bab i - pendahuluan

18
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Dalam usaha mencapai salah satu tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu memajukan kesejahteraan umum maka dilakukanlah beragam bentuk pembangunan untuk memajukan ekonomi. Indonesia merupakan negara hukum dan hal tersebut tercantum dengan jelas dalam batang tubuh UUD 1945 yaitu dalam Pasal 1 ayat (3). Oleh karena itu, menjadi sebuah keharusan bahwa dalam jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara harus didasari oleh keberadaan suatu peraturan perundangan- undangan. Pembuatan peraturan perundang-undangan pun tidak kemudian dapat dilakukan sebebas-bebasnya melainkan harus memuat nilai-nilai yang ada dalam UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia. Apabila dilihat kembali ke masa-masa pembahasan UUD 1945 melalui substansi perdebatannya yang tertuang dalam risalah sidang BPUPKI, maka ada hal yang penting yang tidak boleh dilupakan dalam membicarakan masalah ekonomi. Para pendiri bangsa ketika itu sepakat untuk menuangkan dalam bab mengenai kesejahteraan sosial di Pasal 33 bahwa perekonomian

Upload: azizah-aj-amalia

Post on 19-Oct-2015

9 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

BAB I dari Penulisan Hukum berjudul "Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan Oleh Pejabat dalam perizinan di Bidang Kehutanan"

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana

    tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 adalah untuk melindungi segenap

    bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan

    kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

    melaksanakan ketertiban dunia. Dalam usaha mencapai salah satu tujuan dari

    Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu memajukan kesejahteraan umum

    maka dilakukanlah beragam bentuk pembangunan untuk memajukan ekonomi.

    Indonesia merupakan negara hukum dan hal tersebut tercantum dengan

    jelas dalam batang tubuh UUD 1945 yaitu dalam Pasal 1 ayat (3). Oleh karena

    itu, menjadi sebuah keharusan bahwa dalam jalannya kehidupan berbangsa

    dan bernegara harus didasari oleh keberadaan suatu peraturan perundangan-

    undangan. Pembuatan peraturan perundang-undangan pun tidak kemudian

    dapat dilakukan sebebas-bebasnya melainkan harus memuat nilai-nilai yang

    ada dalam UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia.

    Apabila dilihat kembali ke masa-masa pembahasan UUD 1945 melalui

    substansi perdebatannya yang tertuang dalam risalah sidang BPUPKI, maka

    ada hal yang penting yang tidak boleh dilupakan dalam membicarakan

    masalah ekonomi. Para pendiri bangsa ketika itu sepakat untuk menuangkan

    dalam bab mengenai kesejahteraan sosial di Pasal 33 bahwa perekonomian

  • 2

    yang dianut oleh NKRI berasaskan kekeluargaan. Asas tersebut dianut semata-

    mata untuk menyatukan negara dengan seluruh rakyat sehingga klausul

    penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai

    hajat hidup orang banyak serta sumber daya alam dalam sektor kehutanan

    tidak diartikan sebagai hak memiliki melainkan hanya untuk melakukan

    penyelenggaraan kehutanan dengan bertujuan untuk sebesar-besar

    kemakmuran rakyat.

    Indonesia sebagai sebuah negara yang terletak di khatulistiwa memiliki

    sumber daya alam yang melimpah, salah satunya kayu yang merupakan hasil

    dari sektor kehutanan. Pada tahun 1992 diadakan KTT Bumi di Rio de Janeiro

    yang melahirkan konsensus mengenai prinsip-prinsip kehutanan yang

    dituangkan dalam sebuah Non-Legally Binding Authorative Statement of

    Principles for a Global Consensus on the Management, Conservation, and

    Sustainable Development of all Types of Forest.1 Dengan diadakannya KTT

    tersebut maka perhatian masyarakat dunia mengenai sektor kehutanan

    semakin besar dan timbul kesadaran bahwa bahwa sektor kehutanan

    merupakan sebuah sektor yang penting tidak hanya dalam konteks ekonomis,

    melainkan juga dalam konteks ekologis dan sosial. Kemudian ada tahun 1999,

    Indonesia menuangkan prinsip-prinsip kehutanan tersebut dalam Undang-

    Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menggantikan

    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

    Kehutanan.

    1 Sukardi, 2005, Illegal Logging Dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua), Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 3.

