bab i pendahuluan 1.1 latar belakangrepository.upnvj.ac.id/3286/3/bab i.pdf · dasarnya telah...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup di Indonesia masih
merupakan masalah yang besar, terutama masalah pencemaran lingkungan
hidup yang dilakukan oleh korporasi. Pencemaran lingkungan tersebut
terjadi dikarenakan kurangnya perhatian korporasi terhadap masalah
pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup. Kondisi
ini semakin parah apabila Pemerintah tidak melakukan tindakan yang
tegas terhadap perusahaan-perusahaan tersebut. Jika kondisi ini terus
berlanjut, maka dikhawatirkan lingkungan hidup akan semakin menurun
daya dukungnya dikarenakan pertumbuhan industri lebih diutamakan
daripada pelestarian lingkungan.
Hessel mengatakan bahwa “pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup meningkat seiring dengan meningkatnya kegiatan
pembangunan”. Hal ini sesuai dengan pemikiran Emil Salim yang
mengatakan bahwa “penyumbang utama kerusakan lingkungan adalah
industri, aktivitas industri telah menghasilkan kotoran limbah ampas
industri yang sangat serius mencemarkan lingkungan”. 1
Seringkali demi penghematan investasi dan pengurangan biaya
produksi, korporasi tidak mempunyai fasilitas pengolah limbah industri,
sehingga limbah atau sisa-sisa dari usaha industri dibuang secara bebas ke
dalam sungai.2 Meningkatnya kegiatan industri beserta dengan
perkembangan teknologi di era globalisasi ini juga menyebabkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan terus meningkat. Hal ini tentu
1 Hessel Nogi S. Tangkilisan, Kebijakan Dan Manajemen Lingkungan Hidup, Yayasan
Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, Yogyakarta, 2004, h. 1
2 M.T. Zen, Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta,1981,
h. 107
UPN "VETERAN" JAKARTA
2
menuntut perlindungan lingkungan hidup untuk mendapat perhatian
hukum.3
Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dunia yang mengarah ke
globalisasi memberikan peluang terhadap tumbuhnya korporasi dan
perusahaan-perusahaan transnasional. Saat ini, perseroan terbatas
merupakan bentuk badan usaha/korporasi yang paling banyak diminati
saat ini oleh para pelaku usaha. Hal ini dikarenakan badan usaha berbentuk
perseroan terbatas memiliki suatu ciri yang khusus dalam hal
pertanggungjawabannya, yaitu pertanggungjawaban yang terbatas dari
pemegang saham perseroan, yang mengakibatkan pemegang saham tidak
perlu bertanggung jawab secara pribadi terhadap hutang-hutang dari
perseroan. Secara prinsipil, setiap perbuatan yang dilakukan oleh suatu
badan hukum hanya badan hukum itu sendiri yang bertanggung jawab.
Para pemegang saham tidak bertanggung jawab, kecuali sebatas nilai
saham yang dimasukkannya.4
Adakalanya tindakan pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh
perusahaan anak tersebut merupakan tindakan yang diharuskan untuk
dilakukan oleh perusahaan induk demi memperoleh keuntungan tertentu.
Memang sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT) ataupun peraturan
perundang-undangan lain bahwa aspek hukum dalam perusahaan grup
masih mempertahankan pengakuan yuridis terhadap status badan hukum
induk dan perusahaan anak sebagai subjek hukum mandiri.5
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UUPPLH) pada
dasarnya telah memuat tentang hak dan kewajiban setiap warga negara
dalam hal pengelolaan lingkungan hidup. UUPPLH telah memuat asas dan
3 Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Penerbit PT Sofmedia,
Jakarta, 2009, h. 28
4 Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Penerbit PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 125
5 Ibid, h. 5
UPN "VETERAN" JAKARTA
3
prinsip-prinsip pokok pencegahan dan penanggulangan pencemaran
lingkungan. UUPPLH di dalamnya juga terdapat beberapa pasal yang
mengatur hal-hal mengenai tanggung jawab mutlak pencemar lingkungan,
hak masyarakat dan organisasi lingkungan hidup untuk mengajukan
gugatan dan dapat dipidananya suatu korporasi, badan hukum, perseroan
perserikatan, yayasan atau organisasi lain bila terbukti melakukan
pencemaran lingkungan.
