bab i pendahuluan 1.1 latar...

36
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Kehadirannya yang berkelindan dengan realitas menempatkan karya sastra pada ruang yang dekat dan dianggap mampu merepresentasikan kenyataan. Dalam banyak pendapat, karya sastra sebagai produk sosial menjadi pilihan penting untuk memotret fenomena sejaman dan bahkan lintas jaman berselisih ruang dan waktu 1 . Oleh karena itu, pandangan bahwa karya sastra lahir hanya sebagai produk imajinasi manusia menjadi tidak relevan ketika keadaan masyarakat tertentu dapat diukur berdasarkan karya yang hadir pada saat itu. Novel, sebagai salah satu bentuk karya sastra, mampu menyajikan detil yang lebih daripada karya sastrakarya sastra yang lain. Dalam novel pembaca mudah memahami premis melalui struktur intrinsiknya. Pengarang berperan sebagai subyek yang jeli dan peka dalam mencermati kejadian-kejadian untuk kemudian merekam dan menceritakan kembali melalui karyanya 2 . Dengan 1 Swingewood dalam Faruk (2002:110) mengemukakan bahwa novel merupakan genre sastra yang cenderung realistik karena novel mampu merepresentasikan gambaran realistik sosial. Beberapa tokoh terkemuka sosiologi sastra lainnya, misalkan Lucien Goldmann (genetic structuralism) juga berpandangan bahwa karya sastra memiliki keterkaitan khusus dengan kondisi jaman ia diciptakan yang berisi pandangan dunia novel tersebut. Taine juga menyebutkan bahwa novel bertujuan menggambarkan kehidupan nyata, deskripsi karakter, sugesti tindakan, dan memberi penilaian terhadap motif tindakan. 2 Dharma (1983:52) menyatakan bahwa karya sastra, khususnya novel, diciptakan pengarang untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan tanpa melupakan bahwa karya sastra sebenarnya merupakan bagian pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa. Lebih lanjut Van Zoest (1993) menyatakan bahwa manusia adalah homo semiotic yang memiliki kemampuan untuk

Upload: letuong

Post on 04-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan

manusia. Kehadirannya yang berkelindan dengan realitas menempatkan karya

sastra pada ruang yang dekat dan dianggap mampu merepresentasikan kenyataan.

Dalam banyak pendapat, karya sastra sebagai produk sosial menjadi pilihan

penting untuk memotret fenomena sejaman dan bahkan lintas jaman –berselisih

ruang dan waktu1. Oleh karena itu, pandangan bahwa karya sastra lahir hanya

sebagai produk imajinasi manusia menjadi tidak relevan ketika keadaan

masyarakat tertentu dapat diukur berdasarkan karya yang hadir pada saat itu.

Novel, sebagai salah satu bentuk karya sastra, mampu menyajikan detil

yang lebih daripada karya sastra–karya sastra yang lain. Dalam novel pembaca

mudah memahami premis melalui struktur intrinsiknya. Pengarang berperan

sebagai subyek yang jeli dan peka dalam mencermati kejadian-kejadian untuk

kemudian merekam dan menceritakan kembali melalui karyanya2. Dengan

1 Swingewood dalam Faruk (2002:110) mengemukakan bahwa novel merupakan genre sastra yang

cenderung realistik karena novel mampu merepresentasikan gambaran realistik sosial. Beberapa

tokoh terkemuka sosiologi sastra lainnya, misalkan Lucien Goldmann (genetic structuralism) juga

berpandangan bahwa karya sastra memiliki keterkaitan khusus dengan kondisi jaman ia diciptakan

yang berisi pandangan dunia novel tersebut. Taine juga menyebutkan bahwa novel bertujuan

menggambarkan kehidupan nyata, deskripsi karakter, sugesti tindakan, dan memberi penilaian

terhadap motif tindakan. 2 Dharma (1983:52) menyatakan bahwa karya sastra, khususnya novel, diciptakan pengarang

untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan tanpa melupakan bahwa karya sastra sebenarnya

merupakan bagian pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa. Lebih lanjut Van Zoest

(1993) menyatakan bahwa manusia adalah homo semiotic yang memiliki kemampuan untuk

2

demikian, jelas dipahami bahwa novel menjadi alat komunikasi antara pengarang

terhadap pembaca. Akan tetapi, sebagai hasil rekaman personal karya sastra tidak

dapat lepas dari pandangan subyektif pengarang, sehingga hal tersebut

memungkinkan pembaca untuk bebas memaknai karya sastra tersebut. Pada

proses ini, makna yang ditangkap oleh pembaca mungkin berbeda dengan apa

yang dimaksudkan oleh pengarang.

Perbedaan pemaknaan tersebut bukan berarti keluar dari batasan-batasan

interpretasi. Karya sastra ditulis berdasarkan pengalaman seseorang yang

sebenarnya juga berada dalam konvensi yang sama dengan seseorang lainnya. Pun

apabila karya sastra dibaca orang yang tidak memiliki kaitan historis partikular,

setidaknya keterhubungannya dapat dimediasi oleh hal-hal yang bersifat universal

atau berlaku umum.

Dalam hubungannya dengan tanda, Noth (1990: 3) menjelaskan bahwa

bidang kajian semiotika meliputi segala sesuatu yang dapat dipandang sebagai

tanda. Senada dengan hal tersebut Culler (1977: 5) mengatakan bahwa karya

sastra tersusun dari seperangkat sistem simbol –bagian dari tanda, sedangkan

simbol memiliki arti apabila ia dapat dijelaskan darimana ia berasal dan untuk

siapa ia dimanfaatkan. Artinya, karya sastra memiliki fungsi penting sebagai aktus

komunikasional dalam memunculkan kenyataan yang lain dari suatu keadaan.

Lebih lanjut Eco (1976: 8) mengatakan bahwa hal pokok yang dikaji dalam

menciptakan tanda. Ia dapat mengirimkan tanda dan ia dapat sepakat mengenai arti tanda tersebut

dengan sesamanya.

3

seniotika adalah proses kultural sebagai komunikasi berlandaskan sistem

signifikansi.

Dari pembahasan di atas, novel berpeluang merepresentasikan kondisi

sosial masyarakat tertentu melalui pengamatan seorang pengarang, dalam hal ini

adalah John Steinbeck. John Steinbeck adalah seorang pengarang kenamaan

Amerika yang sebagian besar karyanya terinspirasi dari kejadian-kejadian nyata.

Karyanya yang danggap sebagai modern parable terhadap kondisi Amerika pada

saat itu adalah The Pearl.

Sebagai negara besar yang terdiri dari beraneka ragam etnis, Amerika

Serikat dapat dikatakan potensial terhadap munculnya konflik-konflik perbedaan

tersebut. Menyadari akan hal itu, para negarawan mensiasati bagaimana menjadi

‘Amerika’ menjadi sebuah negara kuasa yang berserikat dan berusaha melindungi

hak-hak keberagaman mereka yang ada di dalamnya. Konsep tersebut nyata

dikemukakan dalam prinsip dasar Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang

berbunyi ”all men are created equal” and that they are “endowed by their

Creator with certain inalienable Rights” including “Life, Liberty, and the pursuit

of Happiness.”. Dari kalimat ini, dengan mengatakan bahwa semua manusia

diciptakan sama dan memiliki kesempatan yang sama dalam hak-hak dasarnya,

seharusnya potensi konflik dari singgungan keberagaman tersebut dapat

dihilangkan. Lebih jauh Amerika juga memegang pandangan American Dream3

3 Konsep American Dream dinyatakan pertama kali oleh James Truslow Adams pada tahun 1931

dalam bukunya yang berjudul Epic of America, “The American Dream, that is lured tens of

millions of all nations to our shores in the past century has not been a dream of material plenty,

though that has doubtlessly counted heavily. It has been a dream of being able to grow fullest

development as a man and woman, unhampered by the barriers which had slowly been erected in

4

sebagai semangat atau etos bahwa dalam kebebasan terdapat kemakmuran dan

kebebasan. Seiring dengan perkembangan jaman, pemaknaan American Dream

berkembang menjadi sebuah kesempatan untuk tumbuh, menerima pendidikan,

hak-hak hukum, dan pilihan-pilihan tanpa membatasi latar belakang agama, ras,

atau etnis/budaya.

