bab i pendahuluan 1.1. latar belakang masalah i.pdfindonesia sudah begitu parah dan meluas dalam...

64
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi di Indonesia bergulir dari tahun ke tahun kejadian belakangan ini semakin menghawatirkan dan memprihatinkan. Bagaikan kekuatan monster yang akan melibas habis tatanan kehidupan bangsa. Ada tanggapan yang mengandaikan bahwa korupsi terjadi di Indonesia diibaratkan seperti orang yang mengidap penyakit kanker pada kondisi kritis stadium 4 (Empat). Korupsi terjadi di Indonesia dikait- kaitkan dengan aspek historis dan budaya bangsa. Korupsi ada yang mensinyalir telah terjadi sejak jaya-jayanya jaman kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Korupsi ketika itu telah ada, dikaitkan dengan sektor pajak atau upeti yang mesti disetorkan kepada kerajaan. Sehingga secara historis korupsi yang terjadi di Indonesia telah melembaga dan membudaya di kalangan masyarakat Indonesia pada tatanan dimulai dari penguasa negeri. Sampai saat ini bahwa fenomena, fakta dan gejala korupsi di Indonesia sudah begitu parah dan meluas dalam masyarakat. Kondisinya semakin memprihatikan dan perkembangannya secara kuantitas dan kualitas terus meningkat dari tahun ketahun. Baik dari jumlah kasus yang terjadi serta jumlah kerugian keuangan negara terus meningkat. Kualitas tindak pidana yang terjadi semakin sistematis serta lingkupnya telah merambah seluruh aspek kehidupan serta sektor pemerintahan formal dan kalangan swasta. Melibatkan penyelenggara negara yang terdiri dari 1

Upload: lythuan

Post on 25-May-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Tindak pidana korupsi di Indonesia bergulir dari tahun ke tahun

kejadian belakangan ini semakin menghawatirkan dan memprihatinkan.

Bagaikan kekuatan monster yang akan melibas habis tatanan kehidupan

bangsa. Ada tanggapan yang mengandaikan bahwa korupsi terjadi di

Indonesia diibaratkan seperti orang yang mengidap penyakit kanker pada

kondisi kritis stadium 4 (Empat). Korupsi terjadi di Indonesia dikait -

kaitkan dengan aspek historis dan budaya bangsa. Korupsi ada yang

mensinyalir telah terjadi sejak jaya-jayanya jaman kerajaan Majapahit dan

Sriwijaya. Korupsi ketika itu telah ada, dikaitkan dengan sektor pajak atau

upeti yang mesti disetorkan kepada kerajaan. Sehingga secara historis

korupsi yang terjadi di Indonesia telah melembaga dan membudaya di

kalangan masyarakat Indonesia pada tatanan dimulai dari penguasa negeri.

Sampai saat ini bahwa fenomena, fakta dan gejala korupsi di

Indonesia sudah begitu parah dan meluas dalam masyarakat. Kondisinya

semakin memprihatikan dan perkembangannya secara kuantitas dan

kualitas terus meningkat dari tahun ketahun. Baik dari jumlah kasus yang

terjadi serta jumlah kerugian keuangan negara terus meningkat. Kualitas

tindak pidana yang terjadi semakin sistematis serta lingkupnya telah

merambah seluruh aspek kehidupan serta sektor pemerintahan formal dan

kalangan swasta. Melibatkan penyelenggara negara yang terdiri dari

1

2

lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif justru menjadi sarang pelaku

tindak pidana korupsi.

Bagi Indonesia dengan terjadinya tindak pidana korupsi yang

semakin sulit dicegah dan di berantas, dan dapat menggagalkan cita -cita

luhur berdirinya negara Indonesia yakni tercapainya masyarakat adil dan

makmur. Impian dan harapan bangsa tersebut seperti telah tertuang dalam

alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yakni seperti tersurat : “Untuk

membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan

ikut melaksanakan ketertiban dunia....... dstnya. Cita-cita luhur dari

pendiri negara ini akan mengalami kegagalan bila salah satu penyebabnya

yakni perbuatan korupsi dari para koruptornya tidak di tanggulanginya dan

diberantas secara tuntas berdasarkan sistem serta kebulatan tekad semua

komponen bangsa. Karena korupsi telah menimbulkan kerugian keuangan

negara yang sangat besar, pada gilirannya berdampak langsung terhadap

timbulnya krisis perekonomian negara dan menghambat pembangunan

nasional. Untuk itu segala daya dan kemampuan pemerintah bersama

masyarakat upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin

ditingkatkan dan diintensifkan dengan segala cara, namun tetap

menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan kepentingan

masyarakat luas.

3

Pandangan konteks keilmuan hukum, bahwa tindak pidana korupsi

sudah dianggapnya tidak lagi tergolong bentuk kejahatan konvensional ,

seperti pendapat pakar hukum Romli Atmasasmita menyatakan bahwa

tindak pidana korupsi sudah tergolong kejahatan inkonvensional dengan

modus operandi yang bersifat sistemik dan meluas serta merupakan “extra

ordinary crimes”1.

Sejalan dengan doktrin diatas, guru besar UNDIP Semarang

Nyoman Serikat Putra Jaya memandang perkembangan tindak pidana

korupsi baik dilihat dari sisi kualitas maupun kuantitas dewasa ini

menyatakan bahwa korupsi di Indonesia tidak lagi merupakan kejahatan

biasa (ordinary crimes), tetapi sudah merupakan kejahatan yang sangat

luar biasa (extra ordinary crimes)2. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa

“akibat negatif dari adanya tindak pidana korupsi sangat merusak tatanan

kehidupan bangsa, bahkan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi

dan hak sosial masyarakat Indonesia.3”

Predikat tindak pidana korupsi bagi Indonesia dengan kualifikasi

delik sangat luar biasa (extra ordinary crimes), secara jelas diakui

keberadaannya menurut hukum positif yang ada. Pengakuan tersebut

tersurat dalam penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, pada bagian anak kalimat: “…… Tindak pidana korupsi yang

1 Romli Atmasasmita, 2004. Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional Dan

Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung, hlm: 13. 2 Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008. Beberapa Pemikiran Kearah

Pengembangan Hukum Pidana , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm: 69 3Ibid

4

meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak

sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka

tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa

melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitupun dalam

upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi

dituntut cara-cara yang luar biasa”. Kalau dicermati perumusan kalimat

dalam penjelasan Umum UU No. 30 Tahun 2002 diatas, terumus kata-kata:

“Kejahatan luar biasa”, tanpa disertai dengan arti istilah asingnya “extra

ordinary crimes”, namun maknanya menurut penulis adalah sama bahwa

dalam memberi kualifikasi atau predikat tindak pidana korupsi yang

terjadi di Indonesia sudah tergolong delik atau tindak pidana yang luar

biasa (extra ordinary crimes)4. Terkait dalam penanganan tindak pidana

korupsi bagi Indonesia memerlukan pula langkah-langkah kuat (extra

ordinary power). Langkah-langkah kuat melalui terobosan-terobosan

penal dan nonpenal berupa kebijakan hukum pidana (criminal policy),

baik kebijakan hukum pidana materiil maupun kebijakan hukum pidana

formal.

Kualifikasi delik atas tindak pidana korupsi bagi Indonesia bukan

saja dengan klasifikasi extra ordinary crimes, juga dengan klasifikasi

delik “transnational crime”, mengandung arti bahwa masalah pencegahan

dan pemberantasan korupsi bukan lagi merupakan masalah nasional

semata, melainkan sudah merupakan masalah antar negara baik dilihat dari

4 Romli Atmasasmita, Op.Cit, hlm: v.

5

sisi modus operandi, locus delicti maupun dari sisi jurisdiksi kriminal.

Sehubungan dengan terjadinya tindak pidana korupsi ( locus delicti)

cenderung melibatkan jurisdiksi antar negara, akan lebih sulit lagi dalam

pelacakan dan pengejaran baik pelaku-pelakunya maupun aset-aset yang

dikorup, untuk cenderung dibawa lari atau dicuci (money laundering) atau

disembunyikan disuatu negara tertentu oleh koruptor.

Kesulitan dalam mengungkap tindak pidana korupsi karena pelaku

korupsi dominan dilakukan kalangan pejabat atau memiliki status sosial

menengah keatas atau dalam kalangan keilmuan hukum diistilahkan

pelaku kaum berdasi (white collar crimes). Sehubungan dengan fenomena

ini Indrianto Seno Adji berpendapat bahwa tak dapat dipungkiri korupsi

merupakan “white collar crime” dengan perbuatan yang selalu mengalami

dinamisasi modus operandinya dari segala sisi, sehingga dikatakan sebagai

invisible crime yang penanganannya memerlukan kebijakan hukum

pidana.5

Penulis sependapat dengan pendapat doktrin diatas bahwa dalam

penanganan tindak pidana korupsi siapapun pelakunya dan dari pihak

kalangan manapun tepat dan perlu untuk menerapkan beberapa kebjikan

hukum pidana, khususnya kebijakan pidana dibidang hukum acaranya

seperti salah satunya terobosan dibidang pembuktian dalam proses

peradilannya.

5 Indrianto Seno Adji, 2006, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan

Hukum/Pidana, Diadit Media, Jakarta, hlm: 374.

6

Karena rumitnya penelusuran dan pengungkapan barang bukti

selaku alat bukti dalam tindak pidana korupsi, maka substansi

pembuktiannya memerlukan kebijakan khusus. Pembuktian menjadi titik

penting dan penentu dalam proses peradilan korupsi, karena tindak pidana

korupsi yang terjadi mengandung ciri-ciri khusus seperti digariskan oleh

Syed Husein Alatas bahwa ciri-ciri korupsi terdiri dari 9 (sembilan) unsur,

yang terpenting menurut penulis adalah “Korupsi pada umumnya

melibatkan keserbarahasiaan dan menyelubungi perbuatannya dengan

berlindung di balik pembenaran hukum”6. Terkait faktor-faktor hambatan

dalam pembuktian, maka terobosan hukum sebagai kebijakan penal dalam

proses pembuktian memerlukan urgensitas sistem yang akurat guna

memudahkan pengungkapan alat-alat bukti dalam proses persidangan

tindak pidana korupsi.

Dalam proses peradilan pidana menurut Undang-Undang No. 8

Tahun 1981 atau KUHAP dapat diinterpretasikan bahwa menganut sistem

pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatif wettelijke

bewijs theorie). Penerapan sistem pembuktian ini dapat dipahami dari

acuan ketentuan Pasal 183 KUHAP dengan menyuratkan : “Hakim tidak

boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan

bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah

yang bersalah melakukannya”.

6 Syed Hussein Alatas, 1983, Sosiologi Korupsi sebuah Penjelajahan dengan

Data Kontemporer, LP3ES, Jakarta, hlm: 13

7

Alat bukti dalam KUHAP berpedoman pada ketentuan Pasal 184

ayat (1), alat bukti yang sah ialah :

a. Keterangan saksi

b. Keterangan ahli

c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

Mencermati perumusan Pasal 183 KUHAP dihubungkan dengan

sistem pembuktian yang dianut dan diterapkan dalam peradilan pidana

pada umumnya, maka menurut pendapat Martiman Prodjohamidjojo bahwa

makna dari pada Pasal 183 KUHAP tersebut menunjukkan yang dianut dan

diterapkan dalam sistem pembuktian ialah sistem negatif menurut Undang-

Undang (negatif wettelijke)7. Berpatokan pada ketentuan Pasal 183

KUHAP penulis dapat menarik hal-hal penting sehubungan proses

pembuktian dan sistem pembuktian yang diterapkan seperti hakim dalam

memutus terdakwanya bersalah berpedoman pada adanya syarat minimum

pembuktian, yakni minimal harus ada 2 (dua) alat bukti yang diakui sah

oleh undang-undang (Pasal 184 ayat (1) KUHAP), serta ditambah adanya

keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang terbukti bersalah sesuai apa

yang telah dituduhkan oleh Jaksa Penuntut Umum. Dalam proses peradilan

pidana menurut hukum acara pidana yang bertugas membuktikan

kesalahan terdakwa adalah Jaksa Penuntut Umum. Jaksa dalam fungsinya

7Martiman Prodjohamidjojo (I), 1984, Komentar Atas KUHAP, Pradnya

Paramita, Jakarta, hlm. 129

8

sebagai penuntut dibebani kewajiban membuktikan dakwaannya didepan

persidangan. Tugas dan fungsi jaksa untuk membuktikan dakwaannya

sebagai bentuk implementasi asas legalitas formal. Asas legalitas formal

pada prinsipnya adalah merupakan kewajiban bagi jaksa selaku penuntut

umum untuk menuntut setiap orang yang diduga telah melakukan suatu

tindak pidana.

