bab i pendahuluan a. -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tujuan negara Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945
adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Pemerintah menguasai dan
wajib menggunakan seluruh sumber daya yang ada untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Untuk itu, pengembangan sektor riil menjadi hal yang
harus dilakukan pemerintah sebagai strategi pertumbuhan ekonomi guna
menurunkan tingkat kemiskinan dan pengangguran. Sektor riil yang memiliki
kontribusi terbesar antara lain sektor pertanian, perdagangan, dan industri
manufaktur.1
Dalam rangka mempercepat pertumbuhan sektor riil, khususnya
meningkatkan kesempatan kerja, pendapatan masyarakat, daya saing, dan
meningkatkan penguasaan ekonomi nasional serta pengembangan wilayah,
salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan melaksanakan
pengembangan dan maksimalisasi sektor perkebunan. Sebagai salah satu
bentuk pengelolaan sumber daya alam, maka pengembangan perkebunan
tersebut perlu dilakukan secara terencana, terbuka, terpadu, profesional dan
bertanggung jawab.
1 Musa Rajekshah, 2009, Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kemitraan Dalam
Pengelolaan Hak Atas Tanah Usaha Perkebunan Berdasarkan Program Revitalisasi Perkebunan,
Tesis, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, hlm.2
2
Perkebunan memiliki beberapa fungsi, yaitu secara ekonomi, untuk
meningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Secara ekologi,
sebagai peningkatan konservasi tanah dan air yang sangat dibutuhkan dalam
menjaga kelestarian lingkungan hidup. Secara budaya, berfungsi untuk
mempererat persatuan dan kesatuan bangsa. Untuk itu, maka pembangunan
perkebunan harus diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan
berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta
berkeadilan.2Sehingga, tujuan dari pembangunan perkebunan tersebut demi
kemakmuran rakyat dapat tercapai.3
Salah satu sektor perkebunan unggulan Indonesia adalah kelapa sawit.
Bahkan Indonesia menjadi salah satu negara penyumbang terbesar produksi
kelapa sawit dunia. Data Ditjen Perkebunan Kementan menyebutkan, volume
ekspor kelapasawit (CPO) di semester I 2012 saja mencapai 9.776.000 ton.
Sedangkan di 2011, volumeekspor kelapa sawit mencapai 6.436.000 ton.
Bersama Malaysia, Indonesia menyumbang lebih dari 85% dari produksi
kelapa sawit dunia.4 Hal ini menunjukkan besarnya potensi perkebunan yang
dimiliki oleh Indonesia dalam memenuhi kebutuhan dunia.
2 Lihat Pasal 2 Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.
3 Pasal 3 Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan menyatakan bahwa
tujuan dari penyelenggaraan perkebunan yaitu, untuk meningkatkan pendapatan masyarakat,
meningkatkan penerimaan negara, meningkatkan penerimaan devisa negara, menyediakan
lap[angan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing, memenuhi kebutuhan
konsumsi dan bahan baku industry dalam negeri, dan mengoptimalkan pengelolaan sumber daya
alam secara berkelanjutan. 4 Rencana Strategis Direktorat Jenderal Perkebunan 2010 – 2014, Direktorat Jenderal
Perkebunan, Kementerian Pertanian, Jakarta 2011, hal. 45 – 46 dalam Andi Muttaqien,
Membangun Perkebunan Yang Berkeadilan, Berkelanjutan dan Demokratis-Catatan Atas Revisi
Permentan Nomor: 26/Permentan/OT. 140/2/2007 Tentang Pedoman Perizinan Usaha
Perkebunan. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta 2013, hlm. 2.
3
Meskipun begitu, upaya pengembangan dan peningkatan perkebunan
langsung secara mandiri oleh rakyat masih dirasa sangat sulit. Terjadi
ketimpangan antara hasil perkebunan yang dimiliki oleh perusahaan besar
dengan perkebunan yang digarap langsung oleh rakyat. Hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain kekuatan modal yang belum memadai,
sempitnya jangkauan pemasaran, dan kurangnya akses inovasi tekhnologi
perkebunan yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga menyebabkan hasil
produksi perkebunan yang tidak maksimal.
