bab i pendahuluan 1.1 latar...

25
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan dan kematian merupakan dua kata yang saling beroposisi namun juga saling berkaitan. Kehidupan suatu waktu akan dihadiri oleh kematian dan kematian itu tak ada yang mampu melarangnya untuk mendatangi kehidupan, kapanpun ketika waktunya telah tiba. Hal tersebut telah menjadi ketentuan dan hukum alam. Ini adalah sebagai pengingat bagi manusia bahwa sebagai makhluk hidup yang memiliki nyawa pasti nantinya manusia, hewan maupun tumbuhan akan mati. Ada beragam macam pendapat tentang definisi kematian. Menurut Socrates, kematian adalah berpisahnya tubuh dan roh; tubuh bersifat sementara sedangkan roh bersifat abadi. Di waktu yang berbeda Plato mendefinisikan kematian adalah suatu kebebasan, karena tubuh adalah penjara jiwa, ketika kematian datang maka jiwa dapat mencapai pengetahuan tertinggi (Hagin, 2010: 4). Dalam ilmu biologi kematian diartikan sebagai mekanisme sel-sel dan organ-orang penting dalam tubuh yang berhenti bekerja di satu waktu tertentu, sehingga tubuh tak lagi disebut hidup. Kematian sama sekali tak dapat dihindari dan akan datang kepada apapun yang bernyawa. Kematian merupakan sebuah kepastian yang akan terjadi pada setiap makhluk hidup sebagai kodratnya. Walaupun kematian itu disadari oleh manusia akan keberadaannya, namun kematian akan selalu disangkal, bahkan kematian dilarang untuk datang. Hal ini

Upload: hoangthu

Post on 11-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehidupan dan kematian merupakan dua kata yang saling beroposisi namun

juga saling berkaitan. Kehidupan suatu waktu akan dihadiri oleh kematian dan

kematian itu tak ada yang mampu melarangnya untuk mendatangi kehidupan,

kapanpun ketika waktunya telah tiba. Hal tersebut telah menjadi ketentuan dan

hukum alam. Ini adalah sebagai pengingat bagi manusia bahwa sebagai makhluk

hidup yang memiliki nyawa pasti nantinya “manusia, hewan maupun tumbuhan

akan mati”.

Ada beragam macam pendapat tentang definisi kematian. Menurut Socrates,

kematian adalah berpisahnya tubuh dan roh; tubuh bersifat sementara sedangkan

roh bersifat abadi. Di waktu yang berbeda Plato mendefinisikan kematian adalah

suatu kebebasan, karena tubuh adalah penjara jiwa, ketika kematian datang maka

jiwa dapat mencapai pengetahuan tertinggi (Hagin, 2010: 4). Dalam ilmu biologi

kematian diartikan sebagai mekanisme sel-sel dan organ-orang penting dalam

tubuh yang berhenti bekerja di satu waktu tertentu, sehingga tubuh tak lagi disebut

hidup. Kematian sama sekali tak dapat dihindari dan akan datang kepada apapun

yang bernyawa. Kematian merupakan sebuah kepastian yang akan terjadi pada

setiap makhluk hidup sebagai kodratnya.

Walaupun kematian itu disadari oleh manusia akan keberadaannya, namun

kematian akan selalu disangkal, bahkan kematian dilarang untuk datang. Hal ini

2

kontras dengan pandangan terhadap kematian di masa lalu dimana meski

kematian ditakuti namun kematian dipersiapkan kedatangannya dengan

menyadari akan tanda-tanda pada diri manusia tersebut bahwa kematian mereka

akan segera datang. Ini diungkapkan oleh Philipe Ariés dalam buku yang berjudul

Western Attitudes Toward Death (1974) bahwa di masa modern ini manusia

memasuki masa yang disebut Forbidden Death atau masa di mana kematian

menjadi sangat ditakuti. Kematian kini dipandang begitu menakutkan disebabkan

oleh taraf kehidupan yang sangat baik, harapan hidup yang tinggi, serta

kebahagiaan yang didapatkan di dunia menjadikan mereka tidak menginginkan

kematian datang begitu cepat. Oleh karena itu, dengan adanya teknologi dan

pengetahuan yang semakin maju, manusia dibuat menjadi takut sehingga

kematian berusaha dihindari dengan cara terus menunda-menunda datangnya

kematian.

“One dies in the hospital because the hospital has become the

place to receive care which can no longer be given at home.

Previously the hospital had been shelter for the poor, for pilgrims;

then it became a medical center where people were healed, where

one struggled against death. It still has that curative function, but

people are also beginning to consider a certain type of hospital as

the designated spot for dying. One dies in the hospital because the

doctor did not succeed in healing.” (Ariés, 1974: 87-88)

Penjelasan di atas mengenai ketakutan manusia terhadap kematian, dan ketakutan

tersebut membawa Manusia pada sebuah persepsi bahwa rumah sakit yang

dulunya hanya berfungsi sebagai tempat perlindungan bagi orang miskin dan

musafir, kini telah berganti fungsi menjadi tempat untuk berlindung dari

kematian. Manusia begitu menggantungkan harapan mereka kepada teknologi

3

yang dioperasikan oleh dokter dan rumah sakit yang bisa dipercaya dapat

menolong hidup mereka dari kematian.

