bab i pendahuluan
DESCRIPTION
bab 1TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher
dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut,
tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang
terlibat. (1)
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat
komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan
saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna.
Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat serius.
Etiologi infeksi di daerah leher dapat bermacam-macam. Kuman penyebab abses
leher dalam biasanya terdiri dari campuran kuman aerob, anaerob maupun fakultatif
anaerob. Asmar dikutip Murray dkk, mendapatkan kultur dari abses retrofaring 90 %
mengandung kuman aerob, dan 50% pasien ditemukan kuman anaerob.(2)
Infeksi kepala dan leher yang mengancam jiwa ini sudah jarang terjadi sejak
diperkenalkannya antibiotik dan angka kematiannya menjadi lebih rendah. Disamping
itu higiene mulut yang meningkat juga berperan dalam hal ini. Sebelum era
antibiotik, 70 % infeksi leher dalam berasal dari penyebaran infeksi di faring dan
tonsil ke parafaring.(3)
Disamping drainase abses yang optimal, pemberian antibiotik diperlukan
untuk terapi yang adekuat. Untuk mendapatkan antibiotik yang efektif terhadap
pasien, diperlukan pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan antibiotik terhadap
kuman. Namun ini memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga diperlukan
1
pemberian antibiotik secara empiris. Berbagai kepustakaan melaporkan pemberian
terapi antibiotik spektrum luas secara kombinasi. Kombinasi yang diberikan pun
bervariasi.(4)
Meluasnya penggunaan antibiotik tidak hanya menurunkan angka kejadian
infeksi yang mengancam jiwa, tetapi juga mengubah gambaran klinis penyakit ini.
Hal ini ditambah juga dengan semakin meningkatnya jumlah pasien dengan status
immunosupresi berat, menjadi tantangan bagi para dokter untuk memahami gambaran
klinis penyakit ini yang dapat memicu terjadinya komplikasi yang mengancam jiwa.
Pengetahuan anatomi fasia dan ruang-ruang potensial leher secara baik, serta
penyebab abses leher dalam mutlak diperlukan untuk dapat memperkirakan
perjalanan penyebaran infeksi dan penatalaksanaan yang adekuat.
I.2. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah antara lain sebagai berikut.
1. Mengenali gejala-gejala dan tanda-tanda masing-masing jenis abses leher
dalam berdasarkan kekhasan anatomi dari masing-masing jenisnya.
2. Mengetahui penatalaksanaan abses leher dalam, baik secara pembedahan
maupun farmakoterapi, dengan penekanan pada pemberian antibiotik
berdasarkan jenis kuman yang sering ditemukan.
2
BAB II
ANATOMI
II.1. Anatomi Ruang Potensial Leher
Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia profunda. Kedua fasia ini dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke anterior leher. Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda dan klavikula serta meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior mandibula.(5)
Gambar 1. Potongan aksial leher setinggi orofaring (5)
3
Gambar 2. Potongan oblik leher (5)
Fasia superfisial terletak dibawah dermis. Ini termasuk sistem
muskuloapenouretik, yang meluas mulai dari epikranium sampai ke aksila dan dada,
dan tidak termasuk bagian dari daerah leher dalam. Fasia profunda mengelilingi
daerah leher dalam dan terdiri dari 3 lapisan, yaitu: (5)
- lapisan superfisial
- lapisan tengah
- lapisan dalam.
4
Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerah
sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid.(5)
1. Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari:
ruang retrofaring
ruang bahaya (danger space)
ruang prevertebra.
2. Ruang suprahioid terdiri dari:
ruang submandibula
ruang parafaring
ruang parotis
ruang mastikor
ruang peritonsil
ruang temporalis
3. Ruang infrahioid:
ruang pretrakeal
5
Gambar 3. Potongan Sagital Leher (5)
6
Gambar 4. Potongan axial kepala (11)
II. 1. Ruang Retrofaring
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang dibatasi
oleh (8)
anterior : fasia bukkofaringeal ( divisi viscera lapisan media fasia servikalis
profunda) yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan tiroid
posterior : divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda
lateral : selubung karotis ( carotid sheath ) dan daerah parafaring
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum setinggi
bifurkasio trakea (vertebra torakal I atau II ) dimana divisi viscera dan alar bersatu.
Daerah retrofaring terbagi menjadi 2 daerah yang terpisah di bagian lateral oleh
midline raphe . Tiap – tiap bagian mengandung 2 – 5 buah kelenjar limfe retrofaring
yang biasanya menghilang setelah berumur 4 – 5 tahun. Kelenjar ini menampung
aliran limfe dari rongga hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba eustachius
dan telinga tengah. Daerah ini disebut juga dengan ruang retroviscera, retroesofagus
dan ruang viscera posterior.
II. 2. Ruang Parafaring
Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar
tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os. Hioid.
Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m. Konstriktor faring superior, batas luarnya
adalah ramus asenden mandibula yang melekat dengan m. Pterigoid interna dan
bagian posterior kelenjar parotis.
Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang sama besarnya oleh os stiloid dengan
otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas
7
dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa
bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. (6)
Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a. Karotis
interna, v. Jugularis interna, n. Vagus, yang dibungkus dalam satu sarung yang
disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring
oleh suatu lapisan fasia yang tipis.(6)
II. 3. Ruang Submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang
sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid. Ruang submaksila
selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot
digastrikus anterior. Ruang mandibular dibatasi pada bagian lateral oleh garis inferior
dari badan mandibula, medial oleh perut anterior musculus digastricus, posterior oleh
ligament stylohyoid dan perut posterior dari musculus digastricus, superior oleh
musculus mylohyoid dan hyoglossus, dan inferior oleh lapisan superficial dari deep
servikal fascia. Ruang ini mengandung glandula saliva sub mandibular dan sub
mandibular lymphanodes. (7)
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang submandibula dan
membagi ruang submandibula atas ruang submental dan ruang submaksila saja.
Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai
kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher.
Ruang submandibula berhubungan dengan beberapa struktur di dekatnya
(gambar 5), oleh karena itu abses submandibula dapat menyebar ke struktur
didekatnya.
8
Gambar 5. Ruang potensial leher dalam (A) Potongan aksial, (B) potongan sagital.Ket : SMS: submandibular space; SLS: sublingual space; PPS: parapharyngeal space; CS: carotid space; MS: masticatory space. SMG: submandibular gland; GGM: genioglossus muscle; MHM: mylohyoid muscle; MM: masseter muscle; MPM: medial pterygoid muscle; LPM: lateral pterygoid muscle; TM: temporal muscle. (12)
9
Gambar 6. Ruang submandibular terletak antara m. mylohyoid, fascia
dan kulit. Ruang submandibular terinfeksi langsung oleh molar kedua
dan ketiga.
10
BAB III
ABSES LEHER DALAM
III. 1. Definisi
Abses leher dalam adalah abses yang terbentuk di dalam ruang potensial di
antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber ,
seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. (9)
Abses adalah kumpulan pus yang dapat terletak pada bagian mana pun dari
tubuh yang pada banyak kasus menyebabkan pembengkakan dan inflamasi di sekitar
nya.(10)
Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan
membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher
dalam. (9)
III. 2. Epidemiologi
Tidak ada estimasi yang akurat mengenai frekuensi abses leher dalam di
seluruh dunia. Namun dapat diasumsikan bahwa insiden abses leher dalam di negara
maju secara signifikan lebih rendah dari negara-negara yang tidak didukung oleh
fasilitas kesehatan yang adekuat.
Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun
terakhir (Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam
sebanyak 33 orang, abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%)
kasus, abses parafaring 6 (18%) kasus, abses retrofaring 4 (12%) kasus, abses
mastikator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1 (3%) kasus. (4)
11
III. 3. Etiologi dan Patogenesis
Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal dalam
tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh baik secara
perluasan langsung maupun melalui laserasi atau perforasi. Berdasarkan kekhasan
flora normal yang ada di bagian tubuh tertentu, maka kuman dari abses yang
terbentuk dapat diprediksi berdasar lokasinya. Sebagian besar abses leher dalam
disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun
fakultatif anaerob.
Bakteriologi dari daerah gigi, oro-fasial, dan abses leher, kuman yang paling
dominan adalah kuman anaerob yaitu, Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium
spp, dan Peptostreptococcus spp. Bakteri aerob dan fakultatif adalah Streptococcus
pyogenic dan Stapylococcus aureus. (4)
Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi
tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi
dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apeks gigi molar I
yang berada di atas mylohyoid menyebabkan penjalaran infeksi akan masuk terlebih
dahulu ke daerah sublingual, sedangkan molar II dan III apeknya berada di bawah
mylohyoid sehingga infeksi akan lebih cepat ke daerah submaksila.
Parhischar dkk mendapatkan, dari 210 abses leher dalam, 175 (83,3%) dapat
diidentifikasi penyebabnya (tabel 1). Penyebab terbanyak infeksi gigi 43%. Tujuh
puluh enam persen Ludwig’s angina disebabkan infeksi gigi, abses submandibula
61% disebabkan oleh infeksi gigi.
12
Tabel 1. Sumber infeksi penyebab abses leher dalam (4)
Penyebab Jumlah %
Gigi
Penyalahgunaan obat suntik
Faringotonsilitis
Fraktur mandibula
Infeksi kulit
Tuberculosis
Benda asing
Peritonsil abses
Trauma
Sialolitiasis
Parotis
Lain-lain
Tidak diketahui
77
21
12
10
9
9
7
6
6
5
3
10
35
43
12
6,7
5,6
5,1
5,1
3,9
3,4
3,4
2,8
1,7
5,6
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus,
kuman anaerob Bacterioides atau kuman campuran.
