan tahun yang lalu, Malassezia sp. telah diketahui memiliki peranan yang
cukup besar terhadap munculnya beberapa penyakit kulit pada manusia. Di antara penyakit
kulit tersebut adalah:
a. Pityriasis versicolor
Pityriasis versicolor biasanya menyerang pada bagian atas tubuh. Penyakit ini berupa
lesi berbentuk sisik akibat hipopigmentasi atau hiperpigmentasi lapisan kulit dengan
rasa gatal yang minimal. Penyakit ini biasanya menyerang pada usia remaja ketika
kelenjar sebaseus mulai bekerja lebih aktif, meskipun juga ditemukan pada anak-anak
dan orang dewasa.
b. Seborrhoeic dermatitis dan ketombe
Seborrhoeic dermatitis adalah penyakit yang ditandai oleh pengelupasan kulit
membentuk sisik dan terjadi inflamasi pada bagian tubuh yang banyak terdapat kelenjar
sebaseus. Sedangkan, ketombe merupakan kondisi seborrhoeic dermatitis yang tidak
diikuti inflamasi atau terjadi inflamasi ringan pada kulit kepala. Malassezia sp. terdapat
sekitar 46% pada orang normal sebagai flora normal, namun pada pasien berketombe
meningkat hingga 74% dan 83% pada pasien seborrhoeic dermatitis.
c. Malassezia foliculitis
Malassezia foliculitis adalah penyakit yang ditandai dengan munculnya papula dan
pustula yang menimbulkan rasa gatal pada tubuh dan lengan bagian atas. Penyakit ini
biasanya mengiringi seseorang yang sedang menjalani terapi biopsi, juga diketahui
terjadi pada masa kehamilan, pasien leukemia, transplantasi sumsum tulang, AIDS,
down’s syndrome, penyakit Hodgkin, diabetes, serta transplantasi ginjal dan jantung.
Malassezia foliculitis lebih sering terjadi pada daerah tropis karena pengaruh panas dan
lembap yang cukup tinggi.
d. Atopic dermatitis
Atopic dermatitis (sinonim atopic eczema) merupakan penyakit kulit berupa inflamasi
kronis dengan penyebab yang masih belum diketahui secara pasti. Gejalanya dapat
diinduksi oleh stres emosional, infeksi, iritan mekanik atau kimiawi, keringat, atau
alergen (alergen makanan, aeroalergen, serta alergen yang berasal dari kulit dan
patogen).
16
e. Penyakit lain
Penyakit lain dapat berupa penyakit superfisial ataupun penyakit dalam. Penyakit
superfisial yang dapat menyerang di antaranya acne vulgaris, dacryocyctitis,
seborrhoeic blepharitis, neonatal pustulosis, papilomatosis, onychomycosis, infeksi
rambut, dan psoriasis. Penyakit dalam seperti mastitis, sinusitis, septic arthritis,
malignant otitis externa, peritonitis, dan fungemia catheter.
1.4 Kombinasi Antimikroba
Kombinasi antimikroba merupakan alternatif penggunaan senyawa antimikroba yang dapat
menghindari efek negatif atau meningkatkan efikasi dari suatu penggunaan senyawa
antimikroba tunggal. Penggunaan kombinasi senyawa antimikroba diperbolehkan untuk
terapi empiris terhadap infeksi yang penyebabnya tidak diketahui, untuk pengobatan
infeksi polimikroba, untuk meningkatkan aktivitas antimikroba untuk infeksi yang spesifik,
atau untuk mencegah timbulnya resistensi. Sifat dari penggunaan kombinasi antimikroba
dapat berupa sinergis, aditif, atau antagonis. Sifat sinergis terjadi ketika efek yang
ditimbulkan dari penggunaan kombinasi senyawa antimikroba lebih besar dari efek
penjumlahan masing-masing senyawa tunggal. Sifat aditif terjadi ketika efek yang muncul
merupakan penjumlahan dari efek masing-masing senyawa antimikroba tunggal.
Sedangkan, sifat antagonis ditunjukkan ketika kombinasi senyawa antimikroba
memberikan efek yang lebih rendah dari penggunaan senyawa antimikroba tunggal.