Seperti yang disebutkan tadi, tidak hanya si sakit tetapi juga keluarga dan

kerabat orang sakit tersebut juga mengalami ketakutan akan kematian. Bukan

kematian mereka, tetapi kematian manusia yang mereka cintai. Kematian orang

yang dicintai tak dapat diterima beigtu saja oleh para keluarga, teman dan sahabat

yang telah mereka kenal dan cintai dalam waktu yang lama (Ariés, 1974). Hal ini

juga diungkapkan oleh Kübler-Ross (1998) bahwa kematian akan membuat

keluarga dan kerabat dari orang yang akan atau telah meninggal juga mengalami

gejolak batin. Ini disebabkan karena ikatan yang kuat seperti rasa cinta dan kasih

sayang yang membuat mereka tak rela jika salah satu orang yang mereka cintai

pergi karena kematian. Kematian kini dianggap kenyataan yang seharusnya tidak

terjadi. Ini merupakan sesuatu yang memalukan jika terjadi di sekitar mereka

(Ariés, 1974).

Dalam novel Inggris berjudul A Monster Calls yang bertema death and dying,

ketakutan terhadap kematian yang dialami oleh sang tokoh utama bernama Conor

O’Malley tergambar cukup jelas sebagaimana yang dipaparkan oleh Philippe

Ariés mengenai pandangan kematian era forbidden death. Penyangkalan serta

ketidakterimaan terhadap kematian yang akan menghampiri sang ibu terus

dilakukan si tokoh. Kemampuan dokter begitu diandalkan untuk dapat

menyembuhkan penyakit ibu Conor agar nantinya dia tidak jadi meninggal.

Novel ini merupakan karya Patrick Ness berdasarkan ide asli dari mendiang

Siobhan Dowd yang dulunya juga berprofesi sebagai penulis. Novel ini adalah

4

salah satu dari sekian banyak novel bertema death and dying. Hal yang menarik

dari novel ini adalah adanya pohon yew yang berubah wujud menjadi monster dan

sering mendatangi Conor ketika jam menunjukkan 12.07 tengah malam. Pohon itu

bertempat di halaman gereja yang berada di belakang rumah Conor, yang mana

pohon yew dan gereja tersebut dapat dijangkau oleh penglihatan Conor melalui

jendela kamarnya. Monster itu muncul ketika penyakit ibunya mulai tidak

terkendali. Dia datang untuk menceritakan tiga cerita yang berbeda masa yang

berkaitan dengan monster tersebut. Monster itu juga mengaku bahwa dia

dipanggil oleh Conor karena Conor membutuhkannya. Sang monster juga

memiliki maksud dari kemunculannya di hadapan Conor, yaitu untuk

menyembuhkan Conor. Hal ini sangat tidak sinkron dengan situasi yang terjadi

dimana yang seharusnya disembuhkan adalah ibunya Conor, bukan Conor. Pada

akhirnya diketahui bahwa Conor memang menakuti kematian, namun dia ingin

semua masalah ini segera berakhir, bahkan itu berarti dia merelakan jika kematian

benar-benar mendatangi ibunya. Akan tetapi pikiran tersebut berusaha ia buang

jauh-jauh karena menurutnya itu sangat tidak pantas untuk dipikirkan seorang

anak terhadap ibunya sendiri. Bagi Conor, jika kematian ibunya terjadi, maka dia

yang patut disalahkan karena skeptis pada kesembuhan ibunya.

Peneliti beranggapan bahwa apa yang terjadi pada tokoh Conor berkaitan

dengan psikologinya. Contohnya dia bertemu dan berbicara dengan monster

pohon yew, kemudian ia diceritakan tiga cerita yang dalam cerita tersebut Conor

dan sang monster melewati ruang dan waktu dan melihat kejadian dari cerita

monster tersebut. Conor mengalami mimpi buruk dalam kegelapan yang

5

mengerikan. Di satu sisi sikap tidak menerima kematian ibunya ditunjukkan oleh

Conor, namun di sisi lain dia membuat pengakuan bahwa dia menerima kematian

ibunya tersebut. Selain itu, Conor juga berlaku agresif dengan melakukan

pengrusakan di ruang tengah neneknya dan pemukulan terhadap teman

sekolahnya yang bernama Harry. Hal-hal yang disebutkan tadi terlihat adanya

keterlibatan peran alam sadar dan alam bawah sadar Conor.

Jika kelakuan dan pikiran Conor yang telah dijelaskan di atas dikaitkan

dengan teori, maka teori psikoanalisis Sigmund Freud mengenai alam sadar dan

alam bawah sadar cocok untuk digunakan untuk menganalisis novel ini. Sebagai

sebuah karya tulis ilmiah, maka teori sangat dibutuhkan untuk membangun

penelitian ini/ Selain itu, penelitian ini juga akan membahas kepribadian Conor

serta motifnya dalam melakukan semua tindakan-tindakan serta pengalaman-

pengalaman aneh yang dia alami, namun tidak dirasakan oleh orang lain. Peneliti

juga mendapatkan tindakan-tindakan yang dilakukan Conor sesuai dengan lima

tahap sikap menghadapi kematian yang dirumuskan oleh Elizabeth-Kübler-Ross.

Lima tahap ini peneliti masukkan untuk memperlihatkan lebih jelas tindakan-

tindakan yang dilakukan Conor sebagai sikapnya menghadapi kematian ibunya.

1.2 Permasalahan, Masalah dan Rumusan Masalah

1.2.1 Permasalahan

Di masa modern ini kematian menjadi hal yang tabu dan tak dapat dijadikan

topik pembicaraan. Kematian bukanlah hal yang diinginkan manusia karena

dianggap menakutkan. Kematian dilarang terjadi baik kepada orang itu sendiri

maupun kerabat yang dicintainya. Ditunjang dengan kemampuan dokter yang

6

semakin luas serta teknologi dan ilmu pengetahuan yang semakin maju dan

canggih membuat manusia berusaha menghindari kematian.

