bab i - pendahuluan
DESCRIPTION
BAB I dari Penulisan Hukum berjudul "Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan Oleh Pejabat dalam perizinan di Bidang Kehutanan"TRANSCRIPT
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 adalah untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia. Dalam usaha mencapai salah satu tujuan dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu memajukan kesejahteraan umum
maka dilakukanlah beragam bentuk pembangunan untuk memajukan ekonomi.
Indonesia merupakan negara hukum dan hal tersebut tercantum dengan
jelas dalam batang tubuh UUD 1945 yaitu dalam Pasal 1 ayat (3). Oleh karena
itu, menjadi sebuah keharusan bahwa dalam jalannya kehidupan berbangsa
dan bernegara harus didasari oleh keberadaan suatu peraturan perundangan-
undangan. Pembuatan peraturan perundang-undangan pun tidak kemudian
dapat dilakukan sebebas-bebasnya melainkan harus memuat nilai-nilai yang
ada dalam UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia.
Apabila dilihat kembali ke masa-masa pembahasan UUD 1945 melalui
substansi perdebatannya yang tertuang dalam risalah sidang BPUPKI, maka
ada hal yang penting yang tidak boleh dilupakan dalam membicarakan
masalah ekonomi. Para pendiri bangsa ketika itu sepakat untuk menuangkan
dalam bab mengenai kesejahteraan sosial di Pasal 33 bahwa perekonomian
-
2
yang dianut oleh NKRI berasaskan kekeluargaan. Asas tersebut dianut semata-
mata untuk menyatukan negara dengan seluruh rakyat sehingga klausul
penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai
hajat hidup orang banyak serta sumber daya alam dalam sektor kehutanan
tidak diartikan sebagai hak memiliki melainkan hanya untuk melakukan
penyelenggaraan kehutanan dengan bertujuan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Indonesia sebagai sebuah negara yang terletak di khatulistiwa memiliki
sumber daya alam yang melimpah, salah satunya kayu yang merupakan hasil
dari sektor kehutanan. Pada tahun 1992 diadakan KTT Bumi di Rio de Janeiro
yang melahirkan konsensus mengenai prinsip-prinsip kehutanan yang
dituangkan dalam sebuah Non-Legally Binding Authorative Statement of
Principles for a Global Consensus on the Management, Conservation, and
Sustainable Development of all Types of Forest.1 Dengan diadakannya KTT
tersebut maka perhatian masyarakat dunia mengenai sektor kehutanan
semakin besar dan timbul kesadaran bahwa bahwa sektor kehutanan
merupakan sebuah sektor yang penting tidak hanya dalam konteks ekonomis,
melainkan juga dalam konteks ekologis dan sosial. Kemudian ada tahun 1999,
Indonesia menuangkan prinsip-prinsip kehutanan tersebut dalam Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menggantikan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan.
1 Sukardi, 2005, Illegal Logging Dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua), Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 3.
-
3
Dalam konsideran Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tersebut
dikatakan:
Bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang.
Lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 menegaskan kembali kedudukan negara dengan menyatakan bahwa,
Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Konsepsi penguasaan negara untuk kemakmuran rakyat
ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, dimana
kehutanan sebagai sebuah sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak
haruslah dikuasai oleh negara.
Sebagai sebuah sektor yang sedemikian penting, kehutanan memuat
tidak hanya dimensi ekonomis, melainkan juga dimensi ekologi dan sosial.
Hal tersebut sudah diakomodir oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
melalui ketentuan dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa:
Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:
a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;
b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;
c. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas
dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan,
-
4
dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan
e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Masalah yang kemudian timbul adalah sektor kehutanan merupakan
sektor yang fragile. Sebagai sebuah sektor dengan nilai ekonomis yang
tinggi maka terjadilah perlombaan dalam pemanfaatan sumber daya alam
sehingga cenderung mengarah pada eksploitasi. Inilah kemudian yang
memberi angin untuk terjadinya illegal logging. Steven Devenish selaku ketua
misi Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT) dari Uni
Eropa sebagaimana dikutip oleh Sukardi mengatakan bahwa illegal logging
adalah penyebab utama kerusakan hutan di Indonesia dan menjadi masalah
serius di dunia.2
Sejak tahun 1970-an dan 1990-an diperkirakan laju deforestasi di
Indonesia antara 0,6 dan 1,2 juta Ha (Sunderlin dan Resosudarmo, 1996) dan
dikabarkan meningkat menjadi sekitar 1,7 juta Ha per tahun pada 1985-1997
(FWI/GFW, 2001).3 Data terakhir dari Kementrian Kehutanan menyebutkan
bahwa luas deforestasi seluruh daratan Indonesia selama periode 2009 2011
adalah 1,35 juta ha atau angka deforestasi rerata tahunan 0,45 juta ha/th
meliputi angka deforestasi di dalam kawasan hutan sebesar 0,33 juta ha/th
(73,3 %) dan 0,12 juta ha/th (26,7 %) di luar kawasan hutan (areal penggunaan
2 Ibid. 3 Topo Santoso, et al., 2011, Panduan Investigasi dan Penuntutan dengan Pendekatan Hukum Terpadu, CIFOR, Bogor, hlm. 1.
