bab i pendahuluan 1.1 latar...

18
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Erosi tanah adalah hilangnya partikel tanah dari suatu tempat oleh tenaga pengangkut yang mencakup tahapan penghancuran agregat tanah dan pengangkutan material tanah. Proses sedimentasi berlangsung ketika energi pengangkut sudah tidak tersedia kembali (Merritt et al, 2003). Proses terjadinya erosi tanah memberikan dampak yang cukup luas terhadap lokasi terjadinya erosi (on-site effects) dan di luar lokasi terjadinya erosi ( off-site effects). Munculnya dampak dari erosi tanah perlu dipantau dan dievaluasi menggunakan metode pendugaan kehilangan tanah oleh erosi (Mc Dowell et al, 2009). Berbagai metode pendugaan tanah yang hilang oleh erosi telah banyak dikembangkan dan diaplikasikan untuk penelitian erosi tanah diantaranya USLE, ANSWER, GUEST dan GEOWEPP. Setiap metode memiliki keunggulan dan kelemahan dalam estimasi kehilangan tanah oleh erosi (Merrit et al, 2003). Penerapan berbagai metode pendugaan kehilangan tanah yang telah ada rata-rata memiliki input data yang besar seperti halnya GEOWEPP dan ANSWER (Merrit et al, 2003). Hal ini menjadi sebuah tantangan Indonesia sebagai negara berkembang dalam penilaian pendugaan kehilangan tanah dengan keterbatasan data yang dimiliki. Menjawab tantangan tersebut dikembangkan model WATEM/SEDEM (Oost et al, (2000); Rompaey et al, (2001) yang mampu melakukan penilaian besaran dan sebaran laju kehilangan tanah dan sedimentasi secara sekaligus tanpa memerlukan investasi besar dalam pengumpulan kebutuhan input data. Model WATEM/SEDEM menggunakan distribusi spasial yang terbagi menjadi bagian unit terkecil (grid cell). Hal ini dikarenakan setiap penggunaan lahan yang berbeda akan mengubah sistem hidrologi permukaan dan berdampak proses erosi yang terjadi (Haregeweyn et al, 2011). Aplikasi dari model WATEM/SEDEM

Upload: doantruc

Post on 04-May-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Erosi tanah adalah hilangnya partikel tanah dari suatu tempat oleh

tenaga pengangkut yang mencakup tahapan penghancuran agregat tanah dan

pengangkutan material tanah. Proses sedimentasi berlangsung ketika energi

pengangkut sudah tidak tersedia kembali (Merritt et al, 2003). Proses

terjadinya erosi tanah memberikan dampak yang cukup luas terhadap lokasi

terjadinya erosi (on-site effects) dan di luar lokasi terjadinya erosi (off-site

effects). Munculnya dampak dari erosi tanah perlu dipantau dan dievaluasi

menggunakan metode pendugaan kehilangan tanah oleh erosi (Mc Dowell et

al, 2009). Berbagai metode pendugaan tanah yang hilang oleh erosi telah

banyak dikembangkan dan diaplikasikan untuk penelitian erosi tanah

diantaranya USLE, ANSWER, GUEST dan GEOWEPP. Setiap metode

memiliki keunggulan dan kelemahan dalam estimasi kehilangan tanah oleh

erosi (Merrit et al, 2003).

Penerapan berbagai metode pendugaan kehilangan tanah yang telah

ada rata-rata memiliki input data yang besar seperti halnya GEOWEPP dan

ANSWER (Merrit et al, 2003). Hal ini menjadi sebuah tantangan Indonesia

sebagai negara berkembang dalam penilaian pendugaan kehilangan tanah

dengan keterbatasan data yang dimiliki. Menjawab tantangan tersebut

dikembangkan model WATEM/SEDEM (Oost et al, (2000); Rompaey et al,

(2001) yang mampu melakukan penilaian besaran dan sebaran laju kehilangan

tanah dan sedimentasi secara sekaligus tanpa memerlukan investasi besar

dalam pengumpulan kebutuhan input data. Model WATEM/SEDEM

menggunakan distribusi spasial yang terbagi menjadi bagian unit terkecil (grid

cell). Hal ini dikarenakan setiap penggunaan lahan yang berbeda akan

mengubah sistem hidrologi permukaan dan berdampak proses erosi yang

terjadi (Haregeweyn et al, 2011). Aplikasi dari model WATEM/SEDEM

belum banyak dikenal di Indonesia. Proses kalibrasi yang tidak terlalu rumit

menjadikan model WATEM SEDEM sebagai salah satu alternatif metode

penilaian laju erosi dan sedimentasi.

