bab i pendahuluan 1.1 latar...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Erosi tanah adalah hilangnya partikel tanah dari suatu tempat oleh
tenaga pengangkut yang mencakup tahapan penghancuran agregat tanah dan
pengangkutan material tanah. Proses sedimentasi berlangsung ketika energi
pengangkut sudah tidak tersedia kembali (Merritt et al, 2003). Proses
terjadinya erosi tanah memberikan dampak yang cukup luas terhadap lokasi
terjadinya erosi (on-site effects) dan di luar lokasi terjadinya erosi (off-site
effects). Munculnya dampak dari erosi tanah perlu dipantau dan dievaluasi
menggunakan metode pendugaan kehilangan tanah oleh erosi (Mc Dowell et
al, 2009). Berbagai metode pendugaan tanah yang hilang oleh erosi telah
banyak dikembangkan dan diaplikasikan untuk penelitian erosi tanah
diantaranya USLE, ANSWER, GUEST dan GEOWEPP. Setiap metode
memiliki keunggulan dan kelemahan dalam estimasi kehilangan tanah oleh
erosi (Merrit et al, 2003).
Penerapan berbagai metode pendugaan kehilangan tanah yang telah
ada rata-rata memiliki input data yang besar seperti halnya GEOWEPP dan
ANSWER (Merrit et al, 2003). Hal ini menjadi sebuah tantangan Indonesia
sebagai negara berkembang dalam penilaian pendugaan kehilangan tanah
dengan keterbatasan data yang dimiliki. Menjawab tantangan tersebut
dikembangkan model WATEM/SEDEM (Oost et al, (2000); Rompaey et al,
(2001) yang mampu melakukan penilaian besaran dan sebaran laju kehilangan
tanah dan sedimentasi secara sekaligus tanpa memerlukan investasi besar
dalam pengumpulan kebutuhan input data. Model WATEM/SEDEM
menggunakan distribusi spasial yang terbagi menjadi bagian unit terkecil (grid
cell). Hal ini dikarenakan setiap penggunaan lahan yang berbeda akan
mengubah sistem hidrologi permukaan dan berdampak proses erosi yang
terjadi (Haregeweyn et al, 2011). Aplikasi dari model WATEM/SEDEM
belum banyak dikenal di Indonesia. Proses kalibrasi yang tidak terlalu rumit
menjadikan model WATEM SEDEM sebagai salah satu alternatif metode
penilaian laju erosi dan sedimentasi.
Pengujian model WATEM/SEDEM dapat diterapkan pada area yang
tidak terlalu luas namun memiliki data pasangan stasiun hujan dan stasiun
pengamatan aliran sungai yang lengkap. Salah satu area yang sesuai dan
menarik untuk pengujian model WATEM/SEDEM adalah di Daerah Aliran
Sungai (DAS) Bompon. Secara administratif DAS Bompon terletak di
sebagian desa Kwaderan, Margoyoso, dan Wonogiri Kecamatan Muntilan,
Magelang Jawa Tengah. DAS Bompon merupakan bagian dari Sub DAS
Kodil yang memiliki luasan 294.71 Ha. DAS Bompon mempunyai kombinasi
topografi perbukitan yang berlereng miring hingga curam dan memiliki
karakteristik tanah yang mudah terdispersi (Budianto, 2016) sehingga
meningkatkan potensi erosi tanah (Gambar 1.1). Pengujian model
WATEM/SEDEM perlu dilakukan sebagai langkah monitoring laju dan
distribusi erosi di DAS Bompon.
(a) (b)
Gambar 1.1 (a) Erosi Alur, (b) Erosi Parit
1.2 Rumusan Masalah
Bentuk pendugaan hubungan erosi tanah di daerah tangkapan air
dengan besarnya sedimen yang terukur di daerah hilir mempunyai mekanisme
yang rumit dan belum banyak dimengerti. Hal ini dikarenakan hasil erosi
tanah yang terjadi tidak semuanya masuk ke dalam sungai tetapi dapat
tertahan di daerah tangkapan air, kaki-kaki lereng dan cekungan permukaan
tanah dari sistem DAS (Asdak, 2007). Sejauh ini Merritt et al, (2003); De
Vente & Poesen, (2005), kebanyakan dalam lingkup wilayah model
pendugaan kajian erosi adalah model yang masih tidak memperhatikan
variabel ruang, hanya didasarkan oleh persamaan regresi yang sekaligus dapat
mensimulasikan hasil sedimen.