Pembebanan pertanggungjawaban pidana pada korporasi atas
tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dapat diterapkan apabila
dipenuhi semua unsur-unsur atau syarat-syarat berikut:6
1. Tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk commision maupun
ommision) dilakukan atau diperintahkan oleh personil korporasi yang
di dalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai
directing mind dari korporasi, yaitu personil yang memiliki posisi
sebagai penentu kebijakan korporasi atau memiliki kewenangan sah
untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang mengikat
korporasi tanpa harus mendapat persetujuan dari atasannya.
Pertanggungjawaban korporasi hanya dapat diberlakukan dalam hal
tindak pidana:
a. Dilakukan oleh pengurus, yaitu mereka yang menurut anggaran
dasar secara formal menjalankan pengurusan korporasi, dan/atau
b. Dilakukan oleh mereka yang sekalipun menurut anggaran dasar
korporasi bukan pengurus, tetapi secara resmi memiliki
kewenangan untuk melakukan perbuatan yang mengikat
korporasi secara hukum berdasarkan:
1) Pengangkatan oleh pengurus untuk memangku suatu
jabatan dengan pemberian kewenangan untuk mengambil
keputusan sendiri dalam batas ruang lingkup tugas dan
kewajiban yang melekat pada jabatannya itu untuk
6 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Penerbit PT Grafiti
Pers, Jakarta 2007, h 117 – 124.
UPN "VETERAN" JAKARTA
4
melakukan perbuatan yang secara hukum mengikat
korporasi, atau
2) Pemberian kuasa oleh pengurus atau oleh mereka
sebagaimana disebut di atas untuk dapat melakukan
perbuatan yang secara hukum mengikat korporasi.
2. Tindak pidana yang dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan
korporasi. Kegiatan tersebut berupa kegiatan intra vires yaitu kegiatan
yang sesuai dengan maksud dan tujuan yang ditentukan dalam
anggaran dasarnya.
3. Tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi
perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi. Artinya, apabila
tindak pidana itu tidak berkaitan dengan tugas pelaku atau tugas
pemberi perintah di dalam korporasi tersebut, sehingga karena itu
personil tidak berwenang melakukan perbuatan yang mengikat
korporasi, maka korporasi tidak dapat diharuskan untuk memikul
pertanggungjawaban pidana.
4. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan
manfaat bagi korporasi. Manfaat dapat berupa keuntungan finansial
atau non finansial atau dapat menghindarkan/mengurangi kerugian
finansial maupun non finansial bagi korporasi.
5. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau
alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.
Perumusan ketentuan pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur
dalam UUPPLH, mencantumkan unsur sengaja atau kealpaan/kelalaian.
Dicantumkannya unsur sengaja atau kealpaan, maka dapat dikatakan
bahwa pertanggungjawaban pidana dalam UUPPLH menganut prinsip
pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault).
Artinya, UUPPLH menganut asas kesalahan atau culpabilitas.7
Seperti kasus yang terjadi di Ciamis terdakwa I Chrisdianto Rahardjo
selaku Direktur Utama PT. Albasi Priangan Lestari dan terdakwa II PT.
7 Muhammad Topan, Kejahatan Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup, Penerbit Nusa
Media, Bandung, 2009, h. 116
UPN "VETERAN" JAKARTA
5
Albasi Priangan Lestari dalam hal ini diwakili oleh Iwan Irawan Yohan
bersalah melakukan tindak pidana melanggar baku mutu air limbah, baku
mutu emisi atau baku mutu gangguan, sebagaimana diatur dan diancam
pidana khusus, terdakwa I : pasal 100 ayat (1) dan ayat (2) jo pasal 116
ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khusus
terdakwa II : pasal 100 ayat (1) dan ayat (2) jo pasal 116 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk
mengangkat kasus perkara pidana dengan berjudul
“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI PENCEMARAN
LINGKUNGAN OLEH PT. ALBASI PRIANGAN LESTARI” (Studi
Kasus Putusan No. 155/PID.SUS/2013/PN.CMS)”
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana pertanggungjawaban tindak pidana koporasi
mengenai pencemaran lingkungan hidup ?
b. Bagaimana Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan
putusan No.155/Pid.Sus/2013/PN.Cms ?
