bab i pendahuluan 1.1 latar belakang · rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid pada populasi...

12
1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Resistensi obat antituberkulosis (OAT) adalah tantangan besar dalam penuntasan kasus Tuberkulosis (TB) global dan nasional. Pengobatan TB resisten berhadapan dengan keterbatasan obat, efektivitas, efek obat yang tidak diinginkan, durasi waktu terapi yang panjang serta pembiayaan yang tinggi. Kasus TB-MDR menghambat keberhasilan terapi antituberkulosis lini pertama pada penderita TB baru dan kambuhan. Data resistensi OAT di Indonesia menurut World Health Organization (WHO) tahun 2017 menyatakan bahwa 2,8% kasus baru dan 16% kasus TB yang sebelumnya diobati, merupakan kasus Tuberkulosis resisten rifampisin (TB-RR) atau multi drug resisten (MDR). Kasus TB-MDR/RR yang terdata adalah 32.000 orang dan didominasi oleh kasus TB- MDR sebanyak 21.760 orang (68%) (WHO, 2017 a ). Laporan TB-MDR menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI bahkan menyatakan adanya kecenderungan peningkatan jumlah penderita TB-MDR di Indonesia sejak tahun 2009-2015 (Kemenkes RI, 2016). Kondisi ini dapat dikaitkan dengan tidak adanya peningkatan angka keberhasilan terapi untuk Indonesia dalam kurun waktu 2000-2016 dan angka keberhasilan terapi tetap berada pada kisaran 85%. Hal ini tentunya perlu dicermati karena beberapa negara telah menyampaikan keberhasilan terapi yang mencapai > 90% pada tahun 2016 (WHO, 2017 a ).

Upload: others

Post on 19-Dec-2020

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang · rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid pada populasi penderita Tuberkulosis paru dan subjek sehat (Rafiq et al., 2010), klirens (Cl) dan volume

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Resistensi obat antituberkulosis (OAT) adalah tantangan besar dalam

penuntasan kasus Tuberkulosis (TB) global dan nasional. Pengobatan TB resisten

berhadapan dengan keterbatasan obat, efektivitas, efek obat yang tidak diinginkan,

durasi waktu terapi yang panjang serta pembiayaan yang tinggi.

Kasus TB-MDR menghambat keberhasilan terapi antituberkulosis lini

pertama pada penderita TB baru dan kambuhan. Data resistensi OAT di Indonesia

menurut World Health Organization (WHO) tahun 2017 menyatakan bahwa 2,8%

kasus baru dan 16% kasus TB yang sebelumnya diobati, merupakan kasus

Tuberkulosis resisten rifampisin (TB-RR) atau multi drug resisten (MDR). Kasus

TB-MDR/RR yang terdata adalah 32.000 orang dan didominasi oleh kasus TB-

MDR sebanyak 21.760 orang (68%) (WHO, 2017a). Laporan TB-MDR menurut

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI bahkan menyatakan adanya

kecenderungan peningkatan jumlah penderita TB-MDR di Indonesia sejak tahun

2009-2015 (Kemenkes RI, 2016). Kondisi ini dapat dikaitkan dengan tidak

adanya peningkatan angka keberhasilan terapi untuk Indonesia dalam kurun

waktu 2000-2016 dan angka keberhasilan terapi tetap berada pada kisaran 85%.

Hal ini tentunya perlu dicermati karena beberapa negara telah menyampaikan

keberhasilan terapi yang mencapai > 90% pada tahun 2016 (WHO, 2017a).

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang · rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid pada populasi penderita Tuberkulosis paru dan subjek sehat (Rafiq et al., 2010), klirens (Cl) dan volume

2

Tuberkulosis resisten obat merupakan masalah yang bisa diantisipasi melalui

regimentasi dosis OAT secara cermat. Penelitian Cohn et al. (1994) dan

Pasipanodya et al. (2013) menyampaikan bahwa tuberkulosis resisten obat lebih

banyak disebabkan oleh terapi OAT yang tidak memadai/suboptimal,

dibandingkan dengan akibat penularan dari individu lain yang telah mengalami

resistensi. Rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid merupakan kelompok

antimikobakteri yang kerjanya tergantung pada kadar (concentration dependent)