Pada prinsipnya untuk memecahkan masalah hasil sedimen tersebut
dibutuhkan sebuah model distribusi yang mengarahkan material hasil erosi
masuk ke dalam sistem sungai, dan akhirnya material sedimen yang
terdeposisi adalah material yang melebihi kapasitas transportasinya (De Vente
& Poesen, 2005). Pengangkutan sedimen yang terjadi tergantung dari faktor
pelepasan sedimen, kapasitas transportasi dan topografi sehingga sangat
diperlukan penekanan penggunaan model distribusi spasial dalam penentuan
pengangkutan sedimen (Nearing et al, 1989). Sementara itu, peningkatan
kompleksitas dari model erosi dan deposisi sedimen berdasarkan model fisik
(physically based) seperti model Water Erosion Prediction Project (WEPP)
mempunyai pertimbangan dalam persyaratan (Jetten et al, 2003). Persyaratan
tersebut dibutuhkan untuk data masukan dan apabila data yang tidak cukup
tersedia akan berpengaruh terhadap kalibrasi data sehingga hasilnya tidak
terlalu valid (Rompaey et al, 2001).
Model WATEM/SEDEM adalah salah satu model yang dikembangkan
dalam menjawab permasalahan distribusi keruangan dari erosi tanah dan hasil
sedimen dalam suatu DAS yang telah diuraikan pada penjelasan sebelumnya.
Model WATEM/SEDEM mensimulasikan berapa banyak erosi tanah dan
material sedimen yang terangkut dalam rata-rata tahunan. Model ini
menggunakan distribusi spasial yang terbagi menjadi bagian unit terkecil (grid
cell) dengan ketentuan tidak melebihi dari 100 m x 100 m. Model
WATEM/SEDEM ini terbagi menjadi dua bagian sistem yakni WATEM dan
SEDEM yang dikembangkan oleh Oost et al, (2000) ; Rompaey et al, (2000).
WATEM adalah struktur model untuk pengukuran erosi baik oleh air dan
pengolahan tanah yang timbul dari pengaruh perubahan struktur bentanglahan
(Oost et al, 2000). Penelitian ini menekankan terhadap pengukuran erosi oleh
air yang didasarkan dengan menggunakan rumus RUSLE (Revised Universal
Soil Loss Equation) yang telah dilakukan perbaikan dan perkembangan
menggunakan konsep dua dimensional bentanglahan sehingga dapat
mensimulasikan kehilangan tanah dan memperhitungkan material yang
terendapkan.
SEDEM adalah bagian model yang menghitung proses pengangkutan
sedimen ke dalam saluran sungai dan mendistribusikannnya secara spasial.
Model ini mempunyai komponen yakni jalur sedimen menuju jaringan sungai
dengan perhitungan kapasitas transportasi setiap unit ruang (Rompaey et al,
2001). Kapasitas transportasi sedimen memperhatikan faktor penggunaan
lahan dalam perhitungannya. Penggunaan lahan tersebut terbagi menjadi dua
yakni lahan garapan dan lahan bukan garapan. Penggunaan lahan yang
berbeda akan menghasilkan perbedaan nilai KTC pada perhitungan kapasitas
transportasi (transport capacity coefficient).
Penjabaran model WATEM/SEDEM, penggunaan model ini
digunakan untuk menentukan besaran sekaligus sebaran erosi tanah dan
deposisi sedimen dalam rata-rata bulanan. Segi penerapannya telah banyak
dilakukan peneliti luar negeri dalam menduga kehilangan tanah sekaligus
pengambilan skenario teknik konservasi tanah yang tepat dalam
meminimalisir erosi tanah yang terjadi, seperti halnya yang dilakukan
Vertraeten et al, (2002) dan Fayos, (2008). Namun, di Indonesia penerapan
WATEM/SEDEM masih belum optimal dalam penelitian pendugaan
kehilangan tanah oleh erosi. Melalui penelitian ini model WATEM/SEDEM
akan diujikan di DAS Bompon dengan kalibrasi data bukan secara tahunan
melainkan secara bulanan untuk melihat pola erosi erosi setiap bulan.