Pengujian aktivitas kombinasi antimikroba dapat dilakukan dengan metode pengenceran
antimikroba dua kali lipat secara berseri dalam kaldu yang diinokulasikan dengan sejumlah
standar mikroorganisme uji membentuk suatu susunan konsentrasi antimikroba dalam
perbandingan yang berbeda-beda. Sinergisme didefinisikan sebagai penghambatan
pertumbuhan oleh kombinasi antimikroba pada konsentrasi kurang dari atau sama dengan
25% KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) masing-masing antimikroba jika bekerja
sendiri-sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa satu antimikroba memengaruhi
mikroorganisme sedemikian rupa sehingga menjadi lebih peka terhambat efek hambat
antimikroba lainnya. Jika diperlukan setengah dari konsentrasi hambat masing-masing
antimikroba untuk menghasilkan hambatan, maka hasilnya disebut aditif [indeks fraksi
konsentrasi inhibisi (FKI) = 1], menunjukkan bahwa kerja dua antimikroba tersebut tidak
saling tergantung satu sama lain. Jika diperlukan lebih dari setengah KHM masing-maisng
17
antimikroba untuk menghasilkan efek hambat, maka antimikroba tersebut dikatakan
bersifat antagonis.
Kombinasi antimikroba yang diuji dengan suatu susunan konsentrasi antimikroba dalam
perbandingan yang berbeda-beda akan membentuk suatu isobologram. Sinergisme
ditunjukkan oleh kurva cekung, efek aditif oleh suatu garis lurus, dan antagonisme oleh
kurva cembung. Keterbatasan penting pada metode ini adalah bahwa titik akhirnya berupa
terhambatnya pertumbuhan, bukan pemusnahan.
Indeks FKI sama dengan jumlah nilai FKI masing-masing antimikroba:
1.5 Ketokonazol
Ketokonazol merupakan antifungi yang dapat dipakai untuk mengatasi seborrhoeic
dermatitis dan ketombe serta beberapa penyakit kulit lainnya. Penelitian yang dilakukan
oleh Hammer et al. (1999) menunjukkan bahwa ketokonazol memberikan konsentrasi
hambat minimum (KHM) yang paling kecil untuk ketujuh jenis Malassezia sp.
dibandingkan terhadap ekonazol, mikonazol, dan minyak pohon teh.
Gambar 1.5 Efek kombinasi dua senyawa antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba.
Indeks FKI = KHM A dan B + KHM B dan A
KHM A saja KHM B saja
18
Gambar 1.6 Struktur ketokonazol.
Ketokonazol merupakan antimikotika golongan azol derivat imidazol dengan mekanisme
kerja menghambat sintesis membran (ergosterol). Antimikotika golongan azol bersifat
sangat lipofil sehingga mencapai sitokrom P-450 retikulum endoplasma dan mitokondria
fungi. Antimikotika golongan azol bekerja dengan mempengaruhi biosintesis ergosterol
melalui pengikatan dengan enzim sitokrom P-450 termediasi yang dikenal sebagai 14- -
demetilase (P-450DM). Hal ini mengakibatkan pemblokan formasi ergosterol melalui
pencegahan metilasi lanosterol (suatu prekursor ergosterol) yang menghasilkan
pengurangan sejumlah ergosterol dalam membran sel fungi, diikuti ketidakstabilan
membran, penghambatan pertumbuhan, dan kematian sel dalam beberapa kasus. Dapat
pula terjadi pembentukan produk toksik intermediet yang berakibat fatal terhadap sel.
Ketokonazol efektif pada penyakit blastomikosis, histoplasmosis, koksidioidomikosis,
pseudallescheriasis, parakoksidioidomikosis, ringworm (tinea), tinea versikolor,
kandidiasis mukokutan kronis, vulvovaginitis Candida, serta kandidiasis oral dan esofagus.
Efikasinya buruk pada pasien yang respon imunnya ditekan dan pada pasien meningitis.
Dosis lazim dewasa adalah 400 mg sekali sehari. Anak-anak diberi 3,3 – 6,6 mg/kg per
hari. Respon yang lambat terhadap terapi membuat ketokonazol tidak sesuai untuk pasien
dengan mikosis parah atau mikosis yang berkembang cepat.
Efek samping ketokonazol yang umum bila digunakan secara oral adalah mual, anoreksia
dan muntah yang semuanya tergantung pada dosis dan terjadi pada sekitar 20% dari pasien
yang menerima pengobatan 400 mg/hari. Pemberian bersama makanan, sebelum tidur, atau
dalam dosis terbagi dapat memperbaiki toleransi. Ruam akibat alergi muncul pada sekitar
4% pasien yang diobati dengan ketokonazol dan pruritus tanpa ruam muncul sekitar 2%.