(Gumbo et al., 2007). Capaian kadar obatnya menentukan efektivitasnya terhadap

Mikobakteri dan adanya kadar suboptimal menyebabkan kerja obat terhadap

Mikobakteri tidak maksimum. Hasil pemantauan kadar terapetik setelah

pemberian regimen standar OAT menyatakan bahwa kadar suboptimal rifampisin

(Wilkins et al., 2011), isoniazid (Srivastava et al., 2011; Egelund et al., 2015),

maupun pirazinamid terkait dengan adanya variabilitas farmakokinetik individu

(McIlleron et al., 2006; Egelund & Peloquin, 2012; Pasipanodya et al., 2012;

Reynolds & Heysell, 2014). Variabilitas farmakokinetik juga dikaitkan dengan

efek obat yang tidak diinginkan atau efek samping yang juga mengakibatkan

gangguan liver (Wang et al., 2016). Efek obat tersebut berisiko menyebabkan

penderita menghentikan terapi OAT sebelum waktunya. Respon terapi lambat,

kegagalan terapi, kekambuhan, dan resistensi OAT akibat variabilitas

farmakokinetik individu OAT memerlukan regimen terapi dengan pemantauan

kadar terapetik yang memperhitungkan dosis secara individual berdasarkan hasil

pemantauan kadar obat penderita selama terapi yang panjang dan faktor

variabilitas farmakokinetik yang berpengaruh (Peloquin, 2002, 2004; Mitnick,

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang · rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid pada populasi penderita Tuberkulosis paru dan subjek sehat (Rafiq et al., 2010), klirens (Cl) dan volume

3

McGee and Peloquin, 2009; Alsultan and Peloquin, 2014; Egelund et al., 2015;

Heysell et al., 2015; Olaru et al., 2015; Chawla et al., 2016; Choi et al., 2017).

Individualisasi dengan pemantauan kadar terapetik OAT memerlukan

identifikasi parameter farmakokinetik dan kuantifikasi faktor yang mempengaruhi

variabilitas farmakokinetik OAT secara spesifik. Beberapa parameter

farmakokinetik yang terkait dengan variabilitas farmakokinetik telah diidentifikasi

oleh beberapa peneliti antara lain: waktu mencapai kadar puncak (Tmaks)

rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid pada populasi penderita Tuberkulosis paru

dan subjek sehat (Rafiq et al., 2010), klirens (Cl) dan volume distribusi (Vd)

rifampisin pada penderita Tuberkulosis paru populasi Afrika Selatan setelah

pemberian regimen dosis standar 450-600 mg (Wilkins et al., 2008). Variabilitas

farmakokinetik individu rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid dinyatakan terkait

dengan formulasi, perbedaan jenis kelamin (Requena-Mendez et al., 2012), usia

(Thee et al., 2011), dosis per kilogram berat badan, riwayat penggunaan

antituberkulosis sebelumnya (Mcilleron et al., 2006; Denti et al., 2015), konsumsi

rokok (Kayhan, 2011), makanan (Peloquin et al., 1999; Tostmann et al., 2013;

Lin et al., 2014), ras (Weiner et al., 2010), status asetilasi (Abrogoua et al., 2015)

penggunaan obat lain (Arbe et al., 2010), berat badan rendah dan malnutrisi

(Requena-Mendez et al., 2014; Zvada et al., 2014), serta adanya penyakit

penyerta seperti Diabetes (Heysell et al., 2013; Nijland et al., 2006; Medellín-

Garibay et al., 2015). Kuantifikasi variabilitas farmakokinetik individu rifampisin

pada pemantauan kadar terapetik untuk penentuan dosis individu pada penderita

Tuberkulosis telah dinyatakan memberikan keberhasilan terapi individu yang

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang · rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid pada populasi penderita Tuberkulosis paru dan subjek sehat (Rafiq et al., 2010), klirens (Cl) dan volume

4

lebih baik (Sotgiu et al., 2015). Kuantifikasi variabilitas farmakokinetik

rifampisin didasarkan pada data individu dari populasi selama terapi dinyatakan

dapat menghasilkan kadar terapetik target individual yang dapat meningkatkan

keberhasilan terapi Tuberkulosis. (Wilby et al., 2014; D ’ambrosio et al., 2015;

Sotgiu et al., 2015; Sturkenboom et al. 2015; Chawla et al., 2016; Van Der Burgt

et al., 2016; Zuur et al., 2016).