13
III. 4. Jenis-Jenis Abses Leher Dalam
Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses
parafaring, abses submandibula, dan angina ludovici (Ludwig’s angina). (9)
III.4.1 Abses Peritonsil (Quinsy)
III.4.1.1. Definisi
Abses peritonsil adalah abses pada ruang peritonsil. Ruang peritonsil terletak di
antara kapsul tonsil palatina dan m. pharyngeal.
III.4.1.2. Etiologi
Abses peritonsil merupakan proses kelanjutan dari infeksi tonsil.(13) Selain itu
infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil dapat
menyebabkan abses peritonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab
tonsillitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob. (9)
III.4.1.3. Patologi
Infiltrasi supurasi terjadi paling sering di fosa supratonsil (70%). (13) Hal ini
disebabkan karena daerah superior dan lateral fosa tonsilaris adalah jaringan ikat
longgar. (9) Palatum mole pada sisi yang terkena menjadi oedem dan mendorong
uvula ke arah kontralateral. Peradangan meluas ke jaringan lunak sekitarnya dan
menyebabkan rasa nyeri menelan dan trismus. Trismus disebabkan oleh iritasi pada
m. pterigoid interna.
III.4.1.4 Manifestasi Klinis
Terdapat gejala odinofagia (nyeri menelan) yang hebat, nyeri alih ke telinga
pada sisi yang terkena, hipersalivasi, dan trismus. Pembengkakan menyebabkan
gangguan pada artikulasi suara sehingga bicara menjadi seperti bergumam (hot potato
voice). Mungkin terdapat muntah, demam dan mulut berbau serta pembengkakan 14
kelenjar submandibula disertai nyeri tekan. Palatum mole tampak membengkak dan
menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula terdorong ke sisi kontralateral.
Tonsil bengkak, hiperemis, dan terdorong ke medial.
Gambar 7. Abses peritonsil
III.4.1.5. Terapi
Antibiotika golongan penisilin atau klindamisin, dan obat simtomatik
diberikan pada stadium infiltrasi.
15
Tabel 2 . Bakteri Patogen yang Mungkin Dengan Pilihan Antimikroba Pada
Pasien dengan Abses Peritonsil (13)
ETIOLOGI ANTIBIOTIK
Streptokokus Penisilin
Bakteriodes Sefalosporin
Hemofilus Klindamisin
Fusobakterium
Staphylococcus aureus
Peptokokus
Jika sudah terbentuk abses maka dilakukan pungsi pada daerah abses,
kemudian diinsisi untuk mengeluarkan abses.(9) Tempat insisi ialah di daerah yang
paling menonjol atau lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar
uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit.
Setelah proses drenase abses, pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi.
Bila dilakukan bersama-sama dengan tindakan drenase abses, disebut tonsilektomi
a’chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3 – 4 hari sesudah drenase abses, disebut
tonsilektomi a’ tiede, dan bila tonsilektomi 4 -6 minggu sesudah drenase abses,
disebut tonsilektomi a’froid.
Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2 – 3 minggu
sesudah drenase abses. (9)
16
Apabila terdapat kesulitan untuk memastikan apakah selulitis akut atau abses yang
terbentuk, maka dapat dimasukkan jarum ukuran 17 ke dalam tiga lokasi yang
tampaknya paling mungkin untuk menghasilkan aspirasi pus. Jika tidak ditemukan
pus maka tampaknya masih berhubungan dengan selulitis dibandingkan abses. (13)
Tabel 3. Indikasi-Indikasi untuk Tonsilektomi Segera pada Abses Peritonsil
Obstruksi jalan napas atas
Sepsis dengan adenitis servikalis atau abses
leher dalam
Riwayat abses peritonsil sebelumnya
Riwayat faringitis eksudatif yang berulang
III.4.1.6. Komplikasi
Abses dapat pecah spontan dan menyebabkan perdarahan, aspirasi paru, atau
piemia. Infeksi dan abses dapat menjalar ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga terjadi
mediastinitis. Penjalaran infeksi ke daerah intracranial dapat mengakibatkan
thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.
III.4.2 Abses Retrofaring
III.4.2.1. Definisi
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus
pada daerah retrofaring. Pada umumnya sumber infeksi pada ruang retrofaring berasal
dari proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan sinus paranasal, yang menyebar
ke kelenjar limfe retrofaring. Oleh karena kelenjar ini biasanya atrofi pada umur 4 – 5
17
tahun, maka sebagian besar abses retrofaring terjadi pada anak-anak dan relatif jarang
pada orang dewasa .(14)
III.4.2.2 Epidemiologi
Penelitian selama 35 tahun terhadap anak-anak yang diterapi di Children’s
Hospital, Los Angeles dijumpai sebanyak 50% kasus berusia kurang dari 3 tahun dan
71% kasus berusia kurang dari 6 tahun. Sedangkan di Sydney, Australia didapati
sebanyak 55% kasus berusia kurang dari 1 tahun dimana 10% diantaranya dijumpai
pada periode neonatus.