1.2.2 Masalah

Dalam novel A Monster Calls karya Patrick Ness, Sebuah kenyataan pahit

tentang kematian ibunya yang semakin dekat harus dihadapi oleh Conor

O’Malley. Di satu sisi kematian ibunya sangat ditakutinya, di sisi lain kematian

ibunya merupakan hal yang ia sadari.

1.2.3 Rumusan Masalah

Dari permasalahan dan masalah yang tertulis di atas, maka didapatkan dua

rumusan masalah terkait dengan penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimanakah tindakan-tindakan tokoh utama yang disadarinya dalam

menghadapi kematian ibunya?

2. Bagaimanakah alam bawah sadar tokoh utama yang terefleksi dalam

kesehariannya menghadapi kematian ibunya, serta relasinya dengan alam

sadar?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktis.

Tujuan teoritis penelitian ini adalah untuk menerapkan teori tentang psikoanalisis

dari Sigmund Freud. Teori ini digunakan untuk melihat bagaimana alam sadar dan

alam bawah sadar tokoh ketika menghadapi sebuah kenyataan bahwa ibunya

sedang sakit keras dan sedang menghadapi kematian. Selain teori dari Sigmund

Freud, teori on death and dying oleh Elizabeth Kübler-Ross juga akan digunakan

7

dalam penelitian ini untuk melihat tahapan-tahapan yang dialami Conor dalam

menghadapi kematian ibunya. Dalam penelitian ini, kedua teori tersebut

digunakan untuk meneliti novel A Monster Calls. Selain itu, penelitian ini

diharapkan dapat menambah dan melengkapi hasil-hasil penelitian sejenis, yang

cukup relevan sebagai sumbangan ilmu sastra bagi pengembangan ilmu

pengetahuan humaniora.

Sedangkan tujuan praktis dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan

adanya keterkaitan antara karya sastra dengan kehidupan setiap individu di dunia

nyata dalam menghadapi persoalan-persoalannya khususnya kematian. Hasil yang

digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa tiap individu

memiliki kesadaran tentang kematian yang pada akhirnya kesadaran itu

berbenturan dengan rasa takut terhadap kematian yang sebenarnya telah dimiliki

oleh manusia sebagai ketakutan alamiah, dan tiap individu dapat menunjukkan

sikap menghadapi kematian secara bertahap. Penelitian ini diharapkan dapat

bermanfaat bagi kalangan luas.

1.4 Tinjauan Pustaka

Ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan penelitian di dalam tesis ini.

Sebuah penelitian berjudul Breaking Death in Breaking Bad: Escaping Death

Matters as Portrayed in Walter White yang diteliti oleh Anastasia Yuanita dari

Universitas Gadjah Mada jurusan Kajian Amerika. Dalam penelitiannya, Yuanita

melihat signifikansi kematian tokoh utama serial tv Breaking Bad yang bernama

Walter White yang mengalami konflik batin sebagai responnya terhadap

kematiannya yang akan datang. Dengan menggunakan teori psikoanalisis

8

Sigmund Freud, penelitian ini juga membahas tentang kepribadian Walter dalam

berurusan dengan kematiannya.

Penelitian mengenai kematian dengan menggunakan teori psikoanalisis

Sigmund Freud juga dilakukan oleh Eric Rygaard Gray dalam disertasinya yang

berjudul “Death and Katherine Anne Porter a Reading of a Long Stories”.

Penelitian tersebut bertujuan untuk melihat psikologis pengarang dengan

menghubungkan pengaruh teori psikoanalisis Freud dengan budaya di lingkungan

tempat tinggal si penulis novel. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa terdapat

unsur-unsur di dalam karya Katherine Anne Porter yang bertema kematian

maupun feminisme yang memiliki kesamaan dengan pemikiran Freud seperti

yang terdapat dalam beberapa karya Freud seperti “Interpretation of Dreams”,

“The Psychopathology of Everyday Life”, “Three Essays on Sexuality”, beberapa

studi kasus besarnya, beberapa kuliah preliminarinya, and “Totem and Taboo”.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Geoffrey Alan Miles di disertasinya

yang berjudul “Gravida-Gradiva: Pregnancy and Death Work in Freud‟s

Pompeiian Fantasy”. Penelitian tersebut merupakan analisis karya Sigmund

Freud yaitu “Delusions and Dreams in Jensen‟s „Gradiva‟”. Penelitian tersebut

menjelaskan bagaimana figur ibu Freud Wilhelm Fliess dan cinta masa kecilnya

Gisella Fluss telah membentuk represi dan supresi pada minat Freud terhadap

novella Jensen yang berjudul Gradiva. Peneliti menemukan bahwa karya Sigmund

Freud “Delusions and Dreams in Jensen‟s „Gradiva‟” merupakan sebuah lanjutan

dari self-analysisnya.

9

Penelitian yang telah dilakukan yang tertulis diatas dimaksudkan sebagai

tinjauan pustaka untuk penelitian ini. Setelah melihat tinjauan pustaka tersebut,

belum ditemukan kajian-kajian yang membahas tentang novel A Monster Calls

dengan melihat alam sadar, alam bawah sadar dan ambivalensi tokoh serta 5

tahapan dalam menghadapi kematian. Oleh karena itu, penelitian ini dapat

dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan original serta tidak memiliki

kesamaan yang pasti dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

1.5 Objek Penelitian

1.5.1 Objek Formal

Objek formal dari penelitian ini adalah kesadaran dan tak kesadaran tokoh

utama serta tahapan responnya dalam menghadapi kematian. Objek formal

tersebut digunakan untuk melihat sikap tokoh utama terhadap kematian

1.5.2 Objek Material

Objek material dan data dari penelitian ini adalah dua teks novel berjudul A

Monster Calls. Novel ini ditulis oleh Patrick Ness dan diilustrasikan oleh Jim

Kay, novel ini berdasarkan ide asli dari Siobhan Dowd diakhir hidupnya. Novel

ini telah meraih beberapa penghargaan. Selain itu, novel ini juga memuat kisah

yang cukup kuat menggambarkan sikap dan perasaaan si tokoh utama dalam

menghadapi kematian yang akan mendatangi ibunya.

