bab i pendahuluan 1.1. latar belakang...menemukan penghiburan, untuk dilengkapi dan untuk ditemani....

15
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam setiap diri manusia terdapat suatu kerinduan mendalam yaitu hasrat untuk menemukan penghiburan, untuk dilengkapi dan untuk ditemani. 1 Kerinduan mendalam yang memunculkan hasrat terakumulasi dalam perasaan dan ungkapan cinta. Saat manusia memiliki keyakinan bahwa cinta telah menjadi unsur penting dalam mengembangkan relasi yang semakin intens, dan relasi mengarah pada stabilisasi keterlibatan emosi menuju penyesuaian yang nyaman, aman dan produktif, 2 maka komitmen untuk menyatukan cinta membawa kepastian untuk melangkah pada lembaga pernikahan. Dengan kata lain pernikahan dipandang sebagai salah satu wadah yang dapat mengakomodir peneguhan komitmen untuk memadukan, mengembangkan, membina relasi cinta diantara dua insan manusia. Pernikahan dalam pandangan kekristenan kekinian telah melalui proses historis yang cukup panjang. Pada awal kekristenan praktik pernikahan Kristen merupakan hasil kolaborasi antara praktik pernikahan Yunani-Romawi, Yahudi dan etos khusus yang dihadirkan sebagai penyaring dari tata susila pernikahan Yunani-Romawi dan Yahudi untuk disesuaikan dengan etos kekristenan. 3 Etos Kristen dalam pernikahan mengarahkan setiap pribadi Kristen untuk menghayati pernikahan dan seksualitas menurut aturan-aturan masyarakat Kristen saat itu. Pada abad II ZB terdapat karangan Kristen yaitu surat kepada Diognetos 175-200 ZB yang berkaitan 1 James Walker, Suami yang Tidak Mau Memberi Teladan dan Istri yang Tidak Mau Mencontoh (Batam: Interaksara, 2003), 11. 2 Yusak B. Setyawan, Seksualitas dalam Agama dan Masyarakat (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 2014), 28. 3 Etos yang dimaksud dalam hal ini adalah sikap dasar secara sadar dan dasariah disetujui dan dikehendaki oleh pribadi yang bersangkutan, dapat disebut sebagai gaya hidup. Gaya hidup tersebut berdasar pada tata nilai yang dilatarbelakangi oleh pandangan hidup, visi seseorang terhadap konteks realitas hidupnya. Sehingga, etos tersebut dapat menentukan identitas dari komunitas sosial (sosio-religius). C Groenen, Perkawinan Sakramental: Antropologi dan Sejarah Teologi, Sistematik, Spiritualitas, Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 82-84.

Upload: others

Post on 27-Jan-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Di dalam setiap diri manusia terdapat suatu kerinduan mendalam yaitu hasrat untuk

    menemukan penghiburan, untuk dilengkapi dan untuk ditemani.1 Kerinduan mendalam yang

    memunculkan hasrat terakumulasi dalam perasaan dan ungkapan cinta. Saat manusia memiliki

    keyakinan bahwa cinta telah menjadi unsur penting dalam mengembangkan relasi yang semakin

    intens, dan relasi mengarah pada stabilisasi keterlibatan emosi menuju penyesuaian yang

    nyaman, aman dan produktif,2 maka komitmen untuk menyatukan cinta membawa kepastian

    untuk melangkah pada lembaga pernikahan. Dengan kata lain pernikahan dipandang sebagai

    salah satu wadah yang dapat mengakomodir peneguhan komitmen untuk memadukan,

    mengembangkan, membina relasi cinta diantara dua insan manusia.

    Pernikahan dalam pandangan kekristenan kekinian telah melalui proses historis yang

    cukup panjang. Pada awal kekristenan praktik pernikahan Kristen merupakan hasil kolaborasi

    antara praktik pernikahan Yunani-Romawi, Yahudi dan etos khusus yang dihadirkan sebagai

    penyaring dari tata susila pernikahan Yunani-Romawi dan Yahudi untuk disesuaikan dengan etos

    kekristenan.3 Etos Kristen dalam pernikahan mengarahkan setiap pribadi Kristen untuk

    menghayati pernikahan dan seksualitas menurut aturan-aturan masyarakat Kristen saat itu. Pada

    abad II ZB terdapat karangan Kristen yaitu surat kepada Diognetos 175-200 ZB yang berkaitan

    1 James Walker, Suami yang Tidak Mau Memberi Teladan dan Istri yang Tidak Mau Mencontoh (Batam:

    Interaksara, 2003), 11. 2 Yusak B. Setyawan, Seksualitas dalam Agama dan Masyarakat (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 2014),

