bab i pendahuluan 1.1. latar belakang - sinta.unud.ac.id i.pdftentang kepedulian sosial10....
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sitor Situmorang adalah penyair Indonesia dan seorang tokoh sejarah.1
Sajak-sajak penyair yang wafat di umur 90 pada 20 Desember 2014 ini dikenal
oleh publik nasional maupun internasional.2 Usianya yang panjang
memungkinkan Sitor menulis sajak dalam jumlah yang banyak yakni lebih dari
500 judul dengan kualitas yang mumpuni, salah satunya terbukti dari aneka ulasan
yang ditulis oleh berbagai peneliti dari dalam negeri serta mancanegara.
Keseluruhan hal ini menjadi landasan untuk mengkaji sajak-sajak Sitor
Situmorang dengan menggunakan metodologi analisis sosio-historik yang
diperkenalkan oleh sejarawan Kuntowijoyo.3
Sajak-sajak Sitor Situmorang yang dikaji dalam studi ini adalah yang
ditulisnya pada kurun waktu reformasi Indonesia, khususnya selama tahun 1998
hingga 2005,4 yang sekaligus merupakan batasan temporal studi ini,
5 sedangkan
1 Profil Sitor Situmorang selengkapnya diulas pada bab II.
2 Sajaknya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Sitor pun pernah
melakukan lawatan ke luar negeri sebagai perwakilan sastrawan Indonesia.
3 Sampai sekarang relatif sedikit sejarawan yang menggunakan pendekatan
tersebut di atas dalam kajian sejarah, termasuk di dalamnya penulisan skripsi.
Pada Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Budaya Universitas
Udayana misalnya, sampai sekarang ini baru ada dua skripsi yang memakai
pendekatan tersebut. Selengkapnya perihal pendekatan ini akan dibahas dalam sub
bab metodologi.
4 Penetapan tahun 1998 hingga 2005 didasari atas temuan J.J. Rizal yang
berhasil mendokumentasikan sajak-sajak Sitor Situmorang yang diciptakan tahun
1948 sampai 2005.
2
batasan spasial atau ruangnya adalah Indonesia, namun bukan dalam pengertian
geografis, melainkan geokultural, sebab karya sastra tidak mempunyai batasan
wilayah. Oleh karena itu digunakan istilah batasan geokultural, dalam pengertian,
bahwa pada masa reformasi, Indonesia pernah menjadi wilayah kultural dari
seorang penyair bernama Sitor Situmorang, yang karya-karya sajaknya tidak
terikat pada letak geografis negaranya.
Sekalipun Sitor Situmorang sudah berkarya jauh sebelumnya, namun
karya-karyanya semasa Reformasi sangat menarik dikaji secara historis, sebab ini
merupakan momentum penting bagi seluruh bangsa Indonesia karena diwarnai
oleh banyak perubahan.6 Pada masa Reformasi ada sebuah proses pemulihan
krisis multidimensional warisan rezim Soeharto, upaya demokratisasi serta
transparansi di segala lini, gejolak sosial-politik di berbagai daerah, dan
pengharapan akan lahirnya pemimpin dan Indonesia baru yang lebih baik.
Semuanya itu merupakan sebuah dasar struktur yang tidak pelak turut memberi
5 Sekalipun menggunakan skup temporal 1998-2005, namun penjelasan
dalam kajian ini tidaklah mutlak membahas kejadian-kejadian yang berurutan. Hal
tersebut karena seperti dikatakan oleh Kuntowijoyo, kategori sejarah tidak selalu
merupakan urutan yang bergantian, tetapi dapat saling bertumpang-tindih,
sekalipun pada dasarnya ada urutan kronologinya. Lihat Kuntowijoyo, Budaya
dan Masyarakat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), p. 7.
6 Kendati merupakan momentum pergantian kekuasaan, nyatanya belum
banyak perubahan yang signifikan seperti diharapkan oleh kaum reformis. Hal ini
dapat ditelusuri dalam wawancara Tempo bersama Mochtar Pabottingi beberapa
hari setelah Soeharto lengser. Pakar politik dari LIPI tersebut menyatakan bahwa
selama era reformasi yang ada adalah pergantian pemerintahan bukan pergantian
rezim. Mahasiswa menghendaki reformasi total. ―Wawancara Mochtar Pabottingi
: ‗Habibie Selama Tiga Windu Dibina oleh Pak Harto,‖ tempo.co.id, diakses pada
1 Mei 2015 pukul 09.41 Wita.
3
pengaruh bagi masyarakat Indonesia, tak terkecuali Sitor Situmorang dalam
menulis sajak-sajaknya.7
Berdasarkan kajian sejarawan J.J. Rizal, ditemukan 44 sajak yang ditulis
Sitor Situmorang selama masa reformasi, sedangkan sisanya lagi 561 buah
dikerjakan jauh sebelumnya. Secara khusus, terdapat 31 karya bertema
spiritualisme,8 tujuh sajak tentang kecintaan pada tanah air,
9 dan enam sajak
tentang kepedulian sosial10
.
Sajak-sajak tersebut di atas, bila ditempatkan pada kerangka kategori
sejarah dan semesta simbolis yang menjadi formula dalam metodologi analisis
sosio-historik dari Kuntowijoyo,11
terdapat enam sajak yang tergolong
tradisional-patrimonial, dua sajak termasuk kategori sejarah kapitalis, 26 sajak
merupakan pertumpang-tindihan kategori sejarah tradisional-patrimonial dengan
kapitalisme, tiga sajak mengandung pertumpang-tindihan kategori sejarah
7 Hadirnya proses simbolis tidak terlepas dari dasar struktur yang
melatarinya. Proses simbolis meliputi filsafat, agama, seni, ilmu, sejarah, mitor,
dan bahasa. Selengkapnya lihat Kuntowijoyo, op.cit., pp. 3-6.
8 Sajak-sajak yang termasuk dalam tema spiritualisme antara lain sajak
yang mengandung mistisisme, pertanyaan-pertanyaan yang bersifat eksistensial,
sangkan paraning dumadi, absurditas hidup dan manusia, termasuk pula sajak
tentang cinta yang dalam ekspresinya merangkum lebih jauh dari hubungan tubuh,
tetapi ruh, yakni cinta dalam pengertian sarana untuk mencapai pengalaman
transendental.
9 Sajak-sajak yang termasuk dalam tema cinta tanah air antara lain yang
berisi pernyataan sikap Sitor tentang kecintaannya pada tanah air yang tercermin
dari kunjungan ke tempat-tempat tertentu di daerah-daerah di Indonesia, sajak
mengenai karya seni yang berbicara tentang tanah air, sajak tentang atau ditujukan
kepada tokoh-tokoh yang karyanya bertema tanah air.
10 Sajak-sajak yang termasuk dalam tema kepedulian sosial antara lain
yang merujuk kepada tokoh sosial atau korban sosial, bernada protes dengan
menggunakan pendekatan estetik parodi atau ironi.
11 Kerangka ini dijelaskan dalam metodologi sosio-historik proses simbolis
dalam ibid., pp. 5-9.
4
kapitalis dan teknokratis, tujuh sajak mencerminkan pertumpang-tindihan kategori
sejarah tradisional-patrimonial dengan kapitalis dan teknokratis.
Penegasan unsur-unsur kategori di atas dilihat dari simbol dan norma yang
terkandung dalam kategori tersebut.12
Sebagai contoh sajak13
yang berada dalam
kategori sejarah tradisional-patrimonial yaitu berjudul dalam sajak ―Kissah
Seludang Menolak Mayang (dari Khasanah Syair Lama)‖ sebagai berikut :
―Terbalut beludru, seludang kasihmu, tenggelam aku, dalam rona
birahi, menyelami lubuk terdalam, langit pandangmu, dengarkan
degup, lagu kasmaran bersahutan, di arus banjir bandang,
senggama sempurna, perpaduan suntuk, jagad jantanku dan
betinamu, dua insani setubuh, padunya jagad kembar, jantan-
betina, betina-jantan, terusung pusaran, nikmat segala musim,
sepanjang usia bumi, kelahiran Adam dan Eva.‖14
12 Supaya dapat menentukan simbol dan norma suatu sajak Sitor, terlebih
dahulu dilakukan analisis dengan melihat petunjuk-petunjuk yang ada pada sajak-
sajaknya. Petunjuk didapatkan dengan cara melihat unsur-unsur pembentuk sajak
Sitor seperti tema, latar tempat, peristiwa yang diangkat, metafora atau kata-kata
tertentu yang dapat dicari rujukannya. Tentang ini selengkapnya dibahas pada sub
bab kerangka teoretis. 13
Pengutipan seluruh sajak Sitor Situmorang dalam penelitian ini
mengubah susunan tipografi sajak yang sebenarnya. Tujuannya adalah untuk
meringkas halaman dan memudahkan pembacaan isi sajak bagi pembaca karena
disusun seperti paragraf kalimat yang sambung menyambung. Pergantian bait
tidak disusun ke bawah, melainkan dijajarkan ke samping. Antara bait
sebelumnya dan sesudahnya dipisahkan dengan tanda koma (,) yang ditambahkan
secara sengaja. Adapun secara umum, sajak-sajak Sitor Situmorang tidak terlalu
bermain pada tipografi, sehingga perubahan ini boleh dikata tidak mengubah
makna inti dan mendasar dari sajak. 14
Sajak tersebut dapat dimasukkan kedalam kategori Sejarah Tradisional
Patrimonial, karena kata ―jantan-betina‖ yang terkandung di dalamnya tidak
sebatas menyinggung gender dalam arti biologis, melainkan menyangkut
pemahaman spiritual yaitu konsep Lingga-Yoni, lebih jauh yakni konsep
Nyegara-Gunung. Istilah ―senggama‖ oleh karenanya tidak semata merujuk pada
hubungan badaniah, tetapi penyatuan unsur inti kehidupan. Pada bagian akhir
sajak, disebutkan ―Adam dan Eva,‖ kisah ini dikenal dalam ajaran agama samawi.
Anthony Synnott menyatakan Adam dan Eva atau Hawa adalah sebuah mitos
penciptaan Kitab Kejadian, baca : Anthony Synnott, Tubuh Sosial: Simbolisme,
Diri, dan Masyarakat, terj. Pipit Maizier (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), pp. 62-64.
Aneka simbol yang bersifat mitis dan mengandung norma komunal serta
kepatuhan ini mencerminkan jelas kategori sejarah tradisional-patrimonial.
5
Kategori sejarah tradisional-patrimonial juga terkandung dalam sajak ―Topeng‖
berikut ini :
―Gelombang birahi, meluap ranjang, saat tubuhmu kusentuh, dan
menyembul di bawah, tekanan jari-jariku, di bawah lengkung
bawah perutmu, basah, saat kau mengajari aku, jadi lelaki berserah,
dalam bercinta, dan kau betina purba, yang menuntun, saat kita
saling meraba, dalam bak mandi, saat, kau melukisi wajahku,
dengan busa jadi, topeng mahluk, tersiksa‖15
Selain itu, tercermin pula pada ―Pagi‖ antara lain :
―Nanap memandang, mengingat pusarmu sepeninggalanmu,
lekukan-lekukan terlalu akrab, tempatku, berlatih yoga, di
sembulan tubuhmu, saat ingin mencium, menghirup dan haus, uap
pagi tubuhmu, menusuk terlalu, dan aku gagal merengkuh,
punggungmu biar tak terjatuh, di bahumu murni, lalu lehermu,
kugigit, putting payudaramu, betis alis paha, kupu-kupu
berterbangan, di kosong ranjang, sepeningalmu—detik nafsu
tercurah, di liang pusarmu, sedang pandangmu nanap, terlalu asyik
menduga, kedalaman lubuk perutku.‖16
Sementara itu, sajak yang termasuk kategori sejarah kapitalis seperti
misalnya berjudul ―Perjalanan Malam‖ berikut ini :
15 Peristiwa ―bercinta‖ tidak semata merujuk pada hubungan badaniah,
tetapi penyatuan unsur inti yang melahirkan kehidupan, seperti penyatuan lingga
dan yoni, konsep Yin dan Yang, dan simbol mistis dan spiritualisme lainnya
dalam berbagai keyakinan. Gede Prama, ‖Kidung Kasih Sayang,‖
gedeprama.blogdetik.com/2014/03/21/happines-jou-bliss/diakses pada 13 Juli
2015 pukul 12.45 Wita.
