bab i pendahuluan a.scholar.unand.ac.id/32034/2/bab i (pendahuluan).pdf · (3) pembentukan desa...

27
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa: Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Sementara itu dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan: (1) Negara mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dua ketentuan ini memberi ruang bagi terselenggaranya pemerintahan daerah yang beragam di Indonesia, termasuk pemerintahan terendah. Pemerintahan terendah merupakan basis awal pembangunan bangsa yang harus dibenahi dan mendapat perhatian serius. Oleh sebab itu pemerintahan terendah harus dikonsep sesuai kebutuhan dan kondisi sosiologis masyarakatnya. Dengan negara yang berbhinneka tentu masyarakatnya memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda yang tidak mungkin diseragamkan. Namun di era orde baru ada usaha pemerintah untuk menyeragamkan sistem pemerintahan terendah dengan menerapkan desa sebagai pemerintahan terendah secara adminitratif yang dilegalisasi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Hal ini yang kemudian membuat kesatuan masyarakat hukum adat yang telah terbentuk jauh sebelum negara ini berdiri berangsur angsur

Upload: others

Post on 10-Nov-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dinyatakan bahwa:

Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan.

Sementara itu dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 menyatakan:

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang

bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta

hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dua ketentuan ini memberi ruang bagi terselenggaranya pemerintahan daerah

yang beragam di Indonesia, termasuk pemerintahan terendah. Pemerintahan terendah

merupakan basis awal pembangunan bangsa yang harus dibenahi dan mendapat

perhatian serius. Oleh sebab itu pemerintahan terendah harus dikonsep sesuai

kebutuhan dan kondisi sosiologis masyarakatnya. Dengan negara yang berbhinneka

tentu masyarakatnya memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda yang tidak mungkin

diseragamkan.

Namun di era orde baru ada usaha pemerintah untuk menyeragamkan sistem

pemerintahan terendah dengan menerapkan desa sebagai pemerintahan terendah secara

adminitratif yang dilegalisasi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979

tentang Pemerintahan Desa. Hal ini yang kemudian membuat kesatuan masyarakat

hukum adat yang telah terbentuk jauh sebelum negara ini berdiri berangsur angsur

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

lenyap eksistensinya. Ini dibuktikan mulai berkurang bahakan hilangnya fungsi nagari

di Sumatera Barat, marga di Sumatera Selatan atau banjar di Bali.

Khusus di Sumatera Barat konsep desa pada prinsipnya tidak cocok dengan

kondisi sosiologis dan kultural masayarakatnya. Namun konsep desa tetap dipaksakan

pemberlakuannya pada tahun 1983 melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor

162/GSB/1983 yang menyatakan Jorong/Korong yang merupakan bagian dari Nagari

dinyatakan sebagai desa.1

Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana diganti

dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah

memberi peluang kembalinya sistem pemerintahan nagari sebagai sistem pemerintahan

terendah. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

diatur tentang penataan desa sebagaimana diatur dalam Pasal 200 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004:

(1) Dalam Pemerintahan daerah dibentuk kabupaten/kota dibentuk pemerintahan

desa yang terdiri dari desa dan badan permusywaratan desa.

(2) Pembentukan, penggabungan dan/pengahapusan desa dengan memperhatikan

asal usulnya atas prakarsa masyarakat.

Dalam Pasal 206 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah dijelaskan tentang kewenangan pemerintahan desa atau nama lain, yaitu:

1. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa

2. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan

pengaturannya kepada desa.

3. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah

kabupaten/kota

1 Musyair Zainuddin, Implementasi Pemerintahan Nagari Berdasarkan Hak Asal Usul Adat Minangkabau,

(Yogyakarta: Penerbit Ombak,2010), hlm 2

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

4. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan

kepada desa.

Pengaturan lebih lanjut tentang penataan desa diatur dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, khususnya terkait pembentukan Desa sebagaimana diatur

dalam Pasal 2:

(1) Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan

kondisi social budaya masyarakat setempat.

(2) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:

a. jumlah penduduk;

b. luas wilayah;

c. bagian wilayah kerja;

d. perangkat; dan

e. sarana dan prasarana pemerintahan.

(3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa

penggabungan beberapa desa atau bagian desa yang bersandingan atau pemekaran

dari satu desa menjadi dua desa atau lebih atau pembentukan desa di luar desa yang

telah ada.

(4) Pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai paling sedikit 5 (lima) tahun

penyelenggaraan pemerintahan desa.

Pemekaran nagari yang secara massif terjadi di Kabupaten Pesisir Selatan Sejak

tahun 2009 sampai tahun 2013 jelas-jelas tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat

(4) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, karena belum mencapai

masa 5 tahun pemerintahan nagari hasil pemekaran tahun 2009, kemudian nagari hasil

pemekaran tahun 2009 kembali dimekarkan.

Pada perkembangannya muncul ide untuk membentuk undang-undang

tersendiri tentang desa yang sejalan dengan semangat untuk memecah Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 menjadi tiga undang-undang. Pengaturan tentang desa

dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dengan

lahirnya Undang-Undang ini maka Desa sebagai struktur pemerintahan terendah dan

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

kesatuan masyarakat hukum adat diatur lebih komprehensif dan diharapkan mampu

mengakomodasi kepentingan desa sebagai garda terdepan pembangunan nasional.

