bab i pendahuluan 1.1 latar belakang...yang dilakukan bank dunia, indonesia memperoleh skor -0,43...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu kelembagaan yang baik akan dapat meningkatkan investasi dan
mempercepat kemajuan teknologi suatu bangsa. Acemoglu dan Robinson (2012)
secara eksplisit menyebutkan kelembagaan menjadi sumber terpenting yang
menentukan suatu negara/bangsa gagal atau maju perekonomiannya. Oleh karena
itu, kelembagaan secara dinamis mengalami perubahan menuju pada peningkatan
perbedaan prinsip-prinsip dan pola-pola umum didalam kelembagaan yang saling
berhubungan, sementara pada waktu yang bersamaan terdapat peningkatan
kebutuhan untuk melakukan integrasi didalam sistem sosial yang kompleks
(Manig, 1991). North dalam kaitan ini, mengemukakan dua faktor utama sebagai
cara memahami dinamika perubahan kelembagaan (Hira dan Hira, 2000).
Pertama, perubahan kelembagaan sebagai hubungan simbiotik antara
kelembagaan dan organisasi yang mengelilingi di sekitar struktur insentif yang
disediakan oleh kelembagaan. Kedua, perubahan kelembagaan sebagai proses
umpan balik (feedback process) dimana individu merasa dan bereaksi terhadap
perubahan berbagai kesempatan.
Negara yang kelembagaannya mapan atau inklusif (inclusive economic
institutions) akan cenderung kinerja ekonominya bagus. Negara ini ditandai oleh
adanya kelembagaan hak kepemilikan privat yang aman, sistem hukum yang
menjamin kepastian, dan adanya penyediaan layanan publik yang luas.
Sebaliknya, negara yang kelembagaannya buruk/ekstraktif (extractive economic
171
2
institutions) akan mempunyai kinerja ekonomi yang jelek, misalnya pertumbuhan
ekonomi yang tidak berlanjut, produktivitas yang rendah dan kesejahteraan
ekonomi yang terbatas.
Pada pihak lain, kelembagaan yang baik dapat pula merupakan hasil dari
pembangunan ekonomi. Dengan demikian, pembangunan ekonomi harus
dipandang sebagai suatu proses yang saling berkaitan dan berpengaruh antara
faktor-faktor yang menghasilkan pembangunan ekonomi yang dapat dilihat dan
dianalisis, baik secara nasional maupun secara regional. Pengembangan dan
penguatan perekonomian atas dasar demokrasi ekonomi yang berpihak kepada
masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan amanat Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis UUD
1945). Hal itu diatur pada dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menetapkan
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional”. Menurut Murjana Yasa (2008) adapun pembangunan
ekonomi Indonesia yang sesuai dengan amanat UUD 1945 tersebut yakni
pembangunan ekonomi yang diarahkan pada pembangunan ekonomi demokratis,
sehingga pencapaian kesejahteraan masyarakat Indonesia dilakukan dengan cara
mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat dalam proses pembangunan. Hal ini
sejalan dengan pendapat Arsyad (2010) yang menyatakan pembangunan ekonomi
merupakan suatu proses yang mengakibatkan kenaikan pendapatan riil per kapita
3
penduduk suatu daerah dalam jangka panjang yang diikuti oleh perbaikan sistem
kelembagaan.
Dalam menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan dan peluang,
Pemerintah dituntut melakukan inovasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan
publik sehingga kesan birokrasi pemerintah yang lamban, berbelit-belit, dan
kurang ramah dapat dihapuskan. The Independent Commission for Good
Governance in Public Services (2005) dalam terbitannya yang berjudul The Good
Governance Standard for Public Services mengemukakan peran Pemerintah yang
diharapkan dalam pemberian pelayanan publik di Inggris, yakni “...... is to ensure
that an organisation or partnership fulfils its overall purpose, achieves its
intended outcomes for citizens and service users, and operates in an effective,
efficient and ethical manner”. Dalam hal ini, pemerintah diharapkan dapat
memastikan bahwa pemerintahan khususnya pada sektor pelayanan publik yang
diselenggarakan dapat memenuhi tujuan yang telah ditetapkan, mencapai hasil
yang diharapkan oleh masyarakat sebagai pengguna layanan secara efektif,
efisien, dan etis. Dengan demikian, tuntutan terhadap kinerja pemerintah yang
berkualitas memerlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mewujudkannya
karena kinerja birokrasi pemerintah saat ini diduga belum menunjukkan kinerja
yang optimal. Hal ini ditandai dengan pandangan tentang rendahnya kualitas
pelayanan yang diberikan oleh birokrat kepada masyarakat dan ini pula yang
sering dituding sebagai salah satu faktor penyebab terpuruknya pertumbuhan
ekonomi negara ini.
4
Krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada tahun 1997, di tahun 1998
telah berkembang menjadi krisis multidimensi. Kondisi tersebut mengakibatkan
adanya tuntutan kuat dari segenap lapisan masyarakat terhadap pemerintah untuk
segera diadakan reformasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak itu,
telah terjadi berbagai perubahan penting yang menjadi tonggak dimulainya era
reformasi di bidang politik, hukum, ekonomi, dan birokrasi. Perubahan tersebut
dilandasi oleh keinginan sebagian besar masyarakat untuk mewujudkan
pemerintahan demokratis dan mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat
yang didasarkan pada tujuan bernegara dan nilai-nilai dasar sebagaimana tertuang
dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Reformasi yang dilakukan sejak terjadinya krisis multidimensi tahun 1998
atau lebih dari sepuluh tahun terakhir telah berhasil meletakkan landasan politik
yang lebih baik bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Berbagai perubahan
dalam sistem penyelenggaraan negara, revitalisasi lembaga-lembaga negara, dan
membangun tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dalam
bidang ekonomi, reformasi juga telah mampu membawa kondisi ekonomi yang
semakin baik, sehingga mengantarkan Indonesia kembali ke dalam jajaran middle
income countries (MICs). Indonesia dipandang sebagai negara yang berhasil
melalui masa krisis dengan baik. Namun demikian, kondisi itu belum mampu
mengangkat Indonesia ke posisi yang sejajar dengan negara-negara lain, baik
negara-negara di wilayah Asia Tenggara maupun di Asia dalam mewujudkan
pemerintahan yang bersih, akuntabel, responsif, dan transparan.
5
Perkembangan reformasi di Indonesia menunjukkan reformasi di bidang
birokrasi mengalami ketertinggalan dibandingkan reformasi di bidang politik,
ekonomi, dan hukum. Oleh karena itu, pemerintah pada tahun 2004 menegaskan
akan pentingnya penerapan prinsip-prinsip clean government dan good
governance yang secara universal diyakini diperlukan untuk memberikan
pelayanan prima kepada masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, program
utama yang dilakukan pemerintah adalah membangun aparatur negara melalui
penerapan reformasi birokrasi. Tujuan yang ingin dicapai dari reformasi birokrasi,
diantarnya untuk mengurangi dan/atau menghilangkan setiap penyalahgunaan
kewenangan oleh pejabat di instansi yang bersangkutan, menjadikan negara yang
memiliki most-improved bureaucracy, meningkatkan mutu pelayanan kepada
masyarakat, meningkatkan mutu dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan
instansi, meningkatkan efisiensi (biaya dan waktu) dalam pelaksanaan semua segi
tugas organisasi, menjadikan birokrasi Indonesia yang proaktif, dan efektif dalam
menghadapi globalisasi dan dinamika perubahan lingkungan strategis.
Pemerintah Indonesia dalam rangka melakukan reformasi birokrasi juga
telah mengembangkan grand design reformasi birokrasi yang dijadikan rancangan
induk arah kebijakan pelaksanaan reformasi birokrasi nasional untuk kurun waktu
2010-2025 (Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010). Road map reformasi
birokrasi sebagai bentuk operasionalisasi grand design reformasi birokrasi
disusun setiap 5 (lima) tahun sekali dan merupakan rencana rinci reformasi
birokrasi dari satu tahapan ke tahapan selanjutnya selama lima tahun dengan
sasaran per tahun yang jelas. Adapun model dokumen usulan reformasi birokrasi
6
di lingkungan kementerian/lembaga/pemerintah daerah dapat disimak pada
Gambar 1.1
Gambar 1.1
Perbandingan Reformasi Birokrasi Gelombang I dan Gelombang II
Sumber: Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010
Pada tahun 2014 diharapkan reformasi birokrasi sudah berhasil mencapai
penguatan dalam beberapa hal yaitu penyelenggaraan pemerintahan yang bebas
KKN, bersih, dengan kualitas pelayanan publik, kapasitas dan akuntabilitas
kinerja birokrasi, profesionalisme SDM aparatur yang didukung oleh sistem
rekrutmen dan promosi aparatur berbasis kompetensi, transparan, dan mampu
mendorong mobilitas aparatur antardaerah, antarpusat, dan antara pusat dengan
daerah, serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan yang memadai.
Pada tahun 2019 diharapkan dapat terwujud kualitas penyelenggaraan
pemerintahan yang baik, bersih, dan bebas KKN. Selain itu, diharapkan pula dapat
diwujudkan pelayanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat, harapan
bangsa Indonesia yang semakin maju dan mampu bersaing dalam dinamika global
yang semakin ketat, kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi semakin baik,
7
SDM aparatur semakin profesional, serta mind-set dan culture-set yang
mencerminkan integritas dan kinerja semakin tinggi. Pada tahun 2025, diharapkan
telah terwujud tata pemerintahan yang baik dengan birokrasi pemerintahan baik di
pusat maupun di daerah yang profesional, berintegritas tinggi, dan menjadi
pelayan masyarakat dan abdi negara.
Melalui reformasi birokrasi diharapkan dapat ditata ulang proses birokrasi
dari tingkat (level) tertinggi hingga terendah dan melakukan terobosan baru
(innovation breakthrough) dengan langkah-langkah bertahap, konkret, realistis,
sungguh-sungguh, berpikir di luar kebiasaan/rutinitas yang ada (out of the box
thinking), perubahan paradigma (a new paradigm shift), dan dengan upaya luar
biasa (business not as usual). Reformasi birokrasi diharapkan juga dapat
menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif,
berintegritas, berkinerja tinggi, bersih serta bebas KKN, mampu melayani publik,
netral, sejahtera, berdedikasi, memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik
aparatur negara. Dalam hal ini, reformasi birokrasi secara nasional perlu merevisi
dan membangun berbagai regulasi, memodernkan berbagai kebijakan dan praktek
manajemen pemerintah pusat dan daerah, serta menyesuaikan tugas fungsi
instansi pemerintah dengan paradigma maupun peran barunya sebagai pelayan
masyarakat dan abdi negara.
Untuk mewujudkan birokrasi yang bebas korupsi, masih banyak tantangan
yang perlu diselesaikan. Akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, kualitasnya
masih perlu banyak pembenahan termasuk dalam penyajian laporan keuangan
yang sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Opini Badan Pemeriksa
8
Keuangan (BPK) atas laporan keuangan kementerian/lembaga dan pemerintah
daerah masih banyak yang perlu ditingkatkan menuju ke opini Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP). Dalam hal pelayanan publik, pemerintah belum dapat
menyediakan pelayanan publik yang berkualitas sesuai dengan tantangan yang
dihadapi, yaitu perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin maju dan
persaingan global yang semakin ketat. Hasil survei integritas sektor publik yang
dilakukan oleh KPK pada tahun 2009 menunjukkan bahwa kualitas pelayanan
publik Indonesia baru mencapai skor 6,64 dari skala 10 untuk instansi pusat,
sedangkan pada tahun 2008 skor untuk unit pelayanan publik di daerah sebesar
6,69. Sementara indeks integritas unit layanan di kementerian/lembaga pada
tahun 2014 mencapai 7,22, di atas standar minimal yang ditetapkan oleh KPK
yakni 6,00 (KPK,2014). Indeks ini terdiri dari indeks pengalaman integritas dan
indeks potensi integritas.
KPK menyatakan meskipun indeks integritas sudah melampaui nilai yang
ditetapkan, unit layanan tetap perlu memperbaiki dan memberikan layanan
optimal bagi pengguna layanan. Caranya, dapat melalui edukasi anti korupsi dan
pengelolaan pengaduan masyarakat, mengomunikasikan untuk memanfaatkan
sarana media yang ada, meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi dalam
rangka menciptakan pelayanan yang transparan, serta upaya yang lebih serius
dalam menghilangkan praktik gratifikasi dalam layanan (KPK, 2014). Disamping
itu skor integritas berkaitan dengan karakteristik kualitas yang dilaksanakan dalam
pelayanan publik, seperti ada tidaknya suap, ada tidaknya SOP, kesesuaian proses
pelayanan dengan SOP yang ada, keterbukaan informasi, keadilan dan kecepatan
9
dalam pemberian pelayanan, dan kemudahan masyarakat melakukan pengaduan.
Pada pihak lain, dalam hal kemudahan berusaha (doing business) menunjukkan
bahwa Indonesia belum dapat memberikan pelayanan yang baik bagi para investor
yang berbisnis atau akan berbisnis di Indonesia. Hal ini antara lain tercermin dari
data International Finance Corporation pada tahun 2009, yang menunjukkan
Indonesia menempati peringkat doing business ke-122 dari 181 negara atau
berada pada peringkat ke-6 dari 9 negara ASEAN. Padahal, Indonesia merupakan
salah satu pasar utama bagi investor global.
Kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi juga kondisinya masih
banyak dikeluhkan masyarakat. Berdasarkan penilaian government effectiveness
yang dilakukan Bank Dunia, Indonesia memperoleh skor -0,43 pada tahun 2004,
-0,37 pada tahun 2006, dan -0,29 pada tahun 2008, dari skala -2.5 menunjukkan
skor terburuk dan 2,5 menunjukkan skor terbaik (The World Bank, 2011).
Meskipun pada tahun 2008 mengalami peningkatan menjadi -0,29, skor tersebut
masih menunjukkan kapasitas kelembagaan maupun efektivitas pemerintahan di
Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh
negara-negara tetangga. Berdasarkan penilaian terhadap Laporan Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah pada tahun 2009 jumlah instansi pemerintah yang
dinilai akuntabel baru mencapai 24 persen. Kondisi ini mencerminkan masih
adanya permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, seperti kualitas
birokrasi, pelayanan publik, dan kompetensi aparat pemerintah. Reformasi
birokrasi menjadi penting untuk terus dikembangkan pemerintah sebagai upaya
berkelanjutan yang setiap tahapannya memberikan perubahan atau perbaikan
10
birokrasi ke arah yang lebih baik. Upaya tersebut membutuhkan suatu grand
design dan road map reformasi birokrasi yang mengikuti dinamika perubahan
penyelenggaraan pemerintahan sehingga menjadi suatu living document. Citra
organisasi publik di negara berkembang, termasuk Indonesia dalam melayani
kepentingan masyarakat pada umumnya masih lemah jika dibandingkan dengan
organisasi swasta (private sector). Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau
organisasi private seringkali dijadikan sebagai alternatif pilihan kebijakan untuk
menyelesaikan berbagai persoalan dalam penyelenggaraan pelayanan publik agar
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, iklim investasi, dan usaha yang telah
menjadi perhatian utama dalam beberapa tahun terakhir.
Asumsi di atas sejalan dengan salah satu kesimpulan Bank Dunia yang
dilaporkan dalam World Development Report tahun 2004 dan hasil penelitian
Governance and Desentralization Survey tahun 2002 menyatakan pelayanan
publik di Indonesia masih sangat rendah. Hasil survei World Bank terkait
penyelenggaraan pelayanan publik di 183 negara pada tahun 2011 menempatkan
Indonesia pada urutan ke 129. Indonesia masih berada dibawah Negara India,
Vietnam bahkan Malaysia yang sudah menempati urutan 61 dan Thailand berada
diurutan ke 70. Demikian pula Publikasi World Bank Doing Business 2011 yang
dilansir oleh International Finance Corporation (IFC) sebagai unit investasi
World Bank, menempatkan Negara Indonesia pada peringkat ke-128, atau
membaik 2 peringkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya terkait dengan
kemudahan memulai usaha (prosedur, waktu, biaya, dan pembayaran kebutuhan
11
modal nominal). Posisi Indonesia dalam daftar tersebut berada diantara Negara
Ethiopia dan Negara Bangladesh (World Bank, 2011).
Buruknya pelayanan publik di Indonesia memang bukan hal baru, fakta di
lapangan masih banyak dijumpai hal ini. GDS (2002) menemukan tiga masalah
penting yang sering terjadi di lapangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Pertama, besarnya diskriminasi pelayanan yang dipengaruhi oleh hubungan per-
konco-an, kesamaan afiliasi politik, etnis, dan agama. Fenomena semacam ini
tetap marak walaupun telah diberlakukan Undang-Undang No. 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang secara tegas
menyatakan keharusan adanya kesamaan pelayanan, bukannya diskriminasi.
Kedua, tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan. Ketidakpastian ini
sering menjadi penyebab munculnya KKN, sebab para pengguna jasa cenderung
memilih menyogok dengan biaya tinggi kepada aparat pelayanan untuk
mendapatkan kepastian, kecepatan, dan kualitas pelayanan. Ketiga, rendahnya
tingkat kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Hal ini
merupakan konsekuensi logis dari adanya diskriminasi dan ketidakpastian
pelayanan.
Menyongsong era globalisasi maupun Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) pada akhir tahun 2015 dengan pasar bebasnya, maka kompetisi yang
sangat ketat dalam dunia usaha ataupun investasi tidak dapat dihindarkan. Dalam
hal ini dibutuhkan informasi peluang usaha yang semakin transparan, pelayanan
publik di bidang perizinan yang cepat dan menjamin kepastian, serta dukungan
masyarakat yang kondusif. Bertolak dari hal tersebut, kegiatan penanaman modal
12
dan perizinan menjadi salah satu instrumen strategis untuk memacu pertumbuhan
ekonomi yang tinggi. Pelayanan publik di bidang perizinan dapat berpengaruh
terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat karena
investasi yang menggunakan dan memanfaatkan fasilitas Penanaman Modal
Asing atau Penanaman Modal dalam Negeri maupun perorangan membutuhkan
adanya instrumen perizinan.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui program Nawa Cita
(sembilan agenda prioritas) dalam upaya mewujudkan kualitas pelayanan publik
di instansi pemerintahan telah berupaya menghadirkan kembali peran Negara. Hal
ini tercermin dari program Nawa Cita kedua yang menetapkan “Kami akan
membuat Pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan
yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya” (RPJMN, 2015). Untuk
mewujudkannya, antara lain akan dijalankan secara konsisten dan berkelanjutan
agenda reformasi birokrasi dengan restrukturisasi kelembagaan, perbaikan
kualitas pelayanan publik, meningkatkan kompetensi aparatur, memperkuat
monitoring dan supervisi atas kinerja pelayanan publik, serta membuka ruang
partisipasi publik melalui citizen charter dalam Undang-Undang Kontrak Layanan
Publik.
Pada program Nawa Cita ketiga ditetapkan bahwa “Kami akan
membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa
dalam Kerangka Negara Kesatuan”. Program ini antara lain akan diwujudkan
melalui pengembangan desentralisasi asimetris dengan membantu daerah-daerah
yang kapasitas kepemerintahannya belum cukup memadai dalam memberikan
13
pelayanan publik, pengurangan overhead cost (biaya rutin), mengalokasikan dana
yang lebih optimal untuk pelayanan publik, serta reformasi pelayanan publik
melalui penguatan desa, kelurahan, dan kecamatan sebagai ujung tombak
pelayanan publik. Pada program Nawa Cita keenam ditetapkan “Kami akan
meningkatkan produktifitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga
bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya”.
Program ketiga ini antara lain akan dilaksanakan dengan menciptakan layanan
satu atap untuk investasi, efisiensi perizinan bisnis menjadi maksimal 15 (lima
belas) hari. Hal di atas menunjukkan pelayanan publik di bidang perizinan
menjadi prioritas pemerintahan Jokowi dalam mendorong pertumbuhan investasi
untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia sesuai amanat
alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Hal ini sejalan dengan baseline yang
ditentukan dalam 156 indikator sasaran pokok pembangunan nasional pada
pelaksanaan Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah Tahun 2015, yakni
meningkatkan iklim investasi dan iklim usaha dengan indikator sasaran pokok
berupa realisasi PMA, PMDN, dan kinerja dari badan/dinas/kantor pelayanan
perizinan terpadu satu pintu.
Optimalisasi pelayanan publik yang dilakukan birokrasi pemerintahan
bukanlah pekerjaan mudah, mengingat pembaharuan tersebut menyangkut
perbagai aspek yang telah mengakar dalam lingkaran birokrasi pemerintahan,
seperti kultur birokrasi tidak kondusif sejak era kolonial yang telah mewarnai
pola pikir dan prilaku birokrat (ningrat-pangreh). Dengan demikian, dalam
mewujudkan pelayanan publik dibutuhkan adanya standar pelayanan berupa tolok
14
ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan
penilaian kualitas pelayanan. Hal ini berkaitan dengan kewajiban dan janji
penyelenggara kepada masyarakat dalam mewujudkan pelayanan yang
berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur. Sementara itu, adapun sasaran
dari pelayanan publik adalah masyarakat, yakni seluruh pihak, baik warga negara
maupun penduduk sebagai orang-perseorangan, kelompok, maupun badan hukum
yang berkedudukan di suatu kabupaten/kota sebagai penerima manfaat pelayanan
publik, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pemerintah daerah untuk dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat di
daerah, berdasarkan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945 diberikan
kewenangan mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya atas dasar
otonomi yang seluas-luasnya menurut asas desentralisasi dan tugas pembantuan.
Kewenangan ini telah diatur dalam berbagai undang-undang pemerintahan daerah
sejak mulai merdeka sampai sekarang. Adapun undang-undang yang berlaku saat
ini adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagai pengganti undang-undang sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang hal yang sama. Undang-undang pemerintahan daerah pasca
reformasi telah memberikan kewenangan secara luas, nyata, dan bertanggung
jawab kepada pemerintah daerah, khususnya lagi kepada pemerintah kabupaten/
kota. Hal ini sejalan dengan format kebijakan otonomi daerah pasca reformasi
yang mengalami perubahan fundamental dalam paradigma penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
15
Pada pemerintahan orde baru, pembangunan menjadi misi terpenting
pemerintah sehingga pada masa itu menjadikan dirinya sebagai pusat kendali
proses pembangunan (sentralisasi di tingkat nasional). Pasca reformasi,
pemerintah diarahkan untuk mereposisi diri menjadi pelayan dan pemberdaya
masyarakat dengan menyebarkan aktivitasnya ke berbagai pusat (plusentris) di
tingkat lokal. Dengan kata lain, arus baru kehidupan politik pemerintahan daerah
di Indonesia pasca reformasi telah mengalami pergeseran kekuasaan dari pusat
(central) menuju lokus-lokus daerah (decentral) dan berbasis pada kekuatan
masyarakat sendiri (society). Perubahan paradigma tersebut sekaligus juga ikut
melepaskan makna hegemoni paham teknokrasi yang masih terus kita rasakan
sekarang ini, yakni pemerintahan yang mempercayakan kepada peran negara
semata sebagai mesin pembangunan.
Melalui paradigma desentralisasi, maka otonomi daerah tidak semata-mata
sebagai kesiapan aparatur daerah atau menyangkut kesuburan ekonomi
pemerintah kabupaten/kota yang tercermin seperti dalam Pendapatan Asli Daerah
(PAD), tetapi juga soal akses keterlibatan masyarakat, fasilitas perkembangan
ekonomi swasta yang tercermin dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),
terwujudnya good governance (partisipasi, transparansi dan akuntabilitas) dalam
penyelenggaraan pemerintahan, dan lain sebagainya. Keberhasilan
penyelenggaraan otonomi daerah menjadi sangat ditentukan oleh kesiapan dan
kemampuan pemerintah kabupaten/kota dalam mengelola dan memberdayakan
seluruh potensi dan sumber daya yang tersedia. Dalam hal ini, dibutuhkan
pemerintah kabupaten/kota yang didukung oleh aparatur pemerintahan yang
16
profesional, bertanggung jawab, dan melayani agar mampu meningkatkan
pertumbuhan perekonomian daerah.
Pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya
di bidang pemerintahan dan pembangunan dituntut untuk mencapainya secara
efisien, efektif serta lebih bertanggung jawab (Suwandi, 2000). Konsekuensinya,
pemerintah daerah membutuhkan adanya ruang kemandirian yang luas dalam
mengatur serta mengurus tata kelola keuangan, pembangunan, dan pemerintahan
daerah. Kemandirian dimaksud ditempatkan sebagai sub sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia sehingga harus dimaknai sebagai kebebasan yang terbatas,
dan bukan sebaliknya sebagai suatu kemerdekaan dalam arti kebebasan tanpa
batas. Pemerintah daerah mempunyai kebebasan untuk berinovasi didalam
mengatur dan mengurus urusannya sendiri dibawah pembinaan dan pengawasan
dari pemerintah pusat sebagai penanggung jawab akhir penyelenggaraan
pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah dititikberatkan pada pemerintah kabupaten/
kota untuk menjadikan pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya serta pelayanan
pemerintah dapat dilakukan dengan lebih efisien, efektif, dan responsif. Hal ini
berdasarkan asumsi bahwa pemerintah kabupaten/kota lebih dekat dengan rakyat
sehingga memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai kebutuhan dan aspirasi
masyarakat mereka daripada pemerintah pusat. Walaupun hal ini sangat potensial
melahirkan adanya pemerintah kabupaten/kota yang lebih responsif terhadap
aspirasi masyarakat, namun sebelum hal tersebut dapat terlaksana, maka
masyarakat sipil yang ada di daerah perlu juga diperkuat maupun diberdayakan
17
untuk menjamin bahwa proses pemerintahan yang demokratis, bersih, dan
akuntabel dapat terlaksana dengan baik.
Indikator dari keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah
terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance) didukung oleh
birokrasi yang handal, profesional, efisien, produktif serta mampu memberikan
pelayanan yang prima kepada masyarakat. Melalui instrumen pelayanan, maka
antara masyarakat dan pemerintah diharapkan terbangun hubungan harmonis
yang saling menunjang dan melengkapi dalam satu kesatuan langkah menuju
tercapainya tujuan pembangunan nasional. Pemerintah daerah dalam hal ini
dituntut untuk meningkatkan kinerjanya dalam pengelolaan keuangan maupun
pelayanan kepada masyarakat. Dengan kata lain, penyelenggaraan otonomi daerah
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan kinerja keuangan, kinerja pelayanan publik, pemberdayaan peran
serta masyarakat, dan peningkatan daya saing daerah.
Prosedur dan etika pelayanan yang berkembang dalam birokrasi kita
belum sepenuhnya menjunjung nilai-nilai dan praktik yang menghargai warga
bangsa sebagai warga negara yang berdaulat. Prosedur pelayanan, misalnya tidak
dibuat untuk mempermudah pelayanan, tetapi lebih untuk melakukan kontrol
terhadap perilaku warga sehingga prosedurnya berbelit-belit dan rumit. Semakin
berkembangnya dunia bisnis menuntut upaya pemerintah untuk memberikan
pelayanan yang baik kepada pelaku bisnis, utamanya dalam hal pemberian
fasilitas dan kemudahan perizinan dalam melakukan investasi dan
mengembangkan usaha, termasuk pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi
18
Bali. Masyarakat Bali menyadari mengenai pelayanan publik yang selama ini
terjadi “dihadapkan pada fenomena kelambanan pelayanan, berbelit-belit, dan
mesti siap mengeluarkan uang saku untuk memperlancar urusan tersebut” (Antara
Bali, 26 Januari 2010). Masyarakat pengguna jasa sering dihadapkan pada begitu
banyak ketidakpastian produk hukum dan prosedur ketika mereka berhadapan
dengan birokrasi. Amat sulit memperkirakan kapan pelayanan prima itu dapat
diperolehnya. Biaya pelayanan dijumpai dapat berbeda-beda bahkan tidak
terjangkau tergantung pada banyak faktor yang tidak sepenuhnya dapat dipahami
oleh para pengguna jasa. Demikian pula dengan waktu pelayanan seringkali tidak
terukur sehingga banyak orang yang kemudian enggan berurusan dengan birokrasi
publik. Dijumpai banyak keluhan dari para pengguna jasa pelayanan perizinan
yang menyatakan bahwa kinerja organisasi publik menjadi sumber kelambanan,
pungli, dan inefisiensi proses pembangunan sehingga kesejahteraan rakyat
semakin menjauh dari kenyataan. Pertumbuhan ekonomi antara wilayah yang
maju dengan wilayah yang terbelakang atau kurang maju terjadi perbedaan.
Ketidakmerataan pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota tersebut
disebabkan karena beberapa faktor, seperti adanya perbedaan kondisi demografi,
geografi, pendapatan daerah dan penyelenggaraan pemerintahan antara wilayah
satu dengan lainnya, seperti di bidang pelayanan publik.
Pelayanan publik di bidang perizinan menjadi salah satu instrumen
strategis yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat. Perizinan dibutuhkan dalam investasi yang menggunakan dan
memanfaatkan fasilitas PMA atau PMDN maupun perorangan. Dalam hal ini,
19
maka kedudukan aparatur pemerintah, khususnya lagi pemerintah kabupaten/ kota
di Provinsi Bali dalam memberikan pelayanan publik di bidang perizinan yang
mendukung proses pembangunan untuk kesejahteraan rakyat menjadi sangat
strategis. Hal itu tercermin dari 5 (lima) jenis perizinan terbanyak yang diterbitkan
oleh pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali dalam kurun 5 (lima) tahun
terakhir, seperti tercantum pada Tabel 1.1
Tabel 1.1
Jenis Perizinan yang terbit pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali
Tahun 2011-2015
No Jenis Ijin
Yang Terbit
Tahun
2011 2012 2013 2014 2015
1 IMB 7.370 9.372 10.515 10.749 11.262
2 SITU 3.183 4.012 4.097 3.705 4.425
3 HO 2.142 3.161 3.180 2.847 3.745
4 TDP 6.028 6.826 7.714 7.118 7.328
5 SIUP 4.093 5.272 5.300 4.692 6.139
Sumber: Badan/Dinas/Kantor Pelayanan Perizinanan Kabupaten/Kota Di Provinsi
Bali,2015
Tabel 1.1 menunjukkan 5 (lima) jenis perizinan yang terbanyak dilayani oleh
pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali adalah IMB, SITU, HO, TDP, dan
SIUP yang dari tahun ke tahun jumlahnya bervariasi. Dari lima perizinan yang
diterbitkan, maka yang terbanyak dimohon oleh masyarakat berkaitan dengan
kegiatan membangun dan berusaha dalam skala menengah. Sementara itu,
meningkat atau menurunnya jumlah perizinan yang diterbitkan pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Bali dari tahun ke tahun dapat disebabkan beberapa
alasan seperti kesadaran masyarakat dalam mengurus perizinan karena terlalu
berbelit-belitnya prosedur yang harus dilalui, ketidakpastian waktu maupun biaya
dari pengurusan perizinan tersebut, pengawasan masyarakat yang kurang atau
20
telah dilaksanakan, dan kinerja pelayanan ataupun kualitas pelayanan perizinan
yang terus dalam tahap pembenahan.
Sementara itu, hasil Survei Sub National Doing Business yang dilakukan
terhadap 20 kota di Indonesia pada tahun 2012, dimana Pemerintah Kota
Denpasar merupakan satu-satunya wakil Bali, menetapkan Kota Denpasar masih
tertinggal dalam memberikan pelayanan perizinan yang baik bagi investor dan
pelaku usaha. Dalam survei tersebut, Kota Denpasar hanya berada diperingkat ke
9, 12, dan 17 dalam kemudahan berbisnis diantara 20 kota yang disurvei
(International Finance Corporation-The World Bank Group, 2012). Kota-kota
yang memiliki kinerja terbaik di Indonesia adalah Kota Yogyakarta pada
peringkat pertama, cukup 8 prosedur untuk mengurus perizinan mendirikan
bangunan dengan lama waktu 39 hari. Kota Palangkaraya peringkat kedua, juga
dengan 8 prosedur dan waktu 27 hari, namun dengan biaya yang lebih tinggi. Kota
Surakarta berada diperingkat ketiga dengan total 8 prosedur untuk mendirikan
usaha dengan lama waktu 29 hari. Khusus untuk kemudahan pengurusan perizinan
mendirikan bangunan, Kota Balikpapan menjadi kota yang paling memberikan
kemudahan bagi investor, diikuti oleh Kota Jambi dan Kota Palembang. Hasil
survei untuk kemudahan pendaftaran properti adalah di Kota Bandung bersama-
sama dengan Jakarta. Banda Aceh mengalami perkembangan yang baik dalam
perbaikan sistem perizinan untuk investasi, dengan kemudahan mendirikan usaha
berada diperingkat ke-5 dan untuk kemudahan perizinan mendirikan bangunan
berada diperingkat 4 (empat). Sementara itu, Pemerintah Kota Balikpapan berada
diperingkat pertama dalam kemudahan perizinan mendirikan bangunan dan
21
peringkat ke-7 terkait dengan kemudahan perizinan mendirikan usaha. Adapun
data hasil survei untuk pelayanan perizinan oleh Pemerintah Kota Denpasar yang
dilakukan Sub National Doing Business, dikemukakan pada Tabel 1.2
Tabel 1.2
Peringkat Doing Business Pada 3 Kriteria di 20 Kota di Indonesia
No Kota Kemudahan
Mendirikan
usaha
Kemudahan
pengurusan
IMB
Kemudahan
pendaftaran
properti
1 Balikpapan 7 1 8
2 Banda Aceh 5 4 2
3 Bandung 12 9 1
4 Batam 15 10 20
5 Denpasar 9 17 12
6 Gorontalo 6 20 5
7 Jakarta 8 19 10
8 Jambi 18 2 7
9 Makasar 17 11 9
10 Manado 20 18 15
11 Mataram 10 12 4
12 Medan 19 6 13
13 Palangkaraya 2 14 16
14 Palembang 11 3 3
15 Pekanbaru 16 15 18
16 Pontianak 13 7 14
17 Semarang 4 8 19
18 Surabaya 14 16 11
19 Surakarta 3 13 17
20 Yogyakarta 1 5 6
Sumber : International Finance Corporation-The World Bank Group, 2012
Pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali saat ini telah merespon positif
dan menjadikannya suatu tantangan yang harus ditangani secara serius mengenai
pelayanan perizinan kepada masyarakat pasca reformasi. Pemerintah kabupaten/
kota berupaya memberikan pelayanan dan peningkatan kesejahteraan kepada
masyarakat dengan mengedepankan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta
22
kepastian berusaha sesuai semangat otonomi melalui sistem pelayanan satu pintu
(one gate service) dengan harapan mampu dan memiliki keunggulan yang
kompetitif atau kemudahan dalam memberikan pelayanan perizinan. Adanya
penyelenggaraan pelayanan perizinan yang berkualitas terus diupayakan
pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali untuk dapat meminimalisir proses
yang berbelit-belit dan pungutan tidak resmi dalam pengurusan perizinan. Dalam
hal ini telah diupayakan adanya standarisasi pelayanan perizinan dan kinerja
aparat pelayanaan publik yang berkualitas, kinerja keuangan yang baik sehingga
masyarakat atau pihak investor dapat mengukur tingkat aksesibilitas pelayanan
yang diberikan oleh penyelenggara pelayanan berdasarkan produk hukum yang
berlaku. Produk hukum yang dimaksudkan seperti Undang-Undang No. 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik beserta produk hukum pelaksanaannya yakni
Peraturan Pemerintah No. 96 Tahun 2012, Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2014
(sebagai pengganti Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009) tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Produk hukum tersebut mengatur
tentang standar pelayanan terkait dengan dasar hukum, persyaratan, mekanisme
dan prosedur, jangka waktu penyelesaian, biaya/tarif, penanganan pengaduan,
jaminan pelayanan dan evaluasi kinerja pelaksana.
Berdasarkan standar pelayanan yang dikembangkan pada masing-masing
badan/dinas/kantor pelayanan perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi Bali, aparat pemerintah dapat mewujudkan pelayanan yang berkualitas
kepada masyarakat terkait persyaratan perizinan, jangka waktu pengurusan
perizinan maupun jumlah biaya yang harus mereka keluarkan untuk mengurus
23
perizinan. Namun demikian, kenyataannya selama ini pelayanan yang diberikan
belum sepenuhnya dapat mengikuti standar pelayanan yang ada. Pengurusan
perizinan seperti IMB yang dalam standar pelayanan disyaratkan maksimal 14
hari kerja, prakteknya melebihi dari waktu yang ada. Masyarakat sering harus
bolak-balik memenuhi persyaratan yang kurang, sementara persyaratan tersebut
tidak disampaikan dari awal pelayanan. Pelaksanaan pelayanan yang diberikan
juga belum terintegrasi seperti pengisian formulir identitas tertentu yang
seharusnya tidak perlu dilakukan lagi apabila masyarakat ingin mengurus
perizinan yang lainnya. Ketidaksesuaian tersebut telah menyebabkan masyarakat
menjadi kecewa atas pelayanan perizinan yang didapatkan, sehingga diperlukan
komitmen dan kinerja pemerintah daerah untuk memperbaikinya secara
berkelanjutan (Fajar Bali, 2016).
Kualitas dan kinerja pelayanan publik di bidang perizinan serta kinerja
keuangan yang baik, secara tidak langsung dapat mempengaruhi investasi. Hal ini
sejalan dengan program Nawa Cita Presiden Joko Widodo yang meminta
pemerintah daerah meningkatkan layanan perizinan di bidang investasi. Presiden
menyampaikan keinginan pemerintah pusat membangun sarana dan prasarana
infrastruktur yang diibangi adanya komitmen pemerintah daerah dalam
memangkas birokrasi pelayanan publik.
Investasi yang meningkat akan dapat berpengaruh positif terhadap Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB), sehingga tingkat kemakmuran daerah beserta
masyarakatnya juga berpotensi ikut meningkat. Oleh karena itu, keberhasilan
penyelenggaraan pelayanan publik di bidang perizinan ditentukan pula oleh
24
perilaku aparatnya dalam mengemban misi sebagai pelayan masyarakat. Dalam
kenyataannya, pelaksanaan pelayanan publik di bidang perizinan yang belum
optimal dipengaruhi karena belum terwujudnya aparat pelayanan yang
profesional, berdedikasi, akuntabel, responsif, serta loyal terhadap tugas dan
kewajibannya sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat. Adanya perilaku
birokrasi yang berkualitas prima maupun yang berperilaku sebaliknya, memiliki
keterkaitan dengan nilai-nilai budaya lokal yang dianut oleh setiap individu
birokrat. Dalam kaitan ini, maka pengembangan pelayanan publik di bidang
perizinan perlu juga memperhatikan kearifan lokal yang telah tumbuh dan
berkembang pada masyarakat, mengingat sasaran atau obyeknya adalah
masyarakat. Keterbatasan birokrasi memaknai nilai-nilai budaya lokal dengan
baik setidaknya juga berdampak terhadap kualitas pelayanan publik.
Di Indonesia, secara filosofis keberadaan kearifan lokal telah diakui
sebagaimana tertuang dalam sehelai pita dengan sesanti “Bhinneka Tunggal Ika”
yang tercengkram oleh kedua kaki Burung Garuda lambang Negara Indonesia.
Kesadaran akan perbedaan itu menunjukkan secara filosofis pelaksanaan suatu
kegiatan pembangunan dan pemberian pelayanan pada suatu daerah tidaklah dapat
tercerabut dari kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakatnya. Hal itu
merupakan upaya untuk melestarikan budaya dan sumber dayanya agar dapat
terus bersinergi dengan pelaksanaan pembangunan dan penyelenggaraan
pemerintahan. Praktek penguatan peran serta dan pengawasan masyarakat dalam
pelayanan publik juga telah dikembangkan di Australia sebagaimana dapat
25
disimak dari hasil audit Australian National Audit Office (2014) yang
mengemukakan sebagai berikut :
Such approaches to governance and stakeholder relationships enable an entity,
and government, to stay in tune with changing public expectations, with
positive consequences. The active participation of stakeholders in the
development, implementation and oversight of government programs also
builds the capacity of government to anticipate and respond to emerging issues
and to develop practical and emergent solutions to complex problems.
A further benefit is that it builds resilience in the community and individuals by
encouraging self-reliance and adaptation in changing circumstances, with
government facilitating stronger outcomes for communities.
(Terjemahan bebasnya, Pendekatan yang memperkuat hubungan pemerintah
dan pemangku kepentingan memungkinkan suatu kebijakan pemerintah untuk
tetap selaras dengan perubahan aspirasi masyarakat. Partisipasi aktif dari para
pemangku kepentingan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
program-program pemerintah juga membangun kapasitas pemerintah untuk
dapat mengantisipasi dan menanggapi isu-isu yang muncul secara cepat dan
praktis. Manfaat lebih lanjut, akan tumbuh ketahanan dan kemandirian
masyarakat untuk secara kuat beradaptasi terhadap perubahan kebijakan
pemerintah).
Kondisi tersebut menunjukkan keberhasilan implementasi kebijakan
pemerintah tidak lepas dari pengakuan dan penguatan peran kearifan lokal atau
local wisdom dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Penyelenggaraan pelayanan publik dan pembangunan yang bersifat top-down
akan mengkerdilkan peran dan fungsi nilai-nilai lokal sehingga hasilnya akan
kurang memperhatikan kepentingan rakyat di tingkat bawah yang sebenarnya
merupakan stakeholder utama dari kebijakan yang ada. Akibat jangka panjang
yang sangat terasa termasuk di Bali dari marjinalisasi peran dan fungsi kearifan
lokal dalam pelayanan publik dan proses pembangunan adalah menurunnya
kepercayaan masyarakat beserta lemahnya daya kreatifitas dan jiwa
kewirausahaannya. Masyarakat menjadi terbiasa pada pola “mohon petunjuk dari
atas” atau top-down. Implikasi mendasar dari situasi seperti ini adalah terciptanya
26
mentalitas sub-ordinat. Program pemberdayaan masyarakat (termasuk masyarakat
Bali) akan berpotensi menjadi stagnan karena masyarakat sendiri tidak lagi
terbiasa dengan program-program bottom-up yang disesuaikan dengan kebutuhan
serta aspirasi masyarakat itu sendiri yang pada akhirnya dapat berdampak pada
tingkat kesejahteraan masyarakat Bali menjadi kurang atau belum optimal.
Kearifan lokal pada hakikatnya merupakan hasil perenungan, olah pikir
dan keajegan prilaku masyarakat didalam memahami hakikat dari keberadaannya
beserta hubungan dengan Tuhan, alam semesta, dan masyarakat lingkungannya.
Hasil upaya manusia seperti itu dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan berfilsafat
yang melahirkan filsafat hidup tertentu bagi sekelompok manusia bersangkutan.
Dalam hubungannya dengan masyarakat Hindu Bali, salah satu kearifan lokal yang
menjiwainya dikenal dengan sebutan Tri Hita Karana. Melalui filsafat Tri Hita
Karana maka untuk keberlanjutan pembangunan daerah Bali diamanatkan agar
berlandaskan pada tiga dasar pemikiran, yaitu (1) normatif-filsafati, (2) empiris,
(3) pragmatis. Keharmonisan merupakan nilai luhur yang harus ada dalam diri
setiap individu yang pada intinya nanti diwujudkan dalam bentuk penghargaan
atau toleransi tinggi terhadap sesama, antara atasan dan bawahan, antara
pengusaha dan pelanggan, serta antar sesama stakeholder. Beberapa pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Bali secara eksplisit dijumpai telah mengembangkan
kearifan lokal dalam penyelenggaraan pelayanan publik di bidang perizinan,
seperti Pemerintah Kota Denpasar dengan visi “ Menuju Pelayanan Prima Kreatif
Berwawasan Budaya” dengan motto “Sewaka Dharma”, Pemerintah Kabupaten
Badung dengan visi “Terwujudnya Pelayanan Prima Berdasarkan Tri Hita
27
Karana”, Kabupaten Klungkung dengan visi “Terwujudnya Pelayanan Yang
Prima dan Mandiri” dengan semboyan “Gema Santi”, Kabupaten Karangasem
dengan “Karangasem cerdas, bersih, dan bermartabat berlandaskan Tri Hita
Karana”, Kabupaten Buleleng dengan “Terwujudnya Masyarakat Buleleng yang
Mandiri, Sejahtera, Damai dan Lestari Berlandaskan Tri Hita Karana”,
Kabupaten Jembrana dengan “Siap melayani anda sepenuh hati dengan cepat
ramah mudah akurat dan transparan”, Kabupaten Bangli dengan “Peningkatan
Kualitas Pelayanan Perizinan Menuju Pelayanan Prima”, Kabupaten Tabanan
dengan “Terwujudnya Pelayanan Prima dalam Meningkatkan Investasi menuju
Tabanan Sejahtera, Aman dan Berprestasi”, dan Kabupaten Gianyar dengan
“Terwujudnya Transparansi dan Kwalitas Pelayanan Perizinan dan Non
Perizinan Menuju Pelayanan Prima.”. Aparatur pemerintahan dalam hal ini
dimaknai sebagai pelayan rakyat dan bukan untuk melayani dirinya sendiri. Public
services oleh birokrasi adalah salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara
sebagai abdi negara. Pelayanan merupakan tugas utama yang hakiki dari sosok
aparatur, sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat.
Kelembagaan di instansi pemerintah terutama yang terkait dengan
pelayanan yang berhubungan langsung dengan masyarakat harus menyesuaikan
dengan perkembangan lingkungan yang dinamis, sederhana, serta sesuai tuntutan
dan harapan masyarakat. Adalah hal yang wajar bilamana kelembagaan
mempunyai permasalahan tetapi tidak boleh mengganggu tujuan pembentukan
lembaga tersebut. Untuk itu harus dicarikan jalan penyelesaiannya. Terkait dengan
itu, pihak-pihak yang berkepentingan di dalam lembaga tersebut harus membuka
28
diri menerima masukan dari luar. Adanya kritikan dari berbagai pihak, sepahit apa
pun, harus diterima dan dijadikan masukan dalam memperbaiki berbagai
kekurangan.
1.2 Rumusan Masalah
Demokrasi, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi merupakan prinsip
yang semestinya diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk dapat
menjamin pelaksanaan pembangunan yang adil dan sesuai dengan aspirasi atau
kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, dibutuhkan masyarakat yang partisipatif,
peduli terhadap persoalan publik, dan memiliki empati terhadap sesama, serta
memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Sementara itu,
pemerintah diharapkan lebih efektif dalam menggunakan sumber daya dan
menjalankan fungsi pelayanan publik, mampu menjamin pelaksanaan kepastian
hukum serta memberi keamanan bagi masyarakat. Perubahan yang diharapkan
pada sisi pemerintah dan masyarakat tersebut sering disebut dengan perubahan
dalam aspek tata kelola (governance).
Isu tata kelola yang baik (good governance) mulai memasuki dinamika
pelayanan publik dan menjadi perdebatan dikalangan akademisi tatkala
pembangunan dirasakan sangat manipulatif dan tidak berpihak pada kepentingan
rakyat. Pelayanan publik pada dasarnya menjadi tanggung jawab pemerintah, baik
pemerintah pusat maupun daerah. Pelayanan publik (public services) oleh
birokrasi dimaksudkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (warga negara)
dalam suatu negara kesejahteraan (welfare state). Dengan demikian, pelayanan
perizinan sebagai bagian pelayanan publik seharusnya diselenggarakan secara
29
demokrasitis, transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif untuk dapat memberikan
jaminan kepastian hukum kepada semua pihak yang terkait dengan perizinan
bersangkutan.
Pelayanan publik (public services) oleh pemerintah merupakan salah satu
perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat disamping
sebagai abdi negara. Kegagalan birokrasi pemerintahan dalam menyelenggarakan
pelayanan publik yang menghargai hak dan martabat warga negara sebagai
pengguna pelayanan tidak hanya melemahkan legitimasi pemerintah di mata
publik. Hal itu juga berdampak pada hal yang lebih luas, yaitu ketidakpercayaan
pihak swasta dan pihak asing untuk menanamkan investasinya di suatu daerah
karena ketidakpastian dalam pemberikan pelayanan publik. Efek negatifnya lebih
lanjut dapat menyebabkan menurunnya kepercayaan masyarakat yang akan
berinvestasi. Dalam hal investasi tidak jadi dilakukan oleh investor yang merasa
tidak mendapat iklim berinvestasi yang kondusif akan menyebabkan pada
ketidakmampuan daerah untuk mendapatkan maupun meningkatkan Pendapatan
Asli Daerah.
Dalam pelayanan publik, masyarakat berharap untuk mendapatkan
pelayanan yang berkualitas dan memuaskan, meskipun pemberi layanan juga
mempunyai standar kualitas dalam memberikan layanan. Permasalahan umum
yang dijumpai pada pelayanan publik termasuk pada bidang pelayanan perizinan
antara lain terkait dengan penerapan prinsip-prinsip good governance yang masih
lemah. Partisipasi masyarakat dijumpai masih terbatas, lemahnya transparansi dan
akuntabilitas baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan atau penyelenggaraan
30
pelayanan publik beserta evaluasinya. Laporan The Asia Foundation (2013)
menunjukkan bahwa masih banyak kebijakan yang bermasalah dalam bidang
perizinan. Temuan-temuan dari laporan tersebut meliputi: (1) Prosedur perizinan
yang kompleks menghambat pendirian, formalisasi, dan ekspansi perusahaan baru
di Indonesia. Begitu berbelit-belitnya prosedur birokrasi ini menyebabkan hampir
80 persen sektor swasta dalam negeri masih bersifat informal dan tidak terdaftar.
Reformasi perizinan pun menjadi suatu bidang yang dapat memicu perkembangan
usaha dengan cepat. (2) Sebagian besar pusat pelayanan perizinan terpadu di
kabupaten/kota belum mencapai potensi maksimal mereka. Studi yang dilakukan
The Asia Foundation menunjukkan bahwa banyak dari pusat pelayanan terpadu
sejauh ini belum memangkas waktu maupun mengurangi persyaratan-persyaratan
perizinan. Namun terdapat cakupan kinerja yang sangat luas, dimana pusat-pusat
pelayanan terpadu terbaik menunjukkan peningkatan yang besar dalam pemberian
layanan mereka. (3) Peningkatan kinerja pusat-pusat pelayanan perizinan terpadu
di Indonesia memerlukan reformasi di tingkat daerah maupun pusat. Pemerintah
daerah perlu mengurangi perhatian pada bentuk kelembagaan dan lebih
memfokuskan untuk memastikan agar pusat-pusat pelayanan perizinan terpadu
memiliki kewenangan yang mereka perlukan. Pemerintah pusat perlu
menyederhanakan perizinan dengan menjadikan pendaftaran usaha sebagai
langkah pertama dan bukan yang terakhir dalam proses perizinan usaha secara
umum, serta menghapuskan perizinan yang tidak perlu atau yang berlebihan. (4)
Keterkaitan nilai-nilai budaya lokal dengan perilaku birokrasi yang membentuk
budaya birokrasi yang pada akhirnya turut memberi andil terhadap rendahnya
31
kualitas pelayanan publik. Pemahaman aparat birokrasi terhadap nilai-nilai budaya
lokal masih rendah, sehingga berdampak ke dalam perilaku sehari-hari di dalam
memberikan pelayanan publik.
Keberhasilan pembangunan daerah sangat ditentukan oleh kemampuan
dari pemerintah daerah dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan
yang benar dan sesuai dengan kondisi lokal masyarakatnya. Namun demikian,
pelaksanaan otonomi daerah yang diharapkan untuk dapat menghasilkan
pelayanan publik yang lebih efisien dan efektif ternyata belum optimal.
Konsekuensinya, pembangunan yang bersifat elitis dan hanya menguntungkan
kelompok-kelompok dan orang-orang yang berada di lingkaran pemerintahan
mulai dikritisi. Oleh karena itu, proses pembangunan menjadi sangat
membutuhkan adanya pengawasan dari semua pihak (stakeholders) agar
implementasinya sesuai dengan perencanaan serta tujuan pembangunan itu
sendiri.
Atas dasar kondisi tersebut dan untuk menjawab tantangan zaman yang
bergerak ke arah globalisasi, maka pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali
telah melakukan reformasi pelayanan perizinan dengan berbasis kepada kearifan
lokal. Pengembangan kearifan lokal dalam kebijakan pemerintah daerah atas dasar
kesadaran bahwa kearifan lokal merupakan tatanan nilai dan menjadi pedoman
hidup yang dimiliki masing-masing kelompok masyarakat. Nilai-nilai tersebut
memiliki karakteristik tersendiri, meskipun terdapat beberapa kesamaan pola
dalam keragaman tatanan antara kelompok masyarakat yang satu dengan
kelompok masyarakat lainnya. Hal ini tidak terlepas dari esensi kearifan lokal atau
32
local wisdom secara praktek merupakan upaya masyarakat untuk melestarikan
sumber daya yang dimiliki atau dikelola agar dapat digunakan untuk menghidupi
mereka dan menjaga keseimbangan lingkungannya secara berkelanjutan. Hanya
saja, proses pembangunan yang bersifat top-down, telah mengecilkan peran dan
fungsi nilai-nilai lokal melalui penerapan berbagai peraturan yang bersumber dari
pusat dan lebih mendahulukan kepentingan „nasional‟, tanpa memperhatikan
kepentingan rakyat di tingkat bawah (grassroot) yang sebenarnya merupakan
stakeholders utama dari penyelenggaraan pemerintahan (termasuk pemerintah
daerah).
Internalisasi dan implementasi kearifan lokal dalam kebijakan pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Bali dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunannya akan sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
dalam aspek sosial, ekonomi, lingkungan, dan good governance. Pemerintah yang
berperan sebagai penyelenggara pelayanan perlu meningkatkan kualitas pelayanan
dengan keutamaan kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Ini sangat penting
mengingat kepuasaan masyarakat menjadi tolak ukur dari keberhasilan pelayanan
publik yang diberikan oleh organisasi publik. Penyelenggaraan pelayanan publik
harus benar-benar dapat mengakomodasi semua kebutuhan masyarakat dan
memberikan pelayanan yang baik serta bertanggung jawab. Pemerintah sebagai
penyelenggara pelayanan publik yang utama seharusnya dapat memberikan
pelayanaan publik yang sederahana, terukur, transparan, serta akuntabel. Terhadap
hal itu, pemerintah kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bali juga sangat
menyadari tentang kebutuhan akan mewujudkan pelayanan publik yang baik di
33
bidang perizinan kepada masyarakatnya melalui pembentukan unit-unit sejenis
pelayanan perizinan satu pintu baik dalam nomenklatur kantor, badan, atau dinas.
Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah disampaikan, maka
persoalan perilaku birokrasi yang berkearifan lokal, kinerja pelayanan publik, dan
pengawasan masyarakat terhadap kualitas pelayanan di bidang perizinan menjadi
persoalan yang aktual untuk dikaji. Dengan demikian, judul disertasi ini adalah
“Pengaruh Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan Lokal, Pengawasan Masyarakat,
dan Kinerja Pelayanan Publik terhadap Kualitas Pelayanan di Bidang Perizinan
Pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali”, dengan rumusan
permasalahan:
1) Bagaimanakah pengaruh langsung perilaku birokrasi yang berkearifan lokal
terhadap kinerja pelayanan publik di bidang perizinan pada pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Bali ?
2) Bagaimanakah pengaruh langsung pengawasan masyarakat terhadap kinerja
pelayanan publik di bidang perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi Bali ?
3) Apakah pengawasan masyarakat memoderasi pengaruh perilaku birokrasi
yang berkearifan lokal terhadap kinerja pelayanan publik di bidang
perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali ?
4) Bagaimanakah pengaruh langsung perilaku birokrasi yang berkearifan lokal
terhadap kualitas pelayanan di bidang perizinan pada pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Bali ?
34
5) Bagaimanakah pengaruh langsung kinerja pelayanan publik terhadap
kualitas pelayanan di bidang perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi Bali ?
6) Apakah perilaku birokrasi yang berkearifan lokal berpengaruh secara tidak
langsung terhadap kualitas pelayanan melalui kinerja pelayanan publik di
bidang perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali ?
7) Apakah pengawasan masyarakat berpengaruh secara tidak langsung
terhadap kualitas pelayanan melalui kinerja pelayanan publik di bidang
perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali ?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian disertasi ini bertujuan untuk dapat mengetahui,
menganalisis, dan menemukan pengaruh dari perilaku birokrasi yang berkearifan
lokal, pengawasan masyarakat, dan kinerja pelayanan publik terhadap kualitas
pelayanan publik di bidang perizinan yang diselenggarakan pada pemerintah
kabupaten/ kota di Provinsi Bali. Atas dasar kajian tersebut diharapkan dapat
ditemukan pengaruh pengembangan kearifan lokal dalam perilaku birokrasi serta
kinerja pelayanan dan pengawasan masyarakat terhadap kualitas pelayanan
publik dikaitkan dengan upaya meningkatkan investasi sebagai salah satu
indikator mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Bali.
Mendasarkan tujuan umum yang telah disampaikan, penelitian ini secara
khusus bertujuan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan menemukan esensi
dari :
35
1) pengaruh langsung perilaku birokrasi yang berkearifan lokal terhadap
kinerja pelayanan publik;
2) pengaruh langsung pengawasan masyarakat terhadap kinerja pelayanan
publik;
3) pengawasan masyarakat apakah memoderasi pengaruh perilaku birokrasi
yang berkearifan lokal terhadap kinerja pelayanan publik;
4) pengaruh langsung perilaku birokrasi yang berkearifan lokal terhadap
kualitas pelayanan;
5) pengaruh langsung kinerja pelayanan publik terhadap kualitas pelayanan;
6) perilaku birokrasi yang berkearifan lokal apakah berpengaruh secara tidak
langsung terhadap kualitas pelayanan;
7) pengawasan masyarakat apakah berpengaruh secara tidak langsung terhadap
kualitas pelayanan.
Dengan tujuan tersebut maka akan dapat diketahui kualitas pelayanan publik di
bidang perizinan yang diselenggarakan oleh badan/dinas/kantor pelayanan
perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut :
1.4.1 Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran ilmiah dalam pengembangan Ilmu Ekonomi,
khususnya terkait dengan perilaku birokrasi yang berkearifan lokal,
pengawasan masyarakat, dan kinerja pelayanan terhadap kualitas
36
pelayanan di bidang perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi
Bali. Hasil analisis dan pembuktian yang dilakukan dalam penelitian ini
juga diharapkan dapat memberikan manfaat akademik bagi penulis, dunia
akademik maupun pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali di masa
yang akan datang. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan menghasilkan
temuan-temuan baru terkait dengan perilaku birokrasi yang berkearifan
lokal, pengawasan masyarakat, dan kinerja pelayanan publik di bidang
perizinan, khususnya pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Sementara itu, secara akademik hasil penelitian ini juga diharapkan
mampu melengkapi temuan-temuan penelitian sejenis sebelumnya di
bidang Ilmu Ekonomi dalam bidang pelayanan publik.