  • 3

    Dalam konsideran Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tersebut

    dikatakan:

    Bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang.

    Lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun

    1999 menegaskan kembali kedudukan negara dengan menyatakan bahwa,

    Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam

    yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar

    kemakmuran rakyat. Konsepsi penguasaan negara untuk kemakmuran rakyat

    ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, dimana

    kehutanan sebagai sebuah sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak

    haruslah dikuasai oleh negara.

    Sebagai sebuah sektor yang sedemikian penting, kehutanan memuat

    tidak hanya dimensi ekonomis, melainkan juga dimensi ekologi dan sosial.

    Hal tersebut sudah diakomodir oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

    melalui ketentuan dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa:

    Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:

    a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;

    b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;

    c. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas

    dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan,

  • 4

    dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan

    e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

    Masalah yang kemudian timbul adalah sektor kehutanan merupakan

    sektor yang fragile. Sebagai sebuah sektor dengan nilai ekonomis yang

    tinggi maka terjadilah perlombaan dalam pemanfaatan sumber daya alam

    sehingga cenderung mengarah pada eksploitasi. Inilah kemudian yang

    memberi angin untuk terjadinya illegal logging. Steven Devenish selaku ketua

    misi Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT) dari Uni

    Eropa sebagaimana dikutip oleh Sukardi mengatakan bahwa illegal logging

    adalah penyebab utama kerusakan hutan di Indonesia dan menjadi masalah

    serius di dunia.2

    Sejak tahun 1970-an dan 1990-an diperkirakan laju deforestasi di

    Indonesia antara 0,6 dan 1,2 juta Ha (Sunderlin dan Resosudarmo, 1996) dan

    dikabarkan meningkat menjadi sekitar 1,7 juta Ha per tahun pada 1985-1997

    (FWI/GFW, 2001).3 Data terakhir dari Kementrian Kehutanan menyebutkan

    bahwa luas deforestasi seluruh daratan Indonesia selama periode 2009 2011

    adalah 1,35 juta ha atau angka deforestasi rerata tahunan 0,45 juta ha/th

    meliputi angka deforestasi di dalam kawasan hutan sebesar 0,33 juta ha/th

    (73,3 %) dan 0,12 juta ha/th (26,7 %) di luar kawasan hutan (areal penggunaan

    2 Ibid. 3 Topo Santoso, et al., 2011, Panduan Investigasi dan Penuntutan dengan Pendekatan Hukum Terpadu, CIFOR, Bogor, hlm. 1.

  • 5

    lain).4 Berdasarkan data terakhir tersebut dapat diketahui bahwa selama

    beberapa tahun belakangan angka deforestasi terus menurun dan 2 tahun ini

    dikatakan oleh Kementerian Kehutanan sebagai penurunan terbesar angka

    deforestasi yang pernah mencapai angka 3,5 juta Ha pada tahun 2006.5

    Walaupun sudah ada penurunan, tetapi dari angka-angka tersebut diyakini

    bahwa illegal logging masih menjadi salah satu penyebab terbesar dari

    deforestasi.

    Di Indonesia pengaturan mengenai tindak pidana Illegal Logging

    dimuat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

    Walaupun istilah tersebut tidak secara eksplisit disebutkan, namun ada

    beberapa rumusan delik yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana Illegal

    Logging. Rumusan delik tersebut dapat dilihat dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e,

    f, h, j, dan k. Isi Pasal tersebut diantaranya larangan menebang pohon atau

    memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau

    izin dari pejabat yang berwenang, larangan menerima, membeli atau menjual,

    menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan

    yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau

    dipungut secara tidak sah, larangan mengangkut, menguasai, atau memiliki

    hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan

    sahnya hasil hutan, larangan membawa alat-alat berat dan atau alat-alat

    4 Laporan Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Direktorat Jendral Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan dalam Buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode 2009 -2011. 5 Laju Deforestasi Ditekan, http://cetak.kompas.com/read/2012/07/24/04592326/laju.deforestasi.ditekan, diakses pada 23 Oktober 2012 pukul 15.45 WIB.

  • 6

    lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil

    hutan tanpa izin pejabat yang berwenang, dan larangan membawa alat-alat

    yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di

    dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.