Hasil penjelasan diatas maka rumusan masalah yang diangkat dari
penelitian ini adalah:
1. Apakah model WATEM/SEDEM dapat dikalibrasi dan diterapkan dalam
periode bulanan di DAS Bompon?
2. Berapa besar akurasi model distribusi spasial erosi tanah dan hasil sedimen
WATEM/SEDEM diterapkan di DAS Bompon?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Melakukan kalibrasi model WATEM SEDEM di DAS Bompon;
2. Mengestimasi laju erosi dan hasil sedimen di DAS Bompon;
3. Menguji distribusi spasial erosi tanah dan estimasi hasil sedimen
WATEM/SEDEM yang diterapkan di DAS Bompon.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan penjelasan mengenai besaran laju kehilangan tanah dan hasil
sedimen yang terjadi di DAS Bompon.
2. Memberikan sumbangan ilmu pengetahun mengenai cara perhitungan laju
erosi tanah dan hasil sedimen menggunakan metode WATEM/SEDEM
1.5 Tinjauan Pustaka
1.5.1 Telaah Pustaka
Erosi adalah proses alam yang perlu diperhatikan dan diminimalisir
keberadaaanya. Kehilangan tanah yang ditimbulkan oleh erosi tanah yang
berjalan intensif ditakutkan terjadi degradasi tanah sehingga akan mengurangi
kemampuan tanah menghasilkan unsur hara. Berbagai metode pendugaan
erosi tanah dan hasil sedimen telah dikembangkan oleh para ahli untuk
mengatasi masalah tersebut. Penelitian ini akan menguji akurasi model
WATEM/SEDEM pada sebuah DAS. Pemilahan WATEM/SEDEM ini
dipertimbangkan atas data yang menjadi input tidak terlalu banyak dan proses
kalibrasi yang tidak rumit. Telaah pustaka penelitian akan di terangkan secara
detail mengenai istilah yang dipakai dalam pemodelan erosi tanah dan hasil
sedimen WATEM/SEDEM.
1.5.1.1 Erosi Tanah Oleh Air (Water Erosion) dan Erosi Pengolahan Tanah
(Tillage Erosion)
Permasalahan erosi yang sering dibahas di daerah beriklim basah
seperti di Indonesia adalah erosi yang dipengaruhi oleh air terutama air hujan.
Erosi air terjadi akibat adanya dispersi/penghancuran agregat tanah dan tenaga
pengangkut berupa air hujan yang mengalir di permukaan. Hasil hancuran
tanah yang ada terutama berukuran halus akan menyumbat pori tanah yang
berdampak terhadap kapasitas infiltrasi menurun dan menjadi limpasan air
permukaan (Rahim, 2006). Macam erosi air yang menjadi topik kajian
penelitian pemodelan WATEM/SEDEM adalah erosi alur (Haregeweyn et al,
2011).
Kajian jenis erosi lain yang menjadi bahasan pemodelan
WATEM/SEDEM adalah erosi yang disebabkan oleh pengolahan tanah. Dua
dekade terakhir telah berkembang penelitian lain yang menyebutkan bahwa
erosi tanah tidak hanya disebabkan oleh air, angin dan es tetapi juga
disebabkan oleh pengolahan tanah (tillage erosion). Erosi pengolahan tanah
(tillage erosion) didefinisikan sebagai perpindahan lahan pertanian
diakibatkan oleh pengolahan tanah. Tanah yang terangkat oleh alat
pengolahan pertanian bergerak tegak lurus terhadap permukaan miring tanah
sementara tanah yang jatuh kembali tegak lurus terhadap bidang horizontal
karena gravitasi. Pemindahan tanah dinyatakan sebagai massa bergerak dalam
arah tertentu per satuan lebar (meter). Tanah yang terangkut ke arah bawah
lereng menandakan selama pengolahan tanah dilakukan mengarah menuruni
lereng dan begitu juga dengan tanah yang terangkut ke arah atas lereng
dikarenakan proses pengolahan tanah mengarah ke atas lereng. Topografi
terutama sudut kemiringan menjadi faktor penting dalam mengontrol
redistribusi partikel tanah oleh pengolahan (Govers et al. 1999).