Pemerintahan Nagari yang terintegrasi dalam sistem pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia termasuk yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2014 tentang Desa. Dengan telah diundangkannya undang-undang ini tentu

membawa dampak terhadap pemerintahan nagari di Sumatera Barat. Pengaturan

tentang nagari secara spesifik yang sampai saat ini masih diatur lebih lanjut dalam

Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan Nagari dan kemudian diatur pula dalam berbagai peraturan daerah

kabupaten di Sumatera Barat, harus segera menyesuaikan dengan ketentuan dalam

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pada prinsipnya peraturan daerah

ini dan peraturan daerah yang kemudian akan dibentuk sejalan dengan Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, memberi ruang penerapan kembali ke nagari pada

semua kabupaten dan kota yang ada di Sumatera Barat, namun dalam implementasinya

sampai saat ini hanya kabupaten saja, kecuali Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang

melaksanakan kembali nagari, sementara untuk kota masih menggunakan sistem

pemerintahan terendah kelurahan dan desa.

Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ini, dalam Pasal 7

diatur tentang penataan desa. Bentuk penataan tersebut diatur dalam Pasal 7 ayat (4),

yaitu:

a. Pembentukan;

b. Penghapusan;

c. Penggabungan;

d. Perubahan status;

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

e. Penetapan desa

Penetapan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf e adalah

penetapan kesatuan masyarakat hukum adat dan desa adat yang telah ada untuk pertama

kali oleh Kabupaten/Kota menjadi Desa Adat dengan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota.2 Dalam konteks Sumatera Barat dalam berbagai diskursus,

menginginkan nomenklatur Nagari tidak hanya dimaknai sebagai pemerintahan

administratif, tetap juga nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang

kemudian perlu ditetapkan menjadi Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Undnag-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Namun, di Kabupaten Pesisir Selatan keinginan untuk menjadikan Nagari

sebagai nomenklatur desa di Sumatera Barat yang tidak hanya berfungsi sebagai bentuk

pemerintahan terendah tetapi juga sebagai kesatuan masyarakat hukum adat,

mengalami beberapa kendala. Pemekaran nagari di Pesisir Selatan yang dilaksanakan

secara masif sejak tahun 2009 tidak lagi memenuhi syarat-syarat pendirian nagari

sebagai masyarakat hukum adat berdasarkan tambo adat Minangkabau. Nagari di

Kabupaten Pesisir Selatan yang semula berjumlah 36 Nagari pada awal agenda

“babaliak ka nagari”, saat ini berkembang menjadi 182 nagari hasil pemekaran.3 Syarat

pendirian nagari menurut tambo antara lain4: basasok bajurami, balabuah batapian,

barumah batanggo, bakorong bakampuang, basawah baladang, babalai bamusajik,

bapandam pakuburan.

Syarat-syarat menurut tambo tersebut tidak begitu diperhatikan dalam

pemekaran nagari di Kabupaten Pesisir Selatan. Dengan begitu masifnya pemekaran

2Penjelasan Pasal 7 ayat (4) huruf e Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa 3 www.pesisir selatankab.go.id, diakses pada tanggal 28 Januari 2014 4 Amir M.S., Panduan Pengelolaan Suku dan Nagari di Minangkabau, (Jakarta: Citra Harta Prima, 2012), hlm.

27

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

nagari, bahkan sampai ada satu nagari yang kemudian dimekarkan menjadi 20 nagari.

Tentu hal ini mengakibatkan aset nagari seperti balai adat dan mesjid nagari menjadi

tidak jelas statusnya.

Apalagi sejak diterbitkannya Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan

Nomor 2 Tahun 2016 tentang Nagari yang dibuat sebelum Peraturan Daerah Provinsi

Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari

diubah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Perda ini

telah “mengharamkan” pemekaran nagari adat dengan pembentukan Kerapatan Adat

Nagari baru. Sehingga kebijakan ini secara tidak langsung mereduksi peran kesatuan

masyarakat hukum adat dalam pengelolaan aset dan ulayat nagari hasil pemekaran. Hal

ini disebabkan wilayah nagari adat dan nagari administrasi pemerintahan tidak berada

dalam satu kesatuan wilayah.

Untuk itu, dengan momentum lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

tentang Desa dan semangat untuk mengembalikan marwah nagari sebagai kesatuan adat

di Sumatera Barat, maka perlu dilakukan penataan dalam sistem pemerintahan nagari

khususnya untuk daerah-daerah yang telah terlanjur melakukan pemekaran nagari

secara masif. Penataan ni diperlukan sebelum nagari-nagari tersebut ditetapkan menjadi

nagari yang berfungsi sebagai penyelenggara pemerintahan terendah dan nagari sebagai

kesatuan masyarakat hukum adat.

Penelitian ini akan mengkaji penataan nagari di Kabupaten Pesisir Selatan yang

dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan

proses penataan yang bisa dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2014 tentang Desa. Penataan pascaberlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

2014 dapat dilakukan karena telah terbentuknya Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir

Selatan Nomor 2 Tahun 2016 tentang Desa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang dikemukakan sebelumnya, yang menjadi pokok

permasalahan dalam penulisan hukum ini adalah:

1. Bagaimana bentuk penataan wilayah adat nagari hasil pemekaran di Kabupaten

Pesisir Selatan?