Dalam kenyataannya, praktik-praktik diskriminasi terhadap etnis atau

kelompok tertentu oleh kelompok dominan masih sering terjadi, dalam hal ini

diskriminasi terhadap Indian Amerika oleh orang-orang kulit putih. Sejarah

berpindahnya orang-orang Eropa ke Amerika yang pada saat itu didiami suku

pribumi, Indian, memiliki rentetan efek yang panjang.

Pola penguasaan tanah dan kolonialisasi bangsa Eropa ke Amerika dimulai

sejak tahun 1600-an. Ketika koloni Eropa menyadari bahwa Amerika adalah

daratan yang sangat potensial, sejak saat itu pula muncul pola-pola penguasaan

tanah dan lahan dari penduduk pribumi. Suku Indian sebagai yang menempatkan

diri sebagai tuan rumah menyambut para pendatang dengan ramah. Mereka

digambarkan sebagai orang-orang yang baik, sopan, bersahaja, dan ramah

(Berkhoefer via Trimble, 1988: 182).

Dengan semakin banyaknya koloni-koloni yang datang maka kebutuhan

tanah dan lahan semakin besar. Melihat hal itu, strategi penguasaan tanah mulai

dilakukan. Daya intelektualitas ke-Eropa-an yang sudah lebih maju tidak

sebanding dengan pandangan masyarakat Indian yang ‘primitif’ dan masih

mempraktekkan pola-pola tradisional. Melihat hal tersebut, orang-orang Eropa

the older civilization, unpressed by social orders which had developed for the benefit of classes

rather than for the simple human being of any and every class” (1931).

5

mulai memasang pancang-pancang pada tanah yang mereka kehendaki secara

sepihak sebagai bukti perpindahan klaim kepemilikan (Trimble, 1988: 183).

Peristiwa ini adalah awal mula penjajahan yang akhirnya melembaga,

bahkan ketika para koloni itu membuat suatu tujuan bersama untuk membentuk

sebuah negara ternyata hanya berpihak pada koloni tersebut. Pada saat Amerika

sudah menjadi negara modern pun, yang mana mengagung-agungkan semboyan

kesetaraan sebagai hak dasar manusia ternyata masih melakukan pembiaran

terjadinya praktik-praktik diskriminatif terhadap masyarakat Indian. Ada banyak

pendapat yang mengindikasikan diskriminasi rasial bahwa ras kulit putih merasa

lebih tinggi daripada ras Indian, salah satunya dilontarkan oleh seorang

pengembara Virginia bernama Samuel Purchas, ...note that Indians were more

brutish than the beast they hunt, more wild and unmanly than the wild country...

captivated also to Satan’s Tyranny in foolish pieties, mad impieties, wicked

idleness, busie, and bloudy wickednesse (Berkhoefer via Trimble 1978:21).

Pendapat ini mencerminkan realitas bahwa posisi ras Indian di Amerika tidak

berada dalam posisi setara.

Lebih jauh, secara institusional muncul banyak kebijakan yang sangat

berpihak terhadap para penguasa baru tersebut. Trimble mengemukakan satu

temuan tentang munculnya kebijakan-kebijakan mulai eksterminasi, relokasi,

bahkan hingga isolasi;

The informal and insidious policy of extermination was replaced with a

more formalized policy of relocation ans isolation. And beginning 1830,

large umbers of Indians were “forced” to leave their ancestral homes for

reserved land set aside for settlement west of Mississipi. Never mind the

treaties. Relocation and isolation meant that the Indian problem would be

6

out of the way for a while. And as coloialism prevailed, the minority

Indians had no power, no status, and little support. (Trimble, 1988: 184).

Kebijakan ‘mengusir’ sang tuan dari tanah sendiri tersebut merampas hak-hak

dasar ras Indian yang dikemudian hari bermanifestasi dalam berbagai bentuk

diskriminasi terhadap anak cucu mereka, di antaranya hak untuk mendapatkan

pendidikan, status sosial, isolasi, dan kesempatan mendapatkan pekerjaan dan

lain-lain4.

The Pearl, adalah sebuah novel pendek karangan John Steinbeck.

Steinbeck merupakan seorang sastrawan Amerika yang peka dalam merespon

peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Hal ini terbukti dari bagaimana ia

merespon terjadinya resesi sebagai akibat dari The Great Depression. Steinbeck

adalah salah seorang warga Amrika Serikat yang menjadi saksi hidup atas

terjadinya The Great Depression. Sebagai seorang muda yang memiliki kepekaan

tinggi terhadap segala fenomena, Steinbeck terpanggil untuk menyikapi segala

kegetiran yang dialaminya sebagai imbas dari kemerosotan perekonomian

tersebut. Dengan menggunakan keahlian estetisnya, Steinbeck secara profesional

menggunakan kesadaran individualnya menjadikan peristiwa tersebut sebagai

inspirasi untuk merefleksikan kondisi Amerika dengan cara yang santun, yakni

dengan menulis novel-novel. Jay Parini dalam bukunya John Steinbeck: A

Biography (1995) mendeskripisikan bagaimana seorang Steinbeck menggali dan

menuangkan segala ide kreatifnya untuk mewujudkan keterpanggilannya sebagai

seorang warga negara menjadi pemerhati keterpurukan ekonomi di Amerika.

4 Lihat Stereotypical Images, American Indians, and Prejudice. Department of Psychology,

Western Washington University, Bellingham, Washington.

7

Produktivitas Steinbeck telah menuntutnya untuk mencermati segala kejadian

untuk kemudian ia jadikan modal menulis karya-karya yang hampir semua di

antaranya merefleksikan Amerika, tidak hanya permasalahan ekonomi melainkan

juga permasalah-permasalah sosial yang masih acap terjadi pada masa itu.

Steinbeck dapat dikatakan sebagai seorang sastrawan Amerika tulen yang sangat

profesional dalam menghubungkan fakta dan estetika dalam kepengarangannya.

Keberadaan Steinbeck sebagai seorang pengarang, sebagaimana yang telah

disinggung di atas, adalah keterlibatan personalnya dengan segala fenomena.

Steinbek dilahirkan di sebuah kota kecil di California, yaitu kota Salinas. Secara

geografis, Salinas terpisah dari kota-kota lain di California, dengan kata lain

Salinas adalah sebuah kota kecil yang terpencil. Mata pencaharian utama

penduduk yang bersumber dari pertanian dan peternakan menjadi bagian hidup

dari Steinbeck. Di kota tersebut, Steinbeck mengamati bagaimana kehidupan para

imigran yang hidup sebagai buruh ranch (pertanian dan peternakan) yang

terbuang, sebatang kara, tidak memiliki kerabat, bahkan tidak mengenal isntitusi

perikahan dan rumah tangga. Pengamatan-pengamatan tersebut kemudian

memantik insting kreatifnya untuk menulis novel Of Mice and Men (1937) yang

secara mendalam mengulas tentang berbagai bentuk interaksi para buruh (ranch)

yang nomaden dengan tuan tanahnya, yang secara vulgar mengungkap sisi-sisi

buruk kehidupan mereka dalam berinteraksi, bersosialisasi dalam upaya

mempertahankan eksistensi kehidupan mereka (Parini, 14-19)

Dalam interaksi individu, sebagaimana yang diceritakan oleh Parini,

tekanan-tekanan mental terjadi tidak hanya dialami oleh para buruh, namun juga

8

oleh sang tuan tanah. Secara psikologis mereka mengalami keterpaksaan untuk

melakukan tindakan-tindakan yang secara logika sebenarnya dipahami sebagai

sesuatu yang melebihi kapasitas dan kemampuan pribadi seorang manusia.

Namun, walaupun manusia selalu berusaha melakukan usaha untuk menghindari

hal-hal yang membahayakan dirinya, baik dalam internal maupun eksternal

dirinya, ada satu kekuatan kodrati yang tidak dapat ditolaknya, yaitu takdir.

Akibat dari hal ini adalah munculnya perlawanan-perlawanan dalam internal diri

mereka, sehingga akhirnya mengutamakan hasrat dan ambisi demi kepuasan batin

dan lahirnya, meskipun akan ada kekecewaan dan penyesalan setelah mereka

melakukannya (Parini, 1995: 54).