Variabilitas farmakokinetik individu rifampisin dikuantifikasi dengan

pendekatan farmakokinetik menggunakan pemodelan farmakokinetik (Reynolds

& Heysell, 2014). Penerapan pemodelan ke dalam aktifitas pemantauan kadar

terapetik antituberkulosis telah membuktikan peningkatan keberhasilan terapi

antituberkulosis pada penderita tuberkulosis dengan resistensi, HIV AIDS, dan

tuberkulosis risiko tinggi (Nuermberger & Grosset, 2004; Babalik et al., 2011;

Pasipanodya & Gumbo, 2011; Pasipanodya et al., 2012; Heysell et al., 2013;

Reynolds & Heysell, 2014; Zvada et al., 2014; Sotgiu et al., 2015; Sturkenboom

et al., 2015). Pemodelan farmakokinetik menjelaskan proses biologis yang

kompleks mengenai hubungan kadar obat dengan respon terapetik serta estimasi

parameter farmakokinetik populasi dan individual (Jelliffe et al., 2001; Wilkins et

al., 2008; Goutelle et al., 2009; Upton, 2012) sehingga dapat mendukung

regimentasi dosis OAT, terutama rifampisin secara lebih rasional.

Pendekatan farmakokinetik untuk menjelaskan hubungan kadar dan waktu

suatu obat pada penderita tentunya harus mempertimbangkan keterbatasan dalam

pengambilan sampel terkait kondisi klinik penderita. Pendekatan farmakokinetik

klasik/konvensional yang memerlukan sampel darah yang relatif banyak tentunya

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang · rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid pada populasi penderita Tuberkulosis paru dan subjek sehat (Rafiq et al., 2010), klirens (Cl) dan volume

5

kurang etis untuk diterapkan pada penderita Tuberkulosis. Pemodelan

farmakokinetik populasi dapat diterapkan untuk mempelajari farmakokinetik pada

penderita klinik setelah pemberian suatu obat termasuk OAT. Model

farmakokinetik populasi mengkuantifikasi variabilitas farmakokinetik obat pada

sekelompok populasi, menjelaskan regimentasi dosis, dan respon farmakokinetik,

sesuai farmakokinetik individu itu sendiri (Jelliffe et al., 1993, 2000; Shargel et

al., 2005; Charles, 2014). Informasi farmakokinetik tersebut dapat diperoleh dari

pemodelan dengan memanfaatkan sampel rutin penderita setelah menggunakan

suatu obat, sekalipun dalam jumlah yang sangat terbatas (Jelliffe et al., 2001;

Mould dan Upton, 2012; Charles, 2014). Pendekatan farmakokinetik populasi

dapat menjelaskan dan mengakomodasi informasi variabilitas farmakokinetik

populasi dan individu yang ada. Pemanfaatan data individu dalam populasi

selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk individualisasi regimen dosis dengan

pendekatan maximum-a-posteriori (MAP) Bayesian (Sheiner et al., 1979; Jelliffe

et al., 1993; 2009; 2011; 2012; Salinger et al., 2010).

Metode MAP Bayesian telah dinyatakan bermanfaat dalam individualisasi

obat. Pendekatan ini mengamati respon farmakokinetik individu penderita secara

“adaptive” dengan menggunakan hanya 1-3 titik sampel yang jarang, tanpa

mengabaikan adanya perubahan fisiologis penderita selama terapi berlangsung

(Jelliffe et al., 1993; 2009; 2011; 2012). Pendekatan adaptive mempertimbangkan

seorang penderita yang baru diterapi sebagai anggota populasi yang

farmakokinetik populasinya diketahui. Farmakokinetik individu diperhitungkan

kembali untuk individualisasi regimen dosis setelah informasi kadar obat tersedia.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang · rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid pada populasi penderita Tuberkulosis paru dan subjek sehat (Rafiq et al., 2010), klirens (Cl) dan volume