    28. 3 Etos yang dimaksud dalam hal ini adalah sikap dasar secara sadar dan dasariah disetujui dan dikehendaki

    oleh pribadi yang bersangkutan, dapat disebut sebagai gaya hidup. Gaya hidup tersebut berdasar pada tata nilai yang

    dilatarbelakangi oleh pandangan hidup, visi seseorang terhadap konteks realitas hidupnya. Sehingga, etos tersebut

    dapat menentukan identitas dari komunitas sosial (sosio-religius). C Groenen, Perkawinan Sakramental:

    Antropologi dan Sejarah Teologi, Sistematik, Spiritualitas, Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 82-84.

  • 2

    dengan pernikahan. Karangan itu menunjukkan bahwa lembaga pernikahan tidak dapat

    diwujudkan jika di dalamnya terjadi kontradiksi dengan unsur-unsur yang ada dalam etos

    Kristen, seperti: perceraian.4 Dapat dikatakan etos Kristen dalam pernikahan yang menolak

    perceraian menjadi cikal bakal dari pemahaman dasar yang dianut gereja.

    Ignatius pada abad kedua mengungkapkan bahwa dalam perwujudan pernikahan maka

    mempelai laki-laki dan perempuan harus meminta persetujuan uskup sebagai wujud dari

    pemahaman bahwa pernikahan yang dilakukan tidak hanya didasari oleh keinginan duniawi

    semata melainkan menurut kehendak Allah. Kemudian, pada abad III banyak gereja yang turut

    berperan aktif dalam proses pernikahan sampai pada peneguhan dan pemberkatan nikah.5 Pada

    abad XIII gereja mulai mengedepankan pelaksanaan pernikahan dilakukan oleh seorang pejabat

    gereja. Realita ini memunculkan kemungkinan pernikahan tidak lagi berada pada undang-undang

    profan (pemerintah) melainkan berada di bawah wewenang gereja, bahkan para ahli teologi saat

    itu mulai menekankan bahwa pernikahan adalah suatu sakramen. Pada saat itu dalam misa nikah

    yang dilakukan oleh seorang imam dibacakan Efesus 5:22-23 dan Matius 19:3-6, kemudian

    dilanjutkan dengan berkat yang diucapkan untuk kedua mempelai.6

    Tidak heran pernikahan merupakan salah satu peristiwa yang menjadi pusat perhatian

    gereja. Pernikahan menurut doktrin Kristen pun memakai dasar-dasar Alkitabiah untuk

    menunjukkan bahwa pernikahan merupakan persekutuan hidup yang dikehendaki Allah dan

    berlaku seumur hidup (Kej 2:24; Mat 19:3-6).7 Janji pernikahan Kristen meliputi keberadaan

    cinta, pemeliharaan dan kemitraan abadi “sampai maut memisahkan kita”, sehingga konsekuensi

    4 Groenen, Perkawinan Sakramental: Antropologi dan Sejarah Teologi, Sistematik, Spiritualitas, Pastoral,

    85-90. 5 J.L.Ch. Abineno, “Peneguhan dan Pemberkatan Nikah,” dalam Weinata Sairin & J.M.Pattiasina (ed.),

    Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Dalam Perspektif Kristen (Jakarta: Gunung Mulia, 1994), 20-21. 6 J.L.Ch. Abineno, Buku Katekisasi Sidi Nikah, Peneguhan dan Pemberkatannya (Jakarta: Gunung Mulia,

    2012), 44. Abineno, Peneguhan dan Pemberkatan Nikah,” dalam Weinata Sairin & J.M.Pattiasina (ed.), Pelaksanaan

    Undang-Undang Perkawinan dalam Perspektif Kristen, 22. 7 J.L.Ch. Abineno, Sekitar Etika dan Soal-Soal Etis (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 61.

  • 3

    dari pemahaman pengajaran kekristenan ini berimplikasi pada afirmasi pernikahan untuk

    seumur hidup.8 Salah satu pendekatan untuk afirmasi pernikahan ini hadir dari beberapa teolog

    Kristen yang mengungkapkan bahwa pernikahan itu tak terceraikan. Augustinus (354-430 ZB)

    seorang teolog Kristen mengklaim bahwa pernikahan yang tidak terceraikan adalah pernikahan

    yang tidak dapat larut dalam keadaan apapun, dengan kata lain pernikahan merupakan suatu

    ikatan sakramen antara kedua pribadi sehingga pernikahan adalah permanen. Pengajaran

