bab i pendahuluan a. latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154578/po... · a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
I will sing to the Lord all my life; I will sing praise to my God as long as I live.
(Psalm 104:33)
Sebuah kutipan ayat Alkitab di atas mungkin bisa menjadi alasan dan
penyemangat utama bagi seseorang untuk bergabung dalam paduan suara gereja.
Walaupun tidak sepenuhnya demikian bagi saya, kala itu saya tetap tergerak untuk
bergabung dengan paduan suara yang berada di lingkungan gereja tempat saya
bernaung, yakni Konco Kenthel.
Konco Kenthel, sebuah frasa njawani yang tidak terkesan religius, pada waktu
itu disepakati menjadi nama bagi paduan suara yang didirikan pada pertengahan tahun
2008 ini. Paduan suara yang berdiri di gereja Katolik Santo Yohanes Rasul,
Pringwulung, Yogyakarta ini memiliki sejumlah anggota berusia belasan hingga dua-
puluhan tahun, sehingga saat itu umat gereja Pringwulung1 mengenalnya sebagai
paduan suara anak muda.
Konco Kenthel mengisi masa-masa awalnya dengan melakukan kegiatan
berupa latihan koor atau latihan paduan suara, dan menyanyi dalam perayaan-
perayaan ekaristi2 gereja Pringwulung di waktu-waktu tertentu yang telah dijadwalkan
1 Gereja Pringwulung adalah singkatan untuk menyebut gereja Katolik Santo Yohanes Rasul, Pringwulung, Yogyakarta. 2 Ekaristi merupakan upacara terpenting dalam liturgi Gereja Katolik yang biasa diselenggarakan secara rutin setiap hari Minggu atau bahkan diadakan setiap hari oleh beberapa gereja. Umat Gereja Katolik diwajibkan mengikuti upacara ini sebagai ungkapan syukur mereka kepada Tuhan dan pendalaman iman mereka akan kehadiran Tuhan yang dalam perayaan ini disimbolkan melalui roti dan anggur. Tautan : http://www.imankatolik.or.id/SIMBOLISME%20LITURGI%20EKARISTI%20DALAM%20GEREJA%20KATOLIK.html
2
oleh pihak gereja Pringwulung; seperti pada perayaan ekaristi mingguan dan ekaristi
hari-hari besar agama Katolik. Menyanyi dalam perayaan ekaristi menjadi tugas
utama bagi mereka sekaligus merupakan wujud ‘pelayanan’ mereka sebagai sebuah
kelompok paduan suara gereja.
...Sesuai dengan karakter kami sebagai kelompok paduan suara kaum muda
yang enerjik dan dinamis, kami memilih “KONCO KENTHEL” sebagai nama
keberuntungan kami dalam menarik semakin banyak orang muda katolik
untuk bergabung bersama kami dalam dasar pelayanan3.
Pelayanan yang dimaksud dalam potongan profil paduan suara Konco Kenthel
di atas salah satunya adalah pelayanan liturgis, yakni keterlibatan mereka sebagai
kelompok paduan suara gereja untuk memandu umat menyanyikan lagu-lagu liturgis
dalam peribadatan atau perayaan ekaristi. Liturgi sendiri dalam istilah Katolik
memiliki arti “perjumpaan Tuhan dengan manusia”, dan dalam tindakannya terwujud
dalam tata cara dan aturan peribadatan (Martasudjita, 2009: 5). Lagu-lagu liturgi yang
ada di dalamnya merupakan bagian dari liturgi yang penting atau integral (SC 112
dalam Martasudjita, 2009: 11). Perihal pelayanan liturgis yang menjadi tugas bagi
sebuah kelompok paduan suara gereja juga tertuang dalam Handbook on Church
Music : for Choirs, Priests, and Catholic Faithful sebagai berikut :
Here is one description or definition of the choir : they are members of the
assembly who lead people in prayer through their musical gifts. They have an
important role in helping the assembly to respond strongly in the
acclamations, litanies, psalms, and hymns. There are also times (which are
rare) when it’s appropriate for them to sing a selection alone. Their activity is
determined by the liturgy, in service to the liturgy. Their focus is not a
repertoire of hymns but on their role to get all involved and singing
(Schineller, 2003).
Namun seiring berjalannya waktu, Konco Kenthel bergerak memperluas
lingkup pelayanan dan memperbanyak ragam kegiatannya. Tidak hanya melakukan
pelayanan berupa menyanyi dalam perayaan ekaristi di gereja Pringwulung saja,
3 Diambil dari profil paduan Suara Konco Kenthel yang dimuat dalam booklet Konser Perayaan Syukur 6 Tahun Konco Kenthel Choir : a Story of Hope, terbitan tahun 2014, halaman 1.
3
Konco Kenthel juga menerima tawaran untuk menyanyi dalam perayaan ekaristi di
gereja-gereja Katolik lain yang ada di wilayah Yogyakarta, bahkan terkadang di luar
wilayah Yogyakarta. Berbagai perlombaan paduan suara dari tingkat kabupaten
hingga tingkat nasional pun mulai disambangi oleh Konco Kenthel.
Di sela-sela perjalanan Konco Kenthel tersebut, yakni tepatnya pada suatu
sore di penghujung tahun 2013, seorang teman lama sesama anggota paduan suara
Konco Kenthel mengirim pesan pribadi kepada saya melalui blackberry messenger.