Dalam masa kekaryaannya, Steinbeck berada dalam trend naturalisme

yang sangat mendominasi segenap aliran seni di Amerika. Naturalisme sendiri

merupakan sebuah aliran puncak dari gerakan sastra sebagai hasil perkembangan

dari realisme yang marak dan menyolok di akhir abad ke-19 di Eropa. Hal ini

terjadi karena para sastrawan tersebut dipengaruhi oleh Teori Evolusi Charles

Darwin. Teori ini mengasumsikan bahwa pengaruh keturunan (hereditas) dan

lingkungan (environment) memiliki kontribusi yang besar dalam perkembangan

kepribadian seseorang. Sebagaimana realisme, naturalisme juga mengamini

penentuan nilai substansi subyek sebagimana adanya, yakni berdasarka ‘subject’s

action’. Kedua aliran ini tentu saja sangat bertentangan dengan aliran romantisme

yang mengemukakan bahwa subyek akan menerima simbolisme tinggi, idealis,

dan bahkan perlakuan yang supernatural yang tidak hanya membebaskan ciptaan

9

dari keterbatasan kodratnya, melainkan juga mengangkatnya ke tingkatan hidup

baru yang memungkinkan mengatasi kodratnya sendiri.

Karya sastra naturalisme seringkali menampilkan bahasa yang vulgar dan

kasar, atau mengambil latar kondisi yang kumuh sebagai bagian penting dari

cerita. Emile Zola, pencetus naturalisme dalam sastra, secara terang-terangan

menggunakan pesimisme yang dipadukan dengan kejujuran (baca: vulgar) dan

seksualitas secara terang-terangan untuk menceritakan keadaan dunia yang

sebenarnya. Penganut naturalisme juga mengadopsi penjabaran secara detail

bagaimana ketegangan-ketegangan konflik dibangun dalam suatu narasi. Walcutt

(1956: 24) mengemukakan pendapat bahwa dalam naturalisme yang diterapkan

pada sastra, manusia dan alam adalah (tanpa rasio) merupakan satu kesatuan yang

tidak dapat dipisahkan, sangat kompleks, sehingga tidak ada suatu cara untuk

memahami makhluk-makhluk ini dalam keadaannya baik secara utuh maupun

bagian-bagian, termasuk juga tidak ada cara untuk memahami dalam

hubungannya dengan alam dan sekitarnya sebagai wujud materi.

Naturalisme diakui sebagai cerminan dalam materialisme. Materialisme

memandang bahwa hakekat yang sebenarnya itu bersifat wujud atau benda

(physic). Naturalisme secara lugas menyuguhkan gambaran pemandangan alam

beserta penghuninya dalam prinsip realitasnya. Dalam perkembangan dari

prisnsip tersebut, kemudian lahirlah pola pengetahuan yang hanya mengakui

kenyataan sebagai prinsip kebenaran hakiki, yang kemudian disebut sebagai

realisme.

10

Selanjutnya Walcutt mempertegas definisi dari realisme sebagai suatu

aliran yang berpendirian bahwa pengetahuan manusia itu adalah gambaran yang

baik dan tepat dalam kaca pandang kebenaran pengetahuan yang baik, sehingga

kebenaran dapat tergambarkan seperti yang sesungguh-sungguh keberadaannya

(Walcutt, 1956: 11-6).

Dalam pengertian ini, prinsip alam mewakili eksistensi kebendaan yang

dapat dikenali secara alamiah oleh daya tangkap yang melekat pada kemampuan

pancaindera manusia. Dalam genre sastra, muatan fenomena lingkungan alam

yang menjadi latar ditampilkan dengan penuh rasa estetika oleh manusia (pshyce)

yang memuja keberadaannya. Semua pengertian akan dikorelasikan denga realitas

yang ada dalam rangka memberikan penghargaan terhadap alam yang dianggap

memiliki kontribusi besar dalam kehidupan transendetal manusia. Hal ini

menjelaskan pola bahwa manusia tidak akan pernah lepas dari problematika yang

disebabkan oleh alam, meskipun manusia juga memiliki kemampuan dan

kekuatan untuk mempertahankan, mengatasi alam. Satu yang tidak dapat

dilakukan oleh manusia adalah mengendalikan alam. Keterbatasan kapasitas

manusia karena ketidakabadian (immortality) jasmani yang melingkupinya

kadang menimbulkan unsur skeptis terhadap apa yang membahagiakan dan indah

dalam hidup karena ketidakmampuan mewujudkannya, yakni naturalisme

(Walcutt, 1956:11- 6)

Materialisme dikatakan sebagai suatu hasil alami dari pengingkaran

terhadap roh manusia yang sadar. Hal ini memperjelas bahwa fakta dalam jagat

fisik dalam kesejarahan manusia secara mutlak bergantung dan dikendalikan oleh

11

hal-hal yang bersifat fisik dan memiliki relasi dengan hal-hal eksternal/sosial.

Locke beranggapan bahwa budi manusia adalah “tabula rasa” yang tidak memiliki

hakekat keberadaannya sendiri. Hal tersebut kemudian berfungsi sebagai bahan

baku bagu kekuatan-kekuatan ekonomi dan sosial yang tentu saja dapat dibentuk

dan direkayasa. Darwin, Marx, Santayana, Watson, Huxley, Gould, Dawkins, dll

menegaskan bahwa manusia ditentukan oleh lingkungannya yang kemudian

menjadi faktor-faktor kuat di luar kontrol kesadarannya. Semua ini sangat

bertentangan dengan pandangan yang menyatakan bahwa manusia adalah

makhluk yang bertanggungjawab, yang mana pertanggungjawabannya akan

dilakukan di hadapan Tuhan (Li, 1996: 44).

Penulis yang menganut aliran naturalisme biasanya menekankan prinsip

alamiah, yaitu pemikiran yang dipengaruhi oleh ideologi darwinian untuk

menunjukkan asal mula manusia. Dalam Darwin dikatakan bahwa manusia adalah

puncak pencapaian metamorfose binatang yang dihasilkan dari interaksinya

dengan alam. Primata, nenek moyang manusia (menurut Darwin), memiliki

insting mempertahankan hidup (survival) dengan melakukan adaptasi terhadap

lingkungan di mana ia berada. Primata tersebut selanjutnya mengalami tahap

perkembangan perilaku yang tidak hanya mampu bertahan hidup, namun juga

mengelola dan bahkan mengendalikan hidupnya. Inilah yang kemudian oleh

Darwin disebut sebagai manusia. Para naturalis, selanjutnya, juga menyikapi sisi

kehidupan yang lain, misalkan kekacauan, kebingungan, ketidakberdayaan, dan

hal-hal yang buruk dalam hidup dengan memberikan gambaran-bambaran nyata

kodrati manusia. Mereka memandang manusia sebagai makhluk yang dapat

12

dikontrol dan didominasi oleh faktor-faktor eksternal, sehingga akhirnya mudah

jatuh ke jurang kenistaan dan mustahil untuk bertobat atau memperbaiki diri. Hal

yang demikian seringkali memposisikan manusia sebagai makhluk yang skeptis.

Kisah-kisah yang diulas para naturalis tersebut memperlihatkan bahwa manusia

semakin jauh dari cita-cita mulia karena keterbatasan dan kelemahannya

(Mitchell: 25-35).

Dengan demikian dapat dipahami bahwa naturalisme merupakan suatu

aliran yang di dalamnya meragukan atau bahkan pesimis kemampuan manusia

untuk melakukan perlawanan terhadap apa yang terjadi pada dirinya.

Ketidakberdayaan dan keputusasaan adalah sesuatu yang akan terjadi dalam

kehidupan manusia.

Pandangan tersebut memiliki pengaruh yang besar dalam kekaryaan

Steinbeck. Cerita-cerita yang diangkat selalu menggambarkan kenyataan yang

sesungguhnya kondisi masyarakat Amerika pasca The Great Depression.

Rekaman-rekaman peristiwa yang ia alami dikomunikasikan ke dalam kisah-kisah

dengan kedalaman pemaknaan yang sukses menasbihkan dia sebagai salah

seorang sastrawan naturalis terkemuka di Amerika.

The Pearl adalah salah satu karya Stinbeck yang inspirasinya diambil dari

sebuah dongeng rakyat di California yang didengarnya semasa kecil. Novel The

Pearl menceritakan problematika hidup nelayan pencari mutiara Indian miskin

bernama Kino. Kino memahami konsep hidup bersama alam sebagaimana yang

dipegang oleh leluhur Indian. Permasalahan dimulai ketika anak Kino, Coyotito,

tersengat kalajengking dan terancam tewas. Kino berusaha mencari pertolongan

13

kepada seorang dokter dari ras kulit putih. Stereotipikal masyarakat Indian yang

diwakili oleh Kino membawanya pada serangkaian peristiwa diskriminatif. Kino

yang putus asa berharap menemukan mutiara (sebagai upaya satu-satunya) dan

menjualnya untuk mendapatkan uang supaya anaknya mendapatkan pengobatan.