    Augustinus secara definitif dianut Gereja Roma Katolik dan Ortodoks Timur.9

    Tradisi Protestan sendiri menolak gagasan bahwa pernikahan itu adalah sakramen. Marthin

    Luther menegaskan bahwa pernikahan adalah suatu kebebasan untuk menikah dengan

    memegang janji menciptakan pernikahan yang tak terpisahkan di hadapan Allah dan dunia.10

    Sementara Yohanes Calvin (1509-1564) menegaskan bahwa pernikahan yang benar terjadi

    sekali, disucikan dan permanen. Walaupun pernikahan bagi Luther dan Calvin bukanlah

    sakramen namun Katolik dan Protestan berada pada pemahaman utama yang sama yaitu

    memahami bahwa inisiasi menuju kehidupan pernikahan adalah ikatan yang kekal.11

    Marthin

    Luther dan Yohanes Calvin memahami pernikahan merupakan institusi kudus melibatkan laki-

    laki dan perempuan yang diteguhkan dan diberkati Allah. Yohanes Calvin membahasakan

    pernikahan merupakan “tatanan yang baik dan kudus dari Allah”.12

    Yohanes Calvin dikenal

    sebagai reformator Kota Geneva. Tindakan reformasi yang dilakukan oleh Calvin di Geneva

    salah satunya adalah melakukan perubahan terhadap pemikiran teologis Barat tentang hukum-

    8 Abineno, Sekitar Etika dan Soal-Soal Etis, 152.

    9 Wioleta Polinska, “Till Death Do Us Part: Buddhist Insights on Christian Marriage” Buddhist-Christian

    Studies 30 (2010), 29. 10

    Polinska,“Till Death Do Us Part: Buddhist Insights on Christian Marriage” Buddhist-Christian Studies,

    31. 11

    Polinska,“Till Death Do Us Part: Buddhist Insights on Christian Marriage” Buddhist-Christian Studies,

    32. 12

    Joas Adiprasetya,“Perceraian dan Pernikahan Kembali, Telaah Etis dan Teologis,” di dalam

    http://gkipi.org/perceraian-dan-pernikahan-kembali-telaah-etis-dan-teologis/ diakses tanggal 5 Juni 2013 PKl 19.00.

    http://gkipi.org/perceraian-dan-pernikahan-kembali-telaah-etis-dan-teologis/

  • 4

    hukum yang mengatur seks, pernikahan dan keluarga.13

    Calvin membawa reformasi dalam

    pernikahan di Geneva (1541), ia beranggapan bahwa peraturan pernikahan yang berlaku saat itu

    perlu untuk dipelajari dan disusun kembali sehingga menghasilkan suatu pernikahan yang seturut

    dengan firman Tuhan.14

    Peraturan pernikahan (Marriage Ordinances) pada tahun 1547 yang

    diprakarsai oleh Calvin akhirnya diterbitkan di Geneva, yang kemudian baru diresmikan tahun

    1561.15

    Bagi Calvin pernikahan merupakan institusi penyatuan laki-laki dan perempuan yang

    telah diinstitusikan Allah oleh karena itu bersifat sakral, kudus. Pernikahan Kristen merupakan

    wadah dimana pasangan Kristen menjalankan panggilan imannya.16

    Segala tindakan yang

    memisahkan institusi ini dalam perceraian merusak pernikahan karena bertentangan dengan

    kehendak Allah sebagaimana ditegaskan oleh Yesus dalam Matius 19:6 “Demikianlah mereka

    bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh

    diceraikan manusia.”

    Pemahaman Yohanis Calvin masih menjadi pegangan bagi gereja-gereja protestan arus

    utama di Indonesia yang salah satunya adalah GMIST. Pengajaran tentang pernikahan GMIST

    dipaparkan dalam tata ibadah pernikahan yang berisi tentang hakikat dari pernikahan Kristen.

    13

    Megawati Rusli, “Konsistensi Antara Pengajaran Calvin akan Pernikahan Kristen dan Hidup

    Pernikahannya” Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan 10, 1 (April 2009), 73. 14