2. Bagaimana bentuk penataan kelembagaan adat nagari hasil pemekaran di

Kabupaten Pesisir Selatan?

3. Bagaimana bentuk penataan pembagian ulayat dan kekayaan di nagari hasil

pemekaran di Kabupaten Pesisir Selatan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dilakukannya penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui bentuk penataan wilayah adat nagari hasil pemekaran di

Kabupaten Pesisir Selatan.

2. Untuk mengetahuibentuk penataan kelembagaan adat nagari hasil pemekaran di

Kabupaten Pesisir Selatan.

3. Untuk mengetahuibentuk penataan pembagian ulayat dan kekayaan di nagari hasil

pemekaran di Kabupaten Pesisir Selatan.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat teoritis:

a. Untuk menambah ilmu pengetahuan, memperluas cakrawala berpikir penulis

serta melatih kemampuan dalam melakukan penelitian hukum dan

menuangkannya dalam bentuk tulisan.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

b. Untuk memperkaya khasanah ilmu hukum, khususnya Hukum Tata Negara,

serta dapat menerapkan ilmu yang telah didapat selama perkuliahan dan dapat

berlatih dalam melakukan penelitian yang baik.

c. Penelitian ini khususnya juga bermanfaat bagi penulis yaitu dalam rangka

menganalisa dan menjawab keingintahuan penulis terhadap perumusan masalah

dalam penelitian. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat dalam memberikan

kontribusi pemikiran dalam menunjang perkembangan ilmu hukum.

2. Manfaat Praktis

Memberikan kontribusi serta manfaat bagi individu, masyarakat maupun

pihak-pihak yang berkepentingan dalam menambah pengetahuan yang

berhubungan dengan reformulasi pemerintahan nagari pasca pemberlakuan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

a. Pengertian Teori

Teori merupakan tujuan akhir dari ilmu pengetahuan. Hal tersebut dapat

dimaklumi, karena batasan dan sifat hakiki dari suatu teori adalah:5

“...Seperangkat konstruk (konsep) batasan, dan proposisi yang menyajikan

suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-

hubungan antar variable dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala itu

”.

Rumusan diatas mengandung tiga hal, pertama teori merupakan seperangkat

5Amirudin dan Zainal Asikin, Penghantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004),

hlm.42.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

proposisi yang terdiri atas variabel-variabel yang terdefinisikan dan saling

berhubungan. Kedua teori menyusun antar hubungan seperangkat variabel dan

dengan demikian merupakan suatu pandangan sistematis mengenai fenomena

fenomena yang dideskripsikan oleh variabel-variabel itu. Akhirnya, suatu teori

menjelaskan fenomena. Penjelasan itu diajukan dengan cara menunjuk secara

rinci variabel-variabel tertentu yang berkait dengan variabel-variabel tertentu

lainnya.

Rumusan teori yang dikemukakan oleh Kerlinger diatas masih terlalu abstrak,

demikian Soerjono Soekanto agar lebih konkret, beliau mengajukan kriteria

teori yang ideal seperti yang dikemukakan oleh James A. Black dan Dean J.

Champion, sebagai berikut :6

1. Suatu teori secara logis harus konsisten, artinya tidak ada hal-hal yang saling

bertentangan di dalam kerangka yang bersangkutan.

2. Suatu teori terdiri dari pernyataan-pernyataan mengenai gejala-gejala

tertentu, pernyataan-pernyataan mana mempunyai interelasi yang serasi.

3. Pernyataan-pernyataan di dalam suatu teori harus mencakup semua unsur

gejala yang menjadi ruang lingkupnya dan masing-masing bersifat tuntas.

4. Tidak ada pengulangan atau duplikasi di dalam pernyataan-pernyataan

tersebut.

5. Suatu teori harus dapat diuji di dalam penelitian. Mengenai hal ini ada asumsi-

asumsi tertentu, yang membatasi diri pada pernyataan, bahwa pengujian

tersebut senantiasa harus bersifat empiris.

b. Beberapa Teori dalam Penelitian Hukum

6Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hlm.123-124.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

Tidak diperlukan untuk mengemukakan semua teori yang berkaitan dengan

bidang hukum, tetapi hanya beberapa saja yang secara kebetulan dipergunakan

sebagai contoh. Misalnya, teori hukum murni Hans Kelsen, Jean Jaques

Rousseau dan teori bekerjanya hukum dari Robert Seidmen. Tentunya masih

banyak teori-teori yang relevan dipergunakan dalam penuyusunan kerangka

teoritis. Teori- teori tersebut dapat diperoleh dari berbagai buku “ilmu hukum”

dan hasil-hasil penelitian.7

Pada penelitian hukum yang sosiologis, teori-teori yang dapat dirujuk antara lain

teori bekerjanya hukum atau berlakunya hukum dari Robert Seidmen. Untuk

menentykan teorinya, Seidmen membuat model bekerjanya hukum sebagai

berikut8:

1. Setiap peraturan hukum memberitahu seseorang tentang bagaimana

seseorang pemegang peran (role occupant) itu diharapkan bertindak.

