unit khusus museum bank indonesia: sejarah bank indonesia · ketentuan-ketentuan dalam konvensi...

30
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia 1 SEJARAH BANK INDONESIA : SISTEM PEMBAYARAN Periode 1966-1983 Cakupan : Halaman 1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Sistem Pembayaran Periode 1966-1983 2 2. Arah Kebijakan 1966-1983 4 3. Langkah-Langkah Strategis 1966-1983 5 4. Sistem Pembayaran Tunai 8 a. Manajemen Alat Pembayaran Tunai 1966-1983 8 b. Alat Pembayaran Tunai 1966-1983 9 5. Sistem Pembayaran Non Tunai 27 a. Manajemen Alat Pembayaran Non Tunai 1966-1983 27 b. Alat Pembayaran Non Tunai 1966-1983 29

Upload: dinhdieu

Post on 04-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

1

SEJARAH BANK INDONESIA : SISTEM PEMBAYARAN Periode 1966-1983

Cakupan : Halaman

1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Sistem Pembayaran Periode 1966-1983

2

2. Arah Kebijakan 1966-1983 4

3. Langkah-Langkah Strategis 1966-1983 5

4. Sistem Pembayaran Tunai 8

a. Manajemen Alat Pembayaran Tunai 1966-1983 8

b. Alat Pembayaran Tunai 1966-1983 9

5. Sistem Pembayaran Non Tunai 27

a. Manajemen Alat Pembayaran Non Tunai 1966-1983 27

b. Alat Pembayaran Non Tunai 1966-1983 29

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

2

1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Sistem Pembayaran Periode 1966-1983

Pada tanggal 25 Juli 1966, telah dibentuk Kabinet Ampera menggantikan Kabinet Dwikora. Pemerintahan orde baru telah dimulai. Tugas pokok kabinet yang dipimpin oleh presidium tersebut adalah melaksanakan program stabilisasi dan rehabilitasi yang berkonsentrasi pada pengendalian inflasi, pencukupan penghidupan pangan, rehabilitasi prasarana ekonomi, peningkatan ekspor, dan pencukupan kebutuhan sandang. Sejak saat itu, secara umum, pembangunan ekonomi dan pembangunan nasional menjadi prioritas utama orde baru. Berdasarkan UU No. 13/1968 tentang Bank Sentral, ditegaskan bahwa Bank Indonesia (BI) mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam sebagai alat pembayaran yang sah. Berbeda dengan UU No. 11/1953, dalam UU No. 13/1968 tidak ada lagi pembatasan jenis uang dan nilai nominal uang yang dikeluarkan oleh BI. Peran BI dalam sistem pembayaran secara tersirat tercantum dalam UU Bank Sentral 1968 yang menyebutkan bahwa BI membina perbankan dengan jalan memperluas, memperlancar dan mengatur lalu lintas pembayaran giral serta menyelenggarakan kliring antar bank.

Secara lebih khusus, BI selalu mengupayakan tersedianya uang kartal dalam jumlah/nilai yang cukup, tepat waktu, dan komposisi pecahan yang memenuhi kebutuhan sesuai dengan perkembangan kegiatan ekonomi. Selain itu, uang yang diedarkan selalu dalam kondisi baik atau layak edar serta aman dari usaha pemalsuan uang. Pada periode tersebut, seiring dengan perkembangan politik yang sedang berlangsung, uang kertas Seri Presiden Soekarno ditarik dari peredaran dan

diganti dengan Seri Jenderal Sudirman bertanda tahun 1968. Seri tersebut dikeluarkan dalam 11 pecahan dari Rp 1 sampai Rp 10.000. Selain uang kertas, untuk pertama kalinya, BI juga mengeluarkan uang logam pada 1 Januari 1971, yaitu uang logam emisi tahun 1970 dari bahan alumunium. Uang logam tersebut terdiri dari pecahan Rp 1, Rp 2, dan Rp 5. Berikutnya berkaitan dengan wilayah Irian Barat, dilakukan penarikan mata uang rupiah Irian Barat sejak tanggal 1 Mei 1971 yang bertujuan untuk kesatuan moneter di seluruh wilayah Indonesia. Sebelum penarikan tersebut, pemerintah terlebih dahulu mengumumkan berlakunya uang rupiah (umum) secara sah di wilayah Irian Barat, di samping rupiah Irian Barat yang akan diganti secara bertahap. Pada saat itu nilai tukar IB Rp 1 adalah Rp 18.90.