1.4.2 Disamping manfaat teoritis, hasil penelitian ini diharapkan juga dapat
memberikan manfaat praktis, berupa :
a) memberikan gambaran mengenai perilaku birokrasi yang berkearifan
lokal, pengawasan masyarakat, dan kinerja pelayanan serta kebijakan
maupun strategi yang dapat dikembangkan pemerintah kabupaten/kota
di Provinsi Bali dalam rangka menyelenggarakan pelayanan publik
yang berkualitas bagi masyarakat di bidang perizinan;
b) memberikan rekomendasi kepada pihak pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi Bali mengenai kebijakan maupun strategi yang dapat
dikembangkan didalam mengatasi permasalahan yang sering dihadapi
dalam rangka mewujudkan pelayanan publik di bidang perizinan yang
37
berkualitas sehingga memberikan kepuasan kepada semua pihak yang
terkait;
c) memberikan pengetahuan kepada pihak masyarakat maupun pemerhati
perizinan mengenai pelayanan perizinan yang diselenggarakan
pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali dengan berbagai persoalan
dan alternatif kebijakan serta strategi yang dapat dikembangkan secara
akademik.
38
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Peranan Pemerintah dan Pemerintah Daerah Dalam Perekonomian
Tujuan dari pembangunan ekonomi suatu negara adalah untuk
meningkatkan kemakmuran rakyatnya. Dalam pembangunan perekonomian yang
menganut faham liberalisme atau kapitalisme murni, maka adanya kebebasan
individu menjadi syarat mutlak dan tidak menginginkan adanya campur tangan
pemerintah, kecuali terhadap persoalan yang tidak dapat ditangani sendiri oleh
para individu. Dalam kaitan ini, aliran atau kaum klasik terutama Adam Smith,
mengemukakan bahwa pemerintah hanya diperkenankan campur tangan dalam 3
(tiga) aspek. Ketiga aspek yang dimaksudkan pada hakikatnya berkaitan dengan
penyelenggaraan kepentingan umum, yaitu aspek pertahanan nasional, keadilan
sosial, dan aspek pekerjaan umum.
Prinsip kebebasan ekonomi dalam kenyataannya sering juga dihadapkan
pada benturan kepentingan antar individu yang berbeda sebagai akibat dari sulit
atau tidak adanya koordinasi. Antara pengusaha dengan karyawan sering terjadi
konflik kepentingan baik secara individu maupun kelompok. Melihat kenyataan
tersebut, maka peranan pemerintah baik di pusat maupun di daerah dalam
pembangunan perekonomian suatu negara tetap diperlukan agar kepentingan antar
individu yang berbeda sedapat mungkin diminimalisir terjadinya konflik atau
disharmonisasi.
17
1738
39
Sehubungan fungsi negara melalui pemerintah pusat dan daerah dalam
kehidupan perekonomian rakyatnya, secara teoritis dijumpai beberapa teori yang
telah menjelaskannya. Teori kaum klasik yang menyatakan kebebasan individu
mutlak tanpa campur tangan pemerintah dalam perekonomian, telah mendapat
tantangan dari teori yang disampaikan oleh Keynes dalam bukunya berjudul ”The
General Theory of Employment, Interest, and Money” yang ditulis tahun 1936.
Keynes menyatakan bahwa mekanisme pasar tidak secara otomatis menjamin
terciptanya full employment dalam perekonomian, sehingga perlu adanya campur
tangan pemerintah. Adanya peran pemerintah pusat dan/atau daerah yang semakin
besar dalam perekonomian, tidak dapat dilepaskan dari kegagalan pasar (market
failure). Mekanisme pasar melalui invisible hand dinilai tidak mampu secara
efisien dan efektif menjalankan fungsinya membangun perekonomian yang
kokoh, yang dikenal dengan kegagalan pasar. Kegagalan pasar inilah yang secara
historis menjadi pendorong utama perlunya campur tangan pemerintah. Namun
demikian, kegagalan pasar hanyalah salah satu sebab mengapa pemerintah harus
turun tangan dalam perekonomian agar kesejahteraan masyarakat dapat tercapai
secara optimal (Mangkusoebroto, 1999).
Mengenai peran utama pemerintah dalam perekonomian pada hakikatnya
berkaitan dengan 4 (empat) aspek, yakni peran alokasi sumber daya, peran
regulator, peran kesejahteraan sosial, dan peran mengelola ekonomi makro.
Adapun yang dimaksud dengan keempat peran pemerintah tersebut adalah sebagai
berikut :
40
1) peran alokasi sumber daya, berkaitan dengan soal penentuan ukuran absolut
dan relatif pemerintah dalam perekonomian (keseimbangan sektor publik
dan sektor swasta), serta persoalan penyediaan barang-barang publik
maupun pelayanan kesejahteraan sosial bagi masyarakat;
2) peran regulator, berkaitan dengan pembentukan produk hukum dan tata
tertib yang dibutuhkan masyarakat termasuk undang-undang yang mengatur
dunia bisnis secara memadai untuk memfasilitasi aktivitas bisnis dan hak-
hak kepemilikan pribadi;
3) peran kesejahteraan sosial, mencakup kebijakan-kebijakan yang mendorong
pemerataan kesejahteraan masyarakat di negara yang bersangkutan seperti
melalui instrumen perpajakan, jaminan sosial, dan penyediaan sejumlah
barang publik bagi masyarakat;
4) peran mengelola ekonomi makro, berkaitan dengan upaya memfasilitasi
stabilitas secara umum dan kemakmuran ekonomi negara melalui kebijakan-
kebijakan yang didesain untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang
stabil, full employment, inflasi yang rendah, dan neraca pembayaran yang
stabil.
Dalam menjalankan perannya sebagaimana di atas, pemerintah baik di
tingkat pusat maupun daerah tidak selalu berhasil. Secara sistematis malah sering
terjadi kegagalan pemerintah (government failure). Menurut Mangkusoebroto
(1999), kegagalan pemerintah dapat disebabkan oleh 4 (empat) hal, yaitu karena
informasi yang terbatas, pengawasan yang terbatas atas reaksi pihak swasta,
pengawasan yang terbatas atas perilaku birokrat, dan hambatan dalam proses
41
politik. Informasi yang terbatas telah menyebabkan banyak kebijakan pemerintah
yang tidak dapat dilihat dampaknya karena sangat rumit dan sulit untuk
diperhitungkan sebelumnya. Kebijakan pemerintah untuk menghapuskan subsidi
pupuk bagi petani akan sangat sulit untuk diperhitungkan secara akurat
dampaknya bagi seluruh masyarakat. Pengawasan yang terbatas atas reaksi swasta
juga merupakan penyebab kegagalan pemerintah.
Suatu kebijakan pemerintah akan menimbulkan reaksi pihak swasta dan
sering sekali pemerintah tidak dapat menghambat reaksi tersebut. Misalnya,
apabila pemerintah menurunkan subsidi Bahan Bakar Minyak khususnya untuk
bensin. Hal ini menyebabkan pemilik mobil akan beralih kepemilikan kendaraan
yang menggunakan solar, sehingga permintaan akan solar menjadi meningkat dan
harganya naik. Oleh karena pertimbangan untuk memiliki mobil sepenuhnya
berada pada swasta/masyarakat, maka pemerintah tidak dapat melarang seseorang
untuk menjual mobil yang menggunakan bahan bakar bensin ke mobil yang
menggunakan bahan bakar solar.
Kegagalan pemerintah juga disebabkan oleh pengawasan yang terbatas
atas perilaku birokrat. Pemerintah tidak dapat mengawasi secara ketat perilaku
para birokrat, sedangkan pelaksanaan kebijakan pemerintah umumnya
didelegasikan pada berbagai tingkatan birokrat yang mempunyai persepsi dan
kepentingan yang berbeda-beda, sehingga kebijakan pemerintah mungkin
menimbulkan hasil yang berbeda dengan apa yang diinginkan. Selain itu,
kegagalan pemerintah juga dapat disebabkan oleh adanya hambatan dalam proses
politik sebagai dampak adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan antara pihak
42
eksekutif dan legislatif dalam suatu negara demokratis. Konsekuensinya, sering
terjadi kebijakan yang akan dilaksanakan oleh pihak pemerintah (eksekutif) di
pusat maupun di daerah terhambat atau tertunda oleh proses pengambilan
keputusan karena harus disetujui dahulu oleh pihak legislatif (DPR atau DPRD)
atas dasar pertimbangan bersifat politis yang tidak terukur.
2.1.2 Konsep dan Sistem Otonomi Daerah
Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945 menetapkan bahwa pemerintah
daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Adapun yang dimaksud dengan
otonomi daerah menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
yang mengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Seperti halnya Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004, otonomi yang dikembangkan dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 didasarkan pada prinsip otonomi seluas-luasnya
serta prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Dalam kaitan itu,
penyelenggaraan otonomi daerah diarahkan pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan, aspirasi, dan kearifan
lokal yang tumbuh berkembang dalam masyarakat. Penyelenggaraan otonomi
daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah
lainnya untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan
kesejahteraan maupun perekonomian antar daerah.
43
Prinsip otonomi seluas-luasnya memberikan kewenangan kepada
pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di
luar yang menjadi urusan pemerintah pusat sepenuhnya (urusan pemerintahan
absolut). Menurut Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014,
adapun ruang lingkup urusan pemerintahan absolut yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat, meliputi urusan di bidang politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta urusan di bidang agama.
Melalui prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab, maka pemerintah
daerah untuk menangani urusan pemerintahannya dilaksanakan berdasarkan tugas,
wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk
tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
Dengan kata lain, penyelenggaraan otonomi harus benar-benar sejalan dengan
tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk
memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai
bagian utama dari tujuan nasional.
Untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, dalam
kerangka otonomi daerah dapat dilakukan melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Melalui otonomi luas, pemerintah
daerah juga diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta
potensi dan keanekaragaman daerah. Sementara itu, otonomi nyata memberikan
keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan kewenangan
pemerintahan bidang tertentu yang secara nyata ada, diperlukan, tumbuh, hidup,
44
dan berkembang di daerah bersangkutan. Sedangkan otonomi yang bertanggung
jawab berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian
hak dan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam wujud tugas dan kewajiban
yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi,
berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,
pengembangan kehidupan demokratis, keadilan, dan pemerataan serta
pemeliharaan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Brata Kusumah, 2001).
Oleh karena itu, dapat disimak beberapa prinsip yang dikembangkan dalam
penyelenggaraan otonomi daerah, berupa :
1) Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan UUD 1945, sehingga
negara kesatuan maupun hubungan yang serasi antara pusat dan daerah,
serta antar daerah tetap terjamin;
2) Pelaksanaan otonomi daerah tidak melahirkan daerah yang merdeka selain
untuk meningkatkan kemandirian daerah otonom sehingga dalam daerah
kabupaten/ kota tidak ada lagi wilayah administrasi;
3) Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan
aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, potensi, dan keanekaragaman
daerah;
4) Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan
bertanggung jawab;
45
5) Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah
kabupaten/kota, sedangkan untuk propinsi merupakan otonomi yang
terbatas;
6) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi
badan legislatif daerah, baik fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun
fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah;
7) Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administratif untuk melaksanakan
kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah.
Sejalan dengan semangat otonomi daerah, adapun kinerja daerah diukur
melalui kemampuan daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Kaho (1997) lebih lanjut menyatakan salah satu kriteria penting untuk mengetahui
secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya
adalah selfsupporting dalam bidang keuangan. Hal ini berarti, kemampuan
keuangan daerah dijadikan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan
daerah dalam melaksanakan otonominya. Oleh karena itu, pemerintah daerah
diharapkan mampu menetapkan belanja daerah yang wajar, responsif, efisien, dan
efektif. Melalui kewenangan yang dimiliki, daerah diharapkan dapat
meningkatkan PAD, sambil tetap memperhatikan aspek ekonomis, efisiensi, dan
netralitas. PAD idealnya menjadi sumber pendapatan pokok daerah. Sumber
pendapatan lain dapat bersifat fluktuatif dan cenderung di luar kontrol
kewenangan daerah. Analisis atas rasio pertumbuhan PAD dengan pertumbuhan
46
PDRB bertujuan melihat sensitivitas atau elastisitas PAD terhadap perkembangan
ekonomi suatu daerah. Sedangkan analisis rasio PAD terhadap belanja daerah
(belanja tidak langsung dan belanja langsung) dipergunakan untuk mengukur
kemampuan daerah dalam membiayai kegiatan aparatur daerah dan kegiatan
pelayanan publik. Rasio ini juga dapat digunakan untuk melihat kapasitas
kemampuan keuangan daerah.
Mengenai kemampuan atau kinerja keuangan daerah dapat dijadikan salah
satu ukuran untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi
daerah. Adapun kinerja keuangan daerah dapat diukur melalui analisis terhadap
komponen sebagai berikut :
1) Derajat desentralisasi fiskal, berkaitan dengan tingkat kemandirian daerah
untuk membiayai kebutuhan daerahnya sendiri tanpa menggantungkan diri
dengan pemerintah pusat. Semakin tinggi PAD, maka semakin kuat pula
derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian daerahnya). Semakin
rendah PAD, maka semakin lemah pula derajat desentralisasi fiskalnya
(tingkat kemandiriannya);
2) Kebutuhan fiskal daerah, merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk
melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Semakin elastis PAD suatu
daerah, maka struktur PAD daerah tersebut semakin baik. Semakin
inelastis PAD suatu daerah, maka struktur PAD daerah tersebut akan
semakin buruk;
3) Kapasitas fiskal daerah, merupakan sumber pendanaan daerah yang
berasal dari PAD dan dana bagi hasil. Semakin tinggi Bagi Hasil Pajak
47
dan Bukan Pajak (BHPBP), maka semakin kuat pula derajat desentralisasi
fiskalnya (tingkat kemandirian daerahnya). Semakin rendah BHPBP, maka
semakin lemah derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian
daerahnya);
4) Upaya fiskal, berkaitan dengan koefisien elastisitas PAD dengan PDRB.
Semakin tinggi Sumbangan Daerah, maka semakin lemah derajat
desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian daerahnya). Semakin rendah
Sumbangan Daerah, maka semakin kuat derajat desentralisasi fiskalnya
(tingkat kemandiriannya).
2.1.3 Pelayanan Publik
a) Konsep Pelayanan Publik
Pelayanan publik berkaitan dengan pelayanan umum yang diselenggarakan
oleh pemerintah. Sianipar (1998) mengatakan bahwa pelayanan didefinisikan
sebagai cara melayani, membantu, menyiapkan, dan mengurus, menyelesaikan
keperluan, kebutuhan seseorang atau sekolompok orang, artinya objek yang
dilayani adalah individu, pribadi-pribadi, dan kelompok-kelompok organisasi.
Sedangkan Moenir (1992), mengatakan pelayanan adalah sebuah proses
pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas yang dilakukan oleh orang lain secara
langsung. Menurutnya secara garis besar, pelayanan yang diperlukan oleh
manusia pada dasarnya ada 2 jenis, yaitu “pelayanan fisik yang sifatnya pribadi
sebagai manusia” dan “pelayanan administrative yang diberikan oleh orang lain
selaku anggota organisasi”. Lebih lanjut dikatakan pada hakekatnya, pelayanan
adalah serangkaian kegiatan, karena itulah ia merupakan proses. Sebagai proses,
48
“pelayanan” berlangsung secara rutin dan berkesinambungan, yang meliputi
seluruh kehidupan manusia dalam masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan
kata “publik” berasal dari bahasa Inggris “public” yang berarti umum, masyarakat
atau orang banyak. Frederickson (1997) dalam kaitan ini menjelaskan konsep
publik dalam 5 (lima) perspektif, yaitu:
1) Publik sebagai kelompok kepentingan, yaitu publik dilihat sebagai
manifestasi dari interaksi kelompok yang melahirkan kepentingan
masyarakat;
2) Publik sebagai pemilih yang rasional, yaitu masyarakat terdiri atas
individu-individu yang berusaha memenuhi kebutuhan dan kepentingan
sendiri;
3) Publik sebagai perwakilan kepentingan masyarakat, yaitu kepentingan
publik diwakili melalui suara;
4) Publik sebagai konsumen, yaitu konsumen yang sebenarnya tidak terdiri
dari individu-individu yang tidak berhubungan satu sama lain, namun
dalam jumlah yang cukup besar mereka menimbulkan tuntutan pelayanan
birokrasi, sehingga posisinya juga dianggap sebagai publik;
5) Publik sebagai warga Negara, yaitu warga Negara dianggap sebagai publik
karena partisipasi masyarakat dalam seluruh proses penyelenggaraan
pemerintahan dipandang sebagai sesuatu yang paling penting.
Dalam kaitan dengan pelayanan, adapun yang dimaksud dengan pelayanan
publik menurut Moenir (2001) adalah “Aktivitas yang dilakukan seseorang atau
sebuah badan untuk memenuhi kebutuhan hidup warga masyarakat berupa barang
49
atau jasa”. Pelayanan Publik menurut Roth (2010 ) adalah “Pelayanan Publik
didefinisikan sebagai layanan yang tersedia untuk masyarakat baik secara umum
(seperti di museum) atau secara khusus (seperti di restoran makan). Lewis dan
Gilman (2005) lebih lanjut mendefinisikan pelayanan publik sebagai berikut :
Pelayanan Publik adalah kepercayaan publik. Warga negara berharap
pelayanan publik dapat melayani dengan kejujuran dan pengelolaan sumber
penghasilan dengan tepat, dan dapat dipertanggungjawabkan terhadap publik.
Pelayanan publik yang adil dan dapat dipertanggungjawabkan menghasilkan
kepercayaan publik. Dibutuhkan etika pelayanan publik sebagai pilar dan
kepercayaan publik sebagai dasar untuk mewujudkan pemerintahan yang baik.
Sementara itu Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik menetapkan konsep pelayanan publik adalah "Kegiatan
atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk
atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik". Konsep ini sejalan dengan Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan yang menyebutkan bahwa pelayanan umum
adalah "segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi Pemerintah di
Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha
Milik Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya
pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan". Oleh karena itu, pelayanan publik atau
pelayanan umum dapat disimak sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam
bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung
jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di
50
lingkungan BUMN dan BUMD dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat
maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b) Konsep Pelayanan oleh Pemerintah
Produk dari organisasi pemerintah adalah pelayanan kepada masyarakat.
Pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah dapat bersifat primer dan
sekunder. Pelayanan bersifat primer yang diselenggarakan oleh pemerintah berupa
semua penyediaan barang/jasa publik yang didalamnya pemerintah merupakan
satu-satunya penyelenggara sehingga pihak pengguna/klien mau tidak mau harus
memanfaatkannya. Contoh pelayanan bersifat primer adalah pelayanan kantor
imigrasi, pelayanan penjara, dan pelayanan perizinan. Sedangkan pelayanan
bersifat sekunder yang diselenggarakan oleh pemerintah berupa segala bentuk
penyediaan barang/jasa publik tetapi yang didalamnya pengguna/klien tidak harus
mempergunakannya karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan lain,
misalnya program asuransi tenaga kerja, program pendidikan, dan pelayanan yang
diberikan oleh BUMN.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pelayanan memiliki tiga makna:
(1) perihal atau cara melayani; (2) usaha melayani kebutuhan orang lain dengan
memperoleh imbalan (uang); (3) kemudahan yang diberikan sehubungan dengan
jual beli barang atau jasa. Mengenai hakikat pelayanan, Moenir (2001)
mengemukakan sebagai “serangkaian kegiatan, karena itu merupakan proses,
sebagai proses pelayanan berlangsung secara rutin dan berkesinambungan
meliputi seluruh kehidupan dalam masyarakat”. Ratminto (2005) dengan
mengutip pendapatnya Gronroos mengemukakan “Pelayanan adalah suatu
51
aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat
diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan
karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh organisasi pemberi layanan yang
dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen atau pelanggan”.
Ratminto (2005) lebih lanjut mengartikan pelayanan sebagai "suatu aktivitas atau
serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang
terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau
hal-hal lain yang disediakan. Pelayanan merupakan produk-produk yang tidak
kasat mata (tidak dapat diraba) yang melibatkan usaha-usaha manusia dan
menggunakan peralatan.
Dipandang dari sudut ekonomi, pelayanan merupakan salah satu alat
pemuas kebutuhan manusia sebagaimana halnya dengan barang. Namun
demikian, pelayanan memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan
barang. Salah satu aspek yang membedakannya dengan barang, sebagaimana
dikemukakan oleh Gasperz (1994), adalah output-nya yang tidak berbentuk
(intangible output), tidak standar, serta tidak dapat disimpan dalam inventori
melainkan langsung dapat dikonsumsi pada saat produksi. Gasperz (1994) secara
jelas telah membedakan pelayanan dengan barang, meskipun sebenarnya
keduanya merupakan alat pemuas kebutuhan. Sebagai suatu produk yang
intangible, pelayanan memiliki dimensi yang berbeda dengan barang yang bersifat
tangible. Produk akhir pelayanan tidak memiliki karakteristik fisik sebagaimana
yang dimiliki oleh barang. Produk akhir pelayanan sangat tergantung dari proses
interaksi yang terjadi antara layanan dengan konsumen.
52
Mengenai karakteristik dari pelayanan menurut Ratminto dan Winarsih
(2005) diinventarisir kedalam 7 (tujuh) aspek, yakni :
1) Konsumen memiliki kenangan. Pengalaman atau memori tersebut tidak
dapat dijual atau diberikan kepada orang lain.
2) Tujuan penyelenggaraan pelayanan adalah keunikan. Setiap konsumen dan
setiap kontak adalah spesial.
3) Suatu pelayanan terjadi saat tertentu. Hal ini tidak dapat disimpan di gudang
atau dikirimkan contoh-contohnya.
4) Konsumen adalah rekanan yang terlibat dalam proses produksi.
5) Konsumen melakukan kontrol kualitas dengan cara membandingkan
harapannya dengan pengalamannya.
6) Jika terjadi kesalahan, satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk
memperbaiki adalah meminta maaf.
7) Moral karyawan berperan sangat menentukan.
Ratminto dan Winarsih (2006) dengan mendasarkan pada organ yang
menyelenggarakannya, membedakan adanya 2 (dua) jenis pelayanan kepada
masyarakat sebagai berikut :
a) Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh
organisasi publik.
b) Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh
organisasi privat, baik yang bersifat primer maupun sekunder.
53
Untuk membedakan karakteristik jenis-jenis pelayanan tersebut, Ratminto dan
Winarsih menggunakan 5 (lima) aspek sebagai pembedanya. Adapun kelima
aspek yang dimaksudkan, yakni :
1) Adaptabilitas, yaitu derajat perubahan layanan sesuai dengan tuntutan
perubahan yang diminta oleh pengguna.
2) Posisi tawar pengguna/klien, yaitu bahwa semakin tinggi posisi tawar
pengguna/klien, maka akan semakin tinggi pula peluang pengguna untuk
meminta pelayanan yang lebih baik.
3) Tipe pasar, yaitu jumlah penyelenggara pelayanan yang ada dan
hubungannya dengan pengguna/klien.
4) Lokus kontrol, yaitu menjelaskan siapa yang memegang kontrol atas
transaksi, apakah pengguna ataukah penyelenggara pelayanan.
5) Sifat pelayanan, yaitu kepentingan pengguna atau penyelenggara yang lebih
dominan.
Pelayanan merupakan kegiatan suatu organisasi yang ditujukan untuk
konsumen atau masyarakat umum dalam bentuk jasa untuk memenuhi kebutuhan
pelanggan. Pelayanan juga bersifat tidak nyata (intangible) dan tidak tahan lama,
sehingga pelanggan tidak dapat menyimpan jasa bersangkutan setelah dihasilkan,
meskipun efeknya dapat disimpan terus oleh pelanggan. Oleh karena itu,
pelayanan berkaitan dengan aktivitas-aktivitas yang bersifat tidak nyata yang
diberikan oleh suatu organisasi untuk memenuhi kebutuhan pengguna pelayanan
itu sendiri dan pengguna pelayanan bersangkutan memiliki peran cukup besar
untuk menentukan apakah pelayanan tersebut berkualitas atau tidak.
54
Pelayanan yang diberikan dan/atau disediakan pihak pemerintah maupun
pihak swasta pada hakikatnya untuk memenuhi hak-hak masyarakat. Para
pengamat menilai bahwa sampai saat ini pelayanan di sektor swasta lebih baik
dibandingkan dengan pelayanan yang diselenggarakan di sektor publik, sehingga
konsep-konsep pelayanan yang dikembangkan pada sektor swasta banyak
diadopsi untuk dikembangkan dalam pelayanan sektor publik. Selanjutnya
menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/
M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan, pelayanan kepada
masyarakat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yakni :
1) Kelompok pelayanan administratif, yaitu pelayanan yang menghasilkan
berbagai dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, seperti misalnya
status kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan
terhadap suatu barang dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara lain
KTP, Akte Pernikahan, Akte Kelahiran, Akte Kematian, BPKB, SIM,
STNK, IMB, dan lain sebagainya.
2) Kelompok pelayanan barang, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai
bentuk/jenis barang yang digunakan oleh masyarakat atau publik, misalnya
jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih, jaringan gas, dan lain
sebagainya.
3) Kelompok pelayanan jasa, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai
bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya pendidikan,
pemeliharaan kesehatan, pos, penyelenggaraan transportasi, dan lain-lain.
55
c) Manajemen Pelayanan Publik
Esensi pelayanan publik adalah usaha untuk memenuhi kebutuhan orang
lain sehingga orang tersebut merasa puas. Puas atau satisfaction dalam bahasa
latin terdiri dari kata satis (cukup) dan facere (melakukan/membuat sesuatu).
Dengan demikian, melayani berarti memberikan sesuatu yang ”memuaskan” dari
produk barang atau jasa yang sanggup membuat kriteria ”cukup”, meskipun
kecukupan bagi satu orang dengan orang lainnya tentu tidaklah sama. Pemerintah
dibentuk pada hakekatnya untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi
yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan
dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998). Pelayanan
publik (public services) oleh birokrasi publik menjadi salah satu perwujudan dari
fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat disamping sebagai abdi negara.
Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk
mensejahterakan masyarakat (warga negara) dari suatu negara kesejahteraan
(welfare state) seperti yang telah kita sepakati sebagaimana tertuang dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 1945.
Mengenai pihak yang dilayani aparatur pemerintahan adalah publik, yang
terdiri dari beragam orang. Sementara itu, birokrasi publik berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk memberikan layanan yang berkualitas secara
profesional. Dalam hal ini, lembaga pemerintah harus menyediakan orang-orang
yang memang mumpuni dalam ikhwal melayani kebutuhan publik. Pelayanan
publik yang berkualitas menyangkut kapabilitas organisasi dalam melayani
masyarakat, karena itu perlu dikelola dengan baik melalui manajemen pelayanan
56
yang exellent. Manajemen pelayanan seperti dikemukakan oleh Albrecht (1986)
merupakan pendekatan totalitas organisasi untuk meningkatkan mutu pelayanan
seperti yang diharapkan para konsumen. Sedangkan Gronroos (1990) menyatakan
bahwa manajemen pelayanan bertujuan untuk hal-hal sebagai berikut:
a) Memahami nilai kegunaan pelanggan dengan mengkonsumsi atau
menggunakan produk atau jasa yang ditawarkan oleh organisasi dan
bagaimana pelayanan atau produk termasuk aspek-aspek fisik dari
pelayanan atau produk tersebut berkontribusi terhadap nilai kegunaan
tersebut, serta bagaimana kualitas dipersepsikan dalam hubungannya dengan
pelanggan dan bagaimana perubahan kualitas tersebut.
b) Memahami bagaimana organisasi termasuk didalamnya sumber daya
manusia, teknologi, sumber-sumber daya, sistem, dan kebiasaan-kebiasaan
dapat menghasilkan serta memberikan nilai kegunaan atau kualitas
pelayanan.
c) Memahami bagaimana organisasi harus dikembangkan dan dikelola
sehingga nilai kegunaan atau kualitas dapat tercapai.
d) Melaksanakan fungsi-fungsi organisasi sehingga nilai kegunaan pelayanan
atau kualitas dapat tercapai dan tujuan-tujuan dari mereka yang terlibat
dalam pelayanan tersebut dapat tercapai.
Sementara itu Lovelock (1992) mengemukakan manajemen pelayanan
memiliki 4 (empat) fungsi utama, yaitu :
1) memahami persepsi masyarakat yang senantiasa berubah tentang nilai dan
kualias jasa atau produk;
57
2) memahami kemampuan sumber daya dalam menyediakan pelayanan;
3) memahami arah pengembangan lembaga pelayanan agar nilai dan kualitas
yang diinginkan masyarakat terwujud;
4) memahami fungsi lembaga pelayanan agar nilai dan kualitas jasa/produk
terwujud dan kebutuhan setiap stakeholder tercapai.
d) Asas-asas Pelayanan Pubik
Pelayanan merupakan salah satu ujung tombak dari upaya pemuasan
pelanggan dan sudah merupakan keharusan yang wajib dioptimalkan baik oleh
individu maupun organisasi, karena dari bentuk pelayanan yang diberikan
tercermin kualitas individu atau organisasi yang memberikan pelayanan.
Pelayanan jika dihubungkan dengan administrasi publik dapat didefinisikan
sebagai kualitas pelayanan birokrat kepada masyarakat. Melayani adalah meladeni
atau membantu mengurus keperluan atau kebutuhan seseorang sejak diajukan
permintaan sampai penyampaian atau penyerahannya. Menurut The Liang Gie
(1985), pelayanan bagi masyarakat atau kegiatan dari suatu organisasi pada
dasarnya dilakukan untuk mengamalkan dan mengabdikan diri kepada
masyarakat. Hal itu menunjukkan pelayanan berkaitan dengan cara melayani,
membantu menyiapkan, mengurus, menyelesaikan keperluan, kebutuhan
seseorang atau sekelompok orang. Adapun objek yang dilayani adalah masyarakat
yang terdiri dari individu, golongan, dan organisasi (sekelompok organisasi).
Kegiatan pelayanan dalam suatu organisasi memiliki peran penting dan
strategis, terutama bagi organisasi yang berorientasi pada pelayanan jasa. Hal itu
tercermin pada pengertian pelayanan yang dikemukakan oleh Moenir (2000)
58
bahwa “Pelayanan adalah setiap kegiatan oleh pihak lain yang ditujukan untuk
memenuhi kepentingan orang banyak, pelayanan ini sifatnya selalu kolektif, sebab
pelayanan kepentingan itu masih termasuk dalam rangka pemenuhan hak dan
kebutuhan bersama yang telah diatur termasuk dalam pengertian pelayanan”.
Sementara itu berkaitan dengan pelayanan publik, Sinambela (2008) memberikan
pengertian sebagai “Setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap
sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam
suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya
tidak terikat pada suatu produk secara fisik”.
Nugroho (2003) mengemukakan tugas dalam pelayanan publik adalah
memberikan pelayanan kepada umum tanpa membeda-bedakan dan diberikan
secara cuma-cuma atau dengan biaya sedemikian rupa sehingga kelompok paling
tidak mampu menjangkaunya. Untuk dapat memberikan pelayanan yang
memuaskan bagi pengguna jasa, penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi
asas–asas pelayanan. Berdasarkan Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2003,
adapun asas–asas yang dikembangkan dalam pelayanan publik adalah :
1) Transparansi dalam makna bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh
semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta
mudah dimengerti.
2) Akuntabilitas dalam makna dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang–undangan.
59
3) Kondisional dalam makna sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi
dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada efisiensi dan
efektifitas.
4) Partisipatif dalam makna dapat mendorong peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi,
kebutuhan dan harapan masyarakat.
5) Kesamaan hak dalam makna tidak diskriminatif, tidak membedakan suku,
ras, agama, gender, dan status ekonomi.
6) Keseimbangan hak dan kewajiban dalam makna pemberi dan penerima
pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing–masing
pihak.
Dengan demikian, pelayanan publik dapat diartikan sebagai kegiatan pelayanan
yang dilakukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak
dasar setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan atas
pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan yang
terkait dengan kepentingan publik.
Dalam lembaga pemerintahan telah ditetapkan standar minimal dari
sebuah pelayanan publik, seperti terkait prosedur pelayanan, persyaratan
pelayanan, kejelasan petugas pelayanan, kedisiplinan petugas, tanggung jawab
petugas, kemampuan petugas, kecepatan pelayanan, dan keadilan mendapat
pelayanan. Standar apapun yang ditetapkan, maka kunci penting dalam pelayanan
adalah diorientasikan pada kebutuhan klien/publik. Namun demikian, lembaga
pemerintahan seringkali ”diikat” oleh seperangkat aturan yang ketat, sehingga
60
kurang memberikan ruang kreasi dan inovasi bagi aparatur. Kondisi itu berbeda
dengan pengalaman dalam dunia swasta/non-pemerintahan yang memiliki
keleluasaan dalam mengkreasi sistem pelayanan. Dalam konteks yang dilingkupi
aturan ketat dan dengan tuntutan publik memang harus diakui tak mudah bagi
aparatur melaksanakan tugas pelayanan kepada publik. Tetapi apapun alasannya,
pelayanan publik yang baik dan berkualitas menjadi sesuatu yang harus dilakukan,
karena memang sudah disuratkan dalam peraturan yang mengikat. Pelayanan baik
harus dilaksanakan, karena memang aparatur diangkat dengan tugas untuk
melayani (pamong). Oleh karena itu, paradigma berpikir aparat pemerintah
menjadi ”kunci” penting untuk mempercepat terwujudnya kinerja pelayanan yang
baik atau prima dalam meningkatkan kualitas pelayanan untuk dapat memuaskan
masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab abdi Negara.
e) Standar Pelayanan Publik
Dalam upaya mencapai pelayanan yang kualitas, diperlukan penyusunan
standar pelayanan publik yang menjadi tolok ukurnya. Penetapan standar
pelayanan publik merupakan fenomena yang berlaku baik di negara maju maupun
di negara berkembang. Di Amerika Serikat, misalnya ditandai dengan
dikeluarkannya executive order 12863 pada era pemerintahan Clinton yang
mengharuskan semua instansi pemerintah untuk menetapkan standar pelayanan
konsumen (Flynn, 1990). Isi dari executive order berkaitan dengan “Identify
customer who are, or should be, served by the agency, survey the customers to
determine the kind and quality of service they want and their level of satisfaction
with existing service, post service standards and measure result against the best
61
bussiness, provide the customers with choice in both sources of services, and
complaint system easily accesible, and provide means to address customer
complaints.” Dalam hal ini ada upaya melakukan identifikasi pelanggan yang
(harus) dilayani oleh instansi, mensurvei pelanggan untuk menentukan jenis dan
kualitas pelayanan yang mereka inginkan dan untuk menentukan tingkat kepuasan
pelanggan dengan pelayanan yang sedang berjalan, termasuk standar pelayanan
pos serta mengukur hasil dengan yang terbaik, menyediakan berbagai pilihan
sumbersumber pelayanan kepada pelanggan dan sistem pengaduan yang mudah
diakses, serta menyediakan sarana untuk menampung dan menyelesaikan keluhan/
pengaduan.
Di Inggris diperkenalkan adanya program Service First the New Charter
Programme, yang berisi 9 (sembilan) prinsip penyediaan pelayanan publik
sebegai penjabaran visi pemerintah untuk dilaksanakan oleh setiap pegawai
negeri. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1) Menentukan standar pelayanan;
2) Bersikap terbuka dan menyediakan informasi selengkaplengkapnya;
3) Berkonsultasi dan terlibat;
4) Mendorong akses dan pilihan;
5) Memperlakukan semua secara adil;
6) Mengembalikan ke jalan yang benar ketika terjadi kesalahan;
7) Memanfaatkan sumber daya secara efektif;
8) Inovatif dan memperbaiki;
9) Bekerjasama dengan penyedia layanan lainnya.
62
Di Indonesia upaya untuk menetapkan standar pelayanan publik dalam
kerangka peningkatan kualitas pelayanan publik sebenarnya telah lama dilakukan.
Upaya tersebut antara lain ditunjukkan dengan terbitnya berbagai kebijakan
pemerintah, seperti:
1) Instruksi Presiden No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan
dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha;
2) Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan
Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat;
3) Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 Tahun
1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum;
4) Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63/KEP
/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan
Publik;
5) Surat Edaran Menko Wasbangpan No. 56/Wasbangpan/6/98 tentang
Langkah-langkah Nyata Memperbaiki Pelayanan Masyarakat;
6) Surat Edaran Depdagri No. 100/757/OTDA tahun 2002 tentang
Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimum.
Manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya standar pelayanan (LAN, 2003)
antara lain adalah:
1) Memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa mereka mendapat
pelayanan dalam kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan, memberikan
fokus pelayanan kepada pelanggan/masyarakat, menjadi alat komunikasi
antara pelanggan dengan penyedia pelayanan dalam upaya meningkatkan
63
pelayanan, menjadi alat untuk mengukur kinerja pelayanan serta menjadi
alat monitoring dan evaluasi kinerja pelayanan;
2) Melakukan perbaikan kinerja pelayanan publik. Perbaikan kinerja
pelayanan publik wajib dilakukan karena dalam kehidupan bernegara
pelayanan publik menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Hal ini
disebabkan tugas dan fungsi utama pemerintah adalah memberikan dan
memfasilitasi berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat
mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan ataupun pelayanan-
pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam
bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas, sosial, dan lain sebagainya.
3) Meningkatkan mutu pelayanan. Adanya standar pelayanan dapat
membantu unit-unit penyedia jasa pelayanan untuk memberikan pelayanan
yang terbaik bagi masyarakat pelanggannya. Dalam standar pelayanan ini
dapat terlihat dengan jelas dasar hukum, persyaratan pelayanan, prosedur
pelayanan, waktu pelayanan, biaya serta proses pengaduan, sehingga
petugas pelayanan memahami apa yang seharusnya mereka lakukan dalam
memberikan pelayanan. Masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan juga
dapat mengetahui dengan pasti hak dan kewajiban apa yang harus mereka
dapatkan dan lakukan untuk mendapatkan suatu jasa pelayanan. Standar
pelayanan juga dapat membantu meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas kinerja suatu unit pelayanan. Dengan demikian, masyarakat
dapat terbantu dalam membuat suatu pengaduan ataupun tuntutan apabila
64
tidak mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan.
Namun demikian, sejauh ini standar pelayanan publik sebagaimana yang
dimaksud masih lebih banyak berada pada tingkat konseptual, sedangkan
implementasinya masih jauh dari harapan. Hal ini terbukti dari belum optimalnya
kualitas pelayanan yang diberikan oleh berbagai instansi pemerintah sebagai
penyelenggara layanan publik.
f) Etika Pelayanan
Solomon (2007) menjelaskan bahwa etika mencakup dua hal. Pertama,
etika sebagai disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai yang dianut oleh manusia
beserta pembenarannya dan kedua, etika sebagai nilai-nilai hidup dan hukum-
hukum yang mengatur tingkah laku manusia. Bertends (2002) menyimpulkan
bahwa etika meliputi (1) nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya,
(2) kumpulan asas atau nilai moral yang dikenal dengan kode etik, (3) ilmu
tentang baik dan buruk atau yang disebut dengan filsafat moral. Kedua pemikiran
tersebut mengemukakan dua substansi yang berbeda yaitu dari sudut pandang
keilmuan dan praktik. Sudut pandang keilmuan mengemukakan etika sebagai
cabang ilmu, sedangkan dari sisi praktis etika merupakan nilai yang dijadikan
pedoman untuk mengatur tingkah laku manusia dalam ruang kehidupannya.
Menurut Denhardt (2003) etika pelayanan publik diartikan sebagai filsafat
dan professional standar (kode etik) atau moral atau right rules of conduct (aturan
berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik.
65
Definisi Denhardt tersebut menekankan etika pelayanan publik sebagai kode etik.
Selain itu etika pelayanan publik adalah suatu cara dalam melayani publik dengan
menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum
atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik. Dengan
kata lain, etika pelayanan publik merupakan penggunaan nilai-nilai luhur oleh
seorang aparatur dalam memberikan pelayanan publik.
Mengenai etika yang diharapkan dapat dimiliki oleh aparatur dalam rangka
melayani publik adalah bersikap adil dan tidak diskriminatif, cermat, santun dan
ramah, tidak mempersulit, serta mempunyai komitmen untuk menghargai hak-hak
yang dimiliki publik. Sejalan dengan itu, Putra Fadillah (2001) mengemukakan
etika pelayanan publik sebagai suatu cara dalam melayani publik dengan
menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum
atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik. Oleh sebab
itu maka etika mempersoalkan “baik-buruk” dan bukan “benar-salah” tentang
sikap, tindakan dan perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya, baik
dalam masyarakat maupun organisasi publik, maka etika mempunyai peran
penting dalam praktek administrasi publik. Etika dalam penyelenggaraan
pelayanan publik dapat dilihat dari sudut apakah seorang aparatur dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat merasa mempunyai komitmen untuk
menghargai hak-hak dari konsumen untuk mendapatkan pelayanan secara
transparan, efisien dan adanya jaminan kepastian pelayanan. Perilaku aparatur
yang memiliki etika dapat tercermin pada sikap sopan santun dan keramahan
dalam menghadapi masyarakat pengguna jasa. Etika juga mengandung unsur
66
moral, sedangkan moral tersebut memiliki ciri rasional, objektif, tanpa pamrih dan
netral. Aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada publik sudah
sepantasnya untuk tidak melakukan berbagai bentuk tindakan diskriminatif yang
merugikan pengguna jasa.
g) Tujuan Pelayanan Publik
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan
Peningkatan Mutu Pelayanan, menyatakan bahwa tujuan dari pelayanan umum
atau publik adalah :
1) Meningkatkan mutu produktivitas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi
pemerintah di bidang pelayanan umum.
2) Mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayanan,
sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara berdaya guna dan
berhasil guna.
3) Mendorong tumbuhnya kreativitas, prakarsa dan peran serta masyarakat
dalam pembangunan serta dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
luas.
Oleh karena itu dalam pelayanan publik harus mengandung unsur-unsur dasar
sebagai berikut :
1) Hak dan kewajiban bagi pemberi maupun pelayanan umum harus jelas dan
diketahui secara pasti oleh masing-masing pihak.
2) Pengaturan setiap bentuk pelayanan umum harus disesuaikan dengan
kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar
67
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap
berpegang teguh pada efisiensi dan efektivitas.
3) Kualitas proses dan hasil pelayanan umum harus diupayakan agar dapat
memberi keamanan, kenyamanan, kepastian hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.
4) Apabila pelayanan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah terpaksa
harus mahal, maka instansi pemerintah yang bersangkutan berkewajiban
memberi peluang kepada masyarakat untuk ikut menyelenggarakannya.
Valarie A. Zeithaml (1990) lebih lanjut menyatakan ada 4 (empat) jurang pemisah
yang menjadi kendala dalam pelayanan publik. Keempat hal tersebut adalah:
1) Tidak tahu apa yang sebenarnya diharapkan oleh masyarakat.
2) Pemberian ukuran yang salah dalam pelayanan masyarakat.
3) Keliru penampilan diri dalam pelayanan publik itu sendiri.
4) Ketika membuat perjanjian terlalu berlebihan atau pengobralan.
Ketidaktahuan dan/atau ketidakpedulian pemerintah akan kendala tersebut
dapat menyebabkan timbulnya jurang pemisah antara masyarakat dengan
pemerintahnya, melalui sikap apatis, menolak berurusan, bersikap dingin,
memandang rendah, bekerja bagaikan robot, terlalu ketat pada prosedur, seringnya
melempar urusan kepada pihak lain. Sementara itu, ada beberapa faktor yang
dapat menjadi penyebab buruknya kualitas pelayanan publik oleh pemerintah.
Beberapa faktor yang dimaksudkan adalah :
a) Produk hukum yang tidak tegas dan sinkron;
b) Gaji aparat yang rendah;
68
c) Sikap mental aparat pemerintah;
d) Kondisi ekonomi buruk pada umumnya.
Pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat
sebenarnya merupakan implikasi dari fungsi aparatur negara sebagai pelayan
masyarakat. Oleh karena itu, kedudukan aparatur pemerintah dalam pelayanan
publik (public services) sangat strategis karena akan sangat menentukan
sejauhmana pemerintah mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi
masyarakat. Dengan kata lain, akan menentukan juga sejauhmana pemerintah
daerah telah menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan tujuan dibentuknya
pemerintah.
Pelayanan publik agar mendahulukan kepentingan umum, mempermudah
urusan publik, mempersingkat waktu pelaksanaan urusan publik dan memberikan
kepuasan kepada publik atau umum. Sejalan dengan itu, Moenir (1992)
mengemukakan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem,
prosedur, dan metode tertentu dalam usaha memenuhi kepentingan orang lain
sesuai dengan haknya. Dalam versi pemerintah, definisi pelayanan publik
dikemukakan dalam Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor 81 Tahun 1993, yaitu segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh
instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan BUMN atau BUMD
dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan
kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam buku Delivering Quality Services (Zeithaml, Valarie
69
A.,1990), dibahas tentang bagaimana tanggapan dan harapan masyarakat
pelanggan terhadap pelayanan yang mereka terima, baik berupa barang maupun
jasa. Dalam hal ini memang yang menjadi tujuan pelayanan publik pada
umumnya adalah bagaimana mempersiapkan pelayanan publik tersebut yang
dikehendaki atau dibutuhkan oleh publik serta bagaimana menyatakan dengan
tepat kepada publik mengenai pilihan dan cara mengaksesnya yang direncanakan
dan disediakan oleh pemerintah. Untuk tujuan tersebut, maka secara lebih dirinci
pelayanan publik dikaitkan dengan hal-hal :
1) Menentukan pelayanan publik yang disediakan, apa saja macamnya.
2) Memperlakukan pengguna pelayanan, sebagai customers.
3) Berusaha memuaskan pengguna pelayanan sesuai dengan keinginan mereka.
4) Mencari cara penyampaian pelayanan yang paling baik dan berkualitas.
5) Menyediakan cara-cara, bila pengguna pelayanan tidak ada pilihan lain.
h) Kinerja Pelayanan Publik
Secara teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh
pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayanan masyarakat
(public service function), fungsi pembangunan (development function) dan fungsi
perlindungan (protection function). Hal yang terpenting kemudian adalah sejauh
mana pemerintah dapat mengelola fungsi-fungsi tersebut agar dapat menghasilkan
barang dan jasa (pelayanan) yang ekonomis, efektif, efisien dan akuntabel kepada
seluruh masyarakat yang membutuhkannya.
Sementara itu, konsep kinerja pada dasarnya merupakan perubahan atau
pergeseran paradigma dari konsep produktivitas untuk menyatakan kemampuan
70
seseorang atau organisasi dalam mencapai tujuan atau sasaran tertentu. Kinerja
merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan
strategis organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada
ekonomi (Armstrong dan Baron, 1998). Dengan demikian, kinerja adalah tentang
melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja
adalah tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya.
Menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2000) “Kinerja (prestasi kerja) adalah hasil
kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya”. Istilah kinerja merupakan terjemahan dari performance yang sering
diartikan sebagai penampilan, unjuk kerja atau prestasi. Dengan demikian, kinerja
berkaitan dengan pelayanan publik atau hasil kerja yang dapat dicapai seseorang
atau kelompok orang dalam suatu organisasi kepada masyarakat, sesuai dengan
wewenang dan tanggungjawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan
organisasi, tidak melanggar hukum, serta sesuai dengan moral dan etika.
Pelayanan publik yang profesional berkaitan dengan pelayanan publik
yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan
(aparatur pemerintah). Adapun ciri dari pelayanan publik yang profesional adalah:
1) Efektif, lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan
sasaran.
2) Sederhana, mengandung arti bahwa prosedur atau tata cara pelayanan
diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah
71
dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta
pelayanan.
3) Kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung arti adanya kejelasan
dan kepastian mengenai prosedur/tata cara pelayanan, persyaratan pelayanan
(baik persyaratan teknis dan administratif), unit kerja atau pejabat yang
berwenang dan bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan, rincian
biaya pelayanan dan tata cara pembayarannya, serta jadwal waktu
penyelesaian pelayanan.
4) Keterbukaan, mengandung arti prosedur atau tata cara persyaratan, satuan
kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian,
rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses
pelayanan yang wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui
dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.
5) Efisiensi, mengandung arti persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-
hal berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap
memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan
yang berkaitan. Untuk efisiensi, juga perlu dicegah adanya pengulangan
pemenuhan persyaratan dan dalam hal proses pelayanan masyarakat yang
bersangkutan tidak perlu mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan
dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
6) Ketepatan waktu, mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat
diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
72
7) Responsif, lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa
yang menjadi masalah, kebutuhan, dan aspirasi masyarakat yang dilayani.
8) Adaptif, mengandung arti cepat menyesuaikan terhadap tuntutan, keinginan,
dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa berkembang.
Dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis, maka birokrasi publik juga
dituntut harus dapat mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan
pelayanan publik sesuai ciri profesional diatas. Dari yang suka mengatur dan
memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan
pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang
fleksibel kolaboratis dan dialogis, serta dari cara-cara yang sloganis menuju cara-
cara kerja yang realistik pragmatis. Dengan revitalisasi birokrasi publik (terutama
aparatur pemerintah daerah) ini, pelayanan publik yang lebih baik dan profesional
dalam menjalankan apa yang menjadi tugas dan kewenangan yang diberikan
kepadanya dapat terwujud.
i) Kualitas Pelayanan Publik
Secara konseptual, istilah kualitas menurut Gaspersz (2005) memiliki
banyak pengertian. Menurutnya secara konvensional, kualitas diartikan sebagai
gambaran karakteristik langsung dari suatu produk seperti "performasi
(performance), keandalan (reliability), mudah dalam penggunaan (ease of use),
estetika (esthetics). Sedangkan dalam pengertian secara strategik, kualitas
diartikan sebagai segala sesutu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan
pelanggan (meeting the needs of customers). International Standard Organization
(ISO) 8402. Hal itu menunjukkan kualitas sebagai "totalitas dari karakteristik
73
suatu produk yang menunjang kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang
dispesifikasikan atau ditetapkan" Gaspersz (2005). Disamping itu, kualitas
kadang-kadang didefinisikan pula sebagai kemampuan untuk memenuhi
persyaratan-persyaratan kebutuhan atau harapan yang ditetapkan secara langsung
atau tidak langsung oleh organisasi atau perorangan yang menerima suatu produk
(pelanggan) berdasarkan karakteristik yang dimiliki oleh suatu produk. Wyckoff
(1978), menyatakan bahwa "Quality is the degree of excellence intended, and the
controll of variability in achieving that excellence, in meeting the customer's
requirements.". Dengan kata lain, kualitas berkaitan dengan tingkat keprimaan
yang diinginkan dan pengawasan terhadap berbagai variabel dalam pemenuhan
apa yang diinginkan pelanggan. Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang
berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang
memenuhi atau melebihi harapan. Kata kualitas sendiri mengandung banyak
pengertian. Mengenai beberapa contoh pengertian kualitas adalah sebagai berikut:
1) Kesesuaian dengan persyaratan.
2) Kecocokan untuk pemakaian.
3) Perbaikan berkelanjutan.
4) Bebas dari kerusakan/cacat.
5) Pemenuhan kebutuhan pelangggan sejak awal dan setiap saat.
6) Melakukan segala sesuatu secara benar.
7) Sesuatu yang dapat membahagiakan pelanggan.
Kualitas pelayanan merupakan komponen penting yang harus diperhatikan
dalam pelayanan publik. Kualitas pelayanan dapat diketahui dengan cara
74
membandingkan persepsi para pelanggan (masyarakat) atas pelayanan yang
sesungguhnya mereka inginkan. Apabila pelayanan dalam prakteknya yang
diterima oleh masyarakat sama dengan harapan atau keinginan mereka, maka
pelanggan tersebut mengatakan sudah memuaskan. Pertanyaan lebih lanjut terkait
hal di atas adalah ciri-ciri atau atribut-atribut apa yang ikut menentukan kualitas
pelayanan publik tersebut. Ciri-ciri atau atribut-atribut tersebut antara lain :
a) Ketepatan waktu pelayanan, yang meliputi waktu tunggu dan waktu proses.
b) Akurasi pelayanan, yang meliputi bebas dari kesalahan.
c) Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan.
d) Kemudahan mendapatkan pelayanan, misalnya banyaknya petugas yang
melayani dan banyaknya fasilitas pendukung seperti komputer.
e) Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan, berkaitan dengan lokasi, ruang
tempat pelayanan, tempat parkir, ketersediaan informasi dan lain-lain.
f) Atribut pendukung pelayanan lainnya seperti ruang tunggu ber-AC, dan
kebersihan.
Perumusan kualitas pelayanan sangat penting dalam hubungannya dengan
penyusunan rancangan kualitas (quality design) yang diinginkan, kesesuaian
kualitas atau minimalisasi kesenjangan dari yang dirancang (confirmity quality),
dan kesesuaiannya dengan rancangan kualitas sehingga layanan sesuai dengan
yang diinginkan konsumen. Goetsch dan Davis (2002) mendefinisikan kualitas
pelayanan sebagai sesuatu kondisi yang dinamis, yang berhubungan dengan
jasa/produk, dan manusia serta proses dan lingkungan yang memenuhi atau
melebihi harapan. Dari sisi produk, kualitas dapat diartikan sebagai fungsi yang
75
spesifik dengan variabel pengukuran yang berbeda-beda sesuai dengan
karakteristik produk tersebut. Dari sisi pengguna, kualitas merupakan sesuatu
yang diinginkannya. Dari sisi nilai, maka kualitas pelayanan adalah keterkaitan
antara kegunaan atau kepuasan dengan harga. Pemahaman dimensi-dimensi
kualitas tersebut dibutuhkan suatu unit pelayanan untuk melakukan penilaian atau
pengukuran kualitas pelayanan itu sendiri. Penentuan dimensi-dimensi kualitas
pelayanan yang akan ditetapkan pada suatu unit pelayanan pada umumnya
ditentukan oleh jenis pelayanan yang diberikan suatu unit pelayanan.
Dalam praktek, lamanya pemberian pelayanan kepada masyarakat sebagai
pengguna sering dikemukakan karena kendala internal dan eksternal. Kendala
internal berkaitan dengan peralatan pendukung yang tidak memadai, kualitas
SDM rendah, dan lemahnya koordinasi antar unit. Sarana dan prasarana yang
tidak memadai yang dimiliki suatu instansi, sering menjadi penghambat
pemberian pelayanan kepada pengguna jasa. Selain itu, faktor kualitas SDM yang
relatif rendah semakin menghambat pemberian pelayanan kepada masyarakat.
Kualitas SDM yang rendah tersebut ditandai dengan ketidakmampuan petugas
memberikan solusi kepada pelanggan.
Kualitas suatu produk baik berupa barang maupun jasa ditentukan melalui
berbagai dimensinya. Beberapa pakar pemasaran seperti Parasurama, Zeithalm
dan Berry melakukan penelitian khusus terhadap beberapa jenis industri jasa dan
mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi kualitas jasa yang disebut sebagai
dimensi kualitas.
76
Sementara itu, mengenai kualitas pelayanan perizinan juga didefinisikan
sebagai penyampaian pelayanan yang akan melebihi tingkat kepentingan
pengguna pelayanan perizinan (masyarakat). Mengingat jasa layanan perizinan
tidak kasat mata serta kualitas teknik selalu tidak dapat dievaluasi secara akurat,
maka masyarakat berusaha menilai kualitas layanan perizinan berdasarkan apa
yang dirasakan, melalui atribut-atribut yang mewakili kualitas proses dan kualitas
pelayanan. Kualitas pelayanan perizinan akan ekuivalen dengan tingkat kepuasan
masyarakat dan kualitas pelayanan. Kesepuluh faktor tersebut berkaitan dengan
Tangibles, Reliability, Responsiveness, Competence, Courtesy, Credibility,
Security, Access, Communication, Understanding the customer (Zeithalml et.al.,
1990). Secara singkat aspek kualitas pelayanan dapat dilihat pada Gambar 2.1
Gambar 2.1
Aspek Kualitas Pelayanan
Sumber : Zeithalml et.al., 1990
Petugas/
SDM
Fasilitas
kantor
Kesederhanaan
Prosedur
Transparansi
Keseragaman
Proses
Kepastian
waktu
Kepastian
biaya
Kepuasan
=
Kualitas layanan
Kejelasan
Prosedur
77
Gambar 2.1 menunjukkan faktor-faktor yang dinilai konsumen dan merupakan
faktor utama dalam menentukan kualitas pelayanan yang diselenggarakan.
Adapun faktor-faktor yang dimaksudkan seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
Dari beberapa penelitian dan pengkajian yang dilakukan pada kelompok
fokus (Focus group), baik terhadap pengguna maupun penyedia jasa, akhirnya
ditemukan hasil bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara
Communication, Competence, Credibility, Courtesy, dan Security yang kemudian
dikelompokkan menjadi satu dimensi yaitu assurance. Demikian pula mereka
menemukan hubungan yang sangat kuat diantara acces dan understanding yang
kemudian digabung menjadi dimensi emphaty. Akhirnya dikemukakan 5 (lima)
dimensi kualitas jasa yang dikenal sebagai SERVQUAL (Service Quality). Adapun
kelima dimensi tersebut adalah:
1) Bukti langsung (Tangibles), berkaitan dengan kualitas jasa yang dikaitkan
dengan fasilitas fisik, peralatan, personil dan komunikasi. Adapun atribut-
atribut yang berada dalam dimensi ini antara lain :
(a) Fasilitas fisik yang menarik.
(b) Peralatan yang modern.
(c) Penampilan petugas.
(d) Media informasi dan komunikasi.
2) Kehandalan (Reliability), berkaitan dengan kemampuan perusahaan untuk
memberikan pelayanan secara akurat dan andal, dapat dipercaya, dan
bertanggung jawab atas apa yang dijanjikan. Adapun atribut-atribut yang
berada dalam dimensi ini antara lain:
78
(a) Realisasi waktu, adalah ketepatan waktu antara janji layanan dengan
realisasinya.
(b) Sikap terhadap penangan masalah.
(c) Konsisten layanan adalah tingkat kebenaran/ketepatan terkait dengan
penyampaian layanan sejak awal pelayanan sampai tuntasnya
pelaksanaan layanan.
(d) Akurasi sistem pencatatan (dokumen), adalah tingkat akurasi sistem
pencatatan yang tersedia.
3) Daya tanggap (Responsiveness), berkaitan dengan kemauan untuk
membantu konsumen bertanggung jawab terhadap kualitas pelayanan yang
diberikan. Adapun mengenai atribut-atribut yang berada dalam dimensi ini
antara lain :
(a) Informasi waktu, adalah kejelasan informasi tentang kepastian waktu
dalam penyampaian layanan.
(b) Kecepatan layanan, adalah tingkat kecepatan petugas dalam
menyampaikan pelayanan.
(c) Kesediaan membantu adalah kesediaan petugas pemberi layanan dalam
membantu pelanggan.
(d) Ketanggapan adalah sikap yang ditunjukan oleh petugas dalam
menanggapi permintaan pelanggan tanpa diganggu kesibukan yang
terlalu padat.
4) Jaminan (Assurance), berkaitan dengan pengetahuan dan kesopanan petugas
serta kemampuan untuk memberikan kepercayaan kepada pelanggan.
79
Dimensi ini juga merefleksikan kompetensi perusahaan, keramahan
(kesopansantunan) kepada pelanggan dan keamanan operasinya. Adapun
atribut-atribut yang berada dalam dimensi ini antara lain :
(a) Kepercayaan adalah kepercayaan yang diberikan pelanggan terhadap
petugas pemberi layanan.
(b) Rasa aman adalah perasaan aman yang dirasakan responden sewaktu
melakukan transaksi dengan petugas pemberi layanan.
(c) Kesopanan adalah sikap sopan yang ditunjukan karyawan kepada setiap
pelanggan dalam menyampaikan layanan.
(d) Pengetahuan petugas adalah tingkat pengetahuan petugas dalam
menjawab setiap pertanyaan pelanggan.