1.3 Ruang Lingkup Penulisan
Sesuai permasalah di atas, maka ruang lingkup penelitian dibatasi
pada pertanggungjawaban pidana korporasi mengenai tindak
pidana pencemaran lingkungan hidup dan Pertimbangan hukum
hakim dalam menjatuhkan putusa No.155/Pid.Sus/2013/PN. CMS.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk memuhi sebagian persyaratan bagi
penulisan Penulis di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan
Veteran Jakarta.
a. Tujuan Penelitian
UPN "VETERAN" JAKARTA
6
1) Untuk mengetahui sistem pertanggungjawaban pidana korporasi
mengenai tindak pidana pencemaran lingkungan lingkungan.
2) Untuk mengetahui Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan
putusa No.155/Pid.Sus/2013/PN. CMS.
b. Manfaat Penelitian
1) Manfaat Teoritis
Penulisan dapat menjadi bahan masukan untuk memberikan
informasi dalam bidang pengetahuan hukum umumnya dan hukum
pidana khususnya, serta untuk mempraktikkan dan memberikan
pemikiran dari teori-teori yang telah di peroleh, serta menambah
referensi kepustakaan sebagai sumbangan penulis selama Kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Jakarta.
2) Manfaat Praktis
Sebagai masukan kepala pemerintah maupun kepada aparat
penegak hukum mengenai pertanggungjawaban yang dapat diterapkan
dalam pertanggungjawaban pidana korporasi mengenai tindak pidana
pencemaran lngkungan hidup.
1.5 Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual
Kerangka teori
1. Teori Pertanggung jawaban Pidana
Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak
termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh
mengatakan, orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang
mempunyaikesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana.
Asas yang tidak tertulis mengatakan “tidak ada pidana jika tidak ada
kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.8
“Dasar Adanya Tindak Pidana Adalah Asas Legalitas, Sedangkan
Dasar Dapat Dipidananya Pembuat Tindak Pidana Adalah Asas Kesalahan.”
8 Roelan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana, Penerbit, Aksara
Baru,Jakarta, h.75
UPN "VETERAN" JAKARTA
7
Menurut Roeslan Saleh yang mengikuti pendapat Moelijatno bahwa
pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan, sedangkan unsur-unsur
kesalahan adalah :
1) Mampu bertanggung jawab
2) Mempunyai kesengajaan atau kealpaan
3) Tidak adanya alasan pemaaf
Asas Kesalahan dan Asas-Asas Penghapusan Pidana
Pendapat para ahli pada umumnya mengakui berlakunya asas tidak
tertulis dalam hukum pidana, yaitu asas “geen straf zonder schuld”, atau
tiada pidana tanpa kesalahan. Di samping itu juga dikenal beberapa asas
yang berlaku dalam ilmu pengetahuan pidana, tetapi dalam beberapa hal
telah ada yang dirumuskan terbatas dalam undang-undang:
a. Alasan pembenar (rechtsvaardigingsgronden), yaitu menghapuskan
sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga menjadi perbuatan yang
benar;
b. Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden), yaitu menghapuskan sifat
kesalahan dari terdakwa meskipun perbuatannya bersifat melawan
hukum tetapi tidak pidana;
c. Alasan penghapusan penuntutan (onvervolgbaarheid), yaitu
pernyataan tidak menuntut karena tidak dapat diterima oleh badan
penuntut umum yang disebabkan konflik kepentingan dengan lebih
mengutamakan kemanfaatannya untuk tidak menuntut.