Dalam dakwaan dan tuntutan jaksa mestinya harus dibuktikan alibi

dan dasar dakwaan serta tuntutannya tersebut. Sehingga jaksa penuntut

umum memikul beban tanggung jawab membuktikan dalam proses

pembuktian dipersidangan. Secara teori dan praktek dalam peradilan

tindak pidana pada umumnya jaksa selaku penuntut umum secara eksplisit

dibebani tanggung jawab pembuktian dalam menginvestigasi terdakwa di

depan sidang. Tugas dan kewajiban jaksa untuk membuktikan apa yang

didakwakan tersebut, secara implisit diatur dalam Pasal 8 ayat (3) Undang

– Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Secara lengkapnya

terumus : “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, jaksa

melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang

sah”.

Berdasarkan perumusan Pasal 8 ayat (3) tersebut, diatas jaksa

menuntut terdakwa berdasar alat bukti Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang

menjadi dasar dakwaannya di persidangan. Tugas dan kewajiban jaksa

membuktikan alibi dakwaannya yang telah disusunnya itulah secara

praktek hukum dalam peradilan disebut dengan “beban pembuktian” atau

9

membuktikan perbuatan terdakwa berdasarkan alat – alat bukti yang telah

dipakai dalam surat dakwaannya.

Sebagai konsekuensi hukum dari adanya jenis alat bukti

“keterangan terdakwa” sesuai ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf

e, akan berhubungan dan terkait erat esensinya dengan Pasal 189 KUHAP

seperti tersurat :

(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di

sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui

sendiri atau alami sendiri

(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat

digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang,

asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah

sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya

sendiri.

(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan

bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan

kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Makna keterangan terdakwa dalam proses pembuktian di depan

persidangan adalah untuk memberikan keterangan apa yang ia alami, lihat

atau dengar sendiri terhadap apa yang didakwakan jaksa penuntut umum.

Oleh karena demikian jaksa secara aktif bertanya, mencocokkan,

membantah keterangan terdakwa, demi mempertahankan dakwaannya.

Terdakwa secara bebas dapat memberikan keterangan, bahkan apabila

pertanyaan jaksa penuntut umum bila dijawab akan merugikan diri

terdakwa, atas hal demikian terdakwa boleh atau dapat tidak menjawab

pertanyaan polisi, jaksa, ataupun hakim, atau terdakwa memiliki hak untuk

diam (remind silent), hal ini diatur dalam Pasal 52 KUHAP.

10

Ketentuan secara tegas tersurat bahwa telah menjadi tugas dan

kewajiban jaksa penuntut umum untuk menggali, mencari, menemukan

kebenaran materiil sesuai isi dakwaannya melalui proses pembuktian di

depan sidang, atau kewajiban membuktikan kesalahan terdakwa KUHAP

telah mengatur hal dimaksud. Pasal 66 KUHAP secara implisit

menyuratkan”, tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban

pembuktian”.

Terhadap pengaturan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani

kewajiban pembuktian, praktisi hukum dari kalangan mantan hakim

Martiman Prodjohamidjojo berpendapat bahwa8 : “Makna dari Pasal 66

KUHAP tersebut, bahwa pembebanan pembuktian diletakkan pada

penuntut umum untuk membuktikan terhadap salah atau tidaknya seorang

terdakwa. Dalam pasal ini hakim memperkenankan kepada terdakwa

memberikan keterangan tentang pembuktian yang tidak merupakan alat

bukti menurut hukum, akan tetapi segala sesuatunya dapat lebih

memberikan kejelasan dan membuat terang tentang duduk perkaranya,

setidak-tidaknya keterangan tersebut dapat dipergunakan sebagai hal yang

menguntungkan baginya.

Berpedoman dengan beberapa ketentuan Undang – Undang seperti

KUHAP dan Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

RI yang tersurat dan tersirat dalam Pasal 183, 184 ayat (1) huruf e, Pasal

189 dan Pasal 66 KUHAP, serta Pasal 8 ayat (3), UU No. 16 Tahun 2004

8Ibid, hlm. 49

11

tersurat dan tersirat makna bahwa pembuktian atau beban pembuktian

dalam tindak pidana umum menjadi tugas, beban dan tanggung jawab

Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan tindak pidana yang

didakwakannya. Karena jaksa selaku wakil negara, badan hukum publik

mewakili privat dan sekaligus selaku penegak hukum dan sub unsur

struktur dalam sistem peradilan pidana.

KUHAP sebagai pedoman dalam beracara pidana dan sebagai

payungnya semua ketentuan beracara diluar peradilan umum, seperti

Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, Peradilan Agama dan

Peradilan Mahkamah Konstitusi (MK), akan dihadapkan keberadaannya

dengan berbagai jenis peradilan tindak pidana khusus. Salah satunya

adalah peradilan tindak pidana korupsi. Peradilan tindak pidana korupsi

memiliki beberapa ketentuan hukum acara yang sifatnya khusus ( lex

spesialist). Salah satu substansi hukum acara dalam peradilan korupsi

dengan ciri khusus adalah substansi pembuktian. Dalam pembuktian

tindak pidana korupsi dikenal dan diterapkan pembalikan beban

pembuktian atau pembuktian terbalik (omkering van de bewijslast / the

reversal of the burden of proof) atau sistem pembuktian terbalik.9

Pembalikan beban pembuktian atau penulis akan mengikuti dan

memakai istilah pembuktian terbalik, sesuai pemakaian istilah dalam

perundang-undangan tindak pidana korupsi yang berlaku (hukum positif /

ius constitutum) Indonesia. Saat ini diatur dalam Pasal 37 ayat (1), (2),

9Elwi Danil, 2012, Korupsi, Konsep, dan Pemberantasannya , PT. Grafindo

Persada , Jakarta, hlm. 201

12

(3), (4) dan ayat (5) Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara rincinya tersurat seperti

berikut :

(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktian bahwa ia tidak

melakukan tindak pidana korupsi

(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak

melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut

dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.

(3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta

bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda

setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan

dengan perkara yang bersangkutan

(4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan

yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber

penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut digunakan

untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa

telah melakukan tindak pidana korupsi.

(5) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),

ayat (3) dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk

membuktikan dakwaannya.

Lebih lanjut dalam penjelasan pasal demi pasal atas UU No. 31

Tahun 1999 tersebut penjelasan Pasal 37 menggariskan bahwa :

“Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari KUHAP yang

menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya

tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa

dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana

korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak

berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum

masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas,

karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya.

Mencermati pengaturan ketentuan sistem pembuktian yang dianut

oleh UU NO. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tampak merupakan penyimpangan

dari KUHAP, bahwa KUHAP menerapkan pembuktian negatif wettelijke

13

bewijs theorie atau pembuktian berdasarkan undang-undang secara

negatif, yakni yang dibebani pembuktian adalah jaksa dengan mengacu

pada alat bukti sah menurut UU (KUHAP) sesuai dengan ketentuan Pasal

184 ayat (1) KUHAP yang dituangkan dalam surat dakwaannya. Dan jaksa

tetap harus membuktikan apa yang telah didalilkannya melalui pembuktian

di depan sidang pengadilan.

Berbeda halnya dengan pengaturan pembuktian oleh UU tindak

pidana pemberantasan korupsi diatas menerapkan sistem pembalikan

beban pembuktian, atau sistem pembuktian terbalik. Dalam arti berbeda

dengan kelaziman (terbalik), bahwa beban pembuktian sebagian diawal

pembuktian dibebankan kepada terdakwa sehingga dikatakan menerapkan

pembalikan beban pembuktian atau sistem pembuktian terbalik. Namun

setelah terdakwa membuktikan melalui keterangannya bahwa ia tidak

bersalah melakukan apa yang dituduhkan jaksa, maka jaksa tetap harus

membuktikan dakwaannya, sehingga dikatakan dalam proses pembuktian

tindak pidana korupsi dianut sistem pembuktian berimbang. Karena

disamping terdakwa dibebani pembuktian juga jaksa tetap dibebani

kewajibannya membuktikan terdakwa melalui surat dakwaannya.

Setelah mencermati ketentuan pembuktian dalam KUHAP melalui

Pasal 66 yang pada intinya bahwa yang dibebani proses pembuktian atau

pembebanan pembuktian adalah jaksa penuntut umum. Sedangkan menurut

Pasal 37 ayat (1) khususnya bahwa yang dibebani beban pembuktian

adalah terdakwa ditambah jaksa selaku penuntut umum, maka dalam 2

14

(dua) aturan terdapat pertentangan norma hukum (konflik norma hukum)

dalam pembebanan pembuktian di persidangan. Dalam bahasa keilmuan

teori hukum terjadi disharmonisasi norma hukum berupa konflik norma

dalam perundang-undangan pidana sebagai dasar acuan proses peradilan

pidana, khususnya dalam pembuktian tindak pidana korupsi.

Ketentuan perlindungan hukum secara umum terhadap setiap orang

diatur dalam konstitusi. Lebih lazimnya dikenal dengan sebutan istilah

perlindungan Hak Asas Manusia (HAM). Secara formal perlindungan

HAM bagi warga negara Indonesia tersurat dan tersirat dalam Pasal 28A

sampai Pasal 28J Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun

1945.

Setiap orang mendapat perlindungan hak asasinya. Apalagi jika

posisi seseorang berada statusnya sebagai tersangka, terdakwa ataupun

terpidana sudah pasti layak untuk diayomi dan diberi perlindungan akan

hak asasinya. Sehubungan dengan seseorang berhadapan dengan hukum

Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam

beberapa ketentuan pasalnya mengatur pula perlindungan HAM-nya.

Terutama peneliti kaitkan ketika seseorang statusnya sebagai terdakwa.

Adapun pengaturan perlindungan HAM bagi terdakwa tersurat dan

tersirat tampak dalam pasal – pasal Undang – Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain adalah :

- Pasal 28 D ayat (1) :

15

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan

hukum

- Pasal 28 I ayat (2) :

Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif

atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap

perlakuan yang bersifat diskriminatif

- Pasal 28 J ayat (1) :

Setiap orang wajib menghormati hak asas manusia orang lain dalam

tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

Penjabaran pengaturan akan Undang – Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 diatas tertuang pula dalam Undang –

Undang Dasar No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)

seperti tersurat dalam ketentuan Pasal 3 Undang – Undang ayat (2) No. 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), yakni :

“Bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan

dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum

dan perlakuan yang sama di depan hukum”.