    Pasal-pasal ini bila dicermati belum mengakomodir kebutuhan akan

    sebuah regulasi yang mampu menjerat semua pelaku yang terlibat dalam

    tindak pidana illegal logging, terutama dalam kasus dimana ada peran serta

    pejabat yang berwenang dalam mengeluarkan izin sehingga ada dimensi

    korupsi dalam kasus tersebut.

    Penelitian dari ICW pada tahun 2009 menunjukkan bahwa para pelaku

    illegal logging yang diputus bersalah oleh Hakim umumnya merupakan

    pelaku lapangan misalnya supir pengangkut kayu ilegal, mandor, dan

    pemanen kayu.6 Sementara yang menjadi pelaku utama dari tindak pidana

    tersebut sering tidak terungkap. Padahal kerapkali dalam terjadinya tindak

    pidana illegal logging melibatkan pemodal besar dan pejabat pemerintah.

    Selama masa pemerintahan Orde Baru, pengelolaan hutan di Indonesia

    bersifat sentralistik. Dimana pengelolaan dilakukan oleh perusahaan-

    perusahaan besar melalui Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang dikeluarkan

    oleh pemerintah pusat. Pasca dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22

    Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah maka daerah memiliki

    kewenangan yang lebih besar sesuai dengan asas desentralisasi, dekonsentrasi,

    dan tugas pembantuan. Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22

    6 Topo Santoso, et al., op.cit., hlm. 2.

  • 7

    Tahun 1999 disebutkan bahwa, Kewenangan Daerah mencakup kewenangan

    dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik

    luar negeri, pertahanan keamananan, peradilan, moneter dan fiskal, agama,

    serta kewenangan bidang lain. Lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 7 ayat (2)

    dikatakan bahwa:

    Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.

    Dalam hal ini bidang kehutanan tidak termasuk dalam bidang yang

    dikecualikan dari kewenangan daerah. Bahkan disebutkan dengan tegas dalam

    Pasal 10 ayat (1) bahwa, Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional

    yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian

    lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagai

    pengejawantahan dari pasal tersebut salah satu kewenangan yang diberikan

    kepada daerah adalah kewenangan untuk mengeluarkan Izin Usaha

    Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) sebagaimana

    diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000 tentang

    Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan kayu Hutan

    Tanaman dan Keputusan Menteri KehutananNomor: 21/Kpts-II/2001tentang

    Kriteria dan Standar Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan

    Tanaman pada Hutan Produksi.

  • 8

    Pada akhir tahun 2007, Tengku Azmun Jaafar selaku Bupati

    Pelalawan, Riau ditangkap oleh KPK atas perbuatannya memberikan Izin

    Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT)

    kepada 15 perusahaan. Tengku Azmun Jaafar dijerat dengan dakwaan primer

    Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 sebagaimana

    diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64

    KUHP yang berbunyi, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan

    perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang

    dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara [...]." Dakwaan

    disusun secara subsidiaritas dengan dakwaan subsidair Pasal 3 jo. Pasal 18

    Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-

    Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

    Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 KUHP yang berbunyi, "Setiap

    orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

    suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang

    ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan

    negara atau perekonomian negara [...]"7

    Setelah melewati persidangan di pengadilan tingkat pertama, tingkat

    banding, dan tingkat kasasi, Tengku Azmun Jaafar akhirnya mendapatkan

    putusan akhir yang bersifat inkracht dari Mahkamah Agung. Putusan tersebut

    pada intinya menjatuhkan vonis penjara selama 11 tahun ditambah denda Rp

    7 Kasus Posisi Tengku Azmun Jaafar, http://www.cifor.org/ilea/_ref/ina/indicators/cases/decision/Tengku_Azmun_Jaafar.htm, diakses 23 Oktober 2013.

  • 9

    500juta subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, ia diharuskan mengembalikan

    aset ke negara sebesar Rp12,367 miliar subsider pidana penjara selama 4

    tahun.8

    Selain kasus Tengku Azmun Jaafar, terdapat pula beberapa kasus lain

    yang berkaitan dengan korupsi pemberian izin di bidang kehutanan

    diantaranya kasus pemberian Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) di Kalimantan

    Timur, kasus pemberian IUPHHK-HT di Kabupaten Siak, serta kasus

    pengesahan Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang berkaitan dengan pemberian

    IUPHHK-HT di Provinsi Riau. Kasus pemberian IPK di Kalimantan Timur

    melibatkan Suwarna AF selaku Gubernur Kalimantan Timur, Marthias selaku

    pemilik Surya Dumai Group, serta Uu Aliyudin dan Robiyan selaku Kakanwil

    Kehutanan. Sementara kasus pengesahan RKT melibatkan Asral Rahman,

    Syuhada Tasman, dan Burhanudin Husin selaku Kadishut Riau serta Rusli

    Zainal selaku Gubernur Riau. Khusus Rusli Zainal hingga kini statusnya

    masih tersangka karena masih dalam proses penyidikan.