Mengatasi kendala-kendala tersebut di atas, pemerintah kemudian
bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan perkebunan besar, baik swasta
maupun BUMN untuk membantu dan membimbing perkebunan rakyat di
sekitarnya dalam suatu sistem kerjasama, yang saling menguntungkan, utuh
dan berkesinambungan melalui hubungan kemitraan.5 Hubungan kemitraan di
bidang perkebunan yang dimaksud adalah hubungan kerjasama dibidang
pengembangan usaha perkebunan antara koperasi dengan Perusahaan Inti
disertai pembinaan Perusahaan Inti kepada koperasi, yang dijiwai prinsip
saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan,6 sehingga
diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Pada masa awal pengintegrasian perkebunan besar dengan perkebunan
rakyat (petani kecil) istilah yang yang digunakan adalah Nucleus Estate
5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 06/PBI/12/2004 tentang Kredit Investasi
Pengembangan Perkebunan Dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat Yang Dikaitkan Dengan Program
Transmigrasi (PIR-Trans) Pra Konversi. 6 Pasal 1 angka 6 Keputusan Bersama Menteri Pertanian Dan Menteri Koperasi dan
Pembinaan Pengusaha Kecil Nomor 73/KPTS.OT 210/98 tentang Pembinaan Dan Pengembangan
Koperasi Unit Desa Di Bidang Usaha Perkebunan Dengan Pola Kemitraan Melalui Pemanfaatan
Kredit Kepada Koperasi Primer Untuk Anggotanya.
4
Smallholder (NES). Istilah tersebut kemudian berubah menjadi Perusahaan
Inti Rakyat Perkebunan (PIR-BUN) dan melalui Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1986 tentang Pedoman Pengembangan Perkebunan dengan Pola
Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang dikaitkan dengan Program Transmigrasi,7
pemerintah berupaya menyelenggarakan kerjasama dan koordinasi yang
sebaik-baiknya dalam rangka penyusunan dan pelaksanaan program-program
kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan tanaman perkebunan pola
Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang dikaitkan dengan Program Transmigrasi,
atau lebih dikenal dengan sebuatan PIR-TRANS. Progam tersebut
dilaksanakan dalam rangka menciptakan pemerataan pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat, serta meningkatan produksi perkebunan melalui
investasi swasta yang diarahkan untuk mencukupi kebutuhan nasional dan
peningkatan ekspor non migas.8
Selanjutnya, untuk lebih meningkatkan produksi dan daya saing hasil
usaha perkebunan, pada Tahun 2006 pemerintah mengeluarkan peraturan No.
33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang Pengembangan Perkebunan Melalui
Program Revitalisasi Perkebunan. Peraturan ini dikeluarkan dalam rangka
untuk percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan,
peremajaan dan rehabilitasi tanaman perkebunan yang didukung kredit
investasi perbankan dan subsidi bunga oleh pemerintah dengan melibatkan
7 Parulian Simanjuntak dan Bambang Irawan, Kajian Kemitraan Pola Perkebunan
Perusahaan Inti Rakyat Transmigrasi (Pir Trans) Dalam Upaya Peningkatan Pendapatan
Transmigran (Studi Kasus PT. Victorindo Alam Lestari Dengan Masyarakat Desa Ujung Batu II
Kabupaten Tapanuli Selatan ), hlm. 3. Dalam http://www.academia.edu/8738130/mitra diunduh
tanggal 10 Oktober 2014. 8Ibid.
5
perusahaan di bidang usaha perkebunan sebagai mitra dalam pengembangan
perkebunan, pengolahan dan pemasaran hasil.