1.5.1.2 Proses Sedimentasi
Tanah yang tererosi oleh aliran permukaan akan terendapkan di bagian
bawah kaki bukit, daerah genangan banjr dan saluran air, sungai, dan waduk.
Partikel tanah yang terangkut oleh air pada suatu tempat yang mengalami erosi
pada suatu DAS dan secara umum masuk ke dalam badan air disebut sedimen.
Sedimen yang terbawa ke sungai hanya sebagian dari tanah yang tererosi
dalam suatu DAS. Sebagian akan terendapkan pada suatu tempat di bagian
bawah tempat erosi pada DAS tersebut. Nisbah antara jumlah sedimen yang
terangkut ke dalam sungai terhadap erosi total yang terjadi di dalam DAS
dinamakan Sediment Delivery Rate (Nisbah Pelepasan Sedimen) (Arsyad,
2010).
Besaran sedimen dari hasil erosi yang terjadi di daerah tangkapan air
dan diukur dalam periode waktu dan tempat tertentu disebut hasil sedimen
(sediment yield). Pengukuran hasil sedimen diperoleh dari sedimen terlarut
dalam sungai dan tampungan air seperti waduk. Hasil sedimen tergantung dari
besarnya proses erosi yang terjadi dalam DAS dan pengaruh perpindahan
partikel tanah keluar dari DAS. Tidak semua tanah yang tererosi keluar dari
sistem DAS, tetapi sebagian akan diendapkan di cekungan-cekungan
permukaan tanah, kaki-kaki lereng dan tampungan sedimen. Oleh karena itu,
hasil sedimen yang terjadi akan bervariasi sesuai dengan karakteristik DAS
(Asdak, 2007).
1.5.1.3 Water and Tillage Erosion/Sediment Delivery Model (Watem/Sedem)
Model pendugaan kehilangan tanah oleh erosi pada umumnya
bertujuan untuk mengetahui besaran dari kehilangan tanah. Pemodelan
WATEM/SEDEM adalah salah satu model dari model pendugaan kehilangan
tanah oleh erosi. Model WATEM/SEDEM akan berbeda dengan pemodelan
erosi tanah yang lain karena berbagai model telah memiliki peruntukannya
tersendiri yang digunakan dalam output perhitungannya. Berikut disajikan
Tabel 1.1 tentang beberapa perbedaaan mendasar dari berbagai model erosi:
Tabel 1.1 Perbedaan Mendasar Model Pendugaan Kehilangan Tanah.
Model Tipe Skala Input/Output
USLE Empirical Lereng Bukit Input: Tinggi
Output: Erosi
ANSWER Physical Daerah Tangkapan
Air
Input: Tinggi
Output: Sedimentasi dan
nutrient.
WEPP Physical Lereng Bukit dan
Daerah Tangkapan
Air
Input: Tinggi
Output: Aliran Permukaan
dan karakteristik
sedimentasi, dan bentuk
kehilangan sedimentasi.
GUEST Physical Plot Input: Tinggi
Output: Run off dan
konsentrasi sedimen
WATEM/SEDEM Physical Daerah Tangkapan
air
Input: Rendah
Output: Erosi dan
pengangkutan sedimentasi
Tabel 1.1 telah menunjukkan perbedaan mendasar dari model
pendugaan kehilangan tanah bahwa telah terlihat jelas setiap model memiliki
karakterisitisk spesifik dalam pendugaan kehilangan tanah. Beragamnya
model erosi tanah yang ada, penelitian ini akan lebih memfokuskan untuk
penggunaan model WATEM/SEDEM.
WATEM/SEDEM adalah model yang mensimulasikan berapa besar
sedimen yang diangkut ke dalam saluran sungai secara tahunan ataupun
bulanan (Gambar 1.2). WATEM/SEDEM memiliki tiga komponen penting
yakni menghitung kehilangan tanah, menghitung kapasitas tranportasi, dan
mengetahui jalur sedimen (Rompaey et al, 2001).
Gambar 1.2 Tampilan Model WATEM/SEDEM
a. Penilaian rata-rata laju erosi tanah bulanan.