    Kasus pemberian IUPHHK-HT di Kabupaten Siak oleh Arwin AS

    selaku Bupati Siak merupakan kasus yang hampir serupa dengan kasus

    Tengku Azmun dimana terpidana dalam kurun waktu antara April 2002

    sampai dengan bulan April 2005 telah menerbitkan IUPHHK-HT kepada 5

    perusahaan. Walaupun terdapat dissenting opinion dari Hakim anggota I dan

    II yang mengatakan bahwa dakwaan JPU tidak terbukti karena Terdakwa

    seharusnya dikenakan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

    8 Ibid.

  • 10

    tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20

    Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

    tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tetapi pada akhirnya

    Terdakwa dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana korupsi

    bersama-sama sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primer.

    Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengajukan

    penulisan hukum yang akan memfokuskan pembahasan pada tindak pidana

    korupsi dalam pemberian izin oleh pejabat yang mengakibatkan terjadinya

    pelanggaran terhadap kaidah dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

    dengan judul: TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH

    PEJABAT DALAM PERIZINAN DI BIDANG KEHUTANAN (Studi

    Kasus Pemberian IUPHHK-HT Oleh Tengku Azmun Jaafar Kepada 15

    Perusahaan di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau).

    B. Rumusan Masalah

    1. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi

    dalam pemberian IUPHHK-HT oleh pejabat yang berwenang dalam

    perizinan di bidang kehutanan?

    2. Apakah kendala penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi

    dalam pemberian IUPHHK-HT oleh pejabat yang berwenang dalam

    perizinan di bidang kehutanan?

  • 11

    C. Tujuan Penelitian

    Tujuan yang ingin dicapai penulis melalui penelitian ini dapat

    digolongkan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu sebagai berikut:

    1. Tujuan Objektif

    a. Mengetahui penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi

    dalam pemberian IUPHHK-HT oleh pejabat yang berwenang

    dalam perizinan di bidang kehutanan.

    b. Mengetahui kendala penegakan hukum terhadap tindak pidana

    korupsi dalam pemberian IUPHHK-HT oleh pejabat yang

    berwenang dalam perizinan di bidang kehutanan.

    2. Tujuan Subjektif

    a. Sebagai salah satu syarat akademis untuk memperoleh gelar

    Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

    b. Menambah wawasan dan memperluas pengetahuan serta

    pemahaman penulis terhadap teori-teori hukum yang telah diterima

    Penulis selama menempuh kuliah di Fakultas Hukum Universitas

    Gadjah Mada Yogyakarta.

    D. Manfaat Penelitian

    Manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini adalah:

    1. Bagi Ilmu Pengetahuan

    Penulis berharap bahwa hasil penelitian ini dapat berguna untuk

    menambah wawasan dalam ilmu hukum, khususnya dalam bidang hukum

  • 12

    pidana karena penelitian ini membahas mengenai tindak pidana korupsi

    yang dilakukan oleh pejabat dalam perizinan di bidang kehutanan.

    Diharapkan penulisan hukum ini dapat dijadikan acuan sehingga

    membawa manfaat bagi civitas akademika hukum.

    2. Bagi Ilmu Praktis

    Penulis berharap bahwa hasil penelitian ini dapat menjadi acuan

    sekaligus evaluasi bagi penegak hukum agar dapat lebih maksimal dalam

    melakukan penegakan hukum terutama terhadap tindak pidana korupsi dan

    tindak pidana kehutanan sehingga dapat membawa kemajuan bagi

    perkembangan hukum dan pembangunan demi peningkatan kesejahteraan

    masyarakat.