16 Sitor Situmorang beberapa kali menulis sajak dengan menyebut kata
―tantra‖ baik saat menulis tentang Borobudur (Budha) maupun ketika melakukan
lawatan di Bali (Hindu). Dalam Budha, tantra mengacu kepada upaya mencari
kesejatian diri, energi yin dan yang. Dalam agama Hindu, ajaran tantra merupakan
simbol dan filosofi yang mengakar pada pemujaan terhadap penyatuan kekuatan
Dewa Shiwa dan Dewi Shakti yang menciptakan kekuatan luar biasa (kundalini),
baca : Arrayanov, ―Sex Ala Tantra,‖ m.kompasiana.com/diakses pada 1 Mei 2015,
pukul 21.00 Wita. Dalam bahasa Gede Prama, disebutkan bahwa tantra ditandai
oleh langkah awal untuk keluar dari segala bentuk dualitas. Ajaran tantra yang
dalam prakteknya juga terkadang dibarengi dengan aktivitas seksual sebagai cara
meraih pengalaman rohani ini. Lihat Gede Prama, ―Genta Shiva-Buddha,‖
gedeprama.blogdetik.com/diakses pada 1 Mei 2015 pukul 22.00 Wita. Ajaran
Tantra tecermin dalam sajak ―Pagi‖ yang secara eksplisit menyebut istilah ―yoga‖
dalam kiasan-kiasan yang mengandung seksualitas.
6
―Di jalan pendek lagi sempit ini, kutahu masih ada teater kecil tua,
Theatre de la Huchette yang serba mini, simpanan suasana abad
tengah juga. Di ujung sananya ada pula, Toko buku Shakespeare,
persinggahan dulu, pusat loak sastra dunia di usia menggebu,
khayal muda boheme serba bebas dan bahagia. Dunia abad tengah
mahasiswa Paris, Quartier Latin seniman abad sembilan belas jaya,
di pinggir Montparnasse St. Germain des Pres, menjelang akhir
abad 20 pula, Saat diri adalah Van Gogh, Gauguin, Picasso,
sekalian Rimbaud, Lautrec, Baudelaire, Ionesco, ya, terlebih
Shakespeare, si-pujangga Inggeris, –gaung suaranya– sambil
mimpi: The World is a Stage dan Diri, sekalian penonton, tapi
terlebih pelaku memerlang, di panggung percintaan sehari-hari, di
jantung Paris abadi –panggung musimsemi– , tidur di siang –
berangkat petang.‖ 17
Selain yang sudah disebutkan di atas, sajak yang mengandung kategori sejarah
kapitalis yaitu ―Lagu Jembatan Kota Paris‖ :
―36 jembatan di kota ini. Namun, belum semuanya kulintasi. Dari
jembatan Bir Hakeim, kulayangkan pandang ke hulu. Lewat
bentangan Seine di bawah, dan kapal-kapal pesiar, hilir-mudik di
arus, lewat puncak pepohonan Tuileries, dan atap-atap Louvre,
putih menjulang, kubah-kubah Sacre Coeur, Di belakangku (ke
arah hilir), masih menanti, jembatan Mirabeau, 36 jembatan kota
ini. Belum, semuanya sempat kulintasi. Di air sungai di bawah,
berdesah, lagu Apollinaire, sepanjang musim-musim, kenangan
cinta‖18
Adapun pertumpang-tindihan kategori sejarah tradisional-patrimonial dan
kapitalis tercermin dalam sajak ―Chartres Revisited‖:
―Adakah cahaya mistik kaca berwarna jendelanya, akan bersinar
tercurah kembali dalam matabatin, seperti dulu 45 tahun lalu?
Ketika bersama kekasihku berdua ziarah ke mari? Ia telah lama
tiada, mati, akupun sudah uzur, menderita katarak mata rongrongan
usia tua. Kumasuki ruang katedral remang-remang, (sehari sesudah
Perayaan Kebangkitan Kristus), terlebih buram akibat mata rabun.
Bahana musik organ menyambut, berbaur baru kemenyan dibakar,
17 Sajak ini tergolong dalam kategori sejarah kapitalis karena mengandung
simbol realis dan norma individualis, lihat saja pada penggunaan aneka nama
tempat dan nama tokoh yang memang ada dalam realita.
18 Sajak “Lagu Jembatan Kota Paris‖ juga mencantumkan berbagai nama
jembatan, tempat, tokoh yang memang nyata ada (riil) sehingga termasuk dalam
kategori sejarah kapitalis.
7
dan cahaya ratusan lilin. Perayaan komuni sedang dipersiapkan,
Kuresapkan kekhidmatan peziarah, di antara turis mancanegara.
Suara organ lenyap mendadak, Aku pun menengadah, mengangkat
pandang, tertadah ke bubungan atap katedral, berharap memandang
keajaiban cahaya, warna-warni gambar kisah Injil, tercurah, bakal
melimpahruah dalam mata,Yang nampak keburaman semata, sejuta
pecahan cahaya silau di selaputmata! Kulupa menderita katarak
usia tua! Kepalaku kutundukkan menatap, membiasakan pandang
pada cahaya lilin, Kubeli satu. Kunyalakan, atas nama kekasihku
yang sudah mati, dan keyakinannya sebagai pemeluk teguh, atas
nama kepasrahan usia tua, sejenak bahagia mengenang, cahaya
melimpahruah, pernah tercurah, pada selaput mataku, kini
tersimpan, dalam matabatin terdalam, bersama sinar wajah
pemeluk teguh, kekasih yang sudah lama mati.‖19
Lihat pula sajak ―Cimetiere de Passy‖ ini :
―dua gadis, lewat bercanda, di rue Augereau… gambar masa
depan, dan jalan Paris masa lalu, Lewat Champ de Mars,
menyeberangi Pondt d‘Lena, nanti, dari pelataran Trocadero,
kulayangkan pandang, menatap arus Seine, dan puncak Tour Eiffel,
(dua gadis rue Augereau, kubayangkan menyatu dengan musim),
aku naik ke bukit Passy, menyeberangi taman patung Marsekal
Foch, masuk di suasana pekuburan, tua dan sesak, namun tempat
terindah, meresapkan Sepi, berpadunya kesadaran Mati, dan Hidup
gemuruh, di jantung kota Paris, seperti ziarah setiap kali, pada saat
akan pergi, dan setiap kali datang kembali, -sekalipun hanya dalam
kenangan-, kini terpatri gambar, dua gadis, lewat di rue Augereau,
dalam balutan semesta, bisikan kenangan cinta, yang terukir
dalam-dalam, di akar pepohonan gundul, di antara makam-
makam.‖ 20
Sajak ―Tari Sembah (Pergelaran Tari Pakarena di Balla Lampoa, Istana
Raja Goa, Sulawesi Selatan)‖ berikut juga mengetengahkan pertumpang-tindihan
kategori sejarah tradisional-patrimonial dan kapitalis :
19 Berbagai istilah kekristenan yang dimuat dalam sajak ini adalah salah
satu indikator kategori sejarah tradisional-patrimonial dengan norma mitis dan
komunal serta kepatuhan. Kategori sejarah kapitalis ditunjukkan dengan Chartres,
sebuah katedral di Perancis, yang menjadi latar tempat dari sajak ini.
20 Dalam ―Cimetiere de Passy‖ pun bertebaran nama-nama benda dan
lokasi yang dapat ditemukan dalam kehidupan nyata. Simbol mitis dapat ditelisik
dari tema sajak yang membahas tentang absurditas hidup manusia, sebuah
pertanyaan yang terkait konsep sangkan paraning dumadi (darimana asal dan
akan kemana manusia setelah tiada).
8
―Diiringi suara serunai dan, genderang tabuhan dua kendang besar,
sosok perempuan penari tua muncul, dalam temaram panggung-
tari pakarena akan mulai- halus dan lamban- dalam irama, bahasa
tari purba mencari hubungan, dengan dunia atas dewa-dewa.
Seperti perahu di atas gelora samudra, tubuh sang penari mengalun
tenang, - didukung tabuhan seperti di medan perang, gerak
tubuhnya memancarkan roh upacara, penghayatan ulang karya-
karya gaib sejarah, para dewa dan para leluhur di dunia sana,
Sesuatu alur puisi naskah La Galigo, tubuh penari menjelma jadi
perahu rohani, melintasi bentangan angkasa demi angkasa, jadi
tumpangan kita sebagai pelaut-pelaut, samudra batin, berlayar
mencapai pantai hikmah, berhadapan muka dengan muka, dengan
wajah asal-muasal semesta alam, menyampaikan sembah tarian
bumi.‖21
Di sisi lain, sajak yang termasuk dalam pertumpang-tindihan kategori
sejarah kapitalis dan teknokratis terlihat pada ―Bicara tentang Buruh, Bicara
tentang Marsinah‖:
―Bicara tentang buruh, kita mengenang Marsinah : Mengenang
keteladanannya, mengabdi, Kemudian berkorban nyawa, Marsinah
kita kenang, sebaik murid hal ajaran, azaz perikemanusiaan
keadilan, harkat serta martabat buruh, jadi sokoguru masyarakat
berdemokrasi, dalam wujud negara R.I.-45, poros semangat
berdikari sekalian pelopor, barisan pendukung emansipasi
peradaban, maju sebagai pelaku dan teladan gerakan, pembaharuan
masyarakat meninggalkan kekolotan, menggalang setiakawan
dengan segenap, pejuang demokrasi di seantero bumi, siap
menghadapi tantangan perjuangan, mengakhiri sistem dan
kekuasaan, yang masih belum sedia melepaskan prinsip:
penghisapan manusia atas manusia!‖22
21 Sitor menulis sajak ini saat berada di Goa, Sulawesi Selatan. Ia mencipta
―Tari Sembah‖ dari pengalaman konkret yang dilaluinya dalam sebuah ziarah di
buan April tahun 2002. Kategori tradisional-patrimonial terasa langsung ketika
melihat lokasi pertunjukan tari yakni di Istana Raja Goa dan ungkapan yang
menunjukkan mistisisme Tari Pakarena itu sendiri antara lain dengan penyebutan
―dewa-dewa,‖ ―gaib,‖ ―leluhur,‖ dan sebagainya.
22 Marsinah adalah seorang pejuang buruh yang pada tahun 1993 berunjuk
rasa menuntut peningkatan kesejahteraan buruh di PT CPS, Jawa Timur, yang
tewas karena disiksa. Marsinah memperoleh penghargaan Yap Thiam Hien pada
tahun yang sama dan menjadi simbol perjuangan kaum buruh. Namun pembunuh
Marsinah yang sebenarnya belum dihukum sampai sekarang. Sumber : Yus
Ariyanto, ―Marsinah, 21 Tahun Berlalu dan Pembunuhnya Belum Dihukum,‖
9
Pertumpang-tindihan tersebut tampak pula dalam ―Sebuah Catatan dari Jonggol‖
di bawah ini:
― Kucatat sebuah tamasya musim panen, di tanah Priangan, di
tengah asap jerami, berlatar persawahan warna padi keemasan, jadi
panggung impian wadah kenangan, di timur bukit-bukit dan hutan
hijau, berkibar sebarisan umbul-umbul warna-warni, Di bawahnya
nampak rombongan TV dari kota, sibuk, Mempersiapkan ajang
bagi panggung sebuah skenario, Tiba-tiba seorang perempuan
muda lagi cantik, (mirip selebriti sinetron) di depanku, lewat
agaknya mengejar gilirannya tampil, (sebagai kekasih dalam kisah
musim panen?) Mata bertemu mata. Sekejap saja, (akrabnya),
Ditimpa suara orang memanggil namanya: Tjandra!, Gemanya
bening mengiang di bukit-bukit sana, bersambut pula dalam hati
bersama khayal: (tentu saja di luar skenario asli) Betapa mudah :
dengan gaung namanya menuliskan skenario baru, sebuah skenario
tandingan: dengan judul: Kisah dadakan cinta di Jonggol, di sore
keemasan di musim panen.‖23
m.liputan6.com/diakses pada 1 Mei 2015 pukul 22.45 Wita. Sajak Sitor di atas
juga berisikan protes sosialnya, usaha untuk menawarkan suatu kesadaran
kemanusiaan, keadilan hukum, sosial, politik bagi pembaca. Upaya semacam ini
merupakan ciri kategori sejarah teknokratis dengan simbol pseudorealis dan
norma modifikasi perilaku.