Seperti biasa ia memberitahukan jadwal tugas menyanyi terbaru paduan suara Konco
Kenthel, dan meminta saya untuk segera mengonfirmasi keikutsertaan saya dalam
tugas menyanyi tersebut. Namun di luar dugaan, sore itu ia melanjutkan perbincangan
kami dengan membahas fenomena yang terjadi dalam paduan suara Konco Kenthel.
Ia memulainya dengan sebuah pertanyaan, “Aku mau tanya, sebenarnya kamu masih
peduli nggak sih sama Konco Kenthel?” Pertanyaan yang cukup mengagetkan bagi
saya itu kemudian ia sambung dengan keluh kesahnya tentang hal-hal yang ia alami
dalam Konco Kenthel. “Kamu merasa Konco Kenthel baik-baik saja nggak? Konco
Kenthel seperti dijadikan lahan “golek upa”. Padahal Konco Kenthel dibentuk bukan
untuk itu.”, terangnya menjelaskan kekecewaannya terkait prinsip Konco Kenthel
yang menurutnya telah bergeser. Golek upa adalah sebuah istilah bahasa Jawa yang
dapat diterjemahkan sebagai “mencari penghasilan”. Ia menangkap gelagat tersebut
dalam perkembangan Konco Kenthel dan merasa tidak nyaman saat kegiatan
pelayanan Konco Kenthel dalam hal menyanyi mulai diukur dengan nilai ekonomis.
Lingkup pelayanan dan kegiatan Konco Kenthel yang semakin meluas dan
beragam memang membuat nama paduan suara ini menjadi semakin banyak dikenal.
Melalui jam terbang mereka menyanyi dalam perayaan-perayaan ekaristi, prestasi
yang diraih dalam berbagai perlombaan paduan suara, dan akun yang mereka buat di
4
berbagai media sosial, paduan suara ini banyak mendapatkan job. Job adalah istilah
anggota Konco Kenthel untuk menyebut kegiatan pelayanan mereka yang bernilai
ekonomis atau berbayar. Contoh dari kegiatan pelayanan tersebut adalah menyanyi
dalam perayaan ekaristi pemberkatan pernikahan dan menyanyi dalam perayaan
ekaristi peringatan arwah atau peringatan orang yang sudah meninggal. Job tersebut
mereka dapatkan dari pihak pemberi job yang sering mereka sebut sebagai “sing
nduwe gawe”, “yang punya gawe”, atau ‘klien’ yang adalah umat dari wilayah gereja
Pringwulung sendiri, keluarga atau kerabat para anggota Konco Kenthel, dan umat
dari luar wilayah gereja Pringwulung yang mengenal Konco Kenthel melalui kiprah
menyanyi mereka di berbagai acara kerohanian maupun sekuler, serta lewat akun di
beberapa media sosial yang dimiliki oleh Konco Kenthel.
Kekecewaan yang diungkapkan oleh teman saya ini sesungguhnya
menghadirkan kembali pertanyaan-pertanyaan yang selama ini saya simpan dalam diri
saya. Walaupun saya hanyalah seorang anggota paduan suara yang dapat dikatakan
hanya sekedar datang dan menyanyi, tidak saya pungkiri bahwa ada semacam rasa
ragu yang muncul setiap kali saya menerima pembagian hasil dari suatu rangkaian
kegiatan menyanyi dalam perayaan ekaristi bersama paduan suara Konco Kenthel;
apakah pembagian hasil ini merupakan sesuatu yang wajar? Pantaskah sesungguhnya
jika saya dan teman-teman menerima apresiasi semacam ini dalam kelompok kami
yang notabene berbasis pelayanan?
Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian terbawa lebih dalam lagi oleh rasa
penasaran saya; bagaimana paduan suara Konco Kenthel bisa sampai pada titik ini?
Bagaimana sesungguhnya kami para anggota mengapresiasi kegiatan menyanyi yang
kami lakukan dalam paduan suara Konco Kenthel ini? Didorong oleh keinginan yang
5
semakin kuat untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya
menempatkan segala rasa penasaran saya ini sebagai titik tolak atas penelitian saya.
Dalam sebuah buku yang berjudul Gereja yang Bernyanyi, Mawene
mengungkapkan bahwa sebuah kelompok paduan suara gereja dalam tugasnya tidak
hanya bernyanyi silih-berganti dengan umat sebagaimana penampilan klasiknya,
melainkan juga menekankan perpaduan yang harmonis baik antara suara masing-
masing penyanyi yang bernyanyi bersama-sama, serta keseimbangan yang serasi
antara masing-masing kategori atau tipe suara penyanyi (sopran, alto, tenor, bass). Hal
ini yang membuat sebuah kelompok paduan suara menjadi unik dan istimewa dan
mempertahankan posisi paduan suara sebagai kelompok seniman suara yang tak
tertandingi (2004: 93-94). Sementara itu harmoni dinyatakan oleh Parker sebagai
salah satu elemen kesatuan keanekaragaman yang merupakan dasar dari pokok
struktur estetis (1920: 59-60). Pernyataan ini kemudian menimbulkan pertanyaan
baru bagi saya; apakah dengan demikian anggota paduan suara Konco Kenthel yang
selama ini selalu menyajikan harmoni baik dari segi musik maupun visual dalam
perayaan ekaristi, dapat dikatakan selalu mengusahakan sikap estetis? Lalu apakah
sikap estetis ini memiliki hubungan dengan sikap ekonomis terkait dengan nilai
ekonomis yang dalam perkembangannya dilekatkan pada kegiatan menyanyi Konco
Kenthel dalam pelayanan peribadatan?