5) Kepedulian (emphaty), berkaitan dengan kualitas layanan yang menunjukan
derajat perhatian yang diberikan petugas kepada setiap pelanggan. Dimensi
ini juga mereflekasikan kemampuan petugas untuk menyelami perasaan
pelanggan sebagaimana jika pekerja ini sendiri mengalaminya. Adapun
atribut-atribut yang berada dalam dimensi ini antara lain :
(a) Perhatian individual adalah perhatian pribadi yang ditunjukan petugas
dalam memberikan pelayanan pada masing-masing segmen pelanggan.
(b) Kenyamanan waktu, adalah kenyamanan waktu operasional.
(c) Perhatian terhadap kepentingan pelangan.
(d) Pemahaman kebutuhan pelanggan adalah pemahaman petugas terhadap
kebutuhan spesifik masyarakat sebagai pelanggan.
80
j) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan Publik
Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah dipengaruhi oleh
banyaknya faktor, baik faktor-faktor yang dialami oleh pihak pemerintah sebagai
penyelenggara layanan maupun faktor-faktor pada pihak masyarakat sebagai
penerima layanan. Mengenai 2 (dua) faktor penting yang dapat diidentifikasi
mempengaruhi kualitas pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pihak
pemerintah sebagai pemberi layanan, yaitu:
1) Faktor Individual menunjuk pada sumber daya manusia yang ada dalam
organisasi. Semakin tinggi kemampuan sumber daya manusia dalam
organisasi tentu semakin besar kemungkinan organisasi yang bersangkutan
untuk menyelenggarakan pelayanan yang berkualitas.
2) Faktor Sistem yang digunakan untuk menunjuk pada mekanisme dan
prosedur pelayanan yang digunakan. Dalam hal ini pada umumnya semakin
rumit dan berbelit-belit prosedur mekanisme penyelenggaraan pelayanan
publik (public service), justru semakin sulit mewujudkan pelayanan publik
yang berkualitas. Sebaliknya, semakin sederhana dan transparan mekanisme
prosedur yang digunakan, maka semakin besar kemungkinan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik.
2.1.4 Kepuasan Masyarakat Terhadap Pelayanan Publik
Pemerintah sebagai penyedia jasa layanan publik, harus senantiasa
meningkatkan kualitasnya. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas
pelayanan publik, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
81
(PROPENAS), perlu disusun indeks kepuasan masyarakat sebagai tolok ukur
untuk menilai tingkat kualitas pelayanan. Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM)
adalah data dan informasi tentang tingkat kepuasan masyarakat yang diperoleh
dari hasil pengukuran secara kuantitatif dan kualitatif atas pendapat masyarakat
dalam memperoleh pelayanan dari aparatur penyelenggara pelayanan publik
dengan membandingkan antara harapan dan kebutuhannya. Ada beberapa dimensi
yang menjelaskan kinerja pegawai pelayanan publik yang berkaitan dengan
kepuasan masyarakat dari pelayanan yang dilakukan oleh pegawai/petugas
pelayanan, yaitu :
1) Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.
2) Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang
dibutuhkan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis
pelayanannya.
3) Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan
dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan.
4) Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan
tidak membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani.
5) Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap
besarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan.
6) Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan
dengan biaya yang telah ditetapkan.
82
7) Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
8) Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan
yang bersih, rapi, dan teratur untuk memberi rasa nyaman kepada penerima
layanan.
9) Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit
penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga
masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-
resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.
2.1.5 Pelayanan Publik yang Berorientasi kepada Kesejahteraan
Salah satu dimensi dari kebijakan desentralisasi adalah adanya penyerahan
urusan pemerintahan yang menjadi domain pemerintah daerah. Semua urusan
pemerintahan akan bermuara pada pelayanan publik. Pelayanan publik ada yang
bersifat pengaturan (regulating) maupun penetapan dalam rangka menjabarkan
produk hukum yang bersifat mengatur seperti perizinan dalam wujud KTP, KK,
IMB dan sebagainya. Ada juga pelayanan publik yang sifatnya non regulation
seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, jalan raya, persampahan dan lain
sebagainya. Semua pelayanan publik tersebut ditujukan untuk menjawab amanat
konstitusi yaitu mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Menurut United Nations Development Programme (2015) dengan konsep
Human Development Index menyatakan bahwa suatu bangsa dikatakan sejahtera
apabila memenuhi tiga kriteria utama, yaitu :
83
1) A long and healthy life measured by life expectancy at birth
2) Knowledge measured by adult literacy (at least 70%) and the combined
primary secondary, and tertiary gross enrollment ratio (at least 30%)
3) Decent standard of living as measured by GDP per capita at purchasing
power parity in US dollar.
United Nations Development Programme (UNDP) merupakan salah satu lembaga
milik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengukur tingkat kesejahteraan
bangsa-bangsa di dunia. Dalam konteks otonomi daerah di Indonesia, tantangannya
adalah bagaimana otonomi daerah mampu menjadi instrumen bagi bangsa Indonesia
untuk meningkatkan kesejahteraan di tingkat lokal yang pada gilirannya secara
agregat akan menyumbang kepada peningkatan kesejahteraan nasional.
2.1.6 Tinjauan Tentang Perizinan
a) Pengertian Izin dan Perizinan
Pemerintah didalam melaksanakan urusan pemerintahan memerlukan
instrumen hukum yang bersifat konkret dan dapat segera dilaksanakan. Instrumen
pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah yang dimaksudkan berwujud
suatu keputusan yang ditetapkan dalam rangka mengurus urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya. Dari berbagai keputusan yang ditetapkan
pemerintah, antara lain berupa perizinan dengan berbagai wujudnya seperti izin,
dispensasi, surat keterangan, rekomendasi. Menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M ten
Berge yang dikutip Adrian Sutedi (2010) bahwa pengertian izin dalam arti luas
merupakan suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau
peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu meyimpang dari ketentuan-
ketentuan larangan perundangan. Izin ditetapkan oleh pemerintah, pada umumnya
84
didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan
tertentu atau untuk menghalangi keadaaan-keadaan yang buruk. Izin dapat juga
diartikan sebagai dispensasi atau pelepasan atau pembebasan dari suatu larangan.
Dalam pada itu, konsep izin lebih sempit dibandingkan dengan perizinan.
Adapun pengertian perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi
pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Perizinan dapat berbentuk
pendaftaran, rekomendasi, sertifikasi, penentuan kuota dan izin untuk melakukan
sesuatu usaha yang biasanya harus dimiliki atau diperoleh suatu organisasi
perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melakukan suatu
kegiatan atau tindakan (Adrian Sutedi, 2010).
Dalam perkembangannya, pengertian izin dan perizinan secara yuridis
tertuang dalam Pasal 1 angka 8 dan 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24
Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
Dalam Pasal 1 angka 8 dapat disimak bahwa izin merupakan dokumen yang
dikeluarkan oleh pemerintah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lainnya
yang merupakan bukti legalitas, menyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang
atau badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu. Kemudian dalam Pasal
1 angka 9 ditegaskan bahwa perizinan adalah pemberian legalitas kepada
seseorang atau pelaku usaha atau kegiatan tertentu, baik dalam bentuk izin
maupun tanda daftar usaha (Adrian Sutedi, 2010). Dengan demikian dapat
disimak bahwa izin merupakan instrumen yuridis berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan, prosedur, dan persyaratan tertentu yang digunakan oleh
85
pemerintah untuk mempengaruhi para warga agar mau mengikuti cara yang
dianjurkan guna mencapai suatu tujuan konkret. Oleh karena itu, izin merupakan
keputusan pejabat atau badan tata usaha negara yang berwenang yang isinya atau
substansinya mempunyai sifat sebagai berikut: (Adrian Sutedi, 2010)
a) Izin bersifat bebas adalah izin yang penerbitannya tidak terikat pada aturan
dan hukum tertulis sehingga organ yang berwenang dalam izin memiliki
kadar kebebasan yang besar dalam memberikan izin.
b) Izin bersifat terikat adalah izin yang penerbitannya terikat pada aturan dan
hukum tertulis dan tidak tertulis serta organ yang berwenang dalam izin
kadar kebebasannya dan wewenangnya tergantung pda kadar sejauh mana
peraturan perundang-undangnnya mengaturnya, seperti IMB, izin HO, izin
usaha industri.
c) Izin yang bersifat menguntungkan merupakan izin yang isinya mempunyai
sifat menguntungkan kepada yang bersangkutan berupa pemberian hak-hak
atau pemenuhan tuntutan yang tidak akan ada tanpa keputusan tersebut,
seperti SIM, SIUP, SITU.
d) Izin yang bersifat memberatkan merupakan izin yang isinya mengandung
unsur-unsur memberatkan dalam bentuk ketentuan-ketentuan yang berkaitan
kepadanya.
e) Izin yang segera berakhir merupakan izin yang menyangkut tindakan-
tindakan yang akan segera berakhir atau izin yang masa berlakunya relatif
pendek, misalnya izin mendirikan bangunan (IMB) yang hanya berlaku
untuk mendirikan bangunan dan berakhir saat bangunan selesai didirikan.
86
f) Izin yang berlangsung lama merupakan izin yang menyangkut tindakan-
tindakan yang berakhirnya atau masa berlakunya relatif lama, misalnya izin
usaha industri yang berhubungan dengan lingkungan.
g) Izin yang bersifat pribadi merupakan izin yang isinya tergantung pada sifat
atau kualitas pribadi dan pemohon izin, seperti surat izin mengemudi (SIM).
h) Izin yang bersifat kebendaan yang merupakan izin yang isinya tergantung
pada sifat dan objek izin, seperti izin HO, SITU.
b) Unsur-unsur Perizinan
Perizinan sebagai bentuk jamak dari izin, bilamana dilhat dari
kedudukannya maka dapat diidentifikasi beberapa unsurnya sebagai berikut :
(1) Instrumen Yuridis
Dalam negara hukum modern atau negara kesejahteraan, maka tugas dan
kewenangan pemerintah tidak hanya sekedar menjaga ketertiban dan keamanan
tetapi juga mengupayakan kesejahteraan umum. Setiap tindakan hukum
pemerintah, baik dalam menjalankan fungsi pengaturan maupun fungsi pelayanan
harus berdasarkan wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku (Adrian Sutedi, 2010). Salah satu wujud tindakan pemerintah dalam
menjalankan fungsi pelayanan adalah dengan mengeluarkan ketetapan.
Berdasarkan jenis-jenis ketetapan, izin sebagai bagian dari perizinan termasuk
ketetapan yang bersifat konstitutif yakni ketetapan yang menimbulkan hak baru
yang sebelumnya tidak dimiliki oleh seseorang yang namanya tercantum dalam
ketetapan itu (Ridwan HR, 2007). Dengan demikian, perizinan merupakan
instrumen yuridis dalam bentuk ketetapan yang bersifat konstitutif dan yang
87
digunakan oleh pemerintah untuk menghadapi atau menetapkan peristiwa
kongkret. Setiap perizinan dibuat atas dasar ketentuan dan persyaratan yang
berlaku pada produk hukum yang menjadi dasar penetapan perizinan
bersangkutan.
(2) Berdasarkan pada Peraturan Perundang-undangan
Salah satu prinsip dalam Negara hukum adalah wetmatigheid van bestuur
atau pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Setiap tindakan
hukum pemerintah, baik dalam menjalankan fungsi pengaturan maupun fungsi
pelayanan harus didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Ridwan HR, 2007). Pembuatan dan
penerbitan perizinan merupakan tindakan hukum pemerintah. Sebagai tindakan
hukum maka harus ada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-
undangan sesuai dengan azas legalitas. Pada umumnya wewenang pemerintah
untuk mengeluarkan perizinan ditentukan secara tegas dalam peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar dari perizinan tersebut. Akan tetapi,
dalam penetapannya menurut Marcus Lukman sebagaimana dikutip HR Ridwan
(2007), adapun kewenangan pemerintah dalam bidang perizinan itu bersifat
kewenangan bebas dalam arti kepada pemerintah diberi kewenangan untuk
mempertimbangkan atas dasar inisiatif sendiri terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan penetapan perizinan terkait. Adapun kebebasan dalam memberikan
pertimbangan yang dimaksudkan berkaitan dengan :
1) Kondisi-kondisi apa yang memungkinkan suatu perizinan dapat diberikan
kepada pemohon;
88
2) Konsekuensi yuridis apa yang mungkin timbul sebagai akibat pemberian
atau penolakan perizinan dikaitkan dengan pembatasan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
3) Dampak sosial ekonomi apa yang dapat terjadi terhadap masyarakat sesudah
keputusan perizinan diberikan baik dalam hal mengabulkan atau menolak;
4) Prosedur apa yang harus diikuti atau dipersiapkan pada saat dan sesudah
keputusan diberikan baik penerimaan maupun penolakan pemberian suatu
perizinan.
(3) Adanya organ Pemerintahan yang Berwenang
Menurut Sjachran Basah (1994) dalam makalah seminar hukum yang
berjudul “Sistem Perizinan Sebagai Instrumen Pengendali Lingkungan”
menyatakan bahwa organ pemerintah adalah organ yang menjalankan urusan
pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Penyelenggaraan
pemerintahan mulai dari administrasi Negara tertinggi (Presiden) sampai dengan
administrasi negara terendah (lurah) diberikan kewenangan menetapkan perizinan.
Ini berarti terdapat aneka ragam administrasi dan pemberi izin yang didasarkan
pada jabatan yang dijabatnya baik di tingkat pusat maupun daerah. Pengaruh
pemerintah pada masyarakat melalui tugas mengendalikan melalui perizinan
mempunyai makna bahwa pemerintah terlibat dalam penerbitan dan pelaksanaan
peraturan perundang-undangan termasuk melahirkan sistem-sistem perizinan.
Melalui instrumen perizinan, pemerintah mengendalikan masyarakat dalam
melakukan kegiatan usaha melalui pembebanan hak, kewajiban, larangan, dan
sanksi yang diatur pada suatu perizinan, seperti izin. Dengan demikian, izin
89
sebagai salah satu instrumen pemerintahan yang berfungsi mengendalikan tingkah
laku masyarakat agar sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang bersifat umum.
c) Prosedur dan Persyaratan Perizinan
Prosedur pada hakikatnya berkaitan dengan hukum formal dari hukum
materiil. Prosedur perizinan yang ditetapkan akan mengarahkan prilaku
pemerintah dalam menerbitkan suatu perizinan, sehingga akan menuntun aparatur
pemerintahan dari kesewenang-wenangan. Pada pihak lain dari perspektif
masyarakat, prosedur perizinan akan menuntun prilaku masyarakat dalam
memohon suatu perizinan baik terkait dengan tahapannya atau persyaratan yang
dibutuhkan, sehingga menghindarkan diri dari kecurigaan atau kolusi.
Pada umumnya permohonan suatu perizinan harus menempuh prosedur
tertentu yang ditentukan oleh pemerintah, selaku pemberi perizinan. Prosedur
perizinan dapat meliputi prosedur pelayanan perizinan, proses penyelesaian
perizinan yang merupakan proses internal yang dilakukan oleh aparat/petugas.
Disamping harus menempuh prosedur tertentu, pemohon perizinan juga harus
memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang ditentukan secara sepihak oleh
pemerintah atau pemberi perizinan.
Prosedur dan persyaratan perizinan berbeda-beda tergantung jenis, tujuan,
dan instansi pemberi perizinan. Penentuan prosedur dan persyaratan perizinan ini
ditentukan sepihak oleh pemerintah (Sutedi, 2010). Meskipun demikian,
pemerintah tidak boleh membuat atau menentukan prosedur dan persyaratan
menurut kehendaknya sendiri secara sewenang-wenang, tetapi harus sejalan
90
dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dari penerbitan
perizinan. Dengan kata lain, pemerintah tidak boleh menentukan syarat yang
melampaui batas tujuan yang hendak dicapai oleh peraturan hukum yang menjadi
dasar perizinan yang bersangkutan (Adrian Sutedi, 2010).
d) Fungsi Pemberian Perizinan
Menurut Adrian Sutedi (2010) ketentuan tentang perizinan sebagai suatu
ketetapan mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut:
a). Fungsi penertiban, dalam hal ini perizinan khususnya izin dimaksudkan
untuk menertibkan tempat-tempat usaha, bangunan, dan bentuk kegiatan
masyarakat lainnya agar tidak bertentangan satu sama lain, sehingga
terwujud ketertiban dalam segi kehidupan masyarakat dapat terwujud.
b). Fungsi mengatur, dalam hal ini perizinan dimaksudkan mengatur
pemegang perizinan karena didalamnya ditetapkan hak dan kewajiban
pemegang perizinan untuk dapat dilaksanakan sesuai dengan peruntukannya
sehingga tidak terdapat penyalahgunaan perizinan yang diberikan.
Pada pihak lain, fungsi perizinan sebagai bagian produk hukum secara lebih luas
dapat dikaji dari berbagai aspek sebagai berikut :
(a) Instrumen rekayasa pembangunan
Perizinan adalah instrumen yang manfaatnya ditentukan oleh tujuan dan
prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah. Baik buruknya, tercapai atau
tidaknya tujuan suatu perizinan akan sangat ditentukan oleh prosedur yang
ditetapkan dan dilaksanakan secara konsisten. Semakin mudah, cepat, dan
91
transparan prosedur pemberian perizinan, maka semakin tinggi potensi
perizinan menjadi intrumen rekayasa pembangunan (Adrian Sutedi, 2010).
(b) Fungsi Anggaran (Budgetering)
Perizinan juga memiliki fungsi keuangan yaitu menjadi sumber
pendapatan bagi Negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah. Pemberian suatu izin, surat keterangan, maupun rekomendasi
sebagai bagian perizinan kepada masyarakat dapat dikenakan retribusi
perizinan. Namun demikian, penarikan retribusi perizinan hanya
dibenarkan jika ada dasar hukumnya seperti undang-undang dan/atau
peraturan daerah (Adrian Sutedi, 2010).
(c) Fungsi Mengatur (Reguleren)
Perizinan memiliki fungsi pengaturan yaitu menjadi instrumen pengaturan
tindakan dan perilaku masyarakat, karena dalam perizinan ditentukan hak
dan kewajiban para pihak yang menerima perizinan.
e) Tujuan Pemberian Perizinan
Setiap tindakan pada hakikatnya dimaksudkan untuk suatu tujuan tertentu.
Menurut Adrian Sutedi (2010) adapun yang menjadi tujuan dari pemberian
perizinan dapat dilihat dari 2 (dua) sisi, yaitu:
1) Dari sisi pemerintah, mengenai tujuan dari pemberian perizinan kepada
pihak tertentu adalah :
(a) Untuk melaksanakan peraturan, dimana ketentuan-ketentuan yang
termuat dalam peraturan perizinan sesuai dengan kenyataan dalam
92
praktiknya atau tidak dan sekaligus untuk mengatur ketertiban
masyarakat itu sendiri.
(b) Sebagai sumber pendapatan daerah, dimana dengan adanya
permintaan permohonan perizinan, maka secara tidak langsung
pendapatan pemerintah akan bertambah karena atas setiap wujud
perizinan yang dikeluarkan, maka pemohon dapat dibebani retribusi
perizinan, seperti retribusi IMB, retribusi SIUP, retribusi surat
keterangan kesehatan.
2) Dari sisi masyarakat, adapun tujuan dari pemberian perizinan oleh
pemerintah adalah agar adanya kepastian hukum, adanya kepastian hak,
memudahkan mendapatkan fasilitas.
Sementara itu, menurut Spelt dan Ten Berge sebagaimana diterjemahkan
oleh Philipus M. Hadjon (1993) mengemukakan mengenai tujuan atau motif
perizinan. Secara umum dikemukakan ada 5 (lima) hal yang menjadi tujuan dari
diterbitkannya suatu perizinan, yakni :
(a) keinginan mengarahkan (mengendalikan “sturen”) aktivitas-aktivitas
tertentu (misalnya izin bangunan);
(b) mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan);
(c) keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin tebang, izin membongkar
monumen-monumen);
(d) hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di daerah padat
penduduk);
93
(e) memberikan pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-
aktivitas (izin berdasarkan “drank en horecawet”, dimana pengurus harus
memenuhi syarat-syarat tertentu).
2.1.7 Tinjauan Tentang Birokrasi
a) Pengertian Birokrasi
Istilah birokrasi mulai diperkenalkan oleh filosof Perancis Baron de
Grimm dan Vincent de Gourney dari asal kata bureau yang berarti kantor atau
meja tulis, dan kata Yunani kratein yang berarti mengatur (Budi Setiyono, 2005).
Menurut Max Weber seperti yang dikutip M. Mas‟ud Said (2007), birokrasi
didefinisikan sebagai sistem administrasi rutin yang dilakukan dengan
keseragaman, diselenggarakan dengan cara-cara tertentu, dan didasarkan aturan
tertulis oleh orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Rourke seperti yang
dikutip M. Mas‟ud Said (2007) mendefinisikan birokrasi sebagai sistem
administrasi dan pelaksanaan tugas keseharian yang terstruktur dalam sistem
hierarki yang jelas dilakukan dengan aturan tertulis, dilakukan oleh bagian
tertentu yang terpisah dengan bagian lainnya oleh orang-orang yang dipilih karena
kemampuan dan keahlian di bidangnya. Menurut Pfiffner dan Presthus seperti
yang dikutip M. Mas‟ud Said (2007) mendefinisikan birokrasi adalah suatu sistem
kewenangan, kepegawaian, jabatan, dan metode yang dipergunakan pemerintah
untuk melaksanakan program-programnya. Berdasarkan konsepsi legitimasi,
selanjutnya Max Weber seperti yang dikutip oleh M. Mas‟ud Said (2007)
94
merumuskan proposisi yang terkait dengan penyusunan sistem otoritas legal
dalam birokrasi, berupa :
1) Tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan;
2) Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang yang berbeda sesuai dengan
fungsinya yang masing-masing dilengkapi dengan syarat tertentu;
3) Jabatan tersusun secara hierarki yang disertai dengan rincian hak-hak
kontrol dan pengaduan;
4) Aturan disesuaikan dengan pekerjaan yang diarahkan baik secara teknis
maupun secara legal;
5) Anggota sebagai sumber daya organisasi, berbeda dengan anggota sebagai
individu pribadi;
6) Pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya;
7) Administrasi didasarkan pada dokumen tertulis dan menjadikan kantor
sebagai pusat organisasi modern;
8) Sistem otoritas legal memliliki berbagai bentuk, tetapi dilihat pada aslinya
sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf administrasi birokratik.
Birokrasi menurut Max Weber dikemukakan sebagai suatu bentuk
organisasi yang ditandai oleh hierarki, spesialisasi peranan, dan tingkat
kompetensi yang tinggi ditunjukkan oleh para pejabat yang terlatih untuk mengisi
peran-peran tersebut (Sinambela, Lijan Poltak, 2006). Birokrasi sesungguhnya
dimaksudkan sebagai sarana bagi pemerintah yang berkuasa untuk melaksanakan
pelayanan publik sesuai dengan aspirasi masyarakat. Birokrasi adalah tipe dari
suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif
95
yang besar dengan cara mengkoordinasikan secara sistematis (teratur) pekerjaan
dari banyak orang (Wahyudi Kumorotomo, 2009). Sedangkan menurut kamus
besar Bahasa Indonesia (2008) kata birokrasi artinya sistem pemerintahan yang
dijalankan oleh pegawai pemerintahan karena telah berpegang pada hierarki dan
jenjang jabatan, cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban serta
menurut tata aturan yang banyak liku-liku. Dari beberapa pengertian birokrasi
tersebut dapat disimak bahwa birokrasi sebagai sistem administratif dan
pelaksanaan tugas keseharian yang terstruktur, dalam sistem hierarki yang jelas,
dilakukan dengan aturan tertulis, dilakukan oleh bagian tertentu yang terpisah
dengan bagian lainnya, oleh orang yang dipilih karena kemampuan dan keahlian
dibidangnya. Dalam bidang publik, konsep birokrasi dimaknai sebagai proses dan
sistem yang diciptakan secara rasional untuk menjamin mekanisme dan sistem
kerja yang teratur, pasti, dan mudah dikendalikan.
b) Kategori Birokrasi
Berdasarkan perbedaan tugas pokok atau misi yang mendasari dari suatu
organisasi birokrasi, Syukur Abdullah sebagaimana dikutip oleh Wahyudi
Kumorotomo (2009) menguraikannya dalam 3 (tiga) kategori birokrasi. Ketiga
kategori yang dimaksudkan adalah sebagai berikut :
1) Birokrasi pemerintahan umum, yaitu rangkaian organisasi pemerintahan
yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara
ketertiban dan keamanan dari tingkat pusat sampai daerah provinsi,
kabupaten/kota, kecamatan dan kelurahan/desa. Mengenai tugas-tugas
tersebut bersifat mengatur.
96
2) Birokrasi pembangunan yaitu organisasi pemerintahan yang menjalankan
salah satu bidang atau sektor yang khusus guna mencapai tujuan
pembangunan, seperti pertanian, kesehatan, pendidikan, dan industri.
Adapun fungsi pokoknya adalah development function atau adaptive
function.
3) Birokrasi pelayanan yaitu unit organisasi yang pada hakikatnya merupakan
bagian yang langsung berhubungan dengan masyarakat. Adapun yang
termasuk dalam kategori ini antara lain rumah sakit, sekolah, koperasi, bank
rakyat desa, transmigrasi, dan berbagai unit organisasi lainnya yang
memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat atas nama pemerintah,
dengan fungsi utamanya adalah service.
c) Reformasi Birokrasi
Kebijakan reformasi birokrasi bertujuan memperbaiki atau meningkatkan
kualitas pelayanan publik serta lebih meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap birokrasi. Pada pihak lain, reformasi birokrasi dilakukan untuk
menciptakan aparatur yang bersih, professional, dan bertanggung jawab. Adapun
mengenai upaya yang dilakukan oleh pemerintah baik di tingkat pusat maupun
daerah adalah dengan membangun terjadinya kepercayaan masyarakat kepada
aparatur pemerintahan, menciptakan aparatur yang bersih, professional, dan
bertanggung jawab secara berkelanjutan.
Didalam memberikan pelayanan yang prima (efisien) sekaligus
melaksanakan pengawasan efektif sangat tergantung pada peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar dari tugas dan kewenangan suatu birokrasi. Dari
97
peraturan perundang-undangan tersebut ditetapkan sistem dan prosedur (sisdur)
pelayanan dan pengawasan. Berdasarkan sistem dan prosedur yang diinginkan
maka dibuat struktur organisasi yang diperlukan untuk menetapkan tingkat-tingkat
dan jenis jabatan, tugas dan wewenang serta jumlah dan kualifikasi sumber daya
manusia yang diperlukan dengan tetap memperhatikan beban kerja yang
dialaksanakan oleh aparat birokrasi.
Kualitas dan kuantitas beserta kompetensi sumber daya manusia perlu
mendapatkan perhatian yang serius daam reformasi birokrasi. Faktor pendukung
lain yang tidak kalah penting dari keberhasilan pelaksanaan tugas pelayanan dan
pengawasan adalah sarana dan fasilitas kerja. Terakhir jangan lupa bahwa
pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut harus dipertanggungjawabkan baik
secara internal maupun eskternal. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) dalam melaksanakan percepatan Reformasi
Birokrasi di Indonesia saat ini telah menerapkan 9 (sembilan) program untuk
mencapai 7 (tujuh) area perubahan yang menjadi tujuan dalam pelaksanaan grand
design reformasi birokrasi. Dengan adanya 9 (sembilan) program Reformasi
Birokrasi tersebut diharapkan akan mendorong pelaksanaan Reformasi Birokrasi
di kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah yang lebih terarah dan berjalan
dengan baik serta dapat mencapai tujuan akhir dari reformasi birokrasi tersebut.
Program-program reformasi birokrasi disusun sebagai langkah untuk mengatasi
masalah-masalah mendasar yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Adapun program reformasi birokrasi yang dikembangkan, diantaranya seperti
yang tercantum pada Gambar 2.2
98
Gambar 2.2
Area Perubahan
Sumber: Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010
Mengkaji Gambar 2.2 maka seluruh instansi pemerintah diharapkan membuat
sebuah kegiatan yang tepat dan dapat dengan cepat diterapkan dalam rangka
mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Setiap kegiatan kementerian, lembaga
dan pemerintah daerah diwajibkan sejalan dengan 9 (sembilan) program reformasi
birokrasi Indonesia yang termuat dalam sebuah road map seperti pada Gambar 2.3
Gambar 2.3
Road Map Reformasi Birokrasi
Sumber: Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010
99
Menyimak Gambar 2.3 dapat dijelaskan mengenai road map dari reformasi
birokrasi yang dikembangkan pemerintah, yakni sebagai berikut :
(1) Manajemen perubahan
Manajemen perubahan bertujuan untuk secara sistematis dan konsisten
mengembangkan sistem dan mekanisme kerja organisasi, pola pikir serta
budaya kerja individu atau unit kerja didalamnya yang menjadi lebih baik.
Target dari program ini adalah terciptanya komitmen dari seluruh elemen
pemerintahan untuk melaksanakan reformasi birokrasi, terjadinya perubahan
pola pikir dan budaya kerja, serta menurunkan resiko resistensi dalam
pelaksanaan reformasi birokrasi.
(2) Penataan peraturan perundang-undangan
Program reformasi birokrasi mengharapkan dapat meningkatkan efektifitas
dalam pengelolaan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh
kementerian/lembaga/pemerintah daerah. Efektifitas tersebut diantaranya
dapat menurunkan terjadinya tumpang tindih peraturan perundang-undangan
dari seluruh tingkatan pemerintahan serta efektifitas dalam pengelolaan
peraturan perundang-undangan bersangkutan.
(3) Penataan dan penguatan organisasi
Program penataan dan penguatan organisasi ditujukan untuk mengatasi
masalah yang sering muncul dari pemerintah terutama dari pemerintah
daerah. Tujuan utama dari program ini adalah untuk meningkatkan efesiensi
organisasi kementerian/lembaga/pemerintah daerah secara proporsional dan
100
sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan tugas masing-masing sehingga
organisasi menjadi tepat fungsi dan tepat ukuran.
(4) Penataan ketatalaksanaan
Program ini bertujuan untuk meningkatkan efesiensi dan efektifitas sistem,
proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efesien dan terukur pada
masing-masing instansi. Target program penataan ketatalaksanaan adalah
meningkatnya penggunakan teknologi informasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan manajemen pemerintah, serta adanya efesiensi proses
manajemen pemerintah dan meningkatnya kinerja pemerintahan.
(5) Penataan sistem manajemen SDM aparatur
Sebagai salah satu program prioritas dalam reformasi birokrasi, program ini
diharapkan dapat menciptakan SDM yang profesional dan berkompeten
dengan dukungan rekrutmen dan promosi aparatur yang berbasis kompetensi
dan transparan. Program ini akan dilaksanakan melalui kegiatan perbaikan
sistem rekrutmen, analisis jabatan, evaluasi jabatan, penyusunan standar
kompetensi, assesmen individu, dan pengembangan sistem penilaian kinerja.
(6) Penguatan pengawasan
Dengan adanya program ini memungkinkan terciptanya penyelenggaraan
pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktek KKN pada seluruh instansi
pemerintahan. Target dari program ini adalah meningkatnya kepatuhan
terhadap pengelolaan keuangan negara dan menurunnya tingkat
penyalahgunaan wewenang dari masing-masing kementerian maupun
lembaga atau pemerintah daerah. Adapun kegiatan yang menjadi prioritas
101
dalam hal ini antara lain melalui penguatan kembali peran dari sistem
pengawasan internal pemerintahan atau pengembangan pengawasan melekat.
(7) Penguatan akuntabilitas kinerja
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja
dari instansi pemerintah dengan target akhir yang ingin dicapai adalah
meningkatnya kinerja dan akuntabilitas pemerintah. Kegiatan yang
dilaksanakan untuk mencapai target tersebut adalah kegiatan penguatan
akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, pengembangan sistem manajemen
kinerja dan penyusunan indikator kinerja utama (IKU).
(8) Peningkatan kualitas pelayanan publik
Pelayanan publik menjadi salah satu indikator dalam reformasi birokrasi
pemerintah. Program peningkatan kualitas pelayanan publik bertujuan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik dari masing-masing instasi
pemerintah sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat. Kegiatan yang
dapat mendukung program ini, antara lain melalui penetapan Standar
Pelayanan, Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) serta peningkatan
partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui
pelaksanaan Survei Kepuasan Masyarakat.
(9) Monitoring, evaluasi, dan pelaporan
Program ini dimaksudkan untuk menjamin agar pelaksanaan reformasi
birokrasi dijalankan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan target
yang telah ditetapkan dalam road map masing-masing kementerian, lembaga
dan pemerintah daerah. Dengan demikian masing-masing kementerian,
102
lembaga dan pemerintah daerah diharapkan dapat melakukan monitoring,
evaluasi, dan pelaporan terhadap kegiatan reformasi birokrasi di istansinya.
Melalui 9 (sembilan) program reformasi birokrasi di atas, maka adapun tujuan
akhir yang ingin dicapai adalah terciptanya pemerintahan yang bersih dari KKN,
Akuntabel dan berkinerja serta Pelayanan publik yang berkualitas. Mengenai
tujuan dari refomasi birokrasi ini seperti disampaikan pada Gambar 2.4
Gambar 2.4
Tujuan Reformasi Birokrasi
Sumber: Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010
d) Birokrasi dan Fungsi Pelayanan
Dalam suatu negara, pemerintah dengan seluruh jajarannya biasa dikenal
sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Peranan tersebut diharapkan terwujud
dalam pemberian berbagai jenis pelayanan yang diperlukan oleh seluruh warga
masyarakat. Pemerintah suatu negara di tingkat nasional terdiri atas berbagai
satuan kerja yang dikenal dengan berbagai satuan kerja yang dikenal dengan
berbagai nomenklatur seperti kementerian, departemen, direktorat jenderal, badan,
103
biro, dan sebagainya yang mempunyai satuan-satuan kerja di seluruh wilayah
kekuasaan negara yang juga dikenal dengan aparatur pemerintah daerah dengan
aneka ragam nomenklatur pula di suatu provinsi, kabupaten, kelurahan, dan desa.
Keseluruhan jajaran pemerintahan negara tersebut merupakan satuan birokrasi
pemerintah yang juga dikenal dengan civil service. (Lijan Poltak S, 2006).
Diantara berbagai satuan kerja yang terdapat dalam lingkungan
pemerintah, terdapat pembagian tugas yang pada umumnya didasarkan pada
prinsip fungsionalisasi. Dari segi pelayanan terhadap masyarakat, fungsionalisasi
berarti bahwa setiap instansi pemerintah berperan selaku penanggung jawab
utama atas terselenggaranya fungsi tertentu dan perlu bekerja secara terkoordinasi
dengan instansi lain. Setiap instansi pemerintah mempunyai kelompok pelanggan.
Pada dasarnya pemerintah beserta seluruh jajaran aparatur birokrasi bukanlah
satu-satunya pihak yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan berbagai
kegiatan pembangunan nasional. Namun dalam kenyataan, peranan pemerintah
dengan seluruh jajarannya bersifat dominan. Aparat birokrasi pemerintahlah yang
harus menciptakan iklim yang kondusif untuk meningkatkan kepedulian dan
partisipasi berbagai kelompok masyarakat, bahkan juga mengalokasikan sumber
daya dan dana tertentu untuk menyelenggarakan fungsi tersebut. Oleh karena itu,
birokrasi pemerintah harus menjadi instrumen yang handal, tangguh, dan
professional.
Tugas pelayanan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat
sangat ditentukan oleh sistem nilai budaya pemerintah dan budaya masyarakatnya.
Tugas pemerintah yang utama adalah menyelenggarakan pelayanan kepada
104
masyarakat. Selama masyarakat belum mampu menyelenggarakan urusan atau
kebutuhannya secara manusiawi, maka pemerintah berkewajiban untuk
menyelenggarakannya sesuai tuntutan dan kebutuhan masyarakat sebagai salah
satu bentuk pelayanannya (Sumaryadi, 2010). Hubungan antara pemerintah dan
rakyat ibaratnya merupakan hubungan antara produsen dan konsumen, dimana
pemerintah sebagai produsen dan rakyat menjadi konsumen. Oleh karena itu,
kewajiban pemerintah adalah untuk menyelenggarakan fungsi pelayanan dengan
sebaik-baiknya sehingga memberikan kepuasan optimal kepada rakyat sebagai
konsumennya (Sumaryadi, 2010).
e) Kinerja Birokrasi Publik
Birokrasi ada pada dasarnya karena kebutuhan negara dan rakyat. Negara
membutuhkan birokrasi untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita dibentuknya
negara. Sementara itu, birokrasi dibutuhkan rakyat untuk membantu mencapai
tujuan-tujuan tertentu melalui pelayanan publik yang diselenggarakannya. Dengan
demikian, ada beberapa indikator yang sering digunakan untuk mengukur kinerja
birokrasi publik (Agus Dwiyanto, 2006), yaitu :
1) Produktivitas, dimana produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi,
tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami
sebagai rasio antara input dan output.
2) Kualitas layanan, dimana kualitas layanan cenderung menjadi semakin
penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Kepuasan
masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi
publik. Keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai
105
indikator kinerja adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat seringkali
tersedia secara mudah dan murah. Informasi mengenai kepuasan terhadap
kualitas pelayanan seringkali dapat diperoleh dari media massa atau diskusi
publik.
3) Responsivitas, yaitu kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan
masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan
mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dalam hal ini menunjuk
pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan
dan aspirasi dari masyarakat.
4) Responsibilitas, menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik
dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai
dengan kebijakan organisasi baik yang eksplisit maupun implisit.
5) Akuntabilitas, menunjukkan seberapa besar kebijakan dan kegiatan
organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat.
2.1.8 Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan Lokal
a) Pengertian Perilaku Birokrasi
Perilaku birokrasi pada hakekatnya merupakan hasil interaksi birokrasi
sebagai kumpulan individu dengan lingkungannya (Thoha, 2005). Perilaku
birokrasi yang menyimpang lebih tepat dipandang sebagai patologi birokrasi atau
gejala penyimpangan birokrasi (dysfunction of bureaucracy). Dalam kaitannya
dengan fenomena perilaku birokrasi maka kedudukan, peran dan fungsinya tidak
106
dapat dipisahkan dari individu selaku aparat (pegawai) yang mempunyai persepsi,
nilai, motivasi dan pengetahuan dalam rangka melaksanakan fungsi, tugas dan
tanggung jawab sosial. Perilaku manusia dalam organisasi sangat menentukan
pencapaian hasil yang maksimal dalam rangka untuk mencapai tujuan organisasi.
Thoha (2005) menjelaskan bahwa perilaku manusia adalah fungsi dari interaksi
antara individu dengan lingkungannya. Perilaku seorang individu terbentuk
melalui proses interaksi antara individu itu sendiri dengan lingkungannya.
Setiap individu mempunyai karakteristik tersendiri, dan karakteristik tersebut akan
dibawanya ketika ia memasuki lingkungan tertentu. Karakteristik ini berupa
kemampuan, kepercayaan pribadi, kebutuhan, pengalaman dan sebagainya.
Demikian pula halnya dengan organisasi sebagai lingkungan bagi individu
mempunyai karakteristik tertentu, yaitu keteraturan yang diwujudkan dalam
susunan hierarki, pekerjaan, tugas, wewenang dan tanggung jawab, sistem
imbalan dan sistem pengendalian. Jika karakteristik individu (aparat) dan
karakteristik organisasi (birokrasi) berinteraksi, maka terbentuklah perilaku
individu (aparat) dalam organisasi (birokrasi).
Keberhasilan penyelenggaraan pelayanan publik ditentukan oleh perilaku
aparatnya dalam mengemban misi sebagai pelayan masyarakat. Akan tetapi dalam
kenyataannya, pelaksanaan pelayanan publik yang belum optimal terjadi karena
belum tersedianya aparat pelayanan yang profesional, berdedikasi, akuntabel dan
responsif serta loyal terhadap tugas dan kewajibannya sebagai abdi negara dan
pelayan masyarakat. Perilaku birokrasi baik yang membangun citra pelayanan
publik berkualitas prima maupun yang berperilaku sebaliknya, tampaknya tidak
107
terlepas dari keterkaitannya dengan nilai-nilai budaya lokal yang dianut oleh
setiap individu birokrat.
Keterbatasan birokrasi memaknai nilai-nilai budaya lokal dengan baik
yang akan berdampak terhadap kualitas pelayanan publik. Pemahaman aparat
birokrasi terhadap nilai-nilai budaya lokal masih rendah, sehingga berdampak ke
dalam perilaku sehari-hari di dalam memberikan pelayanan publik. Kenyataan
yang terjadi adalah nilai-nilai budaya lokal dikatakan sebagai penghambat
penyelenggaraan pelayanan publik. Nilai-nilai “dharma” atau kebenaran yang
dikembangkan dalam budaya Bali tidak diaktualisasikan dengan cara dan bentuk
nyata. Sebaliknya, muncul perilaku negatif dari oknum aparat seperti kolusi,
korupsi, dan nepotisme yang merupakan penyakit birokrasi. Sementara itu,
birokrasi semestinya berorientasi pada kepuasan masyarakat yang majemuk dan
mengubah pola pikir aparat untuk kembali kepada fungsinya sebagai pelayan
masyarakat (public servicer).
b) Pengertian Kearifan Lokal
Kearifan lokal atau dalam bahasa asing sering diberikan dengan berbagai
peristilahan, seperti kebijaksanaan setempat (local wisdom) atau pengetahuan
setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Secara
konsepsional, kearifan lokal dikemukakan sebagai pandangan hidup, ilmu
pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah dalam
pemenuhan kebutuhan mereka (Sumitarsih, 1994). Tim G Babcook menyebutkan
kearifan lokal adalah pengetahuan dan cara berpikir dalam kebudayaan kelompok
108
manusia, yang merupakan hasil dari pengamatan kurun waktu yang lama.
Kearifan berisi suatu pandangan hidup masyarakat berkaitan tentang struktur
lingkungan, bagaimana lingkungan berfungsi, bagaimana reaksi alam atas
tindakan manusia, dan hubungan timbal balik antara manusia dengan
lingkungannya (Marian dan Nur Arafah, 2000).
Mengenai motivasi menggali kearifan lokal sebagai isu sentral secara
umum adalah untuk mencari dan jika dikehendaki, menetapkan identitas bangsa,
yang mungkin hilang karena proses persilangan dialektis, atau karena akulturasi
dan transformasi yang telah, sedang, dan akan terus terjadi sebagai sesuatu yang
tak terelakkan. Bagi kita, upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar
kearifan lokal merupakan hal yang penting salah satunya menjaga keseimbangan
ekosistem. Kearifan lokal dalam bentuknya yang berupa kompleksitas budaya
merupakan penyangga sekaligus penghubung antara supra dan infra struktur.
Tallcot Parson menyatakan bahwa kebudayaan pada dasarnya sebagai pengontrol
sistem kehidupan demi terselenggaranya "pattern maintenance". Hal ini pada
dasarnya sebagai pembentuk nilai harmonisasi. Dalam harmonisasi terdapat
keseimbangan yang bersifat sintagmatik antara perumusan konsep sosial budaya
beserta nilai-nilainya, penataan sosial dan budaya yang baru beserta nilai-nilainya
sehingga diperoleh sebuah keteraturan sosial. Hal ini secara sintagmatik dapat
dipadankan dengan pertumbuhan ekonomi yang berpijak pada perumusan konsep
baru sains dan teknologi sehingga melahirkan inovasi sains dan teknologi
sehingga terjadi peningkatan produksi.
109
Antara keteraturan sosial dan peningkatan produksi dapat diperoleh
kesejahteraan sosial. Kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan merupakan elemen penting
untuk memperkuat kohesi sosial di antara warga masyarakat. Secara umum,
kearifan lokal memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a) Sebagai penanda identitas sebuah komunitas;
b) Sebagai elemen perekat kohesisosial;
c) Sebagai unsur budaya yang tumbuh dari bawah, eksis dan berkembang
dalam masyarakat, dan bukan unsur budaya yang dipaksakan;
d) Berfungsi memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas;
e) Dapat mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan
kelompok dengan meletakkannya diatas common ground;
f) Mampu mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi, dan mekanisme
bersama untuk mempertahankan diri dari kemungkinan terjadinya gangguan
atau pengerusakan solidaritas kelompok sebagai komunitas yang utuh dan
terintegrasi.
c) Perilaku Birokrasi Berkearifan Lokal
Perilaku birokrasi di Indonesia berkaitan dengan praktek birokrasi yang
dibangun dari proses kesejarahan yang amat panjang, dari warisan kerajaan-
kerajaan yang ada sampai pada lamanya masa kolonialisme. Sejarah perjalanan
birokrasi di Indonesia tidak pernah terlepas dari pengaruh sistem politik yang
berlangsung. Apapun sistem politik yang diterapkan selama kurun waktu sejarah
pemerintahan di Indonesia, birokrasi tetap memegang peran sentral dalam
110
kehidupan masyarakat. Baik dalam sistem politik yang sentralistik maupun sistem
politik yang demokratis sekalipun, seperti yang diterapkan di negara-negara maju,
keberadaan birokrasi sulit dijauhkan dari aktivitas-aktivitas dan kepentingan-
kepentingan politik pemerintah (Dwiyanto,2008). Dengan demikian perilaku
birokrasi di Indonesia merefleksikan percampuran atau perpaduan antara
karakteristik birokrasi modern yang legal rasional, dengan karakteristik birokrasi
yang berakar dalam sejarah dan kondisi daerah masing-masing yang sering
disebut sebagai kearifan lokal (local wisdom). Jadi konsep neo-patrimonialisme
memiliki atribut yang bersifat modern dan rasional dalam bentuk institusi
birokrasi, tetap juga memperlihatkan atribut yang patrimonial tertanam dalam
bentuk pola perilaku. Faktor kultural dalam masyarakat Indonesia pada umumnya
cenderung kondusif untuk mendorong terjadinya perilaku negatif seperti korupsi,
dengan adanya nilai atau tradisi pemberian hadiah kepada pejabat. Akar kultural
pada masyarakat Indonesia yang nepotis juga memberikan dorongan bagi
terjadinya tindak korupsi. Secara struktural, perilaku negatif juga dapat
diakibatkan oleh adanya faktor dominannya posisi birokrasi pemerintah dalam
penguasaan sebagian besar informasi kebijakan dan pengaturan kegiatan ekonomi
(Mas‟oed, 2008). Substansi dari persoalan perilaku birokrasi yang korup pada
dasarnya merupakan bagian dari bentuk feodalisme yang terus dipelihara oleh
sistem birokrasi. Apalagi dominasi negara mengkerdilkan kekuatan lain dalam
masyarakat, yang kemudian menjadikan birokrasi menguasai sebagian besar
informasi kebijakan untuk mempengaruhi opini publik. Pendapat Mas‟oed (2008)
111
tersebut dalam teori Crouch disebut sebagai bentuk bureaucratic polity, yang ciri-
cirinya sebagai berikut:
(a) Pertama, lembaga politik yang dominan adalah birokrasi.
(b) Kedua, lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai politik,
dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah,
sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontrol kekuatan birokrasi.
(c) Ketiga, massa diluar birokrasi secara politik dan ekonomis adalah pasif,
yang sebagian merupakan kelemahan partai politik dan secara timbal balik
menguatkan birokrasi.
Konsep, nilai-nilai agama, adat, dan budaya Bali telah diaktualisasikan dengan
cara dan dalam bentuk yang nyata melalui visi pelayanan dari dinas/badan/kantor
pelayanan perizinan. Adapun mengenai visi/motto pelayanan yang mengadopsi
kearifan lokal nilai-nilai agama, adat, dan budaya Bali serta dikembangkan pada
dinas/badan/kantor pelayanan perizinan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi
Bali adalah :
a) Visi Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Pemerintah Kota
Denpasar yakni “Menuju Pelayanan Prima Kreatif Berwawasan Budaya”
dengan filosofi “Sewaka Dharma”, artinya melayani adalah kewajiban,
dan motto “Kalau Bisa Dipercepat, Kenapa Diperlambat”;
b) Visi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Pemerintah Kabupaten Badung yakni “Terwujudnya Pelayanan Prima
Berdasarkan Tri Hita Karana”, dengan motto “Cura Dharma Raksaka”
112
artinya “Kewajiban Pemerintah adalah untuk melindungi kebenaran dan
rakyatnya”;
c) Visi Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Karangasem yakni
“Karangasem cerdas, bersih, dan bermartabat berlandaskan Tri Hita
Karana”, dengan motto “Raksakeng Dharma Prajahita” artinya “Berkat
Perlindungan Dharma atau Agama untuk Mencapai Kesejahteraan
Rakyat”;
d) Visi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Kabupaten Bangli yakni “Peningkatan Kualitas Pelayanan Perizinan
Menuju Pelayanan Prima”, dengan motto “Gita Santi” artinya
“Terwujudnya masyarakat Bangli yang Gigih, Ikhlas, Takwa, Aspiratif,
Sejahtera, Aman, Nyaman, Tertib dan Indah berlandaskan Tri Hita
Karana”;
e) Visi Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Klungkung adalah
“Terwujudnya Pelayanan yang Prima dan Mandiri”, dengan semboyan
“Gema Santi” artinya Gerakan Masyarakat Santun dan Inovatif;
f) Visi Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Jembrana yakni
“Terwujudnya Pelayanan Prima Di Bidang Perizinan Dan Non Perizinan
Dengan Pola Pelayanan Terpadu Satu Loket Yang Cepat, Tepat, Benar dan
Transparan” dengan motto “Siap Melayani Anda Sepenuh Hati Dengan
Cepat Ramah Mudah Akurat dan Transparan (SMASH dengan
CERMAT)”;
113
g) Visi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu
Kabupaten Buleleng adalah “Terwujudnya Pelayanan Yang Cepat Dan
Tepat” dengan motto “Singaraja di Hatiku” artinya “Singaraja di hati Kita”
atau “Kami mencintai Singaraja”;
h) Visi Badan Penanaman Modal Dan Perizinan Daerah Kabupaten Tabanan
yakni “Terwujudnya Pelayanan Prima dalam Meningkatkan Investasi
menuju Tabanan Sejahtera, Aman dan Berprestasi” dengan motto
“Tabanan SERASI” artinya “Terwujudnya Masyarakat Tabanan Sejahtera,
Aman dan Berprestasi”;
i) Visi Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Gianyar yakni
“Terwujudnya Transparansi dan Kualitas Pelayanan Perizinan dan Non
Perizinan Menuju Pelayanan Prima”, dengan motto “Kepuasan Anda
adalah Tujuan Kami”.
Mengkaji visi dan motto/semboyan yang dikembangkan dinas/badan/kantor
pelayanan perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali pada
hakikatnya menunjukkan semua pemerintah daerah berupaya memberikan
pelayanan yang berkualitas untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Penumbuhkembangan sikap melayani oleh setiap individu termasuk juga aparatur
pemerintahan, dalam ajaran Agama Hindu pada hakikatnya menumbuhkan
karakter ketuhanan dalam dirinya (divine man) dan karakter ketuhanan dalam
kehidupan sosial (divine society). Hal ini sejalan dengan amanat konstitusional
dalam alinea keempat Pembukaan UUD1945, tujuan reformasi birokrasi maupun
konsep, nilai-nilai agama, adat, dan budaya Bali.
114
Mengenai kewajiban pemimpin beserta aparatnya untuk memberikan
pelayanan terbaik untuk masyarakatnya dapat dijumpai pada sloka 84 Kakawin
Ramayana, Bab III, (Titib, 2007) yang menyatakan sebagai berikut :
Nahan de sang natha kemita, irikang bhumi subhaga,
Pararthasih yagong sakalara, nikang rat wi nulatan,
Tuminghal yatna asing sawuwusikanang sasana tinut,
Tepet masih tar weruh kutima, milaging bancana dumeh.
Artinya :
Demikianlah kewajiban seorang raja untuk melindungi dunia demi untuk
kemakmuran dan kebahagian rakyat. Seorang raja harus selalu mengutamakan
kepentingan-kepentingan rakyatnya dan segala penderitaan rakyat juga harus
dipikirkan. Semua ajaran dalam kitab-kitab suci harus diikuti dengan seksama.
Dengan demikian, rakyat akan tetap mencintai raja dengan teguh, tidak
mengenal kecurangan, serta menjauhi penipuan, itulah pahalanya.
Dijadikannya Sewaka Dharma sebagai landasan ideal pelayanan publik pada
Pemerintah Kota Denpasar, dalam implementasinya membutuhkan adanya
pelayan atau abdi masyarakat dengan sifat-sifat dewa yang dikenal dengan Asta
Brata. Adapun karakteristik pelayanan Asta Brata yang termuat dalam kitab
Manawa Dharmasastra (Pudja, 2004) dan Kakawin Ramayana (Titib, 2007)
meliputi :
(1) Indra Brata, dimuat dalam sloka kekawin Ramayana Sargha XXIV sloka
53 menjelaskan bahwa:
“Nihan brata ni sang hyang Indra-alapen, sira anghudanaken tumrepting
jagat, sirata tuladenta Indrabrata, sudana ya hudanta manglyabi rat.”
Artinya:
Beginilah brata dari Dewa Indra yang harus diikuti yaitu memberikan
hujan kesejahteraan pada rakyat; anda hendaknya meniru brata Indra ini,
Sudanalah yang anda harus hujankan demi kesejahteraan rakyat.
115
Sloka ini mengajarkan pelayan untuk mengikuti sifat Hyang Indra sebagai
dewa yang menurunkan hujan ke bumi untuk kesejahteraan, dalam artian
mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
(2) Surya Brata, dimuat dalam kekawin Ramayana Sargha XXIV sloka 55
(Titib, 2007) yang menyatakan:
“Bhatara Rawi nanghisep wai lana, ndatan kara sanaih-sanaih de nira,
Samangkana kita alap pungguhen, natar gelisayeka Suryabrata.”
Artinya :
Dewa Matahari selalu mengisap air, perlahan-lahan tidak tergesa-gesa,
demikian hendaknya kalau anda menginginkan sesuatu dalam
mengambilnya, hendaknya sebagai caranya Matahari (Surya-bratha) yaitu
selalu dengan cara lemah lembut.
Sloka ini mengajarkan pelayan untuk mengikuti sifat Hyang Surya yang
memberikan penerangan dan kehidupan kepada alam semesta dan segala
isinya dalam artian bersifat mendidik dan memberdayakan masyarakat;
(3) Bayu Brata, dimuat dalam Kakawin Ramayana Sargha XXIV sloka 57
(Titib, 2007) yang menyatakan:
“Angin ta kita yan panginte ulah, kumawruhana buddhi ning rat kabeh
sucara ya panonta tatan katon, ya dibyaguna suksma Banyu-Bratha”
Artinya :
Hendaknya anda berbuat sebagai angin jika anda bermaksud menyelidiki
tingkah laku dari orang lain (bawahan) anda. Penyelidikan anda hendaknya
dilakukan dengan sopan dan tidak nampak. Itulah merupakan Banyubratha
yang tinggi nilainya dan membawakan jasa yang sangat bagus.
Sloka ini mengajarkan pelayan untuk mengikuti sifat Hyang Bayu yang
memberikan kehidupan dalam wujud nafas, memenuhi ruang dan tidak
menyisakan satupun ruang yang tidak terjamah olehnya, sehingga
116
pelayanan yang diselenggarakan agar dekat, murah, cepat, dan akurat,
serta menyentuh langsung kebutuhan masyarakat;
(4) Yama Brata, dimuat dalam kitab Manawadharmasastra, sloka VII.226
(Pudja, 2004) yang menyatakan:
“Etadwidhamtistheda rogah prthiwi patih, Aswasthah sarwametattu
bhrtyesu winiyoyate.”
Artinya :
Raja dalam keadaan sehat selalu memperhatikan peraturan-peraturan itu,
tetapi bila ia dalam keadaan tidak sehat ia dapat mempercayakan
pekerjaannya semua tugas pekerjaannya kepada pembantu-pembantunya.
Sloka ini mengajarkan pelayan untuk mengikuti sifat Hyang Yama, yaitu
dewa yang menegakkan keadilan di bumi, dalam artian pelayanan
dilaksanakan secara adil, merata, dan tidak membedakan golongan
manapun;
(5) Baruna Brata, dimuat dalam Kakawin Ramayana Sargha XXIV, sloka 58
(Titib, 2007) yang menyatakan:
“Bhatara Baruna anggego senjata, mahawisa ya nagapasa angapus, sira-
ta tuladenta pasabrata, kitomapusana ng watek durjana.”
Artinya:
Dewa Baruna memegang senjata yang sangat berbisa yaitu senjata
Nagapasa yang dapat mengikat secara ketat. Anda hendaknya memakai
sebagai teladan hakekat dari Nagapasa ini yaitu anda harus mengikat
dengan ketat (tanpa memberi ruang gerak) kepada mereka yang jahat.
Sloka ini mengajarkan pelayan untuk mengikuti sifat Hyang Baruna, yaitu
penguasa lautan sekaligus pelebur kekotoran manusia, sehingga pelayanan
mampu mengatasi permasalahan dan bukan menambah masalah di
masyarakat;
117
(6) Chandra Brata, dimuat dalam kekawin Ramayana Sargha XXIV sloka 56
(Titib, 2007) yang menyatakan:
“Sasi Bratha humarsuka ngrat kabeh, ulah ta mredu komala yan katon,
guyanta mamanis ya tulya amreta, asing matula pandita at swagatam”.
Artinya:
Laku utama dari Dewi Sasih adalah membuat seluruh dunia merasa
bahagia. Demikianlah perilaku dan tindakan adinda, hendaknya selalu
lemah lembut, berdasarkan rasa kasih sayang dan keluruhan budi.
Senyumanmu hendaknya selalu manis sebagai air kehidupan (amerta),
junjung tinggilah orang tua (yang dituakan) serta orang bijaksana (berilmu
tinggi di bidang keduniawiaan dan kerohanian) dan bermurah hatilah
terhadap mereka.
Sloka ini mengajarkan pelayan untuk mengikuti sifat Hyang Candra, yaitu
sifat-sifat bulan yang sejuk dan menyenangkan, sehingga pelayanan
dilakukan dengan senyum, ramah-tamah, dan nyaman;
(7) Agni Brata, dimuat dalam kekawin Ramayana BAB XXIV sloka 60 (Titib,
2007) yang menyatakan:
“Lananggesingi satru Bahnibrata, galakta ri musuhta yeka apuy ya, Asing
sa inasonta sirnapasah, ya tekana sinangguh Agni Brata.”
Artinya:
Kewajiban utama yang dilakukan oleh Bahni (api) ialah selalu
menghanguskan penentangnya. Kebenaran dan ketangguhan untuk
menghadapi musuh, itulah perlambang api. Siapapun yang anda serang,
pasti hancur lebur. Itulah yang dinamakan prilaku utama dari Api (Agni-
Brata).
Sloka ini mengajarkan pelayan untuk mengikuti sifat Hyang Agni yang
selalu menyala dan berkobar, sehingga pelayanan dilakukan dengan
bersemangat dan mampu melenyapkan segala masalah yang dihadapi
masyarakat;
118
(8) Perthiwi atau Kuwera Brata, dimuat dalam Kakawin Ramayana BAB
XXIV sloka 58 (Titib, 2007) yang menjelaskan:
“Manuktya ng upabhoga sambing inak, taman panepengeng pangan
mwang nginum, manandanga mabhusana mahyasa, nahan ta Dhanada-
baratha anung tirun.”