23 Fenomena perampasan tanah petani sekitar tahun 1998-an yang
melibatkan intervensi negara dan tak jarang juga militer yang terjadi di sejumlah
tempat di Indonesia, juga berlangsung di daerah di Jonggol, Jawa Barat. Sumber :
Daniel Mangoting, ―Pertanahan Indonesia 1998: Terampasnya Alat Produksi Vital
Petani,‖ Wacana No.15 (edisi khusus) Januari-Pebruari 1999, pp. 4-6. Akibatnya,
petani Jonggol hidup dari mengerjakan tanah yang bukan miliknya. Oleh Sitor,
kenyataan ini diolah menjadi sebentuk sajak yang bernada ironi dan parodi. Sitor
membangun pseudorealis tentang ―musim panen,‖ ―warna padi keemasan‖ yang
―jadi panggung impian‖ dan ―wadah kenangan.‖ Kedatangan ―orang kota‖ dengan
―rombongan tv‖ hanya ―mempersiapkan ajang bagi pangggung sebuah skenario.‖
Masyarakat Jonggol juga menjual tanah mereka pada orang Jakarta (sumber: Mul,
Boy, Ira, Lom, ―Jonggol Terlalu Lama Terkungkung,‖ Kompas (PIKNet), 23
Desember 1996, p. 1). Para ―orang kota‖ ini menjanjikan perbaikan kesejahteraan
rakyat Jonggol dengan berbagai proyek pembangunan yang sebatas ―skenario‖
belaka. Salah satunya adalah pembangunan Jonggol sebagai Kota Mandiri oleh PT
Bukit Jonggol Asri yang sahamnya dimiliki Bambang Trihatmodjo, putra Presiden
Suharto yang mangkrak seiring krisis moneter dan lengsernya Orde Baru 1998).
Bahkan rencana pengembangan kawasan Jonggol tersebut melahirkan Keppres
nomor 1 tahun 1997. Jonggol juga sempat diwacanakan menjadi ibukota
pemerintahan Republik Indonesia pada masa Orde Baru, selengkapnya baca
―Jonggol Alternatif Pusat Pemerintahan RI (3),‖ intelijen.co.id/ diakses pada 1
10
Lihat pula sajak ―Sandi Digital‖ berikut :
―Suaranya bening, gairah rindu, membaca sajak, lewat telpon,
pesan lugu, sekaligus tertutup, dalam sandi semiotika melulurkan
batas, antara Penanda, dan yang Ditandai, hanyut banjir,
metabahasa tanpa kata, ingin berita, sepatah, sepatah kata saja.‖24
Pertumpang-tindihan tiga kategori sejarah sekaligus, yakni tradisional-
patrimonial dan kapitalis serta teknokratis, dapat disimak dalam sajak ―Missa
Requiem di Siaran TV‖:
― Dua upacara di TV kuamati sekaligus, Satu : Upacara kenegaraan
untuk bekas Presiden Perancis, Francois Mitterand yang
meninggal, diterbangkan, jenazahnya, secara kemiliteran untuk
dimakamkan di selatan di desa kelahirannya. Dua : Perayaan Missa
Requiem, di katedral Notre Dame de Paris, dipimpin oleh kardinal,
dihadiri Presiden dan kepala-kepala negara, Sementara jenazah
diterbangkan ke tujuan, untuk dimakamkan di desa, di makam
keluarga, ditayangkan silih berganti oleh TV, sambil kuamati,
duduk seorang diri, bertanya, ke mana orang mati pergi, nanti. Aku
lupa layar TV yang kuhadapi, lupa Presiden yang mati, lupa
penggantinya yang duduk di dalam katedral, lupa kemegahan
protokol kepala-kepala negara, yang hadir menghormati, lupa suara
kardinal, gerak-gerik pelayan Missa, lupa warna pakaian mereka,
Hanyut, sadar, tenggelam, dalam bentangan ruang tak ada ujung,
gema nyanyian Gregorian, dari dunia orang mati-, menyanyikan
kebangkitannya, kelak, bangkit dari Mati serupa Kristus, dalam
Mei 2015 pukul 23.56 Wita. ―Sebuah Catatan dari Jonggol‖ selain
memperlihatkan kategori sejarah kapitalis, juga merupakan cermin sajak
berkategori sejarah teknokratis yang menyatakan kekecewaan dengan realisme
dan menjadikan proses simbolis sebagai usaha social engineering.
24 ―Sandi Digital‖ kritik atau protes Sitor Situmorang terhadap
kecanggihan teknologi media dan pencitraan, baik audio, visual, maupun
audiovisual, yang tak jarang menghadirkan rekayasa. Dalam sebuah artikel yang
dimuat koran Kompas, Warih Wisatsana menyatakan media tersebut di atas tak
ayal menyuguhkan realitas imajiner, dunia rekaan yang seakan-akan lebih nyata
dari kenyataan yang sebenarnya. Lihat: Warih Wisatsana, ‖Ilusi Globalisasi:
Mantra Visual dan Mimikri,‖ Kompas, 21 Februari 2010, p. 20. Dari uraian ini,
jelas bahwa ―Sandi Digital‖ adalah perpaduan antara kategori sejarah kapitalis dan
teknokratis.
11
jasad kekal-Nya, Nanti – di Ujung Zaman, Sementara Diri, lebur
dalam alunan, nyanyian Gregorian.‖ 25
Pertumpang-tindihan serupa juga tampak pada sajak ―Lagu Lautan Nusantara
(berita ziarah, Agustus 1999, di pingir Danau Toba, di tengah kemelut sejarah
bangsa)‖ :
―Di lembah menghadap teluk ini, berulang kali kita masih, akan
datang- juga berharap pulang, bil aumur panjang, kini aku ziarah,
masuk alam suratan takdir, di bayangan gunung-gunung berapi,
yang membentengi dataran tinggi, danau-danau dan tanah datar,
pesisir tanahair, datang untuk sujud, berulang mendengar kisah-
kisah, di desir sawah ladang dan, gelora sungai-sungainya,
menyusu, pada sejarah Ibu Pertiwi, pilihan dan karunia, dari antara
alam enam benua, -Nusantara kita! – Kini dalam bahaya! Kancah
nasib-peruntungan, keturunan demi keturunan, dititipi panggilan
hidup, dalam gema nyanyian, peredaran bulan dan matahari,
Terbentuknya negara-bangsa, pada 17 Agustus 1945! pemikul
tugas pencipta, pewaris nilai peradaban baru, berinti cinta tanah air
tunggal! pusaka kelahiran di setiap dusun dari Sabang sampai
Merauke, di lembah di pegunungan, sepanjang setiap sungai,
sekujur pantai seluruh Nusantara, dalam ayunan irama pasangsurut,
samudra sejarah, demi hukum ber-Tanah Air, demi karunia Maha
Pencipta! Sepanjang masa!‖26
25 Kategori sejarah tradisional terlihat pada penggunaan istilah ―missa,‖
―nyanyian Gregorian,‖ latar situasi di ―katedral Notre Dame de Paris‖ yang
menunjukkan simbol mitis serta norma komunal dan kepatuhan. Kategori sejarah
kapitalis bertebaran dalam sajak ini, salah satunya tampak ketika Sitor
menyinggung peristiwa pemakaman mantan Presiden Perancis, Franscois
Mitterand. Kategori sejarah teknokratis terasa dalam bait ―menyanyikan
kebangkitannya, kelak, bangkit dari Mati, serupa Kristus, dalam jasad kekal-Nya.‖
Mitterand adalah presiden beraliran sosialisme pertama di Perancis. Melalui sajak
ini, Sitor menyuarakan harapan dan dukungannya terhadap sosialisme.
26 Terminologi ―takdir‖ dan ―sujud‖ yang muncul dalam sajak ini
menunjukkan simbol dan norma dalam kategori sejarah tradisional-patrimonial.
Simbol dan norma kategori sejarah kapitalis dalam ―Lagu Lautan Nusantara‖
dapat dibuktikan dari berbagai hal, salah satunya penyebutan tanggal
kemerdekaan Indonesia, penulisan sajak yang dilakukan pada Agustus 1999 dan
ditujukan kepada tokoh Gus Dur. ―Nusantara kita! Kini dalam bahaya!‖ adalah
seruan sekaligus ajakan kepada pembaca yang sarat norma modifikasi perilaku
dalam kategori sejarah teknokratis.
12
Selain itu, terdapat pula sajak ―Eksil‖ yang merangkum ketiga kategori sejarah
tersebut, simak saja berikut ini :
―Di alam kata-kata tak terucap, kami menjemput tanah, kami
menghirup air purba, negeri kelahiran, Kami berkumpul,
berdatangan dari diaspora Eropa, bersatu di tanah, dan air
kenangan, Kesempatan bertemu lagi, mengantar seorang teman,
Kami kuburkan di tanah orang, Merayakan setiakawan,
persahabatan, kekal karena, dan dalam, matinya, menyatu dengan,
cinta dan rindu, tanah airnya. Nusantara abadi!‖27
Berdasarkan uraian tersebut di atas, terlihat sebuah permasalahan yang menarik
untuk dibahas, yakni sajak bertema apapun yang digarap Sitor pada era reformasi
bila dilihat dengan memakai metodologi analisis sosio-historik dari Kuntowijoyo
selalu menunjukkan adanya pertumpang-tindihan kategori sejarah.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Permasalahan tersebut di atas memperlihatkan adanya korelasi sebab
akibat antara terjadinya pertumpang-tindihan kategori sejarah dalam sajak Sitor
Situmorang di era Reformasi dengan cara-caranya mengolah dasar struktur.
Korelasi sebab-akibat tersebut baru sebatas asumsi atau landasan berpikir yang
27 Sajak ―Eksil‖ ditujukan kepada Budiman Sudharsono, seorang tokoh
eksil yang pergi ke Perancis pada masa Orde Baru. Ini adalah bukti kategori
sejarah kapitalis. Ziarah Sitor ke makamnya pada 1999 adalah wujud
perenungannya pasca lengsernya Orde Baru tahun 1998. Kontemplasi sekaligus
pernyataan tentang nasib eksil yang walau tersisihkan ke tanah orang namun tetap
cinta pada tanah airnya sendiri. Ini merupakan cerminan kategori sejarah
teknokratis. Konsep hidup yang kekal atau kehidupan setelah kematian seperti
dikenal dalam ajaran Kristen tersirat dalam sajak ini dan memperlihatkan kategori
sejarah tradisional-patrimonial. Tentang konsep hidup kekal, baca : jlwijaya,
―Hidup Kekal Diperoleh Akan Datang dan Juga Sekarang,‖
sabdaspace.org/node/10652, diakses pada 2 Mei 2015 pukul 09.00 Wita.
13
kebenarannya masih harus diuji dengan pembuktian-pembuktian melalui
penelitian sejarah. Formulasi permasalahan tersebut di atas akan dijabarkan
melalui tiga pertanyaan penelitian, yaitu :
1. Bagaimana ragam pemikiran Sitor Situmorang dalam sajak-sajaknya di
era reformasi?
2. Bagaimana wujud pertumpang-tindihan kategori sejarah dalam sajak-
sajak Sitor Situmorang di era reformasi?
3. Mengapa terjadi pertumpang-tindihan kategori sejarah pada sajak-sajak
Sitor Situmorang di era reformasi?
Dari pertanyaan penelitian di atas terdapat sub-sub pertanyaan yang akan dijawab
menurut pemikiran sejarah pascastrukturalisme, antara lain : apakah ada
keterputusan (discontinuity), patahan (rupture), kontingensi dan kebetulan
(chance) di dalam sajak-sajak Sitor?28
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini antara lain :
1. Mengetahui pemikiran-pemikiran yang terdapat dalam sajak-sajak Sitor
Situmorang.
28 Kaum pascastrukturalis mengganti tahapan-tahapan historis dalam
sejarah seperti feodalisme, kapitalisme (yang digunakan oleh kaum strukturalis)
menjadi : keterputusan, patahan, kontingensi, dan kebetulan dalam pembentukan
dinamika kultural dan institusional. Alexander Aur, ―Pascastrukturalisme Michel
Foucault dan Gerbang Menuju Dialog Antarperadaban,‖ dalam Mudji Sutrisno
dan Hendar Putranto (eds.), Teori-Teori Kebudayaan (Yogyakarta : Penerbit
Kanisius, 2005), p. 149.
14
2. Mengetahui wujud pertumpang-tindihan kategori sejarah dalam sajak-
sajak Sitor Situmorang pada era reformasi.
3. Mengetahui penyebab terjadinya pertumpang-tindihan kategori sejarah
pada sajak-sajak Sitor Situmorang di era reformasi.
1.4. Manfaat Penelitian
Kegunaan penelitian ini antara lain :
1. Menambah daftar penelitian tentang Sitor Situmorang sebagai seorang
sastrawan dan intelektual.
2. Memperdalam pemahaman publik terhadap pemikiran Sitor Situmorang.
3. Meyakinkan sejarawan untuk tidak ragu-ragu menggunakan pendekatan
kategori sejarah dan semesta simbolis Kuntowijoyo dalam penelitiannya.