Dalam penelitian ini, hubungan antara sikap estetis dan sikap ekonomis para
anggota Konco Kenthel akan dilihat melalui kacamata antropologi. Pandangan para
anggota Konco Kenthel tentang pilihan lagu yang mereka bawakan, khususnya dalam
setiap kesempatan religius, akan ditelaah keterkaitannya dengan apresiasi yang
mereka dan pihak luar berikan kepada kegiatan menyanyi paduan suara Konco
Kenthel sendiri.
6
Pasca Konsili Vatikan II, paduan suara atau koor memiliki peran yang sangat
penting dalam Gereja Katolik. Koor menjadi motor bagi nyanyian umat karena
partisipasi umat dalam perayaan liturgi dituntut secara mutlak (Prier, 2009: 55).
Semisal dalam kegiatan peribadatan berupa perayaan liturgi seperti ini, anggota
paduan suara dan umat berada pada satu titik temu, yakni paduan suara di posisi
penampil, dan umat di posisi penonton yang merespon dan mengalami efek suatu rasa
(estetis). Estetika dalam hal ini berusaha dimengerti secara luas sebagai persepsi
indrawi; berhubungan dengan perihal bagaimana sesuatu meminta perhatian indra
(Howard Morphy dalam Simatupang, 2013: 102), bukan hanya sebagai ilmu tentang
keindahan yang pada umumnya keindahan tersebut dipahami sebagai kualitas atau
sifat tertentu yang terdapat dalam suatu bentuk (Simatupang, 2013: 6).
Perihal nilai estetis pada obyek, Svasek pernah menuangkan beberapa konsep
dalam bukunya yang berjudul Moving Subjects, Moving Objects : Transnationalism,
Cultural Production and Emotions, salah satunya ialah transition yakni perubahan
nilai yang mengiringi perpindahan obyek. Ia menggambarkan konsep transisi ini
melalui sebuah obyek ritual yang diestetisasi kemudian menjadi komoditas (2014: 2-
4). Konsep ini pulalah yang nantinya akan digunakan untuk mengungkap fenomena
dilekatkannya nilai ekonomis pada kegiatan menyanyi paduan suara Konco Kenthel.
Bukan bermaksud mengadili perihal golek upa semata, penelitian ini lebih bertujuan
untuk mengungkap gagasan serta menganalisis perilaku dibalik terjadinya
kecenderungan tersebut dalam paduan suara Konco Kenthel sebagai satu dari sekian
paduan suara gereja di Yogyakarta yang kini memiliki kecenderungan perkembangan
yang sama.
Hasil dari penelitian ini kelak saya harap dapat memperkaya sudut pandang
rekan-rekan yang berkecimpung dalam dunia paduan suara untuk melihat dinamika
7
perkembangan yang terjadi di dalam kelompok paduan suara mereka, serta secara
umum dapat menambah referensi studi antropologi tentang paduan suara gereja terkait
sikap estetis dan sikap ekonomis anggota paduan suara gereja sebagai respon atas
apresiasi terhadap kegiatan menyanyi yang mereka lakukan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, permasalahan dalam
penelitian ini akan dirumuskan ke dalam pertanyaan-pertanyaan berikut :
1. Bagaimana sejarah terbentuknya paduan suara Konco Kenthel dan apa saja
kegiatan yang anggota lakukan selama ini?
2. Bagaimana para anggota dan pihak di luar anggota mengapresiasi kegiatan
menyanyi dalam paduan suara Konco Kenthel?
3. Bagaimana respon para anggota terhadap apresiasi yang ada, dan
bagaimana pihak Gereja memandang hal tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Adapun penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
telah disusun dalam rumusan masalah di atas :
1. Menjelaskan sejarah terbentuknya paduan suara Konco Kenthel serta
beragam kegiatan yang mereka lakukan selama ini seperti rekrutmen,
musyawarah kerja, berlatih menyanyi, dan menampilkan nyanyian dalam
kesempatan-kesempatan religius maupun non-religius.
2. Mengetahui apresiasi para anggota dan pihak di luar anggota atau klien
atas kegiatan menyanyi yang dilakukan dalam paduan suara Konco
Kenthel.
8
3. Mengungkap respon berupa sikap estetis dan ekonomis anggota atas
apresiasi kegiatan menyanyi yang mereka lakukan, dan menjabarkan
pandangan pihak Gereja terkait hal tersebut.
D. Tinjauan Pustaka
Setelah melakukan penelusuran, saya menemukan berbagai karya tulis yang
memuat pembahasan tentang paduan suara gereja dan paduan suara non gereja. Karya
tulis tersebut diantaranya tertuang dalam bentuk tesis, skripsi, dan working paper
yang sangat memperkaya referensi saya tentang studi paduan suara, khususnya
paduan suara gereja yang diulas dalam berbagai wacana.
Pada tahun 2013, sebuah etnografi tentang paduan suara anak muda ditulis
oleh Anna K. Martin sebagai karya tesisnya. Martin yang merupakan pelatih paduan
suara GLC (Guildford Learning Centre) Choir ini mengangkat kelompok yang ia latih
sebagai subyek penelitiannya. Kerangka Teacher Action Research ia terapkan dengan
harapan penemuannya dapat membantu dan menginformasikan praktik-praktik
mengajarnya yang mendukung serta memberdayakan anak muda dalam komunitas.