Artinya:
Nikmatilah kelezatan dan kemewahan hidup ini, tanpa melewati batas
dalam menikmati makanan, minuman dan pakaian, memakai perhiasan dan
intan permata. Itulah laksana utama (brata) dari Dewa Dhanada (Kuwera)
yang hendaknya dipegang sebagai contoh.”
Sloka ini mengajarkan pelayan untuk mengikuti sifat Hyang Perthiwi atau
Kuwera, yakni dewa-dewi penganugerah kekayaan dan kemakmuran bagi
manusia sehingga pelayanan masyarakat agar selalu tampil elegan dan
berwibawa.
2.1.9 Pengawasan Masyarakat
Pengawasan berkaitan dengan kegiatan mengukur antara pelaksanaan
dengan tujuannya, menentukan sebab-sebab adanya penyimpangan, dan
mengambil tindakan-tindakan korektif dimana perlu (George R.Terry 2009).
Menurut Fayol sebagaimana dikutip Siagian, adapun mengenai sasaran
pengawasan adalah untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan dan kesalahan-
kesalahan dengan maksud memperbaikinya dan mencegah agar tidak terulang
kembali (Siagian, 2007). Dengan demikian, pengawasan atas pelayanan perizinan
oleh masyarakat merupakan upaya untuk memastikan apakah penyelenggaraan
pelayanan perizinan sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dimiliki masing-masing
119
pemerintah kabupaten/kota terkait pelayanan perizinan yang diselenggarakan. Hal
ini tidak terlepas dari adanya banyaknya keluhan masyarakat mengenai pelayanan
perizinan yang diberikan, sehingga masih dipertanyakan kinerja maupun
efektifitas badan/dinas/kantor terkait yang menyelenggarakan perizinan.
2.2 Teori-teori yang Relevan
2.2.1 Teori Ekonomi Kelembagaan
Perdebatan pemikiran ekonomi yang mainstream dan non-mainstream
salah satunya adalah perdebatan Ilmu Ekonomi Kelembagaan Lama (Old
Institutional Economics atau OIE), Ekonomi Neo Klasik (Neo Clasical
Economcis atau NCE) dan Ekonomi Kelembagaan Baru (New Institutional
Economics atau NIE). North dalam kaitan ini mengemukakan ada dua cara dalam
memahami dinamika perubahan kelembagaan, yakni perubahan kelembagaan
sebagai hubungan simbiotik antara kelembagaan dan organisasi yang mengelilingi
di sekitar struktur insentif yang disediakan oleh kelembagaan, dan perubahan
kelembagaan sebagai proses umpan balik dimana individu merasa dan bereaksi
terhadap perubahan berbagai kesempatan (Hira dan Hira, 2000).
Hubungan yang pertama menegaskan bahwa organisasi bersikap optimis
untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Berdasarkan proposisi ini North
(Hira dan Hira, 2000) menyatakan terdapat tantangan mendasar dalam
menciptakan kelembagaan yang efisien yakni menyingkirkan aspek-aspek
informal dengan halangan formal (aligning informal with formal constraint) dan
menciptakan serta merawat kebijakan yang akan mendukung tercapainya
120
kelembagaan yang efisien (creating and maintaining a polity that will support
adaptively efficient institutions). Menyangkut rintangan yang pertama, North
meyakini bahwa masyarakat menilai suatu system tersebut adil (fair), kemudian
meminjamkan stabilitas informal ke peraturan formal sehingga akan mengurangi
masalah tindakan kolektif. Sedangkan berkaitan dengan rintangan kedua, North
merujuk kepada kebutuhan terhadap adanya transparansi dan akuntabilitas dana
dalam rangka mengurangi biaya informasi pemilih (reducing the information
costs of the voter).
Pada tahun 2000, Williamson telah memperkenalkan evolusi teori NIE
melalui empat level analisis sosial. Adapun evelosi teori NIE seperti Gambar 2.5
Gambar 2.5
Evolusi Teori NIE
Sumber: Williamson, 2000
121
Gambar 2.5 menjelaskan bahwa garis panah penuh menunjukkan hubungan antara
yang lebih tinggi dan yang lebih rendah di mana level yang lebih tinggi
menentukan kendala pada level di bawahnya. Garis panah putus-putus
menunjukkan hubungan yang menghubungkan level lebih rendah dan level lebih
tinggi. Williamson (2000) menjelaskan level kelembagaan sebagai berikut:
a) Level I, yaitu teori sosial (social theory) yang merupakan aturan informal
yang telah melekat dalam masyarakat, seperti tradisi, agama, norma, adat,
dan konvensi keterkandungan atau mindset (embeddedness). Analisis level I
sangat dipengaruhi oleh sejarah ekonomi dan ilmu pengetahuan sosial
lainnya. Pada level ini, perubahan terjadi sangat lambat, spontan, dan
alamiah pada hitungan abad sampai milenium.
b) Level II terkait dengan lingkungan kelembagaan (institutional environment).
Level II menekankan ekonomi kepemilikan (economics of property rights)
yang terdiri dari aturan main (hukum), politik dan birokrasi yang meliputi
fungsi eksekutif, legislatif, hukum, maupun fungsi birokrasi pemerintahan.
Definisi hak milik (property rights) dan hukum kontrak (contract law)
merupakan gambaran penting. Pada level ini biasanya disebut „level aturan
main hak dan kewajiban‟ atau „level menuju lingkungan kelembagaan
ekonomisasi order pertama‟.
c) Level III menekankan struktur tata kelola yang menekankan kontrak dan
biaya transaksi (transaction cost economics). Meskipun hak milik tetap
penting, fungsi sistem hukum mendefinisikan hukum kontrak dan
perlindungan kontrak tidak bisa diabaikan. Pada level ini, biasanya disebut
122
level bagaimana aturan main hak dan kewajiban dimainkan atau „level
menuju struktur tata kelola ekonomisasi order kedua‟.
d) Level IV menekankan efisiensi sumber daya dan struktur insentif yang
merupakan kerangka kerja neoklasik. Analisis marjinal dikembangkan di
mana digambarkan sebagai fungsi produksi. Penyesuaian harga dan output
bersifat lebih atau kurang kontinu. Pada level ini, biasanya disebut „level
menuju kondisi marjinal economisasi order ketiga‟.
Dari penjelasan level kelembagaan seperti yang disampaikan sebelumnya maka
dapat kita simak beberapa hal sebagai berikut:
a) Pada organisasi publik, aturan informal yang merupakan tradisi, norma,
adat, agama, dan kebiasaan baik yang bersifat produktif maupun tidak
produktif, belum kompatibel dalam mendukung aturan formal. Budaya
primordialisme, patron-klien, raja-raja kecil, pangreh praja, dan upeti
adalah budaya informal yang melekat (embededness) sebagai mindset
perilaku pelaku birokrasi menciptakan biaya tinggi. Budaya transaksional
masih menonjol.
b) Hak kepemilikan (property rights) kewenangan belum optimal dalam
tataran birokrasi organisasi publik di zaman transisi perubahan paradigma
sentralistis menuju desentralistis. Sistem aturan kewenangan (system of
rules) yang pada organisasi publik belum memberikan fungsi dan hak dan
kewajiban yang jelas (lack clarity of function).
c) Perilaku yang terbatas (bounded rationality) dan perilaku yang oportunis
(oppourtunistic behaviour) menyebabkan hubungan kontrak tidak jelas di
123
organisasi publik, berakibat meningkatkan biaya transaksi ekonomi
(transaction cost economics). Kebijakan birokrasi kontinyu dan diskontinyu
telah menggeser pola penyalahgunaan kekuasaan ”abuse of power” oleh
segelintir oknum di lembaga publik.
d) Kompleksitas permasalahan di organisasi publik seperti ketidakjelasan
aturan kepemilikan kewenangan (institutional environment) dan
ketidakjelasan tata kelola (institutional governance), seperti ketidakjelasan
kontrak-kontrak hubungan kewenangan, dan ketidakjelasan hubungan
principal-agent menghasilkan ketidakjelasan struktur insentif.
2.2.2 Pembangunan Ekonomi
Pembangunan melalui pendekatan ”dialektika historikal” dipandang
sebagai proses atau suatu gambar bergerak (moving picture) mengamati fenomena
sosial dengan cara mengkaji ”tempat” dan ”proses” perubahannya. Sementara itu,
sejarah bergerak dari satu tahap ke tahap yang lain, sehingga tingkat pendapatan
per kapita yang tinggi dalam lingkungan ekonomi merupakan suatu prakondisi
bagi masa depan dalam menciptakan kesejahteraan. Michael P. Todaro dan
Stephen C. Smith (2012) menuliskan setidaknya ada 4 (empat) teori klasik dalam
pembangunan ekonomi, yaitu Linear Stages Development Model Approach,
Structural Change Theory, International Dependence Model dan Neoclassical
Counterrevolution.
Tiap-tiap model atau teori memiliki pendekatannya masing-masing dalam
menjelaskan fenomena pembangunan yang terjadi dalam sebuah negara yaitu:
124
a) Linear Stages Development Model Approach. Pendekatan ini muncul pada
sekitar tahun 1970-an yang berdasarkan adanya pemikiran dari negara barat
yang melihat munculnya kemiskinan di banyak negara. Ada dua tokoh utama
dalam pendekatan ini, yaitu W.W Rostow yang menyebutkan peralihan dari
negara miskin menjadi negara kaya harus melewati beberapa tahapan yang
harus dilewati dan Harrold-Domar yang menyebutkan pertumbuhan terjadi
ketika produk domestik bruto tergantung pada tingkat tabungan nasional
namun berbanding terbalik dengan capital-output ratio.
b) Structural Change Theory menyatakan bahwa negara menjadi miskin karena
ketidakmampuan mereka untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya
dikarenakan adanya faktor ketidakmampuan struktur dan institutsi, baik di
tingkat domestik ataupun internasional. Hal ini mengakibatkan pembangunan
yang dilakukan oleh negara miskin seharusnya tidak hanya meningkatkan
modal, tetapi juga merubah struktur secara besar-besaran dari tradisional
pertanian menjadi lebih modern dan mengarah pada industrialisasi. Tokoh
pemikiran ini adalah Lewis, membagi keadaan pembangunan ekonomi menjadi
dua model. Pertama, disebutnya sebagai Traditional-overpopulated rural
subsistence dimana negara tersebut merupakan negara terbelakang dan
bertumpu pada pertanian yang selanjutnya disebut sebagai Surplus Labour.
Kedua, disebutnya sebagai High-productivity modern yang lebih maju daripada
subsistance dan menjadi tujuan dari Surplus Labour tersebut. Perpindahan ini
memungkinkan terjadinya perubahan struktur yang semula berbentuk pertanian
menjadi lebih maju (industrialis). Chenery melengkapi pernyataan Lewis
125
dengan menyatakan bahwa perubahan struktur seharusnya tidak hanya terjadi
pada hal-hal yang berhubungan dengan tingkat ekonomi, seperti income dan
savings tetapi juga terjadi perubahan pada modal manusia dan fisik.
c) International Dependence Model. Pemikiran dasar dari pendekatan ini adalah
melihat negara-negara berkembang mengalami kemiskinan dikarenakan
mereka didominasi dan tergantung secara politik, institusi dan ekonomi baik
secara nasional maupun internasional kepada negara kaya. Pedekatan ini
mempunyai 3 (tiga) aliran utama, yaitu:
(1) Neocolonial Dependence Model. Proposisi utama dalam model ini
menyebutkan bahwa kondisi kemiskinan (underdevelopment) terjadi
karena negara maju secara terus-menerus melakukan eksploitasi, baik
secara ekonomi, politik maupun budaya kepada negara-negara miskin
(periphery) yang menjadi jajahannya pada masa lalu.
(2) False-Paradigm Model. Model ini menyatakan bahwa negara
berkembang sulit menjadi negara maju dikarenakan kebanyakan strategi
pembangunan yang mereka gunakan berasal dari negara Barat (maju)
yang berdasarkan pada model pembangunan yang salah, seperti
penumpukan modal secara besar-besaran ataupun kebebasan pasar
tanpa mempertimbangkan kebutuhan perubahan sosial dan institusi.
(3) Dualistic-Development thesis. Tesis utama dari pendekatan ini adalah
adanya eksistensi yang berbeda terhadap situasi dan fenomena, yaitu
diperhitungkan dan tidak, sebagai kelompok berbeda dalam sebuah
komunitas. Sebagai contoh, ekonomi modern dan tradisional,
126
pertumbuhan dan stagnasi, pendidikan tinggi dan tidak. Perbedaan ini
menyebabkan negara menjadi terbagi-bagi dan dikotak-kotakkan.
d) Neoclassical Counterrevolution: Market fundalism. Beberapa negara maju
seperti Amerika Serikat, Inggris dan Jerman memperkenalkan pedekatan
neoclasical ini. Argumen utama dari pendekatan ini adalah bahwa kemiskinan
(underdevelopment) yang terjadi di negara-negara berkembang berasal dari
ketidakmampuan mereka dalam mengalokasikan sumber daya dikarenakan
ketidakmampuan menentukan kebijakan harga dan terlalu besarnya pengaruh
negara terhadap pasar. Untuk itu salah satu solusi yang dikedepankan oleh
pemikir pendekatan ini adalah membuka persaingan dalam pasar seluasnya
melalui privatisasi perusahaan milik negara, mempromosikan pasar bebas dan
meningkatkan ekspor, membuka investasi dari negara maju serta membatasi
peran pemerintah dalam pasar terutama dalam penentuan harga ataupun
batasan. Salah satu pemikir pendekatan ini Coentrary, memperkuat hal ini
dengan menyatakan kemiskinan yang terjadi di negara berkembang bukan
karena sistem ekonomi dan politik internasional, melainkan besarnya
pengaruh pemerintah dalam pasar dan banyaknya penyelewengan kekuasaan
yang dilakukan seperti korupsi, sehingga satu-satunya jalan adalah dengan
membuka pasar seluasnya bagi para pelakunya.
Pembangunan yang berhasil dicerminkan dengan adanya perubahan sistem
sosial di masyarakat tanpa mengabaikan beragam kebutuhan serta keinginan
masing-masing individu maupun kelompok sosial yang ada di dalamnya. Kunci
utama untuk pertumbuhan berbagai sektor usaha adalah “investasi nyata” (real
127
invenstment), misalnya dalam proyek infrastruktur baru. Untuk mendukung
”investasi”, pemerintah dapat menetapkan kebijakan-kebijakan secara langsung
melalui government expenditure (Pengeluaran pemerintah) karenanya, merupakan
suatu jalan untuk “menangkal krisis”. Adanya investasi nyata akan memberikan
efek positif bagi penciptaan lapangan kerja dan selanjutnya menghasilkan
kesejahteraan melalui multiplier effect. Misalnya, apabila pemerintah mendanai
pembangunan jalan, hal ini menciptakan pekerjaan tidak hanya untuk membangun
jalan, tetapi juga untuk suplier material jalan beserta alat-alat lainnya. Para pekerja
akan mengeluarkan uang untuk pekerjaan orang lain dan perusahaan akan
menghasilkan profit yang akan diinvestasikan lebih lanjut. Ada beberapa dampak
dari pembangunan ekonomi yaitu:
a) Dampak Positif, terdiri dari:
(1) Melalui pembangunan ekonomi pelaksanaan kegiatan perekonomian akan
berjalan lebih lancar dan mampu mempercepat proses pertumbuhan
ekonomi.
(2) Adanya pembangunan ekonomi dimungkinkan terciptanya lapangan
pekerjaan yang dibutuhkan oleh masyarakat sehingga akan mengurangi
pengangguran.
(3) Terciptanya lapangan pekerjaan akibat pembangunan ekonomi secara
langsung bisa memperbaiki tingkat pendapatan nasional.
(4) Melalui pembangunan ekonomi dimungkinkan adanya perubahan struktur
perekonomian dari struktur ekonomi agraris menjadi struktur ekonomi
128
industri sehingga kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh negara akan
semakin beragam dan dinamis.
(5) Pembangunan ekonomi menuntut peningkatan kualitas SDM sehingga
dalam hal ini dimungkinkan pengetahuan dan teknologi akan berkembang
pesat sehingga makin meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
b) Dampak negatif, yaitu:
(1) Pembangunan ekonomi yang tidak terencana dengan baik akan
mengakibatkan kerusakan lingkungan.
(2) Industrialisasi mengakibatkan berkurangnya lahan pertanian.
(3) Hilangnya habitat alam baik hayati atau hewani apabila pembangunan
ekonomi tidak terlaksana dengan baik.
2.2.3 Teori Kualitas Pelayanan
Dalam perspektif administrasi publik, pelayanan publik berkaitan dengan
kualitas pelayanan aparat pemerintahan (birokrat) terhadap masyarakat. Adapun
kata “kualitas” memiliki banyak definisi yang berbeda dan bervariasi mulai dari
yang konvensional hingga yang lebih strategis. Definisi konvensional dari kualitas
biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk, seperti :
1) Kinerja (performance)
2) Kehandalan (reliability)
3) Mudah dalam penggunaan (easy of use)
4) Estetika (esthetics), dan sebagainya.
Lovelock Christopher (2004) lebih lanjut dalam bukunya yang berjudul “Product
Plus“ mengemukakan kualitas pelayanan sebagai suatu gagasan menarik tentang
129
bagaimana suatu produk bila ditambah dengan pelayanan (service) akan
menghasilkan suatu kekuatan yang memberikan manfaat pada organisasi dalam
meraih keuntungan bahkan untuk menghadapi persaingan. Ada 8 (delapan) hal
tentang pelayanan yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Information yaitu proses suatu pelayanan yang berkualitas dimulai dari
produk dan jasa yang diperlukan pelanggan. Penyediaan saluran informasi
yang langsung memberikan kemudahan dalam rangka menjawab keinginan
pelanggan tersebut adalah penting.
2) Consultation, berkaitan dengan upaya untuk memperoleh informasi yang
diinginkan, dimana pelanggan memerlukan konsultasi baik menyangkut
masalah teknis, administrasi, biaya. Untuk itu suatu organisasi harus
menyiapkan sarananya menyangkut materi konsultasi, tempat konsultasi,
karyawan/petugas yang melayani, dan waktu untuk konsultasi secara
cuma-cuma.
3) Ordertaking, berkaitan dengan penilaian pelanggan yang ditekankan pada
kualitas pelayanan dengan mengacu pada kemudahan pengisian aplikasi
maupun administrasi yang tidak berbelit-belit, fleksibel, biaya murah, dan
syarat-syarat yang ringan.
4) Hospitality, berkaitan dengan pelanggan yang berurusan secara langsung
akan memberikan penilaian kepada sikap ramah dan sopan dari karyawan,
ruang tunggu yang nyaman dan fasilitas lain yang memadai.
130
5) Caretaking, berkaitan dengan adanya variasi latar belakang pelanggan maka
akan menuntut adanya pelayanan yang berbeda-beda pula sesuai dengan
kondisi pelanggan.
6) Exeption, berkaitan dengan kebutuhan beberapa pelanggan yang tidak
jarang menginginkan pengecualian kualitas pelayanan.
7) Billing, berkaitan dengan administrasi pembayaran yang berpotensi
menimbulkan kerawanan, sehinga pelayanan harus memperhatikan hal-hal
yang berkaitan dengan administrasi pembayaran, baik menyangkut daftar
isian formulir transaksi, mekanisme pembayaran hingga keakuratan
perhitungan tagihan.
8) Payment, berkaitan dengan fasilitas pembayaran yang harus disediakan pada
ujung pelayanan berdasarkan pada keinginan pelanggan, seperti transfer
bank, credit card, debet langsung pada rekening pelanggan.
Sinambela (2006) mengemukakan secara teoritis mengenai tujuan
pelayanan publik yang pada dasarnya dimaksudkan untuk memuaskan
masyarakat. Untuk mencapai kepuasan masyarakat, maka dituntut kualitas
pelayanan prima yang tercermin dari adanya :
1) Transparansi, terkait dengan pelayanan yang bersifat terbuka, mudah, dan
dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan, disediakan secara
memadai serta mudah dimengerti.
2) Akuntabilitas, terkait dengan pemberian pelayanan yang dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
131
3) Kondisional, terkait dengan pelayanan yang disesuaikan dengan kondisi dan
kemampuan pemberi maupun penerima pelayanan dengan tetap berpegang
pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
4) Partisipatif, terkait dengan pelayanan yang dapat mendorong peran serta
masyarakat dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik dengan
memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.
5) Kesamaan hak, terkait dengan adanya pelayanan yang tidak melakukan
diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama,
golongan, status sosial, dan lain-lain.
6) Keseimbangan hak dan kewajiban, terkait dengan pemberian pelayanan
yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima
pelayanan publik.
2.2.4 Perkembangan Pelayanan Publik terkait Reinventing Government
Theory
Mengenai perkembangan paradigma pelayanan publik dapat
diklasifikasikan dalam beberapa masa sebagai berikut :
a) Old Public Administration
Perspektif pertama yang merupakan perspektif klasik berkembang sejak
tulisan yang berjudul “the study of administration”, dengan dua gagasan
utamanya. Gagasan pertama, menyangkut pemisahan politik dan administrasi.
Administrasi publik tidak secara aktif dan ekstensif terlibat dalam pembentukan
kebijakan karena tugas utamanya adalah implementasi kebijakan dan penyediaan
layanan publik. Dalam menjalankan tugasnya, administrasi publik menampilkan
132
netralitas dan profesionalitas. Administrasi publik diawasi oleh dan bertanggung
jawab kepada pejabat politik yang dipilih (Denhardt, 1998). Gagasan kedua,
membicarakan bahwa administrasi publik seharusnya berusaha sekeras mungkin
untuk mencapai efisiensi dalam pelaksanaan tugasnya. Efisiensi ini dapat dicapai
melalui struktur organisasi yang terpadu dan bersifat hierarkis. Gagasan ini terus
berkembang melalui para pakar seperti dikemukakan oleh Taylor (1923) dengan
“scientific management”, White (1926) dan Willoughby (1927) yang
mengembangkan struktur organisasi sangat efisien, dan Gullick dan Urwick
(1937) yang sangat terkenal dengan akronimnya POSDCORB (Denhardt, 1998).
Selama masa berlakunya perspektif old public administration ini, terdapat
dua pandangan utama yang lainnya yang berada dalam arus besar tersebut.
Pertama adalah pandangan tertuang dalam karya klasik “administrative behavior”.
Preferensi individu dan kelompok seringkali berpengaruh pada berbagai urusan
manusia. Organisasi pada dasarnya tidak sekedar berkenaan dengan standar
tunggal efisiensi, tetapi juga dengan berbagai standar lainnya. Konsep utama yang
ditampilkan adalah rasionalitas. Manusia pada dasarnya dibatasi oleh derajat
rasionalitas tertentu yang dapat dicapainya dalam menghadapi suatu persoalan,
sehingga untuk mempertipis batas tersebut manusia bergabung dengan yang
lainnya guna mengatasi segala persoalannya secara efektif. Walaupun rasionalitas
menjadi nilai utama dasar bertindak manusia, namun diungkapkan bahwa dalam
organisasi manusia yang rasional juga menerima tujuan organisasi sebagai nilai
dasar bagi pengambilan keputusannya. Dengan demikian orang akan berusaha
mencapai tujuan organisasi dengan cara yang rasional dan menjamin perilaku
133
manusia untuk mengikuti langkah yang paling efisien bagi organisasi. Dengan
pandangan ini akhirnya posisi rasionalitas dipersamakan dengan efisiensi. Hal ini
tampak dalam pandangan Denhardt dan Denhardt bahwa “for what Simon called
„administrative man,‟the most rational behavior is that which moves an
organization efficiently toward its objective” (Denhardt, 1998). Kritik yang
ditujukan terhadap Administrasi Publik model klasik tersebut juga dikaitkan
dengan karakteristik dari Administrasi Publik yang dianggap interalia, red tape,
lamban, tidak sensitif terhadap kebutuhan masyarakat, penggunaan sumberdaya
publik yang sia-sia akibat hanya berfokus pada proses dan prosedur dibandingkan
kepada hasil, sehingga pada akhirnya menyebabkan munculnya pandangan negatif
dari masyarakat yang menganggap Administrasi Publik sebagai beban besar para
pembayar pajak.
b) New Public Management
Perspektif administrasi publik kedua, new public management berusaha
menggunakan pendekatan sektor swasta dan pendekatan bisnis dalam sektor
publik. Selain berbasis pada teori pilihan publik, dukungan intelektual bagi
perspektif ini berasal dari public policy schools (aliran kebijakan publik) dan
managerialism movement. Aliran kebijakan publik dalam beberapa dekade
sebelum ini memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam ilmu ekonomi, sehingga
analisis kebijakan dan para ahli yang menggeluti evaluasi kebijakan terlatih
dengan konsep market economics, costs and benefit dan rational model of choice.
Selanjutnya, aliran ini mulai mengalihkan perhatiannya pada implementasi
134
kebijakan, yang selanjutnya mereka sebut sebagai public management (Denhardt,
1998).
Gambaran yang lebih utuh tentang perspektif new public management ini
dapat dilihat dari pengalaman Amerika Serikat sebagaimana tertuang dalam
sepuluh prinsip “reinventing government” karya Osborne dan Gaebler (1992).
Prinsip-prinsip tersebut adalah catalytic government: steering rather than rowing,
community-owned government: empowering rather than serving, competitive
government: injecting competition into service delivery, mission-driven
government: transforming rule-driven organizations, results-oriented
government: funding outcomes not inputs, customer-driven government: meeting
the needs of the customer not the bureaucracy, entreprising government: earning
rather than spending, anticipatory government: prevention rather than cure,
decentralized government: from hierarchy to participation and team work,
market-oriented government: leveraging change through the market. Adapun inti
dari prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
1) Catalytic Government: steering rather than rowing (Pemerintahan Katalis:
mengarahkan dari pada mengayuh/mendayung). Pemerintah harus
mengambil peran sebagai katalisator dalam memenuhi/ memberikan
pelayanan publik dengan melalui cara merangsang sektor swasta,
pemerintah lebih berperan sebagai pengarah.
2) Community-Owned Government: empowering rather than serving
(Pemerintah Milik Masyarakat: memberi wewenang daripada melayani).
Pemerintah yang dalam pengambilan keputusan yang menyangkut
135
kepentingan masyarakat akan ikut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
keputusan tersebut.
3) Competitive Government: injecting competition into service delivery
(Pemerintah yang kompetitif: menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian
pelayanan). Pemerintah menumbuhkan semangat untuk meningkatkan
kualitas pelayanan kepada masyarakat dengan melalui persaingan dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
4) Mission-Driven Government: meeting the needs of the customer, not the
bureaucracy (Pemerintahan yang digerakkan oleh Misi; Mengubah
organisasi yang digerakkan oleh peraturan). Tugas-tugas yang dilaksanakan
aparat pemerintah lebih berorientasi kepada misi. Pelaksanaan program
harus lebih fleksibel.
5) Result Oriented government; funding outcome, not inputs (Pemerintah
Berorientasi pada hasil: membiayai hasil bukan masukan). Pemerintah yang
menekankan pada hasil menekankan pentingnya untuk berorientasi pada
hasil atau kinerja yang dicapai.
6) Customer-Driven Government: meeting the needs of the custome, not the
bureaucracy (Pemerintah Berorientasi pada Pelanggan: memenuhi
kebutuhan pelanggan bukan kebutuhan birokrasi). Pemerintah melayani
kebutuhan masyarakat atau memberi pelayanan kepada masyarakat.
Pemerintah harus memberikan pelayanan sebaik-baiknya baik kuantitas atau
kualitas kepada masyarakat.
136
7) Enterprising Government: earning rather than spending (Pemerintahan
Wirausaha: Menghasilkan daripada Membelanjakan). Pemerintah harus
pandai menghasilkan dana (menggali sumber dana) bukan hanya pandai
dalam menghabiskan dana.
8) Anticipatory Government: prevention rather than cure (Pemerintahan
Antisipatif: mencegah daripada mengobati). Pemerintah harus berorientasi
pada masa depan. Pemerintah tidak hanya mengatasi masalah-masalah yang
akan muncul dimasa depan.
9) Decentralized Government: From hierarchy to participation and team-work
(Pemerintahan Desentralisasi: Dari sistem hirarki menuju partisipasi dan tim
kerja). Pemberian pelayanan kepada masyarakat dengan proses melalui
tingkatan-tingkatan yang banyak tidak efektif dan efisien serta
menyebabkan ketidakpuasan, sehingga sistem desentralisasi dipandang yang
akan lebih efektif dan efisien.
10) Market-Oriented Government, Leveraging Change Through the Market
(Pemerintah yang berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui
pasar). Pemerintah harus berorientasi pada pasar dalam arti berusaha
menggunakan mekanisme pasar daripada mekanisme birokrasi.
Kesepuluh prinsip tersebut bertujuan untuk menciptakan organisasi pelayanan
publik yang smaller (kecil, efisien), faster (kinerjanya cepat, efektif), cheaper
(operasionalnya murah) dan kompetitif. Dengan demikian, pelayanan publik oleh
birokrasi diharapkan dapat menjadi lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan
old public administration. Dalam perspektif ini memang lebih mengedepankan
137
efisiensi, rasionalitas, produktifitas dan bisnis sehingga kadangkala dapat
bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan kepentingan publik. Menurut
Denhardt, karena pemilik kepentingan publik yang sebenarnya adalah masyarakat
maka administrator publik seharusnya memusatkan perhatiannya pada tanggung
jawab melayani dan memberdayakan warga negara melalui pengelolaan
organisasi publik dan implementasi kebijakan publik. Perubahan orientasi tentang
posisi warga negara, nilai yang dikedepankan, dan peran pemerintah ini
memunculkan perspektif baru administrasi publik yang disebut sebagai new
public service.
Warga negara seharusnya ditempatkan di depan, dan penekanan tidak
seharusnya membedakan antara mengarahkan dan mengayuh tetapi lebih pada
bagaiamana membangun institusi publik yang didasarkan pada integritas dan
responsivitas (Denhardt, 1998). Osborne dan Gaebler (1992) menyatakan “isu
sentral yang berkembang dalam penyelenggaraan pemerintahan sebetulnya
bukanlah pemerintah yang banyak memerintah atau sedikit memerintah atau
sekedar pemerintahan yang baik, melainkan pemerintahan yang selain semakin
dekat kepada rakyat juga benar-benar memerintah”. Wahab (1998) dalam kaitan
ini menambahkan “kecenderungan global menunjukkan bahwa pemberian
pelayanan publik yang kompetitif dan berkualitas kepada rakyatnya akan terus
dituntut. Lebih lanjut dinyatakan “kecenderungan global menunjukkan bahwa
pemberian pelayanan yang semakin baik pada sebagian besar rakyat merupakan
salah satu tolok ukur bagi kredibiltas dan sekaligus kepastian politik pemerintah
dimanapun”.
138
Bilamana pemerintah dijalankan layaknya sebuah korporasi dan
pemerintah berperan mengarahkan tujuan pelayanan publik, sehingga tidak jelas
lagi siapa yang merupakan pemilik dari kepentingan publik dan pelayanan publik.
Berpijak pada hal ini, Denhardt dan Denhardt memberikan kritiknya terhadap
perspektif new public management sebagaimana yang tertuang dalam kalimat “in
our rush to steer, perhaps we are forgetting who owns the boat (Denhardt,1998)”.
Mengenai akibat dari mengadopsi pendekatan beorientasi ekonomi (pasar)
terhadap penyediaan pelayanan publik maka terjadinya transformasi standar etika
pelayanan publik seperti akuntabilitas, keterwakilan, netralistas, daya tanggap,
integritas, kesetaraan, pertanggungjawaban, ketidakberpihakan, serta kebaikan
dan keadilan yang digantikan dengan nilai-nilai pasar seperti efisiensi,
produktivitas, biaya yang efektif, kompetisi, dan pencarian keuntungan.
c) New Public Service
Denhardt (1998) menegaskan bahwa ”public servants do not deliver
customer service; they deliver democracy”. Dengan demikian maka sebuah
pemerintahan atau institusi pemerintahan tidak seharusnya dijalankan seperti
sebuah perusahaan, tetapi memberi pelayanan kepada masyarakat secara
demokratis dalam artian adil, merata, tidak diskriminatif, jujur, dan akuntabel.
Menurut mereka hal ini dilatarbelakangi oleh alasan-alasan sebagai berikut :
1) nilai-nilai demokrasi, kewarganegaraan, dan kepentingan publik yang
merupakan landasan utama/pokok dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan;
139
2) nilai-nilai tersebut memberi energi kepada pegawai pemerintah/pelayan
publik dalam memberikan pelayanannya kepada publik secara lebih adil,
merata, jujur, dan bertanggungjawab. Oleh karenanya, pegawai pemerintah
harus senantiasa melakukan rekoneksi dan membangun jaring-hubungan
yang erat dan dinamis dengan masyarakat atau warganya.
Menurut Denhardt (1998), karena pemilik kepentingan publik yang sebenarnya
adalah masyarakat maka administrator publik seharusnya memusatkan
perhatiannya pada tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga negara
melalui pengelolaan organisasi publik dan implementasi kebijakan publik.
Perubahan orientasi tentang posisi warga negara, nilai yang dikedepankan, dan
peran pemerintah ini memunculkan perspektif baru administrasi publik yang
disebut sebagai new public service. Warga negara seharusnya ditempatkan di
depan, dan penekanan tidak seharusnya membedakan antara mengarahkan dan
mengayuh tetapi lebih pada bagaimana membangun institusi publik yang
didasarkan pada integritas dan responsivitas. Perspektif new public service
mengawali pandangannya dari pengakuan atas warga negara dan posisinya yang
sangat penting bagi kepemerintahan demokratis. Jati diri warga negara tidak
hanya dipandang sebagai semata persoalan kepentingan pribadi (self interest)
namun juga melibatkan nilai, kepercayaan, dan kepedulian terhadap orang lain.
Warga negara dalam kaitan itu diposisikan sebagai pemilik pemerintahan (owners
of government) dan mampu bertindak secara bersama-sama mencapai sesuatu
yang lebih baik.
140
Kepentingan publik tidak lagi dipandang sebagai agregasi kepentingan
pribadi melainkan sebagai hasil dialog dan keterlibatan publik dalam mencari
nilai bersama dan kepentingan bersama. Secara ringkas, perspektif new public
service dapat dilihat dari beberapa prinsip yang dikemukakan oleh Denhardt
(1998). Adapun prinsip-prinsip yang dimaksudkan adalah :
1) Serve citizens, not customers, dalam artian karena kepentingan publik
merupakan hasil dialog tentang nilai-nilai bersama daripada agregasi
kepentingan pribadi perorangan maka abdi masyarakat tidak semata-mata
merespon tuntutan pelanggan tetapi justru memusatkan perhatian untuk
membangun kepercayaan dan kolaborasi dengan dan diantara warga negara.
2) Seek the public interest, dalam artian administrator publik harus
memberikan sumbangsih untuk membangun kepentingan publik bersama.
Tujuannya tidak untuk menemukan solusi cepat yang diarahkan oleh
pilihan-pilihan perorangan tetapi menciptakan kepentingan bersama dan
tanggung jawab bersama.
3) Value citizenship over entrepreneurship, dalam artian kepentingan publik
lebih baik dijalankan oleh abdi masyarakat dan warga negara yang memiliki
komitmen untuk memberikan sumbangsih bagi masyarakat daripada
dijalankan oleh para manajer wirausaha yang bertindak seolah-olah uang
masyarakat adalah milik mereka sendiri.
4) Think strategically, act democratically, dalam artian kebijakan dan program
untuk memenuhi kebutuhan publik dapat dicapai secara efektif dan
bertanggungjawab melalui upaya kolektif dan proses kolaboratif.
141
5) Recognize that accountability is not simple, dalam artian abdi masyarakat
seharusnya lebih peduli daripada mekanisme pasar. Selain itu, abdi
masyarakat juga harus mematuhi peraturan perundang-undangan, nilai-nilai
kemasyarakatan, norma politik, standar profesional, dan kepentingan warga
negara.
6) Serve rather than steer, dalam artian penting sekali bagi abdi masyarakat
untuk menggunakan kepemimpinan yang berbasis pada nilai bersama dalam
membantu warga negara mengemukakan kepentingan bersama dan
memenuhinya daripada mengontrol atau mengarahkan masyarakat ke arah
nilai baru.
7) Value people, not just productivity, dalam artian organisasi publik beserta
jaringannya lebih memungkinkan mencapai keberhasilan dalam jangka
panjang jika dijalankan melalui proses kolaborasi dan kepemimpinan
bersama yang didasarkan pada penghargaan kepada semua orang.
Dengan demikian, sesuatu yang diterjemahkan secara politis dan tercantum dalam
aturan kepentingan publik mewakili agregasi kepentingan individu. Kepentingan
publik pada hakikatnya merupakan hasil dialog nilai-nilai siapa yang dilayani,
yang sering disebut klien dan konstituen (Clients and Constituents), pelanggan
(Customers), Warga Negara (Citizens).
2.3 Penelitian Sebelumnya
Penelitian mengenai pengukuran kinerja dan kualitas pelayanan telah
banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya dengan pendekatan yang
berbeda. Adapun beberapa penelitian terkait yang pernah dilakukan adalah :
142
1) Agustina (2006) meneliti tentang kinerja pelayanan publik pada UPTD
(Unit Pelaksana Teknis Daerah) Dinas Pendapatan Propinsi Bali di
Kabupaten Badung. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik analisis kuantitatif untuk menghitung Indeks Kepuasan
Masyarakat (IKM) berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 25/KEP/M.PAN/2/2004. Hasil analisis
menunjukan bahwa kinerja pelayanan publik yang dilaksanakan UPTD
Dinas Pendapatan Propinsi Bali di Kabupaten Badung dilihat dari kepuasan
wajib pajak secara umum berada dalam kualifikasi baik yaitu dengan
capaian nilai IKM komposif sebesar 68,91. Meskipun ada beberapa unsur
pelayanan masih belum memuaskan wajib pajak, karena capaian IKM per
unsurnya berada pada kualifikasi kurang baik yaitu unsur pelayanan
kedisiplinan petugas pelayanan, unsur pelayanan kecepatan pelayanan dan
unsur pelayanan kesopanan dan keramahtamahan petugas.
2) Darmiyanti (2010) meneliti tentang kinerja pelayanan publik pada Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Gianyar. Teknik analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif dan analisis
inferensial. Hasil penelitian berdasarkan pengukuran Lima Dimensi kualitas
Jasa, secara umum berada dalam kategori baik. Berdasarkan analisis Secara
deskriptif, nilai rata-rata skor Lima Dimensi Kualitas Jasa yang
menunjukkan tingkat kepuasan pelanggan terhadap kinerja pelayanan publik
memiliki kategori baik, namun ada beberapa indikator yang membentuk
dimensi bukti langsung (tangibles) dan dimensi jaminan (assurance)
143
berkategori kurang baik. Berdasarkan analisis secara inferensial, loading
factor yang menunjukkan kontribusi suatu dimensi terhadap faktor yang
membentuk dalam hal ini adalah kinerja pelayanan publik akta-akta catatan
sipil pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Gianyar
berturut-turut dari yang terbesar ke yang terkecil yakni mulai dari daya
tanggap (reponsiveness), jaminan (assurance), bukti langusng (tangibles),
kehandalan (reliability) dan empati (emphaty).
3) Penelitian yang dilakukan oleh Rozaman Gea (2004) dengan judul tesis
“Pengaruh Motivasi Kerja Aparat terhadap Kualitas Pelayanan Publik”.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa “motivasi kerja aparat memiliki
pengaruh signifikan terhadap kualitas pelayanan publik” pada Dinas
Pendapatan Kabupaten Nias.
4) Penelitian yang dilakukan oleh Bambang Budijono (2004) dengan judul
“Pengaruh Pengawasan Masyarakat terhadap Kualitas Pelayanan Publik”.
Berdasarkan hasil penelitian maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian
ini secara empirik dapat diterima yaitu kualitas pelayanan publik rendah,
karena lemahnya pengawasan masyarakat dan “pengawasan masyarakat
yang meliputi komunikasi dan nilai masyarakat berpengaruh terhadap
kualitas pelayanan publik” yang meliputi keandalan, ketanggapaan,
keyakinan, empati, dan berwujud.
5) Penelitian yang dilakukan oleh Frans Jeffry Wirawan (2005) dengan judul
tesis “Pengaruh Perilaku Birokrasi terhadap Kualitas Pelayanan Publik”.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa “perilaku birokrasi secara signifikan
144
berpengaruh terhadap kualitas pelayanan publik” di Dinas Kependudukan,
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Nias.
6) Penelitian yang dilakukan oleh Herman Semmy Tetelepta (2005) dengan
judul “Pengaruh Kinerja Birokrasi terhadap Kualitas Pelayanan Publik”.
Hasil penelitian menunjukan bahwa “kinerja birokrasi berpengaruh terhadap
kualitas pelayanan publik”. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan
dalam penelitian bersangkutan dapat diterima.
7) Penelitian yang dilakukan oleh Mohammad Husni (2005) dengan judul tesis
“Pengaruh Motivasi Kerja dan Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja Pegawai
Dalam Pelayanan Publik”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa “terdapat
pengaruh motivasi kerja dan lingkungan kerja terhadap kinerja pegawai”.
8) Penelitian yang dilakukan oleh Tri Supraptini (2005) dengan judul tesis
“Pengaruh Perilaku Aparat terhadap Kualitas Layanan Publik di Bidang
Perizinan”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa “perilaku aparat
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas layanan publik” di
bidang perizinan (Studi tentang layanan perizinan usaha di Kota Batam
dengan lokus Dinas Perindustrian dan perdagangan Kota Batam, pada
perizinan Dokumen Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP).
9) Penelitian yang dilakukan oleh Titus F.L. Renwarin (2006) dengan judul
tesis “Pengaruh Motivasi Kerja Aparat terhadap Kualitas Pelayanan Publik”.
Hasil analisis dalam penelitian menunjukan bahwa “motivasi kerja aparat
yang meliputi dimensi kebutuhan, pengharapan, insentif dan keadilan
berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas pelayanan publik” yang
145
meliputi dimensi keandalan, ketanggapan, jaminan, empati, dan bukti
langsung.
10) Penelitian yang dilakukan oleh Soesilo Zauhar (2005) dengan judul disertasi
“Pengaruh Pengembangan Sumber Daya Aparatur terhadap Kinerja
Pelayanan Publik di Kota Malang”. Hasil kajian menunjukkan bahwa
variabel “kemampuan aparatur, budaya organisasi dan kebijakan yang
mendukung menjadi variabel utama yang mempengaruhi kinerja pelayanan
publik”. Sedangkan variabel “motivasi menjadi faktor proaktif dan
dinamisator bagi peningkatan kinerja pelayanan publik”.
11) Penelitian yang dilakukan oleh Tony Sukasah (2004) dengan judul disertasi
“Pengaruh Iklim Komunikasi Organisasi dan Aliran Informasi dalam
Pelayanan Publik terhadap Kepuasan Masyarakat di Kabupaten Bekasi”.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Iklim komunikasi organisasi
dikembangkan dinas daerah berpengaruh positif terhadap pelaksanaan
pelayanan publik; (2) Aliran informasi yang dikembangkan dalam dinas
daerah berpengaruh positif terhadap pelaksanaan pelayanan publik; dan (3)
Pelaksanaan pelayanan publik yang diselenggarakan dinas daerah
berpengaruh positif terhadap kepuasan masyarakat.
12) Penelitian yang dilakukan oleh Erika Revida (2005) dengan judul disertasi
“Pengaruh Pemberdayaan Aparatur Birokrasi Terhadap Motivasi Kerja
Dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Pelayanan Izin Usaha Industri Di
Kota Medan Sumatera Utara”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Pemberdayaan aparatur birokrasi berpengaruh positif terhadap Motivasi
146
kerja, “Pemberdayaan aparatur birokrasi berpengaruh positif terhadap
Kualitas pelayanan” izin usaha industri, Motivasi kerja berpengaruh positif
terhadap Kualitas pelayanan izin usaha industri dan Pemberdayaan aparatur
birokrasi berpengaruh terhadap Motivasi kerja dalam rangka meningkatkan
Kualitas pelayanan izin usaha industri di kota Medan Sumatera Utara.
13) Penelitian yang dilakukan oleh Ondang Surjana (2008) dengan judul
disertasi “Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Kinerja Pelayanan Pelanggan
(Studi Pada Manajemen Unit Pelayanan Dan Jaringan PT.PLN (Persero)
Distribusi Jawa Barat dan Banten)”. Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa “besarnya
pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja pelayanan pelanggan pada
manajemen Unit Pelayanan dan Jaringan PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa
Barat dan Banten, secara signifikan ditentukan oleh dimensi pemimpin,
pengikut dan situasi”.
147
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir pada penelitian ini dibangun berdasarkan latar belakang
masalah, kajian teori, dan beberapa penelitian yang dilakukan terdahulu yang
mempunyai korelasi dengan penelitian ini . Adapun skema dari kerangka
pemikiran enelitian ini dapat digambarkan dalam kerangka berpikir sebagaimana
dapat disimak pada Gambar 3.1
Gambar 3.1 Kerangka Berpikir
Gambar 3.1 menjelaskan bahwa pelaksanaan dari sistem otonomi daerah
dilakukan melalui pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah sesuai dengan potensi-potensi yang ada di daerah masing-
Desentralisasi Kewenangan Pembangunan Ekonomi
Penyediaan Jasa
Pelayanan Publik yang
Berkualitas
OTONOMI DAERAH
Kepuasan
Masyarakat
147
148
masing. Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang telah
diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah serta Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 sebagaimana telah diganti
dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah telah didorong pemerintah daerah untuk mewujudkan
pemerintahan yang baik (good goverment) dengan memberikan pelayanan yang
optimal kepada masyarakat.
Pada prinsipnya setiap pelayanan publik senantiasa harus selalu
ditingkatkan kinerjanya sesuai dengan keinginan masyarakat pengguna jasa.
Pelayanan publik yang baik akan dapat mendorong peningkatan kepuasan
masyarakat. Entwistle (2005) menyatakan bahwa pelayanan administrasi publik
yang efektif akan dapat menghemat anggaran, sehingga anggaran belanja daerah
dapat dialokasikan untuk kebutuhan yang terkait langsung dengan kesejahteraan
masyarakat. Efektivitas pelayanan administrasi juga akan dapat mempercepat
pemenuhan kebutuhan administratif untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi
masyarakat. Pelayanan publik yang berkualitas menjadi salah satu pilar untuk
terjadinya perubahan penyelenggaraan pemerintahan yang berpihak pada
kepuasan masyarakat. Pelayanan publik merupakan cerminan kemandirian
masyarakat di daerah bersangkutan, dalam upaya mendapatkan jasa pelayanan
yang memuaskan untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Penyediaan jasa pelayanan publik yang berkualitas diharapkan dapat
sebagai sarana dalam peningkatan investasi di daerah yang berimplikasi terhadap
pembangunan ekonomi pada pemerintah daerah masing-masing. Dengan adanya
149
investasi yang semakin berkembang akan membuka kesempatan kerja yang lebih
luas bagi masyarakat di wilayahnya sehingga akan dapat lebih meningkatkan
pendapatan perkapita masyarakat di daerah tersebut.
Landasan teoritis penelitian ini mengacu pada Teori Kelembagaan sebagai
Grand Theory terutama perubahan kelembagaan menuju reformasi birokrasi.
Sumber daya yang tersedia apabila ditambah dengan kelembagaan yang baik
maka akan meningkatkan kinerja maupun kualitas dari pelayanan yang diberikan.
North mengemukakan terdapat dua faktor utama sebagai cara untuk memahami
dinamika perubahan kelembagaan (Hira dan Hira, 2000). Pertama, perubahan
kelembagaan sebagai hubungan simbiotik antara kelembagaan dan organisasi
yang mengelilingi di sekitar struktur insentif yang disediakan oleh kelembagaan.
Kedua, perubahan kelembagaan sebagai proses umpan balik (feedback process)
dimana individu merasa dan bereaksi terhadap perubahan berbagai kesempatan.
Berdasarkan proposisi ini, North menyatakan bahwa terdapat tantangan mendasar
dalam menciptakan kelembagaan yang efisien (Hira dan Hira, 2000), yakni
menyingkirkan aspek-aspek informal dengan halangan formal (aligning informal
with formal constraint) dan menciptakan serta merawat kebijakan yang akan
mendukung tercapainya kelembagaan yang efisien (creating and maintaining a
polity that will support adaptively efficient institutions).
Disamping teori kelembagaan, teori kualitas pelayanan juga melengkapi
landasan teori dari penelitian ini. Dalam perspektif administrasi publik, maka
pelayanan publik berkaitan dengan kualitas pelayanan birokrat terhadap
masyarakat. Lovelock Christopher (2004) dalam bukunya “Product Plus“
150
mengemukakan kualitas pelayanan sebagai suatu gagasan menarik tentang
bagaimana suatu produk bila ditambah dengan pelayanan (service) akan
menghasilkan suatu kekuatan yang memberikan manfaat pada organisasi dalam
meraih keuntungan bahkan untuk menghadapi persaingan. Sinambela (2006)
mengemukakan juga secara teoritis mengenai tujuan pelayanan publik pada
dasarnya adalah untuk memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu
dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari transparansi, akuntabilitas,
kondisional, partisipatif, kesamaan hak, dan keseimbangan hak dan kewajiban.
Setiap pembicaraan tentang kinerja pelayanan publik akan menyentuh
masalah kualitas layanan yang diberikan oleh organisasi publik pada masyarakat
sebagai pelanggan, sehingga produk layanan didesain, diproduksi serta diberikan
untuk memenuhi keinginan dan kepuasan pelanggan. Berdasarkan penelitian
Pasuraman dkk. (1998), diketahui dimensi kualitas jasa terdiri dari lima dimensi
yang dikenal sebagai SERVQUAL (Service Quality). Kelima dimensi tersebut
meliputi Bukti Langsung (Tangibles), Keandalan (Reliability), Daya Tanggap
(Responsivenes), Jaminan (Assurance), dan Empati (Emphaty). Dengan metode
pengukuran tersebut akan dapat diketahui tingkat kualitas pelayanan publik
dimana tingkat kualitas tersebut akan memberikan gambaran tingkat kepuasan
masyarakat. Perilaku birokrasi yang berkearifan lokal, pengawasan masyarakat,
dan kinerja pelayanan diharapkan akan memberikan umpan balik (feed back) bagi
perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan publik yang mengarah pada
pelayanan publik yang berkualitas dan berorientasi kepuasan pengguna jasa atau
penerima pelayanan yakni masyarakat.
151
3.2 Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep penelitian disusun berdasarkan kerangka berpikir yang
dikembangkan dari penelitian ini. Dengan demikian kerangka konsep penelitian
ini pada dasarnya menggambarkan variabel-variabel yang akan diteliti dalam
penelitian. Adapun kerangka konsep penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.2
Gambar 3.2
Kerangka Konsep Penelitian
Sumber : Data diolah.
Berdasarkan Gambar 3.2 dapat dijelaskan bahwa variabel perilaku birokrasi yang
berkearifan lokal (dengan indikator kejelasan petugas pelayanan, kedisiplinan
petugas pelayanan, tanggung jawab petugas pelayanan, kemampuan petugas
pelayanan, serta kesopanan dan keramahan petugas) berpengaruh terhadap kinerja
pelayanan dan kualitas pelayanan. Sementara itu, variabel pengawasan
Perilaku Birokrasi
(X1)
Pengawasan Masyarakat
(X2)
Kinerja Pelayanan
(X3)
Kualitas Pelayanan
(Y)
Jumlah Izin yang
Terbit
Peningkatan Investasi
(PMA/PMDN)
152
masyarakat (dengan indikator pengaduan masyarakat, masukan terkait pelayanan,
gugatan atas pelayanan, dan penyampaian keluhan) berpengaruh terhadap kualitas
pelayanan melalui kinerja pelayanan. Variabel kinerja pelayanan (dengan
indikator prosedur pelayanan, persyaratan pelayanan, keadilan mendapatkan
pelayanan, kewajaran biaya, kepastian biaya, kepastian jadwal pelayanan,
kenyamanan pelayanan, keamanan pelayanan, dan kecepatan pelayanan)
berpengaruh terhadap kualitas pelayanan. Variabel kualitas pelayanan (dengan
indikator bukti langsung, keandalan, daya tanggap, jaminan, dan kepedulian)
dipengaruhi oleh perilaku birokrasi yang berkearifan lokal, pengawasan
masyarakat dan kinerja pelayanan. Oleh karena itu, variabel perilaku birokrasi
yang berkearifan lokal, pengawasan masyarakat, dan kinerja pelayanan
berpengaruh baik secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap
kualitas pelayanan. Keberhasilan penyelenggaraan pelayanan publik ikut
ditentukan oleh perilaku aparatnya dalam mengemban misi sebagai pelayan
masyarakat. Perilaku birokrasi sebagai aparat pelayanan yang profesional,
berdedikasi, akuntabel dan responsif haruslah loyal terhadap tugas dan
kewajibannya karena birokrasi pada hakikatnya merupakan abdi negara dan
pelayan masyarakat.
Kualitas pelayanan memiliki hubungan yang erat dengan kepuasan
masyarakat. Kualitas memberikan suatu dorongan kepada masyarakat untuk
menjalin hubungan yang baik dengan pemerintah. Dalam jangka panjang, ikatan
seperti ini memungkinkan pemerintah untuk memahami dengan seksama harapan
yang diinginkan oleh masyarakat beserta kebutuhan mereka. Dengan demikian,
153
pemerintah dapat meningkatkan kepuasan dari masyarakat dengan cara
memaksimumkan pengalaman masyarakat yang menyenangkan dan
meminimumkan pengalaman masyarakat yang kurang menyenangkan (Atmawati
dan Wahyuddin, 2007).
Pengawasan masyarakat dalam menjaga kualitas pelayanan yang diberikan
oleh lembaga pemerintah sangatlah penting. Tinggi rendahnya kualitas layanan
publik yang diberikan oleh pemerintah dapat berdampak langsung terhadap
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pengawasan masyarakat ini dapat dilakukan
melalui penilaian oleh masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterimanya
dari pemerintah (Sibanda, 2012). Dimensi kualitas pelayanan mencakup lima
dimensi yang dikenal sebagai SERVQUAL (Service Quality) digunakan untuk
mengetahui kualitas pelayanan di bidang perizinan pada pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Bali. Dengan metode pengukuran tersebut akan dapat
diketahui tingkat kualitas kinerja pelayanan publik di bidang perizinan pada
pemerintah daerah di Provinsi Bali. Kualitas kinerja akan memberikan gambaran
tingkat kepuasan masyarakat. Kinerja pelayanan akan memberikan umpan balik
(feed back) bagi perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan publik yang
mengarah pada pelayanan publik yang berkualitas dan berorientasi pada kepuasan
pengguna jasa (masyarakat). Peningkatan kualitas pelayanan dapat mempengaruhi
peningkatan jumlah izin yang terbit dan dengan meningkatnya jumlah izin yang
terbit diharapkan akan meningkatkan jumlah investor yang berinvestasi pada
pemerintah daerah masing-masing.
154
3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tinjauan pustaka yang telah diuraikan,
maka adapun hipotesis dari penelitian ini adalah :
1) Perilaku birokrasi yang berkearifan lokal berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja pelayanan publik di bidang perizinan pada Pemerintah
Kabupaten/ Kota di Provinsi Bali.
2) Pengawasan masyarakat berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja
pelayanan publik di bidang perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi Bali.
3) Pengawasan masyarakat memoderasi pengaruh perilaku birokrasi yang
berkearifan lokal terhadap kinerja pelayanan publik di bidang perizinan
pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali.
4) Perilaku birokrasi yang berkearifan lokal berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kualitas pelayanan di bidang perizinan pada Pemerintah Kabupaten/
Kota di Provinsi Bali.
5) Kinerja pelayanan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas
pelayanan di bidang perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi
Bali.
6) Perilaku birokrasi yang berkearifan lokal berpengaruh secara tidak langsung
terhadap kualitas pelayanan di bidang perizinan melalui kinerja pelayanan
publik pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali.
155
7) Pengawasan masyarakat berpengaruh secara tidak langsung terhadap
kualitas pelayanan di bidang perizinan melalui kinerja pelayanan publik
pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali.
156
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian merupakan rencana dan struktur penelitian yang
disusun sedemikian rupa sehingga peneliti akan dapat memperoleh jawaban untuk
pertanyaan-pertanyaan penelitian (Kerlinger, 2004) yang disusun. Penelitian sosial
berdasarkan tujuannya dapat dikelompokkan ke dalam penelitian eksploratif
(explorative research), penelitian deskriptif (descriptive research), dan penelitian
eksplanatori (explanatory research). Penelitian eksploratif bertujuan penjelajahan
untuk mengenal dan mengetahui gambaran mengenai suatu gejala sosial yang
dilakukan bilamana peneliti belum mengetahui gambaran persoalan yang akan
diteliti. Penelitian deskriptif dilakukan untuk mengambarkan secara cermat
karakteristik dari suatu gejala atau masalah yang diteliti dan mengetahui
bagaimana hal itu terjadi. Sedangkan penelitian eksplanatori bertujuan untuk
menjelaskan hubungan antara dua atau lebih gejala atau variabel. Dalam kaitan
itu, penelitian ini dikualifikasikan sebagai penelitian eksplanatori yang berfokus
pada hubungan kausalitas antar variabel melalui pengujian hipotesis.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode
survey. Sampel diambil dari populasi dengan menggunakan kuisioner sebagai alat
pengumpul data. Mengenai pendekatan yang digunakan adalah dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini juga menggunakan
pendekatan kualitatif agar diperoleh informasi melalui pengamatan ataupun
wawancara. Wawancara untuk memperoleh keterangan sesuai tujuan penelitian ini
156
157
dilakukan dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara
dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan
pedoman wawancara (Bungin, 2008). Adapun rancangan penelitian disertasi ini
dapat dilihat pada Gambar 4.1
Gambar 4.1. RancangaPnlitian
- Perilaku
Birokrasi
- Pengawasan
masyarakat
- Kinerja
Pelayanan
- Kualitas
Pelayanan
Gambar 4.1
Rancangan Penelitian
Tinjauan Pustaka
Kerangka
berfikir,
konsep dan
Hipotesis
Kualitatif
158
4.2 Lokasi dan waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Penelitian ini akan dilakukan pada dinas/badan/kantor pelayanan perizinan yang
ada pada masing-masing pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali serta Badan
Pusat Statistik Daerah di Provinsi Bali guna memperoleh data dan informasi yang
dibutuhkan sesuai permasalahan penelitian yang dikaji. Waktu penelitian adalah
tahun 2016.
4.3 Obyek Penelitian
Obyek penelitian berkaitan dengan sasaran atau apa yang akan diteliti.
Dalam penelitian ini, obyeknya adalah pengaruh perilaku birokrasi yang
berkearifan lokal, pengawasan masyarakat, dan kinerja pelayanan terhadap
kualitas pelayanan di bidang perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi Bali.
4.4 Jenis dan Sumber Data
4.4.1 Jenis Data
Jenis data menurut sifatnya yang digunakan dalam penelitian ini ada dua
yaitu data kuantitatif dan data kualitatif (Sugiyono, 2011). Adapun penjelasan
masing-masing adalah sebagai berikut :
a) Data kuantitatif berbentuk angka-angka yang dapat dihitung dengan satuan
bilangan seperti data jumlah perizinan yang sedang diproses, jumlah
pemohon perizinan, dan data lainnya yang dimiliki pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Bali.