1.6 Landasan Teori

Tesis ini akan menggunakan dua teori untuk menganalisis objek material

novel A Monster Calls karya Patrick Ness. Dua teori yang akan digunakan adalah

10

teori psikoanalisis Sigmund Freud dan teori 5 tahap menghadapi kematian

Elizabeth Kübler-Ross. Kedua teori ini masih berkaitan satu sama lain karena

teori Kübler-Ross ini masuk dalam kategori psikoanalisis dan masih dipengaruhi

oleh psikoanalisis Sigmund Freud. Dengan kedua teori ini akan dianalisis

mengenai psikologis tokoh utama yang bernama Conor O’Malley dalam

menghadapi kematian ibunya.

1.6.1 Teori Psikoanalisis Sigmund Freud

1.6.1.1 Alam Sadar dan Alam Bawah Sadar

Dalam teorinya mengenai psikoanalisis, Sigmund Freud menawarkan sebuah

struktur kesadaran dalam diri manusia yang terdiri dari tiga komponen yaitu, alam

sadar, alam pra-sadar dan alam bawah sadar. Menurut Freud dari ketiga

komponen tersebut hanya terdapat dua komponen yang paling penting dalam

pembentukan kepribadian, yaitu alam sadar dan alam bawah sadar (dalam

Rokhman, 2005:204), sedangkan alam prasadar hanya sebagai jembatan antara

alam sadar dan alam bawah sadar. Walaupun keduanya sama-sama penting dalam

pembentukan kepribadian dalam diri manusia dan memiliki keterikatan antara

satu sama lain, namun kedua komponen tersebut memiliki perbedaan yang cukup

signifikan.

Freud mengartikan alam sadar seperti berikut:

“Now let us call „conscious‟ the conception which is present to our

consciousness and of which we are aware, and let this be the only

meaning of the term „conscious‟”(Freud, 1989: 2577).

Alam sadar adalah konsepsi atau gagasan yang muncul dalam kesadaran, yang

artinya sesuatu berada dalam alam sadar seseorang jika orang tersebut menyadari

11

apa yang dia lakukan, pikirkan atau rasakan sesuatu. Ini menunjukkan alam sadar

sangat terlihat dan memiliki bukti yang kuat karena dapat diamati langsung.

Berangkat dari adanya pandangan yang lebih mengutamakan alam sadar,

ditambah dengan kalimat terkenal René Descartes yaitu cogito ergo sum yang

artinya saya berpikir maka saya ada, Sigmund Freud kemudian menentang

pendapat tersebut yang hanya mementingkan alam sadar dan tidak melihat adanya

unsur lain selain alam sadar itu. Unsur lain itu adalah alam bawah sadar.

Freud dalam teorinya lebih banyak membicarakan alam bawah sadar. Teori

psikoanalisis Freud menunjukkan bahwa alam sadar hanyalah bagian kecil dunia

pikiran manusia, sedangkan bagian terbesar itu adalah alam bawah sadar (Feist &

Feist, 2006). Jika di alam sadar manusia menyadari apa yang dia lakukan, berbeda

dengan alam bawah sadar dimana manusia sama sekali tidak menyadarinya.

Walaupun berada jauh di luar kesadaran manusia, itu tidak berarti alam bawah

sadar tidak ada dalam diri manusia. Alam bawah sadar adalah sebuah daerah

dalam diri manusia yang sangat dalam dan tersembunyi, besar dan memiliki

kekuatan (Pals, 2006).

Selain itu, sering kali dalam alam sadar muncul hal-hal yang dianggap

kurang menyenangkan dan cukup membahayakan, maka hal itu berusaha

dihilangkan dari alam sadar dengan cara melupakannya. Kenangan dan pikiran

yang berusaha dilupakan tersebut sebenarnya tidak hilang begitu saja akan tetapi

masuk ke dalam alam bawah sadar, dan proses mental ini disebut represi. Menurut

Freud, represi disebabkan oleh adanya sebuah perasaan tak senang karena terjadi

ketidaksesuaian antara sebuah gagasan yang akan direpresi dan gagasan-gagasan

12

yang dominan dalam diri yang membentuk ego (1989). Maka, dapat disimpulkan

bahwa alam bawah sadar manusia terdiri dari dua, yaitu yang pertama, insting dan

dorongan alami manusia yang telah ada sejak lahir; dan yang kedua, pikiran dan

kenangan yang direpresi dari alam sadar (Pals, 2006). Untuk mengetahui alam

bawah sadar seseorang, maka hal itu bisa ditelaah melalui alam sadarnya dulu,

sebagaimana pernyataan Freud berikut ini:

“How are we to arrive at a knowledge of the unconscious? It is of

course only as something conscious that we know it, after it has

undergone transformation or translation into something conscious.

Psycho-analytic work shows us every day that translation of this

kind is possible.” (Freud, 1963: 116).

Seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa alam sadar sangat terlihat jelas

dengan bukti konkrit dan langsung terlihat. Berbeda dengan alam bawah sadar

yang tidak bisa dilihat langsung. Pernyataan Freud di atas menjelaskan bahwa

alam bawah sadar dapat diselidiki melalui alam sadar manusia. Alam bawah sadar

suatu waktu dapat menunjukkan eksistensinya dengan bertransformasi menjadi

berbagai macam bentuk seperti mimpi, halusinasi atau slip of tongue (Pals, 2006).