Pengujian model WATEM/SEDEM dapat diterapkan pada area yang

tidak terlalu luas namun memiliki data pasangan stasiun hujan dan stasiun

pengamatan aliran sungai yang lengkap. Salah satu area yang sesuai dan

menarik untuk pengujian model WATEM/SEDEM adalah di Daerah Aliran

Sungai (DAS) Bompon. Secara administratif DAS Bompon terletak di

sebagian desa Kwaderan, Margoyoso, dan Wonogiri Kecamatan Muntilan,

Magelang Jawa Tengah. DAS Bompon merupakan bagian dari Sub DAS

Kodil yang memiliki luasan 294.71 Ha. DAS Bompon mempunyai kombinasi

topografi perbukitan yang berlereng miring hingga curam dan memiliki

karakteristik tanah yang mudah terdispersi (Budianto, 2016) sehingga

meningkatkan potensi erosi tanah (Gambar 1.1). Pengujian model

WATEM/SEDEM perlu dilakukan sebagai langkah monitoring laju dan

distribusi erosi di DAS Bompon.

(a) (b)

Gambar 1.1 (a) Erosi Alur, (b) Erosi Parit

1.2 Rumusan Masalah

Bentuk pendugaan hubungan erosi tanah di daerah tangkapan air

dengan besarnya sedimen yang terukur di daerah hilir mempunyai mekanisme

yang rumit dan belum banyak dimengerti. Hal ini dikarenakan hasil erosi

tanah yang terjadi tidak semuanya masuk ke dalam sungai tetapi dapat

tertahan di daerah tangkapan air, kaki-kaki lereng dan cekungan permukaan

tanah dari sistem DAS (Asdak, 2007). Sejauh ini Merritt et al, (2003); De

Vente & Poesen, (2005), kebanyakan dalam lingkup wilayah model

pendugaan kajian erosi adalah model yang masih tidak memperhatikan

variabel ruang, hanya didasarkan oleh persamaan regresi yang sekaligus dapat

mensimulasikan hasil sedimen.

Pada prinsipnya untuk memecahkan masalah hasil sedimen tersebut

dibutuhkan sebuah model distribusi yang mengarahkan material hasil erosi

masuk ke dalam sistem sungai, dan akhirnya material sedimen yang

terdeposisi adalah material yang melebihi kapasitas transportasinya (De Vente

& Poesen, 2005). Pengangkutan sedimen yang terjadi tergantung dari faktor

pelepasan sedimen, kapasitas transportasi dan topografi sehingga sangat

diperlukan penekanan penggunaan model distribusi spasial dalam penentuan

pengangkutan sedimen (Nearing et al, 1989). Sementara itu, peningkatan

kompleksitas dari model erosi dan deposisi sedimen berdasarkan model fisik

(physically based) seperti model Water Erosion Prediction Project (WEPP)

mempunyai pertimbangan dalam persyaratan (Jetten et al, 2003). Persyaratan

tersebut dibutuhkan untuk data masukan dan apabila data yang tidak cukup

tersedia akan berpengaruh terhadap kalibrasi data sehingga hasilnya tidak

terlalu valid (Rompaey et al, 2001).

Model WATEM/SEDEM adalah salah satu model yang dikembangkan

dalam menjawab permasalahan distribusi keruangan dari erosi tanah dan hasil

sedimen dalam suatu DAS yang telah diuraikan pada penjelasan sebelumnya.

Model WATEM/SEDEM mensimulasikan berapa banyak erosi tanah dan

material sedimen yang terangkut dalam rata-rata tahunan. Model ini

menggunakan distribusi spasial yang terbagi menjadi bagian unit terkecil (grid

cell) dengan ketentuan tidak melebihi dari 100 m x 100 m. Model

WATEM/SEDEM ini terbagi menjadi dua bagian sistem yakni WATEM dan

SEDEM yang dikembangkan oleh Oost et al, (2000) ; Rompaey et al, (2000).

WATEM adalah struktur model untuk pengukuran erosi baik oleh air dan

pengolahan tanah yang timbul dari pengaruh perubahan struktur bentanglahan

(Oost et al, 2000). Penelitian ini menekankan terhadap pengukuran erosi oleh

air yang didasarkan dengan menggunakan rumus RUSLE (Revised Universal

Soil Loss Equation) yang telah dilakukan perbaikan dan perkembangan

menggunakan konsep dua dimensional bentanglahan sehingga dapat

mensimulasikan kehilangan tanah dan memperhitungkan material yang

terendapkan.