Perlindungan hak asasi terdakwa dalam Undang – Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang – Undang HAM

tersebut lebih terjabar dan diperluas lagi oleh KUHAP, dapat dihimpun

sejumlah 37 buah pasal yang mengatur perlindungan HAM tersangka /

terdakwa / terpidana dalam KUHAP (lebih lengkapnya peneliti tuangkan

16

penjabarannya pada Bab III halaman 102 – 105 naskah tesis ini). Namun

HAM terdakwa terkait dengan topik dan masalah tesis ini terutama yang

menyangkut tentang sistem pembuktian terbalik yang dicanangkan dan

diterapkan oleh Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang –

Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, tampak dalam pasal-pasal KUHAP seperti :

- Hak terdakwa untuk tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66

KUHAP)

- Hak perlindungan akan asas praduga tidak bersalah (Pasal 66 ayat (2)

dan Pasal 8 Undang – Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman)

- Hak terdakwa untuk diam (Pasal 166 KUHAP)

- Hak terdakwa untuk bebas memberikan keterangan di depan

persidangan (Pasal 52 KUHAP)

- Hak terdakwa untuk mendapat bantuan hukum (Pasal 54 KUHAP dan

Pasal 37 Undang – Undang No. 48 Tahun 2009).

Bagi peneliti yang menjadi penekanan bahasan adalah terkait

dengan Pasal 66 KUHAP dan Pasal 66 ayat (2) KUHAP yang diperkuat

pula oleh Pasal 8 Undang – Undang No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman.

Sebagai pemecahan atau solusi hukum atas terdapatnya

pertentangan norma hukum atau konflik norma (conflict of norm /

geschijed van normen) antara undang – undang yang satu dengan undang-

17

undang lainnya, baik secara hirarki vertikal maupun horizontal dalam

pengaturan substansi atau materi yang sama maka mesti dikembalikan

pada posisi asas dalam hukum. Dalam hubungan dimaksud diatas menurut

pendapat E. Sumaryono dikembalikan pada asas penyelesaian konflik

Undang – Undang, yang disebut asas preperensi.10

Asas preperensi dalam

hukum menurut Dudu Duswara Machmudin terdiri dari 4 (empat) elemen

penjabaran makna dari ketentuan aturan yakni :

1. Lex niminem cogit ad impossibilia (undang – undang tidak

memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak

mungkin) contoh penerapan Pasal 44 KUHP

2. Lex posterior derogat legi priori atau lex posterior derogat legi

antireori (undang – undang yang lebih baru menyampingkan

undang-undang yang lama).

3. Lex spesialis derogat legi generali (undang-undang yang khusus

didahulukan berlakunya daripada undang-undang yang umum)

4. Lex superior derogat legi, inferiori (undang-undang yang lebih

tinggi menyampingkan undang-undang yang lebih rendah

tingkatkannya).11

Sebagai solusi hukum dalam mengatasi norma hukum yang

bertentangan atau konflik norma hukum antara Pasal 66 KUHAP dengan

Pasal 37 Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi khususnya menyangkut pembebanan pembuktian di

persidangan menyangkut tindak pidana korupsi, maka dikembalikan pada

forsi asas preperensi. Dalam penjabaran asas seperti ada 4 (empat) diatas,

yang paling tepat dipakai adalah sub penjabaran berupa lex posterior

derogat legi priori dan lex spesialis derogat legi generali. Atau undang-

10

E. Sumaryono, 1993, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Kanisius,

Yogyakarta, hlm. 24 11

Dudu Duswara Machmudin, 2001, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa ,

Refika Aditama, Bandung, hlm. 70

18

undang yang lebih baru akan menyampingkan undang-undang yang lama,

dan undang-undang yang khusus akan menyampingkan undang-undang

yang umum. Dalam arti terkait dengan undang-undang tindak pidana

korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001) lebih baru

daripada UU No. 8 Tahun 1981 / KUHAP, dan UU Tindak Pidana Korupsi

bersifat khusus dan KUHAP sebagai UU payung dalam beracara pidana

yang sudah tentu bersifat lebih umum, maka UU No. 31 Tahun 1999 jo UU

No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi inilah

yang lebih tepat diterapkan tentang pengaturan beban pembuktiannya

dalam proses pembuktian di persidangan. Karena mengingat pula sifat dan

kualifikasi tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crimes (kejahatan

yang luar biasa) tersebut.

Terkait dengan kualifikasi tindak pidana korupsi sebagai kejahatan

luar biasa (extra ordinary crimes) sehingga harus pula ditangani dengan

cara – cara luar biasa (extra ordinary efforts). Karena sulit

pembuktiannya.12

Cara – cara luar biasa menurut penulis bahwa perlu

terobosan – terobosan kebijakan hukum pidana di bidang hukum acaranya,

seperti salah satunya pengaturan sistem pembuktian dan terutamanya

menyangkut pembebanan pembuktian di persidangan. Hal tersebut perlu

dirumuskan dalam ketentuan hukum acara pada undang – undang tindak

pidana korupsi ke depannya (ius constituendum).

12

Marwan Effendi, 2005, Kejaksaan Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif

Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 138

19

Sistem pembuktian terbalik yang dicanangkan dan telah diterapkan

dalam praktek peradilan tindak pidana korupsi atas dasar praktek peradilan

tindak pidana korupsi atas dasar Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU

No. 20 Tahun 2001 tersebut sesuai dengan pertimbangan pembentuk UU

ketika merancangnya salah satunya karena sulitnya pembuktian tindak

pidana korupsi tersebut. Berkembang pula konsep pemikiran setelah

kualifikasi tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan sangat

luar biasa (extra ordinary crimes). Sehingga penanganannya pun

memerlukan cara – cara yang ekstra luar biasa (extra ordinary efforts).13

Termasuk pula pertimbangan – pertimbangan lainnya seperti tersurat dan

tersirat dalam konsideran UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 30 Tahun

2002 tentang KPK bahwa tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia

telah terjadi secara sistemik merugikan kerugian keuangan negara yang

sangat besar, mengganggu stabilitas perekonomian rakyat, bahkan telah

mengganggu stabilitas pembangunan nasional. Serta dampak negatifnya

yang lain bagi bangsa sudah memprihatinkan dan mengkhawatirkan bagi

kelangsungan keselamatan kehidupan kenegaraan. Dari semua fenomena

dan fakta korupsi yang terjadi itu, alasan untuk pemerintah menerapkan

kebijakan dengan berbagai bentuk usaha penal dan non penal di bidang

memberantas tindak pidana korupsi mesti tetap berpegang dan berorientasi

pada batas – batas atau koridor, tanpa dengan melanggar prinsip – prinsip

13

Ibid

20

atau asas – asas hukum umum. Terutama menyangkut asas – asas hukum

umum seperti hak-hak asasi tersangka / terdakwa atau hak-hak asasi

manusia (HAM) secara umum. Secara khusus tidak melanggar hak sosia l,

politik, ekonomi dan hukum serta kebebasan yang dimiliki setiap individu

mulai sejak lahir.

Melalui acuan pemaparan dalam fenomena dan fakta yuridis-

sosiologis dalam latar belakang diatas, bahwa tindak pidana korupsi di

Indonesia saat ini masih sulit diberantas dan menjadi problematika teori

dan praktek dalam penegakan hukumnya, maka peneliti tertarik untuk

meneliti serta mengkaji dalam ranah karya ilmiah tesis, dengan judul:

“URGENSI SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERADILAN

TINDAK PIDANA KORUPSI TERKAIT HAK ASASI TERDAKWA”.

1.2 Rumusan Masalah

Mengacu dan berorientasi dari paparan fenomena latar belakang

yang terurai diatas, maka peneliti menyajikan rumusan masalah sepert i

berikut:

1. Apakah ada sinkronisasi pengaturan antara sistem pembuktian dalam

KUHAP dengan sistem pembuktian dalam Undang-undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Indonesia saat ini?

2. Apakah pengaturan sistem pembuktian terbalik dalam peradilan tindak

pidana korupsi tidak bertentangan dengan hak asasi terdakwa ?

21

Demikian permasalahan yang mengemuka dan disajikan dalam

topik serta judul penelitian tesis ini, yang nantinya dikaji berdasarkan

landasan teoritis keilmuan hukum, dengan penelusuran mulai dari asas-

asas hukum, konsep-konsep hukum, doktrin, yurisprudensi, hasil

penelitian yang ada terdahulu serta teori-teori (hukum) yang relevan

dengan pokok atau topik judul serta rumusan masalah yang tersedia.

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Agar tidak terjadi pembahasan yang melebar dan terdapat

kesesuaian antara pembahasan dengan permasalahan maka perlu diberikan

pembatasan seperti berikut:

1. Permasalahan pertama akan membahas tentang pengaturan sistem

pembuktian sesuai KUHAP dan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20

tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Permasalahan kedua membahas tentang pembuktian terbalik

dihadapkan dengan esensi azas praduga tak bersalah (presumption of

innosence) tersebut terhadap terdakwa dalam peradilan tindak pidana

korupsi.

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah sebagaimana

tersebut diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

22

1.4.1 Tujuan Umum

Penulisan tesis ini bertujuan untuk mengembangkan khasanah

keilmuan penulis dalam bidang hukum serta untuk mengembangkan ilmu

hukum terkait dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai

proses), dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandeg/final dalam

penggaliannya atas kebenaran di bidang objeknya masing-masing.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis relevansi penggunaan

beban pembuktian terbalik dalam UU Tindak Pidana Korupsi sekarang

ini dan dibandingkan sistem pembuktian yang diatur KUHAP.

2. Untuk mengetahui, mengkritisi dan mengkaji asas praduga tak bersalah

dikaitkan dengan hak-hak terdakwa dalam persidangan.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai

berikut:

1. Manfaat teoritis, dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk

mengembangkan wawasan dan ilmu pengetahuan di bidang hukum

pidana, khususnya yang berkaitan dengan pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana korupsi dalam hubungannya dengan

pengaturan sistem pembuktian oleh KUHAP dan Undang – Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

23

2. Manfaat praktis, dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada

pemerintah terhadap hukum acara pidana Indonesia melalui kajian

yuridis terhadap pengaturan serta mekanisme pembuktian tindak

pidana korupsi dikaitkan dengan relevansi penggunaan beban

pembuktian terbalik sebagai pembenar terdakwa dibebani pembuktian

di depan sidang pengadilan.

1.6 Orisinalitas Penelitian

Sesuai dengan penelusuran penulis telah terdapat beberapa tulisan

dan riset (penelitian) mengenai penegakan hukum tindak pidana korupsi.

Namun kajiannya belum komprehensif membahas pengaturan serta

mekanisme pembuktian terbalik dalam membahas pengaturan serta

mekanisme pembuktian terbalik dalam korupsi dikaitkan dengan

sinkronisasi pengaturan KUHAP dan Undang – Undang Tindak Pidana

Korupsi terkait pembuktian terbalik, serta hak asasi terdakwa, diantaranya

ada beberapa penelitian sebagai berikut:

1. Judul Penelitian Tesis: “Analisis yuridis terhadap Undang-Undang No.

20 Tahun 2001 (Tentang Pembalikan Beban Pembuktian Dalam

Kerangka Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)”

Nama peneliti/NIM:Andy Faisal (067005064/HK)

Asal Universitas/Tahun:Universitas Sumatera Utara (USU), tahun 2008

Rumusan Masalah Tesis:

24

1. Bagaimana penerapan sistem pembalikan beban pembuktian

(menurut ketentuan Pasal 37 dan Pasal 38 UU No. 20 Tahun 2001).

Dalam rangka pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

2. Apakah yang menjadi hambatan maupun kendala dalam penerapan

sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan

berimbang tersebut?

3. Bagaimana pengaturan yang efektif terhadap sistem pembalikan

beban pembuktian agar dapat optimal dalam pemberantasan

korupsi?

2. Judul Penelitian Tesis: Sistem Pembalikan Beban Pembuktian Dalam

Penanganan Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Perkara Korupsi Atas

Nama Syarifuddin).

Nama Peneliti/NIM: Defid Tri Rizky (1006789122)

Asal universitas/tahun:Universitas Indonesia (UI) Jakarta, 2012

Rumusan masalah tesis:

1. Bagaimana pengaturan sistem pembalikan beban pembuktian tindak

pidana korupsi menurut ketentuan yang berlaku di Indonesia?