Kusuma H ( 1995 ) dalam suatu penelitiannya selama 3 tahun ( Januari 1992 –
Desember 1994 ) di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapati sebanyak 57 kasus infeksi
leher bagian dalam dimana sebanyak 3 orang ( 5,26 % ) menderita abses retrofaring.(15)
III.4.2.3 Etiologi
Penyebab abses retrofating dapat berupa kuman aerob yaitu, Streptococcus
beta –hemolyticus group A ( paling sering ), Streptococcus pneumoniae,
Streptococcus non – hemolyticus, Staphylococcus aureus , Haemophilus sp dan
kuman anaerob yaitu, Bacteroides sp, Veillonella, Peptostreptococcus, dan
Fusobacteria
Ada beberapa keadaan yang dapat menyebabkan terbentuknya abses
retrofaring, antara lain infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis
retrofaring, trauma dinding belakang faring oleh benda asing, seperti tulang ikan atau
tindakan medis, intubasi, dan endoskopi. Selain itu dapat juga disebabkan oleh
Tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin) dimana pus secara
langsung menyebar melalui ligamentum longitudinal anterior. Selain itu abses dapat
terjadi akibat infeksi TBC pada kelenjar limfe retrofaring yang menyebar dari
18
kelenjar limfe servikal. Dengan perbedaan penyebab ini maka abses retrofaring dapat
dibagi menjadi dua, yaitu abses retrofaring akut dan kronis. (15)
III.4.2.4. Manifestasi Klinis
Gejala utama abses retrofaring adalah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada
anak kecil, rasa nyeri akan menyebabkan anak menangis terus dan tidak mau makan
atau minum. Dapat juga terdapat demam, suara sengau, dan sesak napas. Suara
sengau terjadi karena sumbatan oleh abses dapat menganggu resonansi suara. Sesak
napas terjadi karena sumbatan jalan napas. Bila proses peradangan berlanjut meluas
ke laring maka dapat terjadi stridor . Selain itu dapat terjadi kekakuan otot leher
( neck stiffness ) disertai nyeri pada pergerakan , air liur menetes
( drooling). Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral.
Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis. Pada bentuk kronis, perjalanan penyakit
lambat dan tidak begitu khas sampai terjadi pembengkakan yang besar dan
menyumbat hidung serta saluran nafas.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, berupa riwayat infeksi saluran
napas bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik, serta pemeriksaan penunjang
foto Rontgen jaringan lunak leher lateral.
Pada foto Rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm
pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan
lebih dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya
lordosis vertebra servikal. (9) Diagnosis banding dari abses retrofaring dapat berupa
adenoiditis, tumor, dan aneurisma aorta.
III.4.2.5. Terapi
Terapi abses retrofaring ialah medikamentosa dan bedah. Sebagai
medikamentosa dapat diberikan antibiotik. Pemberian antibiotik secara parenteral
sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik yang 19
diberikan harus mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, Gram positif dan
Gram negatif. Dahulu diberikan kombinasi Penisilin G dan Metronidazole sebagai
terapi utama, tetapi sejak dijumpainya peningkatan kuman yang menghasilkan B –
laktamase kombinasi obat ini sudah banyak ditinggalkan. Pilihan utama adalah
Clindamycin yang dapat diberikan tersendiri atau dikombinasikan dengan
sefalosporin generasi kedua ( seperti Cefuroxime ).Pemberian antibiotik biasanya
dilakukan selama lebih kurang 10 hari.Selain antibiotik, juga diberikan obat
simptomatik, suportif dan pengobatan TBC jika ada indikasi.
Sebagai terapi bedah dapat dilakukan pungsi dan insisi abses melalui
laringoskopi langsung dalam posisi pasien baring Trendelnburg, yaitu dimana leher
dalam keadaan hiperekstensi dan kepala lebih rendah dari bahu. Hal ini dimaksudkan
agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia local dan
anestesia umum. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.
III.4.2.6. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi dari abses retrofaring adalah didasari dari
arah penjalarannya. Penjalaran dapat terjadi ke ruang parafaring, ruang vaskuler
visera, mediastinum dimana menyebabkan mediastinitis. Selain itu dapat
menyebabkan komplikasi berupa sumbatan jalan napas sampai asfiksia dan bila pecah
spontan dapat menyebabkan pneumonia aspirasi dan abses paru.
III.4.3. Abses Parafaring
III.4.3.1 DEFINISI
Abses parafaring adalah peradangan yang disertai pembentukan pus pada
ruang parafaring.
