bab i pendahuluan 1.1 latar...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengangguran merupakan masalah yang serius dan merefleksikan kurangnya
pemanfaatan tenaga kerja di sebuah negara. Tingginya tingkat pengangguran tidak
hanya menghambat seseorang dalam mencapai tingkat kepuasannya tetapi juga
memberikan penderitaan ekonomi bagi orang tersebut. Pengangguran merupakan
masalah utama yang dihadapi oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara-
negara dunia ketiga. Terdapat berbagai macam definisi dan konsep dari pengangguran.
Dalam konsep yang sederhana pengangguran adalah mereka yang tidak memiliki
pekerjaan atau mereka yang tergolong angkatan kerja1 tetapi sedang mencari pekerjaan
(A. Kamran, dkk. 2013).
Mengacu pada rekomendasi International Labour Organization (ILO) dalam
buku “Surveys of Ecomenomically Active Population, Employment, Unemployment and
Underemployment: An ILO Manual Concepts and Methods” (Hussmann, dkk. 1990
dalam Mudrajad. 2013), pengangguran adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan,
1 Angkatan kerja menurut Badan Pusat Statistik adalah penduduk usia kerja (15 tahun atau lebih) yang
bekerja, atau punya pekerjaan namun sedang tidak bekerja dan pengangguran.
atau mereka yang mempersiapkan usaha, atau mereka yang tidak mencari pekerjaan
karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan.
Pengangguran merupakan salah satu penyakit makroekonomi yang diderita oleh
hampir semua negara di dunia. Terdapat dua penyakit makroekonomi, pertama
pengangguran dan kedua inflasi. Dalam rangka menciptakan pembangunan yang
berkualitas, dua penyakit makroekonomi tersebut harus mampu disembuhkan. Indonesia
pada tahun 2013 menduduki peringkat kedua tingkat penganguran tertinggi di negara-
negara ASEAN (Grafik 1.1).
Grafik 1.1 Tingkat Pengangguran di Negara ASEAN tahun 2013
Berita Resmi Statistik yang dilansir oleh Badan Pusat Statisik (BPS)
menyebutkan bahwa jumlah angkatan kerja di Indonesia pada bulan Februari 2014
Sumber: Worldbank (2014)
mencapai 125,3 juta orang, bertambah sebanyak 5,3 juta orang dari sebelumnya pada
bulan Agustus 2013 sebanyak 120,2 juta orang atau bertambah sebanyak 1,7 juta orang
dibanding Februari 2013. Naiknya jumlah angkatan kerja di Indonesia merefleksikan
perbaikan dengan bertambahnya presentase tingkat partisipasi angkatan kerja dari
sebelumnya bulan Agustus 2013 66,8 persen menjadi 69,2 persen di bulan Februari
2014 dan penurunan presentase tingkat pengangguran terbuka2 pada Februari 2014
mencapai 5,70 persen, setelah sebelumnya 6,17 persen pada bulan Agustus 2013.
Tabel 1.1 Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Menurut Jenis Kegiatan Utama, 2012-2014
Jenis Kegiatan Utama Satuan 2012 2013*) 2014**)
Februari Agustus Februari Agustus Februari
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. Angkatan Kerja Juta
orang 122,74 120,32 123,64 120,17 125,32
Bekerja Juta
orang 115,08 113,01 116,44 112,76 118,17
Penganggur Juta
orang 7,66 7,31 7,20 7,41 7,15
2. Tingkat Partisipasi Angkatan
Kerja
% 69,60 67,68 69,16 66,77 69,17
3. Tingkat Pengangguran Terbuka % 6,24 6,07 5,82 6,17 5,70
4. Pekerja tidak penuh Juta
orang 36,48 35,17 36,65 37,74 36,97
Setengah Penganggur Juta
orang 14,88 12,74 13,72 11,00 10,57
2 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurut Badan Pusat Statistik adalah presentase jumlah
pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja.