Program revitalisasi perkebunan ini dilaksanakan oleh perusahaan yang
telah memiliki Ijin Usaha Perkebunan (IUP) atau/Ijin Usaha Industri,9 sebagai
mitra dan Koperasi dan/atau pekebun. Koperasi sebagai salah satu pelaksana
program revitalisasi perkebunan memiliki fungsi yang sangat penting dalam
mewujudkan kemakmuran masyarakat sesuai dengan yang diamanatkan Pasal
33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, bahwa perekonomian negara
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan asas kekeluargaan
yang mengutamakan kemakmuran rakyat.10
Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945,
pembangunan di bidang ekonomi yang didasarkan kepada demokrasi ekonomi
menentukan bahwa, masyarakat harus memegang peranan aktif dalam
kegiatan pembangunan. Sedangkan pemerintah berkewajiban memberikan
pengarahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan ekonomi serta menciptakan
iklim yang sehat bagi perkembangan dunia usaha.11
Koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas
kekeluargaan dan demokrasi ekonomi, berfungsi dalam mengembangkan dan
meningkatkan kemampuan para petani anggotanya, meningkatkan
produktifitas dan efisiensi dalam pengelolaan usaha,12
serta meningkatkan
9 Pasal 1 angka 8 Peraturan Menteri Pertanian No. 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang
Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan 10
Penjelasan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 meyebutkan, bahwa
perkonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan bangun
perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. 11
Sudarsono dan Edilius, 2010, Koperasi Dalam Teori dan Praktek. Rineka Cipta,
Jakarta, hlm. 75-76. 12
Pasal 5 Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pembinaan
Pengusaha Kecil No. 73/KPTS/OT.210/2/98 tentang Pembinaan Dan Pengembangan Koperasi
6
kemandirian dan daya saing perekonomian nasional.13
Badan usaha koperasi
merupakan wadah bagi masyarakat anggotanya untuk berkumpul dan bekerja
sama berdasarkan asas kekeluargaan dan gotong royong dengan tujuan untuk
mencapai kesejahteraan bersama, bukan perseorangan semata.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka peran dari koperasi perlu
ditingkatkan terutama dalam program pengembangan perkebunan melalui
kemitraan perusahaan inti dengan koperasi, khususnya Koperasi Unit Desa
(KUD) sebagai lembaga ekonomi masyarakat pedesaan, agar tujuan dan
sasarannya dapat dicapai semaksimal mungkin dan dapat berjalan sejajar
dengan pelaku ekonomi lainnya. Untuk itu, melalui Surat Keputusan Bersama
Menteri Pertanian Dan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil
Nomor 73/KPTS.OT 210/98 tentang Pembinaan Dan Pengembangan Koperasi
Unit Desa Di Bidang Usaha Perkebunan Dengan Pola Kemitraan Melalui
Pemanfaatan Kredit Kepada Koperasi Primer Untuk Anggotanya, pemerintah
telah menyediakan fasilitas pendanaan berupa Kredit Kepada Koperasi Primer
untuk Anggotanya yang disebut KKPA.
Kredit Kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA),14
merupakan
kredit investasi dan atau kredit modal kerja yang diberikan oleh Bank kepada
Koperasi Primer untuk diteruskan kepada anggota-anggotanya guna
Unit Desa Di Bidang Usaha Perkebunan Dengan Pola Kemitraan Melalui Pemanfaatan Kredit
Kepada Koperasi Primer Untuk Anggotanya. 13
Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1997 tentang Kemitraan. 14
Lihat tujuan dan sasaran KKPA dalam Pasal 2 dan 3 Keputusan Bersama Menteri
Pertanian Dan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Nomor 73/KPTS.OT 210/98
tentang Pembinaan Dan Pengembangan Koperasi Unit Desa Di Bidang Usaha Perkebunan Dengan
Pola Kemitraan Melalui Pemanfaatan Kredit Kepada Koperasi Primer Untuk Anggotanya.
7
membiayai usaha anggota yang produktif.15
Sesuai dengan skim KKPA, maka
KUD dapat bertindak sebagai pelaksana pemberian kredit (executing agent),
atau penyalur kredit (chanelling agent).16
Sebagai pelaksana, koperasi primer
secara langsung bertindak sebagai nasabah bank, sedangkan sebagai penyalur
koperasi primer hanya berperanan untuk mengadministrasikan penyaluran dan
pengembalian kredit.17
Dengan adanya program KKPA ini, koperasi
diharapkan dapat lebih memaksimalkan perannya dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat anggotanya dan membantu pemerintah dalam
program pengembangan perkebunan.