Dalam asas kesalahan dan asas-asas penghapusan pidana yang
sebagian besar masih berkembang di dalam doktrin ilmu pengetahuan itu,
apabila banyak para sarjana yang menganjurkan untuk dirumuskan secara
tertulis di dalam undang-undang hukum pidana, akan mengalami kesulitan
untuk membuat batasan berhubung dengan sifatnya asas-asas itu terus
menyesuaikan (fleksibel) terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
Kedua asas hukum pidana tentang kesalahan dan penghapusan pidana itu
mempunyai arti penting untuk menentukan dipidana atau tidak
UPN "VETERAN" JAKARTA
8
dipidananya seseorang meskipun telah terbukti perbuatannya akan tetapi
tidak terpenuhi unsur dari asas-asas tersebut di atas.9
2. Teori pemidanaan
Menurut Hebert L.Packer terdapat dua macam teori pemidanaan
yaitu:
1. Pandangan Retributif (Retributive View)
Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai
ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh
warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan
hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas
dasar tanggung jawab moralnya masing-masing. Pandangan ini
dikatakan bersifat melihat ke belakang (backward-looking).
2. Pandangan utilitarian (utilitarian view).
Dasar pemidanaan menurut teori inkapasitasi adalah para pelaku
kejahatan dibuat untuk tidak mampu melakukan kejahatan dibuat
untuk tidak mampu melakukan kejahatan lagi baik untuk sementara
waktu atau selamanya. Sedangkan menurut teori rehabilitasi tujuan
pemidanaan adalah untuk merubah kepribadian atau mental si
pelanggar hukum, sehingga kepribadiannya sesuai dengan hukum.
Teori terakhir yang merupakan gabungan dari teori-teori di atas adalah
Teori Pembinaan. Teori pembinaan ini lebih mengutamakan perhatiannya
kepada si pelaku tindak pidana, bukan pada tindak pidana yang telah
dilakukan. Pidana ini di dasarkan pada berat dan ringannya tindak pidana
yang dilakukan, melainkan harus di dasarkan pada keperluan yang
dibutuhkan untuk dapat memperbaiki si pelaku tindak pidana.
Menurut teori ini, tujuan pidana untuk merubah tingkah laku dan
kepribadian si pelaku tindak pidana agar ia meninggalkan kebiasaan jelek
yang bertentangan dengan norma yang berlaku. Dengan kata lain, adalah
9 “Asas-Asas hakim pidana”<http://makalah-hukum-pidana.blogspot.co.id/2010/12/asas-
asas-hukum-pidana.html>.diakses tanggal 31 Oktober 2016, pukul 20.00 wib.
UPN "VETERAN" JAKARTA
9
untuk memperbaiki pelaku tindak pidan. Teori inilah yang dianut oleh
Rancangan KUHP. 10
Kerangka Konseptual
Untuk tidak menimbulkan salah penafsiran terhadap judul
penelitian ini, serta sebagai pijakan penulis dalam penulisan penelitian ini,
maka penulis memberikan definisi-definisi atau batasan-batasan terhadap
istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, yakni sebagai berikut :
1) Pencemaran adalah suatu keadaan, dalam mana suatu zat dan energi di
introduksikan ke dalam suatu lingkungan oleh kegiatan manusia atau
oleh proses alam sendiri dalam konsentransi sedemikian rupa, higga
menyebabkan terjadinya perubahan dalam keadaan termasuk yang
melibatkan lingkungan itu berfungsi seperti semula dalam arti
kesehatan, kesehateraan dan keselamatan hayati.
2) Tindak pidana ialah perbuatan melakukan atau tidak melakukan
sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.”11
3) Menurut Utrecht dan M. Saleh Djindang, korporasi adalah suatu
gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-
sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri sebagai suatu
personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, namun
mempunyai hak dan kewajiban tersendiri yang terpisah dari hak dan
kewajiban anggota masing-masing.12
4) Lingkungan hidup adalah lingkungan hidup fisik atau jasmani yang
mencakup dan meliputi semua unsur dan faktor fisik jasmani yang
terdapat dalam alam. Dalam pengertian ini, maka manusia, hewan dan
10
Erdianto Effendi, 2011. Hukum Pidana Indonesia, Suatu Pengantar. PT Refika
Aditama: Bandung.