Model WATEM/SEDEM mengadaptasi penilaian erosi tanah oleh air
menggunakan rumus empiris Revised Universal Soil Loss Equation
(RUSLE) yang dikembangkan oleh Renard et al, (1997). RUSLE
merupakan persamaan empiris yang dapat mensimulasikan rata-rata
bulanan erosi tanah oleh air. Erosi tanah menggunakan rumus RUSLE
dihasilkan oleh faktor erosivitas hujan (R), erodibilitas tanah (K), panjang
lereng (L), kemiringan lereng (S), penutup tanah (C) dan pola pengelolaan
lahan dan tanaman (P) (Haregeweyn et al, 2011).
b. Penilaian rata-rata tahunan kapasitas tranportasi
Kapasitas transportasi diartikan sebagai jumlah massa tanah
maksimum yang dapat keluar dari grid cell setiap panjang dari muka
lereng. Setiap grid-cell dapat dikaji rata-rata kapasitas sedimen (kg m-1).
Perhitungan kapasitas transportasi untuk setiap tipe penggunaan lahan
akan berbeda. Berikut persamaan untuk perhitungan kapasitas transportasi.
Persamaan ini diterangkan oleh Oost et al, (2000) yakni sebagai
berikut :
TC = KTC*EPR
dimana, TC adalah kapasitas transportasi (kg m-1 y-1), KTC adalah
koefisien kapasitas tranportasi (m), dan EPR sebagai potensi erosi alur (kg
m2 a1).
Koefisien kapasitas tranportasi (KTC) adalah perbandingan antara
potensi terjadinya erosi alur dan kapasitas transportasi. KTC dapat
dinterpretasikan dengan jarak lereng yang dibutuhkan untuk memproduksi
sedimen mencapai kapasitas transportasi di setiap grid cell (Rompaey et
al, 2001). Potensi terjadinya erosi alur dihitung dengan mengurangi
potensi interril erosion dari total erosi tanah.
EPR=EPT-EPIR
EPT sebagai potensi keselurahan erosi (rill erosion + interrill erosion) (kg
m2 a1), EPR sebagai potensi erosi alur (kg m2 a1) dan EPIR sebagai potensi
interrill erosion (kg m2 a1).
Tingkat erosi potensial adalah tingkat erosi secara teoritis, dengan
asumsi bahwa di lapangan tidak terdapat tindakan konservasi tanah yang
dilakukan. Oleh karena persamaan RUSLE digunakan untuk memfasilitasi
penilaian dari kedua tingkat erosi tanah yang sebenarnya dan tingkat erosi
tanah potensial.
Potensi interril erosion dapat diestimasi dari persamaan Mc Cool et
al, (1989), yakni
EPIR = aRKIRSIR
dimana, a sebagai koefisien, KIR sebagai faktor erodibilitas tanah (kg h
MJ1 mm1) dan SIR sebagai faktor kemiringan lereng.
Faktor KIR yang tidak tersedia untuk mengestimasi KIR. Faktor
lereng pada interrill erosion dihitung dari persamaan Govers & Poesen,
(1988) :
SIR = 6.86Sg0.8
Dimana, Sg adalah kemiringan lereng (m m-1)
Koefisien a yang terdapat Mc Cool et al, (1989) diatur dengan nilai
0.06. Konstanta 6.86 yang berada pada persamaan SIR menjelaskan bahwa
tingkat interrill erosion sama dengan tingkat erosi alur di lereng 0.06 pada
jarak pembagian lereng 65 m. Hal ini sesuai dengan observasi yang telah
dilakukan oleh Govers & Poesen , (1988).
c. Jalur sedimen (sediment route)
WATEM/SEDEM dioperasikan dengan fungsi algoritma yang
mengangkut sedimen hasil erosi dari sumber menuju ke jaringan sungai.
Proses operasi setiap grid dimulai dengan grid-cell yang tinggi pada
bentanglahan (landscape) yang dihubungkan melalui suatu jalur aliran
(path). Mengikuti path, sedimen dapat diangkut lebih jauh ke arah lereng
bagian bawah jika kapasitas sedimen melebihi volume sedimen yang
datang. Pengaruh penggunaan pola spasial dan tipe penggunaan lahan
dalam DAS dapat berpengaruh terhadap erosi tanah, misalnya batas
bidang, jalan dan struktur bentanglahan lainnya berpengaruh terhadap
sedimen dan aliran air permukaan diantara perbedaaan unit lahan (Oost et
al, 2000). Pengaruh ini dapat dihitung menggunakan WATEM/SEDEM
dengan menggabungkan peta batas sektor (parcel map). Sedimen dapat
mencapai saluran sungai dipertimbangkan oleh keluaran DAS
(Haregeweyen et al, 2011).