    Doktrin gereja tentang pernikahan disusun setelah revolusi Paus (1075-1300). Doktrin gereja mengalami

    pengkategorian, penyusunan dan pemurnian. Gereja abad pertengahan membuat undang-undang pernikahan yang

    kompleks dan menyeluruh dinamakan cannon law of marriage. Undang-undang ini didasarkan atas dasar teologis

    yang memandang pernikahan sebagai asosiasi alamiah yang telah diciptakan, perjanjian yang disetujui bersama dan

    sakramen iman. Namun, sekalipun pernikahan itu dipahami sebagai institusi yang ditetapkan Allah, pernikahan

    dipandang rendah, natural, dan buruk dibandingkan dengan selibat karena pernikahan dianggap sekadar kewajiban,

    khususnya bagi mereka yang lemah terhadap godaan seksual. Keputusan seseorang untuk menikah menjadi salah

    satu alasan agar ia terhindar dari dosa sedangkan selibat meninggikan seseorang dengan kebajikannya melalui

    institusi yang bersifat supranatural. Rusli, “Konsistensi Antara Pengajaran Calvin akan Pernikahan Kristen dan

    Hidup Pernikahannya” Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan , 74-75. 15

    Rusli, “Konsistensi Antara Pengajaran Calvin akan Pernikahan Kristen dan Hidup Pernikahannya”

    Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan, 78 16

    H.W.B. Sumakul, Panggilan Iman dalam Teologi Luther dan Calvin (Jakarta: Gunung Mulia, 2011), 164-

    167.

  • 5

    Berikut ini beberapa pengajaran pernikahan yang tertulis dalam Tata Ibadah Peneguhan

    Pernikahan GMIST :17

    Nomor 7 : Titah Pernikahan :

    “Sebab itu hendaklah saudara-saudara mendengar sabda Allah yang

    memberitakan bahwa nikah itu adalah satu titah Allah yang telah menciptakan langit

    dan bumi dan yang juga menciptakan manusia itu laki-laki dan perempuan. Tuhan

    Allah berfirman tidak baik manusia seorang diri saja aku akan menjadikan penolong

    baginya yang sepadan dengan dia (Kej 2: 18) sebab itu janganlah kamu ragu-ragu

    apakah nikah itu berkenan kepada Tuhan Allah atau tidak? karena firmannya

    menyaksikan kepada kita bahwa Ia sendiri telah menciptakan untuk Adam seorang

    perempuan menjadi istrinya demikianlah sampai sekarang juga Ia hendak

    menyatakan kepada kita bahwa Ialah yang dengan tanganNya sendiri hendak

    mempersatukan seorang laki-laki dan seorang perempuan”.

    Nomor 10 : Pengakuan dan Ikrar :

    “Tuhan kiranya mengabulkan ikrar dan janjimu dan menjadi penolongmu!

    demikian diperbuat Tuhan akan kamu, maka hanyalah maut dapat menceraikan

    kamu!”

    Nomor 14 : Berkat :

    “Karena itu apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia.”

    (Mat 19:6)

    17

    Salamate Yosef, C.W Tamaka, E.P Tucunan, Tata Ibadah GMIST (Tahuna: Sinode GMIST), 242-253.

  • 6

    Dengan demikian pengajaran pernikahan yang tertuang dalam Tata Ibadah GMIST

    menunjukkan secara signifikan pemahaman GMIST tentang pernikahan. Pernikahan dipandang

    memiliki ikatan kekal atau permanen yang tidak dapat dipisahkan, dan dengan demikian

    perceraian merupakan suatu keadaan yang harus dihindari karena merupakan pelanggaran

    terhadap ajaran-ajaran gereja. Gereja telah menentukan posisinya dalam memandang perceraian

    yaitu menolak perceraian padahal dalam realitanya banyak keluarga yang telah bercerai,

    sehingga perceraian merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam realita hidup pernikahan.

    Data perceraian menunjukkan bahwa angka perceraian semakin meningkat secara drastis di

    Indonesia. Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat selama

    periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 persen. Tingkat perceraian

    sejak 2005 terus meningkat di atas 10 persen setiap tahunnya. Pada tahun 2010, terjadi 285.184

    perceraian di seluruh Indonesia. Perceraian pasangan dapat disebabkan oleh beberapa faktor

    antara lain: ketidakharmonisan sebanyak 91.841 perkara, tidak ada tanggung jawab 78.407

    perkara, dan masalah ekonomi 67.891 perkara. Ditjen Badilag juga mengungkapkan, pemicu

    perceraian adalah masalah politik. Tercatat ada 334 kasus perkara perceraian yang dipicu

    masalah politik. 18

    Sementara itu meningkatnya angka perceraian ini tidak terdeteksi secara statistik dalam

    GMIST Mahanaim, hal ini disebabkan GMIST Mahanaim sangat terikat pada doktrin gereja anti

    perceraian. Nampaknya mencatat data yang berkaitan dengan perceraian dalam jemaat dianggap

    sebagai bentuk persetujuan perihal perceraian dan juga menunjukkan kegagalan gereja dalam

    menangani konflik rumah tangga dalam jemaat. Berdasar hasil wawancara dengan kepala kantor