6

Model farmakokinetik populasi dalam individualisasi berlaku sebagai prior data

yang dengan pendekatan adaptive Bayesian menghasilkan nilai posterior

Bayesian individu, sehingga memberikan informasi regimen dosis yang lebih

akurat. Pemanfaatan data farmakokinetik individu untuk pengembangan

pemodelan farmakokinetik populasi untuk menemukan farmakokinetik individu

merupakan pendekatan terkini dalam pengelolaan terapi OAT yang aman untuk

penderita (Peloquin, 2002, 2004; Mitnick et al., McGee and Peloquin, 2009;

Egelund and Peloquin, 2012; Zuur et al., 2016; Alsultan and Peloquin, 2014,

2015; Egelund et al., Heysell et al., 2015; Sotgiu et al., 2015; Chawla et al., 2016;

Choi et al., 2017). Pemodelan farmakokinetik populasi yang diintegrasikan

dengan pendekatan adaptive Bayesian dapat dimanfaatkan dalam memprediksi

kadar capaian target OAT, rifampisin. Pemodelan farmakokinetik populasi

rifampisin pada penderita Tuberkulosis lokal perlu dikembangkan untuk terapi

OAT yang lebih baik.

Terapi OAT suboptimal pada populasi Indonesia yang telah diungkapkan

Crevel et al. (2002) dan Ruslami et al. (2007) memerlukan tindak lanjut melalui

pengembangan studi farmakokinetik pada penderita Tuberkulosis lokal yang ada.

Evaluasi kadar rifampisin pada pemberian regimen standar untuk penderita

tuberkulosis pada penelitian Ruslami et al (2007) telah menyatakan bahwa 70%

penderita menunjukkan kadar rifampisin 4 µg/ml, yang berada di bawah kadar

yang direkomendasikan 8-24 µg/ml (Blomberg et al., 2001; Peloquin, 2002;

Heysell, et al., 2010). Informasi kadar suboptimal tersebut tentunya tidak bisa

menjelaskan kondisi terapi pada populasi lokal yang ada karena adanya faktor

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang · rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid pada populasi penderita Tuberkulosis paru dan subjek sehat (Rafiq et al., 2010), klirens (Cl) dan volume

7

variabilitas farmakokinetik. Respon terapi antituberkulosis yang optimal dapat

diestimasi dari karakter farmakokinetik individu dari populasi lokal yang

diperoleh dari pemantauan kadar terapetik individual. Pemantauan kadar terapetik

antituberkulosis rifampisin, isoniazid, pirazinamid individual pada penderita

Tuberkulosis paru baru rawat jalan usia dewasa di Denpasar diperlukan tidak

hanya untuk menjelaskan akurasi regimen dosis ketiga OAT tersebut, namun

sekaligus berperan sebagai data dasar untuk pengembangan model

farmakokinetik. Adapun pengembangan pemodelan farmakokinetik populasi

difokuskan pada rifampisin karena rifampisin merupakan komponen OAT lini

pertama yang paling penting dengan potensi yang paling poten (Mitchison, 2000;

Mitchison and Davies, 2013; Rana, 2013).

Pengembangan pemodelan farmakokinetik populasi OAT dari kelompok

populasi Tuberkulosis yang ada diharapkan dapat memberikan informasi

distribusi nilai parameter farmakokinetik populasi yng merupakan informasi awal

(priori) untuk estimasi dosis individu yang sesuai populasi. Nilai parameter

farmakokinetik diestimasi menggunakan model kompartemen satu terbuka karena

rifampisin memiliki distribusi dan eliminasi yang cepat setelah pemberian oral

(Hall et al., 2009; Rana, 2013). Pemodelan farmakokinetik dengan kompartemen

satu akan mengestimasi distribusi nilai parameter farmakokinetik absorpsi,

eliminasi, dan volume distribusi yang diidentifikasi memiliki variabilitas yang

luas dan mempengaruhi ketersediaan rifampisin dalam tubuh (Hall et al., 2009).