-
5
lain).4 Berdasarkan data terakhir tersebut dapat diketahui bahwa selama
beberapa tahun belakangan angka deforestasi terus menurun dan 2 tahun ini
dikatakan oleh Kementerian Kehutanan sebagai penurunan terbesar angka
deforestasi yang pernah mencapai angka 3,5 juta Ha pada tahun 2006.5
Walaupun sudah ada penurunan, tetapi dari angka-angka tersebut diyakini
bahwa illegal logging masih menjadi salah satu penyebab terbesar dari
deforestasi.
Di Indonesia pengaturan mengenai tindak pidana Illegal Logging
dimuat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Walaupun istilah tersebut tidak secara eksplisit disebutkan, namun ada
beberapa rumusan delik yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana Illegal
Logging. Rumusan delik tersebut dapat dilihat dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e,
f, h, j, dan k. Isi Pasal tersebut diantaranya larangan menebang pohon atau
memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau
izin dari pejabat yang berwenang, larangan menerima, membeli atau menjual,
menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan
yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau
dipungut secara tidak sah, larangan mengangkut, menguasai, atau memiliki
hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan
sahnya hasil hutan, larangan membawa alat-alat berat dan atau alat-alat
4 Laporan Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Direktorat Jendral Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan dalam Buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode 2009 -2011. 5 Laju Deforestasi Ditekan, http://cetak.kompas.com/read/2012/07/24/04592326/laju.deforestasi.ditekan, diakses pada 23 Oktober 2012 pukul 15.45 WIB.
-
6
lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil
hutan tanpa izin pejabat yang berwenang, dan larangan membawa alat-alat
yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di
dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
Pasal-pasal ini bila dicermati belum mengakomodir kebutuhan akan
sebuah regulasi yang mampu menjerat semua pelaku yang terlibat dalam
tindak pidana illegal logging, terutama dalam kasus dimana ada peran serta
pejabat yang berwenang dalam mengeluarkan izin sehingga ada dimensi
korupsi dalam kasus tersebut.
Penelitian dari ICW pada tahun 2009 menunjukkan bahwa para pelaku
illegal logging yang diputus bersalah oleh Hakim umumnya merupakan
pelaku lapangan misalnya supir pengangkut kayu ilegal, mandor, dan
pemanen kayu.6 Sementara yang menjadi pelaku utama dari tindak pidana
tersebut sering tidak terungkap. Padahal kerapkali dalam terjadinya tindak
pidana illegal logging melibatkan pemodal besar dan pejabat pemerintah.
Selama masa pemerintahan Orde Baru, pengelolaan hutan di Indonesia
bersifat sentralistik. Dimana pengelolaan dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan besar melalui Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang dikeluarkan
oleh pemerintah pusat. Pasca dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah maka daerah memiliki
kewenangan yang lebih besar sesuai dengan asas desentralisasi, dekonsentrasi,
dan tugas pembantuan. Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22
6 Topo Santoso, et al., op.cit., hlm. 2.
-
7
Tahun 1999 disebutkan bahwa, Kewenangan Daerah mencakup kewenangan
dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik
luar negeri, pertahanan keamananan, peradilan, moneter dan fiskal, agama,
serta kewenangan bidang lain. Lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 7 ayat (2)
dikatakan bahwa:
Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.
Dalam hal ini bidang kehutanan tidak termasuk dalam bidang yang
dikecualikan dari kewenangan daerah. Bahkan disebutkan dengan tegas dalam
Pasal 10 ayat (1) bahwa, Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional
yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian
lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagai
pengejawantahan dari pasal tersebut salah satu kewenangan yang diberikan
kepada daerah adalah kewenangan untuk mengeluarkan Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) sebagaimana
diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000 tentang
Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan kayu Hutan
Tanaman dan Keputusan Menteri KehutananNomor: 21/Kpts-II/2001tentang
Kriteria dan Standar Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan
Tanaman pada Hutan Produksi.