4. Sebagai salah satu referensi untuk memahami sekaligus menegaskan peran
karya sastra khususnya sajak sebagai sumber sejarah.
1.5. Tinjauan Pustaka
Sampai saat ini telah ditemukan 605 sajak Sitor Situmorang yang
dirangkum oleh sejarawan J.J. Rizal dalam dua jilid buku. Buku pertama yakni
Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1948 – 1979. Di dalamnya tidak hanya
berisikan sajak-sajak Sitor melainkan juga ulasan tentang sosok serta kepenyairan
Sitor Situmorang oleh Ajip Rosidi dan J.J. Rizal. Ajip menyatakan bahwa bagi
Sitor menulis sajak seperti menulis catatan harian yang memberikan ruang bagi
15
siapapun untuk mengikuti perjalanan hidupnya.29
Ajip menguraikan perihal profil
kepenyairan Sitor Situmorang dari awal tahun 1948 hingga tahun 2000-an.30
Sementara J.J. Rizal sendiri, dalam buku tersebut, mendedah alasan di
balik pengumpulan dan penyusunan kumpulan sajak-sajak Sitor Situmorang
antara lain :
―…perlu sebuah buku kumpulan sajak-sajak Sitor selengkap-
lengkapnya, baik yang sudah dikenal maupun yang terlupakan atau
tersingkirkan dalam waktu yang lalu, yang lebih mengutamakan
segi dokumentasi secara kronologis dan dapat pula berfungsi
sebagai semacam bibliografi, dari sejak masa awal kepenyairannya
di tahun 1948 sampai masa yang paling belakangan ini. Buku yang
akan memungkinkan peneliti dan pembacanya dapat melihat
evolusi kepenyairannya, sehingga dapat lebih utuh memahami
Sitor dan karya-karyanya serta sejarahnya.‖31
Rizal melengkapi tulisan pertangunggjawabannya itu dengan menguraikan proses
pengurutan sajak-sajak Sitor secara kronologis berikut dasar-dasar pertimbangan
yang digunakannya. Penjelasan tersebut penting sebagai dasar dalam penelitian
sejarah ini. Rizal juga membuat klasifikasi sajak Sitor berdasarkan lima periode
kepenyairan yang ia rumuskan.32
Buku kedua yaitu Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1980 – 2005 dengan
pengantar dari E. Ulrich Kratz. Dalam pengantar yang ditulisnya, professor dari
SOAS, London, ini menyebutkan adanya hubungan antara dunia pemikiran,
29 J.J. Rizal (ed.), op.cit, p. xix.
30 Ibid., pp. xix-xxv.
31 Ibid., pp. xxix-xxx.
32 Rizal pun mengungkapkan, Sitor senantiasa menulis sajak dari
kehidupan nyatanya. Sejak karya pertamanya, Sitor menunjukkan bahwa dia
bukan penyair yang mengasingkan diri dari kehidupan nyata di sekelilingnya. Ia
adalah sosok yang intens mendalami budaya ibunya dan budaya global serta
menjadi pelaku dalam berbagai zaman. Lihat : Ibid., pp. xxviii-xxxviii.
16
perasaan dan pengalaman Sitor dengan sajak-sajaknya.33
Kratz juga menyinggung
bahwa pengerjaan kumpulan sajak Sitor oleh J.J. Rizal ini turut melibatkan Sitor
dalam pemeriksaan dan persiapan naskahnya:34
Pada bagian akhir buku, J.J. Rizal
mencantumkan tahun penciptaan sajak-sajak tersebut berikut judul buku atau
koran yang memuat karya Sitor, serta sumber-sumber lainnya.35
Berbagai
keterangan tersebut semakin menguatkan kredibilitas kedua buku di atas sebagai
sumber primer untuk penelitian sejarah ini. Belum ada buku lain yang
menyuguhkan karya-karya terlengkap sajak-sajak Sitor Situmorang.
Buku selanjutnya adalah otobiografi Sitor Situmorang yakni Sitor
Situmorang : Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba yang ditulis sendiri
olehnya. Otobiografi ini menuturkan riwayat hidup Sitor dari masa kecilnya
hingga tahun 1977. Sitor menuturkan perjalanan hidupnya melalui sembilan bab,
antara lain : ―Silsilah Si Ulubalang Soba,‖ ―Dari Harianboho ke Batavia,‖ ―Masa
Remaja,‖ ―Perang Dunia Kedua,‖ ―Asia Tenggara Diduduki Jepang,‖ ―Revolusi,‖
―Yogyakarta Ibu Kota Republik,‖ ―Konvoi di Tengah Sawah,‖ dan ―Tahun-Tahun
Pengembaraan,‖ serta sebuah epilog yaitu berupa dokumentasi ritual adat atau
ruwatan yang diikuti Sitor di Pusuk Buhit.36
Buku ini secara khusus telah diulas
oleh C.H. Watson. Watson menilai, membaca otobiografi tersebut selain untuk
mengetahui pergulatan Sitor dalam menelusuri identitasnya, boleh dikata
33 J.J. Rizal (ed.), Sitor Situmorang : Kumpulan Sajak 1980-2005 (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2006), p. xiii.
34 Ibid., p. xv.
35 Tidak semua sajak Sitor dapat dilacak tanggal, bulan, tahunnya secara
lengkap, ada beberapa sajak yang hanya diberi keterangan tahun saja.
36 Sitor Situmorang, Sitor Situmorang: Seorang Sastrawan 45 Penyair
Danau Toba (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), p. 8.
17
merupakan renungan mengenai dinamika yang terjadi pada bangsa Indonesia
selama 70 tahun (1930-2000).37
Otobiografi ini diperlukan untuk memperoleh
informasi perihal dasar struktur yang membentuk Sitor Situmorang.
Buku berikutnya berjudul Menimbang Sitor Situmorang. Pustaka ini
disusun oleh J.J. Rizal dengan merangkum esai-esai penting dari berbagai tokoh
nasional dan internasional yang mengulas tentang sosok dan karya Sitor
Situmorang. Karangan V.S. Naipaul, peraih hadiah Nobel di bidang Sastra tahun
2001, membuka buka ini dengan mengisahkan perjumpaannya dengan Sitor di
Jakarta dan rekonstruksi sejumlah peristiwa di masa lalu Sitor. Perihal pencarian
identitas dan ketegangan diri Sitor Situmorang dalam menghadapi dua budaya
yakni tradisional Toba dan modernitas Eropa, menjadi pokok bahasan dalam
tulisan A.H. Jons. Kajian tentang sajak-sajak Sitor yang mengangkat gagasan
eksistensialisme dan aliran simbolisme Perancis ditulis oleh sastrawan dan
budayawan terkemuka Subagio Sastrowardoyo. Terdapat pula telaah buku Toba
Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX, sebuah karya ilmiah
tentang sejarah dan budaya etnis Toba yang ditulis oleh Sitor, disusun oleh Johann
Angerler. Martina Heinshke mengaitkan pemikiran Sitor yang tercermin dalam
karya-karyanya, terutama esei, dengan konteks sosial politik yang terjadi di
Indonesia pada era pasca kolonial. Heinshke juga membedah pemikiran Sitor
terhadap Marhaenisme dan kebudayaan Indonesia. A. Teeuw dan Mohammad
Haji Saleh mengkaji sajak-sajak Sitor. Tulisan C.H. Watson tentang otobiografi
37 C.W. Watson, ―Sitor Situmorang, Dunia Penuh Ambivalensi: Renungan
Otobiografis Sitor Situmorang Mengenai Indonesia Pascapenjajahan‖ terj.
Koesalah Soebagyo Toer dalam J.J. Rizal (ed.), Menimbang Sitor Situmorang
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), p. 21.
18
Sitor juga termuat di dalamnya bersama sejumlah sajak karya penyair Indonesia
yang menjadikan Sitor sebagai tema penulisannya. Membaca buku ini adalah
upaya memahami sosok, pemikiran, dan sajak Sitor dari berbagai perspektif para
peneliti dan pemikir Indonesia maupun mancanegara.
Tiga hari setelah Sitor Situmorang meninggal pada 20 Desember 2014
lalu, J.J. Rizal kembali menulis buku tentang Sitor, kali ini bertajuk Sitor
Situmorang : Biografi Pendek 1924-2014. Rizal membahas Sitor melalui tujuh
bab, antara lain : ―Zaman Baru dan Dunia Lama,‖ ―Batavia, Penguasa Jepang dan
Revolusi di Sumatra,‖ ―Revolusi Fisik dan Revolusi Seorang Diri,‖ ―Membawa
Pulang Dunia dan Kampung Halaman,‖ ―Panglima Kebudayaan Marhaen,‖
―Lembaga Kebudayaan Nasional,‖ ―Dunia Setelah Penjara Orde Baru.‖ Rizal
menunjukkan aneka peristiwa sejarah di mana Sitor bertindak sebagai pelaku aktif
politik, penyair yang menulis sajak dari zaman ke zaman, seorang yang intens
mendalami budaya Batak, dengan wawasan keIndonesiaan yang kental dan
dipengaruhi oleh pergulatan pemikiran Barat. Biografi ini kendati sangat ringkas
adalah referensi yang penting untuk mencermati perjalanan hidup Sitor dari awal
kelahiran hingga wafatnya.
Demi mendapatkan contoh konkret perihal penelitian yang menggunakan
kerangka analisis sosio-historik dari Kuntowijoyo, dilakukan pembacaan terhadap
skripsi Jurusan Sejarah Universitas Udayana bertajuk ―Mesjid dalam Tiga Zaman:
Studi tentang Perubahan Fisik Mesjid di Bali 1860-1991‖ karya Slamat Trisila
(1997). Tulisan ini mengkaji pengaruh transformasi kondisi zaman sejak era
kerajaan, kolonial hingga masa kemerdekaan terhadap perubahan fisik mesjid di
Bali. Secara metodologis, batasan temporal dalam karya Trisila ditentukan dengan
19
menggunakan kerangka kategori sejarah. Trisila menyatakan, mesjid sebagai
wujud budaya tidak mesti dicermati berdasarkan penjumlahan kronologinya tetapi
dapat diamati dari segi evolusi artistik atau nilai budaya ekspresinya.38
Skripsi kedua, masih dari kampus yang sama, berjudul ―Bahasa dan
Sastra Betawi dalam Dimensi Sejarah : Studi Kasus Karya Sastra Firman Muntaco
1955-1993,‖ ditulis oleh Viktor P.S. Bancin. Bancin menelaah sastra Betawi yang
digubah Firman Muntaco dengan menggali dasar struktur yang memengaruhi
pengarang, super struktur yang terkandung dalam karya-karyanya serta sejauh
mana fakta dalam prosa-prosa Muntaco dapat diuji kebenarannya dalam realitas
sosial. 39
Ditemukan pula sejumlah judul skripsi yang mengulas tentang Sitor
Situmorang antara lain bertajuk ―Nasionalisme dalam karya Sajak Sitor
Situmorang pada Tahun 1966-1998,‖ karya Dosriani Damanik (2012), dari
Jurusan Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan. Damanik mengungkap
gagasan dan bentuk nasionalisme Sitor Situmorang berdasarkan sajak-sajak yang
telah ditulisnya selama kurun waktu yang telah ditetapkan serta menelisik
pengaruh penerbitan kumpulan sajak Sitor Situmorang terhadap nasionalisme
38 Slamat Trisila, ―Mesjid dalam Tiga Zaman: Studi tentang Perubahan
Fisik Mesjid di Bali 1860-1991,‖ (Skripsi S-1 Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
Universitas Udayana, 1997), p.15.
39 Viktor. P.S. Bancin, ―Bahasa dan Sastra Betawi dalam Dimensi Sejarah
: Studi Kasus Karya Sastra Firman Muntaco 1955-1993,‖ (Skripsi S-1 Jurusan
Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana, 1999), p. 13.
20
bangsa Indonesia.40
Berdasarkan temuan di internet, ditemukan informasi adanya
skripsi bertajuk ―Sitor Situmorang sebagai Penyair dan Pengarang Tjerita Pendek‖
ditulis oleh J.U. Nasution dari Universitas Indonesia.41
Skripsi ini memakai
pendekatan sastra dalam penulisannya. J.J. Rizal mengangkat Sitor Situmorang
dalam skripsi S-1 di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun
1998 dengan mengambil tajuk ―Nasionalisme di Padang Kurusetra Kebudayaan:
Biografi Politik Sitor Situmorang (1956-1967).‖42
Esei-esei dan sejumlah judul skripsi yang mengulas Sitor Situmorang
tersebut di atas tidak ada yang menggunakan metodologi analisis sosio-historik
dari Kuntowijoyo. Untuk itu, tulisan ini akan membahas karya-karya Sitor
Situmorang dengan memakai kerangka tersebut.