SEDEM adalah bagian model yang menghitung proses pengangkutan

sedimen ke dalam saluran sungai dan mendistribusikannnya secara spasial.

Model ini mempunyai komponen yakni jalur sedimen menuju jaringan sungai

dengan perhitungan kapasitas transportasi setiap unit ruang (Rompaey et al,

2001). Kapasitas transportasi sedimen memperhatikan faktor penggunaan

lahan dalam perhitungannya. Penggunaan lahan tersebut terbagi menjadi dua

yakni lahan garapan dan lahan bukan garapan. Penggunaan lahan yang

berbeda akan menghasilkan perbedaan nilai KTC pada perhitungan kapasitas

transportasi (transport capacity coefficient).

Penjabaran model WATEM/SEDEM, penggunaan model ini

digunakan untuk menentukan besaran sekaligus sebaran erosi tanah dan

deposisi sedimen dalam rata-rata bulanan. Segi penerapannya telah banyak

dilakukan peneliti luar negeri dalam menduga kehilangan tanah sekaligus

pengambilan skenario teknik konservasi tanah yang tepat dalam

meminimalisir erosi tanah yang terjadi, seperti halnya yang dilakukan

Vertraeten et al, (2002) dan Fayos, (2008). Namun, di Indonesia penerapan

WATEM/SEDEM masih belum optimal dalam penelitian pendugaan

kehilangan tanah oleh erosi. Melalui penelitian ini model WATEM/SEDEM

akan diujikan di DAS Bompon dengan kalibrasi data bukan secara tahunan

melainkan secara bulanan untuk melihat pola erosi erosi setiap bulan.

Hasil penjelasan diatas maka rumusan masalah yang diangkat dari

penelitian ini adalah:

1. Apakah model WATEM/SEDEM dapat dikalibrasi dan diterapkan dalam

periode bulanan di DAS Bompon?

2. Berapa besar akurasi model distribusi spasial erosi tanah dan hasil sedimen

WATEM/SEDEM diterapkan di DAS Bompon?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Melakukan kalibrasi model WATEM SEDEM di DAS Bompon;

2. Mengestimasi laju erosi dan hasil sedimen di DAS Bompon;

3. Menguji distribusi spasial erosi tanah dan estimasi hasil sedimen

WATEM/SEDEM yang diterapkan di DAS Bompon.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan penjelasan mengenai besaran laju kehilangan tanah dan hasil

sedimen yang terjadi di DAS Bompon.

2. Memberikan sumbangan ilmu pengetahun mengenai cara perhitungan laju

erosi tanah dan hasil sedimen menggunakan metode WATEM/SEDEM

1.5 Tinjauan Pustaka

1.5.1 Telaah Pustaka

Erosi adalah proses alam yang perlu diperhatikan dan diminimalisir

keberadaaanya. Kehilangan tanah yang ditimbulkan oleh erosi tanah yang

berjalan intensif ditakutkan terjadi degradasi tanah sehingga akan mengurangi

kemampuan tanah menghasilkan unsur hara. Berbagai metode pendugaan

erosi tanah dan hasil sedimen telah dikembangkan oleh para ahli untuk

mengatasi masalah tersebut. Penelitian ini akan menguji akurasi model

WATEM/SEDEM pada sebuah DAS. Pemilahan WATEM/SEDEM ini

dipertimbangkan atas data yang menjadi input tidak terlalu banyak dan proses

kalibrasi yang tidak rumit. Telaah pustaka penelitian akan di terangkan secara

detail mengenai istilah yang dipakai dalam pemodelan erosi tanah dan hasil

sedimen WATEM/SEDEM.

1.5.1.1 Erosi Tanah Oleh Air (Water Erosion) dan Erosi Pengolahan Tanah

(Tillage Erosion)

Permasalahan erosi yang sering dibahas di daerah beriklim basah

seperti di Indonesia adalah erosi yang dipengaruhi oleh air terutama air hujan.

Erosi air terjadi akibat adanya dispersi/penghancuran agregat tanah dan tenaga

pengangkut berupa air hujan yang mengalir di permukaan. Hasil hancuran

tanah yang ada terutama berukuran halus akan menyumbat pori tanah yang

berdampak terhadap kapasitas infiltrasi menurun dan menjadi limpasan air

permukaan (Rahim, 2006). Macam erosi air yang menjadi topik kajian

penelitian pemodelan WATEM/SEDEM adalah erosi alur (Haregeweyn et al,

2011).