2. Apa hambatan dan kendala yang dihadapi oleh penegak hukum

dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian pada

penanganan tindak pidana korupsi?

3. Bagaimana seharusnya pengaturan tentang sistem pembalikan beban

pembuktian dalam UU tindak pidana korupsi agar dapat diterapkan

secara optimal?

25

3. Judul Penelitian Tesis: “Kajian normatif Terhadap Pembuktian

Terbalik Dalam Tindak Pidana Korupsi”

Nama Peneliti/Tahun: I Wayan Gde Wiryawan, 2012

Asal Universitas:Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar

Rumusan masalah:

1. Bagaimana pengaturan terhadap sistem pembuktian terbalik dalam

tindak pidana korupsi di Indonesia?

2. Bagaimana formulasi kebijakan pengaturan pembuktian terbalik

dimasa yang akan datang?

4. Judul Penelitian Tesis: ”Implementasi Pembalikan Beban Pembuktian

Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi (Studi Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi”

Nama Peneliti/NIM:Zainal Muhtar/09340075

Asal Universitas/Tahun:Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga –

Yogyakarta, 2013

Rumusan masalah tesis:

1. Bagaimana ketentuan pembalikan beban pembuktian berdasarkan

UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi?

2. Bagaimana implementasi pembalikan beban pembuktian dalam

praktek peradilan tindak pidana korupsi di Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi Yogyakarta?

26

Setelah dicermati judul-judul tesis diatas, begitu juga rumusan

masalahnya, tidak ada kesamaan dengan judul dan masalah dari penelitian

penulis. Memang topiknya sama menyangkut substansi pembuktian

terbalik dalam tindak pidana korupsi. Masalah penelitian, peneliti

menyajikan tentang masalah sinkronisasi pengaturan pembuktian terbalik

oleh UU No. 8 tahun 1981 (KUHAP) dengan UU No. 31 tahun 1999 jo UU

No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta

masalah penerapan sistem pembuktian terbalik dihadapkan dengan hak

asasi terdakwa di dalam peradilan pidana. Kesemua penelitian tesis yang

ditelusuri dari beberapa Universitas tersebut di atas judul dan rumusan

masalahnya masing-masing tidak ada menunjukkan kesamaan dengan

penelitian tesis penulis. Kebaruan penelitian penulis menyangkut hal

prinsip dalam substansi pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi

terhadap asas universalnya yakni, praduga tak bersalah (presumption of

innocence) terkait dengan hak-hak terdakwa yang mesti tidak boleh

dilanggar oleh penerapan hukum itu sendiri, serta kebaruannya

membandingkan pengaturan pembuktian terbalik yang diatur KUHAP

(Pasal 66 KUHAP) dengan pengaturan oleh Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4)

dan (5) Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir

Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori -teori

hukumumum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan

27

aturan hukum, doktrin hukum, yurisprudensi dan hasil penelitian

terdahulu, yang akan digunakan sebagai landasan untuk membahas

masalah penelitian. Dalam penelitian ini, penulis memaparkan secara

singkat landasan teoritis yang digunakan untuk membahas masalah

penelitian.

1.7.1 Asas-asas Hukum

Asas hukum adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas

dan mendasari adanya suatu norma hukum14

.J.J.H. Bruggink dalam

terjemahan Arif Sidhartha menyatakan bahwa, "Asas hukum adalah kaidah

yang memuat ukuran(kriteria) nilai"15

. Berdasarkan hal tersebut dapat

diketahui bahwa, asas-asas hukum sangatlah penting yang menjadi

landasan berpijak serta pedoman yang menjiwai suatu Peraturan

Perundang-undangan.

Asas-asas hukum yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi

asas-asas seperti asas due process of law (proses hukum yang adil), asas

preperensi hukum, asas praduga tak bersalah (presumption of innocence),

dan asas non self incrimination.

1.7.1.1 Asas due process of law (Asas proses hukum yang adil)

Pada dasarnya, pembicaraan mengenai proses hukum yang adil

(due process of law) tentu tidak bisa lepas dengan sistem peradilan

14

Manwan, M. dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law

Compelte Edition, Cetakan Pertama, Reality Publisher, Surabaya, hlm. 56. 15

Bruggink, J.J.H., 1999, Refleksi Tentang Hukum, Terjemahan Arief Sidharta,

cetakan kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.123.

28

pidana, dan juga terkait dengan perlindungan hukum terhadap

tersangka, terdakwa dan terpidana. Mengenai hal ini Heri Tahir

menyatakan bahwa:

"... sistem peradilan pidana merupakan wadah dari proses

hukum yang adil, sehingga tidak mungkin membicarakan proses

hukum yang adil tanpa adanya sistem peradilan pidana.

Demikian sebaliknya, proses hukum yang adil pada hakikatnya

merupakan roh dari sistem peradilan pidana itu sendiri yang

ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak

tersangka dan terdakwa"16

.

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, dalam proses

hukum yang adil (due process of law) terdapat perlindungan terhadap

hak-hak tersangka dan terdakwa. Dalam mencapai proses hukum yang

adil (due process of law), peradilan pidana juga harus mencerminkan

perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa sebagai

persyaratan terselenggaranya proses hukum yang adil. Asas hukum ini

relevan untuk membahas permasalahan pertama yang terkait dengan

mekanisme dari tindakan penegak hukum melakukan pembuktian

terbalik di depan persidangan.

Due process of law dapat diartikan sebagai proses hukum yang

adil dan tidak memihak, layak, serta merupakan proses peradilan yang

benar, yang telah melalui mekanisme atau prosedur-prosedur yang ada,

sehingga dapat diperoleh keadilan substantif. Yesmil Anwar dan

Adang mengemukakan bahwa:

16

Heri Tahir, 2010, Proses Hukum Yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di

Indonesia, cetakan pertama, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hlm. 7.

29

Due Process of Law pada dasarnya bukan semata-mata

mengenai rule of law, akan tetapi merupakan unsur yang

esensial dalam penyelanggaraan peradilan yang intinya adalah ia

merupakan "...a law which hears before it condemns, -which

proceeds upon inquiry, and reders judgement only after trial...".

Pada dasarnya yang menjadi titik sentral adalah perlindungan

hak-hak asasi individu terhadap arbitrary action of the

government)17

1.7.1.2 Asas Preferensi Hukum

Dalam identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai keadaan

aturan hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik

antar norma hukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vague

van normen) atau norma tidak jelas.18

Dalam menghadapi konflik antar

norma (antinomi hukum), maka berlakulah asas preferensi yaitu :

1. Lex superiori derogate legi inferiori, yaitu peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi akan melumpuhkan

peraturan perundang-undangan yang lebih rendah;

2. Lex specialist derogate legi generali, yaitu peraturan yang

khusus akan melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya

atau peraturan yang khususlah yang harus didahulukan;

3. Lex posteriori derogate legi priori, yaitu peraturan yang

baru mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.19

Disamping itu ada langkah praktis untuk menyelesaikan konflik

tersebut antara lain pengingkaran (disavowal), reinterpretasi,

17

Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana; Konsep,

Komponen, & Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, cetakan

pertama, Widya Padjajaran, hlm. 113-114. 18

Rifai, Ahmad, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum

Progresif, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h lm. 89. 19

Mertokusumo, Sudikno, 2002, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan

Ketiga, Liberty, Yogyakarta, hlm. 85-87.

30

pembatalan (invalidation),dan pemulihan (remedy)20

. Menurut P. W.

Bouwer sebagaimana dikutip oleh Phillipus M. Hadjon, dalam

menghadapi konflik antar norma hukum, dapat dilakukan langkah

praktis penyelesaian konflik tersebut

Asas hukum ini relevan dipergunakan untuk membahas masalah

pertama mengenai disharmonisasi norma hukum yang berlaku yaitu

konflik norma terkait sistem pembuktian menurut KUHAP dengan

sistem pembuktian menurut Undang-Undang dalam pemberantasan

tindak pidana korupsi.

1.7.1.3 Asas Praduga Tak Bersalah atau Presumption of Innocence

Pasal 8 ayat (1) UU RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman mengatur setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,

dituntut atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tak

bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan

kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Ketentuan ini dikenal dengan asas presumption of innocence

sebagai asas umum hukum acara, berlaku dalam setiap proses

berperkara di Pengadilan yaitu dengan adanya kata : "dihadapkan di

depan pengadilan".

Asas hukum ini relevan dipergunakan untuk membahas masalah

kedua mengenai penyimpangan dan pemberlakuan asas praduga tidak

20

Hadjon, Phillipus, M., dan Djamiati, Sri Tatiek, 2009, Argumentasi Hukum,

Get. Keempat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h lm. 31.

31

bersalah dalam pembuktian tindak pidana korupsi, sebagai beban

pembuktian terbalik, sehingga terdakwa dibebankan untuk melakukan

pembuktian dalam penanganan perkara korupsi.

1.7.1.4 Asas Non-Self In crimination

Asas Non-Self Incrimination di Indonesia diatur pada Pasal 189

ayat (3) KUHAP yang berbunyi : "Keterangan terdakwa hanya dapat

digunakan terhadap dirinya sendiri". Adnan Paslyadja mengatakan hal

tersebut berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan

hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan

mengikat bagi diri terdakwa sendiri.

Yahya Harahap menyatakan bahwa apa yang diterangkan

seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa,

hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri.

Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-

masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang

mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat

dipergunakan terhadap terdakwa B begitu juga sebaliknya.

Setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian

terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah. Asas hukum ini relevan

dipergunakan untuk membahas masalah kedua mengenai asas praduga

tak bersalah yang seringkali dilanggar secara tidak logis oleh penegak

hukum dengan dasar pembenar adanya beban pembuktian terbalik

dalam penanganan perkara korupsi

32

1.7.1.5 Asas Unnus Testis Nullus Testis

Makna asas ini bahwa dalam pembuktian harus didukung oleh

minimal 2 (dua) alat bukti. Unnus Testis Nullus Testis secara arti kata

berarti 1 (saksi) bukan saksi. Maka dalam pembuktian bila alat bukti

kurang dari 2 (dua), maka kesaksian dianggap tidak sah, asas ini diatur

dalam Pasal 163 HIR atau Pasal 306 RBG

1.7.1.6 Asas Actory Incumbit Onus Probandi

Makna asas ini bahwa siapa yang menuntut dialah yang wajib

membuktikan. Dalam konteks hukum pidana yang melakukan

penuntutan adalah jaksa penuntut umum sehingga jaksa penuntut

umumlah yang diwajibkan membuktikan kesalahan terdakwa.21

1.7.2 Konsep Kepastian Hukum

Menurut konsepsi yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa

kepastian hukum terdiri dari komponen-komponen seperti berikut:

1. Kepastian aturan hukum yang akan diterapkan;

2. Kepastian proses hukum, baik dalam penegakan hukum maupun

pelayanan hukum;

3. Kepastian kewenangan, yaitu kepastian lingkungan jabatan atau

pejabat yang berwenang menetapkan atau mengambil suatu

keputusan hukum;

4. Kepastian waktu dalam setiap proses hukum; dan

5. Kepastian pelaksanaan, seperti kepastian eksekusi putusan hakim,

atau keputusan administrasi negara.22

21

Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, hlm. 43 22

Bagir Manan, 2007, Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UU No. 4 Tahun

2004, FH UII, Jakarta, hlm : 20.

33

Terkait dengan kewenangan pembuktian dalam tindak pidana

korupsi oleh pejabat/ yang berwenang untuk itu, maka konsepsi kepastian

hukum yang dikonsep oleh Bagir Manan tersebut di atas, akan berkorelasi

dengan konsep butir (1), (2), dan (3) tersebut yang terurai di atas. Dan

untuk kepastiannya pihak siapa saja yang pantas dibebani pembuktian.