2. Bagaimana seseorang pemegang peranan itu akan bertindak sebagai suatu

respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan

yang ditujukan kepada mereka sanksi-sanksinya, aktifitas dari lembaga

pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan politik, sosial dan lain-

lainya mengenai dirinya.

3. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons

terhadap peraturan-peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan

yang ditujukan kepada mereka sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks

kekuatan politik, sosial dan lain-lain mengenai diri mereka serta umpan

balik yang datang dari pemegang peran.

7Amirudin dan Zainal,Op.Cit, hlm. 44. 8 Robert B. Seidmen dalam ibid. Hlm. 46

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

4. Bagaimana peran pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan

fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-

sanksinya, politik, ideologis, dan lain-lainnya mengenai diri mereka serta

umpan balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi.

Kerangka teoritis dalam penulisan karya ilmiah hukum mempunyai 4 (empat)

ciri yaitu (a) teori-teori hukum, (b) asas-asas hukum, (c) doktrin hukum dan (d)

ulasan para pakar hukum berdasarkan pembidangan kekhususannya. Keempat

ciri khas teori hukum tersebut, dapat dituangkan dalam penulisan kerangka

teoritis dan/atau salah satu ciri tersebut.9 Kerangka teori yang akan menjadi

landasan dalam penelitian ilmiah ini yaitu:

a. Teori Otonomi

Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata

yaitu autos yang berarti sendiri dan namos berarti undang-undang atau

peraturan. Sehingga otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk

mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Otonomi bermakna membuat

perundang-undangan sendiri (zelfwetgeving), namun dalam perkembangannya

konsep otonomi daerah juga mengandung arti pemerintahan sendiri10.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, otonomi diartikan sebagai

pemerintahan sendiri. Apabila dikaitkan dengan daerah, maka otonomi daerah

menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, otonomi daerah adalah hak,

wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah

tangganya sendiri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku11.C.W.

9 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) , hlm. 79 10 Helmy Panuh, Pengelolaan Tanah Ulayat Nagari Pada Era Desentralisasi Pemerintahan di Sumatera Barat,

(Jakarta:Rajawali Pers, 2012), hlm. 160

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

Van der Pot memahami konsep otonomi daerah sebagai eigen huishouding

(menjalankan rumah tangganya sendiri)12.

b. Teori Desentralisasi

Menurut RDH Koesoemahatmadja sebagaimana dikutip Helmy

Panuh13, secara harfiah desentralisasi berasal dari dua penggalan kata bahasa

latin yakni: de berarti lepas dan centrum berarti pusat. Makna harfiah dari

desentralisasi adalah melepaskan diri dari pusat. Dalam makna ketatanegaraan,

menurut Laica Marzuki, desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan

pemerintahan dari pusat kepada daerah-daerah. Desentralisasi merupakan

staatkundig decentralisatie (desentralisasiketatanegaraan), atau lebih sering

disebut dengan desentralisasi politik, bukan ambtelijke desentralisatie, seperti

halnya dekonsentra14. Benyamin Hossein, sebagaimana dikutip Siswanto

Sunarno15,mengemukakan bahwa desentralisasi adalah pembentukan daerah

otonom dan/atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah

pusat. Sehingga bisa disimpulkan bahwa desentralisasi merupakan asas pokok

dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Philip Mawhol16 menyatakan

desentralisasi adalah pembagian dari sebagian kekuasaan pemerintah oleh

kelompok yang berkuasa di pusat terhadap kelompok-kelompok lain yang

masing-masing memiliki otoritas di dalam wilayah tertentu di suatu negara.

11Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan

Nasional. 12 Helmy Panuh, op. cit., hlm 160 13 Ibid., hlm. 157. 14 M. Laica Marzuki, dlm ibid. hlm. 158. 15 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 13. 16Ibid..

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

Berdasarkan definisi yang diberikan pakar diatas, Jayadi N.K.

menyimpulkan bahwa desentralisasi mengandung empat pengertian: pertama,

desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom; kedua, daerah otonom

yang dibentuk diserahi wewenang tertentu oleh pemerintah pusat; ketiga,

desentralisasi juga merupakan pemencaran kekuasaan oleh pemerintah pusat;

keempat, kekuasaan yang dipencarkan diberikan kepada kelompok-kelompok

masyarakat tertentu.Sedangkan Juniarto17 mendefinisikan desentralisasi adalah

memberikan wewenang dari pemerintah negara kepada pemerintah lokal untuk

mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya

sendiri. Irwan Soejito sebagaimana dikutip Helmy Panuh18mengartikan

desentralisasi sebagai pelimpahan kewenangan pemerintah kepada pihak lain

untuk dilaksanakan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa membagi desentralisasi dalam dua bentuk19:

a. Dekonsentrasi yang juga disebut desentralisasi administratif.

b. Devolusi yang juga sering disebut desentralisasi demokrasi atau politik,

yang mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada badan

perwakilan yang dipilih melalui pemilu lokal.