    E. Keaslian Penelitian

    Berdasarkan pengamatan dan sepanjang pengetahuan penulis, belum

    ada penelitian maupun karya-karya ilmiah sejenis yang membahas dan

    menganalisis permasalahan yang sama persis dengan penelitian ini. Beberapa

    penelitian dan karya ilmiah yang ada di Fakultas Hukum UGM hanya

    membahas sebagian dari unsur penelitian ini dan dengan subjek kajian yang

    berbeda, diantaranya:

    1. Penelitian untuk penulisan hukum Strata 1 FH UGM tentang

    PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

    KORUPSI BERUPA GRATIFIKASI YANG MELIBATKAN

  • 13

    PEJABAT NEGARA yang dilakukan oleh Puspita Jatiningrum pada

    tahun 2012 dengan rumusan masalah :

    a) Bagaimanakah pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana

    korupsi berupa gratifikasi yang melibatkan pejabat negara?

    b) Apa kendala bagi jaksa dan hakim dalam melaksanakan

    penegakan hukum tindak pidana korupsi berupa gratifikasi yang

    melibatkan pejabat negara?

    Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa tindak pidana

    korupsi adalah pidana khusus dimana kewenangan penyelidikan dan

    penyidikan selain dimiliki POLRI juga dimiliki oleh Kejaksaan.

    Sebagai usaha untuk mencegah adanya tumpang tindih kewenangan,

    maka ada kordinasi yang dilakukan. Dalam kasus yang menjerat

    mantan Ketua DPRD Sleman, Jarot Subiyantoro dan Sekda kabupaten

    Bantul, Gendut Sudarto KPK tidak berwenang menangani kasus

    karena telah dilaksanakan oleh kejaksaan. Dalam kasus Jarot

    Subiyantoro ada pra penuntutan sementara dalam kasus Gendut

    Sudarto tidak ada. Selain itu disimpulkan pula bahwa dalam proses

    pembuktian terbalik, Terdakwa tidak mampu membuktikan bahwa

    uang yang diterimanya bukan merupakan gratifikasi. Disimpulkan

    pula bahwa kendala yang dihadapi terdiri dari kendala teknis, kendala

    birokrasi, dan kendala legislasi. Kendala teknis dialami karena alat

    bukti yang minim, kendala birokrasi dialami karena penyidikan

    terhadap aparatur negara harus mendapatkan izin dari atasan dan izin

  • 14

    tersebut umumnya lama diterbitkan, sementara kendala legislasi

    dialami karena rumusan Pasal 12b yang tidak menyebutkan unsur

    kerugian negara membuat Majelis Hakim tidak yakin.

    Berdasarkan rumusan dan kesimpulan penelitian di atas maka

    dapat dilihat bahwa fokus kajian dari penelitian tersebut berbeda

    dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Penelitian yang akan

    penulis lakukan akan memfokuskan mengenai tindak pidana korupsi

    yang dilakukan oleh pejabat dalam perizinan di bidang kehutanan,

    sementara penelitian di atas walaupun sama-sama berfokus pada

    tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat tetapi kasus yang

    diangkat adalah tindak pidana korupsi berupa gratifikasi.

    2. PENERAPAN UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK

    PIDANA KORUPSI TERHADAP TINDAK PIDANA

    PERBANKAN (STUDI KASUS SYAHRIL SABIRIN) yang

    dilakukan oleh Ginandjar Koesoemardhani pada tahun 2009 dengan

    rumusan masalah:

    a) Bagaimana penyelesaian tindak pidana perbankan jika terjadi

    perbarengan atau concursus dengan tindak pidana korupsi?

    Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa untuk tindak pidana

    di bidang perbankan yang terjadi concursus dengan tindak pidana

    korupsi selain didakwa dengan tindak pidana korupsi juga hendaknya

    ditambahkan dakwaan tindak pidana perbankan sepanjang telah

    melanggar ketentuan pidana perbankan yang didukung dengan alat

  • 15

    bukti dan fakta yuridis yang kuat. Akan tetapi yang disayangkan

    adalah sebagaian besar aparat penegak hukum memiliki pemahaman

    yang lemah terkait hukum bisnis dan Undang-undang Perbankan.