Paruh Waktu Juta
orang 21,60 22,43 22,93 26,74 26,40
*2012-2013 merupakan hasil backcasting dari penimbang Proyeksi Penduduk yang digunakan Februari 2014
** Estimasi ketenagakerjaan Februari 2014 menggunakan penimbang Proyeksi Penduduk
Sumber: Badan Pusat Statistika (2014)
Penurunan tingkat presentase pengangguran terbuka menunjukan bahwa 5,70
persen dari angkatan kerja di Indonesia tidak mampu diserap oleh lapangan pekerjaan.
Penyebab keterbatasan lapangan pekerjaan dalam menyerap tenaga kerja dikarenakan
adanya ketidakcocokkan antara permintaan tenaga kerja dengan penawaran tenaga kerja
(Ehrenbergh, 2009). Penyebab munculnya pengangguran selain karena faktor internal
dari pasar tenaga kerja, juga dikarenakan adanya faktor eksternal, biasanya dikarenakan
masuknya teknologi mutakhir ke dalam negeri, kompetisi yang sengit antar para
pelamar, serta kebijakan pemerintah. Faktor-faktor eksternal inilah yang menghambat
penyerapan angkatan kerja.
Linbeck (1999) menyatakan bahwa pengangguran merupakan akibat dari
kesalahan kelembagaan dalam instansi pemerintah maupun swasta yang berimbas pada
pengaturan pasar, demografis, hukum dan regulasi. Pentingnya fitur kelembagaan dalam
kaitannya dengan pengangguran berimplikasi pada permintaan dan penawaran tenaga
kerja, pengaturan upah, hingga efektifitas pencarian dan pencocokan di pasar tenaga
kerja.
Faktor apapun yang menyebabkan angka pengangguran sulit di reduksi,
mendesak pemerintah untuk fokus dalam menciptakan peluang lapangan pekerjaan
dengan menggunakan faktor-faktor produksi yang tersedia (Maqbool, 2013). Angka
penduduk yang tinggi erat kaitannya dengan masalah yang mengkhawatirkan bagi
negara berkembang, termasuk Indonesia. Beruntungnya, Indonesia mampu
mengendalikan dan menurunkan pertumbuhan populasi sebesar 1,29 persen di tahun
2011, turun 1,25 persen di tahun 2012, dan pada akhir 2013 berada di posisi 1,21 persen
(Worldbank, 2013).
Banyak ekonom percaya pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator
yang sangat penting dalam menciptakan lapangan pekerjaan. Hal ini dikarenakan
permintaan dari tenaga kerja merupakan turunan dari permintaan konsumen terhadap
barang dan jasa yang diproduksi oleh satu unit tenaga kerja (Safrida, 1999 dalam
Yaumidin, 2012). Sehingga hal ini menjelaskan hubungan positif antara pertumbuhan
ekonomi dengan penyerapan tenaga kerja, atau hubungan negatif antara pertumbuhan
ekonomi dengan tingkat pengangguran di Indonesia.
Grafik 1.2 menunjukan trend pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran
di Indonesia yang cenderung pergerakannya sama. Pada tahun 2002-2006 pertumbuhan
ekonomi dan tingkat pengangguran memiliki trend yang positif. Di tahun 2002, tingkat
penganguran di Indonesia masih tinggi di posisi 9,10 persen dikarenakan proses
pemulihan dari krisis 1998. Selanjutnya di tahun 2005, tingkat pengangguran naik 1,3
persen dari tahun sebelumnya, sebesar 11,20 persen. Naiknya angka pengangguran di
Indonesia pada tahun 2005 disebabkan karena naiknya harga Bahan Bakar Minyak
(BBM). Namun pada tahun 2007-2013 pertumbuhan ekonomi cenderung berfluktuatif
dan tingkat pengangguran semakin tereduksi. Grafik 1.2 menunjukkan bahwa naiknya
pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak secara langsung merefleksikan penuruan
tingkat pengangguran di Indonesia.