Ketentuan Maret 1967 menyatakan akan membentuk lembaga kliring di Jakarta dan kota-kota besar, sedangkan bank sentral akan menjadi pusat penghitungan kliring. Penyelenggaraan kliring oleh Kantor Pusat Bank Indonesia di Jakarta dimulai tanggal 7 Maret 1967 dengan sistem manual. Dengan perubahan ini maka semua kantor bank menjadi peserta kliring langsung dan sistem sub kliran dihapuskan. Kemudian settlement diubah dari "T+1" menjadi "T+0". Dalam periode ini juga dikeluarkan dua kebijakan baru, yaitu tentang UU cek kosong dan ketentuan bilyet giro yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Dalam rangka pembayaran belanja rutin dan belanja pembangunan, Kantor Perbendaharaan dan Keuangan Negara (KPKN) mengeluarkan Surat Perintah Membayar Giro Bank (SPMGB) guna disampaikan kepada BI sebagai alat pembayaran pengganti bilyet giro. Sedangkan dalam

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

3

transaksi pembayaran luar negeri, pemerintah melakukan penarikan pinjaman luar negeri dengan menggunakan L/C. Transaksi luar negeri lainnya juga dilakukan dengan L/C atau transfer dana dan teleks serta menggunakan travel cheque. Pada periode ini, dikenal kompensasi regeling untuk bank-bank pemerintah. Kompensasi tersebut adalah pemindahan semua saldo debet dan saldo kredit dari bank di daerah ke rekening Bank Indonesia di Jakarta melalui Nota Debet dengan Teleks (NDT) dan Nota Kredit dengan Teleks (NKT). Ketentuan ini dicabut pada bulan Oktober 1994. Pada bulan September 1981, BI menetapkan bahwa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kliring di Jakarta adalah bagian Lalu lintas Giral di bawah Urusan Pengawasan dan Pembinaan Bank-bank. Di daerah, tanggung jawab itu diserahkan pada BI setempat. Jika tidak terdapat kantor cabang BI, maka yang bertanggung jawab adalah bank pemerintah yang ditunjuk oleh BI.

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

4

2. Arah Kebijakan 1966-1983 Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, Bank Indonesia menjadi satu-satunya lembaga yang mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia.

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, Bank Indonesia menjadi satu-satunya lembaga yang mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Dalam penjelasan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 disebutkan bahwa dipandang dari sudut ekonomi, tidak ada perbedaan fungsional antara uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan uang yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Oleh karena itu, atas dasar kepentingan keseragaman dan efisiensi, pengeluaran uang kertas dan uang logam cukup dilakukan oleh satu lembaga saja, yaitu Bank Indonesia yang merupakan lembaga keuangan negara. Dengan demikian tidak ada lagi pembatasan jenis uang maupun nilai nominal uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia seperti sebelumnya. Pemerintah juga tidak lagi mengeluarkan uang kertas dan uang logam pecahan di bawah lima rupiah. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, Bank Indonesia berwenang untuk menetapkan jenis, nilai dan ciri-ciri uang yang akan dikeluarkan. Namun demikian, jumlah maksimum uang yang akan beredar dalam suatu tahun anggaran ditentukan oleh Pemerintah sebelum permulaan tahun anggaran dan dicantumkan dalam Nota Keuangan pada awal tahun anggaran yang bersangkutan.

Di bidang pembayaran non tunai, kebijakan Bank Indonesia pada periode ini diarahkan pada penerapan sistem pembayaran non tunai yang efisien dan aman dengan diterapkannya sentralisasi sistem kliring yang berlaku untuk seluruh Indonesia.

Disamping itu, terdapat perubahan kebijakan Pemerintah tentang kejahatan berupa penarikan cek kosong, sehingga Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 1971 (yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1971 tanggal 17 Oktober 1971) tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964. Akibat pencabutan tersebut, ketentuan-ketentuan Bank Indonesia tentang cek kosong juga mengalami penyesuaian.

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

5

3. Langkah-Langkah Strategis 1966-1983

Dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang mengeluarkan uang kertas dan uang logam sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia, Bank Indonesia bersama Pemerintah telah melakukan berbagai langkah penting untuk mencegah terjadinya kejahatan atau pelanggaran yang berkaitan dengan uang, yang dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap uang.

Dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang mengeluarkan uang kertas dan uang logam sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia, Bank Indonesia bersama Pemerintah telah melakukan berbagai langkah penting untuk mencegah terjadinya kejahatan atau pelanggaran yang berkaitan dengan uang, yang dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap uang. Ada pun langkah-langkah penting tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

Pemerintah dan Bank Indonesia sangat berkepentingan untuk menanggulangi kejahatan pemalsuan uang. Upaya pemberantasan kejahatan tersebut harus dilakukan secara menyeluruh melalui koordinasi di antara instansi-instansi terkait, dengan memperhatikan faktor kecepatan, ketepatan dan kerahasiaan. Sehubungan dengan itu maka berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1971 tanggal 22 Maret 1971, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) ditugaskan untuk mengkoordinasikan semua usaha dan kegiatan dari badan/instansi yang mempunyai wewenang dalam bidang pemberantasan uang palsu. Selain itu Kepala BAKIN ditugaskan juga menyelenggarakan kegiatan atau operasi intelijen dalam rangka upaya menemukan sumber peredaran uang palsu.

Berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1971 tersebut, Kepala BAKIN membentuk Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu (BOTASUPAL) dengan tugas/fungsi menyelenggarakan koordinasi tingkat pimpinan, merumuskan kebijakan pelaksanaan dalam berbagai bidang serta menetapkan langkah/tindak lanjutnya. Adapun instansi-instansi yang tergabung dalam BOTASUPAL adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI), Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Bank Indonesia sebagai bank sentral, Perum Peruri, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Imigrasi dan Departemen Penerangan Republik Indonesia.

Dapat ditambahakan disini bahwa di tingkat internasional, upaya penanggulangan kejahatan uang palsu telah jauh lebih dahulu dilakukan, yaitu melalui pengesahan Konvensi Internasional Mengenai Pemberantasan Uang Palsu. Dalam sidang di Jenewa tanggal 20 April 1929 Liga Bangsa-Bangsa telah menerima dengan baik dan mengesahkan “International Convention for the Suppression of Counterfeiting Currency and Protocol, Geneve 1929”. Setelah Liga Bangsa-Bangsa bubar, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan Resolusi tanggal 18 November 1963 memberikan kemungkinan kepada negara-negara anggota PBB untuk menjadi pihak pada perjanjian multilateral yang bersifat teknis dan non politis yang dibuat di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa dengan jalan aksesi. Pada tahun 1932, Pemerintah

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

6

Kerajaan Belanda mengesahkan dan memberlakukan Konvensi tersebut bagi wilayah negara serta beberapa jajahannya yang meliputi Suriname dan Antillen, namun tidak termasuk wilayah Hindia Belanda.

Pada bulan Maret 1964, PBB mengundang para anggotanya termasuk Republik Indonesia untuk menjadi pihak Konvensi tersebut di atas. Selama ini usaha menanggulangi dan memberantas pemalsuan uang, khususnya yang dilakukan di luar negeri, selalu terbentur pada tidak adanya suatu ikatan hukum internasional sebagai landasan hukumnya. Pemerintah Republik Indonesia menilai bahwa ketentuan-ketentuan dalam Konvensi tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Republik Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah memutuskan untuk mengesahkan Konvensi tersebut melalui Undang-Undang Nomor 6 tahun 1981 tanggal 21 Juli 1981. Pengesahan dilakukan dengan suatu persyaratan (reservation) terhadap pasal tentang penyelesaian perselisihan mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi. Pemerintah Indonesia mengambil sikap bahwa apabila ada perselisihan yang menyangkut penafsiran atau penerapan Konvensi, akan diajukan ke badan arbitrase atau ke Mahkamah Internasional untuk mendapatkan keputusan, hanya atas dasar persetujuan dari semua pihak yang berselisih. Keikutsertaan Indonesia mengesahkan Konvensi tersebut akan sangat bermanfaat bagi National Central Bureau (NCB) Indonesia/ International Criminal Police Organization (ICPO), yang lebih dikenal dengan sebutan INTERPOL, yang diketuai oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam kerja sama melakukan langkah-langkah pemberantasan pemalsuan uang bersama dengan negara-negara peserta konvensi.