Dalam sistem desentralisasi dikenal ada tiga ajaran yang menentukan

pembagian penyelenggaraan pemerintahan negara, yaitu20:

1. Ajaran Rumah Tangga Materil

17 Juniarto, dlm ibid. 18Ibid. 19Ibid.,hlm. 14 20 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (PT Bhuana Ilmu Popular, 2007), hlm 424.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

Menurut ajaran rumah tangga materil, untuk mengetahui urusan yang

termasuk urusan rumah rumah tangga daerah dan pusat, kita harus melihat

kepada materi yang menentukan urusan pemerintah pusat dan pemerintah

daerah. Masing-masing tingkat pemerintahan hanya akan mampu

menyelenggarakan urusan pemerintahan tertentu dengan baik. Pemerintah

pusat dinilai tidak akan mampu melakukan suatu urusan karena urusan itu

termasuk materi yang dianggap hanya dapat dilakukan oleh daerah.

Sebaliknya pemerintah daerah dinilai tidak akan mampu

menyelenggarakan suatu urusan karena dianggap urusan itu dianggap

termasuk materi yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat.

Dalam praktiknya, ajaran rumah tangga materil dapat dipertahankan

sepanjang sifat pemerintahan daerah masih sederhana.

2. Ajaran Rumah Tangga Formil

Untuk mengatasi kekurangan ajaran rumah tangga materil yang hanya

dapat dipertahankan pada sifat pemerintahan yang masih sederhana , maka

muncul ajaran rumah tangga formil. Ajaran rumah tangga formil memberi

penegasan kepada ketentuan-ketentuan yang bersifat formil yang

mengatur bahwa suatu hal itu merupakan urusan rumah tangga pemerintah

pusat dan hal lain sebagai urusan daerah. Pengaturan tersebut didasarkan

atas daya guna pemerintahan masing-masing. Jika urusan pemerintahan

tersebut dianggap lebih membawa manfaat besar pada pemerintah daerah,

maka urusan tersebut menjadi urusan pemerintahan daerah. Penyerahan

urusan pemerintahan tersebut dilakukan dengan peraturan perundang-

undangan sehingga hal-hal yang menjadi urusan pemerintahan daerah

dipertegas rinciannya.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

3. Ajaran Rumah Tangga Riil

Urusan rumah tangga riil adalah urusan rumah tangga yang didasarkan

pada kebutuhan riil atau keadaan nyata. Dalam kondisi riil, bisa saja

terjadi penambahan dan pengurangan wewenang pemerintah pusat

maupun pemerintah daerah. Hal ini tentu didasarkan pada perkembangan

nyata di lapangan. Pengurangan dan penambahan wewenang ini dilakukan

dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya.

Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan

dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu21:

1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak

mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara

("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat,

bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara

kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan

2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-

undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas

maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik

desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.

c. Teori tentang Desa

Dilihat dari asal-usulnya desa dapat dilihat dari empat kategori22:

i. Desa yang lahir, tumbuh, dan berkembang berdasarkan hubungan

kekerabatan sehingga membentuk persekutuan hukum genealogis atau

seketurunan;

ii. Desa yang muncul karena adanya hubungan tinggal dekat sehingga

membentuk persekutuan hukum teritorial;

iii. Desa yang muncul karena adanya tujuan khusus seperti kebutuhan yang

ditentukan oleh faktor-faktor ekologis;

iv. Desa yang muncul karena adanya kebijakan dari atas seperti titah raja,

ordonansi pemerintah jajahan, atau undang-undang pemerintah desa

seperti desa perdikan pada zaman kerajaan atau desa transmigrasi pada

zaman sekarang.

21 www.wikipedia.org, diakses tanggal 2/4/2013 22 Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011),

hlm. 5

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

d. Teori Pemerintahan

Pemerintahan dalam konteks penyelenggaraan negara menunjukkan

adanya badan pemerintahan (institusional) kewenangan pemerintah (authority)

cara memerintah (methods), wilayah pemerintahan (state, local, district, rural

dan urban) dan sistem pemerintahan dalam menjalankan fungsi

pemerintahannya. Pemerintahan tidak dapat dilepaskan dengan keberadaan

pemerintah untuk memerintah yang merupakan keharusan untuk melaksanakan

sesuatu sesuai dengan tujuan pemerintahan.

Suryaningrat menjelaskan bahwa unsur yang menjadi ciri khas

mendasar memerintah atau perintah adalah: 1) adanya keharusan yang

menunjukkan kewajiban apa yang diperintahkan; 2) adanya dua pihak, yaitu

yang memberi perintah dan menerima perintah; 3) adanya hubungan fungsional

antara yang memberi dan menerima perintah; 4) adanya wewenang atau

kekuasaan untuk memberi perintah. Sedangkan Rasyid mengatakan bahwa

pemerintahan mengandung makna mengatur, mengurus, dan memerintah dalam

menyelenggarakan urusan pemerintahan bagi kepentingan rakyat.23

Pemerintahan pada prinsipnya mengandung makna penyelenggaraan

urusan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dapat bersumber

pada pemerintahan demokratis, pemerintahan otoriter, pemerintahan sentralistis

dan pemerintahan desentralistis, pemerintahan diktator, pemerintahan monarkhi

dan lain sebagainya. Pemerintahan secara filosofis mengandung unsur yang

23 Rasyid, Muhammad Ryaas. 1996. Makna Pemerintahan: Tinjauan Dari Segi Etika dan Kepemimpinan. Jakarta:

PT. Yarsif Watampone, hlm. 27

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

berkaitan erat dengan badan publik (pemerintah) yang sah secara konstitusional;

kewenangan untuk melaksanakan pemerintahan; cara dan sistem pemerintahan

dan fungsi pemerintahan yang sesuai dengan kewenangan urusan pemerintahan

serta dalam lingkup wilayah pemerintahan.