1.7.3 Konsep Hak Asas Manusia (HAM)

Pembuktian Terbalik dipandang bertentangan bahkan bertolak

belakang dengan konsep HAM terutama HAM Generasi I menyangkut

salah satunya HAM sipil dan politik. HAM sipil didalamnya adalah hak-

hak individu yang paling asasi adalah “hak kebebasan” bagi tiap orang,

terutama bila dihadapkan pada proses hukum seperti individu dalam status

sebagai tersangka atau terdakwa.

Status tiap orang bila posisinya sebagai tersangka / terdakwa mesti

dilindungi haknya oleh negara. Dalam proses peradilan hak tersangka /

terdakwa seperti hak untuk tidak dibebani pembuktian sesuai dengan Pasal

66 KUHAP mesti dihormati dan ditegakkan. Bila hal ini diterobos, tidak

mustahil negara melalui penegak hukumnya sendiri cenderung dianggap

telah melanggar HAM individu atau melanggar asas legalitas bahkan

secara operasional praktik melanggar asas praduga tak bersalah

(presumption of innosence).

Beberapa konsep HAM dimaksud diantaranya adalah sebagai

berikut :

34

a. Menurut Leach Levin, bahwa konsep HAM ada 2 (dua) konsepsi yaitu :

1. Natural Right (Hak Alamiah atau Hak Moral), yakni HAM tidak

bisa dipisahkan dan dicabut, karena merupakan hak manusia karena

ia seorang manusia, maka kewajiban oleh negara menjaga martabat

setiap manusia

2. Hak menurut hukum, hak-hak individu menurut hukum dibentuk

melalui proses pembentukan hukum oleh negara, maka hukum

diciptakan untuk melindungi hak-hak setiap orang23

.

b. Piagam Perjanjian Yang Agung (Magna Charta) Tahun 1215

“Bahwa tersurat salah satunya adanya larangan bagi polisi, jaksa tidak

boleh menuduh dan menuntut seseorang tanpa saksi yang dapat

dipercaya, serta melarang penahanan penghukuman, dan perampasan

benda dengan sewenang-wenang.24

c. Natural Right (Hak – Hak Alamiah) dari Konsep John Locke (1632 –

1704)

“Bahwa negara harus menghargai dan menjunjung tinggi hak -hak

individu. Kepentingan negara atas dasar alasan apapun tidak bisa

menghilangkan hak-hak individu, bahwa setiap manusia atau individu

mempunyai hak-hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat.25

Konsep natural rights inilah yang melahirkan hak-hak sipil dan politik

sebagai pembela dan pelindung hak-hak sipil selaku individu, salah

23

Ny. Nartono, 1987, Hak – Hak Asasi Manusia Tanya Jawab, Pradnya

Paramita, Jakarta, hlm. 3 24

Ibid 25

Aryanto Ignatius, 2000, Convenant International, Hak Sipil dan Politik, LSPP,

Jakarta, hlm. 198.

35

satunya hak kebebasan setiap orang, tidak dapat dipaksa oleh siapapun

termasuk oleh negara. Maka pula dalam proses peradilan setiap hak-

hak individunya seperti hak untuk diam, hak untuk tidak dibebani

pembuktian, hak untuk tidak dilanggar hak asasi kehormatannya seperti

hak tidak dituduh bersalah sebelum ada putusan oleh hakim yang

bersifat tetap (inkracht) bahwa ialah yang bersalah atas tuduhan

trahdap dirinya. Atau jangan bersalah (presumption of innocence)

tersebut.

d. Konsep HAM dari prosedur Amerika Serikat Teodore Roosevelt

Dalam amanat tahunannya tahun 1948 di muka Kongres Amerika

Serikat, mengemukakan ajakan membangun satu dunia yang didasarkan

atas 4 (empat) kebebasan dasar manusia yaitu :

1. Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat di seluruh dunia

2. Kebebasan setiap orang menyembah Tuhan menurut caranya

masing-masing

3. Kebebasan dari ketakutan, yang mengandung arti bebas dari segala

bentuk ancaman kekerasan bagi perorangan maupun bagi suatu

bangsa

4. Kebebasan dari kemiskinan yang berarti kewajiban negara untuk

memberi jaminan kepada semua orang untuk hidup dengan

sejahtera.26

Dalam konsep dari Teodore Roosevelt tersebut menekankan salah

satunya kebebasan setiap individu untuk tidak diancam denga

kekerasan, dalam artian lebih jauh ada tekanan pada individu baik fisik

maupun psikis, terutama bila terkait dengan proses hukum dalam

peradilan.

26

Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia di

Penegakan Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, hlm. 45.

36

e. Konsep HAM dalam pengelompokan generasi HAM.

Perkembangan HAK sejak awal muncul abadi 17 dan 18, pada awal

abad ini dianggap sebagai kemunculan Generasi HAM I, yakni HAM

sipil dan politik (liberte), Generasi HAM II muncul pada abad 19,

merupakan generasi kedua menyangkut kelahiran perjuangan hak-hak

sosial, ekonomi dan budaya (egalite). Dan HAM Generasi ke III

(ketiga) muncul perjuangannya diabad 20 (dua puluh), HAM Generasi

III merupakan usaha perjuangan penindasan kelompok berkuasa

terhadap kelompok minoritas, juga perjuangan hak atas perdamaian,

pembangunan, hak atas lingkungan hidup dimasa mendatang dan lain-

lain.27

Dalam konsep HAM Generasi I tampak secara jelas akan konsepsi

HAM dibidang hak sipil dan politik. Artinya ketika abad 17 dan 18

penguasa adalah raja, jadi negara dibawah raja, kemudian ada

kelompok khusus seperti bangsawan, gereja-gereja dengan hak-hak

khusus pula, barulah kelompok rakyat banyak hak-haknya tertindas

oleh kedua kelompok sebelumnya terutama oleh kelompok penguasa

yakni raja. Hak-hak sipil dan politik inilah terutama kebebasan

individu mulai diperjuangkan.

27

Meriem Budiardjo, 1990, Dasar – Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta,

hlm. 37

37

1.7.4. Teori Hukum

Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa, "Kata teori berasal dari

kata theoria yang artinya pandangan atau wawasan"28

. Lebih lanjut,

mengutip pendapat Gijssels, menyatakan bahwa, "Kata teori dalam Teori

Hukum dapat diartikan sebagai suatu kesatuan pandang, pendapat, dan

pengertian-pengertian yang sehubungan dengan kenyataan yang

dirumuskan sedemikian, sehingga memungkinkan menjabarkan hipotesis-

hipotesis yang dapat dikaji"29

. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui

bahwa, teori hukum adalah teori-teori mengenai hukum yang merupakan

suatu pernyataan atau pandangan yang untuk sementara ini disepakati

kebenarannya dan merupakan suatu teori baku yang disepakati para ahli

hukum.

Penelitian ini mempergunakan teori-teori yaitu Teori Kebijakan

Hukum Pidana, Teori Harmonisasi Hukum, Teori Keadilan, dan Teori

Hukum Pembuktian, Teori Kewenangan dan Teori HAM Klasik, yang

terurai secara pokok-pokok sebagai berikut:

1.7.4.1 Teori Keadilan

Tujuan penegakan hukum adalah untuk mencapai keadilan,

kepastian hukum dan kemanfaatan. Terkait dengan keadilan, maka

John Rawls berpendapat keadilan itu adalah suatu fairness. Namun

keadilan tidak sama dengan fairness itu. Rawls menguraikan teori

28

Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cetakan Keenam, Cahaya Atma

Pustaka, Yogyakarta, hlm. 4. 29

Ibid, hlm. 5

38

keadilan sebagai fairness itu sebagai berikut: "I then present the main

idea of justice as fairness, a theory of justice that generalized and

carries to a higher level of abstraction the traditional conception of

the social contract". Selanjutnya Rawls mengatakan "the primary

subject of justice is the basic structure of society, or more exactly, the

way in which the major social institutions distribute fundamental

rights and duties and determine the division of advantage from social

cooperation"30

Teori Keadilan relevan untuk membahas permasalahan kedua

dimana tindakan pembuktian sebagai bagian wewenang yang dimiliki

penuntut, sangat strategis kedudukannya baik untuk kepentingan

pembuktian suatu perkara juga untuk penghormatan hak asasi

terdakwa dalam perkara tindak korupsi, agar tidak merugikan hak-hak

asasi terdakwa. Namun demikian sebagai salah satu tindakan yang

bersifat "upaya paksa" maka pelaksanaannya harus dalam koridor

hukum acara yang berlaku, sehingga tidak menjadi sarana bagi

penegak hukum untuk berbuat sewenang-wenang, atau melanggar

asas-asas hukum.

1.7.4.2. Teori Kebijakan Hukum Pidana

Dalam konteks kebijakan hukum pidana (penal policy) menurut

Marc Ancel, penal policy adalah :

30

Rawls, John, 1997, A Theorie of Justice, Cambridge, Massachusset,

Harvard University Press, hlm. 27.

39

"Both science and art, of which the practical purposes

ultimately are to anable the positive rules better formulated

and to guide not only the legislator who has to draft criminal

statutes, but the court by which they are applied and the prison

administration which gives practical effect to the court's

decision.31

(Suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya

mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan

hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi

pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi

juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang, dan

kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan).

A. Mulder menyatakan kebijakan hukum pidana dipadankan

dengan strafrechtspolitiek, yang artinya sebagai garis kebijakan untuk

menentukan :

1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku

perlu diubah dan diperbaharui.

2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak

pidana.

3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan

pelaksanaan pidana harus dilaksanakan32

.

Sejalan dengan pandangan Marc Ancel dan Mulder, Sudarto

menyatakan bahwa '''penal policy dapat diartikan sebagai usaha

mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai

dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa

yang akan datang.33

Pada sumber lain juga Sudarto menyatakan

"bahwa menjalankan politik (kebijakan) hukum pidana juga

mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan

31

Marc Ancel, 1965, Social Defense A Modern Approach Problem, Routledge &

Kegan Paul, London, hlm. 209. 32

Arief Barda Nawawi, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan

danPengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 3. 33

Sudarto, 1993, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Kajian

Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, hlm. 9

40

pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan

daya guna.34

Esensi teori kebijakan pidana yang dikemukakan Marc Ancel,

A. Mulder dan Sudarto menunjukkan bahwa betapa luasnya ruang

lingkup dari kebijakan (politik) hukum pidana (penal policy) secara

sistematis dapat dirangkum menjadi tahapan seperti:

1. Kebijakan legislative (formulasi)

2. Kebijakan yudikatif (aplikasi)

3. Kebijakan eksekutif (eksekusi)35

Teori ini relevan untuk membahas masalah pertama mengenai

pengaturan dan mekanisme beban pembuktian yang sampai saat ini

belum jelas keberadaannya dalam penerapannya untuk perkara korupsi

sementara ini pengaturannya tidak sinkron antara KUHAP dengan UU

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedepannya diharapkan

kebijakan legislatif (formulasi) sebagai langkah awal dalam

memformulasi suatu peraturan perundang-undangan mengenai

pembuktian tindak pidana korupsi sehingga pada pelaksanaannya tidak

lagi menimbulkan kerancuan.

34

Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 19. 35

Arief, Barda Nawawi, 2001, Makalah Penegakan Hukum dan

Kebijaksanaan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya, Bandung, hlm. 74.

41

1.7.4.3.Teori Harmonisasi Hukum

Harmonisasi hukum telah muncul dalam ilmu hukum di Jerman

pada tahun 1992. Penggagasnya Rudolf Stammler (1856-1938).

