bab i pendahuluan
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Masalah kesehatan masyarakat yang yang dialami Indonesia saat
ini sangat kompleks dan menjadi beban ganda dalam pembiayaan
pembangunan kesehatan. Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat
sebagian besar adalah penyakit infeksi menular seperti tuberkulosis paru,
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), malaria, diare, dan penyakit kulit.
Pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular
seperti penyakit jantung dan pembuluh darah serta diabetes mellitus dan
kanker. Indonesia juga mengalami emerging diseases seperti demam
berdarah dengue, HIV/AIDS, chikungunya, Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS). Dengan demikian telah terjadi transisi epidemiologi
sehingga Indonesia menhadapi beban ganda pada waktu yang
bersamaan (double burden).
Perkembangan permasalahan Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) semakin lama
semakin mengkhawatirkan baik dari sisi kuantitatif maupun kualitatif.
Walaupun secara geografi, yang semula diharapkan dapat menghambat
perkembangan jumlah Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) di dunia
namun pada kenyataannya dalam kurun waktu 20 tahun terakhir
jumlahnya telah mencapai lebih dari 60 juta orang dan 20 juta diantaranya
telah meninggal (Depkes RI, 2006). Tidak mengherankan bila
permasalahan HIV dan AIDS telah menjadi epidemi di hampir 190 negara
(Depkes RI, 2006 ). Saat ini Indonesia sudah tidak lagi tergolong sebagai
negara dengan prevalensi rendah, tapi sudah masuk ke epidemi
terkonsentrasi dengan lebih dari 5 % populasi tertentu di beberapa kota
dan wilayah di Indonesia yang mengidap HIV. Bahkan di beberapa kota
dan wilayah tertentu epidemik ini diperkirakan sudah masuk pada populasi
umum (KPAN, 2006). Indonesia termasuk salah satu negara di Asia yang
mengalami epidemi HIV dan AIDS dengan prevalensi yang meningkat
tajam dan belum menunjukkan penurunan meskipun upaya
penanggulangan HIV dan AIDS telah dilaksanakan oleh masyarakat,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan swasta serta pemerintah
(KPAN, 2003 – 2007).
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang menyerang sistem
kekebalan tubuh, sehingga si pengidap akan rentan terhadap penyakit
lain. Sebelum HIV berubah menjadi AIDS pengidap akan tampak sehat
dalam waktu 5 sampai 10 tahun meskipun demikian, seseorang sudah
dapat menularkan HIV kepada orang lain melalui hubungan seks yang
tidak aman, pemakaian jarum suntik bekas atau secara bergantian,
karena HIV terdapat di dalam cairan darah, air mani, cairan vagina.
AIDS adalah kumpulan berbagai gejala menurunnya kekebalan
tubuh yang disebabkan oleh virus HIV, oleh karena itu orang yang
mengidap AIDS amat mudah tertular oleh berbagai macam penyakit. HIV
dan AIDS memang menakutkan dan belum ada obatnya. Kita perlu
waspada agar virus ini tidak menyebar lebih luas lagi, namun bukan
berarti pengidap HIV dan AIDS kita musuhi . Jumlah kasus HIV/AIDS
semakin lama semakin meningkat, untuk menekan jumlah kematian dan
menjaga kesehatan penderita maka didirikanlah klinik Voluntary
Counseling And Testing (VCT) (Evelyn, 2009).
Voluntary Counseling and Testing (VCT) merupakan salah satu
strategi kesehatan masyarakat yang dilakukan untuk menangani penyebaran
HIV/AIDS (Depkes RI, 2006). VCT perlu dilakukan karena merupakan pintu
masuk untuk menuju ke seluruh layanan HIV/AIDS, dapat memberikan
keuntungan bagi klien dengan hasil tes positif maupun negatif dengan fokus
pemberian dukungan terapi ARV (Anti Retroviral), dapat membantu
mengurangi stigma di masyarakat, serta dapat memudahkan akses ke
berbagai layanan kesehatan maupun layanan psikososial yang dibutuhkan
klien (Murtiastutik, 2008), akan tetapi pemanfaatan layanan VCT oleh
masyarakat, khususnya oleh populasi rawan masih rendah (KPA, 2007).
VCT merupakan pintu masuk penting untuk pencegahan dan
perawatan HIV. Proses konseling pra testing, konseling post testing, dan
testing HIV secara sukarela yang bersifat confidensial dan secara lebih
dini membantu orang mengetahui status HIV. Konseling pra testing
memberikan pengetahuan tentang HIV & manfaat testing, pengambilan
keputusan untuk testing, dan perencanaan atas issue HIV yang akan
dihadapi. Konseling post testing membantu seseorang untuk mengerti &
menerima status (HIV+) dan merujuk pada layanan dukungan (KPA,
2007).