III.4.3.2. Epidemiologi
20
Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun
terakhir (Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses parafaring
menduduki peringkat ketiga setelah abses peritonsil dan abses submandibula. (4)
III.4.3.3. Etiologi
Berdasarkan bakteri penyebab sebagian besar abses leher dalam disebabkan
oleh campuran berbagai jenis kuman baik aerob maupun anaerob. Golongan
aerob penyebabterbanyak adalah kuman Streptokokus, Staphycoccus.
Golongan anaerob penyebab tersering adalah
Bakteroides, Peptostreptokokus Eubakterium, Fusobakterium dan Pseudomonas.
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi secara langsung akibat
tusukan saat tonsilektomi, limfogen dan hematogen. Pada tonsilektomi tanpa
analgesia, ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman dapat menembus
lapisan otot tipis (m. konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring
dari fosa tonsilaris sehingga peradangan terjadi.
Pada penyebaran secara limfogen, supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam,
gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid, dan vertebra servikal dapat
merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses parafaring. (9)
Penjalaran infeksi juga dapat menyebar secara langsung dari ruang peritonsil,
retrofaring, atau submandibula.
III.4.3.4 Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda yang utama adalah trismus, indurasi, atau pembengkakan di
sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring,
sehingga menonjol ke arah medial. (9)
III.4.3.5. Diagnosis
21
Diagnosis abses parafaring ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Gejala klinis berupa demam, nyeri pembengkakan
di sekitar angu lus mand ibu l a ,pembengkakan d ind ing l a t e r a l f a r i ng
h ingga menon jo l ke a r ah medial.
Pemeriksaan penunjang berupa foto polos jaringan lunak leher dan
Foto jaringan lunak leher antero-posterior
dan lateral merupakan prosedur diagnostik yang penting. Pada
pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi tersebut dapat
diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairandi dalam jaringan
lunak dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher.
Ke t e rba t a san pemer ika saan fo to po lo s l ehe r ada l ah t i dak
dapa t membedakan antara selulitis dan pembentukan abses.
III.4.3.6. Terapi
Secara umum terapi abses leher dalam terdiri dari medikamentosa dan
drainase. Untuk terapi antibiotic diberi antibiotika dosis tinggi secara parenteral
terhadap kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak
ada perbaikan dengan antibiotik dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dan
narkosis.(9) Caranya melalui insisi dari luar dan intra oral.
Insisi dari luar dilakukan 2 ½ jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul
eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m. sternokleidomastoideus kea rah atas
belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m. pterigoid interna, mencapai
ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam
selubung karotis, insisi dilanjutkan vertical dari pertengahan insisi horizontal ke
bawah di depan m. sternokleidomastoideus.
22
Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri
eksplorasi dilakukan dengan menembus m. konstriktor faring superior ke dalam ruang
parafaring anterior.
Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap insisi
eksternal. (9) Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.
III.4.3.7. Komplikasi
Komplikasi yang paling berbahaya dari abses parafaring adalah terkenanya
pembuluh darah di sekitarnya. Dapat terjadi tromboflebitis septic vena jugularis. Juga
dapat terjadi perdarahan masif yang tiba-tiba akibat dari erosi arteri karotis interna. (13)
Komplikasi lainnya adalah penjalaran proses peradangan baik secara
hematogen, limfogen, atau perkontinuitatum, ke daerah sekitarnya sehingga dapat
menyebabkan infeksi intrakranial dan mesdiatinum.
III.4.4. Abses Submandibula
III.4.4.1. Definisi
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus
pada daerah submandibula (16) Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher
bagian dalam (deep neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang
submandibula berasal dari proses infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe
submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain.(9)
III.4.4.2 Epidemiologi
Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama periode
Oktober 2009 sampai September 2010 didapatkan abses leher dalam sebanyak 33
orang. Abses submandibula (26%) merupakan kasus kedua terbanyak setelah abses
23
peritonsil (32%), diikuti abses parafaring (18%), abses retrofaring (12%), abses
mastikator (9%), dan abses pretrakeal (3%). (4)
III.4.4.3. Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe
submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain. Sebanyak
61% kasus abses submandibula disebabkan oleh infeksi gigi. (7)
Infeksi pada ruang ini berasal dari gigi molar kedua dan ketiga dari
mandibula, jika apeksnya ditemukan di bawah perlekatan dari musculus mylohyoid.
infeksi dari gigi dapat menyebar ke ruang submandibula melalui beberapa jalan yaitu
secara langsung melalui pinggir myolohioid, posterior dari ruang sublingual,
periostitis dan melalui ruang mastikor.
Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman,
baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering
ditemukan adalah Stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus influenza,
Streptococcus Pneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman
anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah kelompok batang gram
negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun Fusobacterium.Tabel 4. Hasil kultur abses leher dalam Bagian THT-KL dr. M.Djamil Padang periode April 2010-Oktober 2010 (6)
Jenis Kuman Jumlah %
Streptocccus α haemoliticus
Klepsiella sp
Enterobacter sp
Staphylococcus aureus
Staphilococcus epidermidis
E. Coli
Proteus vulgaris
6
4
3
2
1
1
1
37
25
19
12,5
6
6
6
24
III.4.4.4. Manifestasi Klinis
Pasien biasanya akan mengeluhkan demam, air liur yang banyak, trismus
akibat keterlibatan musculus pterygoid, disfagia dan sesak nafas akibat sumbatan
jalan nafas oleh lidah yang terangkat ke atas dan terdorong ke belakang. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan adanya pembengkakan di daerah submandibula
(gambar 8), fluktuatif, dan nyeri tekan. Pada insisi didapatkan material yang bernanah
atau purulent. Angulus mandibula dapat diraba. Lidah terangkat ke atas dan terdorong
ke belakang. (18)
25
Gambar 8. Abses submandibula(19)
III.4.4.5 Terapi
Terapi yang diberikan pada abses submandibula adalah :
1. Antibiotik (parenteral)
Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab, uji
kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara parenteral
sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik
kombinasi (mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positip dan
gram negatif) adalah pilihan terbaik mengingat kuman penyebabnya adalah
campuran dari berbagai kuman. Secara empiris kombinasi ceftriaxone dengan
metronidazole masih cukup baik. Setelah hasil uji sensistivitas kultur pus telah
didapat pemberian antibiotik dapat disesuaikan.
Berdasarkan uji kepekaaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas tinggi
terhadap terhadap ceforazone sulbactam, moxyfloxacine, ceforazone,
ceftriaxone, yaitu lebih dari 70%. Metronidazole dan klindamisin angka
sensitifitasnya masih tinggi terutama untuk kuman anaerob gram negatif.
Antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari.
2. Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi
abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan 26
terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas.
Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid,
tergantung letak dan luas abses.2 Bila abses belum terbentuk, dilakukan
panatalaksaan secara konservatif dengan antibiotik IV, setelah abses terbentuk
(biasanya dalam 48-72 jam) maka evakuasi abses dapat dilakukan.(18)
3. Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan
trakeostomi perlu dipertimbangkan.
Gambar 9. Insisi abses submandibula (19)
4. Pasien dirawat inap 1-2 hari hingga gejala dan tanda infeksi reda.
III.4.4.6. Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung
(perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula paling sering
meluas ke ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini cukup tipis. (18)
Perluasan ini dapat secara langsung atau melalui ruang mastikor melewati musculus
pterygoid medial kemudian ke parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke
daerah potensial lainnya.
27
Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah
menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum menyebabkan medistinitis. Abses
juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis
mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehimgga terjadi perdarahan hebat, bila
terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.
III.4.5 ANGINA LUDOVICI
III.4.5.1. Definisi
Angina Ludovici ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis dengan
tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak membentuk
abses, sehingga keras pada perabaan submandibula. (9)
Penyakit ini termasuk dalam grup penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi
bakteri berasal dari rongga mulut seperti gigi, lidah, gusi, tenggorokan, dan leher.
Karakter spesifik yang membedakan angina Ludwig dari infeksi oral lainnya ialah
infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua ruang submandibularis
(sublingualis dan submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral).
III.4.5.2. Etiologi
Dilaporkan sekitar 90% kasus angina Ludwig disebabkan oleh odontogen baik
melalui infeksi dental primer, postekstraksi gigi maupun oral hygiene yang kurang.
Selain itu, 95% kasus angina Ludwig melibatkan ruang submandibular bilateral dan
gangguan jalan nafas merupakan komplikasi paling berbahaya yang seringkali
merenggut nyawa. Rute infeksi pada kebanyakan kasus ialah dari terinfeksinya molar
ketiga rahang bawah atau dari perikoronitis, yang merupakan infeksi dari gusi sekitar
gigi molar ketiga yang erupsi sebagian. Hal ini mengakibatkan pentingnya
mendapatkan konsultasi gigi untuk molar bawah ketiga pada tanda pertama sakit,
28
perdarahan dari gusi, kepekaan terhadap panas/dingin atau adanya bengkak di sudut
rahang.
Selain gigi molar ketiga, gigi molar kedua bawah juga menjadi penyebab
odontogenik dari angina Ludwig. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak pada
tingkat m. myohyloid, dan abses seperti perimandibular abses akan menyebar ke
ruang submandibular. Di samping itu, perawatan gigi terakhir juga dapat
menyebabkan angina Ludwig, antara lain: penyebaran organisme dari gangren pulpa
ke jaringan periapikal saat dilakukan terapi endodontik, serta inokulasi Streptococcus
yang berasal dari mulut dan tenggorokan ke lidah dan jaringan submandibular oleh
manipulasi instrumen saat perawatan gigi.