    18

    Erik Purnama Putra, “Angka Perceraian Pasangan Indonesia Naik Drastis 70 Persen,” di dalam

    http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/24/lya2yg-angka-perceraian-pasangan-indonesia-naik-dras

    tis-70-persen diakses tanggal 3 Juni 2013 Pkl 19.00.

    http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/24/lya2yg-angka-perceraian-pasangan-indonesia-naik-dras%20tis-70-persenhttp://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/24/lya2yg-angka-perceraian-pasangan-indonesia-naik-dras%20tis-70-persen

  • 7

    GMIST Mahanaim Jakarta, 4 orang dari pelayanan kategorial perempuan dan 3 orang majelis

    diungkapkan beberapa kasus perceraian yang terjadi dalam jemaat, seperti berikut: 15 kasus

    perceraian resmi yang dilakukan di pengadilan negeri, 22 kasus pisah rumah tanpa perceraian.19

    Perceraian ternyata tidak hanya terjadi di luar tembok gereja tetapi telah masuk ke dalam

    gereja dan menjadi realitas hidup jemaat. Kesepakatan untuk bercerai merupakan dampak dari

    kegagalan membangun relasi harmonis antara suami dan istri. Kegagalan dalam membangun

    relasi yang harmonis tidak hanya berpusat karena cinta yang telah hilang dalam relasi suami atau

    pun istri tetapi sering disebabkan oleh beragam persoalan yang mencuat dalam kehidupan rumah

    tangga, seperti persoalan gejolak politik dan ekonomi dalam negara yang dapat berimbas pada

    keterhimpitan ekonomi keluarga yang berujung pada konflik dalam rumah tangga. Persoalan

    gender yang berkaitan dengan budaya patriakhi yang masih dijunjung tinggi berakibat pada

    ketimpangan peran antara suami dan istri, suami menganggap dirinya sebagai pemegang tampuk

    kekuasaan dan keputusan dalam rumah tangga sehingga dapat melakukan tindakan semena-mena

    terhadap istri. Kondisi yang menghadirkan beragam persoalan semakin menegaskan kesuraman

    ketika persoalan-persoalan yang terjadi diatasi dengan menggunakan kekerasan terhadap suami

    atau pun istri baik secara fisik dan psikis. Melalui media massa ataupun media elektronik kita

    dapat membaca, melihat, mendengar kasus-kasus kekerasan yang dialami dalam ruang lingkup

    rumah tangga.

    Kasus-kasus kekerasan merupakan sebuah realita yang menggambarkan penganiayaan

    yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Penganiayaan yang pada umumnya menunjukkan

    perempuan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga. Dalam pengalaman penganiayaan

    yang dialami akibat kekerasan dalam rumah tangga maka bukanlah suatu jaminan jika

    19

    Kepala kantor, pengurus pelayanan kategorial perempuan, wawancara, 25 November 2013, pkl. 13.20 WIB

  • 8

    pernikahan dipertahankan maka kebahagiaan tetap menjadi bagian dalam lingkup rumah tangga.

    Kebahagiaan yang ada mungkin hanya sebagai topeng untuk menghindari kecaman masyarakat

    dan agama. Namun di dalam hati dan fisik yang telah teraniaya pernikahan telah menjadi batu

    sandungan terhadap kemanusiaan itu sendiri. Tidak heran jika kasus-kasus kekerasan yang

    muncul dalam rumah tangga menyebabkan terjadinya perceraian.

    Persoalan perceraian adalah persoalan yang dilematis karena setiap perceraian selalu

    membawa konsekuensi bagi setiap orang yang memutuskan untuk bercerai. Ada konsekuensi

    etis, psikologis, finansial, serta berhubungan dengan status dalam masyarakat termasuk dalam

    persekutuan gereja. Di Indonesia sendiri orang yang bercerai akan mendapatkan reputasi yang

    buruk karena mereka dianggap sebagai pengkhianat rumah tangga.20

    Dalam Kekristenan yang juga nampak dalam GMIST, perceraian dianggap sebagai suatu

    pelanggaran terhadap ketetapan Tuhan. Kekristenan memegang doktrin anti perceraian seperti

    yang terdapat dalam Alkitab yaitu Matius 19:6 “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan

    satu. Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”. Bahkan

    permasalahan-permasalahan dengan beragam bentuk salah satunya berupa kekerasan dalam

    pernikahan dianggap sebagai pergumulan ataupun jalan salib yang harus dilalui dan jalan salib

    itu mendorong pertobatan, pengampunan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa doktrin

    Kristen anti perceraian merupakan suatu kemutlakan untuk tetap menyatu dalam pernikahan

    sekalipun terjadi ketimpangan keadilan, penganiayaan dan perenggutan hak asasi manusia

    sebagai pribadi yang patut untuk dicintai, dihargai, dihormati. Bahkan tidak jarang pemahaman

    terhadap doktrin anti perceraian memunculkan sikap pembenaran terhadap penganiayaan dan

    20

    Ruth Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru (Jakarta: Gunung Mulia, 2012), 2.