Dalam tesis yang berjudul Singing Sanctuary : Identity and Resiliency Construction in
Underserved Youth through Vocal Expression ini, Martin menunjukkan relasi antara
konstruksi identitas kultur dengan peningkatan resiliensi kaum muda dengan
menjabarkan cerita-cerita dan refleksi tentang ekspresi individu dan grup melalui
vokal atau suara. Melalui penelitian ini ia menemukan bahwa terdapat dua hal yang
dapat mendukung konstruksi identitas dan resiliensi, yaitu ekspresi vokal melalui lagu
dan keintiman antar anggota yang tercipta dalam ruang koor atau paduan suara. Di
pusat pembelajaran tempat ia mengajar tersebut, ia juga mampu menemukan adanya
suara-suara perlawanan dari kaum muda, yakni anak-anak didiknya yang kebanyakan
9
telah dikeluarkan dari sekolah mereka sebelumnya (dropped out), yang terungkap
melalui vokal.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Pungki Ahimsa Setiawan yang
dituangkan ke dalam karya skripsi tahun 2013 dengan judul Freiburg Cathedral Boys
Choir : Pandangan dan Motivasi Penyanyi Paduan Suara Gereja. Penelitian ini
menempatkan kelompok paduan suara gereja yakni Freiburg Cathedral Boys Choir
sebagai subyeknya. Dalam penelitian yang menggunakan sudut pandang antropologi
ini Setiawan mencoba menggali pandangan penyanyi di dalamnya tentang
keterlibatan diri mereka di dalam Freiburg Cathedral Boys Choir dan bagaimana
mereka memandang Freiburg Cathedral Boys Choir sebagai tempat mereka
berkegiatan. Setiawan menarik pembahasan ini ke dalam konteks agama, kesenian,
dan praktik, yakni tiga hal yang menurutnya penting karena selalu ada dalam
keseharian Freiburg Cathedral Boys Choir. Melalui pengamatan dan wawancara yang
ia dilakukan, ia menemukan bahwa modal yang dimiliki dan proses yang dialami oleh
para penyanyi dalam Freiburg Cathedral Boys Choir berbeda-beda. Namun ada nilai-
nilai tertentu dan faktor kebiasaan -yang Setiawan sebut dengan “struktur yang
menstruktur”- yang membuat para penyanyi terikat, sehingga setia untuk terus
berkegiatan selama puluhan tahun di dalam Freiburg Cathedral Boys Choir.
Kelompok paduan suara gereja juga menjadi subyek bahasan Allison Schnable
dalam working paper-nya di tahun 2011 yang berjudul Singing in the Gospel, Forging
the Ties That Bind? Ethnographic Study of a Youth Gospel Choir. Dalam tulisan ini
Schnable hendak membuktikan klaim Putnam dan Campbell bahwa ikatan sosial
religius dapat menuntun kewarganegaraan yang lebih baik. Ia menganalisis sebuah
praktik religius yang umum di Amerika, yakni choral singing, untuk mengeksplorasi
bagaimana ikatan-ikatan tersebut dapat terbentuk. Fokus pengamatan Schnable
10
terletak pada interaksi antar penyanyi paduan suara dalam keanggotaan gereja, terkait
bagaimana musik gereja mempengaruhi keterikatan orang-orang di dalamnya dengan
gereja. Selain itu ia juga membahas tentang identitas kaum muda, yakni bagaimana
ikatan-ikatan tersebut terbentuk di antara kaum muda. Sebelum menganalisis interaksi
ini, ia mengutip sebuah etnografi tentang paduan suara gereja bagi kaum muda yang
mengungkap bahwa ikatan-ikatan dengan gereja tercipta melalui pengalaman
emosional kolektif dalam membuat musik, pengertian setara mengenai narasi-narasi
religius pada litik-lirik lagu, aksi ritual saat pelayanan di gereja, dan kehadiran secara
berulang-ulang di tempat-tempat suci gedung gereja. Nyanyian atau musik gereja
dapat mengikat kaum muda pada organisasi gereja, dan secara simbolis pada
komunitas kulit hitam, baik lokal maupun global.
Dari sekian karya tulis yang berhasil saya kumpulkan, tidak saya dapati
etnografi tentang paduan suara gereja yang membahas tentang sikap estetis dan
ekonomis anggota di dalamnya. Namun karya-karya ini sangat membantu saya
mengenal berbagai studi kasus paduan suara gereja yang dibahas dalam berbagai
wacana, sehingga memperluas wawasan saya dalam mengerjakan penelitian ini.
E. Metode Penelitian
Jika mengingat kembali poin penting dalam pembelajaran antropologi yakni
studying others, saya merasa penelitian ini cukup menantang karena saya telah
menjadi bagian dari kelompok ini sejak awal terbentuknya. Paduan suara Konco
Kenthel kemudian menjadi kelompok yang sama sekali tidak asing bagi saya,
sehingga saya perlu menumbuhkan rasa ingin tahu dan kepekaan yang besar terhadap
hal-hal yang biasa terjadi dalam rutinitas kami berpaduan suara.
11
Penelitian ini saya susun menggunakan data kualitatif. Data-data tersebut saya
peroleh salah satunya melalui observasi partisipatif, yaitu dengan mengikuti dan
mengamati anggota-anggota yang berkegiatan di dalam paduan suara Konco Kenthel.