Masih di bidang alat pembayaran tunai, dalam rangka mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah serta untuk pengamanan terhadap kemungkinan masuknya uang rupiah palsu, Bank Indonesia memandang perlu untuk menetapkan ketentuan tentang persyaratan membawa uang rupiah keluar dari dan masuk ke wilayah Republik Indonesia. Salah satu ketentuan yang diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 14/48/Kep/Dir/UL tanggal 21 Oktober 1981 adalah bahwa membawa uang keluar dari atau masuk ke wilayah Republik Indonesia hanya dapat dilakukan dengan cara dibawa sendiri waktu yang bersangkutan meninggalkan atau memasuki wilayah Republik Indonesia. Batas jumlah yang diperbolehkan adalah maksimum Rp50.000.

Di bidang alat pembayaran non tunai, ada dua langkah signifikan yang dilakukan, yaitu Bank Indonesia menerapkan sentralisasi sistem kliring yang berlaku untuk seluruh Indonesia, dan Pemerintah mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 1971 (kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1971) tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964. Kebijakan dalam bidang kliring dilakukan karena kondisi bank-bank umum swasta yang berinduk kepada Bank Dagang Negara dan Bank Negara Indonesia Unit II, Unit III dan Unit IV tidak dapat diketahui secara langsung oleh Bank Negara Indonesia Unit I. Selain itu proses perhitungan kliring juga harus dilakukan bertingkat dari bank peserta tidak langsung kepada bank peserta langsung. Untuk memajukan dan memperlancar lalu lintas pembayaran secara giral, serta untuk memudahkan pengawasan terhadap semua bank umum, Direksi Bank Negera Indonesia Unit I memutuskan untuk membentuk Lembaga Kliring dan menerapkan sentralisasi sistem kliring.

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

7

Pada periode ini Pemerintah telah mencabut Undang-Undang No. 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong. Awalnya, penarikan cek kosong yang dianggap sebagai tindak pidana ekonomi diancam dengan sanksi pidana yang berat, yaitu hukuman mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara 20 tahun. Ancaman pidana yang berat itu ternyata menimbulkan keengganan masyarakat menggunakan cek dalam lalu lintas pembayaran. Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Pencabutan Undang-Undang No. 17 Tahun 1964. Akibat pencabutan tersebut, ketentuan-ketentuan Bank Indonesia tentang cek kosong juga mengalami penyesuaian.

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

8

4. Sistem Pembayaran Tunai :

a. Manajemen Alat Pembayaran Tunai 1959-1966

Sebagai lembaga yang memegang hak tunggal untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah sebagai ala pembayaran yang sah di seluruh wilayah Republik Indonesia, Bank Indonesia harus dapat menjamin tersedianya uang kartal sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sebagai lembaga yang memegang hak tunggal untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah sebagai ala pembayaran yang sah di seluruh wilayah Republik Indonesia, Bank Indonesia harus dapat menjamin tersedianya uang kartal sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Terpenuhinya kebutuhan tersebut mencakup aspek-aspek kecukupan jumlah atau nilai uang, komposisi pecahan uang yang sesuai, waktu dan tempat yang tepat, serta kondisi uang yang baik atau layak edar. Aspek-aspek tersebut perlu dijaga agar selalu dilaksanakan dengan mempertimbangkan segi pengamanan dan efisiensi antara lain upaya mencegah pemalsuan uang serta menekan biaya pengadaan dan pengedaran uang. Secara garis besar manajemen pengedaran uang meliputi kegiatan penerbitan uang baru, pengadaan uang, penyebaran uang serta pencabutan dan penarikan kembali uang dari peredaran. Pada tanggal 1 Desember 1980, Direksi Bank Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan No. 13/52/Kep/Dir/UPU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pelaksanaan Pengedaran Uang yang berlaku mulai tanggal 31 Desember 1980. Dalam bidang pengadaan bahan uang dan pencetakan uang, Bank Indonesia bekerja sama dengn Perum Peruri yang dituangkan dalam Perjanjian Pokok Hubungan Kerja (PPHK) tanggal 23 Maret 1981. Dalam melaksanakan pengedaran uang, Bank Indonesia tetap menjalankan clean money policy, yaitu harus selalu menjaga agar uang yang beredar di masyarakat dalam keadaan yang layak edar. Uang yang kondisinya dinilai tidak lagi layak untuk diedarkan akan diberi tanda dan dinyatakan tidak berharga oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia juga berhak mencabut kembali uang yang dikeluarkannya dan menarik dari peredaran melalui penukaran dalam jangka waktu dan pada tempat-tempat yang ditentukan.