  • 9

    penyiksaan yang dialami oleh suami atau pun istri. Sikap pembenaran ini merupakan bagian

    wajib yang harus dijalani sebagai konsekuensi dari sebuah pilihan, tidak heran walaupun terjadi

    kekerasan dalam rumah tangga tetapi mereka lebih memilih bertahan terhadap penyiksaan itu,

    dibandingkan keluar dari penyiksaan tersebut. Doktrin Kristen anti perceraian telah

    menyembunyikan realita kekerasan dalam rumah tangga yang terbungkus oleh teks-teks yang

    terdapat dalam Alkitab yang berkaitan dengan larangan perceraian.

    Doktrin anti perceraian ini yang membentuk sikap gereja saat berhadapan dengan

    persoalan perceraian dalam jemaat. Bahkan doktrin tersebut menjadi dasar bagi gereja

    melakukan sikap yang diskriminatif terhadap keluarga yang bercerai. Seperti contoh : pertama,

    ketika suami atau pun istri yang bercerai memegang jabatan majelis dalam gereja maka secara

    otomatis mereka akan dikenakan disiplin gereja yaitu diskors dari kemajelisan. Kedua, bagi para

    ibu rumah tangga yang aktif dalam kepengurusan organiasai gereja dan memilih untuk bercerai

    mendapatkan disiplin gereja. Untuk sementara waktu dinonaktifkan dari kepengurusan gereja.

    Ketiga, keluarga yang bercerai seringkali menjadi topik perbincangan dalam komunitas jemaat,

    bahkan mengarah pada sikap mengucilkan keluarga yang memutuskan untuk bercerai karena

    dianggap telah melanggar perintah Allah dan dianggap sebagai pengkhianat rumah tangga.

    Gereja seringkali mengambil sikap menghakimi tanpa menyelidiki persoalan yang

    mendasari perceraian, sehingga yang sering terjadi adalah korban kekerasan dalam rumah tangga

    juga menjadi korban dalam gereja. Gereja lebih sering memilih untuk mengambil sikap “diam”

    dan menyerahkan kepada legalitas hukum pemerintah untuk menyelesaikan kasus perceraian.

    Doktrin Kristen anti perceraian merupakan dasar dari sikap pasif gereja terhadap persoalan

    perceraian dalam jemaat.

  • 10

    Persoalan dilematis ini semakin memperuncing keadaan psikis dari keluarga yang bercerai.

    Padahal suatu keutuhan terhadap diri manusia yang begitu berharga diciptakan oleh Tuhan dan

    tersia–siakan dalam lembaga pernikahan seharusnya juga menjadi dasar pemikiran gereja untuk

    turut memberikan sarana ataupun media dalam penanganan perceraian, dimana pernikahan yang

    dijalani telah menjadi ajang untuk mematikan karakter manusia dan kemanusiaan itu sendiri.

    Kebahagiaan mereka justru terenggut dalam lembaga pernikahan. Gereja harus mampu memberi

    jawaban yang arif, dan objektif bersangkut paut dengan persoalan perceraian, sehingga keutuhan

    akan diri sebagai ciptaan Tuhan untuk meneruskan hidup dengan optimis dapat dirasakan oleh

    setiap individu dalam jemaat yang telah menjadi korban kekerasan dalam lembaga pernikahan.

    Hidup bukan untuk ketertindasan tetapi untuk kemerdekaan. Mengembalikan keutuhan sebagai

    manusia yang memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan merupakan tugas dan tanggung

    jawab bersama.