Grafik 1.2 Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Pengangguran Indonesia 2002-2013
Sumber: Diolah dari BPS dan Worldbank (2014)
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia setiap tahunnya ternyata tidak selalu
memiliki hubungan negatif dengan tingkat pengangguran, seperti yang dikatakan teori
Arthur Okun3. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor-faktor yang dapat mengurangi
3 Hukum Okun atau Okun’s Law adalah hubungan negatif antara pengangguran dengan Produk Domestik
Bruto (PDB), yang diungkapkan oleh Arthur Okun. Hukum ini mengacu pada penurunan pengangguran
yang dikaitkan dengan pertumbuhan tambahan PDB rill. (Mankiw, 2006)
tingkat pengangguran tidak hanya pertumbuhan ekonomi saja, tetapi banyak faktor lain
yang mampu menjelaskannya.
Banyak studi yang menunjukkan, Foreign Direct Investment atau Penanaman
Modal Asing (PMA) saat ini tidak hanya didefinisikan sebagai transfer uang dalam arti
sederhana, tetapi sebagai transfer dari campuran aset-aset keuangan dan benda tidak
berwujud seperti teknologi, kemampuan manajerial, keterampilan pemasaran dan aset
lainnya. Argumen tradisional mengatakan bahwa PMA yang masuk akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan kesempatan kerja. Kebanyakan studi (Hill
dan Athukorala, 1998) menunjukkan bahwa dampak sosial dan distribusi PMA pada
negara tuan rumah, umumnya telah menguntungkan negara-negara berkembang. Selain
sumber daya produktif yang mereka bawa ke negara berkembang terlihat dampak positif
dari penciptaan lapangan pekerjaan, baik di sektor yang menarik untuk ditanamkan
PMA maupun industri dalam negeri yang turut mendukung (Rizvi dan Nishat, 2009).
Di Indonesia, masuknya PMA biasanya dilakukan bukan oleh penduduk negara
terkait, tetapi oleh perusahaan transnasional pada perusahaan-perusahaan yang berlokasi
di negara-negara tuan rumah. PMA ini menunjukkan keterlibatan asing secara penuh
maupun sebagian dari sistem manajemen perusahaan (Arsyad, 2010). Pada saat ini,
Indonesia sedang aktif mencari investor asing dan mengharapkan berbagai manfaat yang
nyata dari adanya investasi asing tersebut. Hal ini dibuktikan oleh target yang ditetapkan
oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebesar 15 persen di tahun 2014,
dan 13 persen di tahun 2015. Kepala BKPM, Mahendra Siregar, dalam pidatonya di
Asia-Pacific Economic Cooperation CEO Summit di Nusa Dua Bali, menerangkan
bahwa saat ini Indonesia membutuhkan investasi langsung di sektor manufaktur.
Tabel 1.2 menjelaskan terdapat trend kenaikan realisasi penanaman modal dalam
negeri dan penanaman modal asing di Indonesia dari tahun 2008-2013. Trend realisasi
PMDN dan PMA cenderung meningkat dari tahun 2008-2013, walaupun realisasi PMA
sempat turun negatif di tahun 2009 sebesar -27,3 persen (YoY) pasca krisis global 2008.
Kenaikan nilai investasi PMA tiap tahunnya dikarenakan meningkatnya minat asing
terhadap potensi ekonomi Indonesia, terutama akibat gaya konsumen kelas menangah
keatas yang pertumbuhannya besar.
Menurut berita yang dilansir oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
di tahun 2013 Indonesia mencapai hasil rekor tertinggi baru di Asia Tenggara dalam
realisasi penanaman modal. Hal ini didukung pertumbuhan realisasi PMDN sebesar 39,0
persen (YoY) dan PMA sebesar 16,5 persen (YoY). Total realisasi investasi yang
diterima sebesar 33 juta USD atau sekitar Rp 398,6 triliun. Nilai investasi ini dianggap
sebagai prestasi terbaik di tahun 2013, namun menurut Worldbank kemampuan
Indonesia dalam menarik investasi asing dianggap masih rendah dibandingkan dengan
negara-negara tetangganya. Hal ini dibuktikan pada tahun 2010-2011 tingkat investasi
Indonesia hanya setara dengan 2 persen terhadap PDB-nya, sementara negara seperti
Malaysia dan China mencapai 4 persen terhadap PDB-nya.