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

9

b. Alat Pembayaran Tunai 1966-1983

Wewenang Bank Indonesia untuk mengeluarkan semua jenis uang dan pecahan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 mengukuhkan wewenang yang sudah diberikan berdasarkan Penetapan Presiden No. 27 Tahun 1965 tanggal 13 Desember 1965 tentang Pengeluaran Uang Rupiah Baru.

Wewenang Bank Indonesia untuk mengeluarkan semua jenis uang dan pecahan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 mengukuhkan wewenang yang sudah diberikan berdasarkan Penetapan Presiden No. 27 Tahun 1965 tanggal 13 Desember 1965 tentang Pengeluaran Uang Rupiah Baru. Berdasarkan Penetapan Presiden tersebut Bank Indonesia telah mengeluarkan uang kertas dalam berbagai pecahan Rupiah Baru, termasuk pecahan di bawah lima rupiah, yaitu Seri Dwikora pada akhir tahun 1965 dalam pecahan satu sen, lima sen, 10 sen, 25 sen dan 50 sen (mengapa penyebutan angka ada yang dengan huruf ada yang dengan angka) serta Seri Jenderal Sudirman pada awal tahun 1968 dalam pecahan Rp1 hingga Rp10.000. Setelah itu masih dikeluarkan emisi-emisi lainnya, antara lain uang kertas tiga tiga pecahan besar dengan tanda tahun 1975, yaitu Rp1.000, Rp5.000, dan Rp10.000 yang dimaksudkan pada waktunya menggantikan pecahan yang sama dari Seri Jenderal Soedirman. Uang emisi 1975 dicetak dengan teknik cetak intaglio yang terasa kasar bila diraba, untuk membantu mereka yang bermasalah penglihatan. Pada periode ini Bank Indonesia juga mengeluarkan beberapa emisi uang logam dalam berbagai pecahan. Disamping itu Bank Indonesia juga menerbitkan uang khusus peringatan (commemorative coins/notes) dalam rangka memperingati kejadian-kejadian penting yang bersifat nasional maupun internasional. Berikut ini adalah bentuk dan deskripsi dari uang-uang yang dikeluarkan pada periode ini:

1.Uang Kertas Bank Indonesia seri Sudirman

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

10

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

11

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

12

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

13

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

14

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

15

2. Uang Kertas Bank Indonesia emisi tahun 1966-1983

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

16

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

17

CATATAN

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

18

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

19

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

20

3. Uang Logam Bank Indonesia emisi tahun 1966-1983

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

21

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

22

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

23

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

24

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

25

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

26

CATATAN

1. Pada periode ini, 1966-1983, Bank Indonesia menerbitkan uang logam untuk pertama kalinya. Uang logam pertama yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia adalah emisi tahun 1970 dalam pecahan Rp1, Rp2, dan Rp5. Uang logam pecahan kecil tersebut dibuat dari bahan aluminium yang relatif murah terutama dalam rangka menjaga keseimbangan antara nilai instrinsik (nilai bahan uang) dan nilai nominal uang.

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

27

7. Sistem Pembayaran Non Tunai : a. Manajemen Alat Pembayaran Non Tunai 1966 - 1983

Dalam rangka mengatur penggunaan cek dan bilyet giro, Pemerintah dan Bank Indonesia telah mengeluarkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kedua instrumen tersebut.

Dalam rangka mengatur penggunaan cek dan bilyet giro, Pemerintah dan Bank Indonesia telah mengeluarkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kedua instrumen tersebut.

1. Fiat atas cek/bilyet giro oleh bank

Berkaitan dengan pelanggaran yang terjadi dalam pemberian fiat atas cek sebagaimana telah disebutkan di atas maka untuk mencegah berlanjutnya praktek tersebut, Bank Indonesia menyampaikan surat kepada semua bank umum dan bank pembangunan, yaitu surat No. 4/108 UPPB/PbB tanggal 3 Mei 1971 yang menyebutkan bahwa pemberian fiat atas cek nasabah harus memenuhi syarat-syarat:

1. Dana yang tersedia pada rekening nasabah harus dalam jumlah yang cukup; 2. Bank bersedia memberikan fiatnya atas cek tersebut dengan pengertian

bahwa bank mendapat kuasa untuk menyisihkan secara administratif dana nasabah yang bersangkutan guna disediakan untuk membayar cek itu sewaktu-waktu; dan