Tidak disangka, Kino menemukan mutiara dengan ukuran yang sangat besar, The

Pearl of The Ocean”, yang kemudian menjadi harapan terbesarnya untuk

melepaskan diri dari ketertindasan dan diskriminasi tersebut.

Dari kilasan singkat tentang isi novel tersebut, The Pearl merupakan karya

yang ‘tidak biasa’ dari karya-karya Steinbeck sebelumnya. Sebagaimana yang

telah dijelaskan sebelumnya, Steinbeck adalah seorang sastrawan naturalis

Amerika yang terkemuka. Apabila disandingkan dengan novel-novelnya yang

lain, penggunaan kata pearl atau mutiara jelas berbeda dengan tulisan-tulisan

Steinbeck yang sebelumnya yang lebih identik dengan penggunaan sisi negatif

manusia sebagai cerminan aturalisme. In Dubious Battle misalkan, Steinbeck

menceritakan perjuangan seorang Jim dalam mengorganisasi dan menggerakkan

pemogokan para pemetik apel di California sebagai protes atas pemotongan upah

dan buruknya jaminan kesejahteraan bagi kaum buruh tersebut. Hingga kematian

Jim, penindasan dari sang majikan terhadap kaum buruh ini masih tetap

berlangsung. Dalam

The Grape of Wrath mengisahkan tentang perjalanan Tom Joad setelah

keluar dari penjara, keluarganya telah pergi karena mereka tidak mampu

membayar hutang kepada bank. Tom Joad akhirnya memutuskan untuk mencari

tempat tinggal yang baru. Namun, di tempat baru tersebut ia menemukan

14

kenyataan bahwa kehidupan yang lebih baik sebagaimana harapannya malah

menjelaskan kengerian-kengerian. Tempat baru tersebut sudah dipenuhi oleh

pekerja migran. Kelangkaan makanan dan lowongan kerja menimbulkan konflik

permusuhan antara penduduk lokal dan pendatang. Novel ini bahkan pernah

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Amarah5. Dalam Of Mice

and Men, karakter dua tokoh yang sangat kontras antara George Milton yang

berperawakan kecil memiliki kecerdasan luar biasa dan Lennie Small yang tinggi

besar namun berpemikiran selayaknya anak kecil, diramu menjadi sebuah cerita

perjalanan mencari kebahagiaan yang juga tidak memiliki akhir yang happy

ending. Novel ini juga menceritakan sisi-sisi kebinatangan yang sebenarnya

menjadi bagian alamiah manusia.

Berbeda dengan novel-novel tersebut, Steinbeck menggunakan pearl atau

mutiara sebagai judul yang memungkinkannya menjadi penanda utama.

Sebagaimana diketahui, mutiara adalah benda yang dapat diartikan sebagai simbol

kemewahan atau kesejahteraan. Kepemilikan mutiara melekat pada orang-orang

yang berkelimpahan materi dan bergelimangan harta. Adalah menarik untuk

meneliti novel ini mengingat bukan ciri Steinbeck untuk menggunakan metafor

yang berkaitan atau identik sesuatu yang bersifat materi. Dengan demikian,

penelitian ini dimungkinkan dapat melihat lebih jauh kesetiaan Steinbeck terhadap

aliran naturalisme yang sudah melekat dalam dirinya.

5 The Grape of Wrath diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono ke dalam Bahasa Indonesia oleh

Sapardi Djoko Damono menjadi dua buku berjudul Amarah 1 dan Amarah 2. Terjemahan ini

diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia tahun 1999.

15

1.2 Rumusan Masalah

Berdasar pada penjelasan pada latar belakang, novel The Pearl tidak selesai

sebagai teks estetis yang hanya merepresentasikan pengalaman-pengalaman

estetis imajinatif, namun juga merupakan wujud komunikasi pengarang melalui

tanda. Keberbedaan The Pearl dengan novel-novel Steinveck sebelumnya

menarik untuk dikaji dan diteliti. Dengan menggunakan latar peristiwa tegaangan

konflik antara ras Indian dan kulit putih pada novel The Pearl, pernyataan

penelitian yang akan dikaji adalah sebagai berikut:

1. Makna tanda-tanda diskriminasi dalam novel The Pearl sebagai refleksi

dari naturalisme.

2. Posisi novel The Pearl dalam naturalisme di Amerika

1.3 Tujuan penelitian

Setiap penelitian ilmiah diharapkan mampu membawa perubahan,

setidaknya pengetahuan baru sebagai capaian. Penelitian ini menempatkan karya

sastra sebagai obyek yang dapat diteliti secara ilmiah dan metodologis. Oleh

karena itu penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan praktis dan tujuan

teoretis.

Tujuan teoretis penelitian ini adalah untuk memahami terapan keilmuan

teori semiotika Umberto Eco terhadap karya sastra. Teori ini dipilih dengan

pertimbangan sebagai alat yang paling tepat untuk menelaah kedalaman obyek

material, yaitu Novel The Pearl. Adapun tujuan praktis dari penelitian ini adalah

memberikan pengayaan pemahaman bahwa novel The Pearl sebagai produk

16

estetis ternyata juga mampu memediasi komunikasi pengarang dan pembaca

sehingga berkaitan dengan pesan yang terkandung di dalamnya.

1.4 Tinjauan Pustaka

Sebuah penelitian seharusnya dilakukan setelah melakukan pembacaan

terhadap penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan, baik secara formal

maupun material. John Ernst Steinbeck adalah seorang penulis besar Amerika

yang karyanya memiliki kedalaman dalam menangkap fenomena-fenomena dalam

masyarakat. Oleh karena itu, karyanya sangat diminati oleh berbagai kalangan

dengan beragam penelitian. Sejauh pembacaan yang dapat dijangkau, ada

beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap novel The Pearl karya John

Steinbeck.

Tesis berjudul “Men and Wealth In John Steinbeck’s Tortilla Flat And The

Pearl” yang ditulis oleh Uus Martinus Kamajaya Al Katuuk (UGM 1991)

melakukan perbandingan terhadap dua novel Steinbeck sebagaimana tercantum

dalam judul penelitiannya. Penelitian ini berfokus pada pencarian keterhubungan

ide Steinbeck dengan kedua karya tersebut. Dengan menelusuri latar belakang

kesejarahan Steinbeck, Katuuk menganalisis narasi kedua novel tersebut

menggunakan dua teori dasar penelitian sastra yang dikemukakan oleh Abrams

dalam bukunya Glossary of Literary Terms, yakni sociological approach dan

psychological approach. Dalam kesimpulannya, Katuuk menguraikan temuan

tentang kematian tokoh Dany dalam Tortilla Flat sebagai sebuah keputusasaan

tokoh Danny yang secara mental tidak berterima dengan perubahan kondisinya

17

dari miskin menjadi kaya. Ia mengatakan bahwa kekayaan tersebut telah

memenjarakan kebebasan Danny, “wealth makes him lose his freedom” (Katuuk:

1991).

Dalam The Pearl, Katuuk menyimpulkan bahwa kekayaan memiliki

kekuatan. Penelitiannya terhadap perilaku tokoh dalam novel tersebut menemukan

bahwa kekayaan memiliki kaitan dengan apapun yang bersifat materi, bahwa

kekayaan mampu menjadi racun dalam kehidupan siapapun. Dari kedua

perbandingan tersebut, Katuuk bersepakat bahwa hero dalam novel Steinbeck

digambarkan menjadi korban dari antagonisme yang ternyata berkuasa lebih

dominan.

Penelitian kedua terhadap novel The Pearl dilakukan oleh Anna Sriastuti

(UNDIP, dengan judul Pemaknaan Mutiara Dalam Novel The Pearl Karya John

Steinbeck: Sebuah Pendekatan Semiotika. Dalam penlitian ini, Sriastuti

menggunakan konsep semiotika dan sosiologi sastra untuk menemukan

keterhubungan mutiara dengan perubahan sosial masyarakat dalam novel tersebut.

Dalam kesimpulannya Sriastuti mengatakan bahwa mutiara tersebut menjadi awal

dari semua konflik yang terjadi dalam novel The Pearl.