11 M. Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, penerbit CV mandar
Maju, Medan 2000, h. 35.
12 Mahmud Mulyadi, Hakekat Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi Dalam
Pelestarian Lingkungan Hidup, Penerbit Pustaka bangsa Press Medan 2004, h. 203.
UPN "VETERAN" JAKARTA
10
tumbuh-tumbuhan tersebut dilihat dan dianggap sebagai perwujudan
fisik jasmani belaka.13
I.6. Metode Penelitian
Cara memperoleh data yang digunakan sebagai bahan pembahasan
dan analisis dalam pembuatan skripsi ini sehingga dapat diperoleh dan
dapat dipertanggungjawabkan, penulis menggunakan, metode-metode
sebagai berikut :
a. Metode penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode yang
bersifat yuridis normatif pendekatan masalah yang mempunyai
maksud dan tujuan mengkaji perundang-undangan dan peraturan
yang berlaku juga buku-buku yang berkonsep teoritis.
Kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang menjadi
pokok pembahasan yang di bahas di dalam skrispi ini.
b. Metode Pendekatan Yuridis Normatif
Yaitu pendekatan yang mengacu kepada norma-norma hukum
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada
dalam masyarakat.
c. Sumber bahan hukum
Sumber bahan hukum dalam penulisan skripsi ini dibedakan
menjadi 3 (tiga ), yaitu bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier.
1) Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat
mengikat, berupa peraturan perundang-udangan yang
berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
- Undang-Undang No. 23 Tahun 1997, Tentang
Pencemaran lingkungan hidup
13
Laden Marpaung, Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Masalah Prevensinya, Peneliti
Sinar Grafik, Jakarta 1997, h. 4.
UPN "VETERAN" JAKARTA
11
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, Tentang
Perseroan Terbatas
- Putusan Pengadilan Negeri Ciamis No.
155/PID.SUS/2013/PN.CMS
2) Bahan hukum tersier merupakan petunjuk atau penjelasan
mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum
sekunder yang berasal dari buku , ensikplopedia, dan
sebagainya.
d. MetodeAnalisis Data
Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode
penelitian bersifat deskriptif analitis, analisis data yang
dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data
sekunder.
1.7 Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan di dalam penulisan skripsi ini, penulis akan
membagi pembahasan skripsi ini ke dalam 5 (lima) bab, dan
masing-masing bab akan terdiri dari sub bab-sub bab, yaitu sebagai
berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang latar
belakang, perumusan masalah, ruang lingkup penulisan,
tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, dan
kerangka konseptual, metode penelitian, serta sistematika
penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNG
JAWABAN PIDANA KORPORASI
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang tentang
pengertian korporasi, perkembangan korporasi sebagai
subjek hukum pidana, perkembangan teori-teori
pertanggungjawaban pidana korporasi, sistem
UPN "VETERAN" JAKARTA
12
pertanggungjawaban pidana korporasi mengenai tindak
pidana pencemaran lingkungan hidup, sanksi tindak
pidana lingkungan hidup.
BAB III ANALISIS PUTUSAN No. 155/PID.SUS/2013/PN.CMS
Dalam bab ini akan diuraikan Kasus Posisi, Surat Dakwaan,
Keterangan Saksi, Tuntutan Jaksa Penuntut Umum, Amar
Putusan, Dan Analisa atas Putusan Pengadilan Negeri
Ciamis.
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
PENCEMARAN LINGKUNGAN DAN
PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM
MENJATUHKAN PUTUSAN
Dalam bab ini akan dibahas berisikan tentang
pertanggungjawaban pencemaran lingkungan dan
Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan.
BAB V PENUTUP.
Dalam bab v ini berisikan kesimpulan dan saran.
UPN "VETERAN" JAKARTA