3. Nasabah menyetujui pembukuan administratif oleh bank bertalian dengan maksud di atas.

Akhirnya pada tahun 1975 Bank Indonesia mengeluarkan Surat Edaran No. 8/8 UPPB tanggal 16 Mei 1975 yang melarang bank memberikan fiat kliring atau fiat bayar atau membubuhkan kata-kata lain yang serupa maksudnya terhadap cek, bilyet giro dan alat-alat pembayaran lalu lintas pembayaran giral lainnya. Apabila ada nasabah penarik cek/bilyet giro atau alat-alat lalu lintas pembayaran giral lainnya meminta tanda fiat, maka bank hanya diperkenankan mengganti alat lalu lintas pembayaran giral tersebut dengan cek/bilyet giro yang ditariknya sendiri atas rekeningnya pada Bank Indonesia atau bank lainnya. Dengan demikian pada saat penukaran dilakukan, rekening nasabah sudah dibebani atau didebet sejumlah nilai yang ditukar dengan cek/bilyet giro Bank Indonesia atau bank lainnya tersebut.

2. Kewajiban bank menggunakan bilyet giro

Syarat formal yuridis penggunaan cek sebagai alat pembayaran giral telah diatur dalam KUHD, sementara ketentuan tentang bilyet giro belum diatur secara tegas. Mengingat fungsi bilyet giro sebagai surat perintah nasabah kepada bank untuk memindahbukukan sejumlah dana dari rekening yang bersangkutan kepada pihak penerima di bank yang sama atau di bank lain sangat bermanfaat sebagai alat pembayaran, sementara banyak bank yang belum mengeluarkan bilyet giro, Bank

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

28

Indonesia kemudian mengatur ketentuan tentang bilyet giro dalam surat kepada semua Bank Umum dan Bank Pembangunan, yaitu surat No. 4/670 UPPB/PbB tanggal 24 Januari 1972 perihal Bilyet Giro.

Dalam surat tersebut diatur antara lain bahwa bilyet giro tidak dapat ditunaikan secara langsung pada kasir bank. Syarat formal bilyet giro harus memuat: nama “bilyet giro” dan nomor seri harus tercantum pada formulir, perintah yang jelas tanpa syarat untuk pemindahbukuan sejumlah dana, nama dan tempat bank tertarik, nama pihak yang harus menerima pemindahbukuan, jumlah dana yang dipindahkan baik dengan huruf maupun dengan angka, tanda tangan penarik dan cap/stempel untuk badan, tempat dan tanggal penarikan, dan tanggal efektif berlakunya amanat serta nama bank lainnya. Jika ada perubahan harus disahkan oleh penarik. Nama penerima dana mutlak harus dicantumkan dan jika tidak dicantumkan, warkat tersebut harus ditolak atau dikembalikan. Tenggang waktu penawaran bilyet giro adalah 70 hari sejak tanggal penarikan. Amanat pemindahbukuan hanya dapat dilakukan apabila dana tersedia efektif pada tanggal efektif dan sebelum 70 hari.

3. Pencabutan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964

Mengenai pencabutan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964, Bank Indonesia juga melakukan beberapa penyesuaian atas ketentuan yang terkait dengan penarikan cek/bilyet giro kosong. Dengan Surat Edaran No. 4/437/UPPB/PbB tanggal 5 Oktober 1971, Bank Indonesia mencabut semua Surat Edaran yang terkait dengan cek kosong, dan mengatur kembali tata cara yang harus dilakukan oleh bank-bank dalam menerima seorang nasabah atau badan untuk menjadi nasabah bank. Ketentuan tersebut antara lain mengatur bahwa bank harus meneliti apakah calon nasabah yang bersangkutan tidak termasuk dalam Daftar Hitam penarik cek/bilyet giro kosong yang sudah dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Bank harus mencatat nama nasabah penarik cek/bilyet giro kosong dengan segala macam aliasnya dan alamat tempat tinggal dan tempat usaha secara lengkap.

Penyempurnaan ketentuan tentang cek/bilyet giro kosong terus berlanjut hingga tahun 1979 dalam periode ini. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan adalah Surat Edaran No. 8/7/UPPB tanggal 5 Mei 1975 sebagai pengganti Surat Edaran No. 4/437/UPPB/PbB, dan Surat Edaran No. 12/8 UPPB tanggal 9 Agustus 1979.