    Berdasarkan rumusan dan kesimpulan penelitian di atas maka

    dapat dilihat bahwa fokus kajian dari penelitian tersebut berbeda

    dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Penelitian yang akan

    penulis lakukan akan memfokuskan mengenai tindak pidana korupsi

    yang dilakukan oleh pejabat dalam perizinan di bidang kehutanan,

    sementara penelitian di atas memfokuskan penelitiannya kepada

    penerapan undang-undang tindak pidana korupsi terhadap tindak

    pidana perbankan.

    b) Penelitian untuk penulisan hukum Strata 1 FH UGM tentang

    PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UNDANG-UNDANG

    PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN

    UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN

    TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI ASAS

    PRADUGA TIDAK BERSALAH (PRESUMPTION OF

    INNOCENCE) yang dilakukan oleh Bayu Dwi Putra pada tahun 2012

    dengan rumusan masalah:

    a) Bagaimana pengaturan dan penerapan sistem pembuktian

    terbalik dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana

    Korupsi serta Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan

    Tindak Pidana Pencucian Uang?

  • 16

    b) Apakah pelaksanaan sistem pembuktian terbalik dalam tindak

    pidana korupsi dan pencucian uang di Indonesia bertentangan

    dengan asas praduga tidak bersalah?

    Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa pengaturan

    pembuktian terbalik sudah dicantumkan di dalam Undang-Undang

    Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

    yang formulasinya disempurnakan dengan adanya perubahan melalui

    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Dalam Undang-Undang

    Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003

    tentang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian

    Uang juga sudah mengatur secara eksplisit mengenai pembuktian

    terbalik. Selain itu juga disimpulkan bahwa antara sistem pembuktian

    terbalik dan asas praduga tidak bersalah dapat berjalan saling

    beriringan dan melengkapi.

    Berdasarkan rumusan dan kesimpulan penelitian di atas maka dapat

    dilihat bahwa fokus kajian dari penelitian tersebut berbeda dengan

    penelitian yang akan penulis lakukan. Penelitian yang akan penulis

    lakukan akan memfokuskan pada tindak pidana korupsi yang

    dilakukan oleh pejabat dalam hal pemberian izin di bidang kehutanan,

    sementara penelitian di atas memfokuskan pada pembuktian terbalik

    baik dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

    maupun Undang-Undang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak

    Pidana Pencucian Uang ditinjau dari asas Presumption of Innocence.

  • 17

    Dengan demikian beberapa penulisan hukum tersebut memiliki

    perbedaan dengan penulisan hukum yang dilakukan penulis baik dari segi

    masalah yang diteliti, lokasi penelitian, maupun subjek yang diteliti. Dalam

    hal ini penulis melakukan studi kasus pemberian IUPHHK-HT oleh Tengku

    Azmun Jaafar dan sebagai hasil akhirnya penulis akan mengungkapkan

    mengenai penegakan hukum dan kendala dalam penegakan hukum terhadap

    tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat dalam perizinan di bidang

    kehutanan. Dengan banyaknya perbedaan tersebut, maka penulis dapat

    menyatakan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini adalah asli.

    F. Sistematika Penulisan

    Penulisan ini disusun dalam 5 (lima) bab yang secara sistematis akan

    menguraikan pembahasan terkait rumusan masalah yang menjadi obyek dari

    penelitian ini. Adapun kerangka dan sistematika dari penulisan hukum ini

    adalah sebagai berikut:

    BAB I: PENDAHULUAN

    Bab ini memuat beberapa sub bab, yaitu latar belakang masalah, rumusan

    masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, dan

    sistematika penulisan

    BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

    Bab ini memuat beberapa sub bab, tinjauan umum mengenai tindak pidana,

    tindak pidana korupsi, tinjauan umum mengenai perizinan di bidang

    kehutanan, dan penegakan hukum pidana.

  • 18

    BAB III: METODE PENELITIAN

    Bab ini memuat beberapa sub bab, yaitu sifat penelitian dan pendekatan, jenis

    data, lokasi penelitian, subjek penelitian, alat pengumpul data, teknik

    pengumpulan data, serta analisis data.

    BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    Bab ini memuat 3 (tiga) sub bab, yaitu kasus pemberian IUPHHK-HT oleh

    Tengku Azmun Jaafar di Kabupaten Pelalawan, penegakan hukum terhadap

    tindak pidana korupsi dalam pemberian IUPHHK-HT, dan kendala

    penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dalam pemberian

    IUPHHK-HT.

    BAB V: PENUTUP

    Bab ini memuat 2 (dua) sub bab, yaitu kesimpulan dan saran.