Temuan ketiga adalah skripsi yang ditulis oleh Rahmi Mona Putri (Unand,

2008) yang berjudul Commodification By Bourgeeoisie as Seen In John

Steinbeck’s The Pearl: A Marxist Study. Penulis dalam penelitian ini membedah

tentang sejenis aksi dalam bidang ekonomi yang dalam kajian Marxisme dikenal

dengan istilah komodifikasi yang merupakan salah satu dampak dari sistem

kapitalisme di Meksiko pada tahun 1930an. Tahun 1930 masih dipengaruhi oleh

18

periode realisme di mana para penulis lebih cenderung terbuka dan blak-blakan

dalam merefleksikan keadaan dan situasi yang sebenarnya kedalam karya sastra,

salah satunya di bidang ekonomi. Dalam hal ini, penulis lebih memfokuskan

analisa dalam sudut pandang Marxisme dengan membahas komodifikasi (tindakan

menilai suatu barang bahkan manusia berdasarkan nilai tukar yang dimilikinya)

yang dilakukan oleh kaum borjuis terhadap kaum proletar (pekerja) yang

terefleksi di dalam novel The Pearl karya John Steinbeck. Penulis menggunakan

metode kepustakaan dengan mengumpulkan informasi dan data dari berbagai

buku dan jurnal. Analisa penulisan tesis ini menggunakan metode kualitatif yang

diuraikan secara deskriptif. Dalam menganalisa dampak kapitalisme di dalam

novel, penulis menggunakan pendekatan kritik sastra Marxisme dengan memakai

terminologi komodifikasi. Akhirnya penulis menemukan adanya hal-hal

terselubung dibalik proses komodifikasi yang memberikan dampak negatif

terhadap kaum proletar, dalam hal ini masyarakat Indian. Hal-hal tersebut adalah

determinasi ekonomi dan ideologi kapitalis . Kedua hal ini memacu tindakan

komodifikasi dan menyebabkan adanya pemujaan terhadap komoditi secara

berlebihan. Selain itu, kaum proletar sebagai kaum tertindas sebagaimana yang

terefleksikan di dalam novel hanya bisa menyerah pada keaadaan ketidakadilan

dalam masyarakat yang mereka alami di bawah kekuasaan kaum borjuis.

Penelitian berikutnya adalah skripsi tentang analisis tokoh dalam novel-

novel karya Steinbeck oleh Zita A. Iswarini W (UI) berjudul Penokohan dalam

novel 'The Grapes of wrath', 'Of mice and men', dan 'The Pearl' menunjang

Steinbeck dalam mengeritik masyarakat Amerika tahun 1920-an dan 1930-an.

19

Skripsi ini menunjukkan bahwa Steinbeck menggunakan tokoh-tokoh dengan

penokohan-penokohan tertentu untuk mengkritik masyarakat Amerika tahun

1920-an dan 1930-an. Tiga buah novel dari sejumlah novel Steinbeck yang dipilih

sebagai data adalah The Grapes of Wrath, Of Mice and Men, dan The Pearl.

Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan intrinsik dengan meneliti

unsur tokoh dan pendekatan ekstrinsikdengan pendekatan sosiologis. Kesimpulan

dari penelitian ini adalah bahwa tokoh-tokoh yang terdapat dalam ketiga novel

tersebut di atas selain digunakan untuk menyampaikan kritik Steinbeck terhadap

masyarakat Amerika tahun 1920-an dan 1930-an juga merupakan perwujudan dari

masyarakat Amerika saat itu.

Temuan berikutnya adalah artikel dalam sebuah jurnal online berjudul A

Portrayal Of Functions Of “Have” In John Steinbeck’s Novel “The Pearl”6.

Artikel ini membahas fungsi “Have” yang bertujuan untuk mengklasifikasi jenis-

jenis fungsi penggunaan “Have” dalam pembentukan kalimat pada novel tersebut,

seperti Full verb, Auxiliary verb, Causative verb, Special usage yang mencakup

Inversion, noun, idiom, dll. Penelitian ini kemudian menjelaskan cara memahami

arti dari kata “Have” yang memiliki lebih dari satu arti misalnya mempunyai atau

memiliki, jika, sudah, harus, meminta atau menyuruh, melahirkan, sakit atau

menderita, dan makan. Penulis mengoptimalkan penelusuran internet dan

6 (A Portrayal Of Functions Of “Have” In John Steinbeck’s Novel “The Pearl” research

Gate. Available from: http://www.researchgate.net/publication/42354880 A Portrayal Of

Functions Of Have In John Steinbecks Novel The Pearl [diakses pada tanggal 8 Agustus

2015].)

20

pencarian data-data dari perpustakaan untuk mendapatkan informasi seputar

pembahasan tersebut.

Tulisan dalam sebuah jurnal internasional berjudul Steinbeck’s The Pearl

as Marxist Critique of Capitalism (International Journal of Humanities and Social

Science Vol. 2 No. 4 [Special Issue - February 2012] merupakan tinjauan pustaka

selanjutnya. Dalam jurnal ini dikatakan bahwa sejak awal penciptaan hingga

berakhirnya dunia, manusia telah dibagi dalam kelas-kelas yang berbeda.

Perkembangan intelektualitas adalah cerminan jaman pada saat mereka hidup,

meskipun dapat dianggapkan bahwa akan selalu ada dua dikotomi, yakni optimis

dan pesimis. Pada kenyataannya, meskipun ada dua hal ini manusia harus

bersepakat dan mengakui bahwa mereka akan membangun suatu peradaban

tertentu bersama-sama. Lebih lanjut dikatakan bahwa pada peradaban jaman batu,

konflik kelas sudah mulai muncul melalui perbedaan ketersediaan puing batuan

yang akan disusun menjadi rumah tinggal. Yang berkuasa akan mendapatkan

puing atau runtuhan batu yang lebih bagus daripada yang tersubordinasi. Hal ini

melahirkan konflik kelas. Pola ini selanjutnya diarahkan ke dalam terma yang

lebih mutakhir dengan pernyataan bahwa dunia kapitalis tidak memberikan nilai

apapun kecuali harta. Perbedaan posisi karena tidak dapat menempati lahan yang

sama, mengalami persoalan yang berbeda mengarahkan adanya pola-pola kapitalis

meskipun masih sangat tradisional dan tidak terukur.

Novel The Pearl karangan John Steinbeck selanjutnya dikatakan sebagai

kritik terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat kecil La Paz yang terletak di

ujung Semenanjung Baja. Seluruh cerita dari novel ini menjelaskan perbedaan

21

antara si kaya dan si miskin. Secara singkat digambarkan kenyataan bagaimana

sekelompok kecil masyarakat kapitalis (kaya) melakukan kontrol dan eksploitasi

masyarakat miskin dengan menerapkan sistem kapitalisme sosial, bahwa

semuanya bisa dinegosiasikan jika ada materi. Dengan menyandingkan kedua

kelas yang berbeda tersebut, ciri utama konflik kelas adalah ciri utama dari

kapitalisme. Lebih lanjut dikatakan bahwa Marxisme lahir sebagai penjembatan

ketidakseimbangan kelas dalam masyarakat tersebut.

Dalam kesimpulannya, The Pearl adalah novel Steinbeck kritik

kapitalisme Marxis. Steinbeck yang pernah meraih penghargaan nobel sastra

menjajarkan dua kelas kontrastif, kapitalis dan proletar dalam novel tersebut di

mana kaum kapitalis menggunakan kuasa materialnya untuk mengeksploitasi si

miskin; pertama kaum miskin tidak sadar kalau mereka dieksploitasi, kedua pola

itu diterima sebagai sesuatu yang lumrah dan mentradisi, ketiga kemiskinan

membuat mereka berada dalam ketidakberdayaan. Dalam kesimpulan paling

akhir, dijelaskan bahwa pertentangan ini akan bermuara pada dua pilihan;

ekploitasi akan terhenti sebagai sebuah keberhasilan dan masyarakat miskin akan

lenyap atau hilang sebagai bentuk kegagalan.

Selain temuan penelitian terhadap novel The Pearl, berikut akan

dipaparkan penelitian-penelitian yang dilakukan dengaan menggunakan objek

formal semiotika Umberto Eco. Temuan pertama adalah tesis berjudul Film

Musikal Generasi Biru: sebuah Tinjauan Semiotika Umberto Eco oleh Raras

(UGM, 2010). Penelitian ini membahasa wujud tanda-tanda, makna tanda, dan

pesan dalam film Generasi Biru. Penelitian ini menguraikan temuan tanda-tanda

22

yang berwujud tulisan-tulisan, ilustrasi musik, dan segala perilaku berupa olah

tubuh. Dalam kesimpulannya Raras mengungkapkan makna film ini sebagai

harapan-harapan masyarakat Indonesia untuk keluar dari keterpurukan, sementara

pesannya adalah bahwa film Generasi Biru adalah pesan penyemangat dan pesan

moral.