“Having been there” and “having seen this and that done” is the ultimate guarantee
of the veracity and accuracy of any information divulged about those people (Holy
dalam Moore, 2006: 159). Pengamatan secara intensif mulai saya lakukan pada bulan
Februari tahun 2014, saat beberapa anggota paduan suara Konco Kenthel berkumpul
untuk membahas agenda konser yang rencananya akan diadakan pada pertengahan
tahun tersebut. Sejak itu, sembari ikut berproses, saya mengamati aktivitas mereka
mulai dari latihan rutin, rapat-rapat yang diadakan sebelum persiapan konser, hingga
berlangsungnya konser. Pengamatan pun kemudian berlanjut pada kegiatan-kegiatan
yang mereka lakukan pasca konser, yakni musyawarah kerja pada bulan November
2014, rekrutmen anggota baru pada bulan Februari 2015, latihan-latihan menyanyi,
dan penampilan-penampilan religius maupun non-religius yang mereka bawakan
sepanjang tahun 2015 hingga tahun 2016.
Di sela-sela kegiatan tersebut, untuk memperoleh data yang lebih spesifik dan
sebagai bahan cross check dengan hasil pengamatan, saya melakukan wawancara baik
secara formal maupun informal dengan beberapa pihak dari dalam dan luar paduan
suara Konco Kenthel. Adapun dari pihak dalam, saya melakukan wawancara dengan
koordinator sekaligus pelatih paduan suara Konco Kenthel yakni Dede, kemudian
dengan beberapa anggota paduan suara Konco Kenthel seperti Sari, Billy, dan
Raesuna yang merupakan anggota angkatan pertama; Sheldy, Martin, Vani, yang
bergabung di tahun-tahun berikutnya melalui proses seleksi; Alif, seorang penganut
non-Katolik yang bergabung melalui proses seleksi; dan Elisa, seorang penganut baru
agama Katolik yang bergabung tanpa melalui proses seleksi. Kategori-kategori dalam
12
memilih informan ini saya tetapkan dengan asumsi bahwa latar belakang mereka yang
berbeda memiliki pengaruh terhadap cara pandang mereka tentang keikutsertaannya
dalam kegiatan menyanyi Konco Kenthel.
Kemudian dari pihak luar, wawancara saya lakukan dengan beberapa informan
yang memiliki persentuhan langsung dengan kegiatan menyanyi Konco Kenthel,
yakni yang berperan dalam pembentukan paduan suara Konco Kenthel. Informasi dari
Romo Ignatius Sukawalyana, Pr ini akan mewakili perspektif lembaga gereja tentang
kegiatan menyanyi yang dilakukan oleh sebuah kelompok paduan suara gereja.
Informan berikutnya adalah beberapa umat gereja yang bereaksi atas kegiatan
menyanyi Konco Kenthel, yaitu Noviana, warga gereja Pringwulung yang memilih
untuk melibatkan paduan suara Konco Kenthel dalam ibadat pernikahannya,
kemudian Nadya, warga di luar gereja Pringwulung yang juga memilih untuk
melibatkan paduan suara Konco Kenthel dalam ibadat pernikahannya, dan Vero,
warga sebuah gereja di DKI Jakarta yang mengenal Konco Kenthel dari media
youtube dan memilih untuk melibatkan Konco Kenthel dalam ibadat pernikahannya.
Pandangan dan reaksi yang diberikan oleh pihak luar terhadap kegiatan menyanyi
Konco Kenthel ini memungkinkan turut membentuk penilaian para anggota sendiri
terhadap kelompok Konco Kenthel sebagai tempat mereka berkegiatan.
Percakapan dengan para informan beberapa saya tuangkan ke dalam bentuk
catatan dan seluruhnya saya rekam dalam bentuk audio. Sementara itu pengamatan
berupa jalannya latihan menyanyi, penampilan menyanyi dalam kesempatan-
kesempatan religius maupun non religius, dan berbagai kegiatan lain yang dilakukan
oleh paduan suara Konco Kenthel saya dokumentasikan ke dalam bentuk foto dan
video. Pihak Konco Kenthel juga memberi saya akses data berupa partitur-partitur
lagu dan file foto, serta memperbolehkan saya untuk mendokumentasi ulang
13
percakapan mereka dalam grup whatsapp, artikel-artikel, poster, dan proposal
kegiatan menyanyi, juga notulen-notulen rapat.
Selain melalui observasi partisipatif, data yang saya gunakan dalam
penyusunan penelitian ini juga saya dapat dari studi literatur. Adapun literatur yang
saya jadikan referensi ialah buku-buku yang memuat tentang teori dan subyek
penelitian serta jurnal-jurnal yang mengangkat paduan suara gereja sebagai subyek
pembahasan.
F. Kerangka Pemikiran
Sebagai paduan suara gereja, keseharian Konco Kenthel tidak lepas dari
nyanyian dan peribadatan. Dalam konteks peribadatan Katolik, nyanyian berupa lagu-
lagu liturgis dan perayaan ekaristi bagaikan sebuah kesatuan, karena lagu-lagu liturgis
tersebut merupakan bagian dari perayaan ekaristi sendiri (Martasudjita, 2009: 11).