Data farmakokinetik absorpsi, volume distribusi, eliminasi yang didapatkan dari

sekelompok penderita tuberkulosis paru yang sedang menjalani terapi

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang · rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid pada populasi penderita Tuberkulosis paru dan subjek sehat (Rafiq et al., 2010), klirens (Cl) dan volume

8

meningkatkan akurasi regimen dosis rifampisin penderita individual (Peloquin et

al., 1997; Onyebujoh et al., 2005; Bustad et al., 2006; Goutelle et al., 2009).

Pemodelan farmakokinetik populasi penderita tuberkulosis dilakukan dengan

pendekatan MAP Bayesian dengan menggunakan data kadar dalam jumlah yang

sangat terbatas. Untuk mendapatkan informasi nilai parameter farmakokinetik

populasi yang sesungguhnya, dengan sampel terbatas diperlukan analisis

pemodelan farmakokinetik populasi nonparametrik yang tidak menggunakan

asumsi awal mengenai distribusi variabel farmakokinetik. Farmakokinetik

individu diestimasi dari keseluruhan data populasi tanpa membuat asumsi

mengenai pola distribusi sehingga dapat menggambarkan distribusi yang

sesungguhnya, terkait adanya kemungkinan varibilitas farmakokinetik individu.

Pendekatan nonparametrik mengestimasi probabilitas nilai setiap parameter

populasi didasarkan pada frekuensi kejadian. Bentuk distribusi parameter populasi

ditentukan oleh data itu sendiri sebagaimana halnya dengan variabilitas individu

yang ada (Jelliffe et al., 2000; Bustad et al., 2006). Jika dikaitkan dengan

kemungkinan adanya perbedaan metabolisme rifampisin diantara individu dan

perubahan farmakokinetiknya selama terapi maka pendekatan analisis

farmakokinetik populasi dengan pendekatan nonparametrik adalah pilihan untuk

pemodelan farmakokinetik pada penelitian ini. Metode nonparametrik yang

digunakan adalah metode non parametric adaptive grid (NPAG). Berbagai

metode analisis pemodelan farmakokinetik, telah menyatakan bahwa algoritme

non parametric adaptive grid (NPAG) memiliki kelebihan akurasi dan efisien

dalam waktu analisis termasuk kemampuannya dalam mengakomodasi jumlah

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang · rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid pada populasi penderita Tuberkulosis paru dan subjek sehat (Rafiq et al., 2010), klirens (Cl) dan volume

9

sampel yang terbatas dan pengukuran berseri pada individu yang berbeda

(Yamada et.al., 2013; Tatarinova et al., 2013).

Penelitian pemodelan farmakokinetik populasi rifampisin pada penderita

tuberkulosis paru baru rawat jalan usia dewasa ini merupakan upaya untuk

mendukung rasionalitas dosis OAT individual. Model ini dikembangkan

mengingat informasi adanya kadar suboptimal dan data farmakokinetik rifampisin

pada populasi penderita tuberkulosis di Indonesia (Crevel et al., 2002; Nijland, et

al., 2007; Ruslami et al., 2010; Burhan et al., 2013) tidak bisa dikorelasikan

secara langsung pada populasi yang ada. Untuk individualisasi regimen dosis pada

populasi yang ada diperlukan informasi karakteristik individu dari populasi yang

bersangkutan. Perbedaan karakteristik individu penyusun populasi dapat

menghasilkan estimasi parameter farmakokinetik yang berbeda dan kesalahan

estimasi regimen dosis. Pemodelan farmakokinetik memerlukan informasi

pemantauan kadar terapetik yang dikaitkan dengan capaian target OAT yang

rekomendasikan mengingat adanya kecenderungan terjadinya capaian kadar

suboptimal pada regimen dosis yang ada. Informasi pemantauan kadar selanjutnya

dikembangkan dengan pemodelan farmakokinetik populasi untuk identifikasi dan

kuantifikasi variabilitas farmakokinetiknya pada penderita Tuberkulosis Paru

yang ada. Beberapa variabel individu yang berpengaruh terhadap farmakokinetik

rifampisin penderita seperti fungsi liver (SGPT, SGOT, albumin), gangguan

ginjal, berat badan rendah, malnutrisi (Gupta & Lewis 2008; Arbex et al., 2010;