1.6. Metodologi Sejarah yang Digunakan
Sebelumnya, perlu diketahui terlebih dahulu tentang istilah-istilah kunci
yang digunakan dalam metodologi sosio-historik dari Kuntowijoyo. Pertama
adalah pengertian dasar struktur yang dalam penelitian ini tidak merujuk kepada
kondisi sosial dan ekonomi semata seperti kaum Marxis, tetapi juga meliputi sisi
lain yaitu :
40 Dosriani Damanik, ―Nasionalisme dalam karya Sajak Sitor Situmorang
pada Tahun 1966-1998,‖ http://digilib.unimed.ac.id/ diakses pada 17 Mei 2014
pukul 21.00 Wita.
41 J.U. Nasution, ―Sitor Situmorang sebagai Penyair dan Pengarang Tjerita
Pendek,‖ http://lontar.ui.ac.id/diakses pada 17 Mei 2014 pukul 21.15 Wita.
42 J.J. Rizal (ed.), Sitor Situmorang : Kumpulan Sajak 1980-2005, op.cit.,
p. 473.
21
―… norma (terutama hukum dan politik), modus organisasi sosial
(wujud historis struktur kelas dan lembaga-lembaga), sumber sosial
(terutama ekonomi, demografi, pendidikan, teknologi).43
Kedua adalah proses simbolis yakni :
―…kegiatan manusia dalam menciptakan makna yang merujuk
pada realitas yang lain daripada pengalaman sehari-hari. Proses
simbolis meliputi bidang-bidang agama, filsafat, seni, ilmu,
sejarah, mitos, dan bahasa.‖44
Dalam konteks penelitian ini, yang tergolong ke dalam proses simbolis
adalah penciptaaan sajak-sajak oleh Sitor Situmorang yang merupakan wujud
pemaknaan Sitor terhadap pengalaman hidupnya. Proses simbolis tidak terlepas
dari dasar struktur yang memengaruhinya. Setiap proses simbolis mengandung
superstruktur yaitu meliputi nilai, cita-cita, dan simbol ekspresif.45
Penelitian ini
menelusuri korelasi antara nilai, cita-cita, dan simbol-simbol ekspresif dalam
sajak-sajak Sitor Situmorang dengan dasar stuktur masyarakat.
George Huaco telah menyusun model dasar-superstruktur yang merupakan
pengayaan dari konsep dasar struktur Karl Marx dipadukan dengan kategori dari
Smelser yang sangat diperlukan dalam pembahasan seputar proses simbolis.
Berikut adalah model tersebut yang dikutip dari buku Kuntowijoyo, Budaya dan
Masyarakat :
Superstruktur nilai, cita-cita, simbol ekspresif
Dasar
norma (terutama hukum dan politik)
modus organisasi sosial (wujud historis struktur
kelas dan lembaga-lembaga)
sumber sosial (terutama ekonomi, demografi,
pendidikan, teknologi
Tabel 2 : Model dasar-superstruktur dari Huaco
43 Kuntowijoyo, op.cit., p. 6.
44 Ibid., p. 3.
45 Ibid., p. 6.
22
yang menjadi salah satu dasar pemikiran Kuntowijoyo46
Dasar struktur tidak dikaitkan secara langsung dengan superstruktur, melainkan
melalui jaringan yang kompleks dan langkah-langkah antara.47
Artinya, manusia
secara sadar dan tidak sadar hidup di dalam dasar struktur. Hasil interaksinya
dengan dasar struktur, dicerna dalam pikiran, dipadukan, diselaraskan dengan
sudut pandang, kebiasaaan sehari-hari, pola pikir dan orientasi ideologinya,
kemudian terpantulkan di dalam nilai, cita-cita, dan simbol-simbol ekpresif karya-
karyanya. Model ini menjadi kerangka dalam pembahasan lebih jauh perihal
kaitan antara superstruktur yang terkandung dalam sajak-sajak Sitor Situmorang
dan dasar struktur yang melingkupi Sitor.
Dalam studi ini, akan dibicarakan pelembagaan produksi dan distribusi
simbol-simbol dalam superstruktur sajak-sajak Sitor Situmorang di era Reformasi,
karena itu sangat penting menggunakan pendekatan sosiologi budaya dari
Raymond William, yang kemudian menjadi dasar metodologi analisis sosio-
historik terhadap proses simbolis ala Kuntowijoyo. Metodologi ini terdiri dari tiga
komponen pokok yaitu: lembaga-lembaga budaya, isi budaya, dan efek budaya
atau norma-norma.48
Dijelaskan bahwa :
―…lembaga budaya berkaitan dengan subjek penghasil produk
budaya, subjek yang bertugas melakukan kontrol dan bagaimana
kontrol tersebut dilakukan. Sementara itu isi budaya berhubungan
46 Ibid., p. 5.
47 Ibid., p. 4.
48 Kuntowijoyo mengutip rumusan sosiologi budaya dari Raymond
Williams. Raymond Williams adalah seorang pengamat dan kritikus kebudayaan
tersohor yang mengemukakan kompleksitas makna kebudayaan (culture), lihat
dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (eds.), op.cit., pp. 7-8. Akademisi dari
Inggris yang juga novelis ini adalah pemikir kiri yang memberi sumbangan
signifikan bagi kritik budaya dan seni Marxis.
23
dengan simbol-simbol yang diusahakan muncul dari produk
budaya dan efek budaya menanyakan konsekuensi yang diinginkan
dari proses budaya tersebut.49
Kuntowijoyo memetakan kerangka tersebut dalam tiga kategori sejarah, antara
lain : kategori sejarah tradisional-patrimonial, kategori sejarah kapitalis, dan
kategori sejarah teknokratis. Berikut adalah tabel yang menerangkan kerangka
berpikir di atas:
Kategori
Sejarah
Proses Simbolis
Lembaga Simbol Norma
tradisional
patrimonial
masyarakat abdi dalem
raja
perintah
mitis
mitis
komunal
kepatuhan
kapitalis profesional
pasar
penawaran
Realis individualis
teknokratis profesional
negara
pesanan
pseudorealis modifikasi
perilaku
Tabel 2 : Rekonstruksi sejarah proses simbolis di Indonesia
yang dibuat oleh Kuntowijoyo50
Tabel di atas menunjukkan klasifikasi proses simbolis yang terjadi dalam
tiga kategori sejarah. Bertolak dari rumusan Williams, Kuntowijoyo menjelaskan
tabel tersebut di atas sebagai berikut : dalam kategori sejarah tradisional dan
patrimonial, penghasil produk budaya yang sekaligus melakukan pengontrolan
adalah raja bersama masyarakat abdi dalem melalui mekanisme perintah. Perintah
diturunkan kepada seluruh rakyat dengan dibungkus simbol-simbol yang bersifat
49 Kuntowijoyo, loc.cit.
50 Ibid.
24
mitis untuk dijalankan sebagai ketentuan hidup bersama demi mewujudkan cita-
cita egalitarian dan kepatuhan.51
Ketika sajak Sitor Situmorang berada dalam
kategori sejarah tradisional-patrimonial, akan tampak unsur-unsur mitis seperti
halnya dikenal dalam kisah-kisah mite, tabu, tradisi lisan, serta kisah-kisah dalam
ajaran agama.
Pada kategori sejarah kapitalis, produk budaya dibentuk oleh kalangan
profesional dan atau pasar melalui cara-cara yang bersifat penawaran, bukan lagi
perintah mutlak seperti kategori tradisional-patrimonial. Produk budaya yang
dihasilkan bersifat realis atau ―betoel soedah kedjadian‖ yang sarat dengan nilai-
nilai individualisme. Sajak Sitor Situmorang yang ditulis berdasarkan kenyataan
yang dialaminya, hal yang ada atau terjadi di sekitarnya, serta mengangkat
peristiwa historis tertentu tergolong dalam kategori sejarah kapitalis.
Dalam kategori sejarah teknokratis, para subjek pencipta dan pengontrol
produk budaya (profesional dan negara) berusaha untuk menjadikan proses
simbolis sebagai cara untuk mengubah perilaku masyarakat atau social
engineering.52
Pada kategori ini pula, dilakukan usaha-usaha untuk menyatakan
kekecewaan terhadap realisme atau perlawanan melalui produk budaya yang
bercirikan pseudorealis, realitas semu. Sebagai seorang intelektual, Sitor
Situmorang juga menyatakan pemikiran dan menyuarakan protes sosial melalui
sajak-sajaknya. Adapun contoh-contoh sajak yang termasuk dalam seluruh
kategori di atas telah disebutkan sebelumnya di bagian latar belakang.
51 Ibid., p. 7
52 Ibid.
25
Pertumpang-tindihan kategori-kategori sejarah tersebut akan ditelaah
dengan berangkat dari sajak-sajak Sitor terkini, yakni selama masa Reformasi,
untuk kemudian dilacak jejak-jejaknya di masa lampau. Cara penulisan seperti ini
juga dilakukan oleh Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya.
Jilid 1, 2, 3. yang melakukan pembalikan urutan dengan penjelasan dimulai dari
waktu yang paling dekat.53
Metode penulisan ini, seperti disebutkan I Nyoman
Wijaya dalam disertasinya, merupakan anjuran sejarawan James Vernon dalam
merespon serangan akademik dari kaum pascamodernisme54
yang sejak 1980-an
memandang bahwa:
―…tulisan sejarah hanya sebuah wacana. Mereka menyerang
pandangan sejarah ilmiah yang ditulis berdasarkan sumber primer.
Pertanyaan mereka bukan apa itu sejarah, melainkan apakah
mungkin sejarawan menyusun sejarah secara utuh. Dalam upaya
menghadapi serangan itu, James Vernon menganjurkan supaya
sejarawan mengerjakan sejarah intelektual zaman mereka sendiri,
yaitu sejarah yang berdasarkan ide-ide.‖55
Adapun kritik kaum pascamodernisme tertuju kepada keyakinan para
sejarawan strukturalis yang memandang bahwa penggunaan sumber-sumber
53 Jilid satu buku ini berbicara tentang Pembaratan, sementara jilid dua
perihal Islamisasi, dan jilid tiga tentang Indianisasi. Kuntowijoyo mengatakan
pembalikan semacam ini seperti teknik flash back dalam sinema. Penjelasan
lengkap lihat Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation)
(Yogyakarta : Tiara Wacana, 2008), pp. 28-30.
54 Pengertian pascamodernisme dapat dipahami atas tiga konstruksi, antara
lain : (a) zaman, (b) gaya dan (c) filsafat. Karya ilmiah ini merujuk kepada
definisi pascamodernisme sebagai suatu filsafat. Sebagai filsafat,
pascamodernisme mencakup pemikiran pascastrukturalisme, dekonstruksi,
multikulturalisme, neo-relativisme, neo-marxisme, dan kajian-kajian gender.
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah (Yogyakarta : Ombak, 2007), pp. 335-
336.
55 Pandangan James Vernon ini dikutip dalam I Nyoman Wijaya
―Mencintai Diri Sendiri : Gerakan Ajeg Bali dalam Sejarah Kebudayaan Bali
1910-2007,‖ (Disertasi S-3 Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada, 2009), p.18.
26
primer yang sezaman dengan suatu peristiwa sejarah di masa lampau adalah cara
terkuat yang dapat dilakukan untuk mendekati kebenaran sejarah terkait.56
Keyakinan tersebut disangsikan oleh kaum pascastrukturalis lantaran rekonstruksi
sejarawan strukturalis yang kendati pun sudah menggunakan perangkat
metodologis, namun kerap mengandung bias, berat sebelah, baik karena
prasangka dan relativisme sejarah serta kepentingan personal seperti ideologi,
sehingga memengaruhi usaha penelusuran kebenaran sejarah.57
Pemikiran pascamodernisme mengkritik pola-pola umum yang digunakan
oleh sejarawan yang menganggap bahwa sejarah dan masyarakat berkembang ke
arah yang lebih baik dan semakin maju dari waktu ke waktu dalam proses yang
linear.58
―Sejarah sebagai suatu narasi besar diperlihatkan melalui peristiwa
dan tokoh besar dengan mendokumentasikan asal-usul kejadian,
menganalisis genealogi, lalu membangun dan mempertahankan
singularitas peristiwa, memilih peristiwa yang dianggap
spektakuler, seperti perang, serta mengabaikan peristiwa yang
bersifat lokal dan tanpa kekerasan, misalnya kehidupan di
pedesaan.‖59
Kaum pascastrukturalis menolak adanya konsep emansipasi dan kemajuan (the
idea of progress), mereka memandang bahwa pada hakikatnya sejarah bersifat
kacau (chaotic).60
Kaum pascastrukturalis kemudian memperkaya cara penulisan
para sejarawan strukturalis tersebut. Michel Foucault menawarkan bahwa dalam
56 Dedi Irwanto dan Alian Syair, Metodologi dan Historiografi Sejarah
(Yogyakarta: Eja_Publisher, 2014), p. 138.