Ada juga penyebab lain yang sedikit dilaporkan antara lain adenitis kelenjar
submandibula, fraktur mandibula terbuka, infeksi sekunder akibat keganasan mulut,
abses peritonsilar, infeksi kista ductus thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat intravena
melalui leher, trauma oleh karena bronkoskopi, intubasi endotrakeal, laserasi oral,
luka tembus di lidah, infeksi saluran pernafasan atas, dan trauma pada dasar mulut.
Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita angina Ludwig
melalui isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. Bakteri
anaerob yang diisolasi seringkali berupa bacteroides, peptostreptococci, dan
peptococci.
Bakteri gram positif yang telah diisolasi adalah Fusobacterium nucleatum,
Aerobacter aeruginosa, spirochetes, Veillonella, Candida, Eubacteria, dan spesies
Clostridium. Bakteri Gram negatif yang diisolasi antara lain spesies Neisseria,
Escherichia coli, spesies Pseudomonas, Haemophillus influenza dan spesies
Klebsiella.
III.4.5.3 Manifestasi Klinis
Gejala klinis umum angina Ludwig meliputi malaise, lemah, lesu, malnutrisi,
dan dalam kasus yang parah dapat menyebabkan stridor atau kesulitan bernapas.
29
Gejala klinis ekstra oral meliputi eritema, pembengkakan, perabaan yang keras
seperti papan (board-like) serta peninggian suhu pada leher dan jaringan ruang
submandibula-sublingual yang terinfeksi, disfonia (hot potato voice) akibat edema
pada organ vokal. Gejala klinis intra oral meliputi pembengkakkan, nyeri dan
peninggian lidah, nyeri menelan (disfagia), hipersalivasi (drooling), kesulitan dalam
artikulasi bicara (disarthria).
Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam dan takikardi dengan
karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Karies pada gigi molar bawah dapat
dijumpai. Biasanya ditemui pula indurasi dan pembengkakkan ruang submandibular
yang dapat disertai dengan lidah yang terdorong ke atas. Trismus dapat terjadi dan
menunjukkan adanya iritasi pada m. masticator. Tanda-tanda penting seperti pasien
tidak mampu menelan air liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi dan
sianosis menunjukkan adanya hambatan pada jalan napas yang perlu mendapat
penanganan segera.
Gambar 10. Pembengkakkan berat dari submandibula bilateral dan regio
cervikal anterior pada anak usia 4 bulan dengan angina Ludwig
30
Gambar 11. Edema dan indurasi dari dasar mulut mengakibatkan peninggian
lidah pada anak usia 5 tahun dengan angina Ludwig
III.4.5.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi
yang terinfeksi. Dagu terasa tegang dan nyeri saat menggerakkan lidah.
Penderita mungkin akan mengalami kesulitan membuka mulut, berbicara, dan
menelan, yang mengakibatkan keluarnya air liur terus-menerus serta kesulitan
bernapas. Penderita juga dilaporkan mengalami kesulitan makan dan minum.
Dapat dijumpai demam dan rasa menggigil.
Dasar mulut akan terlihat merah dan membengkak. Saat infeksi
menyebar ke belakang mulut, peradangan pada dasar mulut akan
menyebabkan lidah terdorong ke atas-belakang sehingga menyumbat jalan
napas. Jika laring ikut membengkak, saat bernapas akan terdengar suara tinggi
(stridor). Biasanya penderita akan mengalami dehidrasi akibat kurangnya
cairan yang diminum maupun makanan yang dimakan. Demam tinggi
mungkin ditemui, yang mengindikasikan adanya infeksi sistemik.
Radiografi foto polos dari leher kurang berperan dalam mendiagnosis
atau menilai dalamnya abses leher, foto polos ini dapat menunjukkan luasnya
pembengkakkan jaringan lunak. Radiografi dada dapat menunjukkan
perluasan proses infeksi ke mediastinum dan paru-paru. Foto panoramik
rahang dapat membantu menentukan letak fokal infeksi atau abses, serta
31
struktur tulang rahang yang terinfeksi. CT-scan merupakan metode pencitraan
terpilih karena dapat memberikan evaluasi radiologik terbaik pada abses leher
dalam. CT-scan dapat mendeteksi akumulasi cairan, penyebaran infeksi serta
derajat obstruksi jalan napas sehingga dapat sangat membantu dalam
memutuskan kapan dibutuhkannya pernapasan buatan.
III.4.5.5 Terapi
Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu paling
utama, menjaga patensi jalan napas. Terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan
untuk mengobati dan membatasi penyebaran infeksi. Terakhir juga mugnkin
dibutuhkan dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental.