Kajian jenis erosi lain yang menjadi bahasan pemodelan

WATEM/SEDEM adalah erosi yang disebabkan oleh pengolahan tanah. Dua

dekade terakhir telah berkembang penelitian lain yang menyebutkan bahwa

erosi tanah tidak hanya disebabkan oleh air, angin dan es tetapi juga

disebabkan oleh pengolahan tanah (tillage erosion). Erosi pengolahan tanah

(tillage erosion) didefinisikan sebagai perpindahan lahan pertanian

diakibatkan oleh pengolahan tanah. Tanah yang terangkat oleh alat

pengolahan pertanian bergerak tegak lurus terhadap permukaan miring tanah

sementara tanah yang jatuh kembali tegak lurus terhadap bidang horizontal

karena gravitasi. Pemindahan tanah dinyatakan sebagai massa bergerak dalam

arah tertentu per satuan lebar (meter). Tanah yang terangkut ke arah bawah

lereng menandakan selama pengolahan tanah dilakukan mengarah menuruni

lereng dan begitu juga dengan tanah yang terangkut ke arah atas lereng

dikarenakan proses pengolahan tanah mengarah ke atas lereng. Topografi

terutama sudut kemiringan menjadi faktor penting dalam mengontrol

redistribusi partikel tanah oleh pengolahan (Govers et al. 1999).

1.5.1.2 Proses Sedimentasi

Tanah yang tererosi oleh aliran permukaan akan terendapkan di bagian

bawah kaki bukit, daerah genangan banjr dan saluran air, sungai, dan waduk.

Partikel tanah yang terangkut oleh air pada suatu tempat yang mengalami erosi

pada suatu DAS dan secara umum masuk ke dalam badan air disebut sedimen.

Sedimen yang terbawa ke sungai hanya sebagian dari tanah yang tererosi

dalam suatu DAS. Sebagian akan terendapkan pada suatu tempat di bagian

bawah tempat erosi pada DAS tersebut. Nisbah antara jumlah sedimen yang

terangkut ke dalam sungai terhadap erosi total yang terjadi di dalam DAS

dinamakan Sediment Delivery Rate (Nisbah Pelepasan Sedimen) (Arsyad,

2010).

Besaran sedimen dari hasil erosi yang terjadi di daerah tangkapan air

dan diukur dalam periode waktu dan tempat tertentu disebut hasil sedimen

(sediment yield). Pengukuran hasil sedimen diperoleh dari sedimen terlarut

dalam sungai dan tampungan air seperti waduk. Hasil sedimen tergantung dari

besarnya proses erosi yang terjadi dalam DAS dan pengaruh perpindahan

partikel tanah keluar dari DAS. Tidak semua tanah yang tererosi keluar dari

sistem DAS, tetapi sebagian akan diendapkan di cekungan-cekungan

permukaan tanah, kaki-kaki lereng dan tampungan sedimen. Oleh karena itu,

hasil sedimen yang terjadi akan bervariasi sesuai dengan karakteristik DAS

(Asdak, 2007).

1.5.1.3 Water and Tillage Erosion/Sediment Delivery Model (Watem/Sedem)

Model pendugaan kehilangan tanah oleh erosi pada umumnya

bertujuan untuk mengetahui besaran dari kehilangan tanah. Pemodelan

WATEM/SEDEM adalah salah satu model dari model pendugaan kehilangan

tanah oleh erosi. Model WATEM/SEDEM akan berbeda dengan pemodelan

erosi tanah yang lain karena berbagai model telah memiliki peruntukannya

tersendiri yang digunakan dalam output perhitungannya. Berikut disajikan

Tabel 1.1 tentang beberapa perbedaaan mendasar dari berbagai model erosi:

Tabel 1.1 Perbedaan Mendasar Model Pendugaan Kehilangan Tanah.

Model Tipe Skala Input/Output

USLE Empirical Lereng Bukit Input: Tinggi

Output: Erosi

ANSWER Physical Daerah Tangkapan

Air

Input: Tinggi

Output: Sedimentasi dan

nutrient.

WEPP Physical Lereng Bukit dan

Daerah Tangkapan

Air

Input: Tinggi

Output: Aliran Permukaan

dan karakteristik

sedimentasi, dan bentuk

kehilangan sedimentasi.

GUEST Physical Plot Input: Tinggi

Output: Run off dan

konsentrasi sedimen

WATEM/SEDEM Physical Daerah Tangkapan

air

Input: Rendah

Output: Erosi dan

pengangkutan sedimentasi

Tabel 1.1 telah menunjukkan perbedaan mendasar dari model

pendugaan kehilangan tanah bahwa telah terlihat jelas setiap model memiliki

karakterisitisk spesifik dalam pendugaan kehilangan tanah. Beragamnya

model erosi tanah yang ada, penelitian ini akan lebih memfokuskan untuk

penggunaan model WATEM/SEDEM.