57 Ibid., 176.
58 Dedi Irwanto dan Alian Syair, op.cit., p. 143.
59 Ibid.
60 Alexander Aur, loc.cit.
27
sejarah juga ada konsep-konsep keterputusan (discontinuity), patahan (rupture),
kontingensi dan kebetulan (chance).61
Sejumlah sejarawan berpegangan pada fakta-fakta yang didapatkan dari
hasil analisis terhadap teks-teks secara struktur dengan tidak mempertimbangkan
wacana yang ada di balik teks itu sendiri. Padahal ada sekian kebenaran di balik
bahasa yang dihadirkan. Kaum pascamodernisme menolak kemanunggalan makna
yang muncul dari sebuah teks yang disampaikan melalui bahasa tersebut. Demi
tujuan itu, Julia Kristeva menawarkan penggunaan bahasa puitik yang justru
menawarkan multimakna.62
Menurut Kristeva:
―…bahasa puisi adalah bahasa yang bersifat terbuka, yang
mencoba merombak kebiasaan umum yang ada dalam rangka
mencari sebuah bahasa alternatif yang menyegarkan, sehingga
diharapkan ia mampu membuka cakrawala baru dalam
pemahaman, apresiasi dan penafsiran.‖63
Kristeva menekankan bahwa bahasa puitik dapat ―menggerakkan ke arah berbagai
ide, pemikiran atau tindakan-tindakan yang kreatif, inovatif, dan produktif.‖64
Dengan demikian, penggunaan sajak, dalam hal ini sajak-sajak Sitor Situmorang,
justru memberikan tawaran bagi sejarawan dalam membaca realita. Hal ini
dipertegas dengan pernyataan Sitor dalam salah satu bait sajaknya yang berbunyi:
―tak ada yang lebih jelas dari, kekaburan puisi dan ia, tak berulang.‖65
Sitor
meyakini bahwa sajak, kendati merupakan karya fiksional, bukan lahir dari rekaan
61 Ibid., p. 143.
62 Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-
Batas Kebudayaan (Yogyakarta : Jalasutra, 2004), p. 463.
63 Ibid.
64 Ibid.
65 J.J. Rizal (ed.), Sitor Situmorang : Kumpulan Sajak 1948-1979, op.cit.,
p. 67.
28
semata-mata tetapi berpijak pada realita sehingga mengandung kejelasan dan
kejujuran.
Dengan demikian, secara keseluruhan, tulisan disusun melalui dua ramuan
metodologi sejarah yakni : analisis sosio-historik dengan pendekatan kategori-
kategori sejarah dan semesta simbolisnya serta kerangka yang ditawarkan kaum
pascastrukturalisme yaitu melacak adanya keterputusan (discontinuity), patahan
(rupture), kontingensi dan kebetulan (chance) dalam sejarah.
Seperti telah disebutkan di atas, dalam sajak-sajak Sitor Situmorang
selama era reformasi terkandung pertumpang-tindihan kategori sejarah. Demi
membuktikan asumsi awal, yakni adanya hubungan sebab akibat antara
pertumpang-tindihan kategori sejarah dalam sajak Sitor Situmorang dengan cara
Sitor mengolah dasar struktur, dilakukan pelacakan ke masa lalu Sitor
Situmorang. Model penulisan flash back ini mengikuti apa yang diajarkan oleh
paham pascastrukturalisme. Pada akhirnya dapat dilihat pula, apakah terjadi
keterputusan (discontinuity), patahan (rupture), kontingensi dan kebetulan
(chance) pada sajak-sajak Sitor Situmorang.
1.7. Kerangka Teoretis
Kajian historis bertujuan menyusun rekonstruksi masa lalu dengan cara
mengumpulkan, mengevaluasi, verifikasi, serta mensintesiskan bukti-bukti untuk
menegakkan fakta guna memperoleh simpulan yang kuat.66
Dalam upaya
66 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta : CV Rajawali,
1992), p. 16.
29
membantu proses tersebut, peneliti perlu menggunakan teori tertentu sehingga
dapat menghasilkan tulisan sejarah yang ilmiah dan pengetahuan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Teori berguna sebagai kerangka penelitian, generalisasi,
dan memberikan prediksi awal terhadap suatu permasalahan yang hendak dikaji.
Seperti disebutkan Sartono Kartodirdjo dalam buku ―Pendekatan Ilmu Sosial
dalam Metodologi Sejarah,‖ teori sangat penting karena :
―…memudahkan peneliti dalam merumuskan substansi penulisan
naratif dengan segala unsur-unsurnya, seperti fakta-fakta, fakta,
struktur, dan proses; faktor-faktor; dan lain sebagainya.Tanpa
kerangka teoritis dan konseptual tidak ada butir-butir referensi
untuk membentuk naratif, eksplanasi, argumentasi.‖67
Penelitian ini menggunakan tiga teori. Teori pertama adalah
intertekstualitas. Intertekstualitas merupakan salah satu konsep utama dalam
budaya pascamodernisme.68
Intertekstualitas menitikberatkan dimensi ruang dan
waktu serta perubahan yang terjadi dalam kebudayaan.
―Sebuah kebudayaan dan objek-objeknya tidak pernah berada di
ruang kosong, tidak berdiri sendiri, tidak self-determination, dan
tidak otonom. Ia mesti berhubungan dan berdialog dengan
kebudayaan-kebudayaan lain.‖69
Menurut Yasraf Amir Piliang, intertekstualitas adalah strategi intelektual utama
sekaligus jalan keluar pascamodern dari keterasingan suatu objek kebudayaan dan
67 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah
(Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), pp. 85-86.
68 Menurut Yasraf Amir Piliang, intertekstualitas adalah ―reaksi atas cara
berpikir strukturalisme dalam kebudayaan, yang sarat dengan simplifikasi
kebudayaan, yaitu dengan melihat kebudayaan sebagai sebuah relasi struktural
antara bentuk dan makna atau penanda (signifier) dan petanda (signified), yang
dianggap bersifat tetap, statis, dan tidak pernah berubah.‖ Yasraf Amir Piliang,
op. cit., p. 432.
69 Ibid., p. 432.
30
masyarakatnya.70
Dengan kata lain, untuk menilai suatu ekspresi budaya,
diperlukan upaya melihat teks-teks budaya yang terdahulu, karena seperti
disebutkan dalam kutipan di atas, pada hakikatnya tidak ada teks yang berdiri
sendiri (ada dari dan untuk dirinya sendiri).71
―Hanya lewat dialog dengan kebudayaan-kebudayaan lainlah
sebuah kebudayaan dapat hidup, berkembang, berubah, dan
bertransformasi. Intertekstualitas adalah semacam pelintasan
sistem-sistem tanda (sign system) dari satu sistem budaya ke sistem
budaya lainnya, yang mampu menghasilkan kategori-kategori
kebudayaan baru yang sangat beraneka ragam, dalam wujud
alegori, parodi, hibrida, sinkretisme, dan eklektisme.
Intertekstualitas merupakan strategi intelektual utama dalam
posmodernisme, yang dicirikan oleh sifat pengkodean ganda
(double coding), yaitu semacam dialog antara teknik-teknik
modern dan kode-kode kebudayaan masa lalu, dan juga dialog
antara elit/populer, atau baru/lama.‖72
Lebih jauh, dalam buku Derrida, disebutkan bahwa prinsip intertekstualitas
menjadi satu-satunya cara untuk melihat kebenaran karena tidak ada kebenaran di
luar teks.73
Pemikiran tersebut di atas berakar dari terminologi intertekstual yang
dikembangkan pertama kali oleh Julia Kristeva, seorang tokoh semiotika yang
tergabung dalam kelompok Tel Quel74
(bersama Jacques Derrida dan Roland
70 Ibid., pp.432-433.
71 Ibid., p. 433.
72 Ibid.
73 Muhammad Al-Fayyadl, Derrida (Yogyakarta : LKiS, 2009), p. 77.
74 Tel Quel adalah kelompok yang paling kritis terhadap strukturalisme
dalam bahasa. Baca : Yasraf Amir Piliang, op.cit., p. 317.
31
Barthes) di Perancis. Kristeva memandang bahwa prinsip dasar intertekstualitas
adalah hubungan antara sebuah teks dengan teks-teks lain.75
Ia melihat bahwa :
―…setiap teks memperoleh bentuknya sebagai mosaik kutipan-
kutipan, setiap teks merupakan rembesan dan transformasi dari
teks-teks lain. Bagi dia, sebuah karya hanya dapat dibaca dalam
kaitannya dengan atau dalam pertentangannya terhadap teks-teks
lain yang menjadi resapannya.‖76
Menurutnya, hubungan antara suatu teks dengan teks-teks lain dapat
dilacak dengan petunjuk-petunjuk yang dapat dilihat jejaknya pada teks itu
sendiri. Jejak tersebut akan mengantar pembaca atau seorang peneliti kepada teks-
teks terdahulu. 77
Dalam menganalisis teks, Kristeva menawarkan jalan yaitu
dengan mencermati unsur-unsur struktur yang membentuk teks terkait seperti
tema dan gagasan serta unsur-unsur di luar struktur seperti sejarah, budaya dan
sebagainya. 78
Menurut Michael Bakhtin, seorang pencipta teks tidak berbicara dengan
dan tentang dirinya sendiri, melainkan juga berhadapan dengan suara lain, teks-
teks lain.79
Atas dasar pemikiran ini, Norman Fairclough mencari keterkaitan
antara teori tersebut dengan tugas seorang wartawan yang dinyatakan sebagai
berikut :
75 Kaelan, Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika (Yogyakarta:
Paradigma, 2009), pp. 228-229.
76 Ibid., p. 229.
77 Yulis Majidatul, loc.cit.
78Alfian Rokhmansyah, ―Teori Intertekstual (Pengantar),‖ academia.edu,
diakses pada 23 April 2015 pukul 17.20 Wita.
79 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media
(Yogyakarta: LKiS, 2012), p. 306.
32
―Teori intertekstualitas dipakai untuk menghadirkan bagaimana
wartawan menghadapi aneka suara itu dan bagaimana ia
menampilkan suara dan pandangan banyak pihak itu dihadapkan
dengan suaranya sendiri yang akan ditampilkan dalam teks
berita.‖80
Dalam konteks penelitian ini, teori intertekstualitas digunakan untuk
mengetahui makna yang terkandung dalam sajak-sajak Sitor Situmorang dengan
cara mencermati proses Sitor dalam menghadapi berbagai ―suara‖ atau teks-teks
lain di luar sajaknya dan meramunya dengan pemikirannya sendiri sehingga
menghasilkan sebuah teks baru. Kondisi intertekstualitas dalam sajak-sajak Sitor
Situmorang dapat dilacak dengan melihat petunjuk-petunjuk yang ada pada sajak-
sajaknya. Petunjuk didapatkan dengan melihat unsur-unsur pembentuk sajak Sitor
seperti tema, latar tempat, peristiwa yang diangkat, metafora atau kata-kata
tertentu yang dapat dicari rujukannya dengan teks-teks lain. Sitor juga sering
menulis sajak yang ditujukan bagi sejumlah sosok yang mana dapat turut menjadi
petunjuk intertekstualitas. Dalam penelusuran ini, pembahasan tentang dasar
struktur Sitor Situmorang dengan sendirinya akan terjadi.
Piliang menganjurkan agar intertektualitas hendaknya jangan hanya pada
tingkat permukaan dan penampakan saja, akan tetapi lebih bersifat substantif,
dalam pengertian ada dialog-dialog budaya yang menyangkut nilai, norma,
ideologi dan makna.81
Pendekatan intertekstual dalam penelitian ini pada
akhirnya akan mengungkap kategori-kategori sejarah dan ideologi Sitor
Situmorang. Hal tersebut memungkinkan, karena proses intertekstualitas tidak
80 Ibid.
81 Ibid., p. 438.
33
dapat terlepas dari pemikiran dan aspirasi sang pengarang teks itu sendiri,82
kendati ada berbagai ―suara-suara lain‖ yang bercampur dan berdialog dengannya
sebelum teks itu tercipta.