159
b) Data kualitatif tidak berupa angka-angka tetapi berupa penjelasan seperti
penjelasan tentang tanggapan masyarakat terhadap kualitas pelayanan
perizinan pada dinas/badan/kantor pelayanan perizinan yang ada pada
pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali serta data berupa gambaran
daerah pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali beserta tipologi
daerahnya.
4.4.2 Sumber data
Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini menurut sumbernya dapat
dikualifikasikan atas 2 (dua) sumber, yaitu data primer dan data sekunder. Adapun
kedua sumber data yang dimaksudkan dan digunakan dalam penelitian ini adalah :
a) Data primer berupa data yang diperoleh langsung di dinas/badan/kantor
pelayanan perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali yang
dilakukan dengan cara observasi, interview, dan penyebaran kuisioner
kepada responden. Responden yang menjadi sumber data primer dalam
penelitian ini adalah masyarakat yang membutuhkan pelayanan perizinan
pada dinas/badan/kantor pelayanan perizinan yang ada pada pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Bali.
b) Data Sekunder berupa data pendukung yang diperoleh dengan cara
melakukan pencatatan terhadap dokumen-dokumen resmi yang diperlukan
dalam penelitian ini seperti data terkait jenis pelayanan, prosedur pelayanan
perizinan beserta jumlahnya yang diproses pada masing-masing dinas/
badan/kantor pelayanan perizinan yang ada pada pemerintah kabupaten/
kota di Provinsi Bali.
160
4.5 Identifikasi Variabel
Variabel adalah suatu sifat yang dapat memiliki bermacam nilai atau
sesuatu yang bervariasi (Kerlinger, 2004). Mendasari kerangka pemikiran dan
tujuan studi yang hendak dicapai, maka variabel dalam penelitian ini ada dua yaitu
variabel eksogen dan variabel endogen. Variabel eksogen atau yang biasa disebut
variabel independen atau variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi
variabel lain. Sedangkan variabel endogen atau yang biasa disebut variabel
dependen atau variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain
dalam model. Pada Tabel 4.1 akan diklasifikasikan variabel penelitian
bersangkutan sebagai berikut :
Tabel 4.1
Klasifikasi Variabel Penelitian
Variabel Klasifikasi Variabel
Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan
Lokal
Variabel eksogen
Pengawasan Masyarakat Variabel eksogen
Kinerja Pelayanan Variabel antara (intervening variabel)
Kualitas Pelayanan Variabel endogen
Pada pihak lain, variabel dalam penelitian ini juga dapat diklasifikasikan menjadi
2 (dua) kelompok yaitu variabel laten (variabel bentukan) dan variabel indikator
(variabel terukur). Variabel laten (laten/construct variable) adalah variabel yang
tidak bisa diukur secara langsung namun harus dikonstruk sedemikian rupa dari
berbagai indikator. Variabel indikator (indicator variable) adalah variabel yang
dapat diukur secara langsung dan sebagai pembentuk variabel laten (Widarjono,
161
2010). Secara keseluruhan, masing-masing variabel indikator dan sub indikator
dalam penelitian ini dapat disajikan pada Tabel 4.2
Tabel 4.2
Variabel, Indikator, dan Sub Indikator
No Variabel Indikator Sub Indikator
1 Perilaku Birokrasi Yang
Berkearifan Lokal (X1) a. Kejelasan Petugas
Pelayanan (X1.1)
a.
- Kejelasan pakaian
petugas (X1.1.1)
- Kejelasan tanda pengenal
petugas (X1.1.2)
- Kemudahan
berkomunikasi dengan
petugas (X1.1.3)
- Kemudahan membedakan
petugas dengan pemohon
(X1.1.4)
b. Kedisiplinan petugas
pelayanan (X1.2)
- Ketaatan petugas terhadap
waktu pelayanan (X1.2.1)
- Kepastian adanya petugas
(X1.2.2)
- Ketelitian petugas ((X1.2.3)
- Ketepatan analisis petugas
((X1.2.4)
- Ketepatan waktu
penyelesaian izin ((X1.2.5)
- Penetapan waktu
pelayanan sesuai kearifan
lokal ((X1.2.6)
c. Tanggung jawab petugas
pelayanan (X1.3)
- Kejelasan tanggung jawab
(X1.3.1)
- Kemampuan petugas
memberi penyuluhan
(X1.3.2)
- Kepastian tanggung jawab
petugas X1.3.3)
- Keterbukaan informasi
petugas ( X1.3.4)
- Tanggung jawab petugas
terhadap kerugian akibat
kelalaian ( X1.3.5)
- Tanggung jawab petugas
dalam menghadapi
komplain (X1.3.6)
d. Kemampuan petugas
pelayanan (X1.4)
- Kebugaran fisik petugas
(X1.4.1)
- Kemampuan petugas
memberi penjelasan
(X1.4.2)
162
No Variabel Indikator Sub Indikator
- Kemampuan administrasi
petugas (X1.4.3)
- Kecepatan petugas
memahami keluhan (X1.4.4)
- Kemampuan petugas
memberikan solusi (X1.4.5)
- Kemampuan petugas
memberikan penjelasan
(X1.4.6)
- Kemampuan petugas
menggunakan bahasa yang
mudah dimengerti (X1.4.7)
- Kesabaran petugas
(X1.4.8)
e. Kesopanan & keramahan
petugas (X1.5)
- Kesopanan petugas (X1.5.1)
- Motto pelayanan
memotivasi keramahan
(X1.5.2)
- Sikap melayani dari
petugas (X1.5.3)
- Keramahan petugas
(X1.5.4)
- Penghargaan petugas
terhadap pemohon (X1.5.5)
- Kesediaan dan kesabaran
petugas (X1.5.6)
- Visi misi mengadopsi
kearifan lokal (X1.5.7)
- Kesesuaian kinerja dengan
visi misi berkearifan lokal
(X1.5.8)
2 Pengawasan
Masyarakat (X2)
a. Pengaduan Masyarakat
(X2.1)
- Kesigapan dalam
menanggapi pengaduan
masyarakat (X2.1.1)
- Tingkat kecepatan dalam
menangani pengaduan
masyarakat (X2.1.2)
b. Masukan Terkait
Pelayanan (X2.2)
- Ketersediaan Kotak saran/
masukan (X2.2.1)
- Kemudahan
Berkomunikasi dalam
penyampaian
masukan/saran (X2.2.2)
c. Gugatan atas Pelayanan
(X2.3)
- Kemampuan dalam
menindaklanjuti gugatan
masyarakat (X2.3.1)
- Jaminan atas kerahasiaan
identitas penggugat (X2.3.2)
163
No Variabel Indikator Sub Indikator
d. Penyampaian Keluhan
(X2.4)
- Kepedulian terhadap
keluhan masyarakat
(X2.4.1)
- Ketersediaan penanganan
keluhan yang berbasis
Web (X2.4.2)
- Kejelasan penanganan atas
keluhan yang disampaikan
(X2.4.3)
3 Kinerja Pelayanan
(X3) a. Prosedur Pelayanan (X3.1)
- Keterbukaan informasi
(X3.1.1)
- Ketersediaan informasi
(X3.1.2)
- Kemudahan memahami
informasi (X3.1.3)
- Kejelasan alur ((X3.1.4)
- Kesederhanaan prosedur
((X3.1.5)
- Kelengkapan informasi
dalam Web (X3.1.6)
- Kesesuaian informasi
(X3.1.7)
b. Persyaratan Pelayanan
(X3.2)
- Keterbukaan informasi
persyaratan (X3.2.1)
- Kejelasan persyaratan
(X3.2.2)
- Kemudahan memenuhi
persyaratan (X3.2.3)
- Kemudahan mengurus
persyaratan (X3.2.4)
- Kesesuaian persyaratan
(X3.2.5)
- Kesederhanaan
persyaratan (X3.2.6)
- Kesesuaian persyaratan
izin yang saling
berkaitan(X3.2.7)
c. Keadilan mendapatkan
pelayanan (X3.3)
- Kesamaan perlakuan
petugas (X3.3.1)
- Ketersediaan nomor
antrean (X3.3.2)
- Tingkat antrean
penyelesaian dokumen
(X3.3.3)
- Kepedulian terhadap
penyandang cacat (X3.3.4)
164
No Variabel Indikator Sub Indikator
d. Kewajaran biaya (X3.4) - Kesesuaian biaya dengan
peraturan perundangan
(X3.4.1)
- Keberadaan pelayanan
tanpa biaya (X3.4.2)
- Keterjangkauan biaya
dengan kemampuan
masyarakat (X3.4.3)
- Kewajaran biaya dengan
izin yang dimohonkan
(X3.4.4)
- Keterbukan informasi
peruntukan biaya (X3.4.5)
e. Kepastian biaya (X3.5) - Kejelasan rincian biaya
(X3.5.1)
- Keterbukaan rincian biaya
(X3.5.2)
- Kesesuaian biaya yang
dibayar dg yang
ditetapkan (X3.5.3)
- Kepastian bukti
pembayaran (X3.5.4)
- Ketersediaan sistem
pembayaran secara
elektronik (X3.5.5)
- Kepastian jumlah biaya
yang dikeluarkan (X3.5.6)
f. Kepastian jadwal (X3.6) - Kejelasan jadwal (X3.6.1)
- Ketepatan jadwal (X3.6.2)
- Kebenaran jadwal (X3.6.3)
- Kesesuaian jadwal (X3.6.4)
- Kepastian informasi
jadwal (X3.6.5)
g. Kenyamanan lingkungan
pelayanan (X3.7)
- Kebersihan lingkungan
(X3.7.1)
- Kerapian lingkungan
(X3.7.2)
- Ketersediaan fasilitas
(X3.7.3)
- Kelengkapan &
kemutakhiran sarana dan
prasarana (X3.7.4)
h. Keamanan pelayanan
(X3.8)
- Keamanan lingkungan
(X3.8.1)
- Keamanan proses
pelayanan dari calo (X3.8.2)
- Jaminan pelayanan
(X3.8.3)
165
No Variabel Indikator Sub Indikator
- Keamanan penggunaan
sarana & prasarana (X3.8.4)
- Keamanan proses
pelayanan dari praktek
KKN (X3.8.5)
- Keamanan dan
kenyamanan pelaksanaan
pelayanan (X3.8.6)
i. Kecepatan pelayanan
(X3.9)
- Keterbukaan informasi
waktu penyelesaian izin
(X.\3.9.1)
- Ketersediaan SOP
(X.3.9.2)
- Kejelasan waktu proses
(X.3.9.3)
- Ketepatan waktu proses
sesuai SOP (X.3.9.4)
- Kecepatan waktu proses
pelayanan (X.3.9.5)
- Kesesuaian waktu
pelayanan sesuai SOP
(X.3.9.6)
4 Kualitas Pelayanan
(Y1) a. Tangiables (Y1.1)
- Fasilitas fisik (Y1.1.1)
- Peralatan yang modern
(Y1.1.2)
- Penampilan petugas
(Y1.1.3)
- Media informasi (Y1.1.4)
b. Reliability (Y1.2)
- Realisasi waktu (Y1.2.1)
- Sikap terhadap
penanganan masalah
(Y1.2.2)
- Konsistensi layanan
(Y1.2.3)
- Akurasi sistem pencatatan
dokumen (Y1.2.4)
c. Responsiveness (Y1.3)
- Keakuratan informasi
(Y1.3.1)
- Kecepatan pelayanan
(Y1.3.2)
- Ketanggapan (Y1.3.3)
d. Assurance (Y1.4)
- Jaminan terhadap
kebutuhan masyarakat
(Y1.4.1)
- Prioritas pelayanan
(Y1.4.2)
- Tanggung jawab petugas
(Y1.4.3)
166
No Variabel Indikator Sub Indikator
e. Emphaty ((Y1.5)
- Perhatian individual
(Y1.5.1)
- Kepedulian petugas
terhadap permasalahan
(Y1.5.2)
- Perhatian terhadap
pelanggan (Y1.5.3)
- Pemahaman kebutuhan
pelanggan (Y1.5.4)
- Kepedulian terhadap
pelanggan (Y1.5.5)
4.6 Definisi Operasional Variabel
Berdasarkan kerangka konsep penelitian serta model struktural yang
disusun untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini, maka perlu
dilakukan pendefinisian terhadap masing-masing variabel tersebut. Adanya
definisi operasional variabel dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan
gambaran detail mengenai pengertian dan cakupan setiap variabel.
Pengukuran variabel-variabel yang ditetapkan dalam penelitian ini diukur
dengan menggunakan skala yang dikembangkan oleh Likert. Skala Likert, yaitu
skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang
atau kelompok tentang kejadian atau gejala sosial. Dengan menggunakan Skala
Likert, maka dimensi dijabarkan menjadi variabel untuk selanjutnya variabel
dijabarkan lagi menjadi indikator-indikator yang dapat diukur. Akhirnya
indikator-indikator yang terukur ini dapat dijadikan titik tolak untuk membuat
item instrumen berupa pertanyaan atau pernyataan yang perlu dijawab oleh
responden. Sementara itu, mengenai definisi operasional dalam penelitian ini
dapat dijelaskan sebagai berikut:
167
a) Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan Lokal terdiri dari :
1) Kejelasan petugas pelayanan, yaitu kejelasan keberadaan dan kepastian
petugas yang memberikan pelayanan perizinan terutama apabila berkaitan
dengan hari libur nasional ataupun hari-hari raya keagamaan. Variabel
kejelasan petugas pelayanan diukur dengan indikator-indikator :
(a) Keberadaan pakaian petugas, berkaitan dengan kejelasan pakaian/
seragam yang digunakan petugas sehari-hari ataupun hari-hari raya
keagamaan dalam memberikan pelayanan perizinan.
(b) Kejelasan tanda pengenal petugas, berkaitan dengan kejelasan tanda
pengenal yang dipakai petugas dalam rangka memberikan pelayanan
perizinan.
(c) Kemudahan berkomunikasi dengan petugas, berkaitan dengan tingkat
kemudahan berkomunikasi antara petugas dengan masyarakat
pemohon perizinan dalam rangka pelayanan perizinan terutama
apabila terjadi kesulitan atau kekurangpahaman masyarakat terhadap
persyaratan permohonan perizinan.
(d) Kemudahan membedakan petugas dengan pemohon, berkaitan dengan
kemudahan dalam membedakan antara petugas pelayanan dengan
segala atribut yang dipakai dengan pihak pemohon perizinan.
2) Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam
memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai
ketentuan berlaku dan menjalankan tugas sesuai visi/misi ataupun motto
pelayanan yang mengadopsi kearifan lokal di masing-masing pemerintah
168
daerah. Variabel kedisiplinan petugas pelayanan diukur dengan indikator-
indikator :
(a) Ketaatan petugas terhadap waktu pelayanan, berkaitan dengan ketaatan
terhadap jam kerja pelayanan perizinan yang ditetapkan dalam SOP.
(b) Kepastian adanya petugas, berkaitan dengan tingkat kepastian adanya
petugas yang melayani para pemohon perizinan.
(c) Ketelitian petugas, berkaitan dengan ketelitian petugas dalam
memeriksa dokumen permohonan perizinan.
(d) Ketepatan analisis petugas, berkaitan dengan tingkat ketepatan petugas
dalam memberikan analisis terhadap berbagai hal terkait pelayanan
perizinan yang diberikan.
(e) Ketepatan waktu penyelesaian izin, berkaitan dengan ketepatan waktu
petugas dalam menyelesaikan suatu perizinan.
(f) Penetapan waktu pelayanan sesuai kearifan lokal, berkaitan dengan
pengaturan waktu pelayanan yang disesuaikan dengan hari raya
maupun hari libur masyarakat di Bali.
3) Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan
tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian
pelayanan perizinan. Variabel tanggung jawab petugas pelayanan diukur
dengan indikator-indikator :
(a) Kejelasan tanggung jawab, berkaitan dengan kejelasan atas tanggung
jawab petugas dalam pelayanan yang diberikan.
169
(b) Kemampuan petugas dalam memberi penyuluhan, berkaitan dengan
kemampuan petugas untuk memberikan penyuluhan terkait masalah
perizinan beserta solusinya kepada masyarakat.
(c) Kepastian tanggung jawab petugas, berkaitan dengan kepastian
tanggung jawab petugas terhadap pelayanan perizinan yang
diberikan.
(d) Keterbukaan informasi petugas, berkaitan dengan tingkat keterbukaan
informasi yang diberikan petugas pelayanan perizinan yang menjadi
tanggung jawabnya.
(e) Tanggung jawab petugas terhadap kerugian akibat kelalaian, berkaitan
dengan tanggung jawab petugas pelayanan perizinan terhadap
kerugian yang diderita pemohon perizinan sebagai akibat dari
kelalaiannya.
(f) Tanggung jawab petugas dalam menghadapi komplain, berkaitan
dengan tanggung jawab petugas dalam menghadapi dan
menyelesaikan komplain dari pemohon suatu perizinan.
4) Kemampuan petugas pelayanan , yaitu tingkat keahlian dan ketrampilan
yang dimiliki petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan
kepada masyarakat. Variabel kemampuan petugas diukur dengan
indikator-indikator :
(a) Kebugaran fisik petugas, berkaitan dengan tingkat kebugaran fisik
petugas dalam memberikan pelayanan perizinan.
170
(b) Kemampuan petugas memberi penjelasan, berkaitan dengan tingkat
kemampuan petugas dalam memberikan penjelasan terhadap
persoalan yang dikonsultasikan pemohon perizinan.
(c) Kemampuan administrasi petugas, yang berkaitan dengan tingkat
kemampuan administrasi petugas pelayanan dalam melayani para
pemohon perizinan.
(d) Kecepatan petugas memahami keluhan, yang berkaitan dengan tingkat
kecepatan petugas dalam memahami maksud pertanyaan/keluhan para
pemohon perzinan.
(e) Kemampuan petugas memberikan solusi, berkaitan dengan kemampuan
petugas dalam memberikan solusi secara tepat terhadap permasalahan
yang dikonsultasikan pemohon perizinan.
(f) Kemampuan petugas memberikan penjelasan, berkaitan dengan tingkat
kemampuan petugas dalam memberikan penjelasan yang sederhana,
mudah, dan jelas terhadap permasalahan yang dikonsultasikan
pemohon perizinan.
(g) Kemampuan petugas menggunakan bahasa yang mudah dimengerti,
berkaitan dengan kemampuan petugas dalam menggunakan bahasa
yang sopan dan mudah dimengerti terhadap permasalahan yang
dihadapi pemohon perizinan.
(h) Kesabaran petugas, berkaitan dengan tingkat kesabaran petugas dalam
melayani dan menjawab pertanyaan pemohon perizinan.
171
5) Kesopanan dan keramahan petugas, yakni sikap dan perilaku petugas
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah
serta saling menghargai dan menghormati. Petugas dalam melayani
masyarakat selalui berpedoman pada visi,misi ataupun motto pelayanan
yang telah dibuat berlandaskan Tri Hita Karana ataupun kearifan lokal di
daerah masing-masing. Variabel kesopanan dan keramahan petugas diukur
dengan indikator-indikator :
(a) Kesopanan petugas, berkaitan dengan tingkat kesopanan para petugas
dalam memberikan pelayanan perizinan.
(b) Motto pelayanan memotivasi keramahan, berkaitan dengan tingkat
keramahan para petugas dalam memberikan pelayanan sesuai motto
pelayanan perizinan yang ditetapkan.
(c) Sikap melayani dari petugas, berkaitan dengan sikap melayani dari
para petugas dalam memberikan pelayanan kepada para pemohon
perizinan.
(d) Keramahan petugas, berkaitan dengan tingkat keramahan para
petugas dalam memberikan pelayanan perizinan.
(e) Penghargaan petugas terhadap pemohon, berkaitan dengan sikap
saling menghargai antara petugas dengan para pemohon perizinan.
(f) Kesediaan dan kesabaran petugas, berkaitan dengan kesediaan dan
kesabaran petugas dalam mendengarkan keluhan/permasalahan yang
disampaikan para pemohon perizinan.
172
(g) Visi misi mengadopsi kearifan lokal, berkaitan dengan visi misi
institusi yang disesuaikan dengan kearifan lokal masyarakat
setempat di bidang pelayanan.
(h) Kesesuaian kinerja dengan visi misi berkearifan lokal, berkaitan
dengan tingkat kesesuaian kinerja petugas pelayanan perizinan
berdasarkan visi misi yang berkearifan lokal.
b) Pengawasan Masyarakat, terdiri dari :
1) Pengaduan masyarakat, yakni sikap dan perilaku masyarakat dalam
mengadukan permasalahan yang terjadi terkait dengan pelayanan yang
diberikan oleh pemerintah. Variabel pengaduan masyarakat diukur dengan
indikator-indikator :
(a) Kesigapan dalam menanggapi pengaduan masyarakat, berkaitan
dengan tingkat kesigapan petugas dalam menghadapi dan melayani
pengaduan masyarakat.
(b) Tingkat kecepatan dalam menangani pengaduan masyarakat,
berkaitan dengan tingkat kecepatan petugas dalam memberikan
penanganan terhadap pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat.
2) Masukan terkait pelayanan, berkaitan dengan masukan atau saran yang
disampaikan masyarakat terkait dengan pelayanan yang diberikan.
Variabel masukan yang diberikan terdiri dari :
(a) Ketersediaan kotak saran/masukan, berkaitan dengan adanya kotak
saran/masukan dimasing-masing badan/dinas/kantor pelayanan
perizinan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali.
173
(b) Kemudahan berkomunikasi dalam penyampaian masukan/saran,
berkaitan dengan mudahnya masyarakat dalam menyampaikan
masukan/saran terhadap kinerja pelayanan yang diberikan.
3) Gugatan atas pelayanan, yakni terkait dengan gugatan yang disampaikan
oleh masyarakat atas pelayanan yang diberikan. Variabel gugatan atas
pelayanan terdiri dari :
(a) Kemampuan dalam menindaklanjuti gugatan masyarakat, berkaitan
dengan kemampuan petugas pelayanan dalam menangani gugatan
terhadap pelayanan yang diberikan.
(b) Jaminan atas kerahasiaan identitas penggugat, berkaitan dengan
jaminan atas kerahasiaan identitas penggugat maupun pelapor terhadap
gugatan yang disampaikan.
4) Penyampaian keluhan, yakni keluhan yang disampaikan oleh masyarakat
terkait dengan pelayanan yang diberikan. Variabel keluhan terkait
pelayanan, terdiri dari :
(a) Kepedulian terhadap keluhan masyarakat, berkaitan dengan kepedulian
petugas dalam menangani keluhan yang disampaikan oleh masyarakat.
(b) Ketersediaan penanganan keluhan yang berbasis Web, berkaitan dengan
tersedianya sarana prrasarana yang berbasis Web dalam hal penanganan
keluhan masyarakat.
(c) Kejelasan penanganan atas keluhan yang disampaikan, berkaitan
dengan kejelasan penyelesaian atas keluhan yang disampaikan oleh
masyarakat.
174
c) Kinerja Pelayanan Publik terdiri dari :
1) Prosedur pelayanan, merupakan kemudahan tahapan pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.
Variabel prosedur pelayanan diukur dengan indikator-indikator:
(a) Keterbukaan informasi, berkaitan dengan prosedur/tata cara persyaratan,
pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian,
tarif, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan,
diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh
masyarakat.
(b) Ketersediaan informasi, berkaitan dengan tersedianya informasi jenis
perizinan beserta persyaratan dan prosedurnya secara lengkap.
(c) Kemudahan memahami informasi, berkaitan dengan kemudahan dalam
memahami informasi terkait perizinan yang diajukan pemohon
perizinan.
(d) Kejelasan alur, berkaitan dengan mudahnya mengikuti alur dalam proses
pelayanan perizinan sehingga tidak menimbulkan kesan berbeli-belit.
(e) Kesederhanaan prosedur, berkaitan dengan sederhananya prosedur
pelayanan yang harus dilalui oleh masyarakat dalam mengurus
perizinan.
(f) Kelengkapan informasi dalam Web, berkaitan dengan lengkap tidaknya
informasi terkait prosedur yang harus dilalui oleh pemohon izin dalam
situs web-side yang dimiliki masing-masing badan/dinas/kantor
pelayanan perizinan.
175
(g) Kesesuaian informasi, berkaitan dengan kesesuaian terhadap informasi
yang disampaikan dengan yang tetdapat pada persyaratan.
2) Persyaratan pelayanan, merupakan persyaratan teknis dan administrasi yang
diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya.
Adapun variabel persyaratan pelayanan dapat diukur dengan indikator-
indikator :
(a) Keterbukaan informasi persyaratan, berkaitan dengan keterbukaan
tentang persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pemohon suatu
perizinan.
(b) Kejelasan persyaratan, berkaitan dengan kejelasan tentang persyaratan
yang harus dipenuhi oleh para pemohon suatu perizinan.
(c) Kemudahan memenuhi persyaratan, berkaitan dengan kemudahan dalam
memenuhi semua persyaratan perizinan.
(d) Kemudahan mengurus persyaratan, berkaitan dengan kemudahan dalam
hal mengurus atau memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam proses
perizinan.
(e) Kesesuaian persyaratan, berkaitan dengan kesesuaian persyaratan dengan
jenis pelayanan perizinan yang dimohon oleh pemohon suatu perizinan.
(f) Kesederhanaan persyaratan, berkaitan dengan tingkat kesederhanaan
persyaratan untuk permohonan perizinan yang saling berkaitan.
(g) Kesesuaian persyaratan izin yang saling berkaitan, adalah tingkat
kesesuaian persyaratan atas beberapa wujud perizinan yang saling
berkaitan.
176
3) Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan
tidak membedakan golongan/status pemohon perizinan yang dilayani.
Variabel keadilan mendapatkan pelayanan diukur dengan indikator-
indikator :
(a) Kesamaan perlakuan petugas, berkaitan dengan kesamaan perlakuan
dari petugas terhadap para pemohon perizinan.
(b) Ketersediaan nomor antrean, berkaitan dengan tingkat ketersediaan
nomor antrean secara elektronik dalam pelayanan perizinan.
(c) Tingkat antrean penyelesaian dokumen, berkaitan dengan tingkat
antrean penyelesaian dokumen permohonan perizinan berdasarkan
nomor antrean penerimaan dokumen permohonan.
(d) Kepedulian terhadap penyandang cacat, berkaitan dengan tingkat
kepedulian petugas terhadap para penyandang cacat dalam pelayanan
perizinan.
4) Kewajaran biaya, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya
yang ditetapkan oleh unit pelayanan. Variabel kewajaran biaya diukur
dengan indikator-indikator :
(a) Kesesuaian biaya dengan peraturan perundangan, berkaitan dengan
kesesuaian biaya pelayanan perizinan dengan ketentuan yang ada pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(b) Keberadaan pelayanan tanpa biaya, berkaitan dengan keberadaan
pelayanan perizinan tanpa biaya bagi masyarakat miskin atau pihak
yang ditunjuk sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
177
(c) Keterjangkauan biaya dengan kemampuan masyarakat, berkaitan
dengan biaya pelayanan perizinan yang sesuai dengan kemampuan
masyarakat.
(d) Kewajaran biaya dengan izin yang dimohonkan, berkaitan dengan
kewajaran dari biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh suatu
perizinan yang dimohonkan.
(e) Keterbukaan informasi peruntukan biaya, berkaitan dengan adanya
keterbukaan informasi peruntukan biaya yang dibayarkan oleh para
pemohon perizinan.
5) Kepastian biaya, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan
biaya yang telah ditetapkan. Variabel kepastian biaya diukur dengan
indikator-indikator :
(a) Kejelasan rincian biaya, berkaitan dengan kejelasan penggunan biaya
dalam rangka pengurusan suatu perizinan.
(b) Keterbukaan rincian biaya, berkaitan dengan keterbukaan penggunan
biaya dalam rangka pengurusan suatu perizinan.
(c) Kesesuaian biaya yang dibayarkan dengan yang ditetapkan, berkaitan
dengan kesesuaian biaya yang harus dibayarkan dalam rangka
permohonan suatu perizinan dengan biaya yang sudah ditetapkan.
(d) Kepastian bukti pembayaran, berkaitan dengan kepastian adanya bukti
pembayaran atas biaya yang dibayarkan dalam rangka permohonan
perizinan.
178
(e) Ketersediaan sistem pembayaran secara elektronik, berkaitan dengan
tingkat ketersediaan sistem pembayaran secara online dalam rangka
proses perizinan.
(f) Kepastian jumlah biaya yang dikeluarkan, berkaitan dengan besaran
nilai rupiah yang harus dibayarkan oleh pemohon izin.
6) Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Variabel kepastian jadwal
pelayanan diukur dengan indikator-indikator :
(a) Kejelasan jadwal, berkaitan dengan kejelasan informasi tentang jadwal
pelayanan perizinan.
(b) Ketepatan jadwal, berkaitan dengan ketepatan jadwal dalam rangka
pelayanan perizinan yang diberikan.
(c) Kebenaran jadwal, berkaitan dengan benar tidaknya jadwal yang ada
sesuai dengan waktu pelayanan yang diberikan.
(d) Kesesuaian jadwal, berkaitan dengan kesesuaian antara jadwal
pelayanan perizinan yang ditetapkan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(e) Kepastian informasi, berkaitan dengan kejelasan pengumuman adanya
perubahan jadwal pelayanan perizinan jika ada hari raya maupun hari
libur di Bali.
7) Kenyamanan lingkungan pelayanan, yaitu kondisi sarana dan prasarana
pelayanan yang bersih, rapi dan teratur sehingga dapat memberikan rasa
179
nyaman kepada penerima pelayanan. Variabel kenyamanan lingkungan
diukur dengan indikator-indikator :
(a) Kebersihan lingkungan, berkaitan dengan kebersihan dilingkungan
tempat pelayanan perizinan.
(b) Kerapian lingkungan, berkaitan dengan kerapian tempat disekitar
lokasi pelayanan perizinan.
(c) Ketersediaan fasilitas, berkaitan dengan ketersediaan ruang publik
untuk menyusui serta ketersediaan ruang publik untuk merokok pada
tempat pelayanan perizinan.
(d) Kelengkapan dan kemutakhiran sarana dan prasarana, berkaitan dengan
kelengkapan dan kemutakhiran sarana dan prasarana pendukung
dalam rangka pelayanan perizinan seperti tersedianya CCTV ataupun
WiFi pada lokasi pelayanan.
8) Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit
penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga
masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-
resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan. Variabel keamanan
pelayanan diukur dengan indikator-indikator :
(a) Keamanan lingkungan, berkaitan dengan keamanan lingkungan di
tempat pelayanan perizinan.
(b) Keamanan proses pelayanan dari calo, berkaitan dengan amannya
proses pengurusan perizinan dari para calo.
180
(c) Jaminan pelayanan, berkaitan dengan jaminan dari institusi terkait
penerbitan suatu perizinan tidak palsu atau double.
(d) Keamanan penggunaan sarana dan prasarana, berkaitan dengan
keamanan dalam menggunakan sarana dan prasarana yang tersedia
dalam rangka pelayanan perizinan.
(e) Keamanan proses pelayanan dari praktek KKN, berkaitan dengan
amannya proses perizinan dari praktek kolusi, korupsi dan nepotisme.
(f) Keamanan dan kenyamanan pelaksanaan pelayanan, berkaitan dengan
keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam mengurus
perizinannya.
9) Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan yang dapat
diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara
pelayanan. Variabel kecepatan pelayanan diukur dengan indikator-
indikator :
(a) Keterbukaan informasi waktu penyelesaian izin, berkaitan dengan
tingkat keterbukaan informasi lamanya waktu penyelesaian
perizinan.
(b) Ketersediaan SOP, berkaitan dengan tingkat ketersediaan SOP
sebagai panduan operasional dalam pelayanan kepada pemohon
perizinan.
(c) Kejelasan waktu proses, berkaitan dengan kejelasan lamanya waktu
yang dibutuhkan dalam rangka proses suatu perizinan.
181
(d) Ketepatan waktu proses sesuai SOP, berkaitan dengan tingkat
ketepatan waktu proses pelayanan sesuai SOP suatu perizinan yang
ditetapkan.
(e) Kecepatan waktu proses pelayanan, berkaitan dengan proses waktu
yang cepat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
pemohon.
(f) Kesesuaian waktu pelayanan sesuai SOP, berkaitan dengan sesuai
tidaknya waktu yang dibutuhkan dalam memberikan pelayanan
berdasarkan SOP yang telah ditetapkan.
d) Kualitas Pelayanan terdiri dari :
1) Bukti langsung (Tangibles), adalah dimensi yang berkaitan dengan fasilitas
fisik, peralatan, personil, dan komunikasi. Variabel bukti langsung diukur
dengan indikator-indikator :
(a) Fasilitas fisik adalah semua perlengkapan yang ada membuat tempat
pelayanan perizinan menjadi nyaman dan memadai;
(b) Peralatan yang modern adalah tingkat kemutahiran peralatan yang
digunakan dalam pelayanan perizinan kepada para pemohon;
(c) Penampilan petugas adalah penampilan fisik aparat secara visual
dalam memberikan pelayanan perizinan.
(d) Media informasi adalah materi informasi maupun teknik komunikasi
berkaitan dengan pelayanan perizinan;
2) Kehandalan (Reliability), adalah dimensi yang menunjukan kemampuan
dalam memberikan pelayanan secara akurat dan andal, dapat dipercaya,
182
dan bertanggung jawab atas apa yang dijanjikan. Variabel kehandalan
diukur dengan indikator-indikator :
(a) Realisasi waktu, adalah ketepatan waktu antara janji pelayanan
perizinan dengan realisasinya;
(b) Sikap terhadap penanganan masalah adalah kemampuan yang
ditunjukkan petugas pemberi layanan perizinan dalam menghadapi
pelanggan yang mempunyai masalah;
(c) Konsisten layanan adalah tingkat kebenaran/ketepatan dalam
penyampaian layanan sejak awal pelayanan perizinan hinggá
tuntasnya layanan;
(d) Akurasi sistem pencatatan dokumen, adalah tingkat akurasi sistem
pencatatan pelayanan perizinan yang tersedia.
3) Daya tanggap (Responsiveness), kemauan untuk membantu konsumen
bertanggung jawab terhadap kualitas pelayanan yang diberikan. Variabel
daya tanggap diukur dengan indikator-indikator :
(a) Keakuratan informasi, berkaitan dengan kejelasan informasi tentang
kepastian waktu dalam penyampaian pelayanan perizinan;
(b) Kecepatan pelayanan, berkaitan dengan tingkat kecepatan petugas
dalam menyampaikan pelayanan perizinan sesuai dengan standar
waktu yang ditetapkan;
(c) Ketanggapan berkaitan dengan ketanggapan/kecekatan para petugas
pemberi pelayanan perizinan dalam membantu pelanggan
(masyarakat).
183
4) Jaminan (Assurance), dimensi ini mencakup pengetahuan serta kemampuan
petugas untuk memberikan kepercayaan kepada pelanggan. Variabel
jaminan diukur dengan indikator-indikator :
(a) Jaminan terhadap kebutuhan masyarakat, berkaitan dengan jaminan
yang diberikan kepada masyarakat/pemohon suatu perizinan terkait
pelayanan yang diberikan;
(b) Prioritas pelayanan, berkaitan dengan prioritas yang diberikan petugas
terhadap antrean para pemohon perizinan;
(c) Tanggung jawab petugas, berkaitan dengan tingkat tanggung jawab
petugas dalam memberikan pelayanan perizinan.
5) Empati (emphaty), adalah dimensi kualitas pelayanan yang menunjukkan
derajat perhatian yang diberikan petugas kepada setiap pelanggan.
Dimensi ini juga mereflekasikan kemampuan petugas untuk menyelami
perasaan pelanggan sebagaimana jika pekerja ini sendiri mengalaminya.
Variabel empati diukur dengan indikator-indikator :
(a) Perhatian individual, berkaitan dengan perhatian para petugas terhadap
para pemohon izin dalam memberikan pelayanan perizinan;
(b) Kepedulian petugas terhadap permasalahan, berkaitan dengan tingkat
kepedulian petugas terhadap permasalahan yang dihadapi pemohon
perizinan;
(c) Perhatian terhadap pelanggan, berkaitan dengan tingkat perhatian para
petugas dalam melayani pelanggan yang sedang mengurus
perizinannya masing-masing;
184
(d) Pemahaman kebutuhan pelanggan, berkaitan dengan tingkat
pemahaman para pegawai terkait dengan kebutuhan pelanggan dalam
mendukung pelayanan perizinan yang diberikan;
(e) Kepedulian terhadap pelanggan, berkaitan dengan tingkat kepedulian
para penyelenggara perizinan terhadap pelanggan yang dilayanai.
4.7 Populasi dan Sampel Penelitian
Menurut Sugiyono (2003), populasi adalah wilayah generalisasi yang
terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Jadi populasi dapat berbentuk orang atau benda lain. Bukan hanya
sekedar jumlah yang ada pada obyek/subyek tersebut tetapi juga meliputi seluruh
karakteristik/sifat yang dimiliki oleh obyek/subyek itu. Adapun populasi dalam
penelitian ini diperkirakan sangat besar jumlahnya, sehingga tidak memungkinkan
untuk meneliti seluruh populasi yang ada. Populasi yang diambil dalam penelitian
ini adalah masyarakat yang mengurus perizinan pada dinas/badan/kantor
pelayanan perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut (Sugiyono, 2012). Bilamana populasi jumlahnya besar dan
peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya
karena keterbatasan dana, tenaga, dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan
sampel yang diambil dari populasi itu. Selanjutnya apa yang dipelajari dari
sampel, kesimpulannya akan dapat diberlakukan untuk populasi. Untuk itu,
sampel yang diambil dari populasi haruslah representative (mewakili).
185
Untuk menentukan sampel dalam penelitian terdapat berbagai teknik
sampling yang digunakan (Sugiyono, 2012). Secara sistematis, macam-macam
teknik sampling ditunjukkan pada gambar 4.2
Gambar 4.2
Teknik Sampling
Sumber: Sugiyono (2012).
Berdasarkan Gambar 4.2 dapat disimak bahwa teknik sampling pada dasarnya
dikelompokan menjadi 2 (dua) yaitu Probability Sampling dan Nonprobability
Sampling. Probability Sampling meliputi Simple Random, Proportionate
Stratified Random, Disproportionate Stratified Random dan Cluster Random.
Nonprobability Sampling meliputi Systematic Sampling (Sampling Sistematis),
Quota Sampling (Sampling Kuota), Accidental/Incidental Sampling (Sampling
aksidental/Insidental), Purposive Sampling, Sampling Jenuh (Sampling Sensus)
dan Snowball Sampling. Berikut penjelasan dari masing-masing teknik sampling
dimaksud (Sugiyono, 2012) yaitu:
186
a) Probability Sampling
Probability Sampling adalah teknik pengambilan sampel yang memberikan
peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi
anggota sampel yang terdiri dari:
(1) Simple Random Sampling
Simple Random Sampling adalah pengambilan anggota sampel dari
populasi yang dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada
dalam populasi itu. Simple Random Sampling dilakukan apabila anggota
populasi dianggap homogen. Simple Random Sampling dapat dilakukan
dengan cara undian, memilih bilangan dari daftar bilangan secara acak,
dan sebagainya.
(2) Proportionate Stratified Random Sampling
Proportionate Stratified Random Sampling adalah teknik sampling yang
digunakan bila populasi mempunyai anggota/unsur yang tidak homogen
dan berstrata secara proporsional.
(3) Disproportionate Stratified Random Sampling
Disproportionate Stratified Random Sampling adalah teknik sampling
yang digunakan bila populasi berstrata tetapi kurang proporsional.
(4) Cluster Random Sampling (Area Sampling)
Cluster Random Sampling merupakan teknik sampling daerah yang
digunakan untuk menentukan sampel bila obyek yang akan diteliti atau
sumber data sangat luas, misalnya penduduk dari suatu negara, propinsi
atau kabupaten/kota. Untuk menentukan penduduk mana yang akan
187
dijadikan sumber data, maka pengambilan sampel ditetapkan secara
bertahap dari wilayah yang luas (negara) sampai ke wilayah terkecil
(kabupaten/kota). Setelah terpilih sampel terkecil, kemudian baru dipilih
sampel secara acak.
b) Nonprobability Sampling
Nonprobability Sampling adalah teknik pengambilan sampel yang tidak
memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota
populasi untuk dipilih menjadi sampel yang terdiri dari:
(1) Systematic Sampling (Sampling Sistematis)
Sampling Sistematis adalah teknik pengambilan sampel berdasarkan
urutan dari anggota populsai yang telah diberi nomor urut.
(2) Quota Sampling (Sampling Kuota)
Sampling Kuota adalah teknik untuk menentukan sampel dari populasi
yang mempunyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah (kuota) yang
diinginkan.
(3) Incidental Sampling (Sampling Insidental)
Sampling Insidental adalah teknik penentuan sampel berdasarkan
kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan/insidental bertemu
dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang
yang kebetulan ditemui itu cocok dengan sumber data.
(4) Purposive Sampling
Purposive Sampling adalah teknik penentuan sampel dengan
pertimbangan tertentu.
188
(5) Sampling Jenuh (Sampling Sensus)
Sampling Jenuh adalah teknik penentuan sampel apabila semua anggota
populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini sering dilakukan bila jumlah
populasi relatif kecil kurang dari 30 orang atau penelitian yang ingin
membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil. Istilah lain
sampel jenuh adalah sensus, dimana semua anggota populasi dijadikan
sampel.
(6) Snowball Sampling
Snowball Sampling adalah teknik penentuan sampel yang mula-mula
jumlahnya kecil, kemudian membesar. Ibarat bola salju yang
menggelinding yang lama-lama menjadi besar.
Berdasarkan metode penentuan sampel yang telah diuraikan, maka dalam
penelitian ini digunakan metode Incidental Sampling (Sampling Insidental) yaitu
teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara
kebetulan/insidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel
bilamana dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok dengan sumber data.
Alasan pengambilan sampel dengan cara Insidental ini adalah atas pertimbangan
jumlah masyarakat yang kebetulan sedang mencari perizinan di dinas/badan/
kantor pelayanan perizinan di masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Bali
belum diketahui dengan jelas. Lebih rinci jumlah sampel yang diambil dengann
cara Insidental dari masing-masing kabupaten/kota berdasarkan jenis perizinan
yang diminta adalah sebagai seperti pada Tabel 4.3
189
Tabel 4.3
Jumlah Sampel Berdasarkan Kabupaten/Kota dan Jenis Perijinan
Di Kabupaten/Kota di Provinsi Bali
No
Kabupaten/
Kota
Jenis Perizinan
Jumlah
Sampel
IMB SITU HO SIUP TDP
1 Jembrana 1 2 2 8 2
1
3
1
4
4
3
2
2
15
2 Tabanan 1 4 4 5 15
3 Badung 3 4 4 1 15
4 Denpasar 3 3 3 5 15
5 Gianyar 2 3 3 3 15
6 Klungkung 1 3 3 4 15
7 Bangli 1 3 3 5 15
8 Karangasem 1 3 3 6 15
9 Buleleng 2 3 3 5 15
Jumlah 135
Sumber: Badan/Dinas/Kantor Pelayanan Perizinan tahun 2016
4.8 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam
penelitian ini berupa kuisioner. Kuisioner penelitian disebarkan dan diberikan
langsung kepada responden yaitu masyarakat pemohon izin pada badan/dinas/
kantor pelayanan perizinan pada kabupaten/kota di Provinsi Bali. Responden
diminta untuk memberikan pendapat/persepsi mereka tentang semua pertanyaan
terkait variabel penelitian yang ada dalam kuisioner. Pertanyaan tertutup yang
disajikan dalam kuisioner diukur dengan menggunakan skala Likert yaitu skala
yang digunakan untuk mengukur persepsi, sikap, pendapat seseorang tentang
fenomena sosial (Sugiyono, 2011). Mengenai skala pengukuran yang digunakan
dalam penelitian ini ada 4 (empat) poin yang dirancang sedemikian rupa untuk
190
memberi kesempatan kepada responden menjawab dengan berbagai tingkatan
jawaban yang tersedia.
4.9 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
a) Observasi non perilaku atau pengamatan secara intensif (observation).
Dalam melakukan observation, penulis berada di lokasi penelitian pada
dinas/badan/kantor pelayanan perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi Bali dengan mengamati secara teliti dan seksama keadaan yang
sesungguhnya yang ada di lapangan serta mengamati gejala-gejala yang ada
dan timbul untuk dijadikan bahan penelitian.
b) Wawancara, dilakukan untuk memperoleh informasi dari masyarakat para
pemohon perizinan untuk mengetahui kinerja pelayanan yang diberikan oleh
para pegawai maupun untuk mengetahui tingkat kepuasan mereka.
c) Wawancara mendalam (in depth interview), dilakukan interview langsung
kepada aparat yang bertanggung jawab melaksanakan pelayanan pada
masyarakat pengguna jasa pelayanan.
Disamping itu, untuk memperoleh data/informasi/tanggapan yang lebih lengkap,
maka dilakukan teknik pengumpulan data melalui penyebaran kuisioner kepada
para responden. Adapun mengenai tujuan penyebaran kuisioner, termasuk kepada
responden menurut Narbuko (1997) adalah untuk :
1) Memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian.
2) Memperoleh informasi mengenai suatu masalah secara serentak.
191
4.10 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
analisis kualitatif dan analisis kuantitatif melalui metode Partial Least Square
(PLS) dengan bantuan SmartPLS versi 3 for Windows. Analisis kualitatif
dipergunakan untuk memberikan penjelasan terhadap variabel-variabel penelitian.
Sementara analisis kuantitatif menggunakan teknik analisis multivariate dengan
metode Partial Least Square (PLS). Menurut Ghozali (2006), Partial Least
Square (PLS) merupakan pendekatan alternatif yang bergeser dari pendekatan
SEM berbasis covariance menjadi berbasis variance.
4.10.1 Langkah-langkah pengolahan data
Data primer yang diperoleh dari jawaban responden, selanjutnya diolah
sesuai permasalahan yang dikaji. Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan dalam
pengolahan data primer adalah sebagai berikut:
1) Pengujian validitas dan reliabilitas instrumen.
2) Transformasi data dari skala Likert yang ordinal menjadi berskala interval,
dengan menggunakan metode sucsesive interval.
3) Merata-ratakan data interval. Nilai data dari langkah ke-2 tersebut
merupakan nilai sub indikator, selanjutnya dirata-ratakan, dan rata-rata yang
diperoleh merupakan nilai indikator.
4) Data indikator tersebut selanjutnya dianalisis dengan statistik deskriptif,
yaitu menghitung rata-rata dan standar deviasi.
192
5) Data indikator yang dihasilkan pada langkah ke-3 diatas yang paling pokok
diolah dengan metode persamaan struktural atau Structural Equation
Modelling (SEM) dengan menggunalan Partial Least Square (PLS).
4.10.2 Pengujian Validitas dan Reliabilitas Instrumen
a) Uji Validitas Instrumen
Kesahihan (validity) suatu alat ukur (instrumen) adalah kemampuan alat
ukur (instrumen) itu untuk mengukur apa yang sebenarnya harus diukur, atau
dengan perkataan lain alat ukur dapat mengukur indikator-indikator suatu obyek
pengukuran. Kesahihan itu perlu sebab pemrosesan data yang tidak sahih atau bisa
akan menghasilkan kesimpulan yang tidak benar. Untuk melihat apakah instrumen
tersebut valid, maka dilakukan uji validitas dengan cara mengkorelasikan antara
skor masing-masing butir pertanyaan terhadap total skor. Apabila korelasi antara
skor masing-masing butir terhadap total skor tersebut signifikan, maka alat ukur
(instrumen) tersebut dinyatakan valid (Gozali, 2001).
b) Uji Reliabilitas Instrumen
Alat ukur (instrumen) berupa kuesioner dikatakan memberikan hasil
pengukuran yang stabil jika alat ukur (instrumen) yang digunakan dapat
diandalkan (reliabel). Untuk itu perlu dilakukan uji reliabilitas. Suatu kuesioner
dikatakan reliable atau handal jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah
konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Pada umumnya suatu variabel yang
dikontruksi dari suatu pertanyaan dikatakan reliable jika memberikan Cochran
Chi Square Alpha lebih besar dari 0,60 (Gozali, 2001).
193
4.10.3 Transformasi Data Ordinal Menjadi Interval
Data yang berskala ordinal lebih dulu distandarkan atau dinormalkan
dengan rumus:
s
xxz i .......................................................................(4.01)
Selanjutnya data yang standar tersebut dicari nilai minimalnya sebagai pengurang.
Sesuai dengan data awal yang berskala Likert minimal nilainya satu, maka data
interval yang diperoleh juga minimal satu yang dihitung dengan rumus:
...........................................................(4.02)
Keterangan:
XIi = data berskala interval sampel ke-i
zXi = data yang telah distandarkan sampel ke-i
zXmin = data minimal yang telah distandarkan dari seluruh sampel
Nilai atau skor data yang berskala interval apabila diinterpretasikan akan
mengacu pada skala ordinal sebelumnya, yaitu:
Skor 1,00 – 1,49 kualitasnya sangat jelek
Skor 1,50 - 2,49 kualitasnya jelek
Skor 2,50 – 3,49 kualitasnya baik
Skor 3,50 atau lebih kualitasnya sangat baik
4.10.4 Partial Least Square (PLS)
Dalam penelitian ini digunakan analisis persamaan struktural (SEM)
dengan alternative Partial Least Square PLS (component based SEM). Model
Persamaan Struktural atau Structural Equation Model (SEM) adalah teknik-tehnik
statistika yang memungkinkan pengujian suatu rangkaian hubungan yang relatif
194
kompleks secara simultan dan berjenjang. Hubungan yang kompleks dapat
dibangun antara satu atau beberapa variabel dependen dengan satu atau beberapa
variabel independen. Dalam SEM kemungkinan suatu variabel merupakan
variabel konstruk atau variabel laten yang dibentuk oleh beberapa indikator, dan
kemungkinan juga terdapat suatu variabel yang berperan ganda yaitu sebagai
variabel independen pada suatu hubungan, namun menjadi variabel dependen
pada hubungan lain mengingat adanya hubungan kausalitas yang berjenjang.
Pada umumnya, persamaan struktural melibatkan software AMOS dan
LISREL (covariance based SEM). Kedua software tersebut memerlukan beberapa
persyaratan dan asumsi tertentu yang harus dipenuhi agar data bisa diolah. Dilihat
dari fleksibilitasnya, beberapa data tertentu tidak dapat dioperasikan dengan
AMOS dan LISREL. Menurut Ghozali (2011), PLS merupakan metode analisis
yang powerfull karena tidak mengasumsikan data harus dalam skala pengukuran
tertentu karena berbasis statistic nonparametric dan juga dapat digunakan untuk
jumlah sampel relatif kecil (minimal direkomendasikan berkisar 30 sampai 100),
disinilah PLS muncul sebagai jawaban atas permasalahan di atas. Sebagai contoh,
bila dalam penggunaan AMOS dan LISREL mensyaratkan data harus dalam skala
interval atau rasio, pendekatan PLS bersifat distribution free, yakni tidak
mengasumsikan data harus berdistribusi tertentu, misalnya berdistribusi normal.
Data yang akan diolah dapat berupa data nominal, ordinal, interval, dan rasio.
Secara mendasar, perbedaan antara covariance based SEM dengan
component based SEM PLS adalah apakah kita akan menggunakan model
persamaan struktural untuk menguji teori atau pengembangan teori untuk tujuan
195
prediksi. Untuk tujuan prediksi, pendekatan PLS lebih cocok karena pendekatan
ini mengasumsikan bahwa semua ukuran variance adalah berguna untuk
dijelaskan. Oleh karena pendekatan untuk mengestimasi variabel laten dianggap
sebagai kombinasi linear dari indikator, maka menghindarkan masalah
indeterminacy dan memberikan definisi yang pasti dari komponen skor (Wold,
1982 dalam Gozali, 2011).
4.10.5 Langkah-langkah Analisis SEM PLS
Untuk mendapatkan hasil yang optimal, maka penggunaan analisis dengan
pemodelan PLS memiliki beberapa langkah yang wajib diikuti. Adapun beberapa
langkah yang dimaksudkan, yaitu :
1) Merancang model struktural (inner model) atau membangun diagram jalur
untuk menunjukkan hubungan kausalitas.
2) Merancang model pengukuran (outer model).
3) Konversi diagram alur kedalam bentuk persamaan struktural dan spesifikasi
model pengukuran.
4) Estimasi koefisien jalur: loading dan weight.
5) Evaluasi outer model
6) Evaluasi inner model dan goodness of fit.
7) Pengujian hipotesis (resampling bootstraping).
4.10.6 Diagram Jalur
Penggunaan diagram jalur dalam penelitian ini dimaksudkan untuk dapat
mengetahui mengenai hubungan antara berbagai variabel dengan masing-masing
196
indikatornya. Sebagaimana telah diuraikan dalam kerangka konsep hubungan
antar variabel dalam penelitian ini yang ditunjukkan melalui diagram jalur, maka
dapat diketahui hubungan antar variabel laten dengan masing-masing
indikatornya. Adapun mengenai hubungan yang dimaksudkan dapat disajikan
pada Gambar 4.3
Gambar 4.3
Diagram Jalur Hubungan Antar variabel Penelitian
Keterangan:
X1 = Perilaku Birokrasi :
X1.1 = Kejelasan Petugas Pelayanan
X1.2 = Kedisiplinan Petugas Pelayanan
X1.3 = Tanggung Jawab Petugas Pelayanan
X1.4 = Kemampuan Petugas Pelayanan
X1.5 = Kesopanan dan Keramahan Petugas
X2 = Pengawasan Masyarakat :
X2.1 = Pengaduan Masyarakat
X2.2 = Masukan Terkait Pelayanan
X2.3 = Gugatan atas Pelayanan
X2.4 = Penyampaian Keluhan
197
X3 = Kinerja Pelayanan:
X3.1 = Prosedur Pelayanan
X3.2 = Persyaratan Pelayanan
X3.3 = Keadilan Mendapatkan Pelayanan
X3.4 = Kewajaran Biaya
X3.5 = Kepastian Biaya
X3.6 = Kepastian Jadwal
X3.7 = Kenyamanan Lingkungan Pelayanan
X3.8 = Keamanan Pelayanan
X3.9 = Kecepatan Pelayanan
Y = Kualitas Pelayanan:
Y1.1 = Bukti Langsung (Tangiables)
Y1.2 = Keandalan (Reliability)
Y1.3 = Daya Tanggap (Responsiveness)
Y1.4 = Jaminan (Assurance)
Y1.5 = Kepedulian (Emphaty)
Dengan menggunakan teknik PLS hubungan antar variabel dispesifikasikan,
antara lain melalui outer model dan inner model yang diuraikan sebagai berikut :
a) Outer Model
Outer model sering juga disebut measurement model atau model
pengukuran yang merupakan hubungan antara indikator dengan variabel latennya.
Sesuai dengan Gambar 4.3, dalam penelitian ini terdapat empat model
pengukuran, yaitu: Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan Lokal , Pengawasan
Masyarakat, Kinerja Pelayanan Publik, dan Kualitas Pelayanan.
(a) Outer Model Perilaku Birokrasi yang berkearifan lokal terdiri dari 5 (lima)
indikator. Hubungan indikator dengan konstruk ditampilkan oleh Gambar
4.2 dengan persamaan struktural sebagai berikut:
X1.1 = λ11 X1 + ν11 ...............................................................................(4.03)
X1.2 = λ12 X1 + ν12 ...............................................................................(4.04)
X1.3 = λ13 X1 + ν13 ...............................................................................(4.05)
X1.4 = λ14 X1 + ν14 ...............................................................................(4.06)
X1.5 = λ15 X1 + ν15 ...............................................................................(4.07)
Keterangan:
X1 = Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan Lokal:
X1.1 = Kejelasan Petugas Pelayanan
X1.2 = Kedisiplinan Petugas Pelayanan
X1.3 = Tanggung Jawab Petugas Pelayanan
X1.4 = Kemampuan Petugas Pelayanan
X1.5 = Kesopanan dan Keramahan Petugas
λ 11, λ 12, …λ 15 = loading factor
ν11, ν12 , ......ν15 = noise atau kesalahan pengukuran
198
(b) Outer Model Pengawasan Masyarakat terdiri dari 4 indikator. Hubungan
indikator dengan konstruk ditampilkan oleh Gambar 4.3 dengan persamaan
struktural sebagai berikut:
X2.1 = λ21 X1 + ν21 ..............................................................................(4.08)
X2.2 = λ22 X1 + ν22 ...............................................................................(4.09)
X2.3 = λ23 X1 + ν23 ...............................................................................(4.10)
X2.4 = λ24 X1 + ν24 ...............................................................................(4.11)
Keterangan:
X2 = Pengawasan Masyarakat :
X2.1 = Pengaduan Masyarakat
X2.2 = Masukan Terkait Pelayanan
X2.3 = Gugatan atas Pelayanan
X2.4 = Penyampaian Keluhan
λ 21, λ 22, …λ 24 = loading factor
ν21, ν22 , ......ν24 = noise atau kesalahan pengukuran
(c) Outer Model Kinerja Pelayanan terdiri dari 9 indikator. Hubungan indikator
dengan konstruk ditampilkan Gambar 4.3 dengan persamaan struktural :
X3.1 = λ31 X1 + ν31 ...............................................................................(4.12)
X3.2 = λ32 X1 + ν32 ...............................................................................(4.13)
X3.3 = λ33 X1 + ν33 ...............................................................................(4.14)
X3.4 = λ34 X1 + ν34 ...............................................................................(4.15)
X3.5 = λ35 X1 + ν35 ...............................................................................(4.16)
X3.6 = λ36 X1 + ν36 ...............................................................................(4.17)
X3.7 = λ37 X1 + ν37 ...............................................................................(4.18)
X3.8 = λ38 X1 + ν38 ...............................................................................(4.19)
X3.9 = λ39 X1 + ν39 ...............................................................................(4.20)
Keterangan:
X3 = Kinerja Pelayanan Publik:
X3.1 = Prosedur Pelayanan
X3.2 = Persyaratan Pelayanan
X3.3 = Keadilan Mendapatkan Pelayanan
X3.4 = Kewajaran Biaya
X3.5 = Kepastian Biaya
X3.6 = Kepastian Jadwal Pelayanan
X3.7 = Kenyamanan Lingkungan Pelayanan
X3.8 = Keamanan Pelayanan
X3.9 = Kecepatan Pelayanan
λ 31, λ 32, …λ39 = loading factor
ν31, ν32 , ......ν39 = noise atau kesalahan pengukuran
199
(d) Outer Model Kualitas Pelayanan Publik terdiri dari 5 indikator. Hubungan
indikator dengan konstruk ditampilkan oleh Gambar 4.3 dengan
persamaan struktural sebagai berikut :
Y1.1 = λ1 Y + ν1 ................................................................................(4.21)
Y1.2 = λ2 Y + ν2 ................................................................................(4.22)
Y1.3 = λ3 Y + ν 3 ................................................................................(4.23)
Y1.4 = λ4 Y + ν4 ................................................................................(4.24)
Y1.5 = λ5 Y + ν5 ................................................................................(4.25)
Keterangan:
Y = Kualitas Pelayanan:
Y1.1 = Bukti Langsung (Tangiables)
Y1.2 = Keandalan (Reliability)
Y1.3 = Daya Tanggap (Responsiveness)
Y1.4 = Jaminan (Assurance)
Y1.5 = Kepedulian (Emphaty)
λ 1, λ 2, …λ 5 = loading factor
ν1, ν2 , ......ν5 = noise atau kesalahan pengukuran
Semua variabel laten indikatornya bersifat reflektif. Konstruk dengan
indikator reflektif, yang mana kontruk tersebut dicerminkan oleh indikatornya.