WATEM/SEDEM adalah model yang mensimulasikan berapa besar

sedimen yang diangkut ke dalam saluran sungai secara tahunan ataupun

bulanan (Gambar 1.2). WATEM/SEDEM memiliki tiga komponen penting

yakni menghitung kehilangan tanah, menghitung kapasitas tranportasi, dan

mengetahui jalur sedimen (Rompaey et al, 2001).

Gambar 1.2 Tampilan Model WATEM/SEDEM

a. Penilaian rata-rata laju erosi tanah bulanan.

Model WATEM/SEDEM mengadaptasi penilaian erosi tanah oleh air

menggunakan rumus empiris Revised Universal Soil Loss Equation

(RUSLE) yang dikembangkan oleh Renard et al, (1997). RUSLE

merupakan persamaan empiris yang dapat mensimulasikan rata-rata

bulanan erosi tanah oleh air. Erosi tanah menggunakan rumus RUSLE

dihasilkan oleh faktor erosivitas hujan (R), erodibilitas tanah (K), panjang

lereng (L), kemiringan lereng (S), penutup tanah (C) dan pola pengelolaan

lahan dan tanaman (P) (Haregeweyn et al, 2011).

b. Penilaian rata-rata tahunan kapasitas tranportasi

Kapasitas transportasi diartikan sebagai jumlah massa tanah

maksimum yang dapat keluar dari grid cell setiap panjang dari muka

lereng. Setiap grid-cell dapat dikaji rata-rata kapasitas sedimen (kg m-1).

Perhitungan kapasitas transportasi untuk setiap tipe penggunaan lahan

akan berbeda. Berikut persamaan untuk perhitungan kapasitas transportasi.

Persamaan ini diterangkan oleh Oost et al, (2000) yakni sebagai

berikut :

TC = KTC*EPR

dimana, TC adalah kapasitas transportasi (kg m-1 y-1), KTC adalah

koefisien kapasitas tranportasi (m), dan EPR sebagai potensi erosi alur (kg

m2 a1).

Koefisien kapasitas tranportasi (KTC) adalah perbandingan antara

potensi terjadinya erosi alur dan kapasitas transportasi. KTC dapat

dinterpretasikan dengan jarak lereng yang dibutuhkan untuk memproduksi

sedimen mencapai kapasitas transportasi di setiap grid cell (Rompaey et

al, 2001). Potensi terjadinya erosi alur dihitung dengan mengurangi

potensi interril erosion dari total erosi tanah.

EPR=EPT-EPIR

EPT sebagai potensi keselurahan erosi (rill erosion + interrill erosion) (kg

m2 a1), EPR sebagai potensi erosi alur (kg m2 a1) dan EPIR sebagai potensi

interrill erosion (kg m2 a1).

Tingkat erosi potensial adalah tingkat erosi secara teoritis, dengan

asumsi bahwa di lapangan tidak terdapat tindakan konservasi tanah yang

dilakukan. Oleh karena persamaan RUSLE digunakan untuk memfasilitasi

penilaian dari kedua tingkat erosi tanah yang sebenarnya dan tingkat erosi

tanah potensial.

Potensi interril erosion dapat diestimasi dari persamaan Mc Cool et

al, (1989), yakni

EPIR = aRKIRSIR

dimana, a sebagai koefisien, KIR sebagai faktor erodibilitas tanah (kg h

MJ1 mm1) dan SIR sebagai faktor kemiringan lereng.

Faktor KIR yang tidak tersedia untuk mengestimasi KIR. Faktor

lereng pada interrill erosion dihitung dari persamaan Govers & Poesen,

(1988) :

SIR = 6.86Sg0.8

Dimana, Sg adalah kemiringan lereng (m m-1)

Koefisien a yang terdapat Mc Cool et al, (1989) diatur dengan nilai

0.06. Konstanta 6.86 yang berada pada persamaan SIR menjelaskan bahwa

tingkat interrill erosion sama dengan tingkat erosi alur di lereng 0.06 pada

jarak pembagian lereng 65 m. Hal ini sesuai dengan observasi yang telah

dilakukan oleh Govers & Poesen , (1988).

c. Jalur sedimen (sediment route)

WATEM/SEDEM dioperasikan dengan fungsi algoritma yang

mengangkut sedimen hasil erosi dari sumber menuju ke jaringan sungai.