    Sikap gereja merupakan salah satu dari sikap komunitas kristen lain terhadap perceraian

    yang di akibatkan karena benturan doktrin Kristen anti perceraian. Jika demikian bukankah

    doktrin Kristen yang anti perceraian juga turut mengambil bagian melegalkan penindasan,

    penganiayaan, penjajahan yang terjadi dalam lembaga pernikahan. Bahkan menghantar kepada

    “maut” itu sendiri, atau pemahaman yang keliru terhadap doktrin Kristen yang berbicara tentang

    perceraian dalam Matius 19: 1-12 menjadi penyebab dari keabsahan penderitaan dan

    penganiayaan, penjajahan dalam rumah tangga. Dalam konteks permasalahan demikian maka

    penulis akan mengkaji permasalahan ini melalui hermeneutik poskolonial yang lebih

    memberikan penekanan pada pembebasan dari keterjajahan. Kajian yang akan dilakukan

    berdasarkan konteks pembebasan dari keterjajahan dalam rumah tangga, komunitas Kristen dan

    gereja secara struktur, yang mengarah berdasarkan identifikasi permasalahan sebagai berikut :

  • 11

    merekonstruksi dari perspektif postkolonial pengalaman orang–orang yang mengalami

    perceraian dari Matius 19:1-12, melakukan studi hermeneutik berdasarkan perspektif

    hermeneutik poskolonial, dan melakukan tinjauan kritis terhadap doktrin Kristen anti perceraian

    terhadap matius 19:1-12. Berdasar kompleksitas permasalahan di atas yang bersangkut paut

    dengan perceraian, maka judul dari tesis ini adalah

    Mempertanyakan Doktrin Kristen Anti Perceraian di GMIST Mahanaim

    dari Perspektif Hermeneutik Poskolonial terhadap Matius 19:1-12.

    1.2. Perumusan Masalah

    Untuk menjawab permasalahan ini, maka rumusan permasalahan adalah sebagai

    berikut:

    1. Apakah pengalaman diskriminasi yang dialami oleh korban perceraian di GMIST Mahanaim?

    2. Apakah makna teks Matius 19:1-12 menurut perspektif orang-orang yang mengalami

    diskriminasi akibat perceraian di GMIST Mahanaim?

    1.3. Tujuan Penelitian

    Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jawaban dari tiga permasalahan yang terdapat

    dalam rumusan masalah yaitu:

    1. Mengetahui pengalaman diskriminasi pada orang yang bercerai di GMIST Mahanaim.

    2. Merekonstruksi makna teks Matius 19:1-12 berdasar perspektif orang yang bercerai di

    GMIST Mahanaim dengan menggunakan konteks sosio budaya dalam Matius yang bersentuhan

    dengan pengalaman diskriminatif.

  • 12

    1.4. Urgensi Penelitian

    Urgensi dari penelitian tidak hanya sekedar bersifat teoritis tetapi juga dapat bersifat

    praktis. Bersifat teoritis karena penelitian ini akan menyentuh konsep perceraian berdasar latar

    belakang menyejarah dari Matius 19:1-12, sehingga urgensi yang bersifat teoritis ini akan

    melakukan tinjauan kritis terhadap doktrin Kristen anti perceraian dan akan memberikan

    perspektif yang benar tentang perceraian yang dimaksudkan oleh Matius 19:1-12 kepada gereja

    dan warga gereja, dengan demikian akan dilakukan peninjauan ulang terhadap doktrin Kristen

    anti perceraian.

    Perspektif yang benar tentunya akan berdampak pada sikap yang benar dalam menghadapi

    permasalahan perceraian yang terjadi dalam jemaat. Urgensi bersifat praktis ini merupakan

    kelengkapan dari perspektif teoritis tentang perceraian, sehingga warga gereja dapat menyikapi

    perceraian dengan bijaksana. Bijaksana disini memiliki pengertian kemampuan warga gereja dan

    gereja untuk tidak bersikap diskriminatif terhadap mereka yang bercerai, dan tetap memberikan

    mereka peluang atau pun kesempatan dalam karya pelayanan. Gereja pun kiranya dapat berperan

    serta dalam upaya meletakkan rancangan-rancangan strategis dalam persoalan perceraian.

    1.5. Jenis & Metodologi Penelitian

    Pada tulisan ini metode yang digunakan adalah hermeneutik poskolonial. Hermeneutik

    poskolonial merupakan interpretasi yang memahami teks dengan melibatkan konteks.

    Interpretasi terhadap teks tidak muncul dalam situasi terisolasi namun berada dalam konteks

    konkrit dimana penafsir berada dan bergulat dengan persoalan-persoalan komunitasnya.21

    21

    Yusak B. Setyawan, Postcolonial Hermeneutics An Indonesian Perspective (Salatiga: Fakultas Teologi

  • 13

    Hermeneutik poskolonial yang berhubungan dengan pembelajaran Alkitab adalah untuk

    menempatkan situasi kolonialisme ditengah Alkitab dan interpretasi Alkitab. Apa yang di

    temukan pada segi sejarah dan naskah hermeneutik dari pengetahuan tentang Alkitab lebih dari

    empat ratus tahun adalah dampak dari reformasi atau reformasi balasan atau efeknya dari

    pergerakan filosofi Eropa pada abad 18 dan membentuk disiplin oleh pemikiran rasionalis atau

    sesuatu yang berkembang dalam kritik sejarah. Namun terdapat keengganan yang luar biasa

    untuk menyebutkan imperialisme sebagai pembentuk garis batas pengetahuan tentang Alkitab.