Model ini menyebutkan bahwa perilaku kesehatan akan
dipengaruhi oleh 6 faktor, meliputi persepsi kerentanan terhadap penyakit
(perceived susceptibility), persepsi keseriusan terhadap ancaman
kesehatan (perceived seriousness), persepsi manfaat dan hambatan
terhadap perubahan perilaku kesehatan (perceived benefit and barrier),
self efficacy, serta faktor pendorong (cues to action) (Mabachi, 2008).
Komponen HBM terhadap pemanfaatan VCT pada orang risiko tinggi
HIV/AIDS di Rutan Cipinang masih belum diketahui dengan jelas.
Penyebab meningkatnya prevalensi HIV/AIDS karena kurangnya
kesadaran untuk memanfaatkan layanan VCT serta kurangnya
pemahaman tentang HIV/AIDS dan VCT terutama bagi orang risiko tinggi.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi orang risiko tinggi untuk
memanfaatkan VCT. Abebe (2006), melaporkan bahwa responden
(51,1%) yang memiliki persepsi kerentanan yang tinggi menyatakan
niatnya untuk melakukan VCT daripada mereka yang memiliki persepsi
yang rendah (48,9%), responden (52,6%) dengan persepsi yang tinggi
terhadap keparahan HIV/AIDS menyatakan niatnya untuk VCT, responden
yang memiliki persepsi hambatan yang tinggi menyatakan kurang
kesediannya untuk melakukan VCT daripada mereka yang memiliki
persepsi yang rendah, dan responden yang merasakan adanya manfaat
dalam melakukan VCT akan menyatakan kesediaannya untuk VCT
daripada mereka dengan persepsi yang rendah. Hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh Afridi et al (2008), menyebutkan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi aksesibilitas dan akseptabilitas VCT pada kelompok
risiko tinggi HIV antara lain 91% dari responden melaporkan bahwa
mereka telah mendengar tentang HIV/AIDS (36% mendengar melalui
media dan 33% dari teman), hampir 31% dari responden menyatakan
bahwa mereka memiliki risiko tertular HIV, 46% responden mengetahui
tempat di mana tes HIV (VCT) dilakukan dan 85% responden mengatakan
bahwa tempat itu adalah rumah sakit. Apabila masalah ini tidak segera
diatasi maka penyebaran HIV/AIDS akan semakin meningkat. Bila hal ini
dibiarkan tanpa tindakan yang nyata baik dari pihak eksekutif, legislatif,
yudikatif maupun masyarakat maka angka kasus HIV/AIDS akan semakin
bertambah dan memperberat beban negara di kemudian hari.
Beberapa pendekatan teoritis yang digunakan dalam penelitian
pencegahan HIV/AIDS, antara lain: theory of reasoned action (Fishbein,
Middlestadt, Hitchcock, 1994), theory of planned behavior (Ajzen dan
Madden, 1986), information motivation behavior model (Fisher dan Fisher,
1992; Fisher, Fisher, Misovich, Kimble, Malloy, 1996), AIDS risk reduction
model (Catania and Kregels, 1990), dan health belief model (Rosentock,
Stretche, and Becker, 1988). Pada penelitian ini menggunakan
pendekatan teori HBM. HBM merupakan teori yang digunakan sebagai
upaya menjelaskan secara luas kegagalan partisipasi masyarakat dalam
program pencegahan atau deteksi penyakit (Houchbaum, 1958;
Rosenstock, 1974 dalam Glanz dkk., 1997) (Maulana, 2009). HBM juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi beberapa faktor prioritas penting
yang berdampak terhadap pengambilan keputusan secara rasional dalam
situasi yang tidak menentu (Rosenstock, 1990) serta teori ini berpusat
pada perilaku kesehatan individu (Maulana, 2009). Pendekatan teori HBM
diharapkan dapat menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
pemanfaatan VCT pada orang risiko tinggi HIV/AIDS di Rutan Cipinang
sehingga dengan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
pemanfaatan VCT, tenaga kesehatan dapat menentukan rencana dan
strategi selanjutnya agar orang risiko tinggi yang memanfaatkan VCT
meningkat.
Menurut laporan tahunan terbaru badan Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB), United Nations on HIV/AIDS (UNAIDS) dalam AIDS
epidemic update 2009, jumlah kasus infeksi baru HIV/AIDS di dunia
dalam delapan tahun terakhir mengalami penurunan hingga 17%. Sub
Sahara Afrika 15%, Asia Timur 25% dan Asia Tenggara 10%. Hal ini
menyatakan bahwa program-program pencegahan HIV yang gencar
digalakkan oleh World Health Organization (WHO) dan UNAIDS telah
berdampak signifikan. Walaupun mengalami penurunan, jumlah penderita
HIV/AIDS di Sub Sahara Afrika dan negara berkembang tetap tinggi.