Tabel 1.2 Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Indonesia 2008-2013
Tahun
PMDN PMA Pertumbuhan (YoY)
Proyek
Investasi
(Dalam
Rp Miliar)
Proyek
Investasi
(Dalam
US$ Juta)
PMDN PMA
2008 239 20.363,4 1.138 14.871,4 - -
2009 248 37.799,8 1.221 10.815,2 85,6% -27,3%
2010 875 60.626,3 3.076 16.214,8 60,4% 49,9%
2011 1.313 76.000,7 4.342 19.474,5 25,4% 20,1%
2012 1.210 92.182,0 4.579 24.564,7 21,3% 26,1%
2013 2.129 128.150,6 9.612 28.617,5 39,0% 16,5%
Sumber: Diolah dari BKPM dan BPS (2014)
Alasan lain naiknya realisasi PMDN dan PMA salah satunya karena adanya
dukungan dari pemerintah Indonesia yang tertuang dalam UU Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal. Sejak Indonesia masuk dalam keanggotaan WTO (World
Trade Organization) pada tahun 1995, diperlukan pembaharuan kepastian hukum
tentang penanaman modal, sehingga UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing dan UU Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
diperbaharui karena tidak sesuai dengan kebutuhan percepatan perkembangan
perekonomian dan pembangunan hukum, khususnya di bidang penanaman modal.
Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan menciptakan lapangan
pekerjaan, pemerintah menerangkan di pasal 10 Ayat 1 sampai 4 UU Nomor 25 Tahun
2007 bahwa perusahaan yang melakukan penanaman modal harus mengutamakan
tenaga kerja Indonesia dan perusahaan asing harus melakukan pelatihan kerja dan alih
teknologi dari tenaga kerja asing ke tenaga kerja Indonesia.
Naiknya investasi PMA harus dibarengi dengan peningkatan dan pemerataan
penanaman modal di seluruh provinsi Indonesia. Dalam rangka mendukung
pembangunan ekonomi yang merata, pemerintah perlu mengupayakan hal tersebut agar
tidak terjadi ketimpangan pembangunan ekonomi. Pemerataan penanaman modal asing
di Indonesia diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja secara merata di seluruh
provinsi di Indonesia. Akan tetapi, tabel 1.3 menunjukan bahwa realisasi investasi PMA
pada tahun 2009 sekitar 86,6 persen masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sedangkan
berdasarkan lokasi, rata-rata realisiasi investasi terbesar selanjutnya di Sumatera (7,17
persen), Kalimantan (2,63 persen), Bali dan Nusa Tenggara (2,16 persen), Sulawesi
(1,31 persen), Maluku (0,05 persen), dan terakhir Papua (0,02 persen). Walaupun
konsentrasi PMA masih terfokus pada Pulau Jawa, di tahun 2011-2013 Kalimantan dan
Papua menunjukkan kenaikan PMA yang tinggi, hal ini dikarenakan investor asing
sadar akan potensi yang berada di wilayah Kalimantan maupun Papua. Kondisi kurang
meratanya penanaman modal asing mengakibatkan kurang meratanya pertumbuhan
ekonomi daerah, yang selanjutnya berimbas pada tingginya angka pengangguran di
daerah.
