bab i pendahuluan
DESCRIPTION
pendahuluanTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Inflamasi merupakan suatu respon jaringan protektif terhadap cedera atau
kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi baik agen
yang menyebabkan cedera maupun jaringan yang mengalami cedera. Tanda
klasik radang akut menurut Celsus adalah 1) nyeri (dolor); 2) panas (kalor); 3)
kemerahan (rubor); 4) bengkak (tumor), 5) hilangnya fungsi (functio laesa).
Inflamasi terjadi karena adanya mediator inflamasi seperti sitokin, leukotrien,
dan prostaglandin.1 Munculnya mediator inflamasi disebabkan adanya infeksi,
trauma, neoplasma, dan toksisitas obat-obatan.1 Salah satu obat antiinflamasi
yang lazim digunakan dan dipakai secara luas adalah parasetamol.2 Namun,
bila penggunaannya melebihi dosis yang telah ditentukan maka menimbulkan
efek samping yang bersifat hepatotoksik sehingga memicu terjadinya penyakit
hepar.2
Penyakit hepar di Indonesia umumnya masih tergolong tinggi. Data Depkes
(2010), di Indonesia penyakit hepar menempati urutan ketiga setelah penyakit
infeksi dan paru.3 Salah satu penyebabnya adalah penggunaan obat-obat yang
bersifat hepatotoksik. Penyakit hepar yang disebabkan karena penggunaan
obat-obatan disebut Drug Induced Hepatitis (DIH). Menurut Data
Perhimpunan Peneliti Hepar Indonesia (PPHI) pada tahun 2013, sekitar 20-
40% penyakit hepar fulminan disebabkan oleh obat-obatan. Data PPHI
menyatakan pula 50% penderita hepatitis akut terjadi akibat dari reaksi obat
terhadap hepar.4 DIH dapat disebabkan oleh penggunaan obat-obatan seperti
aspirin, artemisin, rifampisin, parasetamol, dan obat-obat lain yang di
metabolisme di hepar dengan pemakaian jangka panjang atau dengan dosis
yang berlebihan.5 Obat-obat ini akan dimetabolisme dalam hepar menjadi suatu
metabolit aktif. Bila antioksidan endogen lebih rendah dibandingkan metabolit
aktif obat, maka metabolit aktif obat dapat menjadi radikal bebas yang merusak
1
2
sel.5 Sebuah survei dari Acute Liver Failure Study Group (ALFSG) yang
dilakukan pada pasien rawat inap di 17 rumah sakit Amerika Serikat
menunjukan bahwa obat yang diresepkan (termasuk parasetamol)
menyebabkan >50% kasus DIH.5 Menurut data Riskesdas (2010), terdapat
sekitar 2000 kasus DIH terjadi tiap tahun dan 39% diantaranya disebabkan oleh
parasetamol.6
Parasetamol merupakan salah satu jenis xenobiotik yang dimetabolisme di
hepar dan memiliki efek analgetik-antipiretik yang lazim digunakan. Bila
parasetamol diberikan dalam dosis toksik (10-15 gram), maka dapat
menyebabkan kondisi hepatoksisitas dan nekrosis sel yang irreversibel.5
Parasetamol dosis toksik menghasilkan metabolit aktif yang bersifat radikal
bebas dan menimbulkan peningkatan rasio glutation disulfide (GSSG) terhadap
glutation (GSH).5 Peningkatan rasio GSSG terhadap GSH akan berlanjut
menjadi deplesi glutation saat sitokrom P450 mengubah parasetamol dosis
toksik menjadi metabolit aktifnya secara terus-menerus. Deplesi glutation akan
menyebabkan metabolit aktif parasetamol tidak dapat dikonjugasi membentuk
konjugat merkapturat. Akibatnya metabolit aktif dapat berikatan dengan
makromolekul sel hepar salah satunya membran sel.5 Rusaknya membran sel
akan menyebabkan kebocoran protein dan molekul intraseluler menuju ke
darah.7 Salah satu protein intraseluler yang dapat keluar menuju darah adalah
enzim transaminase dan jenis transaminase yang banyak serta spesifik terdapat
di sel hepar adalah alanin aminotransferase (ALT). Bila terjadi kerusakan pada
hepar maka ALT banyak dilepaskan ke darah sehingga terjadi peningkatan
aktivitas ALT di dalam darah. Melalui mekanisme tersebut saat ini ALT
menjadi salah satu enzim yang menjadi indikator kerusakan hepar.8
Melihat besarnya dampak yang ditimbulkan oleh paparan radikal bebas
akibat metabolisme xenobiotik obat-obatan salah satunya parasetamol, maka
perlu dilakukan eksplorasi bahan alam untuk mencari sumber-sumber obat
hepatoprotektor yang bersifat ekonomis, mudah didapat, efek samping
minimal, dan memiliki efek terapetik sebaik obat pilihan hepatoprotektor masa
kini. Salah satu bahan alam yang diketahui memiliki efek hepatoprotektor
3
adalah lidah buaya (Aloe vera) dan bahan alam yang telah banyak serta telah
diketahui secara luas efek hepatoprotektornya adalah kurkuma. Menurut Simon
et al (2010), Aloe vera memiliki efek hepatoprotektor yang baik. Efek
hepatoprotektor yang dimiliki Aloe vera diketahui berasal dari metabolit
sekunder yaitu flavonoid.9 Menurut Moghaddasi et al (2011), ekstrak Aloe vera
memiliki kandungan flavonoid positif setelah dilakukan skrining fitokimia.