Harmonisasi hukum dikembangkan dalam ilmu hukum yang digunakan

untuk menunjukkan bahwa dalam dunia hukum, kebijakan pemerintah

dan hubungan diantara keduanya terdapat keanekaragaman yang dapat

mengakibatkan disharmoni. Rudolf Stammler mengemukakan suatu

konsep fungsi hukum, bahwa tujuan atau fungsi hukum adalah

harmonisasi berbagai maksud, tujuan, dan kepentingan antara individu

dan antara individu dengan masyarakat. Dikatakan oleh Stammler "a

justlaw aims at harmonizing individual purposes with that of

society".36

Istilah harmonisasi berasal dari bahasa Yunani, asal kata

"harmonia" yang artinya : "terlibat secara serasi dan sesuai". Secara

filsafat dapat diartikan kerjasama antara berbagai faktor yang

sedemikian rupa, sehingga faktor-faktor tersebut menghasilkan

kesatuan yang luhur. Dalam perspektif psikologi diartikan sebagai

keseimbangan dan kesesuaian, segi-segi alam, perasaan, alam pikiran,

dan perbuatan individu, sehingga tidak terjadi hal-hal ketegangan

yang berlebihan.37

36

Goesniadhi S, Kusni, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata

Pemerintahan Yang Baik, NusaMedia, Malang, hlm. 2. 37

Sadzily, Hasan, dkk, 1995, Ensittopedi Indonesia, Ihtiar Baru, Jakarta, hlm.

1262.

42

Esensi pengertian dan makna harmonisasi hukum tersebut

diatas, dikembangkan oleh para ahli dengan menghubungkan

keterkaitannya dengan fungsi hukum dalam berbagai aspek

kepentingan hukum antara individu-individu dengan negara atau

pemerintah sehingga menampakkan teori harmonisasi hukum.

Pendapat para ahli tersebut memberikan konsepsi pemikirannya

tentang harmonisasi hukum, diantaranya :

1. L.M. Gandhi, memaknai harmonisasi hukum adalah

mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan,

keputusan pemerintah, keputusan hakim, system hukum, dan

asas-asas hukum, dengan tujuan peningkatan kesatuan

hukum, kepastian hukum, keadilan dan kesebandingan,

kegunaan dan kejelasan hukum tanpa mengaburkan dan

mengorbankan pluralisme hukum.38

2. Kusnu Goesniadhie berpendapat bahwa harmonisasi hukum

adalah upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-

batasan perbedaan, hal-hal yang bertentangan dan

kejanggalan dalam hukum. Upaya atau proses untuk

merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan,

keseimbangan diantara norma-norma hukum dalam suatu

kesatuan kerangka system hukum nasional.39

3. Wicipto Setiadi menyatakan pengharmonisasian adalah

upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan,

dan membulatkan konsepsi suatu rancangan peraturan

perundang-undangan, dengan peraturan perundang-

undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat maupun

yang lebih rendah dan hal-hal lain selain peraturan

perundang-undangan sehingga tersusun secara sistematis,

38

Gandhi, L.M., 1980, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif,

(Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap, FH UI, dalam Mohammad Hasan Warga

Kusumah, Ensiklopedia Umum. Kanisius, Yogyakarta, hlm. 88 39

Goesniadhie, S., Loc.Cit.

43

tidak saling bertentangan atau tumpang tindih

(overlapping).40

4. Juniarso Ridwan menyatakan harmonisasi merupakan suatu

upaya atau proses melakukan pembatasan-pembatasan

perbedaan yang berkenaan dengan adanya kejanggalan dan

bertentangan dengan hukum-hukum41

5. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman

memberikan pengertian harmonisasian hukum sebagai

kajian ilmiah untuk menuju proses pengharmonisasian

hukum tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofis,

sosiologis, ekonomis maupun yuridis, pengkajian terhadap

rancangan peraturan perundang-undangan dalam berbagai

aspek, apakah telah mencerminkan keselarasan dan

kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang

lain, hokum yang tidak tertulis yang hidup dalam

masyarakat,... dstnya42

Teori ini relevan digunakan untuk membahas permasalahan

kedua mengenai dualisme dasar hukum apabila mencermati

pengaturan beban pembuktian terbalik dalam penanganan tindak

pidana korupsi relevan dipergunakan sebagai dasar untuk

membenarkan beban pembuktian dimana terdapat pertentangan atau

konflik norma antara KUHAP (Pasal 66) dengan norma pada Pasal 37

ayat (1), UU Tipikor, yang belum ditegaskan penyelesaian konflik

dalam ketentuan yang berlaku tersebut.

40

Setiadi, Wicipto, 2007, Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Untuk

Memperbaiki Kualitas Perundang-undangan, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4 No. 2,

Juni 2007, hlm. 48. 41

Ridwan, Juniarso, 2009, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan

Pelayanan Publik, Nuansa, Bandung, hlm. 219-220 42

Ibid, hlm. 223

44

1.7.4.4 Teori Hukum Pembuktian

Proses pembuktian adalah mengenai benar tidaknya terdakwa

melakukan perbuatan yang didakwakan sehingga merupakan bagian

yang terpenting dalam proses hukum acara pidana, dan bertujuan untuk

mencari kebenaran materiil. Sebagaimana dinyatakan oleh Ansorie

Sabuan bahwa "pembuktian merupakan masalah yang pelik

(ingewikkeld) dan justru masalah pembuktian menempati titik sentral

dalam Hukum Acara Pidana. Adapun tujuan dari pembuktian adalah

untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil, dan bukan

mencari kesalahan seseorang.43

Van Bemmelen mengaitkan pencarian dan penemuan kebenaran

oleh Hukum Acara Pidana melalui proses pembuktian dengan maksud

sebagai berikut:

"Rewijsen is derhalie door onderzoek en redenering van de

rechter eenredelijke mate van zekerheid te vershaffen" :

a. Omfrent de vraag of bepaalde feiten hebben plaats

gevonden.

b. Omtr de vraag waarom dit het geval is geweest.

Bewijzen bestaat du suit:

a. Het wijzen op waarnembare feiten.

b. Medewerkingenwengenomen feiten

c. Logiseh denken

"Maka pembuktian ialah usaha untuk memperoleh kepastian

yang layak dengan jalan memeriksa dan penalaran dari hakim :

a. Mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan

tertentu sungguh pernah terjadi.

b. Mengenai pertanyaan mengapa peristiwa ini telah terjadi.

43

Sabuan, Ansorie; Pettanase, Syariffudin; dan Ahmad, Ruben, 1990, Hukum

Acara Pidana, Angkasa, Bandung, hlm. 185.

45

Dari itu pembuktian terdiri dari :

a. Menunjukkan peristiwa-peristiwa yang dapat diterima oleh

panca indera.

b. Memberikan keterangan tentang peristiwa-peristiwa

yang telah diterima tersebut.

c. Menggunakan pikiran logis.

Teori pembuktian mengenal adanya 4 (empat) sistem

pembuktian sebagai berikut :

1. Teori Pembuktian atas keyakinan belaka (conviction in time).

2. Teori Pembuktian atas alasan yang logis (conviction

raisonee} atau Teori Pembuktian Bebas

3. Teori Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara

positif (Positive Wettelijke Bewijstheorie)

4. Teori Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara

Negatif (NegatiefWettlijke Bewfistheorie)44

1.7.4.5 Teori Kewenangan

Guna menjastifikasi tindakan hukum yang dilakukan seseorang

atau oleh kelembagaan karena jabatannya maka dilakukanlah tindakan

yang namanya "wewenang". Secara keilmuan wewenang merupakan

konsep inti dalam ranah hukum tata negara dan hukum administrasi

negara. Wewenang yang dalam konsep keilmuan hukum telah pula

diakui menjadi sebuah teori yang lazimnya disebut dengan "teori

kewenangan".

Secara etimologi kewenangan berasal dari kata wenang, dengan

variasi imbuhan yang menjadi'wewenang, kewenangan, berwenang dan

sebagainya. Wewenang berarti hak dan kekuasaan untuk bertindak.

44

Sabuan, Ansorie; Pettanase, Syariffudin; dan Ahmad, Ruben, Op.Cit, hlm.

186.

46

Kewenangan berarti hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk

melakukan sesuatu, berwenang artinya mempunyai/mendapat hak dan

kekuasaan untuk melakukan sesuatu45

.

Kalangan doktrinal memberikan pengertian sebagai perumusan

makna wewenang tersebut. Para ilmuan hukum di bidangnya seperti:

1. H.D. Stout, wewenang adalah keseluruhan aturan-aturan yang

berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah

oleh subyek hukum publik dalam hubungan hukum publik.

2. FPCL. Tonnaer, kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap

sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan

dengan begitu, dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah

dengan warga negara46

.

3. Indoharto, wewenang sebagai suatu kemampuan yang diberikan

oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku

untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang sah47

.

4. Bagir Manan, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban48

.

Kalau dicermati dari beberapa pendapat dan rumusan pengertian

dan wewenang tersebut, maka mengandung unsur-unsur seperti:

45

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm : 1128. 46

Lukman Hakim, 2010, Kedudukan Hukum Komisi Negara di

Indonesia, Program Pasca Unibra, Malang, hlm 52. 47

Indoharto, 2004, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata

Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 94. 48

Bagir Manan, 2007, (Dalam Sadjijono : Memahami Beberapa Bab Pokok

Hukimi Administrasi Negara), Laks Bang Pressindo, Yogyakarta, hlm 51.

47

1. Adanya tindakan hukum yang sifatnya hukum publik.

2. Dilakukan oleh subyek hukum publik.

3. Adanya kemampuan bertindak.

4. Untuk melakukan hubungan-hubungan hukum publik.

5. Diberikan oleh undang-undang.

6. Mengandung hak dan kewajiban.

7. Menimbulkan akibat hukum yang sah

Wewenang dengan unsur-unsur di atas, tidak secara otomatis

diperoleh atau melekat di setiap pejabat pemerintahan. Secara teori

terdapat tiga cara untuk memperoleh wewenang pemerintah seperti

yang dikemukakan oleh HD Van Wijk/Willem Konijnembelt melalui

cara atributif, delegatie dan mandat. Yang masing-masing dimaknai

sebagai berikut : Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan

oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan, delegasi

adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ

pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya, mandat adalah

terjadi ketika organ pemerintahan mengijinkan wewenangnya

dijalankan oleh organ lain atas namanya49

.

Kewenangan yang bersumber dari perundang-undangan

(atribusi) secara jelas dinyatakan diberikan kepada organ

penterintahan. Dalam SPP salah satu sub sistem struktur yang

tergolong ke dalam aparat penegak hukum termasuk pula organ

49

HD. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, 2008, Dalam : Sadjijono; Memahami

Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi , Laks Bang Pressindo, Yogyakarta, hlm. 58

48

pemerintahan dalam hukum publik adalah jaksa. Peran jaksa adalah

sebagai pejabat hukum publik selaku penuntut umum guna mengemban

misi due process of law. (mendakwa, membuktikan, menuntut dan

mengeksekusi putusan hakim)

Jaksa penuntut umum sebagai pejabat negara sekaligus badan

hukum publik dan aparat penegak hukum (Pasal 1 ayat (1) UU No. 15

Tahun 1961 jo UU No. 5 Tahun 1991 jo UU No. 16 Tahun 2004,

tentang Kejaksanaan RI) yang mengemban tugas penuntutan dan

eksekusi. Landasan tugas dan wewenang bagi Jaksa Penuntut Umum

tersebut mulai dari amanat konstitusi berupa UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, UU Kekuasaan Kehakiman, dan UU

Kejaksaan RI.