Sebelum melaksanakan tugas menyanyi dalam perayaan ekaristi tersebut, ada
persiapan yang anggota Konco Kenthel lakukan sejak beberapa hari, beberapa
minggu, bahkan beberapa bulan sebelumnya. Bukan hanya berlatih menyanyi
bersama saja, pada masa persiapan tersebut ada pula detil-detil lain yang anggota
Konco Kenthel pikirkan dan persiapkan untuk nantinya turut dibawakan pada saat
bertugas menyanyi. Salah satu contohnya ialah pemilihan lagu. Pada masa persiapan,
lagu-lagu yang Konco Kenthel latihkan bukan hanya lagu-lagu pokok yang sudah
didaftar oleh gereja saja, melainkan juga lagu-lagu di luar daftar tersebut yang Konco
Kenthel pilih sendiri untuk mereka nyanyikan di bagian-bagian tertentu dalam
perayaan ekaristi. Lagu-lagu tersebut sesungguhnya bisa mereka pilih dari referensi
lagu yang terdapat dalam buku panduan nyanyian liturgis keluaran gereja, namun
tidak jarang ada pertimbangan tertentu yang membuat mereka lebih memilih untuk
14
menyanyikan lagu-lagu dari sumber lain, walau terkadang lagu tersebut belum
familiar di telinga umat.
Kemudian contoh berikutnya ialah dalam hal penampilan. Setiap hendak
menyanyi dalam perayaan ekaristi, terutama perayaan ekaristi hari-hari besar agama
Katolik dan perayaan ekaristi perkawinan, para anggota Konco Kenthel hampir selalu
membuat kesepakatan soal pakaian atau aksesoris yang akan mereka kenakan. Warna,
motif, atau nuansa baju yang senada, juga beberapa seragam dan aksesoris paduan
suara yang telah mereka miliki, dapat menjadi pilihan untuk dikenakan pada saat
menyanyi dalam berbagai peristiwa perayaan ekaristi. Dalam penelitian ini, sikap-
sikap yang mereka ambil tersebut lebih lanjut akan dibahas dalam wacana
antropologis yang berkaitan, yakni fungsi-fungsi musik, estetika ritual, dan dimensi
ekonomi dalam ritual.
1. Fungsi-Fungsi Musik
Alan P. Merriam menuliskan hasil pemikiran serta diskusinya selama
belasan tahun ke dalam sebuah buku dengan judul The Anthropology of Music.
Diskusi tentang musik tersebut ia lakukan dengan para kolega dan mahasiswanya
dalam ranah antropologi budaya dan etnomusikologi. Menurut perspektif
antropologisnya, musik merupakan human behavior atau bagian dari perilaku
manusia dalam kebudayaannya. Dalam musik tersebut terdapat nilai-nilai yang
terkandung dalam gagasan, dan gagasan itu harus diterjemahkan ke dalam
perilaku fisik untuk dapat memproduksi suara (1964: 14).
‘Menyanyi’ bagi para anggota Konco Kenthel juga memiliki arti
tersendiri. Beragamnya konsep, cara pandang yang mereka miliki membentuk
tujuan masing-masing dalam melibatkan diri dan turut menyanyikan lagu-lagu
15
yang ada dalam paduan suara Konco Kenthel. Dalam salah satu bab yang
berjudul Uses and Functions, Merriam menjelaskan perbedaan arti ‘kegunaan’
dan ‘fungsi’ dalam musik yang menjadi problem utama etnomusikologi;
‘kegunaan’ merujuk pada cara dimana musik digunakan dalam tindakan manusia,
semisal pada acara adat, sementara ‘fungsi’ merupakan alasan dari pemakaian
musik tersebut terutama untuk tujuan lebih luas yang dilayaninya (1964: 210).
Adapun 10 fungsi utama musik yang ditawarkan oleh Merriam adalah
sebagai berikut :
1. The function of emotional expression, yakni musik menjadi
kesempatan untuk mengekspresikan berbagai macam emosi termasuk
pemikiran dan ide-ide yang sulit diekspresikan, mengatasi konflik
sosial, dan menjadi wadah bagi kreativitas itu sendiri;
2. The function of aesthetic enjoyment, terkait musik dan estetika yang
terasosiasi dalam kultur di berbagai negara;
3. The function of entertainment, yakni musik menyediakan fungsi
sebagai hiburan bagi seluruh masyarakat;
4. The function of communication, musik terbentuk dalam frasa suatu
kultur dimana ia menjadi bagian di dalamnya, sehingga syair lagu
mampu mengomunikasikan informasi secara langsung hanya kepada
seseorang yang mengerti bahasa dari syair tersebut;
5. The function of symbolic representation, yakni ada kemungkinan
bahwa di dalam masyarakat, musik berfungsi sebagai representasi
simbolis atas berbagai hal seperti ide dan perilaku;
16
6. The function of physical response, musik terbukti memproduksi respon
fisik walaupun respon tersebut seringkali dibentuk oleh konvensi
kultural;
7. The function of enforcing conformity to social norms, dalam berbagai
kebudayaan, lagu-lagu kerap memiliki fungsi penting sebagai kontrol
sosial dengan penyampaian baik langsung maupun tidak langsung;
8. The function of validation of social institutions and religious rituals,
institusi sosial dan sistem religius tervalidasi salah satunya melalui
musik, dimana musik mampu menekankan hal-hal yang tepat dan
tidak tepat dalam masyarakat, serta mampu mengekspresikan ajaran-
ajaran agama;
9. The function of contribution to the continuity and stability of culture,
sama seperti sejarah, mitos, dan legenda, musik terbukti memiliki
kontribusi terhadap kelangsungan dan stabilitas budaya; dan yang
terakhir,
10. The function of contribution to the integration of society, yakni musik
menyediakan diri sebagai titik kumpul anggota-anggota masyarakat
yang bersatu dalam suatu aktivitas yang membutuhkan kerjasama dan
koordinasi kelompok, serta sebagai penanda berbagai momen penting
dalam kehidupan masyarakat yang mampu menyatukan dan
mengingatkan masyarakat kembali tentang kesatuan mereka (1964:
219-226).