Selain yang disebutkan di atas, studi ini memerlukan teori behaviorisme
Skinner untuk mengetahui hubungan antara pengaruh reaksi lingkungan sosial
terhadap perilaku dan pemikiran Sitor Situmorang serta sajak-sajaknya. Teori
yang sangat terkenal dalam psikologi ini berpengaruh secara langsung terhadap
sosiologi perilaku.83
Teori behaviorisme yang pertama digunakan dalam sosiologi
oleh George Homans menyatakan bahwa:
―lingkungan tempat munculnya perilaku, entah itu berupa sosial
atau fisik, dipengaruhi oleh perilaku dan selanjutnya ‗bertindak‘
kembali dalam berbagai cara. Reaksi ini, entah positif, negatif, atau
netral, memengaruhi perilaku aktor berikutnya. Bila reaksi telah
menguntungkan aktor, perilaku yang sama mungkin akan diulang
di masa depan dalam situasi serupa. Bila reaksi menyakitkan atau
menyiksa aktor maka perilaku itu kecil kemungkinannya terjadi di
masa depan.‖84
Teori behaviorisme dapat digunakan untuk menelisik pengaruh reaksi atas
perilaku Sitor Situmorang di masa lalu terhadap perkembangan diri dan
pemikirannya berikutnya. Dengan kata lain, melalui teori ini pula akan diketahui
bagaimana dasar struktur berdampak pada serta diri pribadinya sebagai aktor
individual termasuk proses simbolis sajak-sajak Sitor Situmorang. Teori ini juga
82 Penjelasan Adbul Rahman Napiah berdasarkan pemahamannya terhadap
prinsip intertekstual dari Julia Kristeva yang dikutip dalam Alfian Rokhmansyah,
loc.cit.
83 George Ritzer dan Douglas J.Goodman, Teori Sosiologi Modern Edisi
Keenam, terj. Alimandan (Jakarta: Kencana, 2012), p. 356.
84 Ibid.
34
menjelaskan tentang konsep hadiah (atau penguat) dan ongkos (atau hukuman).85
Bila aktor memperoleh reaksi positif atas perilakunya, maka ia akan memperoleh
hadiah, yang akan membuatnya mengulangi perilaku tersebut di kemudian hari.
Bila aktor memperoleh reaksi negatif dalam sebuah hubungan pertukaran maka ia
akan menanggung ongkos. Ongkos dapat berupa waktu, usaha, konflik,
kecemasan, dan keruntuhan harga diri serta kondisi-kondisi lain yang tidak
menyenangkan.86
Adanya ongkos atau hukuman ini dapat menimbulkan rasa jera
bagi aktor, sehingga cenderung enggan mengulangi perilaku serupa.
Guna memperkokoh kerangka teoretis ini, maka digunakan pula teori
pilihan rasional untuk mengetahui hal-hal mendasar lainnya yang juga berdampak
terhadap pertumpang-tindihan Sitor Situmorang. Teori yang dirumuskan oleh
Friedman dan Hecter ini menitikberatkan aktor sebagai subjek yang memiliki
tujuan, motif atau maksud tertentu yang memengaruhi tindakannya. Tindakan
seorang aktor juga tidak terlepas dari dua faktor utama pemaksa tindakan antara
lain : ketersediaan sumber daya yang dimiliki aktor serta pengaruh keberadaan
lembaga sosial. 87
Dijelaskan bahwa aktor yang memiliki sumber daya yang sedikit boleh
jadi akan mengalami kesulitan dalam upaya mencapai tujuan-tujuannya,
sementara aktor yang memiliki kekuatan lebih, akan lebih mudah menggapai
85 Ibid., pp. 356-357.
86 ―Teori Pertukaran Sosial,‖ http://meiliemma.wordpress.com/ diakses
pada 22 Agustus 2014 pukul 21. 38 Wita.
87 George Ritzer dan Douglas J.Goodman, op.cit., pp. 357-358.
35
tujuannya.88
Pilihan rasional Sitor Situmorang dapat diselidiki menilik ke
perjalanan hidupnya. Ada berbagai peluang atau kesempatan yang ia peroleh,
tetapi tidak sedikit pula kondisi sulit yang dialami, yang kemudian mendorong
Sitor untuk melakukan pertimbangan dan pilihan tertentu demi mewujudkan
tujuannya.
Adapun tindakan Sitor Situmorang, termasuk tindakan seluruh manusia di
dunia, juga pastilah dipengaruhi oleh lembaga sosial tempat di mana individu
tumbuh dan berkembang. Mengutip pendapat Friedman dan Hecter, seorang aktor
pada galibnya akan :
―Merasakan tindakannya diawasi sejak lahirnya hingga mati oleh
aturan keluarga dan sekolah; hukum dan peraturan; kebijakan
tegas; gereja; sinagoge dan mesjid; rumah sakit dan pekuburan.
Dengan membatasi rentetan tindakan yang boleh dilakukan
individu dengan dilaksanakannya aturan permainan—meliputi
norma, hukum, agenda, dan aturan pemungutan suara—secara
sistematis memengaruhi akibat sosial.‖89
Sebagai manusia yang lahir dari kebudayaan Timur, Sitor niscaya tidak
terlepas dari adat, tradisi dan kultur etniknya walaupun telah menerima pengaruh
Barat yang diperoleh dari gereja, sekolah Belanda, pergaulan lintas bangsa, serta
beraneka bacaan. Sebagai warga negara Indonesia, Sitor pun harus menerima
konsekuensi mematuhi aturan serta undang-undang yang berlaku terlebih ia
pernah menjadi pejabat terhormat sekaligus tahanan penjara. Sejumlah sajak-sajak
Sitor pun sarat dengan pemertanyaan terhadap kehidupan, kematian, dan ekspresi
pribadinya terkait permasalahan negara dan isu-isu universal.
88 Ibid., p. 357.
89 Ibid., p. 358.
36
Selain itu, pilihan rasional juga dapat dipengaruhi oleh berbagai informasi
yang diperoleh oleh aktor.90
Dengan demikian, menurut teori pilihan rasional, baik
sumber daya atau kesempatan, lembaga sosial maupun kuantitas serta kualitas
informasi bisa mendorong aktor untuk melakukan tindakan tertentu dan
menghindarkan tindakan yang lain.91
1.8. Kerangka Konseptual
Pada dasarnya konsep merupakan unsur-unsur abstrak yang mewakili
kelas-kelas fenomena dalam satu bidang studi, dengan demikian konsep adalah
penjabaran abstrak dari teori.92
Oleh karena itu konsep-konsep yang digunakan
dalam studi akan dicari teori-teoeri yang disebutkan di atas. Dalam teori
intertekstualitas dari Julia Kristeva, terkandung sejumlah konsep antara lain : teks,
hipogram, dan transformasi.
Teks. Dalam buku Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media
disebutkan pengertian teks dari Peter Garret dan Allan Bell secara sederhana
yakni :
―…semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di
lembar kertas, -tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi,
ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan sebagainya.‖93
90 Ibid.
91 Ibid.
92 Maria S.W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian,
Sebuah Panduan Dasar (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), p. 20.
93 Eriyanto, op.cit., p. 9.
37
Pengertian di atas digunakan untuk membuka kemungkinan pembacaan atas teks-
teks yang terkait dengan sajak Sitor Situmorang. Misalnya saja, dalam sajak
―Lukisan dalam Lukisan‖ yang ditujukan kepada Srihadi dan istrinya Farida
Soedarsono. Srihadi adalah pelukis yang terkenal dengan candi Borobudur
sebagai subject matter dalam banyak karyanya, Sitor memiliki ikatan batin
terhadap candi Borobudur yang dapat dibuktikan lewat sajak-sajaknya. Makna
dari lukisan Srihadi Soedarsono sebagai sebuah teks—yang dapat dibaca dari
kritik seni rupa yang telah beredar luas—bisa menjadi rujukan memahami sajak-
sajak Sitor Situmorang.
Roland Barthes, seorang pascastrukturalis, mendefinisikan teks dalam
kerangka pascamodernisme bukan sebagai ekspresi yang tunggal dan orisinil dari
penciptanya sehingga maknanya pun tidak tunggal, di dalamnya terkandung aneka
ragam bahasa masa lalu dan yang sudah ada. Dengan kata lain, dalam sebuah teks
terdapat aneka ragam teks lain yang bercampur dan berinteraksi. Teks dipahami
sebagai ―sebuah jaringan kutipan-kutipan yang diambil dari berbagai pusat
kebudayaan yang tak terhitung jumlahnya.‖94
Mengutip kembali pengertian teks
dari Kristeva, teks dipandang sebagai kumpulan kutipan-kutipan, setiap teks tidak
hadir secara tiba-tiba dalam ruang hampa melainkan merupakan rembesan dan
transformasi dari teks-teks lain. Bagi Kristeva, ―sebuah karya hanya dapat dibaca
dalam kaitannya dengan atau dalam pertentangannya terhadap teks-teks lain yang
menjadi resapannya‖.95
94 Yasraf Amir Piliang, op.cit., pp. 335-336.
95 Kaelan, loc.cit.
38
Kembali pada sajak ―Lukisan dalam Lukisan‖ yang dibuat pada tahun
2001. Ketika hendak mencerna teks lukisan Srihadi, dengan sendirinya akan
dibicarakan pula candi Borobudur sebagai sebuah teks, misalnya saja melalui
tulisan-tulisan para kritikus seni maupun sejarawan yang mana tulisan mereka
juga merupakan teks-teks. Pembicaraan tentang sosok dan kiprah Srihadi sendiri
juga merupakan pembicaraan atas teks-teks lain. Contoh kecil ini menunjukkan
bahwa dalam sebuah sajak Sitor saja dapat terlihat berbagai macam teks yang
bercampur, bertumpang-tindih, yang dapat dibaca kaitan maupun pertentangannya
satu sama lain, sehingga makna yang utuh dari karya Sitor dapat dicari. Banyak
sedikitnya teks-teks yang dapat direngkuh dan ruang lingkup pemaknaannya
bergantung kepada latar belakang pengetahuan dan pengalaman pembaca atau
peneliti.
Hipogram. Salah satu konsep penting dalam teori intertekstual adalah
hipogram. Hipogram merupakan teks pendahulu yang menjadi dasar atau
memengaruhi teks yang lahir berikutnya.96
Dalam hipogram tersebut terkandung
gagasan, ungkapan, simbol, peristiwa, dan sebagainya yang dimaknai oleh kreator
dalam menciptakan teks.97
Menurut Michael Riffaterre, hipogram adalah struktur
prateks yang menjadi energi puitika teks yang berfungsi sebagai petunjuk
hubungan intertekstual bagi pembaca atau pengamat teks untuk meraih makna
96 Panji Pradana, ―Kajian Intertekstual dalam Novel Namaku Hiroko Karya
N.H. Dini dan Memoirs of Geisha Karya Arthur Golden,‖ piiekaa.blogspot.com/
diakses pada 29 April 2015 pukul 16.00 Wita.
97 Tulisan Hutomo yang dikutip dalam Ibid.
39
yang lebih kaya.98
Sifat hipogram dapat diklasifikasikan ke dalam tiga macam,
antara lain : hipogram yang ditentang oleh teks berikutnya (negasi), yang diterima
dan atau dikuatkan oleh teks baru (afirmasi), serta hipogram yang diperbaharui
oleh teks selanjutnya (inovasi).99
Transformasi. Intertekstual pada dasarnya bukan sebatas mencari rujukan
dari suatu teks, melainkan juga menelusuri sejauh apa penyerapan atau
transformasi dari teks satu ke teks lainnya.100
Adanya hipogram yang
ditransformasikan ke dalam teks setelahnya merupakan fokus utama dalam kajian
intertekstual.101
Menurut Kristeva, dari transformasi itulah dinamika teks akan
dapat ditemukan. Transformasi tersebut dapat berupa :
―…negasi, oposisi, sinis, lelucon dan parodi, maupun sebagai
apresiasi, afirmasi, nostalgia, dan jenis pengakuan-pengakuan
estetis lain, yang secara keseluruhan berfungsi untuk menemukan
makna-makna yang baru…‖102
Selain konsep dalam teori intertekstual, berikut akan diterangkan pula
konsep-konsep dalam teori behaviorisme dan pilihan rasional yang digunakan
dalam kajian ini. Dalam berinteraksi, aktor mempertimbangkan hadiah dan biaya
atau pengorbanan. Perilaku sosial menurut Homans merupakan pertukaran
98 Uraian dari Nyoman Kutha Ratna dalam ―Teori Dekonstruksi, Teori
Postkolonialis, dan Teori Intertekstual,‖ eunikeyoanita.blogspot.com/ diakses
pada 29 April 2015 pukul 17.23 Wita.
99 Uraian dari Ali Imron dalam Meina Febriani, ―Teori Intertekstual dalam
Apresiasi Puisi,‖ banggaberbahasa.blogspot.com/ diakses pada 29 April 2015
pukul 17.30 Wita.