1.5.2 Telaah Penelitian Sebelumnya
Haregeweyn et al, (2011) melakukan penelitian yang bertujuan untuk
penilaian dan kalibrasi hasil sedimen dengan menggunakan dua versi
transport capacity yakni versi asli yang terbatas pada erosi alur dan lembar,
dan versi modifikasi yang dapat mensimulasikan erosi parit dan menentukan
prioritas tindakan pengelolaan pada area sumber sedimen. Penentuan ini
menggunakan model WATEM/SEDEM dengan kajian lokasi di Utara Etiopia.
Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah 1). Kinerja versi kedua untuk
hasil sedimen ditemukan menjanjikan untuk 12 DAS. Untuk versi pertama,
kinerja model untuk sembilan tangkapan dengan erosi parit terbatas jauh lebih
baik daripada kinerja yang diperoleh tiga DAS dengan terjadinya erosi parit.
2). Tanah yang sudah diolah ditemukan rata-rata lima kali lebih rentan
terhadap erosi daripada lahan semak-semak. Nilai kerugian tanah yang hilang
di sebagian besar daerah tangkapan Gindae umumnya lebih tinggi
dibandingkan dengan tingkat pembentukan tanah. Ini menekankan pentingnya
menerapkan tindakan konservasi tanah dan air yang tepat di daerah sumber
sedimen pada bagian paling curam dari tangkapan (yaitu daerah dengan
kemiringan > 50 persen). Implementasi dari penelitian yang akan dilakukan
adalah penggunaan metode WATEM/SEDEM untuk pendugaan kehilangan
tanah dan hasil sedimen di DAS Bompon. Penerapan yang berbeda dari
penelitian yang dilakukan Haregweyn et al, (2011) adalah penentuan erosi
tanah dan hasil sedimen dilakukan secara rata-rata bulanan. Daerah kajiannya
di DAS Bompon tidak luas hanya sebesar 2 km2 dibandingkan dengan
penelitian yang Haregeweyn et al, (2011) yang di lakukan dalam 50078 km2.
Penelitian Haregeweyn et al, (2011) berbeda dengan kondisi DAS Bompon
ynag memiliki luasan yang lebih kecil. Penelitian Haregeweyn et al, (2011)
dapat terjadi underestimated yang dipengaruhi luasan yang begitu besar.
Cakupan wilayah begitu besar dapat mempengaruhi kompleksitas wilayah.
Ketebalan tanah, erosi tebing sungai, erosi parit yang tidak terbaca oleh model
WATEM/SEDEM akan mempengaruhi besaran erosi tanah dan hasil sedimen.
Verstraeten et al, (2002) melakukan penelitian mengenai efektivitas
beragam pengukuran konservasi tanah dan pengatur sedimen dalam skala
tangkapan air. Penelitian ini berada di 3 daerah tangkapan air yakni
Molenbeek (2317 ha), Cicindria (1718 ha) dan Melsterberk (1117 ha).
Mengkaji beragamnya efektivitas konservasi tanah dan pengatur sedimen dari
model distribusi spasial dalam penentuan erosi tanah dan pengangkutan
sedimen sangat dibutuhkan. Model yang digunakan tersebut adalah model
WATEM/SEDEM. Hasil yang didapat adalah efek pengukuran dari banyak
pengatur sedimen lebih kecil dari hasil pendugaan eksperimen lapangan. Ini
disebabkan oleh pengukuran pengatur sedimen seperti bangunan penahan
sedimen hanya mengontrol off-site effect dari erosi seperti banjir lumpur dan
polusi air permukaan. Integrasi beragam konservasi dan kontrol sedimen
dalam manajamen daerah tangkapan air menunjukkan bahwa efek pengukuran
kombinasi lebih kecil dari jumlah efek individu. Hal yang membedakan dari
penelitian yang dilakukan Verstraeten et al, (2002) adalah adanya skenario
konservasi tanah dan pengatur sedimen dalam penelitian tersebut. Penelitian
Verstraeten et al, (2002) menekankan pada ujicoba teknik konservasi yang
sesuai untuk ketiga daerah tangkapan tersebut. Penelitian Verstraeten et al,
(2002) belum memperlihatkan penilaian harga dan keuntungan (cost-benefit)
dari pilihan manajemen teknik konservasi dan pengatur sedimen untuk ketiga
daerah tangkapan air. Beberapa bagian dari penelitian Verstraeten et al, (2002)
diambil untuk melakukan penelitian di DAS Bompon. Hal yang berbeda
adalah penelitian yang akan dilakukan di DAS Bompon hanya sebatas kondisi
real di lapangan dengan masukan data input yang sesuai dengan perhitungan
model WATEM/SEDEM, tanpa adanya upaya skenario lebih lanjut dalam
penentuan teknik konservasi yang sesuai di DAS Bompon.