Faktor pendorong yang dirasakan orang risiko tinggi yang
memanfaatkan VCT di Puskesmas Dupak belum mencapai maksimal,
dalam hal ini mencapai kategori yang sangat kuat. Hal ini kemungkinan
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah terdapat
beberapa responden yang kurang mendapat dukungan dari teman dan
keluarga. Sembilan responden menyatakan dirinya tidak mendapat
dukungan dari teman-temannya untuk melakukan VCT dan 8 responden
menyatakan tidak mendapatkan dukungan dari keluarga. Gambar 5.16
memperlihatkan bahwa selama ini responden mendapat informasi VCT
dari petugas kesehatan. Seluruh responden menyatakan belum pernah
mendapat informasi VCT dari media massa seperti majalah, radio, televisi
atau koran. Hambatan dalam pemanfaatan VCT menurut USAID (2009),
salah satu di antaranya disebabkan oleh kurangnya publikasi tentang
VCT di masyarakat.
Berdasarkan data SEARO (South East Asia Regional Office)
Tahun 2009, India, Indonesia, Myanmar, Nepal dan Thailand merupakan
negara dengan penyebaran HIV/AIDS terbesar. Diperkirakan 2,3 juta
penduduk di India menderita HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang
dewasa 0,34%. Di Myanmar diperkirakan 244.0 orang telah menderita
HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang dewasa 0, 67% dan 70.000
orang penduduk Nepal diperkirakan telah menderita HIV/AIDS dengan
prevalensi pada orang dewasa sebesar 0,5%. Di Thailand diperkirakan
547.0 orang telah menderita HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang
dewasa sebesar 1,4%.
Kecepatan penyebaran HIV/AIDS terutama pada kelompok risiko
tinggi mendapat perhatian yang cukup besar yaitu dengan adanya
komitmen internasional yang dibuat berdasarkan panduan UNAIDS yaitu
Declaration of Commitment pada UNGASS (United Nations General
Assembly special session on HIV/AIDS) Tahun 2001. Setiap Negara yang
ikut menandatangani komitmen tersebut diwajibkan membuat monitoring
dan evaluasi yang memadai untuk mengukur dan menilai kemajuan
pelaksanaan komitmen serta membuat instrumen monitoring dan evaluasi
serta menyediakan data epidemiologi yang memadai. Komitmen tersebut
masih dilanjutkan di kawasan ASEAN (Association of South East Asian
Nations) dalam Deklarasi ASEAN tentang HIV/AIDS Tahun 2001 dan
Deklarasi A World Fit for Children Tahun 2002 (Anonim, 2008).
Di Indonesia berdasarkan data SEARO Tahun 2009, diperkirakan
270.000 orang menderita HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang
dewasa sebesar 0,17% dan 28% di antaranya adalah perempuan.
Penularan HIV/AIDS adalah melalui Injected Drug User (IDU) 40%,
Wanita Pekerja Seks (WPS) 22%, pelanggan WPS 16%, Lelaki Seks
Lelaki (LSL) 4%, wanita dengan pasangan berisiko tinggi 17%, dan lain-
lain 1%. Secara keseluruhan, estimasi jumlah penderita HIV/AIDS di
kawasan SEARO Tahun 2009 mengalami penurunan namun epidemik
HIV/AIDS di Indonesia mengalami peningkatan dengan cepat. Indonesia
merupakan negara dengan peningkatan kasus HIV/AIDS tercepat di Asia.
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia (2008), terdapat 6.015
kasus HIV+ dan 4.969 kasus baru AIDS sehingga jumlah kumulatif kasus
AIDS sejak pertama kali ditemukan Tahun 1987 meningkat menjadi
16.110 kasus dengan jumlah kematian 3.362 orang (Crude Fatality Rate
(CFR) 20,86%). Penderita AIDS dapat diketahui sebagai berikut : laki-laki
(74,9%), perempuan (24,6%) dan 0,5% tidak tercatat jenis kelaminnya
(0,5%) dan sebesar 50,82% berada pada usia produktif yaitu kelompok
umur 20-29 tahun.
Menurut data Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL) Departemen Kesehatan RI
Tahun 2009, jumlah kumulatif kasus AIDS sejak pertama kali ditemukan
Tahun 1987 meningkat menjadi 19.973 kasus dengan total kematian
3.863 orang (CFR 19,34%). Di Indonesia jumlah kasus AIDS terbanyak
terdapat di Provinsi Jawa Barat yaitu 3.598 kasus dengan CFR 17,62%.