Senyawa flavonoid yang terdapat pada Aloe vera bersifat antioksidan sehingga
dapat menurunkan radikal bebas dan menghambat induksi mediator inflamasi
yang berpotensi menyebabkan kerusakan sel hepatosit.10 Flavonoid dapat pula
menstimulasi pembentukan glutation (GSH) yang merupakan salah satu
protektor endogen terhadap radikal bebas dalam tubuh. Selain itu, lidah buaya
(Aloe vera) dipilih karena mudah tumbuh, mudah didapat, perawatan tidak
rumit, dan merupakan produk khas dan unggulan provinsi Kalimantan Barat.9
Saat ini belum ditemukan adanya dosis efektif pada ekstrak Aloe vera
sehingga penelitian ini dilakukan untuk menentukan dosis efektif ekstrak Aloe
vera sebagai hepatoprotektor pada Rattus norvegicus galur Wistar yang
diinduksi parasetamol.
B. RUMUSAN MASALAH
B.1 Apakah terdapat efek hepatoprotektor ekstrak etanol lidah buaya (Aloe vera)
terhadap Rattus norvegicus galur Wistar yang diinduksi parasetamol ?
B.2 Berapakah dosis efektif ekstrak etanol lidah buaya (Aloe vera) yang dapat
menurunkan aktivitas ALT pada plasma Rattus norvegicus galur Wistar
yang diinduksi parasetamol ?
B.3 Bagaimana efektivitas ekstrak lidah buaya (Aloe vera) sebagai
hepatoprotektor dibandingkan dengan kurkuma ?
C. TUJUAN UMUM
Mengetahui efek hepatoprotektor ekstrak etanol lidah buaya (Aloe vera)
terhadap aktivitas ALT pada plasma Rattus norvegicus galur Wistar yang
diinduksi parasetamol
4
D. TUJUAN KHUSUS
D.1 Menentukan dosis efektif ekstrak etanol lidah buaya (Aloe vera) pada Rattus
norvegicus galur Wistar yang diinduksi parasetamol
D.2 Menilai efek hepatoprotektor ekstrak etanol lidah buaya (Aloe vera) dilihat
dari aktivitas ALT pada plasma Rattus norvegicus galur Wistar yang
diinduksi parasetamol
D.3 Menganalisis efektivitas hepatoprotektor lidah buaya (Aloe vera)
dibandingkan dengan kurkumin pada Rattus norvegicus galur Wistar yang
diinduksi parasetamol
E. MANFAAT PENELITIAN
E.1 Bagi peneliti dapat digunakan sebagai sebagai salah satu informasi
mengenai efek hepatoprotektor ekstrak lidah buaya sehingga dapat
memperkaya pengetahuan di bidang farmakologi klinik dan berbagai
disiplin ilmu lainnya.
E.2 Bagi masyarakat dapat digunakan sebagai informasi mengenai tanaman yang
berpotensi sebagai hepatoprotektor.
E.3 Bagi pemerintah dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk
meningkatkan pembudidayaan lidah buaya dan pelaksanaan sosialisasi
tentang manfaat daun lidah buaya dalam rangka meningkatkan pelayanan
kesehatan secara luas dan merata.
E.4 Bagi pelayanan kesehatan untuk jangka panjang diharapkan penelitian ini
dapat digunakan sebagai bahan eksplorasi tanaman untuk pengobatan
masyarakat dan dapat digunakan sebagai herbal medicine.
E.5 Meningkatkan pengetahuan tentang alternatif terapi fitofarmaka
menggunakan lidah buaya (Aloe vera) bagi klinisi, dokter, apoteker, perawat
dan tenaga kesehatan lainnya dalam tatalaksana pasien penyakit hepar
E.6 Bagi kemajuan ilmu pengetahuan, sebagai informasi yang dapat menjadi
dasar untuk penelitian lebih lanjut tentang efek hepatoprotektor ekstrak daun
5
lidah buaya terhadap aktivitas ALT tikus wistar jantan yang diinduksi
dengan parasetamol.