Ini dikarenakan alam bawah sadar sangat kuat, jauh lebih kuat dibandingkan alam

sadar. Maka tidaklah mengherankan jika alam bawah sadar mampu

mempengaruhi manusia dalam bertindak ketika dalam keadaan sadar.

Halusinasi seperti halnya mimpi merupakan sebuah auditory image yang

mana keduanya merupakan bentukan dari alam bawah sadar baik itu insting alami

maupun dorongan atau kenangan yang telah direpresi. Sedangkan mimpi

merupakan bukti atas eksistensi aktivitas dalam psike manusia, yang berarti

aktivitas itu tidak hanya terjadi dalam kesadaran, tapi juga ketidak sadaran seperti

13

mimpi (Pals, 2006), dan mimpi juga disebut sebagai “a glory bridge to

unconsciousness” oleh Freud (Cloninger, 2004). Hal yang membedakan antara

halusinasi dan mimpi adalah mimpi terjadi ketika ego sedang tidak berada dalam

kesadaran sehingga ketidaksadaran masuk ke dalam ego dan melakukan

aktivitasnya di situ, sedangkan halusinasi terjadi ketika ego berada dalam keadaan

sadar dan tidak sadar. Selain itu ada juga slip of tongue yang juga dikenal dengan

istilah Freudian slip. Slip of tongue adalah kekhilafan atau kekeliruan ketika

berbicara. Kesalahan dalam berbicara itu dipercaya merupakan pengaruh dari

alam bawah sadar, seperti halnya halusinasi dan mimpi. Slip of tongue ini

membeberkan rahasia atau yang tersembunyi selama ini di alam bawah sadar.

Pengaruh dari alam bawah sadar juga munculnya emosi dan gagasan yang

muncul di dalam pikiran alam sadar dari luar diri, maka seringkali terjadi benturan

dua pikiran dalam diri manusia. Benturan ini terjadi karena adanya dua pikiran

yang saling berkontradiksi dan membingungkan subjek, inilah yang disebut

dengan ambivalensi. Freud (dalam Smith, 2010) mengartikan ambivalensi sebagai

sebuah keadaan dimana terjadi kontradiksi dalam pikiran seseorang.

1.6.1.2 Id, Ego dan Superego

Selain itu dalam teori kepribadian manusia Sigmund Freud, terdapat tiga

komponen yang berperan penting dalam membentuk kepribadian, yaitu id (das

es), ego (das ich) dan superego (das ueber ich). Ketiga komponen ini memiliki

sifat dan perannya masing-masing.

Id adalah salah dari komponen penyusun kepribadian yang bersifat

impulsif dan tidak disadari yang berpedoman pada pleasure principle, dan sangat

14

responsif pada insting. Sebagaimana id sepenuhnya berada di alam bawah sadar,

sehingga dapat dipastikan bahwa id mengandung unsur-unsur biologis yang

merupakan bawaan sejak kecil. Id selalu menuntut agar kemauannya segera

terlaksana, karena jika tidak maka akan muncul ketegangan dalam diri. Id yang

bersifat biologis dan berpegang pada pleasure principle memiliki tuntutan yang

harus disaring dulu oleh ego, karena tuntutan id sangat bersifat biologis.. Anna

Freud (1993:9) mengungkapkan bahwa:

“If within the id a state of calm and satisfaction prevails, so that

there is no occasion for any instinctual impulse to invade the ego in

search of gratification and there to produce feelings of tension and

unpleasure, we can learn nothing of the id contents.”

Id sendiri bukanlah sebuah daerah yang tenang yang tidak membutuhkan

kepuasaan. Di dalamnya terdiri dari dorongan-dorongan batiniah yang suatu

waktu dapat mengganggu kestabilan ego karena menuntut kemauannya

dilaksanakan untuk mencapai suatu kepuasan.

Berbeda dengan id, superego adalah komponen pembentuk kepribadian

yang di dalamnya terdapat aspek moral dan nilai-nilai tradisional maupun

kemasyarakatan yang mulai didapatkan oleh manusia di masa kanak-kanaknya.

Ajaran-ajaran tentang sopan santun dan segala unsur kebaikan dan tata krama

terdapat di dalam superego. Ini sangat bertolak belakang dengan id yang berisikan

hal-hal di luar nilai-nilai kesopanan dan moralitas, superego menuntut ego untuk

menjadi diri ideal, yang artinya ketika melakukan kesalahan atau terlalu mengikuti

tuntutan id, maka superego akan menghukum ego dengan rasa malu, berdosa atau

bersalah, namun jika ego mampu mengikuti kemauan superego untuk tidak begitu

15

mengikuti tuntutan id, maka ego akan dihadiahkan rasa bangga dan tentram. Bisa

dikatakan bahwa id sebagai sisi yang buruk dan superego sebagai sisi yang baik.