Evaluasi model pengukuran atau outer model dilakukan dengan beberapa cara,
yaitu :
(1) Convergent Validity (CV) pada indikator reflektif yaitu dengan melihat
korelasi atau loading antara variabel terukur dengan variabel latennya.
Nilai yang ditoleransi minimal 0,50 dianggap cukup (Chin, 1998 dalam
Ghozali, 2011).
(2) Discrimanant Validity (DV) pada indikator reflektif yaitu dengan melihat
crossloading terhadap konstruk atau latennya. Discrimanant validity (DV)
yang bagus yang mana indikatornya memiliki crossloading lebih pada
konstruknya dibandingkan terhadap konstruk lainnya. Metode lain untuk
200
melihat discrimanant validity (DV) adalah dengan melihat square root of
average variance extracted (AVE) setiap konstruk dengan korelasi antara
konstruk dengan konstruk lainnya dalam model. Jika nilai akar kuadrat
AVE setiap konstruk dengan korelasi antara konstruk dengan konstruk
lainnya dalam model, maka konstruk yang bersangkutan dikatakan
memiliki discrimanant validity (DV) yang baik. Direkomendasi bahwa
nilai AVE yang lebih besar dari 0,50. Formula menghitung AVE adalah
sebagai berikut :
AVE = ∑λi2
…………………………………(4.26)
∑λi 2
+ ∑var(ε)
Keterangan:
λi = loading factor ke indikator
var(ε) = 1 - λi2
(3) Composite Reliability (Pc) umumnya digunakan untuk indikator reflektif
yang bertujuan untuk mengukur konsistensi internal suatu konstruk, di
samping Cronbach Alpha yang sering digunakan. Dengan output PLS
maka composite reliability dapat dihitung dengan formula sebagai berikut :
Ρc = (∑λi )2 ………………………………(4.27)
(∑λi)2
+ ∑var(ε)
Keterangan:
λi = loading factor ke indikator
var(ε) = 1 - λi2
b) Inner Model
Dalam PLS inner model juga disebut inner relation yang menggambarkan
hubungan antar variabel laten berdasarkan substansi teori. Dalam penelitian ini
201
menggunakan model moderasi dan mediasi. Variabel moderasi dalam penelitian
ini adalah pengawasan masyarakat. Pengawasan masyarakat diharapkan dapat
memperkuat pengaruh variabel perilaku birokrasi yang berkearifan lokal terhadap
kinerja pelayanan. Adanya peran moderasi variabel pengawasan masyarakat
tersebut dapat dimaknai bahwa dalam kondisi perilaku birokrasi yang berkearifan
lokal yang sama, dengan meningkatnya pengawasan masyarakat, maka kinerja
pelayanan akan menjadi semakin meningkat.
Sementara itu, mengenai variabel mediasi dalam penelitian ini adalah
variabel kinerja pelayanan. Variabel perilaku birokrasi yang berkearifan lokal
disamping memberikan pengaruh langsung terhadap kualitas pelayanan, variabel
perilaku birokrasi yang berkearifan lokal juga diduga memberikan pengaruh tidak
langsung terhadap kualitas pelayanan melalui kinerja pelayanan. Dalam uji Inner
Model berdasarkan Gambar 4.3. yang hanya diperhatikan adalah hubungan antar
variabel laten (konstruk). Oleh karena itu, adapun persamaan struktural dalam
inner model dapat dirumuskan sebagai berikut:
X3 = β1X1 + β2X2 + β3X1X2 + ε1 …………………………………..(4.28)
Y = β4X1 + β5X3 + ε2……………………………………………….(4.29)
Keterangan:
X1 = Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan Lokal
X2 = Pengawasan Masyarakat
X3 = Kinerja Pelayanan Publik
Y = Kualitas Pelayanan
β1, β2 .....β9 = koefisien terstandar
ε1 , ε1 = standar error
Selanjutnya mengenai hubungan antar variabel laten (konstruk) pada penelitian ini
dapat dikemukakan melalui Gambar 4.4
202
Gambar 4.4
Hubungan Antar Konstruk Penelitian
c) Evaluasi Goodness of Fit
Evaluasi Goodness of Fit terhadap inner model dilakukan dengan
memperhatikan R2 untuk variabel laten dependen. Nilai R
2 sekitar 0,67
dikatakan baik, 0,33 dikatakan moderat, sedangkan 0,19 dikatakan lemah.
Perubahan R2
dapat digunakan untuk menilai pengaruh variabel laten tertentu
terhadap variabel laten independen apakah memiliki pengaruh yang substantive.
Selain R2, model PLS juga dapat dievaluasi kemampuan prediksinya atau
predictive prevelance melalui Stone-Geiser Q Square test (Ghozali, 2011),
dengan formula:
D D
D D
O
EQ 12 …………………………………………………..(4.30)
203
Keterangan:
D = omission distance
E = jumlah kuadrat prediksi
O = jumlah kuadrat observasi
Nilai Q2 juga dapat diperoleh dengan formula:
)1)(1(1 2
2
2
1
2 RRQ …………………………………………..(4.31)
Nilai Q2 yang memiliki di atas nol memberikan makna bahwa model yang dibuat
memiliki predictive prevelance, sebaliknya nilai Q2 di bawah nol memberikan
makna bahwa model yang dibuat kurang memiliki predictive prevelance.
d) Uji Pengaruh Langsung
Pengujian statistik dilakukan dengan memperhatikan nilai uji t statistiknya
yang diperoleh dengan metode bootstrapping. Hasil dari path coeficient akan
memberikan jawaban mengenai pengaruh langsung (direct effect) antar variabel
penelitian, yaitu hipotesis 1 sampai dengan hipotesis 5 dalam penelitian ini.
Pengujian peran variabel moderasi juga merupakan bagian dari uji pengaruh
langsung. Dalam penelitian ini variabel pengawasan masyarakat diharapkan
mampu memoderasi atas pengaruh perilaku birokrasi yang berkearifan lokal
terhadap kinerja pelayanan, yaitu dengan memperhatikan signifikansi koefisien
jalur pengaruh interaksi variabel pengawasan masyarakat variabel perilaku
birokrasi, yaitu β3. Berdasarkan signifikansi koefisien pengaruh variabel
moderasi, yaitu pengawasan masyarakat (β2) dan signifikansi koefisien pengaruh
variabel moderasi, yaitu pengawasan masyarakat dan interaksi antara perilaku
birokrasi yang berkearifan lokal dengan pengawasan masyarakat maka diperoleh
204
beberapa jenis peran variabel moderasi, yaitu β3 , seperti yang disajikan pada
Tabel 4.4
Tabel 4.4
Jenis peran Moderasi
No Hasil Uji Jenis Moderasi
1. Β2 non significant
Β3 significant
Moderasi Murni (Pure Moderator)
2. Β2 significant
Β3 significant
Moderasi Semu (Quasi Moderator). Quasi
moderasi merupakan variabel yang
memoderasi hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen yang
sekaligus menjadi variabel independen.
3. Β2 significant
Β3 non significant
Prediktor Moderasi (Predictor Moderasi
Variabel). Artinya variabel moderasi ini
hanya berperanan sebagai variabel prediktor
(independen), dan bukan momoderasi dalam
model hubungan yang dibentuk.
4. Β2 non significant
Β3 non significant
Moderasi Potensial (Homologiser
moderator). Artinya variabel tersebut
potensial menjadi variabel moderasi.
Sumber: Suyana Utama (2016)
e) Uji Pengaruh Tidak Langsung atau Uji Mediasi
Disamping menampilkan pengaruh langsung, program PLS juga dapat
menghasilkan output mengenai pengaruh tidak langsung (indirect effect) antara
variabel penelitian setelah melalui variabel mediator. Secara sederhana peran
variabel mediasi dapat diketahui dari signifikansi hubungan antar variabel seperti
yang ditampilkan pada analisis indirect effect. Berdasarkan hasil pengujian
pengaruh langsung dan tidak langsung variabel independen terhadap variabel
205
dependen, dapat diidentifikasi beberapa kemungkinan peran variabel mediasi.
Kemungkinan-kemungkinan yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
1) apabila pada hasil pengujian menunjukkan secara tidak langsung variabel
independen tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen
melalui variabel mediasi, maka hal itu berarti variabel mediasi yang
dianalisis tidak berperan (no mediation).
2) apabila pada hasil pengujian menunjukkan secara tidak langsung variabel
independen berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen melalui
variabel mediasi, namun secara langsung variabel independen tidak
berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen, maka keadaan ini
disebut mediasi penuh.
3) apabila pada hasil pengujian menunjukkan secara lagsung dan tidak
langsung variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel
dependen melalui variabel mediasi, maka keadaan ini disebut mediasi
partial.
206
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
5.1.1 Gambaran Umum Daerah Provinsi Bali
Di Pulau Bali terbentang pegunungan yang memanjang dari Barat ke
Timur dan diantara pegunungan tersebut terdapat gugusan gunung berapi yaitu
Gunung Batur dan Gunung Agung serta gunung yang tidak berapi, yaitu Gunung
Merbuk, Gunung Patas dan Gunung Seraya. Adanya pegunungan tersebut
menyebabkan Daerah Bali secara geografis terbagi menjadi 2 (dua) bagian yang
tidak sama yaitu Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dan kurang landai,
serta Bali Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Kemiringan lahan
Pulau Bali terdiri dari lahan datar (0-2%) seluas 122.652 ha, lahan bergelombang
(2-15%) seluas 118.339 ha, lahan curam (15-40%) seluas 190.486 ha dan lahan
sangat curam seluas 132.189 ha (BPS, 2015).
Secara geografis Provinsi Bali terletak pada 8°3'40" - 8°50'48" Lintang
Selatan dan 114°25'53" - 115°42'40" Bujur Timur. Relief dan topografi Pulau Bali
di tengah-tengah terbentang pegunungan yang memanjang dari Barat ke Timur.
Provinsi Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok, dengan batas
fisiknya adalah :
a) Utara : Laut Bali
b) Timur : Selat Lombok (Provinsi Nusa Tenggara Barat)
c) Selatan : Samudera Indonesia
d) Barat : Selat Bali (Propinsi Jawa Timur)
206
207
Secara administrasi, Pemerintah Provinsi Bali terbagi menjadi 8 (delapan)
pemerintah kabupaten dan 1 (satu) pemerintah kota, yaitu Kabupaten Jembrana,
Kabupaten Tabanan, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, Kabupaten
Karangasem, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Bangli, Kabupaten Buleleng, dan
Kota Denpasar yang juga merupakan ibukota Provinsi Bali. Pulau Bali juga terdiri
dari pulau-pulau kecil lainnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan
Nusa Ceningan di wilayah Kabupaten Klungkung, Pulau Serangan di wilayah
Kota Denpasar, dan Pulau Menjangan di Kabupaten Buleleng.
Luas total wilayah Provinsi Bali berdasarkan data BPS tahun 2015 adalah
5.636,66 km2
dengan panjang pantai mencapai 529 km. Pada Tabel 5.1 dapat
disimak luas wilayah masing-masing Pemerintah Daerah di Provinsi Bali.
Tabel 5.1
Luas Wilayah masing-masing Pemerintah Daerah di Provinsi Bali
Pemerintah Daerah Ibukota Luas (km²) (%)
Jembrana Negara 841,80 14,94
Tabanan Tabanan 839,33 14,90
Badung Badung 418,52 7,43
Denpasar Denpasar 127,78 2,20
Gianyar Gianyar 368,00 6,53
Klungkung Semarapura 315,00 5,59
Bangli Bangli 520,81 9,25
Karangasem Amlapura 839,54 14,90
Buleleng Singaraja 1.365,88 24,25
Bali 5.636,66 100,00
Sumber: BPS Provinsi Bali, 2015
208
5.1.2 Kependudukan
Penduduk di Provinsi Bali berdasarkan hasil sensus penduduk Tahun 2010
seperti yang tercantum pada Tabel 5.2
Tabel 5.2
Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Hasil Sensus Penduduk 2010
Menurut Kabupaten/Kota di Bali
Kabupaten/
Kota
Luas
(km²)
Jumlah Penduduk (Jiwa) Sex
Ratio
Kepadatan per km²
Pria Wanita Jumlah
1. Jembrana 841.80 130 .062 131 .576 261.638 98.85 311
2. Tabanan 839.33 209. 308 211 .605 420 .913 98.91 501
3. Badung 418.52 277. 536 265. 796 543. 332 104.42 1.298
4. Gianyar 368.00 237 .493 232. 284 469 .777 102.24 1.277
5. Klungkung 315.00 84. 503 86 .040 170. 543 98.21 541
6. Bangli 520.81 109 .109 106. 244 215. 353 102.70 413
7. Karangasem 839.54 198. 650 197. 837 396 .487 100.41 472
8. Buleleng 1 365.88 311. 394 312. 731 624. 125 99.57 457
9. Denpasar 127.78 403.293 385 .296 788 .589 104.67 6.171
10 Bali 5.636,66 1.961.348 1.928.409 3.890.757 909.98 11.441
Sumber: BPS Provinsi Bali, 2013
5.1.3 Kondisi Ekonomi dan Sosial
Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang mencerminkan
peningkatan ekonomi yang tercipta di suatu wilayah. Semakin tinggi pertumbuhan
ekonomi, diharapkan mampu membawa dampak yang semakin baik bagi kondisi
perekonomian masyarakat di daerah bersangkutan. Namun demikian, harus
disadari pula bahwa pertumbuhan yang tinggi tidak selalu menjadi acuan
keberhasilan pembangunan karena kesejahteraan akan terjadi jika ekonomi yang
tercipta mampu dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat.
209
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan tahun dasar 2000,
ekonomi Bali pada tahun 2014 mengalami pertumbuhan mencapai sebesar 6,18
persen meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 6,05 persen.
Namun sesuai dengan cara perhitungan baru bahwa mulai tanggal 5 Februari
2015, perhitungan PDRB menggunakan tahun dasar 2010 sehingga ekonomi Bali
tercatat mengalami pertumbuhan sebesar 6,73 persen. Pertumbuhan ekonomi Bali
baik berdasarkan tahun dasar 2000 maupun tahun dasar 2010 tetap berada diatas
pertumbuhan secara nasional yang hanya sekitar 5 persen ( BPS Provinsi Bali,
2015). Capaian pertumbuhan ekonomi diatas 6 persen tersebut tentunya
merupakan suatu capaian yang menggembirakan, terlebih jika melihat sejumlah
tantangan yang ada seperti penurunan ekspor akibat belum stabilnya kondisi
ekonomi global, laju inflasi yang cukup tinggi akibat meningkatnya harga BBM
bersubsidi, serta pengaruh cuaca yang menyebabkan penurunan pada produksi
beberapa komoditas pertanian seperti padi.
Selama tahun 2014 kegiatan ekonomi yang terjadi di Bali telah mampu
menciptakan total nilai PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) sebesar
Rp.156,45 Trilyun atau meningkat sebesar 16,41 persen dibanding tahun
sebelumnya sebesar Rp. 134,40 Trilyun. Sementara Atas Dasar Harga Konstan
(ADHK) total nilai PDRB Bali mencapai sebesar Rp.121,78 Trilyun atau
meningkat sebesar 6,72 persen dibanding tahun sebelumnya sebesar Rp. 114,11
Trilyun (BPS Provinsi Bali,2015). Dilihat dari sektor kontribusi sektor pembentuk
ekonomi Bali, industri pariwisata dalam arti luas masih menjadi penggerak utama
(leading sector) pertumbuhan ekonomi bali serta telah mendorong terjadinya
210
perubahan struktur ekonomi dari primer ke tersier. Meningkatnya peran industri
pariwisata tidak terlepas dari adanya peningkatan jumlah kunjungan wisatawan
mancanegara sekitar 11,12 persen dari tahun sebelumnya serta ditunjang oleh
situasi keamanan yang cukup kondusif di tahun 2014. Pada tahun 2014, kontribusi
sektor tersier tampak semakin dominan dimana sektor ini memberikan kontribusi
sebesar 66,91 persen. Sementara sektor primer dan sekunder masing-masing
memberi kontribusi sebesar 17,37 persen dan 15,72 persen.
Disamping sejumlah faktor pendorong di atas, daya beli masyarakat juga
masih cukup baik sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada sisi
pemerintah, berbagai stimulus yang telah diberikan melalui berbagai program
maupun pembangunan fisik ikut membawa ekonomi Bali dan investasi swasta
turut pula berperan serta dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi bali.
Perbankan sebagai lembaga intermediasi juga menunjukkan peningkatan kinerja
sehingga perputaran ekonomi di Bali bisa berjalan dengan lebih optimal.
Perekonomian Bali tahun 2015 tumbuh sebesar 6,04 persen. Pertumbuhan
terjadi pada seluruh lapangan usaha kecuali lapangan usaha Pengadaan Listrik dan
Gas, yang berkontraksi sebesar 0,45 persen dan lapangan usaha Pertambangan dan
Penggalian yang berkontraksi sebesar 6,83 persen. Pertumbuhan tertinggi terjadi
pada lapangan usaha Informasi dan Komunikasi, tumbuh sebesar 9,94 persen,
diikuti oleh Jasa Pendidikan tumbuh 8,94 persen dan Jasa Kesehatan dan Kegiatan
Sosial tumbuh sebesar 8,76 persen. Dilihat dari struktur perekonomiannya, PDRB
Provinsi Bali menurut lapangan usaha tahun 2015 didominasi oleh 3 (tiga)
lapangan usaha utama yaitu Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
211
(22,82 %), Pertanian, Kehutanan dan Perikanan (14,92%) serta Transportasi dan
Pergudangan (9,28 %).
Perekonomian Bali pada semester I-2016 tumbuh sebesar 6,30 persen.
Pertumbuhan ini didorong oleh semua lapangan usaha. Pertumbuhan tertinggi
menurut beberapa lapangan usaha pada semester I-2016 ini terjadi pada lapangan
usaha jasa kesehatan dan sosial tumbuh sebesar 9,73 persen diikuti oleh jasa
pendidikan yang tumbuh sebesar 9,65 persen dan selanjutnya dicapai oleh
lapangan usaha pengadaan listrik dan gas sebesar 9,27 persen. Sementara untuk
beberapa lapangan usaha utama yakni lapangan usaha yang memiliki peranan
(share) tertinggi dalam pembentukan PDRB Provinsi Bali seperti lapangan usaha
penyediaan akomodasi dan makan minum (22,99%), lapangan usaha pertanian,
kehutanan dan perikanan (14,58%) dan lapangan transportasi dan pergudangan
(9,35%) masing-masing tumbuh sebesar 6,93 persen, 0,05 persen dan 6,59 persen.
Dilihat dari sumber pertumbuhannya (Source of Growth) ekonomi Bali Semester
I-2016 ini disumbang oleh beberapa lapangan usaha. Sumber pertumbuhan
tertinggi disumbang oleh lapangan usaha penyediaan akomodasi dan makan
minum sebesar 1,36 persen. Sumber pertumbuhan selanjutnya disumbang oleh
lapangan usaha konstruksi sebesar 0,80 persen, lapangan usaha perdagangan besar
dan eceran; reparasi mobil dan sepeda motor menyumbang sebesar 0,70 persen
dan lapangan usaha informasi dan komunikasi menyumbang sebesar 0,59 persen,
sementara lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan pada semester ini
hanya menyumbang sebesar 0,01 persen. Sisanya disumbangkan oleh lapangan
usaha lainnya sebesar 2,84 persen.
212
Isu-isu utama yang berkembang dalam pembangunan investasi di Provinsi
Bali pada umumnya sama dan dipengaruhi oleh isu-isu strategis nasional berupa :
a) Belum meratanya sebaran investasi antar wilayah dan antar sektor.
b) Belum optimalnya kegiatan promosi investasi secara terpadu antar
Kabupaten/Kota.
c) Belum memadainya informasi potensi investasi disetiap Kabupaten/Kota.
Selanjutnya berdasarkan analisis SWOT dalam pembangunan investasi di Provinsi
Bali dipengaruhi oleh lingkungan internal maupun lingkungan eksternal yaitu:
2) Lingkungan internal yang terdiri dari:
a) Kekuatan (Strength), dimana faktor-faktor strategis lingkungan internal
yang dapat menjadi sumber kekuatan antara lain :
(1) Adanya dukungan dan komitmen pimpinan untuk meningkatkan
penanaman modal.
(2) Tersedianya sarana dan prasarana kerja yang memadai.
(3) Adanya peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan
Penanaman Modal dan Perizinan.
(4) Adanya Struktur Organisasi yang jelas.
b) Kelemahan (Weakneses), dimana kelemahan-kelemahan dari lingkungan
internal yang dimiliki yaitu :
(1) Terbatasnya jumlah dan kompetensi pegawai.
(2) Belum memadainya pemahaman Visi dan Misi oleh pegawai.
(3) Budaya Kerja masih output oriented, belum kepada out come oriented.
(4) Terbatasnya dukungan dana dari APBD dan APBN.
213
2) Lingkungan Eksternal
a) Peluang (Opportunities), dimana peluang dari lingkungan eksternal yaitu:
(1) Infrastruktur wilayah yang cukup memadai, sebagai salah satu destinasi
wisata, Bali memiliki infrastruktur wilayah yang cukup memadai,
dibidang prasarana transportasi darat, laut dan udara.
(2) Terkenalnya nama Bali (sebagai Brand Name), sebagai daerah tujuan
wisata Bali telah berfungsi sebagai jendela dunia bagi Indonesia,
kondisi ini menjadikan Bali sebagai tempat transaksi jual beli hasil
produksi.
(3) Perilaku masyarakat Bali yang kooperatif, yang tidak diskriminatif
terhadap orang lain dengan tidak melihat perbedaan suku, agama dan
asal negara.
(4) Pelaksanaan otonomi daerah, memberikan kewenangan kepada daerah
dalam rangka meningkatkan pelayanan publik termasuk dunia usaha
secara porfesional.
(5) Globalisasi perdagangan bebas, merupakan peluang yang sangat besar
bagi rakyat Bali untuk bisa mengisi pasar sekaligus sebagai peluang
untuk meningkatkan lapangan kerja.
(6) Mobilitas teknologi informasi, merupakan sarana yang ampuh untuk
membuka cakrawala yang seluas-luasnya.
b) Ancaman/Tantangan (Threats), dimana mengenai ancaman yang dihadapi dari
lingkungan eksternal adalah :
214
(1) Penerapan otonomi daerah, ternyata tidak selamanya memberikan
keuntungan bagi daerah. Peraturan yang dibuat secara parsial oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota, ternyata menimbulkan adanya ketidak
pastian hukum berinvestasi.
(2) Insentif investasi yang tidak kompetitif, untuk meningkatkan investasi,
Bali sampai saat ini belum memberikan insentif kepada para investor.
(3) Pembangunan wilayah yang tidak seimbang, Ketidakseimbangan
pembangunan, antar Kabupaten/Kota di Bali berpotensi menimbulkan
berbagai masalah sosial dan kerusakan lingkungan Bali.
(4) Terbatasnya lahan, total area Bali yang relatif kecil (5.632 Km2) dengan
jumlah penduduk 3,4 juta jiwa serta sebagian besar kawasan adalah
kawasan marjinal kesuburannya dan kawasan yang di lindungi.
(5) Tingkat Persaingan antar Provinsi, pelimpahan kewenangan yang lebih
luas dari Pemerintah Pusat, memberikan harapan bagi Pemerintah
Daerah untuk menggali secara lebih besar sumber–sumber pendapatan.
Hal ini tidak menutup kemungkinan akan terjadinya persaingan antar
daerah.
5.2 Mekanisme Alur Pelayanan Perizinan dan Pengaduan Masyarakat
Dalam mengurus perizinan, para pemohon dapat mengajukan dokumen
atau memperoleh informasi pada petugas Customer Service yang ada. Adapun
mengenai mekanisme serta alur pelaksanaan pelayanan perizinan di pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Bali secara garis besar dapat dijelaskan sebagai
berikut:
215
1) Pemohon memperoleh Informasi pada petugas Informasi.
2) Pemohon mengajukan dokumen permohonan kepada CS.
3) CS melakukan Vertifikasi sesuai ketentuan yang berlaku.
4) Setelah dokumen permohonan dinyatakan lengkap dan benar, CS
melakukan registrasi kemudian mengajukan kepada Kepala Bidang serta
memberikan resi tanda terima berkas kepada pemohon.
5) Kepala Bidang menugaskan Tim Teknis melakukan peninjauan lapangan.
6) Tim teknis membuat kajian/analisis hasil peninjauan lapangan untuk
dilaporkan kepada Kepala Bidang.
7) Kepala Bidang menindaklanjuti hasil kajian/analisis untuk dilaporkan
kepada Kepala Badan.
8) Kepala Badan menugaskan Kepala Bidang terkait untuk membuat Surat
Izin/Surat Penolakan Izin.
9) Kepala Bidang menugaskan Tim Teknis untuk menyampaikan kepada
pemohon pembayaran penerbitan surat Izin sesuai ketentuan berlaku.
10) Kepala Badan menandatangani Surat Izin/surat penolakan Izin serta
memerintahkan distribusi surat kepada pemohon.
11) Kepala Bidang memerintahkan petugas khusus untuk meregister Surat
Izin/Surat penolakan Izin dan menyerahkan kepada pemohon (Khusus
untuk Surat Izin harus melampirkan bukti pembayaran).
Adapun mengenai alur pelayanan perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi Bali secara garis besarnya dapat digambarkan seperti yang terlihat pada
Gambar 5.1
216
Gambar 5.1
Alur Pelayanan Perizinan
Sumber: Badan Pelayanan Perizinan Kabupaten/Kota di Provinsi Bali
Gambar 5.1 memperlihatkan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh para
pemohon perizinan dalam rangka mengurus perizinan yang diperlukan. Waktu
pelayanan akan semakin lama apabila perizinan yang diurus memerlukan
koordinasi dengan instansi teknis yang lain dan ada peninjauan ke lapangan.
Selanjutnya mengenai alur penyampaian keluhan/pengaduan masyarakat yang
merupakan salah satu dari cara pengawasan masyarakat terhadap kinerja
pelayanan terkait Pelayanan Perizinan yang diselenggarakan oleh badan/dinas/
kantor pelayanan perizinan di kabupaten/kota di Provinsi Bali dapat dilihat pada
Gambar 5.2
217
Gambar 5.2
Alur Pengaduan Masyarakat
Sumber: Badan Pelayanan Perizinan Kabupaten/Kota di Provinsi Bali
5.3 Karakteristik Demografi Responden
Responden dalam penelitian ini seluruhnya berjumlah 135 responden yang
merupakan masyarakat pemohon perizinan pada badan/dinas/kantor pelayanan
perizinan yang ada di 9 (sembilan) kabupaten/kota di Provinsi Bali. Adapun
mengenai karakteristik responden dapat diklasifikasikan menurut jenis kelamin,
jenjang pendidikan, usia, jabatan/pekerjaannya serta khusus bagi masyarakat
ditambahkan dengan pertanyaan perizinan yang dimohon seperti yang tercantum
pada Tabel 5.3
218
Tabel 5.3
Karakteristik Responden pada Kabupaten/Kota di Provinsi Bali
No
Uraian
Jumlah (%)
1 Jenis Kelamin
Pria 99 73,3
Wanita 36 26,7
Jumlah 135 100,0
2 Jenjang Pendidikan
a. SD 2 1,5
b. SMP 1 0,7
c. SMA 47 34,8
d. Diploma 18 13,3
e. S1 65 48,1
f. S2/S3 2 1,5
Jumlah 135 100,0
3 Usia (Tahun)
< 35 22 16,3
36 – 45 66 48,9
46 – 55 36 26,7
> 55 11 8,1
Jumlah 135 100,0
4 Pekerjaan
a. PNS/TNI/Polri 27 20,0
b. Peg. Swasta 47 34,8
c. Wiraswasta 58 43,0
d. Pelajar/Mahasiswa 1 0,7
e. Lainnya 2 1,5
Jumlah 135 100,0
6 Ijin Yang dicari/Proses
a. HO 28 20,7
b. SITU 28 20,7
c. IMB 16 11,9
d. SIUP 41 30,4
e. TDP 22 16,3
Jumlah 135 100,0
Sumber : Data Diolah, 2016
219
Berdasarkan data pada Tabel 5.3 dapat dinyatakan bahwa responden
masyarakat berdasarkan jenis kelaminnya didominasi oleh pria sebanyak 99 orang
(73,3%) dan wanita sebanyak 36 orang (26,7%). Pengurusan perizinan saat
penelitian lebih dominan dilakukan oleh pria. Dari sisi tingkat pendidikan,
responden yang mengurus perizinan yang terbanyak adalah S1 yaitu sebanyak 65
orang (48,1%) dibandingkan jenjang pendidikan lainnya dikarenakan pada jenjang
tersebut masyarakat ada yang buka usaha sendiri (wiraswasta) ataupun telah
bekerja di suatu perusahaan yang mempunyai tugas menyelesaikan dokumen
perizinan di tempat mereka bekerja. Dari sisi umur/usianya dapat dinyatakan
bahwa responden yang berumur 36-45 tahun adalah paling banyak yakni 66 orang
(48,9%). Berdasarkan pekerjaan masyarakat pengguna jasa pelayanan perizinan
yakni wiraswasta sebanyak 58 orang (43,0%) dan pegawai swasta yang bekerja
disuatu perusahaan dengan tugas mengurus dokumen perizinan perusahaannya.
Selanjutnya dari jenis perizinan terbanyak yang dimohon oleh responden adalah
Izin Usaha sebanyak 41 orang (29,3%).
5.4 Deskripsi Variabel Penelitian
Deskripsi variabel penelitian dilakukan untuk mendapatkan persepsi
responden terhadap pernyataan yang diberikan terkait dengan variabel-variabel
penelitian yang digunakan. Analisis deskriptif dilakukan atas persentase jawaban
responden terhadap pernyataan penelitian yang diajukan dengan menggunakan
nilai rerata (mean) dari setiap indikator/item yang diajukan untuk menggambarkan
persepsi seluruh responden. Berdasarkan nilai rerata (mean) tersebut, selanjutnya
220
dilakukan interprestasi terhadap persepsi responden dengan menggunakan kriteria
three-box method (Ferdinand, 2006).
Berdasarkan data yang telah diintervalkan dapat diketahui tingkat atau
sifat dari variabel yang diteliti menurut persepsi responden, seperti yang
ditampilkan pada Tabel 5.4
Tabel 5.4
Skor Persepsi Responden Terhadap Variabel Penelitian
Konstruk Indikator N Minimum Maximum Mean
Perilaku Birokrasi Yang
Berkearifan Lokal X11 135 1.00 4.64 2.26
X12 135 1.00 6.80 4.41
X13 135 1.00 6.99 4.46
X14 135 1.00 6.25 4.09
X15 135 1.00 6.83 3.70
3.78
Pengawasan Masyarakat X21 135 1.00 7.67 6.12
X22 135 1.00 3.72 2.04
X23 135 1.00 3.36 1.77
X24 135 1.00 3.89 2.08
3.00
Kinerja Pelayanan Publik X31 135 1.00 5.26 2.78
X32 135 1.00 6.34 3.97
X33 135 1.00 7.89 5.07
X34 135 1.00 6.75 4.16
X35 135 1.00 6.41 4.11
X36 135 1.00 6.09 3.95
X37 135 1.00 6.04 3.97
X38 135 1.00 5.63 3.77
X39 135 1.00 6.43 4.11
3.99
Kualitas Pelayanan Y11 135 1.00 5.45 3.38
Y12 135 1.00 4.50 2.26
Y13 135 1.00 5.92 3.82
Y14 135 1.00 4.91 2.42
Y15 135 1.00 5.60 3.17
3.01
Sumber: Data diolah,2016
221
Berdasarkan Tabel 5.4 dapat diketahui bahwa perilaku birokrasi yang
berkearifan lokal menurut persepsi responden adalah sangat baik, karena memiliki
rata-rata skor sebesar 3,78 atau lebih besar 3,50. Persepsi responden terhadap
pengawasan masyarakat dalam kategori baik, karena memiliki rata-rata skor
sebesar 3,00. Kinerja pelayanan publik menurut persepsi responden adalah sangat
baik, karena memiliki rata-rata skor sebesar 3,99, sedangkan kualitas pelayanan
menurut persepsi responden dalam kategori baik, karena memiliki rata-rata skor
sebesar 3,09.
5.5 Analisis Data
5.5.1 Uji Validitas Instrumen
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini diuji validitasnya.
Tujuannya adalah untuk mengukur kemampuan instrumen bersangkutan dalam
mengukur apa yang sebenarnya harus diukur, atau dengan perkataan lain alat ukur
dapat mengukur indikator-indikator suatu obyek pengukuran itu sendiri. Uji
validitas dilakukan dengan mengkorelasikan skor instrumen dengan total skor
pada konstruk yang diteliti. Metode korelasi yang digunakan adalah korelasi
Product Moment. Hasil dari pengolahan uji validitas disajikan pada Tabel 5.5
Tabel 5.5
Uji Validitas Instrumen
Konstruk Indikator Sub
Indikator
R2
Sig Keterangan
Perilaku Birokrasi
Yang Berkearifan
Lokal
X1.1 = Kejelasan
Petugas
Pelayanan X111 0.872 0.000
Valid
(X1)
X112 0.812 0.000 Valid
X113 0.663 0.000 Valid
X114 0.837 0.000 Valid
222
Konstruk Indikator Sub
Indikator
R2
Sig Keterangan
X1.2 = Kedisiplinan
Petugas
Pelayanan X121 0.508 0.000
Valid
X122 0.628 0.000 Valid
X123 0.743 0.000 Valid
X124 0.840 0.000 Valid
X125 0.774 0.000 Valid
X126 0.729 0.000 Valid
X1.3 = Tanggung
Jawab Petugas
Pelayanan X131 0.604 0.000
Valid
X132 0.709 0.000 Valid
X133 0.791 0.000 Valid
X134 0.786 0.000 Valid
X135 0.681 0.000 Valid
X136 0.668 0.000 Valid
X1.4 = Kemampuan
Petugas
Pelayanan X141 0.741 0.000
Valid
X142 0.807 0.000 Valid
X143 0.663 0.000 Valid
X144 0.676 0.000 Valid
X145 0.684 0.000 Valid
X146 0.842 0.000 Valid
X147 0.685 0.000 Valid
X148 0.729 0.000 Valid
X1.5 = Kesopanan dan
Keramahan
Petugas X151 0.773 0.000
Valid
X152 0.820 0.000 Valid
X153 0.770 0.000 Valid
X154 0.733 0.000 Valid
X155 0.746 0.000 Valid
X156 0.762 0.000 Valid
X157 0.340 0.001 Valid
X158 0.387 0.000 Valid
Pengawasan
X2.1 = Pengaduan
Masyarakat X211 0.390 0.000
Valid
Masyarakat (X2)
X212 0.187 0.030 Valid
X2.2 = Masukan
Terkait
Pelayanan X221 0.792 0.000
Valid
X222
0.806
0.000
Valid
223
Konstruk Indikator Sub
Indikator
R2
Sig Keterangan
X2.3 = Gugatan atas
Pelayanan X231 0.323 0.000
Valid
X232 0.277 0.001 Valid
X2.4 = Penyampaian
Keluhan X241 0.619 0.000
Valid
X242 0.595 0.000 Valid
X243
0.737
0.000
Valid
Kinerja Pelayanan:
X3.1 = Prosedur
Pelayanan X311 0.856 0.000
Valid
(X3)
X312 0.754 0.000 Valid
X313 0.678 0.000 Valid
X314 0.866 0.000 Valid
X315 0.612 0.000 Valid
X316 0.716 0.000 Valid
X317 0.706 0.000 Valid
X3.2 = Persyaratan
Pelayanan X321 0.742 0.000
Valid
X322 0.792 0.000 Valid
X323 0.725 0.000 Valid
X324 0.766 0.000 Valid
X325 0.773 0.000 Valid
X326 0.717 0.000 Valid
X327 0.792 0.000 Valid
X3.3 = Keadilan
Mendapatkan X331 0.657 0.000
Valid
Pelayanan X332 0.805 0.000 Valid
X333 0.871 0.000 Valid
X334 0.827 0.000 Valid
X3.4 = Kewajaran
Biaya X341 0.734 0.000
Valid
X342 0.754 0.000 Valid
X343 0.841 0.000 Valid
X344 0.864 0.000 Valid
X345 0.641 0.000 Valid
X3.5 = Kepastian
Biaya X351 0.772 0.000
Valid
X352 0.719 0.000 Valid
X353 0.827 0.000 Valid
X354 0.853 0.000 Valid
X355 0.843 0.000 Valid
X356
0.854
0.000
Valid
224
Konstruk Indikator Sub
Indikator
R2
Sig Keterangan
X3.6 = Kepastian Jadwal X361 0.877 0.000 Valid
X362 0.893 0.000 Valid
X363 0.885 0.000 Valid
X364 0.842 0.000 Valid
X365 0.765 0.000 Valid
X3.7 = Kenyamanan
Lingkungan
Pelayanan X371 0.825 0.000
Valid
X372 0.814 0.000 Valid
X373 0.833 0.000 Valid
X374 0.874 0.000 Valid
X3.8 = Keamanan
Pelayanan X381 0.852 0.000
Valid
X382 0.861 0.000 Valid
X383 0.862 0.000 Valid
X384 0.877 0.000 Valid
X385 0.866 0.000 Valid
X386 0.916 0.000 Valid
X3.9 = Kecepatan
Pelayanan X391 0.742 0.000
Valid
X392 0.786 0.000 Valid
X393 0.775 0.000 Valid
X394 0.785 0.000 Valid
X395 0.718 0.000 Valid
X396 0.787 0.000 Valid
Kualitas Pelayanan Y1.1 = Bukti Langsung Y11 0.832 0.000
Valid
(Y1)
Y12 0.849 0.000 Valid
Y13 0.846 0.000 Valid
Y14 0.641 0.000 Valid
Y1.2 = Kehandalan Y21 0.835 0.000
Valid
Y22 0.838 0.000 Valid
Y23 0.845 0.000 Valid
Y24 0.738 0.000 Valid
Y1.3 = Daya Tanggap Y31 0.848 0.000
Valid
Y32 0.844 0.000 Valid
Y33 0.896 0.000 Valid
Y1.4 = Jaminan Y41 0.847 0.000 Valid
Y42 0.850 0.000 Valid
Y43
0.809
0.000
Valid
225
Konstruk Indikator Sub
Indikator
R2
Sig Keterangan
Y1.5 = Kepedulian Y51 0.860 0.000
Valid
Y52 0.803 0.000 Valid
Y53 0.818 0.000 Valid
Y54 0.798 0.000 Valid
Y55 0.830 0.000 Valid
Sumber: Lampiran 1
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat disimak bahwa semua instrumen atau butir-butir
pertanyaan yang digunakan adalah valid. Hal ini ditunjukkan dengan signifikansi
antara 0,000 dan 0,030. Mengenai koefisien korelasi skor masing-masing
instrumen dengan total skor kelompok instrumen adalah antara 0,187 dan 0,916.
5.5.2 Uji Reliabilitas Instrumen
Suatu kuesioner dikatakan reliable atau handal jika jawaban seseorang
terhadap pertanyaan yang diajukan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke
waktu. Pada umumnya suatu variabel yang dikontruksi dari suatu pertanyaan
dikatakan reliable jika memberikan Cochran Chi Square Alpha lebih besar dari
0,60. Mengenai hasil dari pengujian reliabilitas terhadap instrumen dalam
penelitian ini dapat disajikan pada Tabel 5.6
Tabel 5.6
Uji Reliabilitas Instrumen
Konstruk Indikator Chornbach
Alpha
Jumlah
Item
Keterangan
Perilaku Birokrasi
X1.1 = Kejelasan Petugas
Pelayanan 0.804 4
Reliabel
Yang Berkearifan
Lokal (X1)
X1.2 = Kedisiplinan Petugas
Pelayanan 0.795 6
Reliabel
X1.3 = Tanggung Jawab
Petugas Pelayanan 0.798 6
Reliabel
X1.4 = Kemampuan Petugas
Pelayanan 0.854 8
Reliabel
X1.5 = Kesopanan dan
Keramahan Petugas
0.800
8
Reliabel
226
Konstruk Indikator Chornbach
Alpha
Jumlah
Item
Keterangan
Pengawasan
Masyarakat (X2) X2.1 = Pengaduan Masyarakat 0.755 2
Reliabel
X2.2 = Masukan Terkait
Pelayanan 0.664 2
Reliabel
X2.3 = Gugatan atas Pelayanan 0.623 2
Reliabel
X2.4 = Penyampaian Keluhan
0.712
3
Reliabel
Kinerja Pelayanan X3.1 = Prosedur Pelayanan 0.862 7
Reliabel
(X3) X3.2 = Persyaratan Pelayanan 0.895 8 Reliabel
X3.3 = Keadilan Mendapatkan
Pelayanan 0.796 4
Reliabel
X3.4 = Kewajaran Biaya 0.814 5 Reliabel
X3.5 = Kepastian Biaya 0.935 6 Reliabel
X3.6 = Kepastian Jadwal 0.906 5
Reliabel
X3.7 = Kenyamanan
Lingkungan Pelayanan 0.855 4
Reliabel
X3.8 = Keamanan Pelayanan 0.935 6 Reliabel
X3.9 = Kecepatan Pelayanan
0.847
6
Reliabel
Kualitas
Pelayanan Publik Y1 = Bukti Langsung 0.805 4
Reliabel
(Y) Y2 = Kehandalan 0.832 4 Reliabel
Y3 = Daya Tanggap 0.828 3 Reliabel
Y4 = Jaminan 0.767 3 Reliabel
Y5 = Kepedulian
0.879
5
Reliabel
Sumber: Lampiran 2
Berdasarkan Tabel 5.6 dapat disimak mengenai nilai Cronbach's Alpha konstruk
penelitian berkisar antara nilai terendah 0,623 dan nilai tertinggi 0,935. Oleh
karena nilai keseluruhan dari Cronbach's Alpha lebih besar dari 0,60, maka
instrumen penelitian pada masing-masing konstruk atau dalam hal ini disebut
indikator adalah reliabel.
5.5.3 Analisis Model Persamaan Struktural
Sehubungan dengan penelitian ini, maka secara keseluruhan full model
dari pengaruh perilaku birokrasi yang berkearifan lokal, pengawasan masyarakat,
227
dan kinerja pelayanan terhadap kualitas pelayanan publik di bidang perizinan
yang diselenggarakan oleh instanasi badan/dinas/kantor pelayanan perizinan pada
pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali dapat disajikan pada Gambar 5.3
Gambar 5.3
Full Model Pengaruh Perilaku Birokrasi yang Berkearifan Lokal, Pengawasan
Masyarakat, dan Kinerja Pelayanan Publik Terhadap Kualitas Pelayanan di
Bidang Perizinan Pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali
Keterangan:
X1 = Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan
Lokal:
X1.1 = Kejelasan Petugas Pelayanan
X1.2 = Kedisiplinan Petugas Pelayanan
X1.3 = Tanggung Jawab Petugas Pelayanan
X1.4 = Kemampuan Petugas Pelayanan
X1.5 = Kesopanan dan Keramahan Petugas
X3 = Kinerja Pelayanan:
X3.1
= Prosedur Pelayanan
X3.2 = Persyaratan Pelayanan
X3.3 = Keadilan Mendapatkan Pelayanan
X3.4 = Kewajaran Biaya
X3.5 = Kepastian Biaya
X3.6 = Kepastian Jadwal
X3.7 = Kenyamanan Lingkungan Pelayanan
X3.8 = Keamanan Pelayanan
X3.9 = Kecepatan Pelayanan
X2 = Pengawasan Masyarakat :
X2.1 = Pengaduan Masyarakat
X2.2 = Masukan Terkait Pelayanan
X2.3 = Gugatan atas Pelayanan
X2.4 = Penyampaian Keluhan
Y = Kualitas Pelayanan:
Y1.1 = Bukti Langsung (Tangiables)
Y1.2 = Keandalan (Reliability)
Y1.3 = Daya Tanggap (Responsiveness)
Y1.4 = Jaminan (Assurance)
Y1.5 = Kepedulian (Emphaty)
228
5.5.4 Evaluasi Model pengukuran (Outer Model)
Untuk mengetahui apakah indikator yang digunakan dalam membentuk
konstruk atau variabel laten adalah valid, maka dilakukan analisis sebagai berikut:
a) Convergent Validity
Model ini menspesifikasi hubungan antara variabel laten dengan
indikatornya (bagaimana setiap indikator berhubungan dengan variabel latennya.
Convergent validity dilakukan dengan melihat koefisien outer loading pada
masing-masing indikator. Indikator suatu variabel dikatakan valid jika mempunyai
koefisien outer loading atau Loading factor > 0,50. Hasil output PLS mengenai
convergent validity yaitu outer loading indikator terhadap konstruk Perilaku
Birokrasi Yang Berkearifan Lokal (X1), Pengawasan Masyarakat (X2), Kinerja
Pelayanan (X3), dan Kualitas Pelayanan (Y) disajikan pada Tabel 5.7
Tabel 5.7
Outer Loading Indikator Terhadap konstruk Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan
Lokal (X1), Pengawasan Masyarakat (X2), Kinerja Pelayanan (X3), dan Kualitas
Pelayanan (Y)
Variabel
Penelitian
Original
Sampel (O)
Mean
Sample
(M)
Standard
Deviation
(STDEV)
T Statistiks
(|O/STDEV|)
P
Value
X1.1 <-- X1 0.833 0.836 0.045 18.624 0.000
X1.2 <-- X1 0.849 0.848 0.047 18.173 0.000
X1.3 <-- X1 0.840 0.840 0.039 21.494 0.000
X1.4 <-- X1 0.894 0.892 0.036 24.888 0.000
X1.5 <-- X1 0.800 0.800 0.054 14.803 0.000
X2.1 <-- X2 0.827 0.828 0.035 23.657 0.000
X2.2 <-- X2 0.793 0.791 0.045 17.813 0.000
X2.3 <-- X2 0.780 0.775 0.064 12.221 0.000
X2.4 <-- X2 0.735 0.733 0.063 11.674 0.000
X3.1 <-- X3 0.694 0.696 0.077 9.056 0.000
X3.2 <-- X3 0.558 0.555 0.096 5.813 0.000
X3.3 <-- X3 0.639 0.635 0.090 7.102 0.000
X3.4 <-- X3 0.797 0.791 0.068 11.762 0.000
X3.5 <-- X3 0.760 0.763 0.072 10.533 0.000
229
X3.6 <-- X3 0.774 0.776 0.062 12.502 0.000
X3.7 <-- X3 0.782 0.781 0.075 10.419 0.000
X3.8 <-- X3 0.861 0.862 0.049 17.618 0.000
X3.9 <-- X3 0.721 0.719 0.074 9.696 0.000
Y1 <-- Y 0.829 0.833 0.039 21.012 0.000
Y2 <-- Y 0.915 0.914 0.020 46.412 0.000
Y3 <-- Y 0.889 0.889 0.028 31.431 0.000
Y4 <-- Y 0.831 0.831 0.053 15.727 0.000
Y5 <-- Y 0.891 0.892 0.034 26.147 0.000
Sumber : Lampiran 4
Berdasarkan Tabel 5.7 dapat diketahui bahwa semua indikator yang membentuk
konstruk Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan Lokal (X1), Pengawasan
Masyarakat (X2), Kinerja Pelayanan Publik (X3), dan Kualitas Pelayanan (Y)
secara statistik adalah signifikan dengan nilai T hitung lebih besar dari 1,96
dengan p value sebesar 0,000. Demikian juga nilai loading semuanya di atas 0,50,
yang berarti bahwa konstruk yang dibuat telah memenuhi syarat convergent
validity. Hasil analisis sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 5.7 dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a) Hubungan Variabel Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan Lokal (X1) dengan 5
(lima) indikatornya, yakni : kejelasan petugas pelayanan (X1.1), kedisiplinan
petugas pelayanan (X1.2), tanggung jawab petugas pelayanan (X1.3),
kemampuan petugas pelayanan (X1.4) dan kesopanan dan keramahan petugas
(X1.5). Adapun hasil hubungan antar variabel tersebut adalah :
(a) Loading factor indikator kejelasan petugas pelayanan (X1.1) sebesar
0,821 artinya indikator kejelasan petugas pelayanan (X1.1) mampu
mengkonstruk (memberi kontribusi) terhadap variabel perilaku
birokrasi yang berkearifan lokal sebesar 0,821.
230
(b) Loading factor indikator kedisiplinan petugas pelayanan (X1.2) sebesar
0,804 artinya indikator kedisiplinan petugas pelayanan (X1.2) mampu
mengkonstruk (memberi kontribusi) terhadap variabel perilaku
birokrasi yang berkearifan lokal sebesar 0,804.
(c) Loading factor indikator tanggung jawab petugas pelayanan (X1.3)
sebesar 0,804 artinya indikator tanggung jawab petugas pelayanan
(X1.3) mampu mengkonstruk (memberi kontribusi) terhadap variabel
perilaku birokrasi yang berkearifan lokal sebesar 0,804.
(d) Loading factor indikator kemampuan petugas pelayanan (X1.4) sebesar
0,806 artinya indikator kemampuan petugas pelayanan (X1.4) mampu
mengkonstruk (memberi kontribusi) terhadap variabel perilaku
birokrasi yang berkearifan lokal sebesar 0,806.
(e) Loading factor indikator kesopanan & keramahan petugas (X1.5) sebesar
0,763 artinya indikator kesopanan & keramahan petugas (X1.5) mampu
mengkonstruk (memberi kontribusi) terhadap variabel perilaku
birokrasi yang berkearifan lokal sebesar 0,763.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa indikator yang mempunyai koefisien
outer loading paling besar, berarti mempunyai kontribusi yang paling besar pula
terhadap variabelnya. Indikator variabel Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan
Lokal (X1) yang mempunyai kontribusi paling besar adalah kejelasan petugas
pelayanan (X1.1) dengan koefisien outer loading 0,821 dan indikator yang
memiliki kontribusi paling paling rendah adalah indikator kesopanan dan
keramahan petugas (X1.5) dengan koefisien outer loading 0,763.
231
b) Hubungan Variabel Pengawasan Masyarakat (X2) yang terdiri dari
pengaduan masyarakat (X2.1), masukan terkait pelayanan (X2.2), gugatan atas
pelayanan (X2.3) dan penyampaian keluhan (X2.4). Adapun hasil hubungan
antar variabel tersebut adalah :
(a) Loading factor indikator pengaduan masyarakat (X2.1), sebesar 0,835
artinya indikator pengaduan masyarakat (X2.1) mampu mengkonstruk
(memberi kontribusi) terhadap variabel Pengawasan Masyarakat
sebesar 0,835.
(b) Loading factor indikator masukan terkait pelayanan (X2.2) sebesar
0,651 artinya indikator masukan terkait pelayanan (X2.2) mampu
mengkonstruk (memberi kontribusi) terhadap variabel Pengawasan
Masyarakat sebesar 0,651.
(c) Loading factor indikator gugatan atas pelayanan (X2.3) sebesar 0,681
artinya indikator gugatan atas pelayanan (X2.3) mampu mengkonstruk
(memberi kontribusi) terhadap variabel Pengawasan Masyarakat
sebesar 0,681
(d) Loading factor indikator penyampaian keluhan (X2.4) sebesar 0,618
artinya indikator penyampaian keluhan (X2.4) mampu mengkonstruk
(memberi kontribusi) terhadap variabel Pengawasan Masyarakat
sebesar 0,618.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa indikator yang mempunyai koefisien
outer loading paling besar, berarti mempunyai kontribusi yang paling besar pula
terhadap variabelnya. Indikator variabel Pengawasan Masyarakat (X2) yang
232
mempunyai kontribusi paling besar adalah pengaduan masyarakat (X2.1) dengan
koefisien outer loading 0,835 dan indikator yang memiliki kontribusi paling
paling rendah adalah penyampaian keluhan (X2.4) dengan koefisien outer loading
0,618.
c) Hubungan Variabel Kinerja Pelayanan (X3), dengan 9 (sembilan)
indikatornya, yakni : prosedur pelayanan (X3.1), persyaratan pelayanan (X3.2),
keadilan mendapatkan pelayanan (X3.3), kewajaran biaya (X3.4), kepastian
biaya (X3.5), kepastian jadwal (X3.6), kenyamanan lingkungan pelayanan
(X3.7), keamanan pelayanan (X3.8) dan kecepatan pelayanan (X3.9). Adapun
hasil hubungan antar variabel tersebut yakni :
(a) Loading factor indikator prosedur pelayanan (X3.1), sebesar 0,694
artinya indikator prosedur pelayanan (X3.1) mampu mengkonstruk
(memberi kontribusi) terhadap variabel Kinerja Pelayanan sebesar
0,694.
(b) Loading factor indikator persyaratan pelayanan (X3.2), sebesar 0,558
artinya indikator persyaratan pelayanan (X3.2) mampu mengkonstruk
(memberi kontribusi) terhadap variabel Kinerja Pelayanan sebesar
0,558.
(c) Loading factor indikator keadilan mendapatkan pelayanan (X3.3),
sebesar 0,639 artinya indikator keadilan mendapatkan pelayanan (X3.3)
mampu mengkonstruk (memberi kontribusi) terhadap variabel Kinerja
Pelayanan sebesar 0,639.
233
(d) Loading factor indikator kewajaran biaya (X3.4), sebesar 0,797 artinya
indikator kewajaran biaya (X3.4), mampu mengkonstruk (memberi
kontribusi) terhadap variabel Kinerja Pelayanan sebesar 0,797.
(e) Loading factor indikator kepastian biaya (X3.5), sebesar 0,760 artinya
indikator kepastian biaya (X3.5), mampu mengkonstruk (memberi
kontribusi) terhadap variabel Kinerja Pelayanan sebesar 0,760.
(f) Loading factor indikator kepastian jadwal (X3.6), sebesar 0,774 artinya
indikator kepastian jadwal (X3.6), mampu mengkonstruk (memberi
kontribusi) terhadap variabel Kinerja Pelayanan sebesar 0,774.
(g) Loading factor indikator kenyamanan lingkungan pelayanan (X3.7),
sebesar 0,782 artinya indikator kenyamanan lingkungan pelayanan
(X3.7), mampu mengkonstruk (memberi kontribusi) terhadap variabel
Kinerja Pelayanan sebesar 0,782.
(h) Loading factor indikator keamanan pelayanan (X3.8), sebesar 0,862
artinya indikator keamanan pelayanan (X3.8), mampu mengkonstruk
(memberi kontribusi) terhadap variabel Kinerja Pelayanan sebesar
0,862.
(i) Loading factor indikator kecepatan pelayanan (X3.9),sebesar 0,721
artinya indikator kecepatan pelayanan (X3.9), mampu mengkonstruk
(memberi kontribusi) terhadap variabel Kinerja Pelayanan sebesar
0,721.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa indikator yang mempunyai koefisien
outer loading paling besar, berarti mempunyai kontribusi yang paling besar pula
234
terhadap variabelnya. Indikator variabel Kinerja Pelayanan (X3) yang mempunyai
kontribusi paling besar adalah keamanan pelayanan (X3.8) dengan koefisien outer
loading 0,862 dan indikator yang memiliki kontribusi paling paling rendah adalah
persyaratan pelayanan (X3.2) dengan koefisien outer loading 0,558.
d) Hubungan Variabel Kualitas Pelayanan (Y), dengan 5 (lima) indikatornya,
yakni : bukti langsung (Y1), keandalan (Y2), daya tanggap (Y3), jaminan (Y4)
dan kepedulian (Y5). Adapun hasil hubungan antar variabel tersebut adalah :
(a) Loading factor indikator bukti langsung (Y1), sebesar 0,880 artinya
indikator bukti langsung (Y1), mampu mengkonstruk (memberi
kontribusi) terhadap variabel Kualitas Pelayanan sebesar 0,880.
(b) Loading factor indikator keandalan (Y2), sebesar 0,914 artinya indikator
keandalan (Y2), mampu mengkonstruk (memberi kontribusi) terhadap
variabel Kualitas Pelayanan sebesar 0,914.
(c) Loading factor indikator daya tanggap (Y3) sebesar 0,768 artinya
indikator daya tanggap (Y3), mampu mengkonstruk (memberi
kontribusi) terhadap variabel Kualitas Pelayanan sebesar 0,768.
(d) Loading factor indikator jaminan (Y4), sebesar 0,776 artinya indikator
jaminan (Y4), mampu mengkonstruk (memberi kontribusi) terhadap
variabel Kualitas Pelayanan sebesar 0,776.
(e) Loading factor indikator kepedulian (Y5), sebesar 0,830 artinya
indikator kepedulian (Y5), mampu mengkonstruk (memberi kontribusi)
terhadap variabel Kualitas Pelayanan sebesar 0,830.
235
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa indikator yang mempunyai koefisien
outer loading paling besar, berarti mempunyai kontribusi yang paling besar pula
terhadap variabelnya. Indikator variabel Kualitas Pelayanan (Y) yang mempunyai
kontribusi paling besar adalah keandalan (Y2) dengan koefisien outer loading
0,914 dan indikator yang memiliki kontribusi paling paling rendah adalah daya
tanggap (Y3) dengan koefisien outer loading 0,768.
b) Discriminan Validity
Untuk mengetahui validitas suatu konstruk juga dapat dikaji berdasarkan
discriminan validity. Discriminan validity pada indikator reflektif adalah dengan
melihat crossloading indikator terhadap konstruk atau latennya. Discriminan
validity yang baik, indikatornya memiliki crossloading pada konstruknya lebih
besar dibandingkan dengan konstruk lainnya. Mengenai hasil dari crossloading
indikator terhadap konstruk Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan Lokal (X1),
Pengawasan Masyarakat (X2), Kinerja Pelayanan Publik (X3), dan Kualitas
Pelayanan (Y) ditunjukkan pada Tabel 5.8
Tabel 5.8
Nilai Cross Loading Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan Lokal (X1),
Pengawasan Masyarakat (X2), Kinerja Pelayanan Publik (X3), dan
Kualitas Pelayanan (Y)
Konstruk Indikator X1 X2 X3 Y
Perilaku Birokrasi
Yang Berkearifan
Lokal (X1)
X1.1 0.833 0.258 0.671 0.723
X1.2 0.849 0.131 0.662 0.702
X1.3 0.840 0.187 0.650 0.713
X1.4 0.894 0.246 0.647 0.719
X1.5 0.800 0.101 0.621 0.673
Pengawasan Msyarakat
(X2) X2.1 0.199 0.827 0.441 0.280
X2.2 0.166 0.793 0.334 0.256
X2.3 0.137 0.780 0.360 0.218
X2.4 0.186 0.785 0.326 0.237
236
Kinerja Pelayanan (X3) X3.1 0.573 0.311 0.772 0.648
X3.2 0.442 0.264 0.657 0.521
X3.3 0.494 0.336 0.680 0.602
X3.4 0.719 0.311 0.782 0.722
X3.5 0.582 0.427 0.788 0.709
X3.6 0.555 0.428 0.808 0.743
X3.7 0.606 0.374 0.787 0.771
X3.8 0.705 0.394 0.866 0.798
X3.9 0.615 0.417 0.743 0.630
Kualitas Pelayanan (Y) Y1 0.736 0.281 0.837 0.829
Y2 0.795 0.359 0.851 0.915
Y3 0.656 0.191 0.723 0.889
Y4 0.704 0.299 0.705 0.831
Y5 0.742 0.238 0.761 0.891
Sumber: Lampiran 4
Berdasarkan hasil pengolahan data yang tersaji pada Tabel 5.8 dapat
diketahui bahwa discriminant validity sudah terpenuhi karena crossloading dari
masing-masing indikator pada konstruknya memiliki nilai lebih besar
dibandingkan dengan konstruk lainnya. Konstruk Perilaku Birokrasi Yang
Berkearifan Lokal (X1) memiliki crossloading minimal 0,800 sedangkan pada
konstruk lainnya yang terletak pada kolom disebelahnya memiliki crossloading
lebih kecil dari nilai tersebut. Konstruk Pengawasan Masyarakat (X2) memiliki
crossloading minimal 0,780 sedangkan pada konstruk lainnya yang terletak pada
kolom disebelahnya memiliki crossloading lebih kecil dari nilai tersebut.