Ingen et al., 2011; Sharma et al., 2014) telah dipertimbangkan dalam pemodelan

populasi penelitian lain untuk mendapatkan model farmakokinetik yang sesuai.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang · rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid pada populasi penderita Tuberkulosis paru dan subjek sehat (Rafiq et al., 2010), klirens (Cl) dan volume

10

Informasi variabilitas farmakokinetik individu rifampisin maupun kadar OAT

pada penderita Tuberkulosis paru baru rawat jalan usia dewasa yang ada dan

pemanfaatan data model farmakokinetik populasi dengan pendekatan adaptive

Bayesian untuk memprediksi ketepatan capain kadar plasma individu setelah

penggunaan data posterior Bayesian individu belum tersedia sehingga perlu

dikembangkan melalui penelitian ini.

Ketersediaan informasi farmakokinetik untuk regimen dosis OAT untuk

populasi lokal diperlukan untuk mendukung terapi OAT yang lebih baik.

Penerapan suatu regimen dosis pada penderita Tuberkulosis pada penderita yang

mengalami efek samping saluran cerna dan toksisitas terhadap liver dan ginjal,

dimungkinkan karena adanya kontrol dari pemantauan kadar didukung dengan

pemodelan farmakokinetik populasi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dirumuskan permasalahan penelitian,

yaitu:

1.2.1 Apakah terdapat variabilitas farmakokinetika rifampisin interindividu

tetapan laju absorpsi (Ka), tetapan laju eliminasi (Ke) dan volume distribusi

(V) pada populasi Tuberkulosis Paru baru rawat jalan usia dewasa?

1.2.2 Apakah model farmakokinetik populasi rifampisin yang diintegrasikan

dengan pendekatan adaptive Bayesian dapat menghasilkan ketepatan

prediksi capaian kadar plasma individu yang lebih baik setelah penggunaan

posterior Bayesian individu?

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang · rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid pada populasi penderita Tuberkulosis paru dan subjek sehat (Rafiq et al., 2010), klirens (Cl) dan volume

11

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan pemodelan

farmakokinetik populasi rifampisin dengan pendekatan non parametrik untuk

penderita Tuberkulosis Paru baru rawat jalan usia dewasa.

1.3.2 Tujuan khusus

1.3.2.1 Membuktikan adanya variabilitas farmakokinetika rifampisin interindividu

tetapan laju absorpsi (Ka), tetapan laju eliminasi (Ke) dan volume

distribusi (V) pada populasi Tuberkulosis Paru baru rawat jalan usia

dewasa.

1.3.2.2 Membuktikan bahwa model farmakokinetik populasi rifampisin yang

diintegrasikan dengan pendekatan adaptive Bayesian dapat menghasilkan

ketepatan prediksi kadar plasma individu yang lebih baik pada penggunaan

posterior Bayesian individu.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dapat dikaji dari beberapa sisi, yaitu:

1.4.1 Manfaat akademik

Pemodelan farmakokinetik populasi rifampisin mengkarakterisasi

farmakokinetik populasi penderita Tuberkulosis Paru baru rawat jalan usia dewasa

yang ada. Pemodelan farmakokinetik populasi bermanfaat untuk menjelaskan

pemahaman farmakokinetik obat pada penderita klinik. Pemodelan

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang · rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid pada populasi penderita Tuberkulosis paru dan subjek sehat (Rafiq et al., 2010), klirens (Cl) dan volume

12

farmakokinetik bermanfaat untuk menjelaskan upaya rekonstruksi dosis OAT

rifampisin secara ilmiah dengan memanfaatkan pendekatan farmakokinetik

populasi dan menjelaskan upaya regimen dosis individual secara lebih baik.

1.4.2 Manfaat praktis

Secara praktis pemodelan farmakokinetik populasi diterapkan untuk

pemantauan kadar terapetik antituberkulosis untuk individualisasi

antituberkulosis. Pemodelan farmakokinetik populasi menyediakan informasi

awal untuk melakukan estimasi dosis rifampisin secara akurat dengan

menggunakan data individu.