Kerontokan rambut juga juga pernah dilaporkan. Ketokonazol dapat menghambat
biosintesis steroid pada pasien dengan menghambat sistem enzim yang tergantung pada
19
sitokrom P-450 sehingga beberapa kelainan endokrin dapat terjadi. Dilaporkan pula terjadi
peningkatan aminotransferase yang ringan dan asimtomatik dalam plasma umum terjadi
pada 5-10% pasien, tetapi akan kembali ke keadaan normal secara spontan. Antimikotika
golongan azol juga memiliki kontraindikasi pada wanita hamil, menyusui, dan insufisiensi
hati berat.
1.6 Iritasi
Iritasi biasanya ditunjukkan dengan gejala berupa kemerahan yang tampak di sekitar
daerah pemakaian senyawa pengganggu yang diikuti oleh proses udema pada daerah yang
sama atau pada daerah yang lebih luas di sekitar tempat pemakaian. Proses selanjutnya
adalah kulit menjadi panas, terjadi gatal-gatal, dan terbentuk luka. Senyawa iritasi
menyebabkan efek secara langsung dalam sel pada saat penetrasi ke dalam dermis. Tahap
pertama dari proses iritasi adalah terjadinya dilatasi vena pada permukaan kulit yang
menyebabkan kulit berwarna kemerahan, diikuti bengkak yang disebabkan hilangnya
cairan dari pembuluh-pembuluh (udem) dan dilatasi arteri (pemerahan tersebar di sekitar
kulit yang teriritasi). Bersamaan dengan proses ini juga dilepaskan senyawa-senyawa
kimia, seperti histamin dari sel utama dalam dermis yang bergranul. Sel-sel ini menjadi
rusak dan melepaskan granul pada waktu terjadinya pemecahan sel. Selanjutnya,
menyebabkan kulit panas, gatal dan luka.
1.7 Kulit
Kulit merupakan bagian dari sistem integumen yang melingkupi bagian terluar dari tubuh
dan membatasi lingkungan dalam tubuh dengan lingkungan luar tubuh.
Kulit terdiri dari tiga lapisan, yaitu:
a. Epidermis
Epidermis merupakan bagian terluar dari kulit. Bagian ini tersusun dari jaringan epitel
skuamosa bertingkat yang mengalami keratinisasi, tidak memiliki pembuluh darah, dan
sel-selnya tersusun sangat rapat. Sel-sel epidermal menerima nutrisi dan oksigen
melalui difusi dari pembuluh darah kapiler pada dermis. Bagian epidermis tersusun dari
5 lapisan sebagai berikut:
20
i) Stratum germinativum
Lapisan ini merupakan lapisan tunggal sel-sel yang melekat pada jaringan ikat dari
lapisan kulit di bawahnya. Pada bagian ini terjadi pembelahan sel yang cepat dan
sel ini terdorong masuk ke lapisan berikutnya.
ii) Stratum spinosum
Lapisan ini terdiri dari 8-10 lapisan keratinosit yang berikatan bersama oleh
desmosom. Lapisan ini tersusun atas lapisan sel spina atau tanduk, disebut
demikian karena sel-sel tersebut disatukan oleh tonjolan yang menyerupai spina.
iii) Stratum granulosum
Lapisan ini terdiri dari tiga sampai lima lapisan sel dengan granula-granula
keratohialin yang merupakan prekursor pembentukan keratin. Keratin adalah
protein keras dan resilien serta bersifat antiair dan melindungi permukaan kulit
yang terbuka. Keratin pada lapisan epidermis merupakan keratin lunak yang
berkadar sulfur rendah, berlawanan dengan keratin yang berada pada kuku dan
rambut. Saat keratohialin dan keratin berakumulasi, nukleus sel berdisintegrasi dan
menyebabkan kematian sel.
Gambar 1.7 Kulit manusia beserta lapisan- lapisannya.
arteri
v ena
korpuskel Paccini
kelenjar keringat
serabut sy araf
Pembuluh darah
dan limf e
papila rambut
kelenjar sebaseus
f olikel rambut
JARINGAN LEMAK
SUBKUTAN
(hy podermis)
DERMIS
sy araf sensori peraba
papila dermal
pori-pori keringat
batang rambut
stratum korneum
lapisan pigmen
otot pili arektor
21
iv) Stratum lusidum
Lapisan ini merupakan lapisan jernih dan tembus cahaya dari sel-sel pipih tidak
bernukleus yang mati atau hampir mati dengan ketebalan empat sampai tujuh
lapisan sel.