Penelitian kedua adalah “Iluminasi Naskah Melalui Karya M. Bakir

Koleksi PNRI: Tinjauan Semiotika Umberto Eco” oleh Chalida Nuraulia

Aisyanarni (UGM 2013). Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah

bagaimana ragam iluminasi, dan makna motif iluminasi dalam naskah koleksi M.

Bakir tersebut. Untuk menjawab permasalahnnya, Aisyanarni menempatkan

semiotika Umberto Eco untuk mengungkap makna motif dalam iluminasi naskah

tersebut yang (menurutnya) non-verbal. Dalam kesimpulannya, ia menjelaskan

ringkasan dari makna-makna motif tersebut dalam ranah filologis.

Penelitian ketiga adalah Makna Beragam Tanda dalam “The Great

Gastby” Karya F. Scott Fitzgerald: Kajian Semotika Umberto Eco oleh Maria

Vincentia Eka Mulatsih (UGM, 2013). Penelitian ini berfokus pada analisis tanda-

tanda konsumerisme dalam novel The Great Gatsby. Mulatsih menggambarkan

dampak indistrialisasi di Amerika telah menyebabkan meknanisasi efisiensi guna

mengurangi biaya produksi. Pekerja dikurangi dan jam kerja ditaambah sehingga

ada dari mereka yang kehilaangaan pekerjaan dan ada pula yang mendapatkan

bayaran yang lebih. Masalah ini kemudian menimbulkan surplus produksi

sehingga perusahaan melakukan sistem pengiklanan secara luas dan menerapkan

sistem bayar kredit. Hal ini memicu terjadinya konsumsi secara masal.

23

Pola konsumsi ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pola hidup

masyarakat Amerika kala itu, mereka menjadi boros dan sangat konsumeris.

Mencermati struktur novel The Great Gatsby, Mulatsih menyimpulkan bahwa

konsumerisme yang ada dalam novel tersebut memiliki makna lain yang tidak

hanya dimaknai secara permukaan semata, akan tetapi mencerminkan sikap

Fitzgerald dalam mengkritisi pola konsumerisme yang seolah menjadi ideologi di

negaranya, yakni Amerika.

Penelitian selanjutnya adalah kajian filologis terhadap sebuah ritual

dengan judul “Makna Tradisi Ritual Dhammong: Sebuah Tinjauan makna

Berdasarkan Konsep Semiotika Umberto Eco”. Dalam penelitian ini, ritual

Dhammong (sebuah upacara adat Madura) diposisikan sebagai satu bentuk yang

terdiri dari persenyawaan tanda-tanda yang memiliki keterikatan makna.

Nurhasannah berpendapat bahwa ketika diposisikan sebagai entitas tunggal, ritual

ini memiliki eksistensi dalam unit kulturalnya. Di akhir penelitiannya, Ritual

Dhammong dipilah menjadi tiga tahap pemaknaan berdasarkan bentuk, yaitu:

teks, gerakan, dan sesajen.

Dari beragam tinjauan di atas, jelas diketahui bahwa kajian ini berbeda

dengan kajian-kajian yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini membahas

keragaman tanda dalam novel The Pearl sebagai alat komunikasi berdasarkan

kerangka semiotika Umberto Eco.

24

1.5 Landasan Teori: Semiotika Umberto Eco

Dengan menempatkan bahwa bidang kajian semiotika meliputi segala

sesuatu yang dapat dipandang sebagai tanda (Eco, 1976: 7), maka novel adalah

salah satu hasil pemikiran dalam suatu kebudayaan tertentu yang dapat diteliti

sebagai obyek semiotika. Eco menjelaskan bahwa tanda adalah segala sesuatu

yang dapat dipakai secara signifikan sebagai pengganti sesuatu yang lain (1976:

7).

Hal pokok yang dikaji dalam semiotika adalah proses kultural sebagai

proses komunikasi yang berlandaskan sistem signifikansi (Eco, 76:8). Lebih

lanjut, proses komunikasi adalah perpindahan sebuah sinyal dari sumber ke

tujuan. Ketika tujuan tersebut adalah manusia sebagai penerima yang merangsang

respon interpretatif dalam diri manusia tersebut, terjadilah proses signifikansi

(Eco, 1976:8).

Dari penjelasan di atas, karya satra menjadi media komunikasi antara

pengarang dengan pembaca melalui kalimat-kalimat yang digunakan dalam

narasinya. Dalam proses pemaknaannya, pembaca melakukan proses signifikasi

dengan menangkap frasa atau kata sebagai suatu kode. Kode menurut Eco adalah

seperangkat aturan atau konvensi (kesepakatan) bersama yang di dalamnya tanda-

tanda dapat dikombinasikan, sehingga memungkinkan pesan dapat

dikomunikasikan dari seseorang kepada yang lain (Eco, 1979). Semiotika

signifikansi tidak terikat dengan semiotika komunikasi, dan sebaliknya semiotika

komunikasi tidak mungkin lahir jika tidak ada semiotika signifikansi (Eco, 1979:

70). Dalam hal ini Steinbeck mengkomunikasikan maksudnya melalui kata-kata

25

dan kalimat-kalimat yang harus diperlakukan sebagai kode untuk diinterpretasi

dengan melakukan proses signifikansi.

Eco menjelaskan tentang kode dengan menggunakan simulasi tanda

bahaya dalam air di waduk. Dengan menempatkan suatu sensor tertentu di waduk,

ketika air mencapai level bahaya maka sensor tersebut berfungsi sebagai alat

pengirim sinyal informasi yang kemudian diterima oleh suatu alat tertentu yang

akan mengubahnya menjadi elemen-elemen berbentuk garis dan kemudian

bermakna pesan bagi sang penerima. Di sini waduk berfungsi sebagai sumber

informasi. Dalam proses pengiriman pesan dari sumber ke penerima/tujuan,

serangkaian proses yang dimulai dari pengirim hingga tujuan disebut sebagai

kode.

Lebih lanjut Eco mengatakan bahwa ketika sebuah kode membagi elemen-

elemen sistem penyampaiannya menjadi elemen-elemen sistem yang ia

sampaikan, yang pertama akan menjadi ekspresi dari yang kedua dan yang kedua

akan menjadi isi yang pertama:

A B

Ekspresi Isi

Ketika sebuah ekspresi dikaitkan dengan sebuah sebuah isi, maka lahirlah apa

yang disebut sebagai fungsi tanda. Dengan demikian isi tidak akan ada jika tidak

ada sesuatu yang mewakilinya, yaitu ekspresi. Secara spesifik Hjemselv

mengatakan bahwa tanda digunakan sebagai nama unik yang terdiri dari bentuk-

isi (content-form) dan bentuk ekspresi (form-expression) dan terbentuk

kesalingterkaitan yang dapat disebut sebagai fungsi tanda (Eco, 1976: 70).

26

Dengan masih menggunakan model pintu air, Eco menjelaskan bahwa

penelitian harus memiliki batasan pengamatan yakni pengamatan internal. Hal ini

dimaksudkan bahwa sang peneriman harus memiliki pengetahuan yang tepat

sehingga pemahaman tentang kode tidak berubah. Tawaran telaah tanda-tanda

yang digunakan adalah dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Kontinum (rangkaian) kemungkinan-kemungkinan fisik sebagai bahan

baku yang menjadi sumber berbagai elemen yang dapat digunakan sebagai

alat ekpresif

b. Sarana-sarana ekspresif berupa token-token yang merepresentasikan a.

c. Suatu sistem posisi-posisi kosong, suatu struktur yang menjadi dasar bagi

token utuk memperoleh sifat posisional dan oposisionalnya

d. Token dan posisi-posisi/struktur kosong tersebut dipilih sebagai bidang

ekspresif dari suatu bidang isi

Dalam model ini, kondisi faktual Amerika menjadi sumber informasi yang

kemudian dipilah-pilah informasinya yang bersesuaian dengan fakta-fakta yang

muncul dalam novel The Pearl sebagai kemungkinan poin a) atau poin b).