Yang terakhir adalah ego. Ego berada dipertengahan antara id dan

superego. Tugas ego bukanlah meredam tuntutan-tuntutan yang muncul dari id

dan superego, melainkan ego menjadi perantara antara id dan superego agar

keadaan menjadi lebih seimbang. Jika id berada pada prinsip kesenangan yang

bersifat batiniah, maka ego berpegang pada prinsip realita yang berada di dunia

obyektif. Ini terdapat dalam kutipan berikut ini:

“We have formed the idea that in each individual there is a

coherent organization of mental processes; and we call this his

ego. It is to this ego that consciousness is attached; the ego

controls the approaches to motility - that is, to the discharge of

excitations into the external world; it is the mental agency which

supervises all its own constituent processes, and which goes to

sleep at night, though even then it exercises the censorship on

dreams.” (Freud, 1989: 3951)

Freud menyebut ego sebagai sebuah organisasi proses mental yang koheren yang

terhubung dengan alam sadar dan juga alam bawah sadar sekaligus dan mampu

meredam tuntutan dan rangsangan yang bersifat biologis yang akan mengeluarkan

dirinya ke alam sadar.

Sigmund Freud menganalogikan alam sadar dan alam bawah sadar dengan

sebuah gunung es, di mana dalam analogi tersebut juga masuk id, ego dan

superego. Gunung es tersebut seperti berikut:

16

Gambar 1. Gunung Es Sigmund Freud Sumber: http://www.simplypsychology.org/Sigmund-Freud.html

Dalam gambar tersebut, id posisinya berada sepenuhnya di dalam alam

bawah sadar. Hal ini dibuktikan dengan id yang hanya mengejar kesenangan dan

tidak dapat membedakan antara baik dan buruk. Ego berada di antara alam sadar

dan alam bawah sadar, ini dikarenakan ego juga mendapat pengaruh dari alam

sadar yang namun ia dapat menyadari apa yang harus dilakukannya. Superego

juga berada di dalam alam sadar dan alam bawah sadar, ini juga dikarenakan oleh

nilai-nilai sosial dan aturan-aturan yang berlaku yang ditanamkan sejak kecil,

sehingga hal tersebut membentuk pribadi manusia.

1.6.1.3 Mekanisme Pertahanan (Defense Mechanism)

Mekanisme pertahanan atau defence mechanism merupakan suatu bentuk

pertahanan yang dibangun oleh ego setelah mendapatkan tekanan dari id dan

17

superego karena atau adanya kenangan, pikiran, ketakutan dan segala hal yang

dianggap berbahaya berusaha dicegah untuk masuk dan merusak tantanan ego.

Seringkali krisis di dalam diri akan bangkit ketika sebuah gangguan dari dalam

maupun dari luar terjadi yang tentunya akan membahayakan diri seseorang, maka

dibutuhkan mekanisme pertahanan untuk melindungi diri melawan bahaya yang

mengancam diri (Freud dalam Boumeister, Dale & Sommer, 1998). Mekanisme

pertahanan merupakan hal yang normal dan wajar yang dilakukan oleh manusia

untuk melindungi dirinya dari hal-hal yang kurang mengenakkan. Hal-hal yang

dianggap mengancam ego tersebut berusaha dihilangkan dari alam sadar dan

ditekan menuju ke alam bawah sadar, yang juga disebut sebagai represi, dan ini

merupakan salah satu bentuk mekanisme pertahanan.

Mekanisme pertahanan memiliki banyak bentuk, tiga di antaranya adalah

Repression, Denial dan displacement. Repression seperti yang disebutkan

sebelumnya merupakan salah satu mekanisme pertahanan dengan menekan

sesuatu yang mengancam dari alam sadar masuk ke dalam alam bawah sadar, ini

dilakukan agar alam sadar seseorang tidak terganggu. Freud mengatakan bahwa:

“… I named this process repression; it was a novelty, and nothing

like it had ever before been recognized in mental life. It was

obviously a primary mechanism of defence (Freud, 1989: 4206)

Dikatakan bahwa represi merupakan mekanisme pertahanan yang utama dan cara

yang paling sering digunakan dalam melakukan mekanisme pertahanan. Represi

biasa juga disebut sebagai “mechanism of forgetting”, karena bagi seseorang yang

menggunakan mekanisme pertahanan ini, kenangan atau pikiran yang menganggu

itu dia lupakan, namun sebenarnya yang terjadi adalah kenangan atau pikiran itu

18

tidak dilupakan melainkan ditekan masuk ke dalam alam bawah sadar, namun

suatu saat kenangan dan pikiran itu kembali muncul di alam sadar dalam wujud

yang lain seperti mimpi.

Denial merupakan sebuah mekanisme pertahanan yang dilakukan untuk

menyangkal dorongan/insting/keinginan yang dianggap berbahaya. Denial

dianggap secara konseptual mirip dengan repression (Boumeister, Dale &

Sommer, 1998), namun bedanya denial lebih pada aksi menyangkal kenyataan

atau sesuatu yang tak mengenakkan itu.

Displacement adalah mekanisme pertahanan yang mengalihkan dorongan id

atau kenangan atau pikiran ke sesuatu sebagai pelampiasannya, dan ini biasanya

terjadi secara agresif. Ini adalah bentuk pengalihan kemarahan dengan menjadikan

objek lain sebagai tempat pelampiasannya, objek itu bisa berupa benda, manusia

atau hewan. Bahkan korban pelampiasan tersebut memiliki kaitan yang terasosiasi

dengan target sebenarnya (Boumeister, Dale & Sommer, 1998)

1.6.2 Lima Tahap Sikap terhadap Kematian, Duka dan Kesedihan dalam

menghadapi Kematian oleh Kübler-Ross

Elizabeth Kübler-Ross merupakan dokter yang melakukan penelitian pada

pasien-pasiennya di rumah sakit tentang perasaan para pasien tersebut terhadap

penyakit mematikan dan menghadapi kematian. Dari penelitian tersebut, Kübler-

Ross merumuskan lima tahap dalam menghadapi kematian, duka dan kesedihan,

lima tahap tersebut adalah penyangkalan, marah, penawaran, depresi serta

penerimaan. Di dalam buku ini, Kübler-Ross banyak memberikan contoh tentang

pasien-pasiennya yang mengalami 5 tahap ini. Tidak selamanya 5 tahap ini

19

berurutan seperti yang dirumuskan, namun terdapat juga kasus-kasus dimana 5

tahap ini berurutan secara acak, bahkan biasa juga ada kasus dimana tidak terdapat

salah satu dari lima tahap terhadap kematian ini (Kübler-Ross, 2009).