Konstruk Kinerja Pelayanan Publik (X3) memiliki crossloading minimal 0,653
sedangkan pada konstruk lainnya yang terletak pada kolom disebelahnya
memiliki crossloading lebih kecil dari nilai tersebut. Konstruk Kualitas
Pelayanan (Y) memiliki crossloading minimal 0,829, sedangkan pada konstruk
lainnya yang terletak pada kolom disebelahnya memiliki crossloading lebih kecil
dari nilai tersebut.
237
Kelayakan konstruk yang dibuat juga dapat dilihat dari discrimanant
validity (DV) melalui Average Variance Extracted (AVE), composite reliability
(ρc) yang umumnya digunakan untuk indikator reflektif yang bertujuan untuk
mengukur konsistensi internal suatu konstruk, dan Cronbach Alpha. Hasil
pengolahan datanya disajikan pada Tabel 5.9
Tabel 5.9
Average Variance Extracted (AVE), Composite Reliability dan Cronbach Alpha
Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan Lokal (X1), Pengawasan Masyarakat (X2),
Kinerja Pelayanan Publik (X3), dan Kualitas Pelayanan (Y)
Konstruk Cronbach's
Alpha
Composite
Reliability
Average Variance
Extrated (AVE)
Perilaku Birokrasi Yang
Berkearifan Lokal (X1)
0.899 0.925 0.712
Pengawasan Masyarakat (X2) 0.792 0.865 0.615
Kinerja Pelayanan Publik (X3) 0.913 0.929 0.592
Kualitas Pelayanan (Y) 0.920 0.940 0.759
Sumber: Lampiran 4
Berdasarkan Tabel 5.9 dapat diketahui bahwa konstruk Perilaku Birokrasi
Yang Berkearifan Lokal (X1), Pengawasan Masyarakat (X2), Kinerja Pelayanan
Publik (X3), dan Kualitas Pelayanan (Y) sangat baik, karena memiliki
discrimanant validity yang jauh lebih besar dari 0,50 untuk Average Variance
Extracted (AVE) dan di atas 0,70 untuk Composite Reliability dan Cronbach
Alpha yang melebihi 0,60.
5.5.5 Evaluasi Inner Model (Evaluasi Goodness of Fit )
Inner model menggambarkan hubungan antara variabel laten berdasarkan
pada substantive theory. Dalam menilai model dengan PLS, maka dimulai dengan
238
melihat R-squares untuk setiap variabel laten dependen. Hasil pengujian inner
model dapat melihat hubungan antar konstruk dengan cara membandingkan nilai
signifikansi dan R-square dari model penelitian (Ghozali, 2008).
Dalam penelitian ini terdapat dua konstruk endogen, yaitu Kinerja
Pelayanan Publik (X3), dan Kualitas Pelayanan (Y). Nilai R2 untuk konstruk
endogen disajikan pada Tabel 5.10.
Tabel 5.10
Nilai R2
Konstruk Endogen
Konstuk Nilai R2 Keterangan
Kinerja Pelayanan Publik (X3) 0.725 Hubungan kuat
Kualitas Pelayanan (Y) 0.853 Hubungan kuat
Sumber: Lampiran 4
Berdasarkan hasil pengolahan data sebagaimana dikemukakan pada Tabel 5.10
dapat dinyatakan bahwa nilai R-square dari variabel kinerja pelayanan publik
adalah sebesar 0,725. Angka itu dapat diinterprestasikan bahwa 72,5 persen
variabel konstruk kinerja pelayanan publik dijelaskan oleh variabel perilaku
birokrasi yang berkearifan lokal sedangkan 27,5 persen variabel kinerja
pelayanan publik dijelaskan oleh variabel di luar model. Oleh karena angka
tersebut lebih besar dari 0,67, hal itu menunjukkan model pengaruh Perilaku
Birokrasi Yang Berkearifan Lokal (X1), Pengawasan Masyarakat (X2) dan
interaksi antara Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan Lokal dengan Pengawasan
Masyarakat (X1*X2) terhadap Kinerja Pelayanan Publik (X3), tergolong memiliki
hubungan yang ”kuat”. Di lain pihak nilai R2 dari variabel Kualitas Pelayanan
(Y) adalah sebesar 0,853 juga tergolong ”kuat” sesuai pendapat Chin (dalam
Ghozali, 2008) sebagai berikut :
239
R-square > 0,67 ----> “Kuat”
R-square 0,33 - 0,66 ----> “moderat”
R-square0,0 - 032 ----> “lemah”
Selain menggunakan R-square, goodness of fit model juga diukur dengan
Q-square predictive relevance untuk model struktural, yang digunakan mengukur
seberapa baik nilai observasi dihasilkan oleh model dan juga estimasi
parameternya. Nilai dari Q-square > 0 menunjukkan model memiliki predictive
relevance, sebaliknya jika Nilai Q-square < 0 menunjukkan model kurang
memiliki predictive relevance. Adapun perhitungan Q2 atau Stone-Geiser Q
Square test adalah :
)}1)(1{(1 2
2
2
1
2 RRQ ,
}853,01)(725,01{(12 Q
960,02 Q
Keterangan :
R12 ,
R22
adalah R-square variabel endogen
Nilai Q2 sebesar 0,960 tergolong sangat besar dan dapat dikatakan memiliki
predictive prevelance yang tinggi, sehingga model yang dihasilkan layak
digunakan untuk memprediksi. Angka Q2 sebesar 0,960 memiliki arti bahwa 96
persen merupakan variasi dari Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan Lokal (X1),
Pengawasan Masyarakat (X2) dan interaksi antara Perilaku Birokrasi Yang
Berkearifan Lokal dan Pengawasan Masyarakat (X1*X2) serta Kinerja Pelayanan
Publik (X3), terhadap Kualitas Pelayanan (Y). Sementara itu, sisanya sebesar 4
(empat) persen dipengaruhi oleh variabel lain di luar ketiga variabel dimaksud.
240
5.5.6 Pengaruh Langsung Antar Variabel
Analisis pengaruh langsung antar variabel dalam penelitian ini akan dapat
menjelaskan mengenai hubungan masing-masing variabel penelitian. Pengaruh
langsung ditunjukkan oleh koefisien semua anak panah dengan satu ujung.
Adapun mengenai pengaruh langsung antar variabel penelitian ditunjukkan oleh
Tabel 5.11
Tabel 5.11
Pengaruh Langsung Antar variabel Penelitian
Hubungan Variabel Original
Sampel
(O)
Standard
Deviation
(STDEV)
T Statistiks
(|O/STDEV|)
P
Value
Keterangan
Moderating - > X3 0.206 0.072 2.847 0.005 Signifikan
X1 - > X3 0.595 0.077 7.735 0.000 Signifikan
X1 - > Y 0.364 0.085 4.263 0.000 Signifikan
X2 - > X3 0.309 0.073 4.234 0.000 Signifikan
X3 - > Y 0.614 0.070 8.760 0.000 Signifikan
Sumber: Lampiran 6
Keterangan:
X1 = Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan Lokal
X2 = Pengawasan Masyarakat
X3 = Kinerja Pelayanan Publik
Y = Kualitas Pelayanan
Berdasarkan Tabel 5.11 dapat dilihat bahwa variabel Perilaku Birokrasi Yang
Berkearifan Lokal (X1) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja
Pelayanan Publik (X3) dan Kualitas Pelayanan (Y) dengan signifikansi sebesar
0,000 atau kurang dari 1 persen. Pada pihak lain dapat dijumpai Variabel Kinerja
Pelayanan Publik (X3) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kualitas
Pelayanan (Y) dengan signifikansi sebesar 0,000.
241
Interaksi antara variabel Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan Lokal dan
variabel Pengawasan Masyarakat (X1*X2) berpengaruh terhadap Kinerja
Pelayanan Publik (X3) dengan signifikansi sebesar 0,005, dengan tanda yang
positif. Hal ini berarti bahwa variabel Pengawasan Masyarakat (X2) memperkuat
pengaruh variabel Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan Lokal (X1) terhadap
Kinerja Pelayanan Publik (X3). Mengenai hubungan antar variabel yang ada
dalam penelitian ini dapat disajikan pada Gambar 5.4
Gambar 5.4
Hubungan Antar variabel Penelitian
Berdasarkan pada Gambar 5.4 dapat dijelaskan bahwa variabel Kinerja Pelayanan
Publik (X3) paling besar dipengaruhi oleh variabel Perilaku Birokrasi Yang
Berkearifan Lokal (X1) sebesar 0,595, kemudian disusul oleh variabel
Pengawasan Masyarakat (X2) sebesar 0,309, dan terakhir dipengaruhi oleh
interaksi antara variabel Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan Lokal dengan
variabel Pengawasan Masyarakat (X1*X2) sebesar 0,206. Variabel yang
242
berpengaruh lebih besar terhadap Kualitas Pelayanan (Y) adalah Kinerja
Pelayanan Publik (X3), dengan koefisien sebesar 0,614, kemudian disusul
variabel Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan Lokal (X1) sebesar 0,364.
5.5.7 Pengaruh Tidak Langsung atau Mediasi
Pengaruh tidak langsung adalah pengaruh yang diukur secara tidak
langsung dari satu variabel ke variabel lainnya melalui variabel antara
(intervening variabel). Koefisien pengaruh tidak langsung ini dapat diperoleh dari
hasil pengalian kedua pengaruh langsung masing-masing variabel. Bilamana
kedua koefisien pengaruh langsung menunjukkan hasil signifikan, maka koefisien
pengaruh tidak langsung juga akan signifikan. Sebaliknya apabila salah satu atau
kedua koefisien pengaruh langsung tidak signifikan, maka koefisien pengaruh
tidak langsung juga tidak signifikan.
Dalam penelitian ini diuji 3 (tiga) variabel yang mempunyai pengaruh
tidak langsung, yaitu pengaruh variabel Perilaku Birokrasi yang Berkearifan
Lokal (X1) terhadap Kualitas Pelayanan (Y) melalui Kinerja Pelayanan Publik
(X3), pengaruh variabel Pengawasan Masyarakat (X2) terhadap Kualitas
Pelayanan (Y) melalui Kinerja Pelayanan Publik (X3) dan pengaruh interaksi
antara variabel Perilaku Birokrasi yang Berkearifan Lokal dengan variabel
Pengawasan Masyarakat (X1*X2) terhadap Kualitas Pelayanan (Y) melalui
Kinerja Pelayanan Publik (X3). Adapun mengenai hasil pengujian dari pengaruh
tidak langsung pada ketiga variabel dimaksud seperti yang tercantum pada Tabel
5.12
243
Tabel 5.12
Hasil Pengujian Pengaruh Tidak Langsung
No
Pengujian Pengaruh Tidak
Langsung
Kesimpulan Pengaruh
Langsung
Pengaruh
Langsung
1. X1 --> X3
Koefisien = 0,595
(Signifikan)
X3 --> Y
Koefisien = 0,614
(Signifikan)
X1 --> Y dengan
medisi X3
0,595 x 0,614 = 0,365
Pengaruh tidak langsung
X1 terhadap Y dengan
mediasi X3 Signifikan
2. X2 --> X3
Koefisien = 0,309
(Signifikan)
X3 --> Y
Koefisien = 0,614
(Signifikan)
X2 --> Y dengan
medisi X3
0,309 x 0,614 = 0,190
Pengaruh tidak langsung
X2 terhadap Y dengan
mediasi X3 Signifikan
3. (X1*X2) --> X3
Koefisien = 0,206
(Signifikan)
X3 --> Y
Koefisien = 0,614
(Signifikan)
(X1*X2) --> Y dengan
medisi X3
0,206 x 0,614 = 0,126
Pengaruh tidak langsung
(X1*X2) terhadap Y
dengan mediasi X3
Signifikan
Sumber : Lampiran 6
Berdasarkan hasil indirect effect pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen, melalui variabel mediasi atau variabel antara, dalam penelitian ini
adalah variabel Kinerja Pelayanan Publik, yang hasilnya disajikan pada Tabel 5.13
Tabel 5.13
Pengaruh Tidak Langsung antar Variabel Penelitian
Hubungan
Variabel
Original
Sampel
(O)
Standard
Deviation
(STDEV)
T Statistiks
(|O/STDEV|)
P
Value
Keterang
an
Moderating - > Y 0.126 0.053 2.389 0.017 Signifikan
X1 - > Y 0.365 0.076 4.804 0.000 Signifikan
X2 - > Y 0.190 0.044 4.273 0.000 Signifikan
Sumber : Lampiran 6
Keterangan:
(X1*X2) = Moderating effect
X1 = Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan Lokal
X2 = Pengawasan Masyarakat
X3 = Kinerja Pelayanan Publik
Y = Kualitas Pelayanan
Berdasarkan Tabel 5.13 dapat diketahui bahwa variabel Perilaku Birokrasi Yang
Berkearifan lokal (X1), Pengawasan Masyarakat (X2) dan Interaksi antara
244
Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan Lokal dengan Pengawasan Masyarakat
(X1*X2) berpengaruh secara tidak langsung terhadap Kualitas Pelayanan (Y)
melalui Kinerja Pelayanan Publik (X3), dengan signifikansi masing-masing
sebesar 0,000; 0,000 dan 0,007. Oleh karena variabel Perilaku Birokrasi yang
Berkearifan lokal (X1) berpengaruh langsung terhadap Kualitas Pelayanan (Y) dan
signifikan, maka peran mediasi dari variabel Kinerja Pelayanan (X3)
dikategorikan sebagai “mediasi parsial”. Sedangkan variabel Pengawasan
Masyarakat (X2) tidak ada berpengaruh langsung terhadap Kualitas Pelayanan
(Y), maka peran mediasi dari variabel Kinerja Pelayanan (X3) dikategorikan
sebagai “mediasi penuh”
5.5.8 Pengaruh Moderasi
Dalam penelitian ini diuji satu pengaruh variabel moderasi yaitu pengaruh
moderasi pengawasan masyarakat pada pengaruh perilaku birokrasi yang
berkearifan lokal terhadap kinerja pelayanan. Hasil pengujian pengaruh moderasi
variabel pengawasan masyarakat dapat dilihat seperti Tabel 5.14.
Tabel 5.14
Pengaruh Langsung Antar Variabel Penelitian
Hubungan Variabel Original
Sampel
(O)
Standard
Deviation
(STDEV)
T Statistiks
(|O/STDEV)
P
Value
Keterangan
Moderating - > X3 0.206 0.072 2.847 0.005 Signifikan
Sumber: Lampiran 6
Berdasarkan Tabel 5.14 dapat diketahui bahwa variabel Pengawasan Masyarakat
(X2) memoderasi pengaruh Perilaku Birokrasi yang berkearifan lokal terhadap
kinerja pelayanan dengan tingkat signifikansi 0.005.
245
5.6. Pengujian Hipotesis Penelitian
a) Pengujian Hipotesis 1 : Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan Lokal
berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja Pelayanan Publik di
Bidang Perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa pengaruh perilaku birokrasi yang berkearifan lokal terhadap
kinerja pelayanan publik menunjukkan nilai koefisien jalur sebesar 0,595 dengan
nilai t-statistik sebesar 7,735. Nilai t-statistik tersebut lebih besar dari nilai
t-tabel yaitu sebesar 1.656. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ada
pengaruh positif dan signifikan dari variabel perilaku birokrasi yang berkearifan
lokal terhadap kinerja pelayanan publik. Koefisien jalurnya menunjukkan bahwa
perilaku birokrasi yang berkearifan lokal memberikan pengaruh positif terhadap
kinerja pelayanan publik, artinya bahwa semakin baik perilaku birokrasi yang
berkearifan lokal maka kinerja pelayanan publik juga akan semakin
baik/meningkat. Kejelasan adanya petugas pelayanan, kedisiplinan petugas
pelayanan, tanggung jawab petugas pelayanan, kemampuan petugas dalam
melayani pemohon perizinan serta kesopanan dan keramahan petugas yang
didukung oleh motto/visi pelayanan yang berkearifan lokal telah mampu untuk
meningkatkan kinerja pelayanan di bidang perizinan. Masyarakat yang menjadi
pemohon perizinan merasa puas atas kinerja pelayanan yang diberikan pada
masing-masing badan/dinas/kantor pelayanan perizinan yang ada pada pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Bali. Adapun diagram jalur mengenai pengaruh
perilaku birokrasi yang berkearifan lokal terhadap kinerja pelayanan dapat dilihat
pada Gambar 5.5
246
Gambar 5.5
Diagram Jalur Pengaruh Perilaku Birokrasi yang Berkearifan Lokal
Terhadap Kinerja Pelayanan Publik
b) Pengujian Hipotesis 2 : Pengawasan masyarakat berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja pelayanan publik pada pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa pengaruh pengawasan masyarakat terhadap kinerja
pelayanan publik menunjukkan nilai koefisien jalur sebesar 0,309 dengan nilai
t-statistik sebesar 4,234. Nilai t-statistik tersebut lebih besar dari nilai t-tabel yaitu
Kejelasan Petugas
(X1.1)
Kedisiplinan Petugas
(X1.2)
Tanggung Jawab
Petugas
(X1.3)
Kemampuan Petugas
(X1.4)
Kesopanan & Keramahan
Petugas (X1.5)
Perilaku Birokrasi
(X1)
Prosedur
Pelayanan
(X3.1)
Persyaratan Pelayanan
(X3.2)
Keadilan Pelayanan
(X3.3)
Kewajaran
Biaya
(X3.4)
Kepastian Biaya
(X3.5)
Kepastian Jadwal
(X3.6)
Keamanan
Pelayanan
(X3.7)
Kenyamanan
Pelayanan
(X3.8)
Kecepatan
Pelayanan
(X3.9)
Kinerja Pelayanan
(X3)
Coefficients : 0,595 Standar Eror : 0,077
PValues : 0,000
T Statistics : 7.735
247
sebesar 1.656. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ada pengaruh positif dan
signifikan dari variabel pengawasan masyarakat terhadap kinerja pelayanan
publik. Koefisien jalurnya menunjukkan pengawasan masyarakat memberikan
pengaruh positif terhadap kinerja pelayanan, artinya semakin baik pengawasan
yang dilakukan oleh masyarakat maka kinerja pelayanan publik akan semakin
baik/meningkat. Adapun diagram jalur pengaruh pengawasan masyarakat
terhadap kinerja pelayanan dapat dilihat pada gambar 5.6
Gambar 5.6
Diagram Jalur Pengaruh Pengawasan Masyarakat Terhadap Kinerja
Pelayanan
Pengaduan
Masyarakat (X2.1)
Masukan Pelayanan
(X2.2)
Gugatan Pelayanan
(X2.3)
Penyampaian
Keluhan (X2.4)
Pengawasan
Masyarakat
(X2)
Prosedur
Pelayanan
(X3.1)
Persyaratan
Pelayanan
(X3.2)
Keadilan
Pelayanan
(X3.3)
Kewajaran
Biaya (X3.4)
Kepastian Biaya
(X3.5)
Kepastian
Jadwal
(X3.6)
Keamanan
Pelayanan
(X3.7)
Kenyamanan
Pelayanan
(X3.8)
Kecepatan
Pelayanan
(X3.9)
Kinerja Pelayanan
(X3)
0,309
Coefficients : 0,309
Standar Eror : 0,073
PValues : 0,000
T Statistics : 4.234
248
c) Pengujian Hipotesis 3 : Pengawasan masyarakat memoderasi pengaruh
perilaku birokrasi yang berkearifan lokal terhadap kinerja pelayanan publik di
bidang perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa pengaruh perilaku birokrasi yang berkearifan lokal terhadap
kinerja pelayanan publik juga dimoderasi oleh variabel pengawasan masyarakat.
Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien jalur yaitu sebesar 0,206 dengan nilai
t-statistik sebesar 2,847. Nilai t-statistik tersebut lebih besar dari nilai t-tabel yaitu
sebesar 1.656. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ada pengaruh positif dan
signifikan dari variabel pengawasan masyarakat dalam memoderasi pengaruh
perilaku birokrasi yang berkearifan lokal terhadap kinerja pelayanan publik yang
diberikan di bidang perizinan. Dalam hal ini perilaku birokrasi yang berkearifan
lokal yang dilaksanakan dalam memberikan pelayanan di bidang perizinan kepada
masyarakat yang dalam kesehariannya sudah baik apabila dengan disertai oleh
pengawasan dari masyarakat akan berpengaruh terhadap kinerja pelayanan publik
sehingga kinerja pelayanan yang diberikan kepada masyarakat juga akan semakin
baik/meningkat.
Hal ini juga menunjukkan bahwa jika perilaku birokrasi yang berkearifan
lokal baik/meningkat disertai dengan adanya pengawasan dari masyarakat yang
semakin baik/meningkat maka kinerja pelayanan publik yang diberikan akan
semakin baik/meningkat. Adapun diagram jalur pengaruh variabel perilaku
birokrasi yang berkearifan lokal terhadap kinerja pelayanan dengan dimoderasi
oleh pengawasan masyarakat dapat dilihat pada Gambar 5.7
249
Gambar 5.7
Diagram jalur pengaruh perilaku birokrasi yang berkearifan lokal terhadap kinerja
pelayanan publik dengan dimoderasi oleh pengawasan masyarakat
d) Pengujian Hipotesis 4: Perilaku birokrasi yang berkearifan lokal berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kualitas pelayanan di bidang perizinan pada
pemerintah kabupaten/ kota di Provinsi Bali.
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang dilakukan menunjukkan
bahwa perilaku birokrasi yang berkearifan lokal terhadap kualitas pelayanan
menunjukkan nilai koefisien jalur sebesar 0,364 dengan nilai t-statistik sebesar
Kejelasan Petugas
(X1.1)
Kedisiplinan Petugas
(X1.2)
Tanggung Jawab Petugas
(X1.3)
Kemampuan Petugas
(X1.4)
Kesopanan & Keramahan Petugas
(X1.5)
Perilaku Birokrasi
(X1)
Coefficients : 0,206
Standar Eror : 0,072
PValues : 0,005 T Statistics : 2.847
Pengaduan
Masyarakat
(X2.1)
Masukan Pelayanan
(X2.2)
Gugatan
Pelayanan
(X2.3)
Penyampaian
Keluhan
(X2.4)
Pengawasan
Masyarakat
(X2)
0,595
Kinerja
Pelayanan (X3)
Prosedur
Pelayanan
(X3.1)
Persyaratan
Pelayanan
(X3.2)
Keadilan
Pelayanan
(X3.3)
Kewajaran
Biaya
(X3.4)
Kepastian
Biaya
(X3.5)
Kepastian
Jadwal
(X3.6)
Keamanan
Pelayanan
(X3.7)
Kenyamanan
Lingkungan
Pelayanan (X3.8)
Kecepatan
Pelayanan
(X3.9)
Moderating
Effect
(X1X2)
0,206
0,309
250
4,263. Nilai t-statistik tersebut lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 1.656, dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa ada pengaruh positif dan signifikan dari
variabel perilaku birokrasi yang berkearifan lokal terhadap kualitas pelayanan.
Koefisien jalurnya menunjukkan bahwa perilaku birokrasi yang berkearifan lokal
memberikan pengaruh positif terhadap kualitas pelayanan, artinya bahwa semakin
baik perilaku birokrasi yang berkearifan lokal maka kualitas pelayanan juga akan
semakin baik/meningkat. Adapun diagram jalur pengaruh perilaku birokrasi yang
berkearifan lokal terhadap kualitas pelayanan seperti tersaji pada Gambar 5.8
Gambar 5.8
Diagram Jalur Pengaruh Perilaku Birokrasi yang Berkearifan Lokal
Terhadap Kualitas Pelayanan
0,364
Kejelasan Petugas (X1.1)
Kedisiplinan Petugas (X1.2)
Tanggung Jawab Petugas
(X1.3)
Kemampuan Petugas (X1.4)
Kesopanan & Keramahan Petugas
(X1.5)
Perilaku
Birokrasi
(X1) Bukti
Langsung (Y1)
Keandalan (Y2)
Daya Tanggap
(Y3)
Jaminan (Y4)
Kepedulian (Y5)
Kualitas Pelayanan
(Y)
Coefficients : 0,364 Standar Eror : 0,085
PValues : 0,000
T Statistics : 4.263
251
e) Hipotesis 5: Kinerja pelayanan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kualitas pelayanan di bidang perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi Bali.
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa kinerja pelayanan publik terhadap kualitas pelayanan
memiliki nilai koefisien jalur sebesar 0,614 dengan nilai t-statistik sebesar 8,760.
Nilai t-statistik tersebut lebih besar dari nilai t-tabel yaitu sebesar 1,656. Dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa ada pengaruh positif dan signifikan dari
variabel kinerja pelayanan publik terhadap kualitas pelayanan. Koefisien jalurnya
menunjukkan bahwa kinerja pelayanan publik memberikan pengaruh positif
terhadap kualitas pelayanan, artinya bahwa semakin baik kinerja pelayanan maka
kualitas pelayanan juga akan semakin baik/meningkat. Kinerja pelayanan yang
baik dapat dilihat dari prosedur pelayanannya yang tidak berbelit-belit,
persyaratan pelayanan yang sederhana, keadilan mendapatkan pelayanan,
kewajaran biaya yang disampaikan, kepastian jumlah biaya yang harus
dikeluarkan, kepastian dari jadwal pelayanan yang diberikan, kenyamanan
pelayanan, keamanan dalam pengurus proses perizinan serta kecepatan pelayanan
akan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan publik di bidang perizinan yang
diberikan. Kinerja pelayanan yang baik dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat terutama di bidang pelayanan perizinan di masing-masing pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Bali akan meningkatkan kualitas pelayanan yang
diberikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang mengurus
perizinan sehingga jumlah izin yang terbit setiap tahunnya terus meningkat.
252
Adapun diagram jalur pengaruh kinerja pelayanan terhadap kualitas pelayanan
seperti yang tersaji pada Gambar 5.9
Gambar 5.9
Diagram Jalur Pengaruh Kinerja Pelayanan Publik terhadap Kualitas Pelayanan
f) Pengujian Hipotesis 6 : Perilaku birokrasi yang berkearifan lokal berpengaruh
secara tidak langsung terhadap kualitas pelayanan melalui kinerja pelayanan
pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang dilakukan menunjukkan
bahwa pengaruh tidak langsung perilaku birokrasi yang berkearifan lokal terhadap
Kinerja Pelayanan
(X3)
Prosedur
Pelayanan
(X3.1)
Persyaratan Pelayanan
(X2.2)
Keadilan
Pelayanan
(X3.3)
Kewajaran
Biaya (X3.4)
Kepastian
Biaya
(X3.5)
Kepastian
Jadwal
(X3.6)
Keamanan
Pelayanan
(X3.7)
Kenyamanan
Pelayanan
(X3.8)
Kecepatan
Pelayanan
(X3.9)
Coefficients : 0,614
Standar Eror : 0,070 PValues : 0,000
T Statistics : 8.760
Bukti
Langsung
(Y1)
Keandalan (Y2)
Tanggap (Y3)
Jaminan (Y4)
Kepedulian (Y5)
Kualitas
Pelayanan
(Y)
0,614
253
kualitas pelayanan publik di bidang perizinan melalui kinerja pelayanan yang
diberikan menunjukkan nilai koefisien jalur sebesar 0,365 dengan nilai t-statistik
sebesar 4,804. Nilai t-statistik tersebut lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 1.656.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ada pengaruh positif dan signifikan
yang secara tidak langsung dari variabel perilaku birokrasi yang berkearifan lokal
terhadap kualitas pelayanan publik di bidang perizinan. Koefisien jalurnya
menunjukkan bahwa secara tidak langsung perilaku birokrasi yang berkearifan
lokal memberikan pengaruh positif terhadap kualitas pelayanan publik di bidang
perizinan melalui kinerja pelayanan yang diberikan, artinya bahwa semakin baik
perilaku birokrasi yang berkearifan lokal dalam melayani masyarakat pemohon
izin dan kinerja pelayanan yang diberikan semakin meningkat maka kualitas
pelayanan publik di bidang perizinan ini juga akan semakin baik/meningkat. Hal
ini berarti bahwa pengaruh tidak langsung dari perilaku birokrasi yang berkearifan
lokal terhadap kualitas pelayanan publik di bidang perizinan melalui kinerja
pelayanan adalah signifikan.
Dengan demikian maka dapat disampaikan bahwa variabel kinerja
pelayanan memediasi secara parsial pengaruh perilaku birokrasi yang berkearifan
lokal terhadap kualitas pelayanan publik di bidang perizinan. Adapun mengenai
diagram jalur pengaruh perilaku birokrasi yang berkearifan lokal terhadap kualitas
pelayanan melalui kinerja pelayanan publik dapat dikemukakan seperti yang
tersaji pada Gambar 5.10
254
Gambar 5.10
Diagram Jalur Pengaruh Perilaku Birokrasi yang Berkearifan Lokal Terhadap
Kualitas Pelayanan melalui Kinerja Pelayanan Publik
g) Pengujian Hipotesis 7: Pengawasan masyarakat berpengaruh secara tidak
langsung terhadap kualitas pelayanan melalui kinerja pelayanan publik pada
pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang dilakukan menunjukkan
bahwa pengaruh tidak langsung pengawasan masyarakat terhadap kualitas
Prosedur
Pelayanan
(X3.1)
Persyaratan Pelayanan
(X3.2)
Keadilan
Pelayanan (X3.3)
Kewajaran Biaya
(X3.4)
Kepastian
Biaya (X3.5)
Kepastian
Jadwal (X3.6)
Keamanan
Pelayanan
(X3.7)
Kenyamanan
Pelayanan
(X3.8)
Kecepatan
Pelayanan
(X3.9)
Kejelasan Petugas (X1.1)
Kedisiplinan Petugas (X1.2)
Tanggung Jawab Petugas
(X1.3)
Kemampuan Petugas (X1.4)
Kesopanan & Keramahan
Petugas (X1.5)
Coefficients : (0,595 x 0,614) = 0,365
Standar Eror : 0,076
PValues : 0,000
T Statistics : 4.804
Kinerja
Pelayanan
(X3)
0,595
Perilaku
Birokrasi
(X1) Bukti
Langsung (Y1)
Keandalan (Y2)
Daya Tanggap
(Y3)
Jaminan (Y4)
Kepedulian
(Y5)
Kualitas
Pelayanan
(Y)
0,614
255
pelayanan melalui kinerja pelayanan menunjukkan nilai koefisien jalur sebesar
0,190 dengan nilai t-statistik sebesar 4,273. Nilai t-statistik tersebut lebih besar
dari nilai t-tabel sebesar 1.656. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ada
pengaruh positif dan signifikan secara tidak langsung dari variabel pengawasan
masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik di bidang perizinan. Koefisien
jalurnya menunjukkan bahwa secara tidak langsung pengawasan masyarakat
memberikan pengaruh positif terhadap kualitas pelayanan melalui kinerja
pelayanan.
Semakin baik pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat disertai adanya
kinerja pelayanan yang baik, maka kualitas pelayanan akan semakin meningkat.
Hal ini ditunjukkan oleh adanya penerbitan izin yang terus meningkat dari tahun
ke tahun disertai peningkatan adanya jumlah investasi di masing-masing
pemerintah kabupaten/kota di Priovinsi Bali. Dengan kata lain, masyarakat mulai
sadar dan merasa puas dalam mendapatkan pelayanan disaat mengurus perizinan
mereka. Hal ini menunjukkan juga bahwa pengaruh tidak langsung dari
pengawasan masyarakat terhadap kualitas pelayanan melalui kinerja pelayanan
adalah signifikan. Oleh karena itu, dapat disampaikan bahwa variabel kinerja
pelayanan telah memediasi secara parsial pengaruh pengawasan masyarakat
terhadap kualitas pelayanan publik di bidang perizinan. Adapun mengenai
diagram jalur dari pengaruh pengawasan masyarakat terhadap kualitas pelayanan
melalui kinerja pelayanan dapat dikemukakan seperti yang tersajikan pada
Gambar 5.11
256
Gambar 5.11
Diagram Jalur Pengaruh Pengawasan Masyarakat Terhadap Kualitas Pelayanan
melalui Kinerja Pelayanan Publik
Coefficients : (0,309 x 0,614) = 0,190 Standar Eror : 0,044
PValues : 0,000
T Statistics : 4.273
0,309
Kinerja
Pelayanan
(X3)
Prosedur
Pelayanan
(X3.1)
Persyaratan Pelayanan
(X3.2)
Keadilan
Pelayanan (X3.3)
Kewajaran Biaya
(X3.4)
Kepastian
Biaya
(X3.5)
Kepastian
Jadwal
(X3.6)
Keamanan
Pelayanan
(X3.7)
Kenyamanan
Pelayanan
(X3.8)
Kecepatan
Pelayanan
(X3.9)
Bukti Langsung
(Y1)
Keandalan (Y2)
Daya Tanggap
(Y3)
Jaminan (Y4)
Kepedulian
(Y5)
Kualitas
Pelayanan
(Y)
Pengaduan Masyarakat
(X2.1)
Masukan Pelayanan
(X2.2)
Gugatan Pelayanan
(X2.3)
Penyampaian Keluhan (X2.4)
Pengawasan
Masyarakat
(X2)
257
BAB VI
PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan dilakukan pembahasan terhadap hasil dari penelitian
yang telah dilakukan untuk dapat menjawab rumusan permasalahan yang diteliti.
Pembahasannya dilakukan berdasarkan kepada hasil pengujian signifikansi untuk
mengetahui hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak disertai dukungan data
serta kajian teoritisnya.
6.1 Pengaruh Perilaku Birokrasi Yang Berkearifan Lokal Terhadap Kinerja
Pelayanan di Bidang Perizinan Pada pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi Bali
Mengacu pada hasil pengujian hipotesis terbukti bahwa perilaku birokrasi
berkearifan lokal yang dikembangkan dinas/badan/kantor pelayanan perizinan
pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali memiliki pengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja pelayanan publik di bidang perizinan. Koefisien
jalurnya menunjukkan bahwa perilaku birokrasi yang berkearifan lokal
memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pelayanan, artinya
bahwa semakin baik perilaku birokrasi yang berkearifan lokal maka kinerja
pelayanan juga akan semakin baik/meningkat. Kejelasan adanya petugas
pelayanan, kedisiplinan petugas, tanggung jawab petugas, kemampuan petugas
dinas/badan/kantor pelayanan perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi Bali dalam melayani pemohon perizinan serta kesopanan dan keramahan
petugas yang didukung oleh motto/visi pelayanan yang berkearifan lokal telah
mampu untuk meningkatkan kinerja pelayanan di bidang perizinan. Masyarakat
para pemohon perizinan merasa puas atas kinerja pelayanan yang diberikan pada
257
258
masing-masing dinas/badan/kantor pelayanan perizinan pada pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Bali Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Frans Jeffry Wirawan (2005) dengan judul “Pengaruh Perilaku
Birokrasi terhadap Kualitas Pelayanan Publik” yang menyimpulkan bahwa
“perilaku birokrasi secara signifikan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan
publik” di Dinas Kependudukan, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten
Nias.
Perilaku birokrasi yang baik akan membangun kinerja pelayanan publik
yang berkualitas prima. Hal ini tidak terlepas dari keterkaitannya dengan nilai-
nilai budaya lokal yang dikembangkan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi
Bali maupun dinas/badan/kantor pelayanan perizinan dan dijadikan pedoman oleh
setiap individu birokrat. Pemahaman aparat birokrasi terhadap nilai-nilai budaya
lokal berdampak ke dalam perilaku sehari-hari di dalam memberikan pelayanan
publik kepada masyarakat pemohon perizinan. Konsep, nilai-nilai agama, adat,
dan budaya Bali telah diaktualisasikan dengan cara dan dalam bentuk nyata
melalui visi pelayanan dari dinas/badan/kantor pelayanan perizinan pada
pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali. Visi, misi dan motto/semboyan yang
dikembangkan dinas/badan/kantor pelayanan perizinan pada pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Bali menunjukkan pada hakikatnya semua pemerintah
daerah berupaya memberikan pelayanan yang berkualitas untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Penumbuhkembangan sikap melayani oleh setiap
individu termasuk juga aparatur pemerintahan, dalam ajaran Agama Hindu pada
hakikatnya menumbuhkan karakter ketuhanan dalam dirinya (divine man) dan
259
karakter ketuhanan dalam kehidupan sosial (divine society). Hal ini sejalan dengan
amanat konstitusional dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, tujuan
reformasi birokrasi maupun konsep, nilai-nilai agama, adat, dan budaya Bali.
Sehubungan kewajiban pemimpin beserta aparatnya untuk memberikan
pelayanan terbaik untuk masyarakatnya dapat dijumpai pada sloka – sloka yang
ada pada Kakawin Ramayana maupun Kitab Manawa Dharmasastra yang sering
kita sebut dengan Asta Brata disamping juga mempedomani Tri Hita Karana
dalam menjaga keharmonisan hubungan antara masyarakat dengan pemerintah.
Secara terminologis, konsep Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sansekerta,
terdiri dari rangkaian kata Tri + Hita + Karana, yang berarti tiga, sejahtera, dan
sebab/penyebab, sehingga dimaknai tiga hal yang menyebabkan sejahtera. Tiga
hal tersebut adalah adanya tiga hubungan harmonis, yakni hubungan harmonis
manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan harmonis antar sesama
manusia, serta hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan hidup.
Dengan demikian, Tri Hita Karana merupakan hasil upaya masyarakat Hindu Bali
dalam memahami dan memaknai hakikat dari keberadaan beserta hubungan antara
Tuhan, alam semesta, dan dirinya sendiri dalam memahami hidup maupun
menjalani kehidupannya. Hasil upaya manusia seperti itu dapat diklasifikasikan
sebagai kegiatan berfilsafat yang melahirkan filsafat hidup tertentu bagi
sekelompok manusia yang bersangkutan (Darji Darmodiharjo, 1988).
Filsafat Tri Hita Karana memberikan ruang kepada setiap anggota
masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan suasana
dan iklim kehidupan yang harmonis baik secara vertikal maupun horizontal
260
terhadap ketiga unsur Tri Hita Karana. Dengan kata lain, filsafat Tri Hita Karana
telah mengajarkan keharmonisan (harmony) yang dilandasi dengan konsep
“yadnya” pada semua kehidupan masyarakat Bali, sehingga melayani dijadikan
sebagai kewajiban dari manusia dan dijadikan motto pelayanan perizinan di Kota
Denpasar, yakni Sewaka Dharma. Dengan demikian, Sewaka Dharma pada
dasarnya merupakan prinsip universal yang dapat diterapkan dalam berbagai
bidang kehidupan. Dalam konteks birokrasi modern, Sewaka Dharma dimaknai
sebagai upaya mewujudkan pelayanan prima kepada masyarakat. Dalam hal ini,
Sewaka Dharma menjadi spirit yang melandasi seluruh bentuk pelayanan yang
diberikan pemerintah kepada masyarakat demi terwujudnya tujuan dari
penyelenggaraan pemerintahan, yaitu terciptanya masyarakat yang adil, makmur,
sejahtera lahir dan batin.
Pemerintah Kota Denpasar dengan visi “Menuju Pelayanan Prima Kreatif
Berwawasan Budaya” dan motto Sewaka Dharma selalu ditanamkan dalam diri
para pegawai. Sewaka Dharma dalam hal ini dijadikan pengarah (guiding
principle) bagi aparat Pemerintah Kota Denpasar, khususnya di bidang perizinan
untuk memberikan pelayanan yang terbaik dalam kehidupannya. Pemerintah Kota
Denpasar ingin memberikan yang terbaik dalam hal pelayanan publik terutama
pelayanan perizinan agar cepat, tepat, murah, transparan, dan akuntabel. Hal
senada juga dikembangkan pada Pemerintah Kabupaten Badung, Karangasem,
Bangli, Klungkung, dan Kabupaten Jembrana. Oleh karena itu, untuk menjadi
pelayan masyarakat yang baik memerlukan kecerdasan intelektual, emosional, dan
spiritual. Ketiga kecerdasan diinternalisasikan dalam diri untuk membangun
261
pribadi yang cerdas, santun, dan berwibawa agar dapat memberikan pelayanan
yang cermat, akurat, dan menyenangkan. Terkait dengan hal tersebut, maka
tepatlah jika nilai-nilai Agama dijadikan sumber nilai yang pertama dan utama
dalam rangka membangun spirit pelayanan khususnya bagi aparatur pemerintah.
Visi dan motto yang ditetapkan menunjukkan bahwa aparat pemerintah
didorong untuk membangun budaya kerja yang menyadari bahwa melayani adalah
kewajiban dan sebagai pelayan masyarakat pemohon perizinan maka didalam
melaksanakan kewajibannya agar dilakukan dengan sebaik-baiknya. Sementara
itu, pemerintah kabupaten yang lain meskipun tidak secara nyata tertulis dalam
motto ataupun visi/misi dalam memberikan pelayanan, perilaku birokrasi yang
ada tetap mengedepankan pelayanan yang berkinerja baik seperti hasil dari
penelitian ini. Para petugas tetap menjalankan kewajibannya dengan sebaik-
baiknya sehingga masyarakat pemohon perizinan merasakan kepuasan atas
pelayanan yang diberikan. Pelayanan yang diberikan oleh aparat birokrasi di
masing-masing badan/dinas/kantor pelayanan perizinan dapat terlihat jelas dari
Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) terhadap pelayanan perizinan yang diberikan.
Tujuan dilaksanakannya survei kepuasan masyarakat adalah untuk mengukur
kepuasan masyarakat sebagai pengguna layanan dan meningkatkan kualitas
penyelenggaraan pelayanan publik. Sasaran dilaksanakannya survei adalah untuk
mendorong partisipasi masyarakat sebagai pengguna layanan dalam menilai
kinerja penyelenggara pelayanan, mendorong penyelenggaraan pelayanan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan, dan mendorong penyelenggaraan pelayanan
262
publik. IKM terhadap pelayanan perizinan di masing-masing pemerintah
kabupaten/ kota di Provinsi Bali seperti yang tercantum pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1
Indeks Kepuasan Masyarakat pada Pemerintah Kabupaten/Kota
Di Provinsi Bali
No Kabupaten/Kota Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015
1 Denpasar 79,90 79,21 81,00
2 Badung 76,48 76,94 81,03
3 Buleleng 75,85 76,25 76,90
4 Tabanan 80,11 81,54 81,98
5 Gianyar 79,54 80,25 82,15
6 Klungkung 70,58 72,51 74,25
7 Bangli 85,25 86,00 86,80
8 Karangasem 75,24 75,86 77,25
9 Jembrana 74,49 74,55 77,99
Sumber: BPPT Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, 2015
Dari Tabel 6.1 dapat disimak mengenai Indeks Kepuasan Masyarakat setiap tahun
mengalami perubahan yaitu mengalami peningkatan. Dengan mengacu kepada
Keputusan Menpan Nomor 63/Kep/M.PAN/7/2003 terkait dengan nilai persepsi
IKM yaitu nilai 25,00 - 43,75 dikualifikasikan mutu pelayanan sangat tidak baik,
nilai 43,76 - 62,50 dikualifikasikan mutu pelayanan tidak baik, nilai 62,51 – 81,25
dikualifikasikan mutu pelayanan baik, dan nilai 81,26 – 100 dikualifikasikan mutu
pelayanan sangat baik maka dari hasil survey yang dilakukan oleh badan/dinas/
kantor pelayanan perizinan di masing-masing pemerintah kabupaten/kota
dikualifikasikan berada pada pelayanan yang baik dan kategori sangat baik. Hal
itu berarti kualitas pelayanan yang diberikan oleh masing-masing badan/kantor/
dinas perizinan yang ada di Provinsi Bali sudah mengalami peningkatan sehingga
kepuasan masyarakat selalu meningkat. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang telah dilakukan oleh Sumaryadi (2010) yang menyatakan bahwa
263
hubungan antara pemerintah dan rakyat ibaratnya merupakan hubungan antara
produsen dan konsumen, dimana pemerintah sebagai produsen dan rakyat menjadi
konsumen. Oleh karena itu, kewajiban pemerintah adalah untuk menyelenggarakan
fungsi pelayanan dengan sebaik-baiknya sehingga memberikan kepuasan optimal
kepada rakyat sebagai konsumennya. Berikut penilaian beberapa pemohon
mengenai perilaku birokrasi yang berkearifan lokal dalam hal memberikan
pelayanan dan informasi:
a) Pernyataan dari Bapak Sayoga yang sedang mengurus perizinan IMB di
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal Kota
Denpasar, menyatakan sebagai berikut:
“Prosedurnya mudah diikuti dan simpel bu, petugasnya juga tidak sungkan
membantu jika saya menemui kesulitan dalam memenuhi persyaratan yang
dibutuhkan” (Wawancara, Nopember 2016).
b) Pendapat dari Bapak Made Budi yang sedang mengurus perizinan usaha,
menyatakan sebagai berikut:
“Petugas disini cukup tanggap bu, terbukti meraka langsung memberitahu
mengenai syarat-syarat yang harus saya penuhi” (Wawancara, Nopember
2016).
6.2 Pengaruh Pengawasan masyarakat terhadap kinerja pelayanan di
bidang perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali
Mengacu pada hasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan bahwa
pengawasan masyarakat yang dikembangkan dinas/badan/kantor pelayanan
perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali memiliki pengaruh
positif dan signifikan terhadap kinerja pelayanan yang diberikan. Koefisien
jalurnya menunjukkan bahwa pengawasan masyarakat memberikan pengaruh
264
positif terhadap kinerja pelayanan, artinya bahwa semakin baik pengawasan
masyarakat juga berarti kinerja pelayanan akan semakin baik/meningkat atau
sebaliknya tanpa adanya pengawasan masyarakat maka kinerja pelayanan akan
menjadi semakin buruk. Pengawasan yang melibatkan masyarakat secara
langsung dilakukan sebagai kekuatan bagi mekanisme chek and balances dalam
proses penyelenggaraan pelayanan perizinan oleh dinas/badan/kantor pelayanan
perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori pengawasan dari Fayol. Menurut
Fayol sebagaimana dikutip Siagian (2007), adapun mengenai sasaran pengawasan
adalah untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan
dengan maksud memperbaikinya dan mencegah agar tidak terulang kembali.
Dengan demikian, pengawasan pelayanan perizinan oleh masyarakat merupakan
upaya untuk memastikan apakah penyelenggaraan pelayanan perizinan sudah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan SOP yang
dimiliki masing-masing pemerintah kabupaten/kota terkait pelayanan perizinan
yang diselenggarakan. Pengaduan masyarakat, masukan yang diberikan, gugatan
atas pelayanan serta penyampaian keluhan oleh masyarakat sebagai penerima jasa
pelayanan di bidang perizinan dijadikan dasar dalam melaksanakan pengawasan
oleh masyarakat terkait dengan pelayanan yang diberikan dengan harapan kinerja
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat akan lebih baik dan meningkat.
Dengan kemajuan teknologi informasi, pengawasan oleh masyarakat
dalam hal pengaduan atau penyampaian keluhan dapat dilakukan melalui website
maupun kotak saran yang ada di masing-masing badan/dinas/kantor pelayanan
265
perizinan yang ada pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali. Idealnya
indikator keberhasilan dari adanya peningkatan kinerja dalam memberikan
pelayanan adalah semakin berkurangnya pengaduan ataupun keluhan apalagi
gugatan yang disampaikan oleh masyarakat dalam pelaksanaan pelayanan
perizinan. Pengawasan oleh masyarakat juga diharapkan akan meminimalkan
adanya praktek-praktek yang tidak benar dalam pelayanan perizinan. Kolusi,
Korupsi dan Nepotisme diharapkan akan berkurang dan bahkan tidak ada sama
sekali dalam proses pelayanan perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi Bali. Berikut ini kutipan pernyataan dari Bapak Drs. I Komang Sugiarta,
M.Si selaku Kabid Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Non Perizinan B Dinas
Perizinan Kota Denpasar mengenai kepuasan dari masyarakat :
“Yang namanya keluhan pasti ada bu. Karena kepuasan masyarakat pasti
tidak akan sama. Sekarang bilangnya puas, besok kesini lagi kurang puas
lagi.” Kami biasanya memberikan kuesioner kepada masyarakat untuk
mendapatkan hasil terkait survei kepuasan terhadap pelayanan yang
diberikan. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesesuaian antara pelayanan
yang diberikan dengan kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat selaku
penerima pelayanan (Wawancara, Nopember 2016).
Pendapat dalam menanggapi komplain/keluhan dari masyarakat juga
dikemukakan oleh Bapak I Wayan Sumantra, S.Sos, M.Si selaku Kasi
Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan B pada Dinas
Penanaman Modal dan PTSP Kabupaten Bangli :
“Dalam hal melayani masyarakat, kita pastinya pernah menerima
komplain/keluhan dari masyarakat karena kita tahu bahwa keadaan
masyarakat sendiri selalu berubah-ubah. Tetapi kita selalu berusaha untuk
menanggapi dan menyelesaikan komplain dari masyarakat secepatnya.
Biasanya kita tanya dulu permasalahan apa yang dihadapi pemohon. Setelah
permasalahan diketahui maka kami berusaha untuk mencarikan jalan keluar.
Bila masalah tersebut menyangkut dengan dinas teknis kita perlu koordinasi
266
terlebih dahulu sebelum menindaklanjuti keluhan dari masyarakat”
(Wawancara, Oktober 2016).
6.3 Pengaruh Pengawasan masyarakat dalam memoderasi pengaruh
perilaku birokrasi yang berkearifan lokal terhadap kinerja pelayanan di
bidang perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali
Hasil pengujian hipotesis ketiga menunjukkan bahwa pengawasan
masyarakat yang dikembangkan dinas/badan/kantor pelayanan perizinan pada
pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali memoderasi pengaruh perilaku
birokrasi yang berkearifan lokal terhadap kinerja pelayanan yang diberikan.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa perilaku birokrasi yang
berkearifan lokal berpengaruh terhadap kinerja pelayanan publik di bidang
perizinan. Selain pengaruh langsung tersebut perilaku birokrasi yang berkearifan
lokal juga berpengaruh secara tidak langsung terhadap kinerja pelayanan melalui
pengawasan masyarakat dalam meningkatkan kualitas pelayanan di bidang
perizinan pada dinas/badan/kantor pelayanan perizinan pada pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ada pengaruh positif dan
signifikan dari variabel pengawasan masyarakat dalam memoderasi pengaruh
perilaku birokrasi yang berkearifan lokal terhadap kinerja pelayanan, artinya
bahwa pengaruh perilaku birokrasi yang berkearifan lokal yang sudah dan
semakin baik dengan ditambahkan pengawasan masyarakat maka kinerja
pelayanan akan semakin baik/meningkat. Peningkatan perilaku birokrasi yang
berkearifan lokal sebagai aparatur negara abdi masyarakat, diharapkan dapat
memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Aparatur negara harus
memberikan pelayanan cepat, murah dan mudah kepada rakyat, sehingga
267
mendorong kesejahteraan rakyat. Perilaku birokrasi yang berkearifan lokal dalam
mendukung kinerja pelayanan ditambah dengan pengawasan dari masyarakat
diharapkan dapat mendorong perkembangan investasi di daerah masing-masing.
Masyarakat dapat mengadukan keluhannya berkaitan dengan pelayanan
publik melalui berbagai sarana yang ada, seperti: telpon, surat, email, maupun
datang langsung dan menyampaikannya secara lisan. Pengaduan yang dikelola
dengan baik akan mendatangkan manfaat atau keuntungan bagi organisasi yang
dikomplain, antara lain organisasi semakin tahu akan kelemahan atau
kekurangannya dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan, sebagai alat
introspeksi diri organisasi utk senantiasa responsif dan mau memperhatikan
keinginan masyarakat, mempermudah organisasi mencari jalan keluar
meningkatkan mutu pelayanannya, bila segera ditangani masyarakat merasa
kepentingan dan harapannya diperhatikan, dapat mempertebal rasa percaya dan
kesetiaan masyarakat kepada organisasi pelayanan, dan penanganan komplain
yang benar bisa meningkatkan kepuasan masyarakat. Pada prinsipnya pelayanan
pengaduan masyarakat kepada pemerintah diupayakan agar mempermudah
masyarakat yang akan menyampaikan pengaduannya, antara lain dengan
menyediakan layanan hotline, faksimile dan situs website sebagai sarana
mempermudah pengaduan atau penyampaian keluhan dari masyarakat.
6.4 Pengaruh Perilaku birokrasi yang berkearifan lokal terhadap kualitas
pelayanan di bidang perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi Bali
Hasil pengujian hipotesis keempat menunjukkan bahwa perilaku birokrasi
yang berkearifan lokal yang dikembangkan dinas/badan/kantor pelayanan perizinan
268
pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kualitas pelayanan yang diberikan. Koefisien jalurnya menunjukkan
bahwa perilaku birokrasi yang berkearifan lokal memberikan pengaruh positif
terhadap kualitas pelayanan, yang artinya bahwa semakin baik perilaku birokrasi
yang berkearifan lokal maka kualitas pelayanan juga akan semakin baik/
meningkat atau sebaliknya jika perilaku organisasi yang berkearifan lokal buruk
maka masyarakat secara otomatis akan merasa tidak puas atas pelayanan yang
diberikan. Konsep, nilai-nilai agama, adat, dan budaya Bali telah diaktualisasikan
dengan cara dan dalam bentuk yang nyata melalui visi/misi/motto pelayanan dari
dinas/badan/kantor pelayanan perizinan pada pemerintah daerah masing-masing
yang dijadikan pedoman dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Kejelasan adanya petugas pelayanan, kedisiplinan petugas, tanggung jawab
petugas, kemampuan petugas dalam melayani pemohon perizinan serta kesopanan
dan keramahan petugas yang didukung oleh visi/misi/motto pelayanan yang
berkearifan lokal telah mampu berpengaruh dalam rangka meningkatkan kualitas
pelayanan di bidang perizinan. Masyarakat para pemohon perizinan merasa puas
atas pelayanan yang diberikan pada masing-masing badan/dinas/kantor pelayanan
perizinan yang ada pada dinas/badan/kantor pelayanan perizinan pada pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Perilaku birokrasi yang berkearifan lokal dalam melayani masyarakat
pemohon izin diharapkan akan menjadikan kualitas pelayanan yang ada menjadi
berkualitas prima. Kearifan lokal dalam bentuknya yang berupa kompleksitas
budaya merupakan penyangga sekaligus penghubung antara supra dan infra
269
struktur. Tallcot Parson (1975) menyatakan bahwa kebudayaan pada dasarnya
sebagai pengontrol sistem kehidupan demi terselenggaranya "pattern
maintenance". Hal ini pada dasarnya sebagai pembentuk nilai harmonisasi. Dalam
harmonisasi terdapat keseimbangan yang bersifat sintagmatik antara perumusan
konsep sosial budaya beserta nilai-nilainya, penataan sosial dan budaya yang baru
beserta nilai-nilainya sehingga diperoleh sebuah keteraturan sosial. Hal ini tidak
terlepas dari keterkaitannya dengan nilai-nilai kearifan lokal yang dianut oleh
setiap individu birokrat sebagai abdi negara pelayan masyarakat.
Pemahaman aparat birokrasi terhadap nilai-nilai budaya serta kearifan
lokal berpengaruh ke dalam perilaku sehari-hari di dalam memberikan pelayanan
publik sehingga dengan adanya nilai-nilai budaya lokal dikatakan sebagai
pedoman penyelenggaraan pelayanan publik. Motto pelayanan yang dipedomani
oleh petugas pelayanan yang mengadopsi kearifan lokal seperti pada Pemerintah
Kota Denpasar dengan motto “Sewaka Dharma”, Pemerintah Kabupaten Badung
dengan visi “Terwujudnya Pelayanan Prima Berdasarkan Tri Hita Karana”,
Kabupaten Klungkung dengan “Gema Santi”, Kabupaten Bangli dengan “Gita
Santi”, dan Kabupaten Karangasem dengan “Karangasem cerdas, bersih, dan
bermartabat berlandaskan Tri Hita Karana” menunjukkan bahwa pemerintah
dalam melayani masyarakat pemohon perizinan memang merasa bahwa mereka
adalah pelayan masyarakat sehingga akan melaksanakan kewajibannya dengan
sebaik-baiknya.
Semboyan “kalau bisa dipercepat kenapa diperlambat” bermakna bahwa
ada sebuah keinginan untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat dan
270
ini harus dipahami secara mendalam oleh setiap pegawai badan/dinas/kantor
pelayanan perizinan dan juga sudah tertuang dalam setiap produk-produk
pelayanan yang dilakukan seperti sistem teknologi yang dirancang, mekanisme
juklak juknis dan lainnya yang tetap mengedepankan azas penyederhanaan
pelayanan dengan tetap mengedepankan kualitas pelayanan untuk memberikan
kepuasan kepada masyarakat. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Frans Jeffry
Wirawan dengan judul tesis “Pengaruh Perilaku Birokrasi terhadap Kualitas
Pelayanan Publik” menunjukkan bahwa “perilaku birokrasi secara signifikan
berpengaruh terhadap kualitas pelayanan publik” di Dinas Kependudukan, Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Nias.
Mengenai perilaku birokrasi terkait pelayanan yang diberikan oleh
pegawai dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat di Pemerintah
Kabupaten Badung yang dalam visinya menyatakan “Terwujudnya Pelayanan
Prima Berdasarkan Tri Hita Karana” , berikut ini kutipan pernyataan dari Bapak
I Made Sutama, SH, MH selaku Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
Kabupaten Badung memberikan penyataannya
“Saya selaku Kepala Badan selalu meminta kepada semua pegawai untuk
bersikap ramah dan sopan kepada semua masyarakat. Saya menghimbau
agar pegawai tidak mudah terbawa emosi ketika sedang melayani
masyarakat. Karena jika pegawai mudah terpancing oleh situasi yang tidak
menyenangkan hal itu akan berakibat fatal. Disamping itu saya selalu
memonitor kinerja para karyawan melalui atasan langsungnya sehingga kita
harapkan pelayanan yang kita berikan sudah sesuai dengan SOP maupun
visi misi kita dalam melayani masyarakat terutama terkait dengan pelayanan
perizinan dan pelayanan yang kami berikan terutama jika terbentur hari raya
atau hari besar keagamaan selalu kami sesuaikan jadwalnya agar tidak
sampai merugikan masyarakat” (Wawancara, Oktober 2016)
271
Berdasarkan observasi yang dilakukan pada saat penelitian ke lapangan, terlihat
bahwa hampir semua pegawai sudah bersikap ramah dan sopan dalam melayani
masyarakat. Petugas selalu menyapa setiap masyarakat dengan sikap ramah dan tutur
kata yang halus. Pada hari-hari tertentu menurut para pegawai yang bertugas mereka
akan berpakaian adat menyesuaikan dengan kegiatan keagamaan yang ada sehingga
terlihat jelas kearifan lokal dalam memberikan pelayanan.