Dengan demikian, maka (a) sebuah kode membentuk korelasi antara suatu

bidang ekspresif (dalam aspek yang formal dan sistematis) dan suatu bidang isi

(b) suatu fungsi tanda mengkorelasikan elemen abstrak dengan sistem ekspresi

dan elemen abstrak sistem isi (c) dengan cara ini, suatu kode membentuk tipe-tipe

umum, dan oleh karena itu, memproduksi kaidah yang melahirkan token-token

konkret, yaitu tanda-tanda seperti yang biasanya muncul dalam proses komunikasi

27

(d) kedua kontinum tersebut merepresentasikan elemen-elemen yang mendahului

korelasi semiotik (eco, 67:178).

Dengan menandai bahwa suatu kode tertentu menjadi titik tolak ranah

interpretasi signifikansi, transformasi penandaan dalam model transmisi kode

pada pola pintu air tadi, suatu signifikansi muncul dari signifikansi sebelumnya,

yakni dari A menjadi A’ meskipun masih tetap bersandar pada A. Dalam hal ini

terjadilah apa yang dinamakan sebagau keterangkatan kode yang oleh Hjemselv

disebut sebagai semiotika konotatif (Eco, 1979: 79).

Semiotika konotatif akan ada manakala ada semiotika yang bidang

ekspresifnya adalah semiotika yang lain. Yang membentuk sebuah konotasi

adalah kode konotatif yang mendasarinya; sedangkan ciri kode konotatif adalah

fakta bahwa signifikansi kedua dan seterusnya secara konvensional bersandar

pada signifikansi pertama. Dengan demikian, konotasi bukanlah sesuatu yang

menyimpang atau tak berdasar sama sekali, melainkan ia merujuk pada

signifikansi pertama, yakni makna denotatifnya. (79)

Secara tegas Eco mengatakan adanya tingkatan pemaknaan denotasi

maupun konotasi;

The difference between denotation and connotation is not (as many

authors maintain) the difference between ‘univocal’ and ‘vague’

signification, or between ‘referential’ and ‘emotional’ communication,and

so on. What constitutes a connotation as such is the connotative code

which establishes it; characteristic of a connotative code is the fact that

the further signification conventionally relies on a primary one (Eco,

1976: 55).

Dengan demikian dapat dipahami bahwa yang membentuk konotasi adalah

kode konotasinya. Ciri kode konotatif adalah bahwa signifikansi kedua dan

28

seterusnya secara konvensional bersandar pada signifikansi pertama. Jelas bahwa

menurut Eco konotasi bukanlah sesuatu yang kabur, namun berlandaskan

signifikansi pertama atau makna denotatif. Lebih lanjut Eco menjabarkan

denotasi-konotasi sebagai berikut;

a. Sebuah denotasi adalah sebuah unit kultural atau properti semantis dari

ebuah sememe yang pada saat bersamaan juga merupakan properti dari

referen-referen yang sudah dikenali secara kultural;

b. Sebuah konotasi adalah unit kultural atau properti semantis dari sebuah

sememe yang disampaikan oleh denotasinya dan belum tentu

berkorespondensi dengan referennya yang dikenali secara kultural.

Berdasarkan pembacaan tersebut, pemaknaan atau signifikansi

pertama/denotasi wajib dilakukan unutk menemukan pemaknaan selanjutnya,

yakni konotasi. Berkaitan dengan posisi kode sebagai dasar untuk melakukan

proses signifikansi, pluralitas kode dapat bekerja secara vertikal dan horizontal.

Horizontal adalah ketika penerima mendekode keseluruhan ungkapan dengan

merujuk pada suatu kode, dan kemudian mendekode paruh kedua ungkapan

tersebut pada kode lain. Vertikal adalah ketika adanya penambahan sejumlah level

signifikansi pada kode pertama yang menjadi dasar (Eco, 1976: 57-58). Ada

empat fenomena dalam kode tersebut yakni;

a. Sistem sintaksis: sekumpulan sinyal yang diatur oleh hukum

kombinasi internalnya sendiri

b. Sistem semantik; serangkaian pengertian (notions) atau isi,

c. Serangkaian respon-respon behavioral yang mungkin di pihak tujuan.

29

d. Sistem kaidah penggabungan beberapa item di sistem a) dengan

beberapa item di sistem b) atau c) (Eco, 1976:36-37)

Pemaknaan denotatif terkait isi dilakukan secara internal dengan kondisi

faktual sebagai sumber informasi yang bersesuaian dengan tanda-tanda dalam

novel The Pearl yang merupakan aplikasi dari poin a) dan poin b). Sitem kode

tersusun dari serangkaian elemen terbatas yang disusun secara berlawanan dan

dibentuk berdasarkan kaidah kombinasional yang dapat melahirkan rangkaian-

rangkaian elemen ini secara terbatas maupun tidak terbatas. Dalam disiplin-

disiplin ilmu sosial, sistem tersebut nyaris selalu dianggap atau dipakai dalam

rangka menunjukkan bagaimana satu sistem dapat memberitahukan seluruh atau

sebagian sistem lain yang setipe dengannya yang hingga pada titik terakhir

berkaitan dengan yang pertama dan sebaliknya, membentuk salah satu ranah

fungsi korelasional) disebut kode (Eco, 1976: 36-37).

Denotasi adalah dasar dari sebuah wahana-tanda yang dapat dipahami

sebagaimana yang dimaksudkan pengirim. Namun konotasi-konotasi yang

berbeda-beda dapat dilekatkan pada wahana-tanda itu karena si penerima

mengikuti jalan lain di pohon komposisional yang dirujuk si pengirim (Eco,

76:139). Informasi pesan ini hanya direduksi oleh si penerima ketika dia sudah

memilih suatu intrepretasi tertentu (Eco, 76:139). Jika keadaan membantu peneliti

untuk memilih subkode-subkode mana yang dapat digunakan untuk menjernihkan

pesan, ini berarti bahwa peneliti dapat mengubah isi pesan tersebut dengan

bertindak dalam keadaan tempat di mana pesan tersebut dapat diterima.

30

Eco mengungkapkan bahwa denotasi menjelaskan hubungan ekspresi dan

isi bersifat langsung, mengacu pada realitas. Sementara itu konotasi menjelaskan

hubungan antara ekspresi dan isi yang bermakna tidak langsung, bersandar pada

signifikansi pertama. Eco (1976: 70) mengasumsikan bahwa setiap denotasi

sebuah wahana-tanda (unit semantis yang ditempatkan di sebuah ruang tertentu

dalam sebuah sistem semantik) sudah pasti merupakan interpretannya, suatu

konotasi adalah interpretan denotasi yang mendasarinya, dan konotasi selanjutnya

adalah interpretan konotasi yang mendasarinya pula.

Ilustrasi penjelasan tersebut adalah sebagai berikut; kata /mawar/

interpretan pertamanya adalah ‘bunga mawar’. Interpretan /mawar/ adalah

denotasi berupa definisi ilmiah, yaitu ‘tanaman perdu beraneka ragam berwarna

warni, seperti merah, putih, merah jambu, merah tua, dan lain-lain’. Selanjutnya

makna konotasi definisi itu adalah ‘indah’, yang dapat memunculkan makna

konotasi berikutnya misalnya ‘cinta’. Makna yang terakhir tersebut dibatasi oleh

konteks budaya masyarakat bahwa mawar identik dengan keindahan dan

pengungkapan perasaan cinta.

Hubungan komunikatif, dalam hal ini novel, lebih mengarah pada pesan

estetis yang disampaikan pengarang sebagai proses pengkodean bahwa kode

estetis merupakan hasil dari kode konvensional dan pesan inovatif. Pesan baru

dapat menciptakan kode estteis yang baru dan dapat menegasikan kode umum

yang telah ada. Suatu karya dapat melengkapi dan mentransformasi kode:

Eco describes the aesthetic code as the resut of a dialectics between the

(conventional) code and the innovative message (1968: 162-166). By their

innovative character, aesthetic messages infringe the rules of their genre

and thus negate the code. But at the same time, the new messaeg creates a

31

new aesthetic code: “Every work [of art] upsets the code but at the same

time strengthens it, too: [...] by violating it, the work comletes and

transforms the code” (ibid.:163) (Noth, 90:427).

Mengenai teks estetis sebagai tindak berkomunikasi, Eco menyebutkan bahwa

membaca sebuah produk artistik berarti: (i) menginduksi, yaitu menarik kaidah

umum dari kasus-kasus individual; sekaligus mengabduksi (ii), yaitu mengecek

kode yang lama dan yang baru menggunakan hipotesis; sekaligus berarti (iii)

mendeduksi, yaitu mengecek apakah yang telah diketahui pada satu level dapat

menentukan peristiwa artistik lain di level yang lain. Maka di seluruh bentuk

inferensi ini bekerja serentak (Eco, 76:275).