Fayos (2008) melakukan penelitian di Tenggara Spanyol untuk
mengetahui pengaruh penggunaan lahan dan cek-dam terhadap hasil sedimen.
Penelitian dilakukan dengan berbagai skenario percobaan di lapangan,
pemetaan dan pemodelan WATEM/SEDEM. Hasil yang dihasilkan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut : Skenario tanpa menggunakan cek-dam
dan perubahan penggunaan lahan antara tahun 1956 dan 1997 diperoleh hasil
pengurangan sedimen sebesar 54%. Skenario tanpa ada perubahan
penggunaan lahan dan menggunakan cek-dam sebesar 77% sedimen ditahan
oleh cek-dam. Jika dilihat dari penelitian Fayos, (2008) sangat membantu
dalam penelitian yang akan dilakukan di DAS Bompon. Metode
WATEM/SEDEM menjadi metode pokok yang dipakai dalam penelitian ini.
Hal yang membedakan dari Fayos, (2008) adalah bahwa pada di penelitian ini
tidak memperhitungkan faktor Cek-dam. Selain itu, dalam penelitian tidak
terdapat perubahan penggunaan penggunaan lahan. Penelitian yang dilakukan
dengan menekankan pada perbedaan nilai KTC yang dihasilkan dari
perbedaan penggunaan lahan garapan dan bukan garapan untuk mengetahi
nilai kapasitas transport (TC). Penelitian Fayos, (2008) memberikan gambaran
terhadap penelitian di DAS Bompon yang menilai bahwa pengaruh perubahan
penggunaan lahan dan cek-dam menentukan besaran hasil sedimen. Namun,
pengaruh perubahan penggunaan lahan di DAS Bompon tidak disimulasikan
karena pelaksanaan periode penelitian memiliki waktu yang relatif singkat.
Cek-dam pun tidak ada di wilayah kajian DAS Bompon, sehingga tidak akan
berpengaruh di DAS Bompon. Penggunaan lahan dan cek-dam memiliki
kombinasi untuk mengurangi sedimen yang terbawa sampai hilir. Cek-dam
akan sangat efektif mengurangi hasil sedimen pada waktu yang singkat,
namun memiliki potensi erosi tebing sungai cukup tinggi.
No Penelitian Tujuan Utama Metode Hasil Informasi Yang
Diperoleh
1. Fayos et al, (2008).
The Impact Of Land Use
Change And Check-
Dams On Catchment
Sediment Yield
Melakukan skenario
penggunaan lahan
menggunakan atau tanpa
cekdam sebagai
pengontrol laju sedimen
terhadap hasil sedimen di
Tenggara Negara Spanyol
Pemodelan
Watem/Sedem
-Hasil sedimen dengan
cek-dam tanpa
penggunaan lahan
-Hasil sedimen dengan
skenario penggunaan
lahan tanpa cekdam
Cek dam mampu
mengurangi hasil
sedimen dalam waktu
singkat, namun akan
meningkatkan erosi
tebing sungai yang
cukup tinggi.
2. Haregeweyn et al,
(2011).
Assessing The
Performance Of A
Spatially Distributed
Soil
Erosion And Sediment
Delivery Model
(Watem/Sedementation)
In
Northern Ethiopia
-Memprediksi secara
absolut dan spesifik hasil
sedimen menggunakan
dua perbedaan Transport
Capacity (TC)
-Identifikasi area sumber
sedimen untuk
pengelolaan daerah
tangkapan air
Pemodelan
Watem/Sedem
-Perbedaan hasil
sedimen dua versi
Transpor Capacity
-Prioritas Tindakan
Konservasi
Luasan DAS yang
begitu luas dapat
mengakibatkan
underestimate
simulasi model, DAS
yang luas berpengaruh
terhadap kompleksitas
wilayah kajian berupa
terjadinya erosi parit.