Dalam program pengembangan perkebunan, koperasi berperan sebagai
wadah yang menampung para petani peserta dalam pelaksanaan program
revitalisasi perkebunan. melalui kerjasama kemitraan inti-plasma. Koperasi
melakukan perjanjian kerjasama dengan perusahaan di bidang perkebunan
yang telah memenuhi syarat yang telah ditentukan dengan diketahui oleh
bupati setempat. Biaya pembangunan dan pengembangan kebun kemitraan
tersebut sepenuhnya ditanggung oleh koperasi, namun perusahaan yang
menjadi mitralah yang mengelola dana tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan
biaya pembangunan dan pengembangan perkebunan, dengan persetujuan dari
perusahaan mitra, Koperasi kemudian mengajukan permohonan KKPA
15
Pasal 1 angka 1 Keputusan Bersama Menteri Pertanian Dan Menteri Koperasi dan
Pembinaan Pengusaha Kecil Nomor 73/KPTS.OT 210/98 tentang Pembinaan Dan Pengembangan
Koperasi Unit Desa Di Bidang Usaha Perkebunan Dengan Pola Kemitraan Melalui Pemanfaatan
Kredit Kepada Koperasi Primer Untuk Anggotanya. 16
Pasal 6 Keputusan Bersama Menteri Pertanian Dan Menteri Koperasi dan Pembinaan
Pengusaha Kecil Nomor 73/KPTS.OT 210/98 17
Akbar Perdana, 2008, Dampak Pelaksanaan Program Kredit Kepada Koperasi
Primer Untuk Anggotanya (KKPA) Terhadap Pendapatan Usaha Tani Kelapa Sawit (Studi : PT.
Sinar Kencana Inti Perkasa, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan). Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor, hlm. 10.
8
kepada bank-bank yang telah ditunjuk oleh pemerintah sebagai penyalur kredit
KKPA.
Dalam Pelaksanaan pengembangan perkebunan dengan pola kemitraan
Inti-Plasma melalui program KKPA, pada kenyataannya tidak selalu sesuai
dengan yang diharapkan. Di Kecamatan Sendang Agung, Kabupaten
Lampung Tengah, kelompok-kelompok tani yang tergabung dalam program
KKPA Koperasi Unit Desa (KUD) Hasta Karya Bhakti lewat pola kemitraan
inti plasma dengan mitranya PT. Perkebunan Nasional VII, pada akhirnya
diberikan peringatan oleh pihak bank BNI selaku pemberi kredit karena belum
melakukan kewajiban pembayaran sesuai dengan jadwal angsuran dan sampai
batas waktu yang telah ditentukan.Apabila para petani tersebut tidak dapat
menyelesaikan seluruh kewajiban kredit, maka pihak bank akan melakukan
pelelangan atas lahan kebun sawit yang belum dilunasi.18
Menanggapi hal tersebut di atas, para petani sawit anggota KKPAKUD
Hasta Karya Bhakti (para petani anggota) menyebutkan, telah terjadi
kesewenangan, ketidakadilan yang dilakukan pihak KUD Hasta Karya Bhakti
sebagai penyalur kredit dalam Program KKPA tersebut, sehingga
menyebabkan para petani belum mau membayar hutang kreditnya melalui
KUD.19
Di sisi lain, faktor harga pembelian tandan buah segar (TBS) juga
masih menjadi kendala utama sebagai faktor timbulnya tindakan-tindakan
melanggar ketentuan yang ada.
18
Surat Bank BNI 46 Nomor. BLC/7/4515/R kepada Ketua KUD Hasta Karya Bhakti
yang berisi tentang peringatan batas waktu penyelesaian kredit KUD Hasta Karya Bhakti. 19
Dokumen Pengaduan Petani Sawit Yang Tergabung Dalam KKPA Kecamatan
Sendang Agung, Kabupaten Lampung Tengah kepada Komisi I DPRD Lampung Tengah.
Tertanggal 24 Desember 2011.
9
Permasalahan-permasalahan yang muncul, pada akhirnya menempatkan
para petani sebagai pihak yang paling dirugikan, terutama karena yang
menjadi jaminan kredit di bank adalah lahan kebun sawit milik para petani.
Dilatarbelakangi hal-hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai penyimpangan pelaksanaanhubungan kerjasama
kemitraan perkebunan sawit yang memanfaatkan program Kredit Koperasi
Primer untuk Anggotanya (KKPA).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pola kemitraan inti plasma perkebunan kelapa sawit yang
menggunakan dana KKPA.
2. Bagaimana penyimpangan pelaksanaan kerjasama kemitraan inti Plasma
kelapa sawit pola KKPA antara PT. Perkebunan Negara (PN) VII dan
Koperasi Unit Desa (KUD) Hasta Karya Bhakti Kecamatan Sendang
Agung, Lampung Tengah.
3. Bagaimana implikasi yuridis penyimpangan pelaksanaan kerjasama
kemitraan inti Plasma kelapa sawit pola KKPA antara PT. Perkebunan
Negara (PN) VII dan Koperasi Unit Desa (KUD) Hasta Karya Bhakti
Kecamatan Sendang Agung, Lampung Tengah.