v) Stratum korneum
Lapisan ini merupakan lapisan epidermis teratas yang terdiri dari 15 sampai 30
lapisan sisik tidak hidup yang sangat terkeratinisasi dan semakin pipih saat
mendekati permukaan kulit. Stratum korneum mengalami pembaharuan sel-sel
terdeskuamasi yang konstan karena terjadi pembelahan sel di stratum
germinativum. Sel-sel pada stratum germinativum tersebut bergerak ke arah
permukaan kulit dan mengalami keratinisasi yang kemudian mati. Dengan
demikian, seluruh permukaan tubuh terbuka tertutupi oleh lembaran sel epidermis
mati. Keseluruhan lapisan epidermis akan diganti dari dasar ke permukaan kulit
setiap 15-30 hari.
b. Dermis
Dermis merupakan lapisan di bawah epidermis yang dipisahkan dari lapisan epidermis
dengan adanya membran dasar atau lamina. Membran ini tersusun dari dua lapisan
jaringan ikat, yaitu:
i) Lapisan papilar
Lapisan ini merupakan jaringan areolar yang mengandung pembuluh darah kapiler,
limfatik, dan sel saraf sensorik. Pembuluh darah kapiler memberi nutrisi pada
lapisan epidermis di atasnya.
ii) Lapisan retikular
Lapisan ini terletak lebih dalam dari lapisan papilar yang tersusun dari jaringan ikat
ireguler yang rapat, kolagen, dan serat elastik. Sejalan dengan penambahan usia,
deteriorasi normal pada simpul kolagen dan serat elastik mengakibatkan
pengeriputan kulit.
Infeksi lokal atau peradangan dapat terasa menyakitkan karena terdapatnya reseptor
sensorik pada dermis. Dermatitis merupakan suatu peradangan pada kulit yang
melibatkan lapisan papilari dermis. Peradangan ini diawali pada bagian kulit yang
terpapar infeksi atau iritasi oleh zat kimia, radiasi, atau stimulus mekanik. Dermatitis
dapat menyebabkan ketidaknyamanan, atau dapat memproduksi rasa gatal. Bentuk lain
dari kondisi ini dapat menyebabkan rasa sakit yang cepat dan peradangan dapat
menyebar secara cepat menembus lapisan integumen.
22
c. Hipodermis atau subkutan
Lapisan terbawah dari kulit ini mengikat kulit secara longgar dengan organ-organ yang
terdapat di bawahnya. Pada lapisan ini terdapat jaringan lemak yang berfungsi sebagai
tempat penyimpanan lemak tubuh, serta berisi banyak pembuluh darah dan ujung saraf.
1.8 Mata
Secara umum, mata terdiri dari tiga lapisan (tunik) berbeda, yaitu tunik fibrosa, tunik
vaskular, dan tunik neural. Tunik fibrosa merupakan lapisan terluar mata yang berfungsi
memberikan perlindungan fisik dan mekanik, sebagai tempat melekatnya otot mata
ekstrinsik, dan mengandung struktur yang berperan dalam pemfokusan objek. Tunik
fibrosa terdiri dari sklera dan kornea. Tunik vaskular terdiri dari sejumlah pembuluh darah,
pembuluh limfatik, dan otot-otot mata intrinsik yang memiliki peran dalam pendistribusian
nutrisi ke jaringan mata, mengatur sejumlah cahaya yang masuk ke mata, sekresi dan
reabsorbsi aqueous humor, serta mengontrol ketajaman lensa. Tunik vaskular terdiri dari
iris, badan ciliary, dan koroid. Tunik neural atau retina merupakan lapisan terdalam mata
yang terdiri dari bagian terpigmentasi (tipis) dan bagian neural (tebal).
Gambar 1.8 Struktur mata.
Penilaian efek iritasi mata untuk iritasi yang diinduksi langsung oleh zat kimia dapat
dilakukan pada struktur yang terpapar langsung seperti kornea, konjungtiva, dan iris. Jika
zat kimia mampu berpenetrasi lebih dalam, bagian struktur lain dari mata dapat
terpengaruh.(Hayes, 2001).
Konjungtiva
Ora serrata
Badan siliari Aqueous
Iris Ruang anterior
Kornea Pupil Lensa
Ruang posterior
Kanal Schlemm
Konjungtiva
Vitreous
Sklera Koroid
Retina
Makula
Arteri retina
Saraf optik
Vena retina
Rektus medialis
23
a. Kornea
Kornea terdiri dari suatu matriks padat yang mengandung berlapis-lapis fiber kolagen.