Tabel 1.2 Perbandingan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan penulis
3. Verstraeten et al,
(2002). Evaluating an
Integrated Approach To
Catchment Management
To Reduce Soil Loss
And Sediment Pollution
Through Modelling.
Efektivitas beragam
pengukuran konservasi
dan kontrol sedimen
dalam skala tangkapan air.
Pemodelan
Watem/Sedem.
1). Bendungan penahan
sedimen lebih
berdampak pada off-site
effect erosi.
2). Dampak kehilangan
tanah dan pengangkutan
sedimen akan lebih
efektif menggunakan
kombinasi teknik
konservasi tanah dan
pengatur sedimen.
Penilaian harga dan
keuntungan dari
metode konservasi
dari penelitian
Verstraeten et al,
(2002) belum
diperhitungkan,
sehingga apakah
metode konservasi
dapat sesuai dan cocok
untuk petani.
4. Nur Rochim (2016).
Perhitungan erosi tanah
dan hasil sedimen
menggunakan model
WATEM/SEDEM di
DAS Bompon,
Magelang.
Menghitung besaran dan
distribusi laju kehilangan
tanah dan hasil sedimen
melalui kapasitas
transportasi sedimen.
Pemodelan
Watem/Sedem
1). Besaran dan
distribusi kehilangan
tanah oleh air setelah
dilakukan kalibrasi data.
2) Menghitung hasil
sedimen setelah
dikalibrasi data.
Penggunaan model
WATEM/SEDEM
Perbedaan :
Penelitian
menekankan terhadap
perolehan erosi tanah
dan hasil sedimen
dalam periode bulanan
1.6 Kerangka Pemikiran
Konsep penggunaan model WATEM/SEDEM digunakan untuk
pendugaan kehilangan tanah dan pengangkutan sedimen secara spasial.
Pemodelan distribusi erosi tanah dan pengangkutan sedimen
WATEM/SEDEM menggunakan grid-cell dengan ukuran tidak melebihi 100
m x 100 m. Model WATEM/SEDEM mempunyai masukan data yang
didasarkan pada persamaan RUSLE. Erosivitas hujan, DEM, faktor
pengelolaan tanaman, parcel map, river routing dan erodibilitas tanah
termasuk data yang dibutuhkan model WATEM/SEDEM. Masukan data
model WATEM/SEDEM sangat dipengaruhi oleh satuan pemetaan yang
digunakan untuk penelitian ini berupa vegetasi (faktor C) berbeda di setiap
bentuklahan.
Model WATEM/SEDEM perlu proses kalibrasi untuk mendapatkan
hasil yang optimal. Proses kalibrasi dilakukan dengan pengaturan koefisien
kapasitas tranportasi (KTC). KTC diatur untuk memperoleh kesamaan hasil
nilai model dengan nilai hasil pengukuran sedimen.
Secara umum model WATEM/SEDEM menggunakan analisis fungsi
algortima dalam penentuan jalur pengangkutan sedimen. Jika kapasitas
transportasi lebih rendah dibandingkan dengan sedimen yang datang, maka
deposisi sedimen akan terjadi. Sementara itu, sedimen yang mencapai sungai
dipertimbangkan sebagai sedimen yang meninggalkan daerah tangkapan dan
diukur sebagai hasil sedimen. Gambaran secara jelas kerangka penelitian
dapat dilihat di Gambar 1.3.
Gambar 1.3 Kerangka Pemikiran
Model WATEM/SEDEM
Data curah
hujan
Erosivitas
hujan
Validasi model erosi
Bentuklahan
Validasi
hasil
interpretasi
Faktor C
Vegetasi dan
Penggunaan
Lahan
Interpretasi
Foto Udara
Peta Distribusi Erosi dan
Sedimentasi Bulanan
Parcel map Satuan Pemetaan
Tanah
DEM
Kalibrasi model
menggunakan koefisien
kapasitas tranportasi (KTC)
Faktor
erodibilitas
tanah
River
Routing
River Map