Strong memberikan makna pemerintahan sebagai berikut:

”Government in the broad sence is charge with the maintenance of the peace

and society of state within and wihtout. Its is must therefore, have firt, militery

power the control or the control of armed forces, secondary, legislative power

or the mean of making law, thirdly, from the community to defray cost of

depending the state and the of enforcing the law it make`s behalf “.

Pemerintahan menujukkan bahwa pemerintah mempunyai kewenangan

yang dapat digunakan untuk memelihara kedamaian dan keamanan negara baik

ke dalam maupun ke luar. Untuk melaksanakan itu, pemerintah harus

mempunyai kekuatan tertentu dibidang milier atau kemampuan untuk

mengendalikan angkatan perang, kekuatan legislatif atau pembuatan UU serta

kekuatan finansial atau kemampuan untuk mencukupi keuangan pemerintahan

dalam membiayai keberadaan negara untuk pelaksanaan peraturan, semua

kekuatan tersebut dilakukan dalam rangka kepentingan negara.

Menurut Ermaya bahwa pemerintahan terdapat dua pengertian yaitu

pemerintahan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Pemerintahan dalam arti

luas adalah seluruh kegiatan pemerintah (badan publik atau pemerintah) baik

yang menyangkut kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam usaha

mencapai tujuan negara. Pemerintahan dalam arti sempit adalah segala kegiatan

badan publik yang hanya meliputi kekuasaan eksekutif. Pemerintahan berkaitan

erat dengan kewenangan pihak badan publik yang terpercaya atau sah untuk

menyelenggarakan fungsi dalam urusan pemerintahan kepada pihak lainnya

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

yaitu usaha swasta dan masyarakat atas dasar hubungan timbal balik secara

fungsional dalam mencapai tujuan negara.

Pemerintahan pada suatu negara sebagai bentuk kontrak sosial atau

perjanjian masyarakat melalui pendekatan ilmiah. Pemerintahan dari pandangan

atau pendekatan filosofis harus dilihat dari keajegan (consistency) dan

kebenaran secara ilmiah dari pengetahuan, metode dan fenomena serta fakta

empirisnya. Dalam arti bahwa pemerintahan harus mempunyai taraf keajegan

ilmiah dengan memenuhi persyaratan yang bermuatan ontologi (keberadaan),

epsitemologi (pengetahuan) dan aksiologi (penerapannya/aplikasinya).

Manifestasi muatan pemerintahan sebagai kebenaran ilmiah mencerminkan

makna secara koherensi, korespondensi dan pragmatis dalam berbagai peristiwa

pemerintahan.24

Suatu pandangan filosofis yang dikemukakan pemikir aliran filsafat

rasionalisme yaitu Descrates bahwa agar pengetahuan mencapai kebenaran

ilmiah berkaitan dengan fokus dan obyeknya (obyek forma dan materia) baik

pengetahuan yang bersifat sosial, alam maupun humaniora, tidak harus semata-

mata dikembangkan berdasarkan pengalaman, tetapi harus dikembangkan

secara metodologis berdasarkan evidiensi empiris, sehingga bermanfaat dan

berguna bagi kepentingan umat manusia.

Mengkaji pemerintahan mempunyai relevansi yang signifikan dengan

negara. Negara dibentuk atas dasar kontrak sosial. Pemerintahan negara bentuk

organisasi masyarakat yang terbesar. Pemerintahan suatu negara mencakup

berbagai dimensi baik demografis, geografis politik, hukum, ekonomi, sosial,

budaya, agama maupun pertahanan keamanan yang bersifat lingkungan

24 Makka, A. Makmur. 2006. Reformasi Birokrasi. Jakarta: The Habibie Center, hlm 16

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

pemerintahan (environmental) dan integral. Dalam konsep negara,

pemerintahan (badan dan urusan) menjadi persyaratan unsur strategis dan

penting bersamaan dengan unsur wilayah, penduduk, pengakuan negara lain.

Pemerintahan dalam arti urusan, badan, teknik atau cara serta sistem

pemerintahan. Pemerintahan pada dasarnya berkaitan erat dengan sistem,

bentuk, prinsip, azas, fungsi, badan, urusan, teknik dan cara pemerintahan

dalam rangka memerintah yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat atau

masyarakat pada suatu negara.