Kornea tidak memiliki pembuluh darah sehingga oksigen dan nutrisi didapatkan dari air
mata yang membasahi permukaan kornea. Kemampuan refraktif kornea tergantung dari
kejernihan dan kesesuaian hidrasinya. Penurunan transparansi dan hidrasi dapat merupakan
akibat dari luka atau edema pada kornea (Hayes, 2001).
b. Konjungtiva
Konjungtiva merupakan suatu membran mukosa yang terlapisi oleh epitel skuamosa
bertingkat. Konjungtiva palpebral menyelimuti bagian dalam kelopak mata dan
konjungtiva okular menyelimuti permukaan anterior mata. Iritasi pada permukaan
konjugtiva disebut konjungtivitis dengan gejala berupa pemerahan konjungtiva akibat
pelebaran pembuluh darah epitelium konjungtiva. Keadaan ini dapat diakibatkan oleh
infeksi patogen atau iritasi fisik dan mekanik pada permukaan konjungtiva.
c. Iris
Iris mengandung pembuluh darah, sel-sel pigmen, dan dua lapis fiber otot halus. Kontraksi
otot ini akan menyebabkan perubahan diameter pupil atau pembukaan pusat iris. Iris terdir i
dari jaringan yang sangat tervaskularisasi dan terpigmentasi. Permukaan anterior memiliki
suatu lapisan fibroblast dan melanosit. Permukaan posterior dilapisi oleh epitelium
terpigmentasi. Warna mata tergantung pada kerapatan dan distribusi melanosit dan
epitelium terpigmentasi ini. Pembuluh darah iris berdilatasi dan teraliri cairan vaskular saat
kontak dengan iritan menghasilkan edema. Pada iritasi parah, kerusakan jaringan dapat
terjadi menyebabkan pupil tidak bereaksi terhadap cahaya.
1.9 Metode Farmakologi
Metode farmakologi yang digunakan meliputi metode pengenceran agar serta penetapan
iritasi dermal dan mata akut.
1.9.1 Pengenceran Agar
Metode pengenceran agar digunakan dalam pengujian aktivitas antifungi ekstrak etanol,
penentuan KHM ekstrak etanol dan kombinasinya, serta penentuan kesetaraan ekstrak
etanol dengan antifungi pembanding terhadap Malassezia sp. dalam penelitian ini.
24
Metode pengenceran agar menggunakan sejumlah seri pengenceran senyawa antimikrobial
yang dicampurkan ke dalam sejumlah agar cair lalu dibiarkan memadat. Kemudian
sejumlah suspensi mikroba diinokulasikan ke atas permukaan agar lalu dilihat tumbuh atau
tidaknya mikroba tersebut setelah diinkubasi pada kondisi yang sesuai.
Metode pengenceran agar selain dapat digunakan untuk menguji aktivitas suatu
antimikroba terhadap mikroba tertentu juga dapat digunakan untuk menentukan harga
konsentrasi hambat minimum (KHM). Metode pengenceran agar lebih sering digunakan
dalam penentuan KHM suatu antimikroba karena interpretasi hasil yang lebih jelas. Harga
KHM suatu antimikroba berlainan dengan antimikroba yang lain untuk suatu
mikroorganisme tergantung kepada kepekaan masing-masing mikroorganisme tersebut.
Semakin kecil KHM suatu antimikroba menunjukkan semakin tinggi potensinya dalam
menghambat pertumbuhan mikroba tersebut.
1.9.2 Pengujian Iritasi
Pengujian iritasi meliputi penentuan iritasi dermal akut pada kulit punggung kelinci dan
iritasi mata akut pada mata kelinci.
Efek iritasi dapat diketahui melalui penetapan iritasi dermal dan mata akut pada hewan
percobaan. Iritasi dermal didefinisikan sebagai produksi kerusakan reversibel pada kulit
selama 4 jam setelah pemberian zat uji. Iritasi mata didefinisikan sebagai perubahan pada
permukaan anterior mata yang mengikuti pemberian zat uji yang dapat reversibel antara 21
hari dari pemberian zat uji. Keadaan kerusakan ireversibel sebagai efek lebih lanjut dari
pengujian iritasi didefinisikan sebagai korosi. Korosi dermal didefinisikan sebagai produksi
kerusakan ireversibel pada kulit; yang diberi nama nekrosis visibel pada epidermis dan
sampai ke dermis selama 4 jam setelah pemberian zat uji. Reaksi korosif dermal ditandai
dengan terjadinya ulcer, perdarahan, sisik-sisik berdarah, dan pada akhir pengamatan (hari
ke-14), terjadi penghilangwarnaan pada kulit, alopecia, dan bopeng (scars). Korosi mata
didefinisikan sebagai kerusakan jaringan mata, atau terjadi penghambatan penglihatan yang
serius setelah pemberian zat uji pada permukaan anterior mata, yang tidak dapat reversibel
antara 21 hari setelah pemberian.