Pemahaman teks estetis guna menguak tanda lebih jauh dijabarkan oleh

Eco bahwa pemahaman tersebut didasarkan pada dialektika antara penerimaan

dan pengingkaran kode-kode pengirim di satu sisi dan pengenalan penolakan atas

kode-kode personal di lain sisi (76:275). Hal ini memungkinkan terjadinya

tegangan sebagai proses negosiasi makna antara pengarang dengan pembaca

berdasarkan pengetahuan personalnya. Mesipun begitu, ada satu landasan

konvensi yang sama sehingga meskipun terjadi perbedaan, interpretasi pembaca

meskipun berbeda bukan berarti melawan maksud pengarang sepenuhnya.

Penerima mencoba mengira-ngira dengan data-data estetisnya (yang mungkin

sama dengan yang dimiliki pengarang) sehingga ia mendapatkan

interpretasi/penafsiran yang hampir benar dengan apa yang dimaksudkan

pengarang, sehingga terjadilah dalam pembacaan interpretatif apa yang disebut

dialektika antara kepatuhan dan kebebasan inventif (Eco, 76:412). Definisi

32

semiotik sebuah teks estetis memberikan model yang telah terstruktur pada sebuah

proses komunikasi yang belum terstruktur (Eco,76:276).

Pembacaan konsep teori Eco ini kemudian diekstraksi menjadi pokok-

pokok acuan yang akan digunakan dalam membedah novel The Pearl, yaitu:

pertama, konsep keterhubungan antara konotasi terhadap denotasi adalah jelas

dan bukan sesuatu yang kabur. Kedua, sistem kode merupakan serangkaian

elemen terbatas menanungi satu topik yang dapat dikorelasikan sehingga

penerima dapat mengaitkan pemaknaan antar tanda secara lebih dinamis, dan

ketiga adalah bahwa dialektika penerimaan kode-kode pengirim memungkinkan

adanya interpretasi-interpretasi.

1.6 Metode Penelitian

Poedjawinata (dalam Faruk, 2012:23) menyatakan bahwa pengetahuan

yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan, cara perolehan

pengetahuan atau metode penelitian itu harus sesuai dengan kenyataan adanya

obyek yang bersangkutan, sesuai dengan apa yang disebut sebagai kodrat

keberadaan obyek itu. Kenyataan adanya obyek itu dinyatakan oleh konsep, teori,

dan pengertian-pengertian yang terkandung di dalam hipotesis dan juga variabel-

variabel yang ditentukan atas dasarnya. Lebih lanjut Faruk (2012: 22) mengatakan

bahwa untuk menguji hipotesis yang merupakan hasil deduksi teoretik, diperlukan

data-data empirik yang diperoleh secara induktif yang kemudian harus dianalisis

sehingga ditemukan hubungan antar-data yang dianggap merepresentasikan

hubungan antar-fakta sebagaimana dinyatakan dalam teori dan hipotesis. Oleh

33

karena itu, dua tahap yang harus dilakukan dalam penelitian ini adalah

pengumpulan data dan analisis data.

1.6.1. Metode Pengumpulan Data.

Data dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Metode kualitatif dalam

pengumpulan data ini diartikan sebagai suatu metode penelitian yang tidak

mengadakan perhitungan (Moleong, 1989:2). Bodgan dan Taylor (melalui

Meleong, 1989:3) mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian

yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan. Penelitian

dengan menggunakan data kuantitatif adalah penelitian yang berlandaskan

fenomenologi dan paradigma konstruktivisme dalam mengembangkan ilmu

pengetahuan (Ikbar, 2012:146). Dalam penelitian kualitatif, sebagaimana yang

dijelaskan oleh Moleong (dalam Ikbar, 2012: 146) terdapat sebelas karakteristik,

yaitu: menggunakan latar ilmiah, menggunakan manusia sebagai instrumen

utama, menggunakan metode kualitatif (pengamatan, wawancara, atau studi

dokumen) untuk menjaring data, menganalisis secara induktif, menyusun teori.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pengumpulan data kualitatif dengan

mengadakan studi dokumen.

Pada pengumpulan data, data yang digunakan berupa data primer dan

sekunder. Data primer berupa kalimat-kalimat yang ada dalam novel The Pearl

yang diperoleh dengan menggunakan pembacaan dekat terhadap objek material.

Selain tu, penulis juga akan menggunakan data sekunder berupa sumber-sumber

referensi tertulis (buku, makalah, jurnal, laporan penelitian, skripsi, dan lain

34

sebagainya) yang memiliki kaitan dengan novel The Pearl secara keseluruhan

yang dapat membantu mencapai tujuan penelitian ini.

1.6.2 Metode Analisis Data

Setelah melakukan pengumpulan data, penulis akan melakukan analisis data

dengan menggunakan cara kerja teori Umberto Eco, dengan konsep analsis

revisian. Eco menjelaskan bahwa denotasi adalah isi dari sebuah ekspresi dan

konotasi adalah isi dari fungsi tanda. Kode dimaknai sebagai seperangkat aturan

atau konvensi (kesepakatan) bersama yang di dalamnya tanda-tanda bisa

dikombinasikan, sehingga memungkinkan pesan dapat dikomunikasikan dari

seseorang kepada yang lain (Eco, 1979). Mengenai teori kode, Eco (2009: 81)

selanjutnya menegaskan bahwa teori kode semestinya lebih banyak berurusan

dengan bagaimana menentukan sampai manakah keterangkatan kode konotasi bia

dimungkinkan. Dengan kata lain bahwa sebuah fungsi-tanda terus berpotensi

untuk menghasilkan konotasi-konotasi lain. Untuk sampai pada makna konotasi

tersebut, penulis menggunakan analisis revisian. Model revisian ini bertujuan

untuk memasukkan seluruh konotasi yang telah terkodekan dan bergantung pada

denotasi serta terkait pada seleksi kontekstual dan keadaan dalam representasi

semantis.

Setelah melakukan tahapan analisis konotatif, peneliti akan

menghubungkan konotasi tersebut dengan pemaknaan baru dari kode utama,

dalam hal ini mutiara, untuk menemukan arti dari teks yang sudah diinterpretasi.

Dengan demikian diharapkan lamngkah kerja teori ini mampu menjawab

35

pertanyaan penelitian. Sehingga, terapan teori Umberto Eco tepat untuk

diterapkan dalam penelitian ini.

1.7 Sistematika Penyajian

Untuk mempermudah pemahaman, penelitian ini dibagi menjadi empat

bab dengan titik fokus tersendiri. Bab I, sebagaimana tulisan ilmiah lainnya,

merupakan awalan yang berisi pendahuluan. Adapun pendahuluan membicarakan

pembahasan kritis dan topikal tentang posisi karya sastra dikaitkan dengan

fenomena yang terjadi di Amerika. Hal tersebut menjadi permulaan munculnya

rumusan masalah berupa pertanyaan penelitian berkaitan dengan kebaruan dan

pemilihan teori dan metodologi yang tepat untuk mencapai tujua penelitian.

Bab II, sesuai dengan ancangan penelitian akan membahas naturalisme

dalam sastra Amerika, dan prinsip kesetaraan sebagai dasar filosofi. Fenomena

terjadinya praktik-praktik diksriminatif di Amerika juga akan dipaparkan di sini

untuk dijadikan sebagai marka denotatif sesuai dengan tuntutan teori yang

digunakan, yakni Teori Semiotika Umberto Eco.

Bab III merupakan analisis kritis terhadap semua data yang berkaitan

dengan fenomena dalam novel The Pearl. Bab ini akan membahas makna

denotasi dan makna konotasi yang direpresentasikan oleh novel The Pearl

sekaligus membuktikan asumsi tentang pesimisme yang dimaksudkan oleh John

Steinbeck. Bab terakhir adalah Bab IV yang akan memberikan kesimpulan sebagai

hasil akhir penelitian. Bab ini akan menegaskan kembali hasil-hasil analisis dalam

bab pembahasan. Dalam bab ini juga akan disajikan catatan-catatan kritis

36

berdasarkan temuan-temuan sebelumnya. Catatan tersebut diharapkan mampu

memberikan kontribusi pemikiran dalam memahami teori maupun karya yang

berkaitan.