C. Keaslian Penelitian
Penulis melakukan kegiatan penelusuran terhadap penelitian dan karya
karya ilmiah yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini. Namun demikian, berdasarkan hasil penelusuran dan telaah
10
terhadap pustaka yang ada, belum ditemukan permasalahan yang sama dengan
permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini.Christina desiyanti, Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dengan penelitiannya
yang berjudul Perjanjian Kemitraan Antara Perusahaan Perkebunan Kelapa
Sawit Dengan Petani Plasma Di Kabupaten Waringin Timur, membahas
mengenai permasalahan konstruksi hukum perjanjian kemitraan dalam praktek
dan upaya penyelesaian jika perusahaan membayar harga tandan buah segar di
bawah harga pasar.
Natalia Pingkan Runtukahu, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, dalam penelitiannya yang berjudul Perjanjian
Kemitraan Antara PT Antang Ganda Utama Dengan Koperasi Yang Mewakili
Masyarakat Pemilik Lahan Di Kabupaten Barito Utara Dalam Pelaksanaan
Program Revitalisasi Perkebunan Kelapa Sawit, lebih membahas mengenai
jenis dan karakter perjanjian kemitraan serta apakah isi dari perjanjian
kemitraan tersebut telah mampu menampung kepentingan para pihak. Dari
hasil penelitiannya menunjukkan, bahwa kualifikasi perjanjian kemitraan
program revitalisasi perkebunan antara kedua pihak, termasuk dalam
perjanjian tidak bernama, karena belum memiliki nama khusus, atau perjanjian
jenis baru yang mandiri, karena terdapat unsur-unsur perjanjian yang tidak
bisa dipilah2 lagi dan merupakan perjanjian kerjasama yang tidak mempunyai
unsur perjanjian lain. Selain itu, juga memililki karakter khusus yakni
menggunakan pola kemitraan, sehingga berbeda dengan perjanjian yang ada
dalam KUH Perdata. Perjanjian kemitraan antara kedua belah pihak telah
11
berjalan hingga tahap akhir, namun belum bisa menampung dan melindungi
kepentingan para pihak, karena hanya berdasar MoU saja.
Terdapat juga penelitian yang dilakukan oleh Rudianto Salmon Sinaga
dari Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dengan
judul Masalah Hukum Dalam Perjanjian Kemitraan Inti Plasma Kelapa Sawit
(studi Kasus Pada PT. SHM dengan Koperas PGH) dan Tindakan Notaris
Dalam Menghadapi Perjanjian Kemitraan Inti Plasma Dalam Perkebunan
Kelapa Sawit. Hasil dari penelitian ini, ditemukan bahwa dalam
implementasinya, ternyata ditemukan banyak kecurangan oleh perusahaan
dalam hubungan kerjasama kemitraan inti plasma kelapa sawit. Notaris
sebagai pejabat pembuat akta memiliki fungsi pengawasan dan dapat menutup
peluang terjadinya kecurangan dengan membuat perjanjian yang baik dengan
mempertimbangkan akibat-akibat hukum dari perjanjian tersebut.
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pola kemitraan inti plasma kelapa sawit melalui
program KKPA.
2. Untuk mengetahui penyimpangan pelaksanaan pola kemitraan inti Plasma
kelapa sawit melalui program KKPA antara PT. Perkebunan Negara (PN)
VII dan Koperasi Unit Desa (KUD) Hasta Karya Bhakti Kecamatan
Sendang Agung, Lampung Tengah.
3. Untuk mengetahui implikasi yuridis penyimpangan pelaksanaan pola
kemitraan inti Plasma kelapa sawit melalui program KKPA antara PT.
12
Perkebunan Negara (PN) VII, dan Koperasi Unit Desa (KUD) Hasta Karya
Bhakti Kecamatan Sendang Agung, Lampung Tengah.
E. Manfaat Penelitian
Ada beberapa manfaat yang ingin dicapai melalui penelitian ini, antara
lain sebagai berikut :
1. Dalam lingkup akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi bagi pengembangan dan pengkajian ilmu hukum;
2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber acuan
bagi peneliti-peneliti lain dalam pengkajian bidang yang sama dan berguna
bagi perkembangan hukum perjanjian kerja sama perkebunan dengan pola
kemitraan inti plasma di Indonesia.