    Apa yang dilakukan oleh kritik poskolonial dalam Alkitab terfokus pada keseluruhan isu tentang

    perluasan, dominasi dan imperalisme sebagai pusat kekuatan dalam mendefenisikan antara narasi

    Alkitab dan interpretasi Alkitab. 22

    Metode hermeneutik poskolonial yang digunakan untuk membaca teks Matius 19: 1-12

    yang berpusat pada konteks penafsir yang didominasi oleh beragam bentuk diskriminasi kiranya

    dapat memberikan kontribusi positif dalam penafsiran yang baru untuk menghapus bentuk

    kekerasan dan diskriminiasi yang dialami oleh mereka yang bercerai sehingga membawa

    keadilan dan kemerdekaan untuk mereka.

    Selain penggunaan metode hermeneutik poskolonial, maka dalam tulisan yang berpusat

    pada konteks penafsir yang bersinergi dengan rekonstruksi perspektif dari pengalaman orang-

    orang yang mengalami tindakan kekerasan dan diskrimasi berkaitan dengan perceraian

    dibutuhkan metode pendekatan sekunder dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

    Pendekatan kualitatif memberikan penekanan pada kualitas entitas, proses dan makna yang tidak

    melakukan kajian dari ukuran secara eksperimental dari sisi kuantitas, jumlah, intensitas atau

    frekuensi. Peneliti kualitatif mencari jawaban atas berbagai pertanyaan yang menyoroti cara

    UKSW, 2014), 1-4.

    22 R.S Sugirtharajah, Postcolonial Criticism Biblical Interpretation (New York: Oxford University, 2002),

    26.

  • 14

    munculnya pengalaman sosial berikut perolehan makna di dalamnya.23

    Penggunaan metode ini

    dapat mengarahkan penulis untuk mendapatkan gambaran secara holistik tentang pengalaman

    tindak kekerasan dan diskriminatif yang mereka alami.

    Untuk mendukung penulis menemukan gambaran secara holistik dari pengalaman

    diskriminasi dan makna baru didalamnya maka penulis menggunakan teknik wawancara. Penulis

    akan mewawancarai lima orang yang mengalami perceraian, langkah ini merupakan teknik

    pengambilan data yang didasarkan pada percakapan secara intensif tentang pemahaman

    perceraian dari perspektif mereka berkaitan dengan Matius 19:1-12, sebab dan dampak

    perceraian. Waktu penelitian selama delapan minggu dari tanggal 27 November 2013-22 Januari

    2014. Selain itu pula penulis akan melakukan penelusuran terhadap bahan-bahan pustaka yang

    menjadi sumber data, berupa literatur yang berkaitan dengan substansi penelitian ini.

    1.6. Sistematika Penulisan

    Tulisan ini terdiri dalam lima Bab. Pada Bab I dipaparkan tentang latar belakang,

    rumusan masalah, urgensi penelitian, manfaat penelitian, jenis dan metode penelitian, serta

    sistematika penulisan. Bab II akan memaparkan kerangka teori studi poskolonial, pengalaman

    diskriminasi dari orang yang bercerai dengan memperhatikan faktor-faktor yang memicu

    perceraian seperti dominasi kultur patriakhi yang berkolaborasi dengan kapitalisme global yang

    mengakibatkan tindakan kekerasan. Pemaparan dari pengalaman-pengalaman tersebut akan

    memunculkan rekonstruksi perspektif dari pengalaman diskriminasi orang yang bercerai di

    GMIST Mahanaim. Pada Bab III memaparkan konteks sosio budaya dari teks Matius 19:1-12

    meliputi: konteks penulisan Matius, imperialisme Romawi, dinamika kehidupan antara Yunani-

    23

    Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (Ed.), The Sage Handbook of Qualitative Research 1 Edisi Ketiga (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011 ), 7-15.

  • 15

    Romawi, Yahudi, dan Kristen. Serta konsep pernikahan Yunani-Romawi dan Yahudi. Bab IV

    akan memaparkan tinjauan kritis doktrin Kristen anti perceraian dari perspektif poskolonial

    terhadap Matius 19:1-12 . Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.