-
8
Pada akhir tahun 2007, Tengku Azmun Jaafar selaku Bupati
Pelalawan, Riau ditangkap oleh KPK atas perbuatannya memberikan Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT)
kepada 15 perusahaan. Tengku Azmun Jaafar dijerat dengan dakwaan primer
Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64
KUHP yang berbunyi, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara [...]." Dakwaan
disusun secara subsidiaritas dengan dakwaan subsidair Pasal 3 jo. Pasal 18
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 KUHP yang berbunyi, "Setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara [...]"7
Setelah melewati persidangan di pengadilan tingkat pertama, tingkat
banding, dan tingkat kasasi, Tengku Azmun Jaafar akhirnya mendapatkan
putusan akhir yang bersifat inkracht dari Mahkamah Agung. Putusan tersebut
pada intinya menjatuhkan vonis penjara selama 11 tahun ditambah denda Rp
7 Kasus Posisi Tengku Azmun Jaafar, http://www.cifor.org/ilea/_ref/ina/indicators/cases/decision/Tengku_Azmun_Jaafar.htm, diakses 23 Oktober 2013.
-
9
500juta subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, ia diharuskan mengembalikan
aset ke negara sebesar Rp12,367 miliar subsider pidana penjara selama 4
tahun.8
Selain kasus Tengku Azmun Jaafar, terdapat pula beberapa kasus lain
yang berkaitan dengan korupsi pemberian izin di bidang kehutanan
diantaranya kasus pemberian Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) di Kalimantan
Timur, kasus pemberian IUPHHK-HT di Kabupaten Siak, serta kasus
pengesahan Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang berkaitan dengan pemberian
IUPHHK-HT di Provinsi Riau. Kasus pemberian IPK di Kalimantan Timur
melibatkan Suwarna AF selaku Gubernur Kalimantan Timur, Marthias selaku
pemilik Surya Dumai Group, serta Uu Aliyudin dan Robiyan selaku Kakanwil
Kehutanan. Sementara kasus pengesahan RKT melibatkan Asral Rahman,
Syuhada Tasman, dan Burhanudin Husin selaku Kadishut Riau serta Rusli
Zainal selaku Gubernur Riau. Khusus Rusli Zainal hingga kini statusnya
masih tersangka karena masih dalam proses penyidikan.
Kasus pemberian IUPHHK-HT di Kabupaten Siak oleh Arwin AS
selaku Bupati Siak merupakan kasus yang hampir serupa dengan kasus
Tengku Azmun dimana terpidana dalam kurun waktu antara April 2002
sampai dengan bulan April 2005 telah menerbitkan IUPHHK-HT kepada 5
perusahaan. Walaupun terdapat dissenting opinion dari Hakim anggota I dan
II yang mengatakan bahwa dakwaan JPU tidak terbukti karena Terdakwa
seharusnya dikenakan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
8 Ibid.
-
10
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tetapi pada akhirnya
Terdakwa dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana korupsi
bersama-sama sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primer.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengajukan
penulisan hukum yang akan memfokuskan pembahasan pada tindak pidana
korupsi dalam pemberian izin oleh pejabat yang mengakibatkan terjadinya
pelanggaran terhadap kaidah dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
dengan judul: TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH
PEJABAT DALAM PERIZINAN DI BIDANG KEHUTANAN (Studi
Kasus Pemberian IUPHHK-HT Oleh Tengku Azmun Jaafar Kepada 15
Perusahaan di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi
dalam pemberian IUPHHK-HT oleh pejabat yang berwenang dalam
perizinan di bidang kehutanan?
2. Apakah kendala penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi
dalam pemberian IUPHHK-HT oleh pejabat yang berwenang dalam
perizinan di bidang kehutanan?
-
11
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai penulis melalui penelitian ini dapat
digolongkan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu sebagai berikut:
1. Tujuan Objektif
a. Mengetahui penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi
dalam pemberian IUPHHK-HT oleh pejabat yang berwenang
dalam perizinan di bidang kehutanan.
b. Mengetahui kendala penegakan hukum terhadap tindak pidana
korupsi dalam pemberian IUPHHK-HT oleh pejabat yang
berwenang dalam perizinan di bidang kehutanan.