Tabel 1.3 Pertumbuhan dan Kontribusi Realisasi Investasi PMA Triwullan II Tahun 2013 Berdasar Lokasi (USD Juta)
Tahun
Lokasi
Total Sumatera Jawa
Bali & Nusa
Tenggara
Kalimantan
Sulawesi Maluku Papu
a
2009 776,2 9,370,6 233,8 284,4 141,6 5,9 2,8 10.815,
2
2010 747,1 11.498,
8 233,8 284,4 141,6 5,9 2,8
10.815,
2
2011 2.076,3 12.324,
8 952,7 1.918,7 715,3 141,4 1.345,0
19.474,
2
2012 3.729,3 13.659,
9 1.126,6 3.208,7 1.507,1 98,8 1.234,5
24.564,
9
Q2-2012 837,6 3.430,6 171,6 891,2 208,4 18,7 681,0 6.239,0
S1-2012 1.793,7 6.660,1 703,4 1.387,7 653,4 48,7 719,3 11.966,
3
Q2-2013 657,8 4.787,0 109,9 805,9 189,6 83,1 539,2 7.172,5
S1-2013 1.742,0 8.566,4 334,8 1.144,2 909,5 146,9 1.376,9 14.220,
8
Pertumbuhan S1-2013 (YoY)
-2,9% 28,6% -52,4% -17,5% 39,2% 201,8
% 91,4% 18,8%
Pertumbuhan Q2-2013 (YoY)
-21,5% 39,5% -36,0% -9,6% -9,0% 345,2
% -20,8% 15,0%
Pertumbuhan Q2-2013 (QtQ)
-39,9% 26,7% -51,1% 138,3% -73,7% 30,4% -35,6% 1,8%
Share 9,2% 66,7% 1,5% 11,2% 2,6% 1,2% 7,5% 100,0%
Sumber: Bappenas dan BKPM (2014)
Jika dilihat berdasarkan provinsi pada grafik 1.3, rata-rata realisasi PMA di
Indonesia cendurung tidak merata dan terjadi ketimpangan antara daerah yang memiliki
infrastruktur memadai dengan daerah yang belum memadai. Kecenderungan ini terlihat
dari realisasi PMA yang dalam kurun waktu lima tahun terfokus di DKI Jakarta
($4692,6 juta), Jawa Barat ($3760,28 juta), Banten ($2312,88 juta), Jawa Timur
($1839,68 juta) dan Papua ($1041,16 juta). Untuk daerah yang belum memiliki
infrastruktur yang cukup baik seperti Bengkulu, Maluku, Gorontalo Sulawesi Barat dan
Nusa Tenggara Timur menduduki peringkat lima terbawah untuk realisasi penerimaan
PMA yaitu sebesar $24,4 juta, $15,18 juta, $14,94 juta, $9,12 juta dan $6,38 juta.
Grafik 1.3 Rata-rata Realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) di 33 Provinsi Indonesia Tahun 2009-2013 dalam Juta USD
0 1000 2000 3000 4000 5000
Aceh
Sumatera Barat
Kepulauan Riau
Sumatera Selatan
Bengkulu
DKI Jakarta
Banten
DI Yogyakarta
Bali
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Gorontalo
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Maluku Utara
Papua Barat
Juta USD
Pro
vin
si
Sumber: Diolah dari BPS (2014)
Indonesia yang berpenduduk sekitar 240 juta jiwa dan merupakan negara
keempat dengan jumlah penduduk tertinggi setelah China, India dan Amerika Serikat,
harus menghadapi tantangan bahwa setengah dari penduduknya merupakan di bawah
usia 30 tahun. Hal ini mengandung arti bahwa Indonesia memiliki permintaan tenaga
kerja yang besar, dan akan terus tumbuh lebih besar di masa yang akan datang. Dengan
dibukanya keran investasi diharapkan mampu membuka kesempatan kerja yang baru,
mereduksi angka pengangguran dan menurunkan angka kemiskinan.
Jika kita lihat dari jumlah pengangguran di 33 provinsi di Indonesia pada grafik
1.4 dari tahun 2009-2013, provinsi Banten menduduki rata-rata jumlah pengangguran
tertinggi selama kurun waktu 5 tahun, yaitu sekitar 11,62 persen, disusul oleh DKI
Jakarta (10,74 persen), Jawa Barat (9,94 persen), Kalimantan Timur (9,72 persen) dan
Sulawesi Utara (8,76 persen). Padahal jika kita lihat dari realisasi PMA provinsi Banten,
DKI Jakarta dan Jawa Barat menduduki peringkat tertinggi. Hal lain yang
mempengaruhi tingginya angka pengangguran sering kali dikarenakan tingkat kepadatan
penduduk, upah minimum regional (UMR), dan rendahnya Indeks Pembangunan
Manusia (IPM).
Dengan demikian, untuk mengetahui upaya memperlemah penyakit
pengangguran di Indonesia diperlukan pengetahuan terkait faktor-faktor yang menjadi
determinan pengangguran di Indonesia. Dengan menggunakan variabel realisasi PMA,
PDRB per kapita, Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) diharapkan dapat terlihat pengaruhnya terhadap tingkat pengangguran. Agar
faktor-faktor yang menjadi determinan pengangguran dapat mewakili Indonesia,
penelitian ini dilakukan di 33 provinsi.