4. Sentralisasi sistem kliring

Dalam kegiatan kliring, Bank Indonesia telah membentuk Lembaga Kliring dan menerapkan sentralisasi sistem kliring yang berlaku untuk seluruh Indonesia, yang pengaturannya tertuang dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 3/12/Kep/Dir tanggal 1 Maret 1967 tentang Pembentukan Lembaga Kliring.

Semua peserta kliring, yang terdiri dari kantor-kantor bank Pemerintah dan kantor-kantor bank swasta yang telah memperoleh izin usaha dan melakukan usaha bank umum, wajib menandatangani surat pernyataan bahwa ia tunduk kepada peraturan kliring dan memenuhi semua kewajiban-kewajiban yang timbul karena pernyataan itu. Semua peserta kliring langsung berhubungan dengan Bank Negara Indonesia Unit I dan tidak lagi melalui bank induk. Semua bank umum sebagai peserta kliring harus membuka rekening giro di Bank Indonesia untuk menampung hasil transaksi kliring baik berupa beban bank maupun untuk keuntungan bank. Pada rekening

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

29

tersebut harus disediakan dana secukupnya. Instansi Pemerintah dapat pula membuka rekening giro di Bank Indonesia sepanjang yang bersangkutan dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

5. Tahap awal Pasar Uang Antar Bank

Dalam periode ini Bank Indonesia mulai memperkenalkan pasar uang antar bank (PUAB) untuk memfasilitasi bank-bank yang mengalami kekurangan dana dan tidak dapat menutup kekalahan dalam kliring pada hari yang bersangkutan. Pelaksanaan PUAB ini diatur dalam Surat Edaran No. 6/22/UPUM tanggal 22 Februari 1974 perihal Pasar Uang Antar Bank yang mengatur tentang peserta, penawaran dan permintaan, jangka waktu, tatacara pelaksanaan transaksi, proses dalam kliring, pencatatan, dan pencairan kembali surat aksep.

b. Alat Pembayaran Non Tunai 1966-1983

Alat pembayaran non tunai yang digunakan pada periode ini masih sama dengan yang digunakan pada periode sebelumnya. Namun demikian ada beberapa hal terkait dengan penggunaan cek dan bilyet giro yang memerlukan perhatian dan tindakan tertentu dari Bank Indonesia.

Alat pembayaran non tunai yang digunakan pada periode ini masih sama dengan yang digunakan pada periode sebelumnya. Namun demikian ada beberapa hal terkait dengan penggunaan cek dan bilyet giro yang memerlukan perhatian dan tindakan tertentu dari Bank Indonesia.

1. Fiat atas cek/bilyet giro oleh bank.

Di dalam dunia perdagangan dikenal keberadaan fiat atas cek dan bilyet giro. Praktek ini merupakan kebiasaan dalam praktek perbankan di Indonesia, yaitu untuk membantu masyarakat (pemegang cek yang bersangkutan) guna mendapatkan kepastian bahwa cek yang dipegangnya, telah disishkan dananya dari rekening nasabah penarik. Praktek ini banyak disalahgunakan, karena ternyata banyak cek yang telah difiat oleh pejabat bank akhirnya terbukti merupakan cek kosong.

2. Kewajiban bank menggunakan bilyet giro.

Berkaitan dengan penggunaan bilyet giro, pada tahun buku 1966/1967 Kementerian Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta menyadari dan mengetahui bahwa kurang sekali perhatian dari bank-bank umum swasta untuk melaksanakan pembayaran-pembayaran dengan cara pemindahbukuan. Bank-bank umum swasta masih banyak yang sama sekali tidak mengeluarkan bilyet giro. Berhubung dengan itu Pemerintah melalui Deputi Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta dengan surat No. 091/DMUPBMS/66 tanggal 16 Juli 1966 mengingatkan bahwa semua bank swasta diwajibkan untuk mengeluarkan bilyet giro disamping alat pemerintah membayar lainnya. Bank-bank diminta mengusahakan agar

Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

30

pembayaran-pembayaran dilakukan secara giral (pemindahbukuan) serta menganjurkan kepada nasabahnya agar membiasakan diri menggunakan pembayaran secara giral pula.

Khusus untuk transaksi di pasar uang antarbank (PUAB) atau interbank call money, Bank Indonesia memberikan bilyet giro khusus kepada bank-bank peserta interbank call money. Bentuknya sama dengan bilyet giro biasa, namun dibubuhi cap “khusus untuk transaksi interbank call money”.