Proses operasi setiap grid dimulai dengan grid-cell yang tinggi pada

bentanglahan (landscape) yang dihubungkan melalui suatu jalur aliran

(path). Mengikuti path, sedimen dapat diangkut lebih jauh ke arah lereng

bagian bawah jika kapasitas sedimen melebihi volume sedimen yang

datang. Pengaruh penggunaan pola spasial dan tipe penggunaan lahan

dalam DAS dapat berpengaruh terhadap erosi tanah, misalnya batas

bidang, jalan dan struktur bentanglahan lainnya berpengaruh terhadap

sedimen dan aliran air permukaan diantara perbedaaan unit lahan (Oost et

al, 2000). Pengaruh ini dapat dihitung menggunakan WATEM/SEDEM

dengan menggabungkan peta batas sektor (parcel map). Sedimen dapat

mencapai saluran sungai dipertimbangkan oleh keluaran DAS

(Haregeweyen et al, 2011).

1.5.2 Telaah Penelitian Sebelumnya

Haregeweyn et al, (2011) melakukan penelitian yang bertujuan untuk

penilaian dan kalibrasi hasil sedimen dengan menggunakan dua versi

transport capacity yakni versi asli yang terbatas pada erosi alur dan lembar,

dan versi modifikasi yang dapat mensimulasikan erosi parit dan menentukan

prioritas tindakan pengelolaan pada area sumber sedimen. Penentuan ini

menggunakan model WATEM/SEDEM dengan kajian lokasi di Utara Etiopia.

Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah 1). Kinerja versi kedua untuk

hasil sedimen ditemukan menjanjikan untuk 12 DAS. Untuk versi pertama,

kinerja model untuk sembilan tangkapan dengan erosi parit terbatas jauh lebih

baik daripada kinerja yang diperoleh tiga DAS dengan terjadinya erosi parit.

2). Tanah yang sudah diolah ditemukan rata-rata lima kali lebih rentan

terhadap erosi daripada lahan semak-semak. Nilai kerugian tanah yang hilang

di sebagian besar daerah tangkapan Gindae umumnya lebih tinggi

dibandingkan dengan tingkat pembentukan tanah. Ini menekankan pentingnya

menerapkan tindakan konservasi tanah dan air yang tepat di daerah sumber

sedimen pada bagian paling curam dari tangkapan (yaitu daerah dengan

kemiringan > 50 persen). Implementasi dari penelitian yang akan dilakukan

adalah penggunaan metode WATEM/SEDEM untuk pendugaan kehilangan

tanah dan hasil sedimen di DAS Bompon. Penerapan yang berbeda dari

penelitian yang dilakukan Haregweyn et al, (2011) adalah penentuan erosi

tanah dan hasil sedimen dilakukan secara rata-rata bulanan. Daerah kajiannya

di DAS Bompon tidak luas hanya sebesar 2 km2 dibandingkan dengan

penelitian yang Haregeweyn et al, (2011) yang di lakukan dalam 50078 km2.

Penelitian Haregeweyn et al, (2011) berbeda dengan kondisi DAS Bompon

ynag memiliki luasan yang lebih kecil. Penelitian Haregeweyn et al, (2011)

dapat terjadi underestimated yang dipengaruhi luasan yang begitu besar.

Cakupan wilayah begitu besar dapat mempengaruhi kompleksitas wilayah.

Ketebalan tanah, erosi tebing sungai, erosi parit yang tidak terbaca oleh model

WATEM/SEDEM akan mempengaruhi besaran erosi tanah dan hasil sedimen.

Verstraeten et al, (2002) melakukan penelitian mengenai efektivitas

beragam pengukuran konservasi tanah dan pengatur sedimen dalam skala

tangkapan air. Penelitian ini berada di 3 daerah tangkapan air yakni

Molenbeek (2317 ha), Cicindria (1718 ha) dan Melsterberk (1117 ha).