2. Kerangka Konseptual

a. Konsep Penataan

Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ini, dalam

Pasal 7 diatur tentang penataan desa. Bentuk penataan tersebut diatur dalam

Pasal 7 ayat (4), yaitu:

a. Pembentukan;

b. Penghapusan;

c. Penggabungan;

d. Perubahan status;

e. Penetapan desa

b. Konsep Desa

Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Desa dinyatakan bahwa desa adalah

desa dan desa adat ataunyang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut

desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang

berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul dan/atau

hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

c. Konsep Nagari

Menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Daerah (Provinsi) Sumatera Barat

Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari:

Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-

batas wilayah tertentu dan berwenang untuk mengatur kepentingan

masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau (Adat

Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan asal

usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah provinsi Sumatera Barat.

d. Pengertian Pemerintahan Nagari

Pemerintahan Nagari adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan

yang dilaksanakan oleh Pemerintah Nagari dan Badan Permusyawaratan

Nagari berdasarkan asal usul Nagari di wilayah Propinsi Sumatera Barat

yang berada dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia (Pasal 1 angka 8 Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun

2007).

e. Walinagari dan Badan Permusyawaratan Nagari

a. Walinagari

Menurut Pasal 1 angka 9 Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 2

Tahun 2007:

Walinagari adalah pimpinan pemerintahan nagari.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

b. Badan Permusyawaratan Nagari

Menurut Pasal 1 angka 11 Perda Provinsi Sumatera Barat Tahun 2007:

Badan Permusyawaratan Nagari yang selanjutnya disebut Bamus Nagari

adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam

penyelenggaraan pemerintah nagari sebagai unsur penyelenggaraan

Pemerintahan Nagari.

f. Kerapatan Adat Nagari (KAN)

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 13 Perda Provinsi Sumatera Barat

Nomor 2 Tahun 2007, Kerapatan Adat Nagari (KAN) adalah lembaga

kerapatan dari ninik mamak yang telah yang telah ada dan diwarisi secara

turun temurun sepanjang adat dan berfungsi memelihara kelestarian adat

serta menyelesaikan perselisihan sako dan pusako.

g. Konsep Hak Ulayat Nagari

Menurut Budi Harsono, hak ulayat adalah hak yang melekat sebagai

kompetensi khas pada masyaralat hukum adat, berupa kewenangan/kekuasaan

mengurus dan mengatur tanah seisinya dengan daya ke dalam maupun keluar.25

Secara etimologi, istilah hak ulayat masih mengandung perdebatan. Hak

ulayat awalnya memang hanya dan lebih populer di masyarakat adat

Minangkabau. Pada daerah lain di Indonesia, masyarakat menyebutnya dengan

berbagai istilah dan konteks berbeda; sebagai milik, patuanan (Ambon); sebagai

daerah penghasil makanan, panyampeto (Kalimantan); sebagai lapangan yang

terpagar, pawatasan (Kalimantan), wewengkon (Jawa), prabumian (Bali);

sebagai tanah terlarang buat orang lain, tatabuan (Bolaang Mangondow).

Selanjutnya juga ada istilah torluk (Angkola), limpo (Sulawesi Selatan), nuru

25 Pusat Studi Konstitusi dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Laporan Penelitian Otonomi

Nagari dalam Penguasaan Sumber Daya Alam Nagari, (Padang: PUSaKO Fakultas Hukum Universitas

Andalas,2011)hlm. 27

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

(Buru), payar (Bali), paer (Lombok) dan ulayat (Minangkabau) (Ter Haar

1981:85). Sekarang, mungkin karena pengaruh UUPA, istilah hak ulayat sudah

dipakai oleh banyak masyarakat hukum adat pada berbagai daerah di Indonesia.

Biasanya, istilah itu dipakai dalam memperjuangkan atau menuntut hak-hak

mereka terhadap pihak-pihak yang “merampas” tanah dan sumber daya alam

yang dikuasai oleh masyarakat. 26

Hak ulayat sebagai hak yang melekat pada masyarakat hukum adat

diakui keberadaannya dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisonal nya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-

undang. Kemudian Pasal 28I ayat (3) yang menyebutkan identitas budaya dan

hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman

peradaban.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok

Agraria, pengakuan terhadap hak ulayat disertai dengan setidaknya dua

persyaratan yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya.

Eksistensi dalam artian bilamana warga masyarakat yang bersangkutan masih

ada. Sedangkan dalam pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan

undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi.

26 Kurnia Warman, Hukum Agraria dalam Masyarakat Majemuk, Dinamika Interaksi Hukum Adat dan Hukum

Negara di Sumatera Barat, (Jakarta: HuMa, Van Vollenhoven Institute, KITLV Jakarta, 2010), hlm. 39

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

Ruang lingkup hak ulayat di Minangkabau tidak bisa dipisahkan antara

tanah, air dan sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Namun,

penyebutan istilah tanah merupakan penyebutan paling lazim.27

Tanah ulayat di Minangkabau dapat diklasifikasikan:

1. Tanah ulayat kaum, dibawah pengawasan mamak kepala waris

2. Tanah ulayat suku, terpegang pada penghulu suku.

3. Tanah ulayat nagari, dibawah pengawasan penghulu-penghulu yang

bernaung di dalam kerapatan nagari.28

Ulayat nagari adalah tanah kekayaan nagari di luar ulayat kaum dan suku

yang pemanfaataannya ditujukan untuk kepentingan anak nagari. Ulayat nagari

dimiliki dan dikuasai oleh seluruh suku yang terdapat dalam nagari

(Firmansyah, 2007:15). Proses timbulnya ulayat nagari dapat terjadi karena :

1. Belum diolahnya tanah oleh suku atau kaum (biasanya masih berupa

hutan)

2. Tanah tersebut pernah diolah tetapi kemudian ditinggalkan dan kembali

menjadi hutan.