1.6.2.1 Penyangkalan/Denial

Penyangkalan atau denial merupakan tahap awal dari lima tahap sikap

dalam menghadapi kematian. Penyangkalan berupa bentuk ketidakpercayaan

manusia terhadap berita kematian baik itu berita akan kematiannya yang tidak

lama lagi ataupun kematian yang orang lain yang memiliki hubungan dengannya.

Mereka lebih meyakini bahwa kematian yang mereka hadapi itu hanyalah sebuah

kebohongan atau kesalahan ucapan sehingga tak dapat dipercaya begitu saja.. Di

tahap ini, penyangkalan terjadi disebabkan oleh ketidaksiapan seseorang untuk

mendengarkan kabar buruk yang menimpa dirinya berupa kematian yang akan

atau telah datang. Kebanyakan pernyataan “tidak, itu bukan saya”, “ada yang

salah” dan “itu semua tidak benar” dan semacamnya mereka katakan sebagai

bentuk penyangkalan mereka (Kübler-Ross, 1987:31). Tahap ini juga merupakan

tahap dimana bangkitnya rasa syok dan ketidakpercayaan pada kenyataan.

Di tahap penyangkalan, seseorang tidak akan menerima berita buruk yang

ia dapatkan begitu saja. Ia akan berusaha mencari sumber lain untuk mendukung

keyakinannya. Misalnya ketika seseorang didiagnosa menderita kanker stadium

dua, maka dia tidak akan percaya begitu saja, dia malah berusaha mencari dokter

lain agar bisa mendapatkan hasil diagnosa yang sesuai ia harapkan.

Menurut Kübler-Ross, penyangkalan berada di daerah alam sadar, dan

merupakan salah satu bentuk pertahanan ketika menghadapi kenyataan yang tak

20

mengenakkan. Namun pertahanan ini tidak akan bertahan lama karena

penyangkalan ini akan segera digantikan dengan penerimaan. Dalam hal ini

penerimaan yang dimaksud bukan langsung mengikhlaskan atau merelakan semua

ini terjadi, akan tetapi penerimaan disini lebih kepada dia harus akui bahwa ini

semua memang kenyataan dan terjadi.

1.6.2.2 Marah/Anger

Setelah melewati tahap penyangkalan dimana seseorang yang sedang tidak

bisa menerima dan menyangkal kematian, setelah itu dia menyadari bahwa yang

terjadi ini memang benar dan nyata. Kesadaran ini dibarengi dengan perasaan

marah, cemburu, geram dan dongkol. Pertanyaan seperti “kenapa harus saya?”,

“kenapa bukan orang lain saja? Lebih sering dilontarkan bagi mereka yang sedang

berada di tahap marah. Kemarahan tidak hanya ditujukan kepada Tuhan sebagai

satu-satunya pemberi takdir, akan tetapi kemarahan juga dapat berimbas kepada

mereka yang berada disekitar seseorang yang mengalaminya.

Tahap ini termasuk susah untuk dihadapi berdasarkan pandangan dari

keluarga dan manusia yang menanganinya. Karena kemarahan ini sering

disalahtempatkan. Mereka yang berada di tahap ini merasa tidak didengarkan,

tidak dihargai, bahkan merasa tidak ada yang peduli pada mereka. Di tahap ini

juga mereka lebih sering merasa cemburu ketika melihat orang lain memiliki

hidup yang menyenangkan sedangkan dia harus berada di situasi yang berbeda.

Kübler-Ross beranggapan bahwa sebaiknya tidak merespon pada kemarahan

mereka dan lebih baik berikan mereka dukungan.

21

1.6.2.3 Penawaran/Bargaining

Setelah mengalami masa kemarahan, penawaran pun dilakukan. Kübler-Ross

memberikan analogi, ketika seorang anak marah kepada kedua orang tuanya

karena keinginannya tak bisa dikabulkan, maka dia akan mengunci dirinya di

dalam kamar dan tidak mau berbicara dengan kedua orang tuanya. Lama

kelamaan dia akan memikirkan cara baru agar keinginannya bisa dikabulkan. Dia

pun meminta maaf dan melakukan berbagai pekerjaan rumah yang biasanya dia

sangat susah untuk disuruh, kemudian dia kembali memohon dengan cara yang

jauh lebih halus. Ini juga yang terjadi dengan mereka yang sedang berada di tahap

penawaran. Setelah mereka berlaku kasar dan marah kepada siapa saja bahkan

kepada Tuhan karena kemarahan tidak bisa menyelesaikan masalahnya, maka

mereka pun melakukan pendekatan baru, atau yang disebut Kübler-Ross sebagai

penawaran.

Penawaran ini biasanya dilakukan kepada Tuhan agar takdirnya bisa dirubah.

Kebanyakan mereka yang berada di fase ini mereka menjadi lebih mendekatkan

diri kepada Tuhan dan menjadi lebih beriman. Namun, penawaran juga bisa

kepada manusia atau seseorang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan

khusus, misalkan dokter. Mereka akan lebih sering memohon untuk diberikan

pengobatan dan perawatan yang terbaik.