Grafik 1.4 Jumlah Pengangguran di 33 Provinsi Indonesia tahun 2009-2013 (ribu orang)
Sumber: Diolah dari BPS (2014)
1.2 Rumusan Masalah
Pengangguran merefleksikan kurangnya pemanfaatan tenaga kerja di sebuah
negara. Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk ke-4 terbesar di dunia. Dalam
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025,
penduduk yang besar berpotensi memiliki daya beli yang besar serta penduduk yang
besar dengan kualitas SDM yang semakin baik merupakan potensi daya saing yang luar
biasa. Disisi lain prestasi yang dicapai oleh pemerintah Indonesia dalam penerimaan
realisasi PMA masih menjadi pertanyaan apakah investasi PMA mampu mereduksi
angka pengangguran di 33 provinsi di Indonesia. Untuk itu dengan menggunakan data
regional provinsi di Indonesia, penelitian ini berupaya menganalisis faktor-faktor
determinan penurunan angka pengangguran selain dari penanaman modal asing. Upaya
mengobati penyakit pengangguran dalam rangka meningkatkan pemanfaatan tenaga
kerja di Indonesia menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini. Oleh karenanya
rumusan masalah dalam penelitian kali ini dapat diungkapkan dalam pertanyaan
penelitian.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:
1. Apakah realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) berpengaruh terhadap tingkat
penganguran di Indonesia?
2. Apakah Produk Domestik Bruto Regional (PDRB) per kapita berpengaruh
terhadap tingkat pengangguran di Indonesia?
3. Apakah Upah Minimum Provinsi (UMP) berpengaruh terhadap tingkat
pengangguran di Indonesia?
4. Apakah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berpengaruh terhadap tingkat
pengangguran di Indonesia?
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah diuraikan, tujuan dari penelitian
ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) terhadap tingkat
pengangguran di Indonesia;
2. Mengetahui pengaruh Produk Domestik Bruto Regional (PDRB) per kapita
terhadap tingkat pengangguran di Indonesia;
3. Mengetahui pengaruh Upah Minimum Provinsi (UMP) terhadap tingkat
pengangguran di Indonesia;
4. Mengetahui pengaruh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap tingkat
pengangguran di Indonesia.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Sebagai sarana berpendapat secara ilmiah dalam menanggapi fenomena
ekonomi di Indonesia khususnya di bidang ekonomi pembangunan yang terkait
dengan masalah pengangguran;
2. Untuk menambah pengetahuan baru terkait masalah pengangguran dan sebagai
tinjauan literatur untuk penelitian selanjutnya;
3. Memperkaya studi empiris yang terkait dengan masalah pengangguran, realisasi
Penanaman Modal Asing (PMA) dan indikator makreoekonomi regional;
4. Sebagai prasyarat untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1).
1.6 Pembatasan Penelitian
Penelitian ini difokuskan dari tahun 2009 hingga 2013. Alasan pemilihan
rentang waktu tersebut dikarenakan ketersediaan serta aktualitas data. Penelitian ini
meneliti 33 provinsi di Indonesia, dengan variabel tingkat pengangguran, realisasi
penanaman modal asing, Produk Domestik Bruto Regional (PDRB), Upah Minimum
Provinsi (UMP), serta Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Alasan dipilihnya lima
variabel tersebut mengacu pada literatur-literatur sebelumnya yang dilakukan di
berbagai negara dan di rentang waktu yang berbeda-beda.
1.7 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
BAB 1 berisi pendahuluan yang mencakup uraian latar belakang, rumusan masalah,
pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, pembatasan penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB 2 membahas teori yang melandasi penelitian ini dan beberapa penelitian terdahulu
mengenai faktor-faktor determinasi pengangguran serta pengaruh PMA terhadap
pengangguran.
BAB 3 berisi pembahasan mengenai pengaruh realisasi PMA terhadap pengangguran
dan hasil temuan berdasarkan metode yang digunakan.
BAB 4 merupakan bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.