1.7.4.6 Teori Hak Asasi Manusia (HAM) Klasik

Menurut Paul Sieghart bahwa dalam kerangka teori HAM klasik

hak-hak kolektif bukanlah merupakan HAK, lebih lanjut dinyatakannya

teori klasik tentang HAM menyebutkan bahwa hanya hak-hak yang

dimiliki oleh manusia individu yang dapat disebut sebagai Hak Asas i

Manusia (HAM). Sedangkan hak-hak yang dimiliki oleh sebuah entitas

atau jenis-jenis tertentu seperti negara-negara, gereja-gereja,

perusahan-perusahaan, badan-badan perdagangan dan sebagainya

bukanlah hak asasi manusia dalam pengertian yang sebenarnya.50

50

Suharto, Rakhmat Bowo, 2001, Perlindungan Hak Dunia Ketiga Atas Sumber

Daya Alam, Mata Wacana, Yogyakarta, hlm. 21

49

Sehubungan dengan esensi inti teori HAM klasik yang

memberikan forsi hak-hak yang diakui sebagai HAM adalah hak-hak

seorang individu sebagai manusia, maka akan terkait esensi teori HAM

klasik dengan perkembangan lahirnya HAM Generasi I (Pertama) yang

lahir pada abad 17 dan 18 didalamnya mengakomodir hak-hak individu

di bidang hak-hak sipil dan politik sebagai HAM. Hak sipil atau

individu tiap orang diakui sebagai HAM yang paling mendasar salah

satunya adalah dijaminnya serta dilindunginya hak kebebasan.

Kebebasan termasuk dalam hak individu dihadapan hukum ketika

seseorang dihadapkan pada proses peradilan.

Dalam proses peradilan ketika seseorang dihadapkan pada

tahapan pembuktian wajib hak-hak seseorang dalam status sebagai

terdakwa untuk dihormati hak-hak asasi individunya, seperti hak untuk

dianggap belum bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang

memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van geweijsde). Maka asas

praduga tak bersalah (presumption of innosence) tetap dijunjung tinggi

dan ditegakkan dalam proses peradilan pidana demi terwujudnya

proses hukum yang berkeadilan (due process of law). Maka terkait

dengan penerapan sistem pembuktian terbalik dalam peradilan pidana

mesti selektif dan hati-hati melaksanakannya untuk menghindari

penyerobotan serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)

selaku individu dihadapan proses hukum.

50

Adanya 6 (enam) jenis teori hukum sebagai pisau analisis

terhadap permasalahan yang disajikan akan memperjelas kegunaan

teori masing-masing. Adapun teori-teori tersebut : 1. Teori keadilan, 2.

Teori Kebijakan Hukum Pidana, 3. Teori Harmonisasi Hukum, 4. Teori

Hukum Pembuktian, 5. Teori Kewenangan dan 6. Teori Hak Asasi

Manusia (HAM) Klasik. Sebaran masing-masing teori tersebut diatas

akan diterapkan dalam mengkaji dan menganalisis 2 (dua) buah

permasalahan seperti : 1. Apa ada sinkronisasi pengaturan dalam

pembuktian menurut KUHAP dengan pembuktian dalam Undang-

Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ? 2. Apakah pengaturan

sistem pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi yang berlaku sekarang ( ius constitutum / ius

operatum) tidak bertentangan dengan hak asasi terdakwa ?

Terhadap permasalahan pertama diatas akan dikaji dan

dianalisis berdasar teori 1, 2 dan 3 (teori keadilan, teori kebijakan

hukum pidana, dan teori hamonisasi hukum). Teori keadilan dalam

hubungan ini dimaksudkan dalam penerapannya terdakwa mesti

diperlakukan secara adil dalam proses pembuktian, meski

kedudukannya sebagai terdakwa secara esensi jangan dilanggar hak-

hak yang prinsip dimiliki terdakwa bahwa belum ada putusan hakim

yang inkracht sudah seolah-olah dianggap bersalah melakukan tindak

pidana korupsi, hal ini sangat bertentangan dengan prinsip asas

praduga tak bersalah. Terdakwa mesti dianggap belum bersalah dan

51

dihormati hak-haknya sebagai terdakwa untuk tegaknya asas praduga

tak bersalah tersebut (keadilan proforsional dan substansive). Terkait

teori kebijakan hukum pidana yang digunakan disini adalah bahwa

mengingat sifat dan kualifikasi tindak pidana korupsi sebagai kejahatan

sangat luar biasa (extra ordinary crime) yang sulit pembuktiannya

maka perlu terobosan diciptakan sistem pembuktian terbalik dalam

pembuktian korupsi bagi terdakwanya, hal tersebut sebagai bentuk

kebijakan penal – formulatif bagi pihak legislatif. Dan dipakainya teori

harmonisasi hukum untuk mengharmonisasikan norma konflik antara

Pasal 66 KUHAP dengan Pasal 33 ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bagi pembagian beban

pembuktian antara Jaksa dengan terdakwa korupsi di persidangan.

Dalam mengkaji dan menganalisis masalah kedua penulis

memakai dasar acuan teori No. 2. Teori Keadilan, 4. Teori Pembuktian,

5. Teori Kewenangan dan 6. Teori HAM Klasik diatas, bahwa dalam

pembuktian perkara pidana yakni negative wettelijke beweijs theorie,

untuk diperoleh fakta, fakta yang sebenar-benarnya dari terdakwa

korupsi dipakai dasar bagi hakim menentukan terbukti atau tidaknya

kesalahan yang dituduhkan jaksa. Begitu halnya pemakaian teori

kewenangan, jaksa secara kewenangan atributif menurut UU No. 16

Tahun 2004 tentang Kejaksaan tetap memiliki kewenangan

membuktikan dakwaannya dalam proses pembuktian, juga hakim

secara kewenangan atributif menurut UU No. 48 Tahun 2009 tetnang

52

Kekuasaan Kehakiman diberi wewenang untuk memeriksa dan

memutus terdakwa berdasarkan alat-alat bukti sah menurut UU disertai

keyakinannya guna memutus salah tidaknya terdakwa atas dakwaan

dan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum setelah menilai proses

pembuktian di persidangan, sehingga terkait dengan teori kebijakan

hukum pidana, penggunaan sistem pembuktian terbalik dalam

pembuktian terdakwa korupsi tidak bertentangan atau tidak melanggar

hak asasi terdakwa, mengingat bahaya korupsi sangat menyengsarakan

masyarakat luas dan dikualifikasi sebagai kejahatan sangat luar biasa ,

walaupun sedikit terjadi penerobosan terhadap esensi Teori Hak Asasi

Manusia (HAM) Klasik.

53

Kerangka Berpikir

JUDUL PENELITIAN TESIS

URGENSI SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM

PERADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERKAIT

HAK ASASI TERDAKWA

Latar Belakang Masalah Rumusan Masalah Landasan Teoritis

Korupsi terjadi sangat

mengkhawatirkan

secara kualitas dan

kuantitas terus

meningkat

Korupsi sangat

merugikan keuangan

dan kondisi kenegaraan

Korupsi sulit

diberantas karena

dilakukan secara

sistemik

Korupsi sebagai

kejahatan luar biasa,

maka perlu

pemberantasan secara

luar biasa

Dalam UU(KUHAP

dan UU PTPK terjadi

konflik norma PS 66

KUHAP dengan Pasal

37 UU PTPK)

Solusi dalam PTPK

terkait norma konflik –

kembali pada asas

hukum – asas

preperensi

1. Apa ada

sinkronisasi

pengaturan antara

pembuktian dalam

KUHAP dengan

UU PTPK ?

2. Apakah penerapan

sistem pembuktian

terbalik dalam TPK

tidak bertentangan

dengan hak asasi

terdakwa ?

1. Asas – asas hukum :

- Due process of law

- Preferensi hukum

- Persumption of

innocence

- Non-self incrimination \

- Unnus Testis Nullus

Testis

2. Konsep – konsep hukum :

- Pembuktian

- Tindak pidana

- Korupsi

- Pembuktian terbalik

- Konsep HAM

3. Doktrin – doktrin hukum :

- Bahaya korupsi

- Tipe korupsi

4. Teori-teori hukum :

a. Keadilan

b. Kebijakan Hukum

Pidana

c. Harmonisasi Hukum

d. Pembuktian

e. Kewenangan

f. Hak Asasi Manusia

Klasfik

Metode penelitian

1. Jenis penelitian :

Yuridis normatif

2. Jenis pendekatan

- Perundang-

undangan

- Konseptual

- Kasus

- Komparatif

3. Sumber bahan hukum :

4. Teknik pengumpulan

bahan hukum dengan

studi dokumen

(mengumpulkan,

menginventarisir

mencatat bahan

hukum)

5. Teknik analisis bahan

hukum : teknik

deskripsi, interprestasi,

evaluasi, argumentasi

SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan

a. Dalam pengatuan antara sistem pembuktian

menurut KUHAP dengan sistem pembuktian

menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi Indonesia saat tidak adanya

sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan tentang

sistem pembuktiannya menyangkut pihak yang

dibebani tanggung jawab pembuktian.

b. Pengaturan sistem pembuktian terbalik dalam

peradilan tindak pidana korupsi saat ini pada

prinsipnya adalah bertentangan dengan hak – hak

asasi terdakwa dan cenderung melanggar asas

praduga tak bersalah

2. Saran

a. Agar legislatif merevisi Pasal 66 KUHAP dengan

menambah klausula bahwa dalam pembuktian kasus

korupsi diterapkan pembuktian terbalik

b. Agar pembuktian terbalik jangan dianggap

melanggar asas praduga tak bersalah, mengingat

TPK sifatnya extra ordinary crime

54

1.8. Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif.

Metode yuridis normatif yang sering juga disebut sebagai penelitian

doktrinal (doctrinal research) yaitu merupakan suatu penelitian yang

mengacu pada analisis hokum, baik dalam arti law as it is written in the

book, maupun dalam arti law as it isdecided by judge through judicial

proces's.51

Penelitian merupakan suatu sarana atau upaya pencarian untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara

menemukan, dan mengemukakan suatu kebenaran dengan melakukan suatu

analisa. Menurut Peter Mahmud Marzuki, "Penelitian hukum adalah suatu

proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun

doktrin-doktrin hukum gunamenjawab isu hukum yang dihadapi.52

Menurut Morris L. Cohen dan Kent C. Olson mengemukakan bahwa

"Legal research is an essential component of legal practice. It is the

process of finding the law that governs an activity and materialsthat

explain or analyze that law"53

Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa,

"dalam ilmu hukum terdapat dua jenis penelitian hukum, yaitu penelitian

51

Dworking, Ronald, 1973, Legal Research, (dalam Yenti / Garnasih,2003,

Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Program Pasca Sarjana Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 40 52

Mahmud Marzuki, Peter, 2005, Penelitian Hukum, Cetakan ke-1, Kencana,

Jakarta, hlm. 35. 53

Cohen, Morris, L. dan Olson, Kent, C., 2000, Legal Research In A Nutshell,

Seventh Edition, ST. Paul, Minn, West Group, hlm. 1 .

55

hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris.54

Penelitian

hukum normatif disebut juga sebagai penelitian hukum doktrinal dan juga

disebut penelitian hukum perpustakaan. Disebut penelitian hukum

doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan pada peraturan-

peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum lain, sedangkan disebut

sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini

lebih banyak dilakukan perpustakaan atau studi dokumen karena penelitian

ini lebih banyak dilakukan pada bahan hukum yang bersifat sekunder yang

ada diperpustakaan.55

1.8.2 Jenis Pendekatan

Adapun metode penelitian dalam penulisan tesis ini menggunakan

beberapa metode pendekatan seperti pendekatan undang-undang (statute

approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis

(historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach),

dan pendekatan konseptual (conceptual approach)56

Pendekatan yang

digunakan dalam penelitian adalah yang berkorelasi dengan

pembuktian terdakwa dalam perkara korupsi dikaitkan dengan beban

pembuktian terbalik, yaitu :

54

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas

Indonesia (Ul) Press), Jakarta, hlm. 51. 55

Waluyo, Bambang, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika,

Jakarta, hlm. 31. 56

Mahmud Marzuki, Peter, Op. Cit., hlm. 93.