6.5 Pengaruh Kinerja Pelayanan publik terhadap Kualitas Pelayanan di
Bidang Perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali
Mengacu pada hasil pengujian hipotesis kelima menunjukkan bahwa
kinerja pelayanan yang dikembangkan dinas/badan/kantor pelayanan perizinan pada
pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kualitas pelayanan yang diberikan. Koefisien jalurnya menunjukkan
bahwa kinerja pelayanan memberikan pengaruh positif terhadap kualitas
pelayanan, artinya bahwa semakin baik kinerja pelayanan maka kualitas
pelayanan juga akan semakin baik/meningkat. Kinerja pelayanan yang baik dapat
dilihat dari prosedur pelayanannya tidak berbelit-belit, persyaratan pelayanan
sederhana, keadilan mendapatkan pelayanan, kewajaran biaya yang disampaikan,
kepastian jumlah biaya yang harus dikeluarkan, kepastian jadwal pelayanan yang
diberikan, kenyamanan pelayanan, keamanan dalam pengurusan proses perizinan
serta kecepatan pelayanan akan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan publik di
bidang perizinan yang diberikan.
Kinerja pelayanan perizinan yang baik telah berpengaruh positif terhadap
perkembangan investasi di Bali. Hal ini ditunjukkan oleh data mengenai
272
perkembangan realisasi PMA dan PMDN di Provinsi Bali Tahun 2008-2013
sesuai Tabel 6.2
Tabel 6.2
Perkembangan realisasi PMA dan PMDN di Provinsi Bali
Tahun 2008-2013
No Tahun Realisasi PMA
(Nilai Investasi)
dalam juta rupiah
Jumlah
Proyek
Realisasi PMDN
(Nilai Investasi)
dalam juta rupiah
Jumlah
Proyek
1 2008 735.068 54 28.991 2
2 2009 2.098161 96 50.838 6
3 2010 4.210.160 75 2.651.362 3.772
4 2011 4.386.969 165 7.314.479 4.910
5 2012 4.478.765 295 7.606.361 5.738
6 2013 3.634.973 457 7.793.144 5.314
Sumber: Badan Penanaman Modal dan Perizinan Provinsi Bali, 2014
Berdasarkan Tabel 6.2 dapat disimak bahwa dalam kurun waktu 2008-2013,
adapun jumlah realisasi investasi PMA sebanyak 1.142 proyek, dengan nilai
PMDN dilaporkan sebanyak 19.742 proyek dengan nilai investasi sebesar
Rp. 25.445.175.000.000,00. Jika dilihat total dari PMDN pada tabel 6.2, pada
tahun 2010 mengalami nilai realisasi investasi yang sangat melonjak yang
disebabkan oleh dampak dari Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang
penanaman modal. Perubahan yang melonjak terhadap PMDN dan PMA
merupakan kondisi ekonomi yang berdampak pada Provinsi Bali. Hal ini
merupakan fenomena yang seperti yang terjadi pada saat krisis ekonomi dimana
investor dan iklim investasi menjadi menurun dan berdampak juga pada Provinsi
Bali. Terhadap iklim investasi yang ada, peran investasi swasta menjadi sangat
diharapkan Pemerintah Provinsi Bali dengan proporsi setiap tahunnya semakin
bertambah besar. Dengan demikian, tanpa upaya keras tentunya target
273
pertumbuhan ekonomi Bali akan jauh dari harapan, pangangguran bertambah, dan
terjadi penurunan daya beli masyarakat yang berdampak pada kemiskinan.
Perkembangan realisasi PMA dan PMDN di masing-masing pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Bali dari Tahun 2008-2013, dijumpai kurang merata.
Hal ini dapat dilihat data perkembangan investasi di Provinsi Bali pada Tabel 6.3
Tabel 6.3
Perkembangan Realisasi PMA dan PMDN pada pemerintah kabupaten/kota
di Provinsi Bali Tahun 2008-2013
No Lokasi Realisasi PMA
(Nilai Investasi)
dalam juta
rupiah
Jumlah
Proyek
Realisasi PMDN
(Nilai Investasi)
dalam juta rupiah
Jumlah
Proyek
1 Badung 14.992.945 648 8.088.880 2.044
2 Denpasar 552.209 208 9.920.540 5.310
3 Buleleng 2.213.570 53 971.640 2.769
4 Tabanan 654.438 37 2.652.580 4.236
5 Gianyar 404.995 102 2.410.260 1.798
6 Karangasem 672.584 69 283.760 1.290
7 Klungkung 9.156 8 515.820 588
8 Jembrana 37.996 9 491.075 859
9 Bangli 6.203 8 110.620 846
Sumber: Badan Penanaman Modal dan Perizinan Provinsi Bali, 2014
Berdasarkan Tabel 6.3 terdapat nilai investasi yang bervariasi antar pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Bali. Investasi tertinggi PMA dijumpai di wilayah
Kabupaten Badung dan investasi PMDN terjadi di wilayah Kota Denpasar,
sementara itu investasi terendah PMA dan PMDN terjadi di Kabupaten Bangli.
Hal ini tentu berpengaruh tehadap jenis dan bentuk pelayanan perizinan yang
diselenggarakannya.
274
Lovelock Christopher (2004) dalam bukunya yang berjudul “Product
Plus“ mengemukakan kualitas pelayanan sebagai suatu gagasan menarik tentang
bagaimana suatu produk bila ditambah dengan pelayanan (service) akan
menghasilkan suatu kekuatan yang memberikan manfaat pada organisasi dalam
meraih keuntungan bahkan untuk menghadapi persaingan. Hasil penelitian sejalan
dengan pendapat diatas dimana kinerja pelayanan yang baik otomatis akan
menghasilkan kualitas pelayanan yang baik pula. Disamping itu hasil penelitian
ini juga sependapat dengan penelitian yang dilakukan oleh Darmiyanti yang
meneliti tentang kinerja pelayanan publik pada Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Gianyar. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik analisis deskriptif dan analisis inferensial. Berdasarkan analisis
secara deskriptif, nilai rata-rata skor kinerja pelayanan menunjukkan tingkat
kepuasan pelanggan terhadap kualitas pelayanan publik dengan kategori baik.
6.6 Perilaku birokrasi yang berkearifan lokal berpengaruh secara tidak
langsung terhadap kualitas pelayanan melalui kinerja pelayanan publik
di bidang perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis keenam terbukti bahwa perilaku
birokrasi berkearifan lokal yang dikembangkan dinas/badan/kantor pelayanan
perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali memiliki pengaruh tidak
langsung terhadap kualitas pelayanan melalui kinerja pelayanan yang diberikan.
Koefisien jalurnya menunjukkan bahwa secara tidak langsung perilaku birokrasi
yang berkearifan lokal memberikan pengaruh positif terhadap kualitas pelayanan
melalui kinerja pelayanan, artinya bahwa semakin baik perilaku birokrasi dan
kinerja pelayanan maka kualitas pelayanan juga akan semakin baik/meningkat.
275
Keberhasilan penyelenggaraan pelayanan publik salah satunya ditentukan oleh
perilaku aparatnya dalam mengemban misi sebagai pelayan masyarakat. Aparat
pelayanan yang diharapkan adalah aparat yang profesional, berdedikasi, akuntabel
dan responsif serta loyal terhadap tugas dan kewajibannya sebagai abdi negara
dan pelayan masyarakat.
Perilaku birokrasi baik yang membangun citra pelayanan publik
berkualitas prima maupun yang berperilaku sebaliknya tidak terlepas dari
keterkaitannya dengan nilai-nilai budaya lokal yang dianut oleh setiap individu
birokrat. Salah satunya adalah Pemerintah Kabupaten Jembrana sebagai salah satu
pemerintah daerah di Provinsi Bali. Dalam hal memberikan pelayanan terutama di
bidang perizinan, dengan visi “Terwujudnya Pelayanan Prima Di Bidang
Perizinan Dan Non Perizinan Dengan Pola Pelayanan Terpadu Satu Loket Yang
Cepat, Tepat, Benar dan Transparan”, pelayanan perizinan yang diberikan oleh
Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Jembrana mengedepankan
pelayanan yang berkualitas dan merata bagi masyarakat dengan kepastian
prosedur, biaya dan waktu yang ditetapkan dengan motto “Siap Melayani Anda
Sepenuh Hati Dengan Cepat Ramah Mudah Akurat dan Transparan (SMASH
dengan CERMAT)”. Dengan memberikan pelayanan yang mengadopsi visi
maupun motto pelayanan yang ada diharapkan para pegawai/karyawan dapat
memberikan pelayanan yang prima tanpa mengesampingkan budaya ataupun adat
istiadat yang berlaku di daerah. Disamping itu, pelayanan yang diberikan dengan
sepenuh hati diharapkan akan dapat meningkatkan kualitas pelayanan sehingga
masyarakat akan puas atas pelayanan yang diberikan sehingga perilaku birokrasi
276
yang berkearifan lokal akan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan yang
diberikan dengan didukung oleh kinerja pelayanan yang baik. Keterkaitan nilai
perilaku birokrasi yang berkearifan lokal melalui kinerja pelayanan yang baik
akan berimplikasi terhadap kualitas pelayanan publik dalam memberikan
kepuasan kepada masyarakat pemohon perizinan.
Salah satu perilaku birokrasi yang ada dalam memberikan pelayanan
perizinan pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Jembrana yaitu
mengenai kemudahan pegawai untuk dihubungi dan diajak berkomunikasi setiap
saat meskipun dalam situasi hari-hari besar keagamaan. Berikut disampaikan
pendapat dari Bapak Dewa Ngakan pemohon yang sedang mengurus perizinan
SITU pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Jembrana:
“Pegawai disini cukup mudah dihubungi kok bu. Kemarin ketika saya
mencoba menghubungi salah satu pegawai yang berada di KPPT lewat
telepon segera dijawab oleh petugasnya padahal hari itu kita tahu kantor lagi
tutup/libur karena hari raya tetapi mereka tetap mau menerima telepon kami
dan memberikan petunjuk tentang prosedur yang harus kami lakukan saat
kami mengurus perizinan nanti.” (Wawancara, Oktober 2016).
Demikian juga pendapat dari Ibu Desi Lestari yang tengah mengurus izin SIUP
Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Jembrana menuturkan
pendapatnya sebagai berikut:
“Menurut saya kemampuan yang dimiliki pegawai dalam hal memberikan
informasi kepada masyarakat sudah cukup baik bu. Setiap informasi yang
saya tanyakan selalu dijawab dengan sabar dan lugas. Selain bertanya
langsung dengan pegawai kadang-kadang saya juga menghubungi KPPT
lewat telepon untuk menanyakan masalah perizinan karena banyak hal yang
biasanya saya lupa pada saat ada di kantor perizinan dan baru sampai
dirumah ingatnya sehingga saya segera menanyakannya melalui telepon dan
segera mendapat jawaban yang pasti.” (Wawancara, Oktober 2016).
277
Memberikan pelayanan yang baik kepada semua pemohon perizinan
bukanlah merupakan hal yang mudah, mengingat karakter dari pemohon yang
berbeda antara satu dengan yang lainya. Oleh karena itu badan/kantor/dinas
pelayanan perizinan dituntut untuk dapat memahami segala sesuatu yang
dibutuhkan oleh pemohon. Petugas di badan/kantor/dinas Pelayanan Perizinan
harus mampu memberikan kesan kepada pemohon bahwa dalam mengurus izin
merupakan sesuatu yang mudah, cepat, transparan, pasti, dan tepat waktu. Hal ini
dapat ditunjukkan dengan cara memberikan informasi yang jelas dan pasti terkait
dengan persyaratan, prosedur permohonan perizinan beserta pembiayaannya jika
dibutuhkan. Dengan membimbing dan mengarahkan pemohon (masyarakat)
terhadap proses perizinan maka masyarakat akan sadar arti pentingnya perizinan
dalam menjamin kepastian dan perlindungan hukum terhadap kegiatan atau
usahanya. Dengan demikian, masyarakat akan menjadi terbantu dengan adanya
badan/kantor/dinas pelayanan perizinan ini.
Pemohon yang diposisikan sebagai pihak yang harus dilayani dengan baik,
maka petugas senantiasa berusaha memberikan perhatian yang bersifat individual
dan tulus kepada pemohon yang membutuhkan bantuan dan informasi terkait
dengan pelayanan. Hal tersebut diungkapkan oleh Bapak I Made Sutama, SH, MH
selaku kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Badung, yakni :
“Kami selalu berusaha membantu masyarakat jika masyarakat mengalami
kesulitan dalam mengurus perizinan. Hal ini dikarenakan tugas kami adalah
harus selalu membimbing dan mensosialisasikan kepada masyarakat terkait
pelayanan perizinan yang ada. Hal ini juga sejalan dengan visi kami dalam
memberikan pelayanan yaitu Terwujudnya Pelayanan Prima Berdasarkan
Tri Hita Karana. Disini kami ingin menyeimbangkan pelayanan kami
kepada masyarakat sesuai prinsip Tri Hita Karana yang salah satunya adalah
278
menjaga hubungan antara manusia dengan manusia agar tetap terjalin
dengan baik.” (Wawancara, Oktober 2016).
6.7 Pengawasan masyarakat berpengaruh secara tidak langsung terhadap
kualitas pelayanan melalui kinerja pelayanan publik di bidang perizinan
pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali
Hasil pengujian hipotesis ketujuh menunjukkan bahwa variabel
pengawasan masyarakat yang dikembangkan dinas/badan/kantor pelayanan perizinan
pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali memiliki pengaruh tidak langsung
terhadap kualitas pelayanan melalui kinerja pelayanan yang diberikan. Koefisien
jalurnya menunjukkan bahwa secara tidak langsung pengawasan masyarakat
memberikan pengaruh positif terhadap kualitas pelayanan melalui kinerja
pelayanan, artinya bahwa semakin baik pengawasan masyarakat disertai dengan
kinerja pelayanan yang baik maka kualitas pelayanan juga akan semakin
baik/meningkat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik, salah satu asas penyelenggaraan pelayanan publik adalah
kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan. Oleh karenanya, tuntutan pelayanan
publik yang cepat dan inovatif terus diupayakan sebagai salah satu dari program
percepatan reformasi birokrasi. Melalui reformasi birokrasi, diharapkan alur
perizinan yang lebih sederhana, cepat dan inovatif dapat terwujud. Pengawasan
masyarakat dalam mewujudkan hal tersebut sangatlah dibutuhkan demi perbaikan
dan peningkatan kualitas pelayanan melalui kinerja pelayanan yang ada.
Kinerja pelayanan publik yang baik akan meningkatkan kualitas pelayanan
yang diberikan kepada masyarakat yang dapat dilihat dari Indek Kepuasan
Masyarakat di bidang pelayanan perizinan yang diberikan. Kinerja pelayanan
yang sudah baik tersebut jika dilengkapi dengan pengawasan yang dilakukan oleh
279
masyarakat maka kualitas pelayanan yang diberikan akan semakin bertambah
baik/meningkat dengan harapan kepuasan masyarakat akan meningkat.
6.8 Temuan Penelitian
Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan yang telah dilakukan terhadap
permasalahan dalam disertasi ini, adapun temuan dari penelitian ini adalah :
a) Pertama, penelitian ini menemukan bahwa pengawasan masyarakat
memoderasi pengaruh perilaku birokrasi yang berkearifan lokal terhadap
kinerja pelayanan publik di bidang perizinan pada pemerintah kabupaten/
kota di Provinsi Bali. Hal itu menunjukkan bahwa kinerja pelayanan yang
dipengaruhi perilaku birokrasi yang berkearifan lokal yang sudah baik akan
semakin baik dan meningkat lagi bilamana dilengkapi adanya pengawasan
masyarakat.
b) Kedua, penelitian ini menemukan bahwa kinerja pelayanan publik
memediasi secara parsial (partialy mediated) pengaruh kinerja birokrasi
yang berkearifan lokal terhadap kualitas pelayanan di bidang perizinan pada
pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali. Hal itu menunjukkan bahwa
perilaku birokrasi yang berkearifan lokal selain berpengaruh secara
langsung terhadap kualitas pelayanan juga dapat mempengaruhi kualitas
pelayanan melalui kinerja pelayanan publik.
c) Ketiga, penelitian ini menemukan bahwa kinerja pelayanan publik
memediasi secara penuh (full mediated) pengaruh pengawasan masyarakat
terhadap kualitas pelayanan di bidang perizinan pada pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Bali. Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan
280
masyarakat berpengaruh secara tidak langsung terhadap kualitas pelayanan
melalui kinerja pelayanan.
6.9 Keterbatasan Penelitian
Setiap penelitian tentunya memiliki keterbatasan dan kelebihan yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Adapun keterbatasan dari penelitian ini adalah :
1) Penelitian pengukuran kualitas pelayanan pada instansi dinas/badan/kantor
pelayanan perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali ini
dibatasi pada 3 (tiga) variabel, yaitu variabel perilaku birokrasi yang
berkearifan lokal, pengawasan masyarakat, dan kinerja pelayanan publik.
Dengan demikian, hasil penelitian ini belum sepenuhnya mampu
mencerminkan kualitas pelayanan perizinan terkait kepuasan masyarakat.
2) Penelitian pengukuran kualitas pelayanan pada instansi dinas/badan/kantor
pelayanan perizinan pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali ini
dilaksanakan dalam kurun waktu tahun 2016, sehingga sangat dipengaruhi
oleh kondisi pelayanan perizinan pada tahun 2016. Dengan demikian, hasil
penelitian ini akan mempengaruhi kemampuan prediksinya jika
diimplikasikan pada saat yang berbeda.
3) Hasil penelitian ini dalam perspektif Ilmu Ekonomi diharapkan dapat
mengetahui dan menemukan solusi akademis untuk peningkatan investasi
(PMA/PMDN) yang secara tidak langsung dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat daerah kabupaten/kota di Provinsi Bali. Namun
demikian, mengingat kualitas pelayanan perizinan bukan merupakan satu-
satunya indikator dalam mengukur peningkatan investasi di daerah, maka
281
penelitian ini perlu dilanjutkan dan diperluas dengan melakukan penelitian
pada aspek yang mampu mengukur peningkatan investasi di daerah, seperti
terkait kebijakan pemerintah pusat dan daerah, kondisi fiskal daerah,
keamanan dan kenyamanan berinvestasi, serta model investasi pro rakyat.
282
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis pada bab pembahasan, maka terhadap
permasalahan yang diteliti dalam disertasi ini dapat dikemukakan simpulannya
sebagai berikut :
1) Perilaku birokrasi yang berkearifan lokal pada dinas/badan/kantor pelayanan
perizinan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali berpengaruh positif
dan signifikan terhadap kinerja pelayanan publik. Koefisien jalurnya
menunjukkan bahwa perilaku birokrasi yang berkearifan lokal yang terdiri
dari indikator kejelasan petugas, kedisiplinan petugas, tanggung jawab
petugas, kemampuan petugas, serta kesopanan dan keramahan petugas
mampu untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik.
2) Pengawasan masyarakat berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja
pelayanan publik. Koefisien jalurnya menunjukkan bahwa pengawasan
masyarakat yang terdiri dari indikator pengaduan masyarakat, masukan
terkait pelayanan, gugatan atas pelayanan, serta penyampaian keluhan
mampu untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik menjadi lebih baik.
3) Bahwa dengan dimoderasi oleh pengawasan masyarakat, perilaku birokrasi
yang berkearifan lokal berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja
pelayanan publik. Kinerja pelayanan publik akan semakin meningkat
dengan adanya perilaku birokrasi yang baik dan pengawasan dari
masyarakat terkait dengan pelayanan perizinan yang diberikan. Dengan
282
283
perilaku birokrasi yang ada tanpa dibarengi dengan pengawasan masyarakat,
kinerja pelayanan publik yang ada sudah baik. Dengan perilaku birokrasi
yang sama dengan dibarengi oleh pengawasan dari masyarakat maka kinerja
pelayanan publik yang diberikan akan semakin meningkat. Perilaku
birokrasi dan pengawasan masyarakat (X1X2) memiliki pengaruh positif
dan signifikan terhadap variabel kinerja pelayanan. Hal tersebut juga
menunjukkan bahwa semakin baik perilaku birokrasi ditambah dengan
adanya pengawasan masyarakat (X1X2) maka kinerja pelayanan akan
semakin baik, sebaliknya semakin buruk perilaku birokrasi dan tanpa
adanya pengawasan dari masyarakat (X1X2) maka kinerja pelayanan akan
semakin menurun/buruk.
4) Perilaku birokrasi yang berkearifan lokal pada dinas/badan/kantor pelayanan
perizinan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali berpengaruh positif
dan signifikan terhadap kualitas pelayanan. Koefisien jalurnya menunjukkan
bahwa perilaku birokrasi yang berkearifan lokal yang terdiri dari indikator
kejelasan petugas, kedisiplinan petugas, tanggung jawab petugas,
kemampuan petugas, serta kesopanan dan keramahan petugas mampu untuk
meningkatkan kualitas pelayanan menjadi lebih baik.
5) Kinerja pelayanan pada dinas/badan/kantor pelayanan perizinan pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Bali berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kualitas pelayanan. Koefisien jalurnya menunjukkan bahwa kinerja
pelayanan yang terdiri dari indikator prosedur pelayanan, persyaratan
pelayanan, keadilan mendapatkan pelayanan, kewajaran biaya, kepastian
284
biaya, kepastian jadwal pelayanan, kenyamanan pelayanan, keamanan
pelayanan, dan kecepatan pelayanan mampu untuk meningkatkan kualitas
pelayanan menjadi lebih baik.
6) Bahwa dengan dimediasi oleh kinerja pelayanan, perilaku birokrasi yang
berkearifan lokal berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas
pelayanan. Kualitas pelayanan akan menjadi semakin baik bila didukung
oleh perilaku birokrasi yang baik disertai dengan kinerja pelayanan yang
baik.
7) Bahwa dengan dimediasi oleh kinerja pelayanan, pengawasan masyarakat
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas pelayanan. Pengawasan
masyarakat akan dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanan melalui
kinerja pelayanan yang semakin baik.
7.2 Saran
Berdasarkan pembahasan dan simpulan yang telah disampaikan, maka
secara umum kualitas pelayanan publik di bidang perizinan yang dilaksanakan
pada dinas/badan/kantor pelayanan perizinan pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi Bali berada pada kategori baik. Dikemukakan secara umum, karena
masih ada beberapa indikator dengan nilai rata-rata berada pada kategori
mendekati cukup. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik
di bidang perizinan pada dinas/badan/kantor pelayanan perizinan pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Bali perlu ada pembenahan kinerja pada indikator
variabel yang masih kurang, sehingga saran yang dapat diajukan untuk
dipertimbangkan atau ditindaklanjuti adalah:
285
1) Kepada pihak pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali untuk dapat
meningkatkan kualitas pelayanan perizinan melalui variabel perilaku
birokrasi yang berkearifan lokal terutama terkait dengan indikator
kesopanan dan keramahan petugas dan variabel daya tanggap terkait dengan
kecekatan petugas dalam memberikan pelayanan, maka perlu lebih
memberikan perhatian terhadap para pegawai/karyawan yang memberikan
pelayanan agar dapat lebih memuaskan masyarakat, antara lain melalui
kegiatan pelatihan kepribadian petugas, menempatkan petugas yang secara
tes psikologis memiliki kompetensi melayani, serta membudayakan
melayani sebagai kewajiban, sehingga dapat menunjang kinerja mereka
dalam hal memberikan pelayanan.
2) Kepada pihak pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali untuk dapat
meningkatkan kualitas pelayanan perizinan melalui budaya sadar perizinan
maka persyaratan pelayanan maupun alur yang harus ditempuh oleh
pemohon suatu perizinan perlu disederhanakan tanpa melanggar aturan yang
ada, sehingga masyarakat pemohon perizinan dapat mengurus perizinan
dengan mudah dan lancar. Transparansi biaya perizinan juga perlu
ditingkatkan sehingga masyarakat mendapat kepastian biaya dalam
mengurus perizinan usahanya. Penyediaan sarana dan prasarana dalam
mendukung pelayanan juga sangat perlu diperhatikan. Semakin banyak
masyarakat kita yang sadar dalam mengurus perizinan usahanya akan
berimplikasi terhadap peningkatan pendapatan daerah melalui Pendapatan
Asli Daerah (PAD) yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan
286
masyarakat itu sendiri. Disamping itu untuk memacu masyarakat mengurus
perizinan perlu diadakan kerjasama antar instansi serta komunikasi,
informasi dan edukasi melalui media sehingga pemilik usaha terus
meningkat kesadarannya dalam mengurus perizinan.
3) Kepada pihak pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali untuk dapat
mewujudkan pelayanan perizinan yang transparan, akuntabel, serta bebas
dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), maka perlu terus memperkuat
dan meningkatkan model pelayanan perizinan berbasis teknologi informasi
yang real time dan transparan, sehingga pelayanan perizinan dapat
dilakukan secara online dan mengurangi hubungan personal antara
masyarakat dengan aparat pemerintah yang berpotensi menimbulkan
pungutan liar, diskriminatif, dan berbelit-belit.
4) Kepada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali untuk mengantisipasi
usaha-usaha yang tidak berizin di masing-masing wilayahnya maka perlu
lebih mengintensifkan pengawasan dan penertibannya melalui tim
monitoring dan penegakan hukumnya yang beranggotakan instansi teknis
terkait, sehingga ketertiban dalam melakukan kegiatan pembangunan
maupun usaha oleh masyarakat dapat diwujudkan.
5) Kepada peneliti berikutnya perlu untuk melanjutkan penelitian ini dengan
menambah jumlah variabel penelitiannya, seperti variabel motivasi kerja,
strategi pelayanan, serta kinerja keuangan pemerintah daerah agar
pengukuran kualitas pelayanan lebih lengkap dan komprehensif.
287
DAFTAR PUSTAKA
Acemoglu, Daron dan James A. Robinson. 2012. Why Nations Fail: The Origins
of Power, Prosperity and Poverty. Profile Books. London
Ahmad Erani Yustika. 2002. Ekonomi Kelembagaan, Paradigma, Teori dan
Kebijakan : Erlangga.
Albrrecht. 1986. Social Intelegent. New York: John Wiley & Sons.
Amstrong dan Baron. 1998. Performance Management – The New Realities.
Institute of Personnel and Development. London
Anwar Prabu Mangkunegara, 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia
Perusahaan. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan, edisi 5. Yogyakarta: UPP STIM
YKPN.
Atmawati, Rustika dan Wahyuddin. 2007. ”Analisis Pengaruh Kualitas Pelayanan
Terhadap Kepuasan Konsumen Pada Matahari Departement Store Di
Solo Grand Mall”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Surakarta : Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Basah, Sjachran. 1994. Ilmu Negara : Pengantar Metode dan Sejarah
Perkembangan. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Bertends, K., 2002, Etika, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Burhan, Bungin. 2008. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Kencana.
Bratakusumah, D.S. dan Dadang Solihin. 2001. Otonomi Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Christoper H, Lovelock. 1992. Managing Service, New Jersey: Prentice Hall.
________, 2004, Product Plus, How Product and service competitive Anvantage,
New York : Graw Hill, Inc.
Darmodiharjo, Darji. 1988. Nilai, Norma, dan Moral dalam Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila. Jakarta. Penerbit Aries Lima.
.
Denhardt, KG. 1988. The ethics of public service: resolving moral dilemmas in
the public organizations. New York : Greewood Press.
288
Denhardt, Janet V. and Denhardt, Robert B. 2003. The New Public Service: Serving,
not Steering. New York: M.E. Sharpe. Inc
Dwiyanto, Agus. Editor. 2006. Mewujudkan Good Governance Melalui
Pelayanan publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Dwiyanto, Agus. dkk. 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Dwiyanto, Agus. 2006. Mewujudkan Good Governance Melayani Publik.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
_______, 2008. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gajah
Mada University Perss.
Entwistle, Tom, Martin, Steve. 2005. From Competition To Collaboration
InPublic Service Delivery : A New Agenda For Research. Public
Administration Vol. 83 No. 1.
Fadillah Putra. 2001. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik. ustaka
Pelajar. Surabaya
Ferdinand, Agusty. 2006. Structural Equqtion Modeling Dalam Penelitian
Manajemen (Aplikasi model-model rumit dalam penelitian untuk Tesis
Magister dan Disertasi Doktor, edisi 4. Semarang : BP UNDIP.
Flynn, N. 1990. Publik Sector Management. Brighton. Wheatsheaf.
Frederickson, George. 1997. The Spirit of Public Administration. San Fransisco :
Jossey-Bass Publisher.
Gaspersz, Vincent. 1994. Perencanaan Strategik untuk Peningkatan Kinerja
Sektor Publik : Suatu Petunjuk Praktek. Jakarta : GPU
_______. 2005. Total Quality Management. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.
Ghozali, Imam. 2001. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
_______, 2008. Model Persamaan Struktural Konsep dan Aplikasi dengan
Program Amos 16.0. Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
Gie, The Liang. 1985. Unsur-Unsur Administrasi (Suatu Kumpulan Karangan).
Yogyakarta : Super Sukses.
289
Goetsch, David L dan Standley B Davis. 2002. Pengantar Manajemen Mutu 2,
Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta : PT. Prenhalindo.
Gronroos, C. 1990. Service Management and Marketing: Managing the Moment
of Truth in Service Competition. Massachusetts: Lexington.
Hadjon, Philipus M. 1993. Pengantar Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta :
Pustaka Sinar Harapan.
Hira, Anil dan Ron Hira. 2000. The Institutionalism: Contradictory Notions of
Change, American Journal Of Economics and Sociology.
Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu
Pelayanan.
Kaho, Josef Riwu. 1997. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia.
Yogyakarta : Fak. Sospol – UGM.
Kajeng, I Nyoman. 1997. Sarasamuҫcaya dengan Teks Bahasa Sansekerta dan
Jawa Kuna. Jakarta: Hanuman Sakti.
Kementerian PPN/Bappenas. 2016. Panduan EKPD (Evaluasi Kinerja
Pembangunan Daerah) di 34 Provinsi.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993
tentang Pedoman Tata laksana Pelayanan Umum.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003
tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Kerlinger, F.N. 2004. Azas-asaz Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Komisi Pemberantasan Korupsi.2014. Integritas Sektor Publik Tahun 2014, Fakta
Korupsi Dalam Layanan Publik.
Kumorotomo, Wahyudi. 2009. Sistem informasi management dalam organisasi
publik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Perss.
LAN, 2003, SANKRI Buku I Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara, Lembaga
Administrasi Negara. Jakarta
Lewis, Carol W., and Stuart C. Gilman. 2005. The Ethics Challenge in Public
Service: A Problem-Solving Guide. Market Street, San Fransisco: Jossey-
Bass.
290
Mangkoesoebroto, Guritno. 1999. Kebijakan Ekonomi Publik Di Indonesia.
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Manig, Winfried. 1991. Rural Social and Economics Structures and Social
Development. Alano. Aachen.
Marian, A, dan Nur Arafah. 2000. "Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam
Berbasis Kearifan Lokal di pulau Kecil. Studi Kasus Pulau Wangi-wangi
Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara". Manusia dan
Lingkungannya, Vol. VII, No. 2 Agustus.
Mas‟oed, Mohtar. 2008. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Moenir, H.A.S. 1992. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta : Bumi
Aksara.
_______, 2000. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: Bumi
Aksara.
_______, 2001. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: Bumi
Aksara.
Murjana Yasa, I Gusti Wayan. 2008. Penanggulangan Kemiskinan Berbasis
Partisipasi Masyarakat Di Provinsi Bali, Jurnal Ekonomi dan Sosial
“INPUT”. http://download. portalgaruda.org/article.php?article=
12767&val=918, diakses 10 Oktober 2015.
Narbuko Cholid, Ahmadi. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta : Bumi Aksara.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta
Nugroho R.D. 2003. Reinventing Pembangunan. Jakarta : PT. Alex Media
Komputindo.
Osborn and T Gaebler. 1992. Reinventing Government: How the Entrepreneurial
spirit is trasforming the public sector. Reading, MA :Addison-Wesley.
Parasuraman & Leonard L. Berry. 1998. “SERQUAL: Multiple-item Scale for
Measuring Consumer Perceptions of Service Quality”, Journal of
Retailing. Vol. 64, No. 1 pp. 12-40
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design
Reformasi Birokrasi 2010-2025.
291
Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2015 – 2019.
Poerwadarminta, WJS. 1983. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai
Pustaka.
Pudja, Gede., Tjokorda Rai Sudharta, M.A. 2004. Manava Dharmasastra (Manu
Dharmasastra) atau Veda Smrti Compendium Hukum Hindu. Surabaya:
Paramita Surabaya.
Rasyid, Riyas M. 1998. Manajemen Pembangunan Otonomi Daerah. Bahan
Semiloka Nasional, Ditjend PUOD, Jakarta Ricoy, Raquel de Pedro,
2010, Training Public Service Interpreters in the UK: A Fine Balancing
Act. The Journal of Specialised Translation Issue 14 – July.
Ratminto, Atik. 2005. Manajemen Pelayanan, disertai dengan pengembangan
model konseptual, penerapan citizen‟s charter dan standar pelayanan
minimal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ridwan HR. 2007. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Roth G.A., Fihn S.D., Mokdad A.H., Aekplakorn W., Hasegawa T., Lim S.S.
2010. High total serum cholesterol, medication coverage and
therapeutic control: an analysis of national health examination survey
data from eight countries. http://www.who.int/bulletin/10-079947.pdf.
16 Desember 2010
Said, M. Mas‟ud. 2007. Birokrasi di Negara Birokratis. Malang : UPT Penerbitan
Universitas Muhammadiyah Malang.
Sasser, W. E., Olsen, R. P., Wyckoff, D. D., & Harvard University. 1978.
Management of service operations: Text, cases, and readings. Boston :
Allyn and Bacon.
Setiyono, Budi. 2005. Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi.
Bandung : Nuansa.
Siagian, S. P. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Bumi Aksara.
Sibanda, Modeni Mudzamba Michael. 2012. Monitoring Customer-Focused
Quality Service Delivery In Local Government: Conceptual Issues And
Perspectives For Consideration. Africa‟s Public Service Delivery and
Performance Review. Volume 1, Issue 1, August 2012. P: 1-20.
292
Sinambela, Lijan Poltak. 2006. Reformasi pelayanan Publik. Jakarta: Bumi
Aksara.
_______. 2008. Reformasi Pelayanan Publik, Teori, Kebijakan dan Implementasi.
Jakarta : Bumi Aksara.
Solomon, Michael R. 2007. Consumer Behaviour: Buying, Having and Being,
Sixth Edition, New Jersey: Pearson Prentice Hal.
Sugiyono. 2003. Methode Penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta.
________. 2011. Metode Penelitian Kombinasi. Bandung : CV. Alfabeta.
________. 2012. Metode Penelitian Administrasi. Cetakan Ke-20. Penerbit
Alfabeta. Bandung.
Sumaryadi, I Nyoman. 2010. Sosiologi Pemerintahan dari Perspektif Pelayanan,
Pemberdayaan, Interaksi, dan Sistem Kepemimpinan Pemerintahan
Indonesia. Bogor : Ghalia Indonesia.
Sumitarsih, dkk. 1994. Kearifan Tradisional Masyarakat Pedesaan adalah
Hubungan Memelihara Lingkungan. Yogyakarta: Proyek P3NB
Depdikbud.
Surat Kabar Antara. 2010. Pelayananan Publik di Bali.
Sutedi, Adrian. 2010. Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik. Jakarta :
Sinar Grafika.
Suwandi, Made. 2000. Agenda Strategis Penataan Otonomi Daerah (Sebagai
tindak lanjut UU No. 22 dan UU No. 25 tahun 1999), Makalah Work
Shop Otonomi Daerah. Jakarta : Kerjasama LPEM- UI dan IRIS Jakarta.
Talcott Parsons. 1975. "The Present Status of "Structural-Functional" Theory in
Sociology." In Talcott Parsons, Social Systems and The Evolution of
Action Theory New York: The Free Press, 1975.
Terry, George R. 1986. Azas – azas Managemen, Bandung : Alumni.
The World Bank. 2011. Intergovernmental Fiscal Transfers Principles And
Practice, Washington, D. C. : Edited by Robin Boadway and Anwar Shah.
Titib, I Made. 2007. Itihasa Ramayana & Mahabharata (Viracarita) Kajian Kritis
Sumber Ajaran Hindu. Surabaya: Paramita Surabaya.
293
Todaro, Michael P dan Stephen C Smith. 2012. Economic Development 11th
Edition. Boston: Pearson.
United Nations Development Programme. 2015. Human Development Report by
the United Nations Development Programme and calculates HDI values
based on estimates for 2014. America.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
Tahun 2000-2004. Jakarta : Sinar Grafika.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.
Wahab, Zauhar, Soesilo. 1998. Desentralisasi, Otonomi Daerah dan
Pembangunan Nasional, Desentralisasi Dalam Konteks Pembangunan
Nasional dan Daerah, pp. 1-8. Malang: Program Pascasarjana
Universitas Brawijaya.
Widarjono, Agus. 2010. Analisis Statistik Multivariat Terapan. UPP STIM
YKPN.
World Bank. 2011. Doing Business 2011. http://www.doingbusiness.org/
Zeithaml, Valarie A. A. Parasuraman & Leonard L. Berry. 1990, Delivering
Quality Service: Balancing Customer Perceptions and Expectations. New
York: The Free Press, Macmillan Inc.
294
Lampiran 1. Uji Validitas Instrumen
Correlations
Correlations
1 .646** .382** .769** .872**
.000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
.646** 1 .394** .515** .812**
.000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
.382** .394** 1 .365** .663**
.000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
.769** .515** .365** 1 .837**
.000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
.872** .812** .663** .837** 1
.000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
X111
X112
X113
X114
X11
X111 X112 X113 X114 X11
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
Correlations
Correlations
1 .221* .164 .483** .257** .169 .508**
.010 .058 .000 .003 .050 .000
135 135 135 135 135 135 135
.221* 1 .399** .368** .296** .430** .628**
.010 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.164 .399** 1 .479** .475** .470** .743**
.058 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.483** .368** .479** 1 .652** .607** .840**
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.257** .296** .475** .652** 1 .489** .774**
.003 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.169 .430** .470** .607** .489** 1 .729**
.050 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.508** .628** .743** .840** .774** .729** 1
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
X121
X122
X123
X124
X125
X126
X12
X121 X122 X123 X124 X125 X126 X12
Correlation is signif icant at the 0.05 level (2-tailed).*.
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
295
Correlations
Correlations
1 .505** .348** .266** .300** .234** .604**
.000 .000 .002 .000 .006 .000
135 135 135 135 135 135 135
.505** 1 .501** .477** .321** .289** .709**
.000 .000 .000 .000 .001 .000
135 135 135 135 135 135 135
.348** .501** 1 .802** .325** .374** .791**
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.266** .477** .802** 1 .419** .343** .786**
.002 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.300** .321** .325** .419** 1 .497** .681**
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.234** .289** .374** .343** .497** 1 .668**
.006 .001 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.604** .709** .791** .786** .681** .668** 1
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
X131
X132
X133
X134
X135
X136
X13
X131 X132 X133 X134 X135 X136 X13
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
Correlations
Correlations
1 .503** .566** .548** .272** .467** .365** .535** .763**
.000 .000 .000 .001 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
.503** 1 .445** .369** .474** .624** .305** .511** .742**
.000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
.566** .445** 1 .452** .222** .464** .220* .551** .709**
.000 .000 .000 .010 .000 .010 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
.548** .369** .452** 1 .430** .512** .284** .529** .739**
.000 .000 .000 .000 .000 .001 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
.272** .474** .222** .430** 1 .641** .350** .300** .637**
.001 .000 .010 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
.467** .624** .464** .512** .641** 1 .352** .472** .787**
.000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
.365** .305** .220* .284** .350** .352** 1 .180* .499**
.000 .000 .010 .001 .000 .000 .036 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
.535** .511** .551** .529** .300** .472** .180* 1 .757**
.000 .000 .000 .000 .000 .000 .036 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
.763** .742** .709** .739** .637** .787** .499** .757** 1
.000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
X141
X142
X143
X144
X145
X146
X147
X148
X14
X141 X142 X143 X144 X145 X146 X147 X148 X14
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
Correlation is signif icant at the 0.05 level (2-tailed).*.
296
Correlations
Correlations
1 .504** .602** .483** .561** .612** -.059 -.020 .736**
.000 .000 .000 .000 .000 .499 .818 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
.504** 1 .675** .441** .624** .511** -.054 -.018 .750**
.000 .000 .000 .000 .000 .537 .833 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
.602** .675** 1 .438** .512** .557** .052 .022 .775**
.000 .000 .000 .000 .000 .549 .799 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
.483** .441** .438** 1 .485** .655** .039 .191* .722**
.000 .000 .000 .000 .000 .653 .026 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
.561** .624** .512** .485** 1 .543** -.107 -.102 .726**
.000 .000 .000 .000 .000 .218 .241 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
.612** .511** .557** .655** .543** 1 -.024 .010 .761**
.000 .000 .000 .000 .000 .784 .904 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
-.059 -.054 .052 .039 -.107 -.024 1 .910** .291**
.499 .537 .549 .653 .218 .784 .000 .001
135 135 135 135 135 135 135 135 135
-.020 -.018 .022 .191* -.102 .010 .910** 1 .334**
.818 .833 .799 .026 .241 .904 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
.736** .750** .775** .722** .726** .761** .291** .334** 1
.000 .000 .000 .000 .000 .000 .001 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
X151
X152
X153
X154
X155
X156
X157
X158
X15
X151 X152 X153 X154 X155 X156 X157 X158 X15
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
Correlation is signif icant at the 0.05 level (2-tailed).*.
Correlations
Correlations
1 .375** .829** .155 .463** .390**
.000 .000 .073 .000 .000
135 135 135 135 135 135
.375** 1 .830** .255** .048 .187*
.000 .000 .003 .582 .030
135 135 135 135 135 135
.829** .830** 1 .247** .308** .348**
.000 .000 .004 .000 .000
135 135 135 135 135 135
.155 .255** .247** 1 .278** .792**
.073 .003 .004 .001 .000
135 135 135 135 135 135
.463** .048 .308** .278** 1 .806**
.000 .582 .000 .001 .000
135 135 135 135 135 135
.390** .187* .348** .792** .806** 1
.000 .030 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
X211
X212
X21
X221
X222
X22
X211 X212 X21 X221 X222 X22
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
Correlation is signif icant at the 0.05 level (2-tailed).*.
297
Correlations
Correlations
1 .621** .876** -.074 .428** .287** .323**
.000 .000 .391 .000 .001 .000
135 135 135 135 135 135 135
.621** 1 .921** .055 .190* .285** .277**
.000 .000 .526 .027 .001 .001
135 135 135 135 135 135 135
.876** .921** 1 -.003 .329** .317** .330**
.000 .000 .972 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
-.074 .055 -.003 1 .072 .159 .619**
.391 .526 .972 .407 .066 .000
135 135 135 135 135 135 135
.428** .190* .329** .072 1 .183* .595**
.000 .027 .000 .407 .033 .000
135 135 135 135 135 135 135
.287** .285** .317** .159 .183* 1 .737**
.001 .001 .000 .066 .033 .000
135 135 135 135 135 135 135
.323** .277** .330** .619** .595** .737** 1
.000 .001 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
X231
X232
X23
X241
X242
X243
X24
X231 X232 X23 X241 X242 X243 X24
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
Correlation is signif icant at the 0.05 level (2-tailed).*.
Correlations
Correlations
1 .691** .499** .779** .567** .483** .423** .856**
.000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135
.691** 1 .593** .524** .310** .380** .405** .754**
.000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135
.499** .593** 1 .462** .087 .520** .467** .678**
.000 .000 .000 .314 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135
.779** .524** .462** 1 .600** .591** .508** .866**
.000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135
.567** .310** .087 .600** 1 .264** .292** .612**
.000 .000 .314 .000 .002 .001 .000
135 135 135 135 135 135 135 135
.483** .380** .520** .591** .264** 1 .533** .716**
.000 .000 .000 .000 .002 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135
.423** .405** .467** .508** .292** .533** 1 .706**
.000 .000 .000 .000 .001 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135
.856** .754** .678** .866** .612** .716** .706** 1
.000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
X311
X312
X313
X314
X315
X316
X317
X31
X311 X312 X313 X314 X315 X316 X317 X31
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
298
Correlations
Correlations
1 .732** .556** .582** .516** .308** .406** .412** .742**
.000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
.732** 1 .474** .492** .517** .458** .584** .501** .792**
.000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
.556** .474** 1 .678** .550** .321** .412** .464** .725**
.000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
.582** .492** .678** 1 .500** .471** .398** .587** .766**
.000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
.516** .517** .550** .500** 1 .580** .543** .519** .773**
.000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
.308** .458** .321** .471** .580** 1 .719** .493** .717**
.000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
.406** .584** .412** .398** .543** .719** 1 .690** .792**
.000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
.412** .501** .464** .587** .519** .493** .690** 1 .769**
.000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
.742** .792** .725** .766** .773** .717** .792** .769** 1
.000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135 135 135
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
X321
X322
X323
X324
X325
X326
X327
X328
X32
X321 X322 X323 X324 X325 X326 X327 X328 X32
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
Correlations
Correlations
1 .286** .290** .472** .657**
.001 .001 .000 .000
135 135 135 135 135
.286** 1 .803** .484** .805**
.001 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
.290** .803** 1 .660** .871**
.001 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
.472** .484** .660** 1 .827**
.000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
.657** .805** .871** .827** 1
.000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
X331
X332
X333
X334
X33
X331 X332 X333 X334 X33
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
299
Correlations
Correlations
1 .377** .486** .469** .633** .734**
.000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135
.377** 1 .504** .666** .132 .754**
.000 .000 .000 .127 .000
135 135 135 135 135 135
.486** .504** 1 .749** .511** .841**
.000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135
.469** .666** .749** 1 .382** .864**
.000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135
.633** .132 .511** .382** 1 .641**
.000 .127 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135
.734** .754** .841** .864** .641** 1
.000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
X341
X342
X343
X344
X345
X34
X341 X342 X343 X344 X345 X34
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
Correlations
Correlations
1 .539** .638** .472** .528** .572** .772**
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.539** 1 .479** .476** .523** .543** .719**
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.638** .479** 1 .685** .640** .572** .827**
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.472** .476** .685** 1 .748** .758** .853**
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.528** .523** .640** .748** 1 .678** .843**
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.572** .543** .572** .758** .678** 1 .854**
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.772** .719** .827** .853** .843** .854** 1
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
X351
X352
X353
X354
X355
X356
X35
X351 X352 X353 X354 X355 X356 X35
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
300
Correlations
Correlations
1 .847** .718** .599** .574** .877**
.000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135
.847** 1 .787** .624** .547** .893**
.000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135
.718** .787** 1 .755** .516** .885**
.000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135
.599** .624** .755** 1 .615** .842**
.000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135
.574** .547** .516** .615** 1 .765**
.000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135
.877** .893** .885** .842** .765** 1
.000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
X361
X362
X363
X364
X365
X36
X361 X362 X363 X364 X365 X36
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
Correlations
Correlations
1 .652** .532** .635** .825**
.000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
.652** 1 .536** .590** .814**
.000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
.532** .536** 1 .667** .833**
.000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
.635** .590** .667** 1 .874**
.000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
.825** .814** .833** .874** 1
.000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
X371
X372
X373
X374
X37
X371 X372 X373 X374 X37
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
301
Correlations
Correlations
1 .895** .645** .642** .628** .716** .852**
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.895** 1 .656** .691** .639** .678** .861**
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.645** .656** 1 .717** .709** .763** .862**
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.642** .691** .717** 1 .700** .798** .877**
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.628** .639** .709** .700** 1 .834** .866**
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.716** .678** .763** .798** .834** 1 .916**
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.852** .861** .862** .877** .866** .916** 1
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
X381
X382
X383
X384
X385
X386
X38
X381 X382 X383 X384 X385 X386 X38
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
Correlations
Correlations
1 .468** .491** .575** .377** .535** .742**
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.468** 1 .499** .451** .454** .531** .786**
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.491** .499** 1 .535** .564** .452** .775**
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.575** .451** .535** 1 .531** .649** .785**
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.377** .454** .564** .531** 1 .502** .718**
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.535** .531** .452** .649** .502** 1 .787**
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
.742** .786** .775** .785** .718** .787** 1
.000 .000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135 135
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
X391
X392
X393
X394
X395
X396
X39
X391 X392 X393 X394 X395 X396 X39
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
302
Correlations
Correlations
1 .586** .605** .418** .832**
.000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
.586** 1 .742** .343** .849**
.000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
.605** .742** 1 .329** .846**
.000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
.418** .343** .329** 1 .641**
.000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
.832** .849** .846** .641** 1
.000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Y11
Y12
Y13
Y14
Y1
Y11 Y12 Y13 Y14 Y1
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
Correlations
Correlations
1 .663** .602** .416** .835**
.000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
.663** 1 .574** .474** .838**
.000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
.602** .574** 1 .579** .845**
.000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
.416** .474** .579** 1 .738**
.000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
.835** .838** .845** .738** 1
.000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Y21
Y22
Y23
Y24
Y2
Y21 Y22 Y23 Y24 Y2
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
303
Correlations
Correlations
1 .563** .649** .848**
.000 .000 .000
135 135 135 135
.563** 1 .641** .844**
.000 .000 .000
135 135 135 135
.649** .641** 1 .896**
.000 .000 .000
135 135 135 135
.848** .844** .896** 1
.000 .000 .000
135 135 135 135
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Y31
Y32
Y33
Y3
Y31 Y32 Y33 Y3
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
Correlations
Correlations
1 .690** .445** .847**
.000 .000 .000
135 135 135 135
.690** 1 .516** .850**
.000 .000 .000
135 135 135 135
.445** .516** 1 .809**
.000 .000 .000
135 135 135 135
.847** .850** .809** 1
.000 .000 .000
135 135 135 135
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Y41
Y42
Y43
Y4
Y41 Y42 Y43 Y4
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
Correlations
Correlations
1 .628** .607** .552** .690** .860**
.000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135
.628** 1 .569** .623** .487** .803**
.000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135
.607** .569** 1 .565** .653** .818**
.000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135
.552** .623** .565** 1 .568** .798**
.000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135
.690** .487** .653** .568** 1 .830**
.000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135
.860** .803** .818** .798** .830** 1
.000 .000 .000 .000 .000
135 135 135 135 135 135
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Y51
Y52
Y53
Y54
Y55
Y5
Y51 Y52 Y53 Y54 Y55 Y5
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
304
Lampiran 2. Uji Reliabilitas Instrumen
Reliability
Reliability Statistics
.804 4
Cronbach's
Alpha N of Items
Reliability
Reliability Statistics
.795 6
Cronbach's
Alpha N of Items
Reliability
Reliability Statistics
.798 6
Cronbach's
Alpha N of Items
Reliability
Reliability Statistics
.854 8
Cronbach's
Alpha N of Items
Reliability
Reliability Statistics
.800 8
Cronbach's
Alpha N of Items
Reliability
Reliability Statistics
.755 2
Cronbach's
Alpha N of Items
Reliability
Reliability Statistics
.664 2
Cronbach's
Alpha N of Items
305
Reliability
Reliability Statistics
.623 2
Cronbach's
Alpha N of Items
Reliability
Reliability Statistics
.712 3
Cronbach's
Alpha N of Items
Reliability
Reliability Statistics
.895 8
Cronbach's
Alpha N of Items
Reliability
Reliability Statistics
.862 7
Cronbach's
Alpha N of Items
Reliability
Reliability Statistics
.796 4
Cronbach's
Alpha N of Items
Reliability
Reliability Statistics
.814 5
Cronbach's
Alpha N of Items
Reliability
Reliability Statistics
.896 6
Cronbach's
Alpha N of Items
306
Reliability
Reliability Statistics
.906 5
Cronbach's
Alpha N of Items
Reliability
Reliability Statistics
.855 4
Cronbach's
Alpha N of Items
Reliability
Reliability Statistics
.935 6
Cronbach's
Alpha N of Items
Reliability
Reliability Statistics
.847 6
Cronbach's
Alpha N of Items
Reliability
Reliability Statistics
.805 4
Cronbach's
Alpha N of Items
Reliability
Reliability Statistics
.832 4
Cronbach's
Alpha N of Items
Reliability
Reliability Statistics
.828 3
Cronbach's
Alpha N of Items
307
Reliability
Reliability Statistics
.767 3
Cronbach's
Alpha N of Items
Reliability
Reliability Statistics
.879 5
Cronbach's
Alpha N of Items
308
Lampiran 3. Statistik Deskriptif
Descriptives
Descriptive Statistics
135 1.00 4.64 2.2580 .99909
135 1.00 6.80 4.4127 1.00013
135 1.00 6.99 4.4570 .99797
135 1.00 6.25 4.0934 1.00178
135 1.00 6.83 3.6970 1.00010
135 1.00 7.67 6.1159 .99895
135 1.00 3.72 2.0376 .99977
135 1.00 3.36 1.7692 1.00208
135 1.00 3.89 2.0750 1.00016
135 1.00 5.26 2.7781 1.00070
135 1.00 6.34 3.9698 1.00184
135 1.00 7.89 5.0676 .99983
135 1.00 6.75 4.1611 1.00142
135 1.00 6.41 4.1054 1.00213
135 1.00 6.09 3.9483 .99792
135 1.00 6.04 3.9727 .99954
135 1.00 5.63 3.7693 1.00235
135 1.00 6.43 4.1090 .99876
135 1.00 5.45 3.3796 .99960
135 1.00 4.50 2.2600 1.00024
135 1.00 5.92 3.8242 1.00033
135 1.00 4.91 2.4199 1.00007
135 1.00 5.60 3.1677 .99749
135
X11
X12
X13
X14
X15
X21
X22
X23
X24
X31
X32
X33
X34
X35
X36
X37
X38
X39
Y11
Y12
Y13
Y14
Y15
Valid N (listwise)
N Minimum Maximum Mean Std. Dev iation
Lampiran 4. Hasil Olahan SEM PLS
309
Outer Loading
Original Sampel (O)
Mean Sample (M)
Standard Deviation (STDEV)
T Statistiks (|O/STDEV|) P Value
X11 <-- X1 0.833 0.836 0.045 18.624 0.000
X12 <-- X1 0.849 0.848 0.047 18.173 0.000
X13 <-- X1 0.840 0.840 0.039 21.494 0.000
X14 <-- X1 0.894 0.892 0.036 24.888 0.000
X15 <-- X1 0.800 0.800 0.054 14.803 0.000
X21 <-- X2 0.827 0.828 0.035 23.657 0.000
X22 <-- X2 0.793 0.791 0.045 17.813 0.000
X23 <-- X2 0.780 0.775 0.064 12.221 0.000
X24 <-- X2 0.735 0.733 0.063 11.674 0.000
X31 <-- X3 0.694 0.696 0.077 9.056 0.000
X32 <-- X3 0.558 0.555 0.096 5.813 0.000
X33 <-- X3 0.639 0.635 0.090 7.102 0.000
X34 <-- X3 0.797 0.791 0.068 11.762 0.000
X35 <-- X3 0.760 0.763 0.072 10.533 0.000
X36 <-- X3 0.774 0.776 0.062 12.502 0.000
X37 <-- X3 0.782 0.781 0.075 10.419 0.000
X38 <-- X3 0.861 0.862 0.049 17.618 0.000
X39 <-- X3 0.721 0.719 0.074 9.696 0.000
Y1 <-- Y 0.829 0.833 0.039 21.012 0.000
Y2 <-- Y 0.915 0.914 0.020 46.412 0.000
310
Y3 <-- Y 0.889 0.889 0.028 31.431 0.000
Y4 <-- Y 0.831 0.831 0.053 15.727 0.000
Y5 <-- Y 0.891 0.892 0.034 26.147 0.000
311
Discriminnt Validity: Cross Loading
Moderating Effect X1*X2
X1 X2 X3 Y
X11 0.460 0.833 0.258 0.671 0.723
X12 0.381 0.849 0.131 0.662 0.702
X13 0.393 0.840 0.187 0.650 0.713
X14 0.425 0.894 0.246 0.647 0.719
X15 0.469 0.800 0.101 0.621 0.673
X21 0.164 0.199 0.827 0.441 0.280
X22 0.088 0.166 0.793 0.334 0.256
X23 0.143 0.137 0.780 0.360 0.218
X24 0.074 0.186 0.785 0.326 0.237
X31 0.406 0.573 0.311 0.772 0.648
X32 0.360 0.442 0.264 0.657 0.521
X33 0.378 0.494 0.336 0.680 0.602
X34 0.460 0.719 0.311 0.782 0.722
X35 0.455 0.582 0.427 0.788 0.709
X36 0.484 0.555 0.428 0.808 0.743
X37 0.365 0.606 0.374 0.787 0.771
X38 0.537 0.705 0.394 0.866 0.798
X39 0.417 0.615 0.417 0.743 0.630
Y1 0.581 0.736 0.281 0.837 0.829
Y2 0.513 0.795 0.359 0.851 0.915
Y3 0.523 0.656 0.191 0.723 0.889
Y4 0.514 0.704 0.299 0.705 0.831
Y5 0.474 0.742 0.238 0.761 0.891
Construct Reliability and Validity
Cronbach's Alpha
Rho_A Composite Reliability
Average Variance Extrated (AVE)
Moderating Effect X1*X2 0.953 1.000 0.958 0.530
X1 0.899 0.899 0.925 0.712
X2 0.792 0.804 0.865 0.615
X3 0.913 0.919 0.929 0.592
Y 0.920 0.924 0.940 0.759
R Square
R Square R Square Adjusted
X3 0.725 0.717
Y 0.853 0.850
312
Collinearity Statistics (VIF)
Moderating Effect X1*X2 X1 X2 X3 Y
Moderating Effect X1*X2
1.344
X1
1.379 2.467
X2
1.054
X3
2.467
Path Coefficients
Original Sampel (O)
Mean Sample (M)
Standard Deviation (STDEV)
T Statistiks (|O/STDEV|)
P Value
Moderating - > X3 0.206 0.214 0.072 2.847 0.005
X1 - > X3 0.595 0.594 0.077 7.735 0.000
X1 - > Y 0.364 0.341 0.085 4.263 0.000
X2 - > X3 0.309 0.309 0.073 4.234 0.000
X4 - > Y 0.614 0.637 0.070 8.760 0.000
Indirect Effects
Original Sampel (O)
Mean Sample (M)
Standard Deviation (STDEV)
T Statistiks (|O/STDEV|)
P Value
Moderating - > Y 0.126 0.138 0.053 2.389 0.017
X1 - > Y 0.365 0.380 0.076 4.804 0.000
X2 - > Y 0.190 0.195 0.044 4.273 0.000
Total Effects
Original Sampel (O)
Mean Sample (M)
Standard Deviation (STDEV)
T Statistiks (|O/STDEV|)
P Value
Moderating - > X3 0.206 0.214 0.072 2.847 0.005
Moderating - > Y 0.126 0.138 0.053 2.389 0.017
X1 - > X3 0.595 0.594 0.077 7.735 0.000
X1 - > Y 0.729 0.721 0.046 15.873 0.000
X2 - > X3 0.309 0.309 0.073 4.234 0.000
X2 - > Y 0.190 0.195 0.044 4.273 0.000
X3 - > Y 0.614 0.637 0.700 8.760 0.000
313