3. Tanah ulayat suku atau kaum yang punah garis keturunan

matrilianialnya.

4. Penyerahan tanah ulayat suku atau kaum kepada nagari untuk kemudian

menjadi ulayat nagari.29

F. Metode Penelitian

Penelitian pada dasarnya merupakan tahap untuk mencari kembali sebuah

kebenaran. Sehingga akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul

tentang suatu objek penelitian. Penelitian merupakan sarana pokok dalam

27Ibid, hlm 32 28Ibid, hlm 32 29Ibid, hlm. 32

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

mengembangkan ilmu pengetahuan karena dilakukan secara sistematis, metodologis

dan analisis untuk mendapatkan sebuah kesimpulan.

Adapun penelitian ini dilakukan dengan metode sebagai berikut:

1. Pendekatan Masalah

Dalam penelitian ini pendekatan masalah dilakukan secara yuridis emipiris.

Artinya penulis melihat kenyataan di lapangan tentang kondisi pemerintahan nagari

pascapemekaran dan menghubungkan dengan ketentuan penataan desa dalam

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pelaksanannya merupakan hal

hal yang berkaitan dengan konsep teoritis yang terdapat dalam buku bacaan, undang

undang, pendapat para ahli dan selanjutnya melihat kenyataan di lapangan.

2. Metode Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data atau informasi maka data yang penulis gunakan adalah:

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang didapat melalui penelitian langsung di

lapangan, guna mendapatkan data yang berhubungan dengan masalah yang

diteliti. Data tersebut di kumpulkan melalui studi di lapangan dengan

melakukan wawancara dengan pihak pihak yang terkait seperti Ketua

Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Bagian Pemerintahan Nagari

Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan.

Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan secara

lisan guna memperoleh informasi dari responden yang erat kaitannya

dengan masalah yang di teliti oleh penulis dilapangan.30

b. Data Sekunder

30 Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, hlm 67.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui penelitian

kepustakaan(library research), yaitu terhadap :

1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat yang dapat

membantu dalam penelitian, yaitu peraturan perundang-undangan

terkait:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945

b) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

c) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang

Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun

2014 tentang Desa

d) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana

Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja

Negara.

e) Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun

2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari.

f) Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 8 Tahun

2007 tentang Pemerintahan Nagari.

g) Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan terkait

pemekaran nagari

2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap hukum primer antara lain karya dari kalangan

hukum, teori-teori dan pendapat para ahli, bahan pustaka atau literatur

yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, dan sumber dari

internet.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

3. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder , antara lain : Kamus Besar Bahasa Indonesia yang membantu

dalam menerjemahkan istilah-istilah dalam penulisan.

Sumber data yang di peroleh dalam penelitian ini adalah :

a. Penelitian kepustakaan atau library research : bersumber pada buku

atau literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

b. Penelitian lapangan atau field research : Penelitian dilakukan di

lapangan , yaitu di Kenagarian Inderapura Timur.

3. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi adalah seluruh unit individu, objek, gejala atau kejadian yang

memungkinkan memberikan jawaban atas masalah yang ingin dicari atau diteliti.

Populasi dan penelitian ini adalah semua pihak yang terkait terutama dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Nagari di Pesisir Selatan.

b. Sampel

Penarikan sampel merupakan suatu proses dalam memilih suatu bagian dari suatu

populasi yang berguna untuk menentukan bagian-bagian dari obyek yang akan

diteliti.

Dalam penelitian ini, teknik penarikan sampel yang dipergunakanadalah teknik

purposive sampling, dimana sampel ditentukan sendiri oleh peneliti dengan

maksud agar diperoleh subyek-subyek yang ditunjuk sesuai dengan

tujuanpenelitian.

4. Pengolahan dan Analisis Data

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A.scholar.unand.ac.id/32034/2/BAB I (Pendahuluan).pdf · (3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penggabungan beberapa desa atau bagian

Setelah penulis mengumpulkan data data di lapangan, maka penulis akan

mengolah dan menganalisis data tersebut dengan cara cara sebagai berikut :

a. Pengolahan Data

Data yang telah di peroleh di lapangan diolah dengan cara :

1). Editing yaitu data yang diperoleh penulis akan diedit terlebih dahulu

guna mengetahui apakah data data yang di peroleh tersebut sudah cukup

baik dan lengkap untuk mendukung pemecahan masalah yang sudah

dirumuskan.31

2). Data yang telah diedit tersebut kemudian dilakukan coding. Coding yaitu

proses pemberian tanda atau kode tertentu terhadap hasil wawancara

dari responden.32

b. Analisis Data

Dari data yang diolah untuk selanjutnya dilakukan analisis data.Analisis

data yang digunakan adalah analisis kualitatif yaitu data tidak berupa angka

sehingga tidak menggunakan rumus statistik tetapi menilai berdasarkan

logika dan diuraikan dalam bentuk kalimat kalimat yang kemudian

dihubungkan dengan peraturan perundang undangan, pendapat para sarjana

, pendapat pihak terkait dan logika dari penulis.

31 Bambang Sunggono, 2003, Metode Penelitian Hukum,Radja Grafindo, Jakarta hlm 125.

32 Bambang Sunggono,Ibid, hlm 126.