56

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan

menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut

dengan pembuktian terbalik dalam perkara korupsi dikaitkan dengan

hak terdakwa dalam KUHAP.

b. Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam

ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-

doktrin tersebut, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan

pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas

hukum yang relevan dengan isu pembuktian terbalik dalam perkara

korupsi dikaitkan dengan hak-hak terdakwa.

c. Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara melakukan

telaah terhadap kasus terkait dengan isu yang dihadapi serta telah

menjadi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Kasus itu

banyak berupa kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.

d. Pendekatan komparatif (comparative approach) dilakukan dengan

membandingkan undang-undang suatu negara dengan undang-undang

dari satu atau lebih negara lain guna memperoleh persamaan dan

perbedaan di antara undang-undang tersebut. Dalam penelitian ini

dibandingkan antara undang-undang terkait pembuktian terbalik dalam

57

perkara korupsi uang dikaitkan dengan beban pembuktian terbalik

dengan undang-undang terkait di beberapa negara.

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Penelitian hukum Normatif, menggunakan bahan hukum primer,

sekunder,dan tersier mencakup :

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer

terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah

dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim, yang

berkorelasi dengan pembuktian terdakwa dalam perkara korupsi

dikaitkan dengan beban pembuktian terbalik terdiri dari :

United Nation Convention Against Corruption/UNCAC yang

diratifikasi dalam UU RI No. 1 Tahun 2006.

United Nation Convention AgainstTransnational Organized

Crime/UNCATOC yang diratifikasi dalam UU RI No. 5 Tahun

2009.

UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah

dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

b. Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi yang berkorelasi dengan

pembuktian terdakwa tersangka dalam perkara korupsi dikaitkan

58

dengan beban pembuktian terbalik. Publikasi tentang hukum meliputi

bahan hukum yang terdiri dari karya ilmiah yang berupa buku teks

(textbook), jurnal hukum, karya tulis dan makalah hukum baik yang

ditulis dari para sarjana di Indonesia maupun di luar negeri dan baik

yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa asing yang dimuat di

media cetak, media massa maupun media elektronik yang menyangkut

dan berhubungan dengan materi pembuktian terdakwa dalam perkara

korupsi dikaitkan dengan beban pembuktian terbalik, dan komentar-

komentar atas putusan pengadilan. Selain itu rancangan undang-

undang, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, dan lain-lain yang

berkaitan dengan topik penelitian.

c. Bahan hukum tersier, yakni: bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,

seperti kamus hukum, ensiklopedia yang memberi batasan pengertian

secara etimologi/arti kata atau secara gramatikal untuk istilah-istilah

tertentu terutama yang terkait dengan komponen variabel judul dalam

hal ini yakni terkait dengan istilah-istilah yang berkorelasi dengan

pembuktian terdakwa dalam perkara korupsi dikaitkan dengan beban

pembuktian terbalik dan lain-lain.57

57

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 13

59

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan data pada tesis ini menggunakan studi dokumen yang

dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan

penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam

penelitian ini adalah dengan cara mengumpulkan dan menginventarisasi

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berkaitan dengan

permasalahan yang diteliti yang selanjutnya dilakukan pencatatan dengan

menggunakan sistem kartu. Dalam sistem kartu ini dilakukan suatu telaah

kepustakaan dengan mencatat dan memahami informasi yang diperoleh

dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum

penunjang lainnya yang berkaitan dengan permasalahan pembuktian

terdakwa dalam perkara korupsi dikaitkan dengan beban pembuktian

terbalik yang dibahas.

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu setelah bahan-bahan hukum mengenai sistem pembuktian dalam

perkara korupsi dikaitkan dengan beban pembuktian terbalik dikumpulkan,

kemudian diolah dan dianalisis secara hukum. Dalam menganalisis bahan-

bahan hukum yang telah terkumpul dalam penelitian ini digunakan

beberapa teknik analisis bahan hukum yaitu :

1. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat

dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya

terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi -proposisi

hukum atau non hukum.

60

2. Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran

dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, histori,

sistematis, teleologis, kontektual, dan lain-lain.

3. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat,

setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh

peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan

rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan

hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder.

4. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi

karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang

bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan

hukum kian banyak argumen makin menunjukkan kedalaman

penalaran hukum.58

Pendekatan kasus (cases approach) sebagai bahan hukum

penunjang penelitian hukum normatif, peneliti menyertakan beberapa buah

kasus tindak pidana korupsi. Hanya saja penyajian kasus tersebut terbatas

pada penekanan beban pembuktian. Pembebanan beban pembuktian

dimaksud adalah terhadap para terdakwanya yang dibebani beban

pembuktian terbalik.

Sistem pembuktian terbalik adalah khusus diberlakukan bahwa

proses persidangan dengan agenda pembuktian mendapat giliran yang

diperintahkan hakim untuk menerangkan asal – usul dan perolehan harta

miliknya terkait indikasi tindak pidana korupsi sesuai apa yang dituduhkan

jaksa selaku penuntut umum.

Tidak seperti biasanya bahwa dalam proses pembuktian

persidangan bahwa dalam pembuktian kesempatan pertama adalah

merupakan forsi dan kewenangan jaksa selaku penuntut dalam kasus yang

58

Program Studi Magister Ilmu Hukum, 2013, Pedoman Penulisan Usulan

Penelitian dan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Denpasar, hlm. 34-35.

61

disidangkan untuk membuktikan dakwaannya. Kewajiban demikian adalah

merupakan aplikasi dari asas actori incumbit onus probandi (siapa yang

menuntut dialah yang wajib membuktikan).

Terlepas dari keharusan makna asas hukum tersebut, dalam setiap

pembuktian tindak pidana korupsi terdakwanya semua dalam proses

pembuktian dipersidangan dibebani beban pembuktian. Peneliti dalam

hubungan ini menyajikan beberapa kasus sebagai sampel penunjang dalam

mengkaji dan menganalisis sistem pembuktian terbalik. Sebagai fakta

hukum pula bahwa dalam proses pembuktian peradilan tindak pidana

korupsi diterapkan sistem pembuktian terbalik bagi terdakwanya.

Adapun sajian beberapa kasus tindak pidana korupsi dengan para

terdakwanya dibebani pembuktian terbalik terangkum pula tabel

berikut :

Tabel 1

Persidangan Tindak Pidana Korupsi Yang Menarik Perhatian Publik

di Bali Dengan Para Terdakwa Dibebani Pembuktian Terbalik

di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar

Dalam Periode Tahun 2012 – 2015

No. Nama

Terdakwa

Jenis Putusan Pengadilan

Yang Dijatuhkan Hakim

No. Perkara /

Putusan Keterangan

1 I Wayan

Sukaja, S.Sos

Pidana Penjara 4 tahun,

denda 200 juta subsider

1 bulan kurungan

pengganti denda dan

wajib membayar

kerugian keuangan

negara sebesar 431 juta,

sub pid penjara 3 bulan

1/PID.SUS/TPK

/2013/PN.DPS

Dari kalangan

legislatif

- Dana

BANSOS

- Ketua

DPRD

Tabanan

62

No. Nama

Terdakwa

Jenis Putusan Pengadilan

Yang Dijatuhkan Hakim

No. Perkara /

Putusan Keterangan

2 Gede Budiasa,

alias Jero

Tapakan Gede

Budiasa

Pidana Penjara 5 tahun 6

bulan

Denda 200 juta, sub.

Kurungan 5 bulan

Uang pengganti 1

milyar, 863 juta, 26 ribu,

650 rupiah sub 1 bulan

kurungan sub penyitaan

atas harta terdakwa, sub

4 tahun pidana pengganti

9/PID.SUS/TPK

/2013/PN.DPS

Dari kalangan

swasta

(korupsi dana

LPD)

3 Dewa Gede

Ramayana

Pidana penjara 1 tahun 3

bulan

Denda 50 juta, sub.

Kurungan 1 bulan

Pidana tambahan uang

pengganti Rp.

62.745.000 sub

pengganti harta benda

dilelang, bila tidak

membayar sub 3 bulan

penjara

7/PID.SUS/TPK

/2013/PN.DPS

Dari kalangan

eksekutif

- Korupsi

gaji guru

honorer

4 Drs. I Nyoman

Mudjarta,

M.Pd

Tidak terbukti bersalah

Dibebaskan dari

dakwaan

Memulihkan hak

terdakwa

16/PID/SUS/TPK

/2013/PN.DPS

Dari kalangan

pendidik

- Korupsi

uang

komite

5 I Nengah

Arnawa, S.Sos

Pidana penjara 6 tahun

Denda 300 juta rupiah

Pidana kurungan sub.

Pengganti 2 bulan

kurungan

Uang pengganti 1 milyar

395 juta

13/PID/SUS/TPK

/2014/PN.DPS

TPK mantan

Bupati Bangli

63

No. Nama

Terdakwa

Jenis Putusan Pengadilan

Yang Dijatuhkan Hakim

No. Perkara /

Putusan Keterangan

6 Prof. Dr. I

Made Titib,

Ph.D

Pidana penjara 2,5 tahun

denda 50 juta, subdair 1

bulan

No. 13 / Pid.Sus/

TPK/2014/PN.

DPS

Tgl. 2 Oktober

2014

Kasus Tindak

Pidana Korupsi

Proyek IHDN

Denpasar

Dari kalangan

Pendidik

(Rektor IHDN

Denpasar)

7 Dr. I Wayan

Candra, SH.,

MH

Pidana penjara 12 tahun

denda 1 milyar, subidair

6 bulan

(Putusan banding

diperberat 3 tahun

menjadi 15 tahun)

No. 7/Pid.Sus/

TPK/2015/PN.

DPS

Tgl. 24 Juni

2015

Tindak Pidana

Korupsi dan

TPPU – Proyek

Dermaga Nusa

Penida

Dari kalangan

Eksektuif

(Mantan

Bupati

Klungkung)

* Data diambil peneliti di Pengadilan Negeri Denpasar dan dioleh versi peneliti

Berdasarkan temuan penelitian semua kasus tindak pidana korupsi

tersebut diatas, ternyata dalam proses pembuktian para terdakwa

dipersidangan TIPIKOR Denpasar. Kesemuanya dibebani beban

pembuktian oleh hakim. Para terdakwa terlebih dahulu diwajibkan

menerangkan asal-usul perolehan harta yang dimilikinya terkait dengan

tuduhan jaksa masing-masing

Kewajiban yang dibebankan hakim kepada para terdakwa atas

dakwaan melakukan tindak pidana korupsi sesuai dengan pengaturan Pasal

37 ayat (1) dan ayat (3) Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang

– Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

64

Korupsi. Namun demikian setelah selesai terdakwa membuktikan dirinya

sesuai tuduhan jaksa, jaksapun dibebani beban pembuktian untuk

membuktikan dakwaannya sesuai dengan esensi Pasal 66 KUHAP. Oleh

karena demikian tampak bahwa sistem pembuktian yang diterapkan dalam

peradilan tindak pidana korupsi adalah sistem pembuktian terbalik

berimbang.

Pendekatan perbandingan (comparative approach) yang peneliti

lakukan membandingkan dengan beberapa negara seperti Inggris,

Singapura dan Malaysia, khususnya dengan penerapan sistem pembuktian

terbalik yang juga dianut di negara – negara tersebut. Negara Indonesia

dengan keluarga hukum Civil Law atau Eropa Kontinental yang

merupakan sistem hukum induknya dari Belanda, bahwa di Belanda-pun

menetapkan pula sistem pembuktian terbalik, bahkan lebih luas

jangkauannya bukan saja terhadap perbuatan dengan indikasi korupsi, juga

terhadap tindak pidana tertentu seperti pencemaran melawan keamanan

negara. Serta pula di Belanda tindakan perampasan, terhadap harta milik

terdakwa sejak ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat dilakukan. Di

Indonesia perampasan dapat dilakukan setelah adanya putusan pengadilan.