Mengkaji beragamnya efektivitas konservasi tanah dan pengatur sedimen dari

model distribusi spasial dalam penentuan erosi tanah dan pengangkutan

sedimen sangat dibutuhkan. Model yang digunakan tersebut adalah model

WATEM/SEDEM. Hasil yang didapat adalah efek pengukuran dari banyak

pengatur sedimen lebih kecil dari hasil pendugaan eksperimen lapangan. Ini

disebabkan oleh pengukuran pengatur sedimen seperti bangunan penahan

sedimen hanya mengontrol off-site effect dari erosi seperti banjir lumpur dan

polusi air permukaan. Integrasi beragam konservasi dan kontrol sedimen

dalam manajamen daerah tangkapan air menunjukkan bahwa efek pengukuran

kombinasi lebih kecil dari jumlah efek individu. Hal yang membedakan dari

penelitian yang dilakukan Verstraeten et al, (2002) adalah adanya skenario

konservasi tanah dan pengatur sedimen dalam penelitian tersebut. Penelitian

Verstraeten et al, (2002) menekankan pada ujicoba teknik konservasi yang

sesuai untuk ketiga daerah tangkapan tersebut. Penelitian Verstraeten et al,

(2002) belum memperlihatkan penilaian harga dan keuntungan (cost-benefit)

dari pilihan manajemen teknik konservasi dan pengatur sedimen untuk ketiga

daerah tangkapan air. Beberapa bagian dari penelitian Verstraeten et al, (2002)

diambil untuk melakukan penelitian di DAS Bompon. Hal yang berbeda

adalah penelitian yang akan dilakukan di DAS Bompon hanya sebatas kondisi

real di lapangan dengan masukan data input yang sesuai dengan perhitungan

model WATEM/SEDEM, tanpa adanya upaya skenario lebih lanjut dalam

penentuan teknik konservasi yang sesuai di DAS Bompon.

Fayos (2008) melakukan penelitian di Tenggara Spanyol untuk

mengetahui pengaruh penggunaan lahan dan cek-dam terhadap hasil sedimen.

Penelitian dilakukan dengan berbagai skenario percobaan di lapangan,

pemetaan dan pemodelan WATEM/SEDEM. Hasil yang dihasilkan dari

penelitian ini adalah sebagai berikut : Skenario tanpa menggunakan cek-dam

dan perubahan penggunaan lahan antara tahun 1956 dan 1997 diperoleh hasil

pengurangan sedimen sebesar 54%. Skenario tanpa ada perubahan

penggunaan lahan dan menggunakan cek-dam sebesar 77% sedimen ditahan

oleh cek-dam. Jika dilihat dari penelitian Fayos, (2008) sangat membantu

dalam penelitian yang akan dilakukan di DAS Bompon. Metode

WATEM/SEDEM menjadi metode pokok yang dipakai dalam penelitian ini.

Hal yang membedakan dari Fayos, (2008) adalah bahwa pada di penelitian ini

tidak memperhitungkan faktor Cek-dam. Selain itu, dalam penelitian tidak

terdapat perubahan penggunaan penggunaan lahan. Penelitian yang dilakukan

dengan menekankan pada perbedaan nilai KTC yang dihasilkan dari

perbedaan penggunaan lahan garapan dan bukan garapan untuk mengetahi

nilai kapasitas transport (TC). Penelitian Fayos, (2008) memberikan gambaran

terhadap penelitian di DAS Bompon yang menilai bahwa pengaruh perubahan

penggunaan lahan dan cek-dam menentukan besaran hasil sedimen. Namun,

pengaruh perubahan penggunaan lahan di DAS Bompon tidak disimulasikan

karena pelaksanaan periode penelitian memiliki waktu yang relatif singkat.

Cek-dam pun tidak ada di wilayah kajian DAS Bompon, sehingga tidak akan

berpengaruh di DAS Bompon. Penggunaan lahan dan cek-dam memiliki

kombinasi untuk mengurangi sedimen yang terbawa sampai hilir. Cek-dam

akan sangat efektif mengurangi hasil sedimen pada waktu yang singkat,

namun memiliki potensi erosi tebing sungai cukup tinggi.

No Penelitian Tujuan Utama Metode Hasil Informasi Yang

Diperoleh

1. Fayos et al, (2008).

The Impact Of Land Use

Change And Check-

Dams On Catchment

Sediment Yield

Melakukan skenario

penggunaan lahan

menggunakan atau tanpa

cekdam sebagai

pengontrol laju sedimen

terhadap hasil sedimen di

Tenggara Negara Spanyol

Pemodelan

Watem/Sedem

-Hasil sedimen dengan

cek-dam tanpa

penggunaan lahan

-Hasil sedimen dengan

skenario penggunaan

lahan tanpa cekdam

Cek dam mampu

mengurangi hasil

sedimen dalam waktu

singkat, namun akan

meningkatkan erosi

tebing sungai yang

cukup tinggi.

2. Haregeweyn et al,

(2011).