Teori Merriam mengenai fungsi musik ini akan menjadi pedoman dalam
penelitian ini untuk mencari tahu fungsi-fungsi musik bagi para anggota paduan
suara Konco Kenthel.
17
2. Estetika Ritual
Keesokan harinya, Wiwoho Girisapto “dipertunjukkan” di dataran kedua
Gerbang Girisapto, sebagai bagian upacara pemakaman isteri tercinta.
Martinus Miroto, yang dalam busana tradisi Jawa menjadi cucuking
lampah berbisik kepada saya, “Mas Sal, di Yogya ini untuk yang pertama
kali terjadi upacara pemakaman disertai pertunjukan tari.” Saya
membentak lirih, “Ini bukan tontonan hiburan tetapi sebuah upacara
yang direka guna membagi duka!” (Murgiyanto, 2015: 5)
Wiwoho Girisapto adalah sebuah tarian yang disusun atas permintaan Sal
Murgiyanto pada tahun 2013. Pada saat itu isteri Murgiyanto sedang menderita
sakit dan kondisinya terus menurun sehingga diperkirakan tidak dapat bertahan
hidup lebih lama lagi. Sebagai bentuk cinta yang mendalam kepada isterinya,
Murgiyanto ingin mempersembahkan sebuah bingkisan kasih berupa tarian kelak
saat mengantar isterinya ke peristirahatan terakhir. Oleh karena itu ia meminta
salah seorang teman isterinya semasa kuliah dahulu di ASTI (Akademi Seni Tari
Indonesia) untuk menyusun tarian tersebut. Hari berkabung pun tiba. Upacara
pemakaman dengan tarian Wiwoho Girisapto dilaksanakan. Sejak awal
Murgiyanto memang tidak bermaksud menjadikan tarian tersebut sebagai sebuah
tontonan, melainkan sebagai bagian dari upacara pemakaman. Setelah upacara
berakhir, rasa haru menyelimuti Murgiyanto seiring dengan para pelayat yang
mengucapkan bela sungkawa padanya dengan berderai air mata.
Pengalaman yang dituangkan oleh Murgiyanto dalam makalahnya yang
berjudul Meluaskan Batas Pandang Pertunjukan ini hampir serupa dengan
pengalaman para anggota paduan suara Konco Kenthel beberapa waktu lalu saat
menyanyi dalam perayaan ekaristi, terutama perayaan ekaristi hari-hari besar
agama Katolik. Pada kurun waktu tersebut Konco Kenthel kerap mendapat
apresiasi di tengah-tengah berlangsungnya perayaan ekaristi berupa tepuk tangan
18
serentak dari umat tepat setelah Konco Kenthel menyanyikan madah syukur
selepas komuni4. Respon tersebut dirasa wajar-wajar saja untuk beberapa waktu,
sampai ketika seorang Romo dalam suatu perayaan ekaristi yang sedang
dipimpinnya menyampaikan kepada umat untuk tidak merespon dengan cara
seperti itu lagi, karena hal itu merupakan sesuatu yang “tidak pada tempatnya”.
Dua pengalaman di atas memiliki kesamaan terkait tanggapan yang
diberikan oleh orang atau sekelompok orang terhadap suatu aktivitas “tidak biasa”
yang dilakukan dalam sebuah peristiwa yang ‘biasa’. Simatupang dalam bukunya
yang berjudul Pergelaran : Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya menuangkan
bahwa tanggapan atas pengalaman, diperoleh manusia lewat proses internalisasi
nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat melalui pelbagai macam interaksi sosial
(2013: 7). Tanggapan manusia atas pengalaman-pengalamannya inilah yang
disebut dengan estetika. Nilai-nilai estetis tersebut dilekatkan oleh masyarakat
sebagai pedoman interaksi bagi individu-individu dalam masyarakat.
Dalam hal aktivitas menyanyi yang dilakukan Konco Kenthel dalam
perayaan ekaristi, nilai-nilai yang diberikan kepadanya dihadirkan melalui suatu
gejala estetis berupa aktivitas yang “tidak biasa”. Penjelasan mengenai ‘biasa’ dan
“tidak biasa” suatu aktivitas akan mengacu pada gagasan Simatupang mengenai
‘tontonan’. Pada sebuah sub-bab dalam buku yang sama, Simatupang
menyampaikan bahwa tidak semua yang dapat ditonton merupakan tontonan.
Sebuah aktivitas dapat dikatakan sebagai tontonan jika ada kesengajaan maksud di
dalamnya untuk dilihat orang lain, dipertontonkan, atau digelar. Hal ini kemudian
ia nyatakan sebagai sifat pertama dari tontonan.
4 Komuni adalah bagian dari tata perayaan ekaristi berupa penerimaan hosti (dan anggur) sebagai lambang Tubuh (dan Darah) Kristus.