1.6.2.4 Depresi/Depression

Tahap keempat yaitu depresi. Tahap ini ditandai dengan rasa penyesalan,

kekecewaan dan kesedihan yang mendalam. Ini semua karena segala usaha dan

22

cara yang telah dilakukan tidak membuahkan hasil dan menyadari bahwa

kematian itu semakin dekat dan bahwa segalanya tidak bisa lagi ditawar. Di tahap

ini dukungan manusia terdekat sangat dibutuhkan oleh mereka yang berada di

tahap depresi.

Kübler-Ross membagi dua macam depresi yaitu depresi reaktif dan depresi

preparatif. Depresi reaktif adalah depresi setelah mengalami kehilangan. Ini lebih

kepada mereka yang lebih dulu mengalami kehilangan, lalu merasakan depresi.

Biasanya ini terjadi pada manusia yang kehilangan pekerjaan atau mereka yang

baru saja ditinggal mati kerabatnya. Sedangkan depresi preparatif adalah depresi

yang terjadi karena akan mengalami kehilangan. Ini terjadi pada mereka yang

akan mengalami kematian. Mereka akan kehilangan kehidupan, nyawa,

kebahagiaan dan dunia mereka. Mereka merasakan depresi dan harus

mempersiapkan diri mereka sebelum kematian itu datang.

Mereka harus melewati tahap depresi sebagai proses mempersiapkan diri

untuk menerima dengan lapang dada takdir mereka. Mereka telah yakin bahwa

mereka sedang melalui sebuah kenyataan. Di tahap depresi ini, Kübler-Ross

menyarankan bahwa mereka butuh untuk membicarakan keinginan mereka dan

didengarkan.

1.6.2.5 Penerimaan/Acceptance

Tahap terakhir dari 5 tahap menghadapi kematian ini adalah penerimaan.

Seseorang yang sedang menghadapi kematian bisa memasuki tahap ini jika

mereka mendapatkan perhatian, dukungan dan kepedulian dari manusia

disekitarnya. Penerimaan bukanlah sebuah happy ending atau akhir yang indah,

23

namun sebuah perasaan menyerah, hampa dan mengikhlaskan atau merelakan

walaupun perasaan ikhlas itu lebih karena sudah tidak ada yang bisa dilakukan

dan diusahakan lagi. Ini seakan-akan merujuk pada “kesakitan yang telah hilang,

perjuangan sudah berakhir dan waktunya beristirahat untuk perjalanan yang

panjang” (Kübler-Ross, 1987: 92)

1.7 Hipotesis

Di masa modern yang memiliki pandangan kematian forbidden death ini,

masyarakat modern khususnya barat sangat menakuti kematian dan berusaha

menghalangi kematian dengan kecanggihan alat-alat rumah sakit dan kemampuan

dokter-dokter beserta krunya. Pengobatan-pengobatan yang dianggap canggih dan

dapat menyembuhkan tersebut memberikan pengharapan bagi para pasien dan

keluarganya untuk bisa terhindar dari kematian. Hal ini juga terdapat pada novel A

Monster Calls dimana pengobatan di rumah sakit begitu dipercaya dapat

menyembuhkan sekaligus menyingkirkan kematian. Walaupun sebenarnya tokoh

mengalami ambivalensi dalam pikirannya antara menerima atau menghindari

kematian.

Kedua pikiran itu yang saling bertolak belakang itu membuat tokoh

mengalami pergolakan batin sehingga alam bawah sadarnya pun muncul dalam

bentuk halusinasi, mimpi dan slip of tongue dan alam sadarnya melakukan

perlawanan terhadap pikiran yang dianggap mengancam. Pada akhirnya salah satu

dari pikiran itu akan memenangkan pertarungan dalan diri tokoh berdasarkan

kejadian dari akhir cerita dalam novel.

24

1.8 Metode Penelitian

Berdasarkan teori yang akan digunakan dalam penelitian ini, maka metode

yang akan digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif

adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang

dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan

lain sebagainya secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata

dan bahasa (Chamamah-Soeratno, 2001).

Selain itu, penelitian ini juga akan menjadi penelitian studi kepustakaan

atau library research¸ dengan sumber utama novel A Monster Call. Berkaitan

dengan yang disebutkan tadi, sumber informasi seperti buku, makalah, artikel, dan

hasil-hasil penelitian yang memiliki relevansi dengan topik studi ini dimanfaatkan

untuk mempertajam hasil penelitian.

Oleh karena itu, langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian

adalah sebagai berikut:

1. Mengumpulkan data berupa pustaka-pustaka yang relevan dengan penelitian

dalam tesis ini, kemudian membaca dan mempelajari secara teliti seluruh data

yang didapat

2. Menentukan karya yang akan dijadikan objek material penelitian yaitu A

Monster Calls dan menetapkan masalah utama dari penelitian ini

3. Menganalisis data dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud

dan lima tahap sikap terhadap kematian oleh Elizabeth Kübler-Ross dengan

mengaplikasikan teori tersebut ke dalam novel A Monster Calls

25

4. Menyusun laporan dari analisis penelitian ini sebagai langkah akhir dari

seluruh kegiatan penelitian

1.9 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini terbagi dalam beberapa bab:

Bab I berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, objek penelitian, tujuan

penelitian, landasan teori, hipotesis dan sistematika penulisan

Bab II berisi analisis alam sadar Conor melalui sikap dan tindakannya dalam

novel A Monster Calls

Bab III berisi analisis alam bawah sadar Conor yang terefleksi dari tindakan-

tindakannya di kesadarannya dan relasi antara alam sadar dan alam bawah

sadarnya dalam novel A Monster Calls

Bab IV bab terakhir yang berisi kesimpulan hasil dari penelitian ini