Assessing The

Performance Of A

Spatially Distributed

Soil

Erosion And Sediment

Delivery Model

(Watem/Sedementation)

In

Northern Ethiopia

-Memprediksi secara

absolut dan spesifik hasil

sedimen menggunakan

dua perbedaan Transport

Capacity (TC)

-Identifikasi area sumber

sedimen untuk

pengelolaan daerah

tangkapan air

Pemodelan

Watem/Sedem

-Perbedaan hasil

sedimen dua versi

Transpor Capacity

-Prioritas Tindakan

Konservasi

Luasan DAS yang

begitu luas dapat

mengakibatkan

underestimate

simulasi model, DAS

yang luas berpengaruh

terhadap kompleksitas

wilayah kajian berupa

terjadinya erosi parit.

Tabel 1.2 Perbandingan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan penulis

3. Verstraeten et al,

(2002). Evaluating an

Integrated Approach To

Catchment Management

To Reduce Soil Loss

And Sediment Pollution

Through Modelling.

Efektivitas beragam

pengukuran konservasi

dan kontrol sedimen

dalam skala tangkapan air.

Pemodelan

Watem/Sedem.

1). Bendungan penahan

sedimen lebih

berdampak pada off-site

effect erosi.

2). Dampak kehilangan

tanah dan pengangkutan

sedimen akan lebih

efektif menggunakan

kombinasi teknik

konservasi tanah dan

pengatur sedimen.

Penilaian harga dan

keuntungan dari

metode konservasi

dari penelitian

Verstraeten et al,

(2002) belum

diperhitungkan,

sehingga apakah

metode konservasi

dapat sesuai dan cocok

untuk petani.

4. Nur Rochim (2016).

Perhitungan erosi tanah

dan hasil sedimen

menggunakan model

WATEM/SEDEM di

DAS Bompon,

Magelang.

Menghitung besaran dan

distribusi laju kehilangan

tanah dan hasil sedimen

melalui kapasitas

transportasi sedimen.

Pemodelan

Watem/Sedem

1). Besaran dan

distribusi kehilangan

tanah oleh air setelah

dilakukan kalibrasi data.

2) Menghitung hasil

sedimen setelah

dikalibrasi data.

Penggunaan model

WATEM/SEDEM

Perbedaan :

Penelitian

menekankan terhadap

perolehan erosi tanah

dan hasil sedimen

dalam periode bulanan

1.6 Kerangka Pemikiran

Konsep penggunaan model WATEM/SEDEM digunakan untuk

pendugaan kehilangan tanah dan pengangkutan sedimen secara spasial.

Pemodelan distribusi erosi tanah dan pengangkutan sedimen

WATEM/SEDEM menggunakan grid-cell dengan ukuran tidak melebihi 100

m x 100 m. Model WATEM/SEDEM mempunyai masukan data yang

didasarkan pada persamaan RUSLE. Erosivitas hujan, DEM, faktor

pengelolaan tanaman, parcel map, river routing dan erodibilitas tanah

termasuk data yang dibutuhkan model WATEM/SEDEM. Masukan data

model WATEM/SEDEM sangat dipengaruhi oleh satuan pemetaan yang

digunakan untuk penelitian ini berupa vegetasi (faktor C) berbeda di setiap

bentuklahan.

Model WATEM/SEDEM perlu proses kalibrasi untuk mendapatkan

hasil yang optimal. Proses kalibrasi dilakukan dengan pengaturan koefisien

kapasitas tranportasi (KTC). KTC diatur untuk memperoleh kesamaan hasil

nilai model dengan nilai hasil pengukuran sedimen.

Secara umum model WATEM/SEDEM menggunakan analisis fungsi

algortima dalam penentuan jalur pengangkutan sedimen. Jika kapasitas

transportasi lebih rendah dibandingkan dengan sedimen yang datang, maka

deposisi sedimen akan terjadi. Sementara itu, sedimen yang mencapai sungai

dipertimbangkan sebagai sedimen yang meninggalkan daerah tangkapan dan

diukur sebagai hasil sedimen. Gambaran secara jelas kerangka penelitian

dapat dilihat di Gambar 1.3.

Gambar 1.3 Kerangka Pemikiran

Model WATEM/SEDEM

Data curah

hujan

Erosivitas

hujan

Validasi model erosi

Bentuklahan

Validasi

hasil

interpretasi

Faktor C

Vegetasi dan

Penggunaan

Lahan

Interpretasi

Foto Udara

Peta Distribusi Erosi dan

Sedimentasi Bulanan

Parcel map Satuan Pemetaan

Tanah

DEM

Kalibrasi model

menggunakan koefisien

kapasitas tranportasi (KTC)

Faktor

erodibilitas

tanah

River

Routing

River Map