100 Pendapat Julia Kristeva yang dikutip dalam Umam Rejo S.S., ―Teori
Intertekstualitas dalam Sastra Bandingan,‖ jendelasastra.com/ diakses pada 29
April 2015 pukul 18.00 Wita.
101 Ibid.
102 Suci Sundusiah dan Halimah, ―Pendekatan Intertekstual dalam
Mengkaji Drama,‖ lib.unnes.ac.id, diakses pada 29 April 2015 pukul 18.05 Wita.
40
kegiatan yang terjadi setidaknya antara dua aktor, baik yang tampak maupun
tersembunyi, dan memberikan reward atau mengeluarkan cost.103
Homans
mengambil dua konsep ini dari teori ekonomi dasar. Homans berpendapat :
―Dalam konsep reward dan cost, individu bebas menentukan
perilaku dalam berinteraksi dengan berpatokan pada manfaat apa
yang ia dapat dan seberapa besar ia berkorban (mengeluarkan
biaya) untuk mendapatkan manfaat tersebut.‖104
Hadiah (Reward/ Reinforcement). Hadiah diartikan sebagai sesuatu yang
dapat memperkuat perilaku aktor. Dengan adanya reward atau reinforcement
sebagai reaksi terhadap perbuatan aktor, maka kemungkinan aktor mengulang
kembali perilakunya sangat besar. Terdapat dua jenis reinforcement yaitu yang
positif dan negatif. Reinforcement positif adalah reaksi yang menyenangkan bagi
aktor semisal pujian yang dilontarkan atas perbuatan yang telah dilakukan.
Sementara reinforcement negatif diberikan ketika stimulus ditolak atau dihindari.
Kendati demikian, reinforcement ini justru menguatkan aktor agar melakukan
tindakan yang sama ketika berhadapan kembali dengan situasi yang serupa.105
Biaya atau hukuman (Cost/Punishment). Hukuman berbeda dengan
reinforcement negatif. Punishment bukan menguatkan melainkan mengurangi
kemungkinan pengulangan perilaku oleh aktor. Ada dua jenis hukuman :
presentation punishment, terjadi apabila stimulus yang tidak menyenangkan
ditunjukkan atau diberikan; removal punishment, terjadi apabila stiumulus tidak
ditunjukkan atau diberikan, artinya menghilangkan sesuatu yang menyenangkan
103 Ibid.
104 Ibid.
105 ―Teori Belajar B.F. Skinner,‖ oktavianipratama.wordpress.com,
diakses pada 23 Agustus 2014 pukul 21.00 Wita.
41
atau dinginkan. Berada dalam posisi bawahan dalam sebuah relasi sosial dapat
dipandang sebagai cost.106
Konsep biaya ini terkait dengan teori behaviorisme dan
teori pilihan rasional yang mempertimbangkan biaya kesempatan (opportunity
cost) dalam melakukan suatu tindakan. Biaya di sini tentu tidak saja mengacu
pada faktor ekonomi, tetapi mencakup biaya dalam arti kerugian yang akan
didapatkan.
Sitor bersentuhan dengan banyak pihak dari berbagai struktur sosial.
Selama proses tersebut, dapat digali apa saja kiranya reward yang diterimanya
dan cost yang harus ia tanggung. Hadiah dan biaya tersebut berpengaruh terhadap
perkembangan diri Sitor Situmorang yang giliran berikutnya memperjelas adanya
pertumpang-tindihan kategori sejarah dalam dirinya. Contoh reward yang pernah
diperoleh Sitor seperti diakui sebagai sastrawan Indonesia yang terpilih mewakili
negaranya dalam berbagai perjalanan kesenian ke luar negeri. Contoh reward
lainnya semisal persahabatannya dengan sejumlah tokoh ternama, salah satunya
adalah yang paling ia kagumi, yakni Presiden Soekarno. Contoh biaya atau
hukuman yang harus ditanggung Sitor, yang paling mengemuka, adalah ketika ia
dijebloskan ke penjara selama bertahun-tahun tanpa melalui proses pengadilan.
Hubungan ini turut memengaruhi pilihan-pilihan dalam hidup Sitor berikutnya
yang akan diselidiki dalam studi ini.
106 ―Homans: tentang Pertukaran Sosial,‖ nyitz82.blogspot.com/2008/11/
diakses pada 23 Agustus 2014 pukul 21.10 Wita.
42
1.9. Metode Penelitian dan Sumber
Dalam menggarap riset ini, dilakukan tahapan wawancara. Teknik
wawancara merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian
dengan cara tanya jawab antara pewawancara dan informan dengan atau tanpa
menggunakan pedoman wawancara.107
Pada tahun 2011 lalu, penulis
berkesempatan wawancara Sitor. Ketika itu ia dan istrinya, Barbara L. Brouwer,
tinggal untuk beberapa minggu di Jalan Cekomaria, Gang Melati, Denpasar, Bali.
Wawancara berlangsung secara tidak terstruktur, artinya tidak sepenuhnya
memakai kerangka pertanyaan, sebab terkadang secara spontan dan mengalir.
Selain Barbara L. Brouwer, di rumah itu ada pula Jean Couteau (budayawan) dan
Warih Wisatsana (sastrawan). Tujuan wawancara bukan sekadar untuk menggali
informasi dari Sitor melainkan juga perspektif pihak lain yang juga telah
mendalami sosok, karya dan kiprah Sitor selama ini.
Sejak wawancara tersebut berlangsung, penulis yang baru duduk di
semester tiga merasa tertarik untuk mempelajari sajak-sajak Sitor Situmorang dan
meneliti sajak-sajaknya untuk dijadikan skripsi. Sejarawan Nyoman Wijaya
mengingatkan penulis pada metodologi analisis sosio-historik yang ditulis
Kuntowijoyo dalam buku Budaya dan Masyarakat serta menunjukkan ada dua
karya skripsi yang telah dihasilkan dengan memakai metodologi tersebut di
Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana.
107 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: PT Raja
Grapindo Persada, 2001), p. 126.
43
Setelah mendapat pemahaman yang jelas mengenai substansi pemikiran
Kuntowijoyo dalam buku itu, penulis melanjutkan kembali penelusuran studi
tentang Sitor Situmorang yang pernah disusun oleh peneliti-peneliti sebelumnya.
Langkah ini dilakukan dengan membaca satu per satu tulisan maupun ringkasan
hasil penelitian yang berhasil dikumpulkan baik dari berbagai buku maupun
internet. Hasil tinjauan ini membuktikan belum ada peneliti terdahulu yang
menulis sajak-sajak Sitor Situmorang dengan menggunakan pendekatan analisis
sosio-historik seperti diajarkan oleh Kuntowijoyo.
Setelah yakin pada topik penelitian, selanjutnya diteliti pertumpang-
tindihan kategori sejarah pada sajak Sitor Situmorang dengan melakukan
pembacaan atas teks sajak Sitor yang berhasil didokumentasikan oleh sejarawan
J.J. Rizal dalam dua buku antologi sajak yakni Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak
1948-1979 dan Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1980-2005. Selain data
tersebut, ditelusuri pula sumber-sumber primer berupa teks-teks puisi Sitor yang
tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin di Taman Ismail
Marzuki, Jakarta Pusat serta teks ketikan puisi karya Sitor yang diperoleh dari
Barbara L. Brouwer. Berdasarkan surat elektronik (email) dengan Barbara,
diketahui bahwa belum ada buku yang mencetak sajak-sajak Sitor tahun 1998-
2005 atau tahun setelahnya selain buku Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1980-
2005.
Dari 44 sajak yang ditulis Sitor selama tahun 1998-2005 yang diperoleh
dari buku tersebut di atas, dilakukan pengklasifikasian berdasarkan tema sajak
untuk kemudian diselidiki kategori sejarahnya. Demi menunjang proses penulisan,
dilakukan pembacaan terhadap buku otobiografi Sitor yang di dalamnya tecermin
44
pergulatan Sitor dalam menelusuri identitasnya serta keterlibatan dan pandangan
pribadi Sitor terhadap dinamika yang terjadi pada bangsa Indonesia.
Sebagai pelengkap, ditemukan pula sumber primer lain yakni sejumlah
foto Sitor dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan tandatangan Sitor yang juga
diperoleh dari Barbara L. Brouwer. Adapun sumber sekunder dalam studi ini di
antaranya adalah tulisan-tulisan karya peneliti terdahulu yang menelaah sajak
maupun sosok Sitor. Salah satunya adalah Menimbang Sitor Situmorang
(Komunitas Bambu, 2009). Buku terbaru tentang Sitor yakni Sitor Situmorang:
Biografi Pendek 1924-2014 juga menjadi referensi penting dalam mengetahui
perjalanan hidup Sitor dari masa kanak hingga wafatnya. Di samping itu,
penelitian ini juga menggunakan buku-buku yang ditemukan di Perpustakaan
Program Magister Kajian Budaya Universitas Udayana, buku dan kliping surat
kabar di Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi Bali, kliping surat kabar Kompas
dari Pusat Informasi Kompas yang diakses lewat internet (PIKNet) serta media
on-line lainnya.
1.10. Sistematika Pembahasan
Karya tulis ini disusun dengan sistematika pembahasan antara lain :
diawali dengan bab I yang mengulas latar belakang riset, rumusan permasalahan,
asumsi dan pertanyaan penelitian. Berangkat dari penjelasan tersebut, diterangkan
pula perangkat-peragkat yang digunakan dalam penelitian ini sehingga mampu
menjawab pertanyaan penelitian, antara lain : metodologi dan teori, sejumlah
konsep yang menjadi pedoman, yang seluruhnya berasal dari studi pustaka yang
45
telah dikerjakan sebelumnya. Dalam bab I, disebutkan juga sejumlah tahapan
penelitian yang telah dan akan dilakukan berikut sumber-sumber primer dan
sekunder yang sudah diperoleh.
Pada bab II dibahas biografi singkat Sitor Situmorang yang memuat
perjalanan hidup Sitor yang disusun berdasarkan otobiografi Sitor serta sumber-
sumber lain. Pendekatan biografis ini memiliki banyak jendela yang membuka
berbagai peristiwa yang lebih luas dari yang dialami oleh individu itu sendiri.
Lewat uraian tentang sosok Sitor, giliran berikutnya dapat dianalisis sejarah lokal,
sejarah nasional dan internasional yang terjadi pada kurun waktu tertentu yang
melingkupi perjalanan hidup Sitor Situmorang sebagai seorang penyair dan tokoh
sejarah yang melalui berbagai zaman (kolonial Hindia Belanda, kolonial Jepang,
Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, termasuk pula dalam arus sejarah dunia) serta
bersentuhan dengan beraneka kultur (budaya Batak, Kristen, kultur kolonial,
wawasan keIndonesiaan, marhaenisme, kultur modern, filsafat eksistensialisme,
pemikiran pascamodern dan sebagainya) serta bangsa. Pendekatan biografis ini
menjadi pintu masuk untuk menyelami dasar struktur dan pemikiran Sitor
Situmorang.
Bab III merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian pertama. Bab ini
berisi aneka ragam pemikiran atau ideologi yang terdapat dalam sajak-sajak Sitor
era reformasi yang didapatkan dengan menggunakan teori intertesktualitas. Uraian
ini diperlukan untuk memperkaya dan memperkuat pemahaman terhadap sajak-
sajaknya. Bab IV adalah jawaban dari pertanyaan penelitian kedua. Dalam bab ini
diuraikan wujud-wujud pertumpang-tindihan kategori sejarah dalam sajak-sajak
Sitor Situmorang di era reformasi yang diklasifikasikan berdasarkan tiga tema
46
utama antara lain : spiritualisme, cinta tanah air, dan kepedulian sosial. Khusus
tema spiritualisme, hanya diambil beberapa sajak saja sebagai sampel yang
dipandang cukup untuk mengungkap keberagaman kategori sejarah di dalam sajak
Sitor. Penjelasan dalam bab IV ini juga menggunakan teori intertekstualitas untuk
membedah simbol-simbol dan norma yang terkandung dalam setiap sajak. Bab V
ditujukan untuk menjawab pertanyaan penelitian ketiga, yaitu dengan melacak
dasar struktur yang memengaruhi sajak-sajak Sitor Situmorang era reformasi.
Proses pelacakan ini berpedoman kepada kerangka analisis sosio-historik dari
Kuntowijoyo dan juga menggunakan teori intertekstualitas, teori behaviorisme
dan teori pilihan rasional. Adapun bab VI berisi simpulan yang memuat tanggapan
penulis terhadap jawaban atas pertanyaan penelitian.