19
Namun, kenapa sebagian orang tetap (seringkali tak sengaja) menonton
hal-hal yang oleh pelakunya tidak dimaksudkan sebagi-benar-benar
tontonan? Ternyata, karena peristiwa-peristiwa itu menyajikan sesuatu
yang tidak biasa (extraordinary). Berdasarkan itu, maka sifat tontonan
yang kedua adalah ketidakbiasaan (extraordinariness) sebagai daya tarik
tontonan. Gabungan dua sifat itu kemudian melahirkan sifat ketiga, yaitu
adanya peristiwa yang mempertemukan antara maksud penyaji untuk
menggelar sesuatu yang tidak biasa dengan harapan penonton untuk
mengalami sesuatu yang tidak biasa. (Simatupang, 2013: 65)
Unsur ‘ketidakbiasaan’ mungkin terdapat dalam aktivitas menyanyi yang
dilakukan oleh paduan suara Konco Kenthel dalam perayaan ekaristi, seperti
halnya aktivitas menari yang dilakukan dalam upacara pemakaman isteri
Murgiyanto. Apabila aktivitas-aktivitas tersebut hendak diartikan sebagai sebuah
tindakan seni, maka sesuai jika mengacu pada pendapat Gell bahwa seni
merupakan “technology of enchantment” (2005: 43) atau “teknik untuk
memesona”. Dalam konteks paduan suara Konco Kenthel, pesona ini hadir
melalui kegiatan menyanyi yang para anggota Konco Kenthel lakukan dalam
perayaan ekaristi.
Rappaport dalam bukunya yang berjudul Ritual and Religion in The
Making of Humanity menyatakan bahwa terdapat hubungan khusus antara ritual
dengan sesuatu yang sengaja digelar atau performatif (1999: 118). Hubungan
antara dua hal ini memperkuat penelitian dalam mengungkap latar belakang
Konco Kenthel memilih untuk menghadirkan penampilan-penampilan yang
“tidak biasa” dalam perayaan ekaristi.
3. Dimensi Ekonomi dalam Ritual
Pendapat “beragama sama dengan berkomoditas” menyatakan sebuah
realita bahwa agama membutuhkan materialitas dalam praktiknya. Bukti
mengenai hal ini dapat ditemukan dalam berbagai praktik keagamaan yang ada di
20
dunia. Semisal dalam agama Islam, pada hari raya Idul Adha umat Islam di
Indonesia membeli sapi dan kambing untuk kurban, dan di dalam ibadat
mingguan agama Kristen dan Katolik juga terdapat sesi kolekte yang hasilnya
digunakan untuk kepentingan pembangunan Gereja dan masyarakat luas.
Kemudian ada pula ketentuan-ketentuan dalam berbagai agama yang
mengharuskan umatnya untuk mengenakan busana tertentu pada saat beribadah,
sehingga mereka pun mengeluarkan biaya untuk kepentingan tersebut. Contoh-
contoh demikian memperkuat argumen bahwa adanya nilai ekonomis dalam suatu
praktik agama merupakan suatu hal yang wajar.
Masih seputar argumen yang sama, Geary dalam sebuah tulisannya yang
termuat dalam buku The Social Life of Things : Commodities in Cultural
Perspective menuangkan bahasan mengenai relics yang menjadi komoditas pada
abad pertengahan. Relics atau benda-benda suci akan bertahan nilainya sebagai
komoditas potensial hanya dalam kurun waktu tertentu saja. Antusiasme terhadap
suatu relics biasanya akan pudar dan nilai yang diberikan kepadanya harus
diperbaharui secara periodik melalui penemuan yang terus menerus diulang
hingga kemudian memulai siklus baru (Geary dalam Appadurai, 1986: 187-188).
Relics lekat dengan nilai-nilai yang diberikan oleh manusia kepadanya. Geary
memberikan perumpamaan tentang hal itu dengan sebuah tulang manusia yang
dinyatakan sebagai relics oleh Paus, maka benda tersebut akan sungguh menjadi
relics jika penerimanya juga mau berpikir demikian.
Pemaparan Geary mengenai sejarah relics di abad pertengahan
mengandung suatu kesimpulan bahwa ketahanan status suatu hal atau benda
sangat bergantung pada nilai-nilai yang diberikan oleh manusia kepadanya.
Terkait dengan pemberian nilai ekonomi pada suatu aktivitas dalam ritus,
21
Abdullah mengungkapkan dalam sebuah jurnal berjudul Privatisasi Agama :
Globalisasi Gaya Hidup dan Komodifikasi Agama di Indonesia bahwa proses
ekspansi pasar salah satunya telah menyosialisasi nilai-nilai ekonomi dalam
kehidupan yang mempengaruhi tata nilai dan hubungan-hubungan sosial (2002 :
5). Maka merupakan hal yang umum jika saat ini manusia dalam kehidupannya
selalu menghitung untung-rugi dari setiap hubungan sosial yang mereka jalani,
termasuk saat mereka melakukan praktik-praktik agama.
Demikan juga yang terjadi dalam paduan suara Konco Kenthel, apresiasi
yang anggota dapatkan selepas menyanyi dalam perayaan ekaristi bukan hanya
berupa tepuk tangan dan pujian secara verbal saja. Apresiasi ekonomis juga
sering mereka dapatkan terutama saat menyanyi dalam perayaan ekaristi tertentu,
seperti pada perayaan ekaristi perkawinan yang sering mereka istilahkan dengan
ngejob koor. Perihal nilai ekonomis yang dilekatkan pada kegiatan menyanyi
mereka, dan sikap ekonomis serta estetis yang mereka munculkan sebagai respon
atas apresiasi yang ada, akan dibahas lebih jauh pada bab-bab berikutnya dalam
penelitian ini.