F. KEASLIAN PENELITIAN
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
No Peneliti dan Judul Penelitian
Metodologi Penelitian Hasil
1 Harsh Deep Sharma, Hepatoprotective Potential of Aloe barbadensis Mill. Against Carbon Tetrachloride Induced Hepatotoxicity. 2012
Variabel bebas: lidah buaya diberikan pada masing-masing kelompok perlakuan dengan dosis 125 mg, 250 mg, dan 500 mgVariabel terikat: pemeriksaan biokimia hepar dan histopatologi heparSubyek penelitian: 36 ekor tikus putih galur Wistar
Decocta daun lidah buaya dengan dosis 500 mg mampu menurunkan kadar pemeriksaan biokimia hepar dan terdapat perbaikan dan proteksi pada hepar yang dibuktikan dengan perhitungan rumus efek hepatoprotektor dan gambaran histopatologi pada hepar sampel
2 Veena Nayak; Gincy T.B, Prakash M; Chitralekha Joshi; Soumya S. Rao; Somayaji S N; Nelluri Venu Madhav; Bairy KL. Hepatoprotective activity of Aloe vera Gel against ParacetamolInduced Hepatotoxicity in albino rats. 2011
Variabel bebas : lidah buaya diberikan pada masing-masing kelompok perlakuan dengan dosis 250 mg dan 500 mgVariabel terikat: pemeriksaan biokimia fungsi hepar dan histopatologi hepar
Aloe vera pada dosis 500 mg pada tikus putih memiliki efek hepatoprotektor yang lebih baik dibandingkan dengan dosis 250 mg. Aloe vera dapat pula mencegah nekrosis hepar akibat paparan toksik parasetamol dan dapat memperbaiki kerusakan hepar yang dibuktikan dengan pemeriksaan ALT dan AST serta gambaran histopatologi hepar sampel
Harsh Deep Sharma (2012), menggunakan obat penginduksi hepatotoksik
yaitu karbon tetraklorida, sedangkan pada penelitian kali ini obat penginduksi
hepatotoksik menggunakan parasetamol.11 Perbedaan lainnya adalah jumlah
6
kelompok hewan coba, perbedaan dalam pemberian obat untuk kelompok
kontrol positif. Menurut Harsh Deep Sharma (2012), sampel penelitian dibagi
6 kelompok hewan coba yang terdiri 3 kelompok perlakuan dan 3 kelompok
kontrol serta obat kontrol positif yang digunakan sylmarin.11 Sedangkan pada
penelitian ini digunakan 5 kelompok hewan coba dengan yang terdiri dari 3
kelompok perlakuan dan 2 kelompok kontrol dengan pemberian dosis Aloe
vera yang berbeda dari penelitian sebelumnya serta obat kontrol positif yang
digunakan adalah kurkumin.11 Metode ekstraksi yang digunakan Harsh Deep
Sharma menggunakan metode decocta yaitu metode ekstraksi cara panas yang
dirasa kurang efektif karena kandungan aktif daun Aloe vera dapat rusak bila
dipanaskan >650 C lebih dari 15 menit, sehingga penelitian kali ini
menggunakan metode ekstraksi cara dingin yaitu maserasi yang menggunakan
suhu kamar agar tidak merusak kandungan aktif daun Aloe vera.11
Menurut Veena et al (2011), sampel penelitian dibagi 10 kelompok yang
terdiri dari 5 kelompok studi preventif dan 5 kelompok studi regeneratif,
sedangkan pada penelitian kali ini hanya menggunakan 5 kelompok untuk
studi preventif. 12 Menurut Veena et al (2011), pemberian dosis ekstrak Aloe
vera pada kelompok perlakuan adalah 250 mg dan 500 mg, sedangkan pada
penelitian kali ini pemberian dosis ekstrak Aloe vera pada kelompok
perlakuan adalah 1000 mg, 2000 mg, dan 4000 mg. Menurut Veena et al,
dosis 500 mg memiliki efek hepatoprotektor namun tidak sebaik kontrol
positifnya, sehingga tidak dapat ditentukan dosis efektif dari ekstrak Aloe
vera.12 Maka untuk dapat menentukan dosis efektif dari ekstrak Aloe vera,
penelitian kali ini dibuat dosis bertingkat yang lebih tinggi dari penelitian
Veena et al.12 Perbedaan ditemukan pula pada bahan yang diambil dari
tanaman Aloe vera. Veena et al mengambil gel Aloe vera sedangkan penelitian
kali ini mengambil daun Aloe vera secara keseluruhan. Kemudian, perbedaan
terdapat pula pada penggunaan obat kontrol positif. Menurut Veena et al
(2011), N-acetylcysteine (NAC) digunakan sebagai obat kontrol positif,
sedangkan pada penelitian ini digunakan kurkumin sebagai obat kontrol
positif.12