Trakeostomi awalnya dilakukan pada kebanyakan pasien, namun dengan
adanya teknik intubasi serta penempatan fiber-optic Endotracheal Tube yang lebih
baik, maka kebutuhan akan trakeostomi berkurang. Intubasi dilakukan melalui hidung
dengan menggunakan teleskop yang fleksibel saat pasien masih sadar dan dalam
posisi tegak. Jika tidak memungkinkan, dapat dilakukan krikotiroidotomi atau
trakheotomi dengan anestesi lokal.(20)
Pemberian dexamethasone IV selama 48 jam, di samping terapi antibiotik dan
operasi dekompresi, dilaporkan dapat membantu proses intubasi dalam kondisi yang
lebih terkontrol, menghindari kebutuhan akan trakheotomi/krikotiroidotomi, serta
mengurangi waktu pemulihan di rumah sakit. Diawali dengan dosis 10mg, lalu diikuti
dengan pemberian dosis 4 mg tiap 6 jam selama 48 jam. (20)
Setelah patensi jalan napas telah teratasi maka antibiotik IV segera diberikan.
Awalnya pemberian Penicillin G dosis tinggi (2-4 juta unit IV terbagi setiap 4 jam)
merupakan lini pertama pengobatan angina Ludwig. Namun, dengan meningkatnya
prevalensi produksi beta-laktamase terutama pada Bacteroides sp, penambahan
32
metronidazole, clindamycin, cefoxitin, piperacilin-tazobactam, amoxicillin-
clavulanate harus dipertimbangkan. Kultur darah dapat membantu mengoptimalkan
regimen terapi. (20)
Selain itu, dilakukan pula eksplorasi dengan tujuan dekompresi (mengurangi
ketegangan) dan evaluasi pus, di mana pada umumnya angina Ludwig jarang terdapat
pus atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan memakai cunam
tumpul. Jika terbentuk nanah, dilakukan insisi dan drainase. Insisi dilakukan di garis
tengah secara horisontal setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula). Insisi
dilakukan di bawah dan paralel dengan corpus mandibula melalui fascia dalam
sampai kedalaman kelenjar submaksila. Insisi vertikal tambahan dapat dibuat di atas
os hyoid sampai batas bawah dagu. Jika gigi yang terinfeksi merupakan fokal infeksi
dari penyakit ini, maka gigi tersebut harus diekstraksi untuk mencegah kekambuhan.
Pasien di rawat inap sampai infeksi reda.
33
Gambar 12. Kondisi pasien post-trakeostomi namun masih
membutuhkan drainase abses. Tampak depan dan samping
menunjukkan pembengkakkan submandibular dan sublingual.
Gambar 13. Kondisi pasien 3 hari post-operasi, memperlihatkan
drainase submandibula bilateral dan occluded tracheostomy tube.
III.4.5.6. Komplikasi
Angina Ludwig merupakan selulitis bilateral dari ruang submandibular yang
terdiri dari dua ruang yaitu ruang sublingual dan ruang submaksilar. Secara klinis,
kedua ruang ini berfungsi sebagai satu kesatuan karena adanya hubungan bebas serta
kesamaan dalam tanda dan gejala klinis. Celah buccopharingeal, yang dibentuk oleh
34
m. styloglossus melalui m. constrictor media dan superior, merupakan penghubung
antara ruang submandibular dengan ruang pharingeal lateral. Infeksi angina Ludwig
dapat menyebar secara langsung melalui celah buccopharingeal ini ke ruang
pharingeal lateral, di mana selulitis akan dengan cepat menjadi berbahaya serta
menimbulkan obstruksi jalan napas yang berat. (20) Akibat barrier anatomik yang
tidak dibatasi, infeksi dapat menyebar secara mudah ke jaringan leher, ruang fascia
retropharingeal, bahkan hingga mediastinum dan ruang subphrenik. Selain gejala
obstruksi jalan napas yang dapat terjadi tiba-tiba, komplikasi dari angina Ludwig
dapat berupa trombosis sinus kavernosus, aspirasi dari sekret yang terinfeksi, dan
pembentukan abses subphrenik. Komplikasi lebih lanjut yang telah dilaporkan
meliputi sepsis, mediastinitis, efusi perikardial/pleura, empiema, infeksi dari carotid
sheath yang mengakibatkan ruptur a. carotis, dan thrombophlebitis supuratif dari v.
jugularis interna. (20)
35
BAB IV
KESIMPULAN
Abses leher dalam adalah abses yang terbentuk dalam ruang potensial diantara
fasia leher dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti
gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang
mana yang terlibat
Abses Leher dalam dapat dibagi menjadi abses peritonsil, abses retrofaring,
abses parafaring, abses submandibula, dan angina ludovici.
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat
komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan
saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna.
Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat serius.
Oleh karena itu, penatalaksanaan abses leher dalam meliputi operasi untuk
evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan pemberian antibiotik.
Hal ini akan mengurangi komplikasi yang mengancam jiwa dan mempercepat
perbaikan.
36
37