2. Tujuan Subjektif
a. Sebagai salah satu syarat akademis untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
b. Menambah wawasan dan memperluas pengetahuan serta
pemahaman penulis terhadap teori-teori hukum yang telah diterima
Penulis selama menempuh kuliah di Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini adalah:
1. Bagi Ilmu Pengetahuan
Penulis berharap bahwa hasil penelitian ini dapat berguna untuk
menambah wawasan dalam ilmu hukum, khususnya dalam bidang hukum
-
12
pidana karena penelitian ini membahas mengenai tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh pejabat dalam perizinan di bidang kehutanan.
Diharapkan penulisan hukum ini dapat dijadikan acuan sehingga
membawa manfaat bagi civitas akademika hukum.
2. Bagi Ilmu Praktis
Penulis berharap bahwa hasil penelitian ini dapat menjadi acuan
sekaligus evaluasi bagi penegak hukum agar dapat lebih maksimal dalam
melakukan penegakan hukum terutama terhadap tindak pidana korupsi dan
tindak pidana kehutanan sehingga dapat membawa kemajuan bagi
perkembangan hukum dan pembangunan demi peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan dan sepanjang pengetahuan penulis, belum
ada penelitian maupun karya-karya ilmiah sejenis yang membahas dan
menganalisis permasalahan yang sama persis dengan penelitian ini. Beberapa
penelitian dan karya ilmiah yang ada di Fakultas Hukum UGM hanya
membahas sebagian dari unsur penelitian ini dan dengan subjek kajian yang
berbeda, diantaranya:
1. Penelitian untuk penulisan hukum Strata 1 FH UGM tentang
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA
KORUPSI BERUPA GRATIFIKASI YANG MELIBATKAN
-
13
PEJABAT NEGARA yang dilakukan oleh Puspita Jatiningrum pada
tahun 2012 dengan rumusan masalah :
a) Bagaimanakah pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana
korupsi berupa gratifikasi yang melibatkan pejabat negara?
b) Apa kendala bagi jaksa dan hakim dalam melaksanakan
penegakan hukum tindak pidana korupsi berupa gratifikasi yang
melibatkan pejabat negara?
Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa tindak pidana
korupsi adalah pidana khusus dimana kewenangan penyelidikan dan
penyidikan selain dimiliki POLRI juga dimiliki oleh Kejaksaan.
Sebagai usaha untuk mencegah adanya tumpang tindih kewenangan,
maka ada kordinasi yang dilakukan. Dalam kasus yang menjerat
mantan Ketua DPRD Sleman, Jarot Subiyantoro dan Sekda kabupaten
Bantul, Gendut Sudarto KPK tidak berwenang menangani kasus
karena telah dilaksanakan oleh kejaksaan. Dalam kasus Jarot
Subiyantoro ada pra penuntutan sementara dalam kasus Gendut
Sudarto tidak ada. Selain itu disimpulkan pula bahwa dalam proses
pembuktian terbalik, Terdakwa tidak mampu membuktikan bahwa
uang yang diterimanya bukan merupakan gratifikasi. Disimpulkan
pula bahwa kendala yang dihadapi terdiri dari kendala teknis, kendala
birokrasi, dan kendala legislasi. Kendala teknis dialami karena alat
bukti yang minim, kendala birokrasi dialami karena penyidikan
terhadap aparatur negara harus mendapatkan izin dari atasan dan izin
-
14
tersebut umumnya lama diterbitkan, sementara kendala legislasi
dialami karena rumusan Pasal 12b yang tidak menyebutkan unsur
kerugian negara membuat Majelis Hakim tidak yakin.
Berdasarkan rumusan dan kesimpulan penelitian di atas maka
dapat dilihat bahwa fokus kajian dari penelitian tersebut berbeda
dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Penelitian yang akan
penulis lakukan akan memfokuskan mengenai tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh pejabat dalam perizinan di bidang kehutanan,
sementara penelitian di atas walaupun sama-sama berfokus pada
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat tetapi kasus yang
diangkat adalah tindak pidana korupsi berupa gratifikasi.
2. PENERAPAN UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI TERHADAP TINDAK PIDANA
PERBANKAN (STUDI KASUS SYAHRIL SABIRIN) yang
dilakukan oleh Ginandjar Koesoemardhani pada tahun 2009 dengan
rumusan masalah:
a) Bagaimana penyelesaian tindak pidana perbankan jika terjadi
perbarengan atau concursus dengan tindak pidana korupsi?
Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa untuk tindak pidana
di bidang perbankan yang terjadi concursus dengan tindak pidana
korupsi selain didakwa dengan tindak pidana korupsi juga hendaknya
ditambahkan dakwaan tindak pidana perbankan sepanjang telah
melanggar ketentuan pidana perbankan yang didukung dengan alat
-
15
bukti dan fakta yuridis yang kuat. Akan tetapi yang disayangkan
adalah sebagaian besar aparat penegak hukum memiliki pemahaman
yang lemah terkait hukum bisnis dan Undang-undang Perbankan.
Berdasarkan rumusan dan kesimpulan penelitian di atas maka
dapat dilihat bahwa fokus kajian dari penelitian tersebut berbeda
dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Penelitian yang akan
penulis lakukan akan memfokuskan mengenai tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh pejabat dalam perizinan di bidang kehutanan,
sementara penelitian di atas memfokuskan penelitiannya kepada
penerapan undang-undang tindak pidana korupsi terhadap tindak
pidana perbankan.
b) Penelitian untuk penulisan hukum Strata 1 FH UGM tentang
PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UNDANG-UNDANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN
UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI ASAS
PRADUGA TIDAK BERSALAH (PRESUMPTION OF
INNOCENCE) yang dilakukan oleh Bayu Dwi Putra pada tahun 2012
dengan rumusan masalah:
a) Bagaimana pengaturan dan penerapan sistem pembuktian
terbalik dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi serta Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang?
-
16
b) Apakah pelaksanaan sistem pembuktian terbalik dalam tindak
pidana korupsi dan pencucian uang di Indonesia bertentangan
dengan asas praduga tidak bersalah?
Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa pengaturan
pembuktian terbalik sudah dicantumkan di dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang formulasinya disempurnakan dengan adanya perubahan melalui
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Dalam Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003
tentang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian
Uang juga sudah mengatur secara eksplisit mengenai pembuktian
terbalik. Selain itu juga disimpulkan bahwa antara sistem pembuktian
terbalik dan asas praduga tidak bersalah dapat berjalan saling
beriringan dan melengkapi.
Berdasarkan rumusan dan kesimpulan penelitian di atas maka dapat
dilihat bahwa fokus kajian dari penelitian tersebut berbeda dengan
penelitian yang akan penulis lakukan. Penelitian yang akan penulis
lakukan akan memfokuskan pada tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh pejabat dalam hal pemberian izin di bidang kehutanan,
sementara penelitian di atas memfokuskan pada pembuktian terbalik
baik dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
maupun Undang-Undang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak
Pidana Pencucian Uang ditinjau dari asas Presumption of Innocence.
-
17
Dengan demikian beberapa penulisan hukum tersebut memiliki
perbedaan dengan penulisan hukum yang dilakukan penulis baik dari segi
masalah yang diteliti, lokasi penelitian, maupun subjek yang diteliti. Dalam
hal ini penulis melakukan studi kasus pemberian IUPHHK-HT oleh Tengku
Azmun Jaafar dan sebagai hasil akhirnya penulis akan mengungkapkan
mengenai penegakan hukum dan kendala dalam penegakan hukum terhadap
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat dalam perizinan di bidang
kehutanan. Dengan banyaknya perbedaan tersebut, maka penulis dapat
menyatakan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini adalah asli.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan ini disusun dalam 5 (lima) bab yang secara sistematis akan
menguraikan pembahasan terkait rumusan masalah yang menjadi obyek dari
penelitian ini. Adapun kerangka dan sistematika dari penulisan hukum ini
adalah sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini memuat beberapa sub bab, yaitu latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, dan
sistematika penulisan
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini memuat beberapa sub bab, tinjauan umum mengenai tindak pidana,
tindak pidana korupsi, tinjauan umum mengenai perizinan di bidang
kehutanan, dan penegakan hukum pidana.
-
18
BAB III: METODE PENELITIAN
Bab ini memuat beberapa sub bab, yaitu sifat penelitian dan pendekatan, jenis
data, lokasi penelitian, subjek penelitian, alat pengumpul data, teknik
pengumpulan data, serta analisis data.
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini memuat 3 (tiga) sub bab, yaitu kasus pemberian IUPHHK-HT oleh
Tengku Azmun Jaafar di Kabupaten Pelalawan, penegakan hukum terhadap
tindak pidana korupsi dalam pemberian IUPHHK-HT, dan kendala
penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dalam pemberian
IUPHHK-HT.
BAB V: PENUTUP
Bab ini memuat 2 (dua) sub bab, yaitu kesimpulan dan saran.