Rate kumulatif (Case Rate) kasus AIDS nasional pada tahun 2009 adalah
8,66/100.000 penduduk, dengan Case Rate tertinggi dilaporkan dari
Provinsi Papua sebesar 133,07/100.000 penduduk, Case Rate terendah
dilaporkan dari Provinsi Gorontalo yaitu 0,33/100.000 penduduk,
sementara Provinsi Sumatera Utara berada pada urutan kesembilan
dengan Case Rate 3,71/100.000 penduduk.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan pada Tahun 2009
diperkirakan terdapat 186.000 orang dengan HIV/AIDS. Dari total itu,
yang ditemukan terinfeksi melalui layanan konseling VCT sebanyak
34.257 orang. Sementara, jumlah populasi di Indonesia yang rawan
tertular HIV mencapai 6,3 juta orang. Data PKVHI menyebutkan jumlah
orang yang melakukan konseling dan tes di klinik VCT sebanyak 535.943
orang pada 2010. Dari jumlah itu, sebanyak 55.848 orang terinfeksi HIV
positif. Dari data tersebut cakupan konseling dan tes dengan masyarakat
yang terinfeksi kurang dari 10 persen.
Klinik VCT kini sudah tersebar di seluruh provinsi yaitu terdapat
2000 orang konselor di seluruh Indonesia dengan 388 klinik VCT aktif.
Meskipun demikian baru 192.076 orang yang melakukan tes HIV dari
target kita 300.000 orang yang melakukan tes tahun 2010
(Tempointeraktif.com).
Perilaku manusia berasal dari dorongan yang ada dalam diri
manusia dan dorongan itu merupakan salah satu usaha untuk memenuhi
kebutuhan yang ada dalam diri manusia. Dengan adanya dorongan
tersebut, menimbulkan seseorang melakukan sebuah tindakan atau
perilaku khusus yang mengarah pada tujuan (Sudarma, 2008). Di dalam
proses pembentukan atau perubahan, perilaku dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu itu sendiri.
Faktor-faktor tersebut antara lain: susunan saraf pusat, persepsi,
motivasi, emosi, proses belajar, lingkungan dan sebagainya
(Notoatmodjo, 2003).
Menurut Green dalam Nototmodjo (2003), perilaku masyarakat
dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor
utama yaitu faktor predisposing (meliputi : pengetahuan, sikap,
kepercayaan, nilai dan sebagainya); faktor enabling (mencakup
ketersediaan sarana dan prasarana); faktor reinforcing (meliputi sikap dan
perilaku petugas kesehatan dan tokoh masyarakat).
Persepsi Orang penderita HIV/AIDS (ODHA) terhadap petugas
kesehatan yang meliputi kemampuan, pengetahuan yang memadai, sikap
ramah tamah, mudah ditemui, kepedulian dan kemauan untuk mendengar
akan memengaruhinya untuk memanfaatkan pelayanan klinik VCT atau
tidak di Rutan Cipinang.
Dari hasil wawancara dengan salah satu aktivis yang bekerja untuk
mendampingi para penderita, seringkali penderita mendapatkan
pelayanan yang kurang memuaskan dari pihak pemberi pelayanan
kesehatan. Ketika mengetahui bahwa si pasien adalah penderita
HIV/AIDS mereka langsung menjaga jarak dan menggunakan pelindung
ekstra misalnya sarung tangan dipakai sampai dua lapis. Hal tersebut
memang wajar secara medis akan tetapi dapat membuat penderita
menjadi kurang nyaman dan ketika bertemu dengan orang yang baru
mereka langsung waspada.
Berdasarkan latar belakang di atas membuat penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian dengan judul: Pengaruh Persepsi Penderita
HIV/AIDS Terhadap Tingkat Pemanfaatan Klinik VCT di Rutan Cipinang
Tahun 2012.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah
penelitian adalah; Apakah terdapat pengaruh Persepsi Penderita
HIV/AIDS Terhadap Tingkat Pemanfaatan Klinik VCT di Rutan Cipinang?.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui Pengaruh Persepsi Penderita HIV/AIDS Terhadap
Tingkat Pemanfaatan Klinik VCT di Rutan Cipinang.
2. Mengetahui seberapa besar Pengaruh Persepsi Penderita
HIV/AIDS Terhadap Tingkat Pemanfaatan Klinik VCT di Rutan
Cipinang.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Bagi pihak Klinik VCT di Rutan Cipinang sebagai sumbangan
pemikiran dalam menetapkan kebijakan program bagi penderita
HIV/AIDS dalam upaya pencegahan penularan.
2. Sebagai bahan masukan yang dapat dijadikan referensi atau
perbandingan bagi penelitian lain.
3. Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan kesehatan
masyarakat khususnya bagi Departemen Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan menegenai penyakit AIDS.
4. Bagi peneliti sebagai pengembangan ilmu pengetahuan tentang
HIV/AIDS.