bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah i.pdf... sosial budaya, ... di provinsi kalimantan...

28
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan, Lembaran Negara RI Tahun 2013 Nomor 130, dalam penjelasan umumnya menyebutkan bahwa hutan Indonesia sebagai karunia dan anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang diamanatkan kepada bangsa Indonesia merupakan unsur utama sistem penyangga kehidupan manusia dan merupakan modal dasar pembangunan nasional yang memiliki manfaat nyata, baik manfaat ekologi, sosial budaya, maupun ekonomi agar kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia berkembang secara seimbang dan dinamis. Hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan (life support system), hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Hutan juga mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi sangat penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Hutan sebagai sumber daya alam hayati memiliki arti dan nilai strategis. Nilai strategis hutan sebagai salah satu sumber daya alam yang dapat

Upload: trinhdang

Post on 07-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang

Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan, Lembaran Negara RI Tahun 2013

Nomor 130, dalam penjelasan umumnya menyebutkan bahwa hutan Indonesia

sebagai karunia dan anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang diamanatkan kepada

bangsa Indonesia merupakan unsur utama sistem penyangga kehidupan manusia

dan merupakan modal dasar pembangunan nasional yang memiliki manfaat nyata,

baik manfaat ekologi, sosial budaya, maupun ekonomi agar kehidupan dan

penghidupan bangsa Indonesia berkembang secara seimbang dan dinamis. Hutan

harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan

bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang

akan datang.

Kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan

(life support system), hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat

manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Hutan juga mempunyai

peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga

keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi sangat penting, dengan tetap

mengutamakan kepentingan nasional.

Hutan sebagai sumber daya alam hayati memiliki arti dan nilai strategis.

Nilai strategis hutan sebagai salah satu sumber daya alam yang dapat

2

memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia. Manfaat ekologi, sosial

dan manfaat ekonomi merupakan tiga pilar manfaat yang dapat diperoleh dari

hutan.1 Nilai strategis hutan dapat pula didefinisikan dalam artian ekonomis,

sebagai masukan sumber daya untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan

sosial. Berarti tidak dapat dipungkiri bahwa hutan menyediakan basis sumber

daya yang vital bagi perekonomian indonesia.2

Hutan Indonesia merupakan salah satu hutan tropis terluas di dunia

sehingga keberadaannya menjadi tumpuan keberlangsungan kehidupan bangsa-

bangsa di dunia, khususnya dalam mengurangi dampak perubahan iklim global.

Pemanfaataan dan penggunaannya harus dilakukan secara terencana, rasional,

optimal, dan bertanggung jawab sesuai dengan kemampuan daya dukung serta

memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup guna

mendukung pengelolaan hutan dan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan

bagi kemakmuran rakyat. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan

bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan

demikian, hutan sebagai salah satu sumber kekayaan alam bangsa Indonesia

dikuasai oleh negara.

Sumber daya hutan di Indonesia memiliki kandungan potensi yang sangat

besar untuk dikembangkan sebagai sumber pendanaan pembangunan. Potensi

yang sangat besar tersebut, dilandasi suatu fakta bahwa indonesia dikenal sebagai

1 Bambang Eko Supriyadi, 2013, Hukum Agraria Kehutanan, Aspek Hukum Pertanahan dalam Pengelolaan Hutan Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 1.

2 Ibid.

3

sebuah negara yang memiliki hutan tropis dataran rendah terluas ketiga di dunia,

setelah Saire dan Brasil.3 Hutan di Indonesia memiliki ekosistem yang beragam

mulai dari hutan tropis dataran rendah dan dataran tinggi sampai dengan hutan

rawa gambut, rawa air tawar, dan hutan bakau (mangrove), selain itu negara

Indonesia merupakan 10 (sepuluh) negara pemilik hutan terluas di dunia.

Adapun kesepuluh negara yang terluas hutannya tersebut, di antaranya: (1) federasi Rusia luas wilayah 1.688,9 juta hektar, dengan luas hutan 809 juta hektar; (2) Brasil luas wilayah 845,9 juta hektar, dengan luas hutan 478 juta hektar; (3) Kanada luas wilayah 922,9 juta hektar, dengan luas hutan 310 juta hektar; (4) Amerika Serikat luas wilayah 915,9 juta hektar, dengan luas hutan 303 juta hektar, (5) Cina luas wilayah 932,7 juta hektar, dengan luas hutan 197 juta hektar, (6) Australia luas wilayah 768,2 juta hektar, dengan luas hutan 164 juta hektar, (7) Republik Demokrat Kongo luas wilayah 226,7 juta hektar, dengan luas hutan 134 juta hektar, (8) Indonesia luas wilayah 181,2 juta hektar, dengan luas hutan 88 juta hektar, (9) Peru luas wilayah 128 juta hektar, dengan luas hutan 69 juta hektar, dan (10) India luas wilayah 297,3 juta hektar, dengan luas hutan 68 juta hektar.4

Sektor kehutanan juga berperan dalam upaya pengembangan pusat-pusat

pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah pedalaman yang terpencil. Kegiatan

pengusahaan hutan dan industrialisasi kehutanan telah mendorong sektor

kehutanan menjelma menjadi tulang punggung ekonomi regional. Fakta paling

aktual atas fenomena tersebut adalah besarnya kontribusi sektor kehutanan

terhadap angka Produk Domestik Bruto (PDB). 5

Sebagai contoh sektor kehutanan telah menyumbangkan 22,23% bagi PDB

di Provinsi Kalimantan Barat, sementara Kalimantan Tengah dan Kalimantan

Timur masing-masing kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB mencapai 38%

dan 44%. Tidak kalah signifikan, sumbangan sektor kehutanan dalam

3 Bambang Pamulardi, 1995, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, Raja

Grafindo Persada, Jakarta, h. 94. 4 Harian Kompas, Sabtu, 6 Januari 2007, Bencana Akibat Susutnya Hutan, h. 35. 5 Agung Nugraha, 2004, Menyongsong Perubahan Menuju Evitalisasi Sektor Kehutanan,

Wirna Aksara, Jakarta, h. 58-59.

4

pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi regional daerah pedalaman

terpencil antara lain tercermin dari sumbangan terhadap infrastruktur di daerah,

antara lain sarana transportasi yang telah mencapai panjang jalan trans sepanjang

46.000 km dengan investasi sekitar Rp 1,9 triliun. Tersedianya 6.750 buah

sekolah, rumah ibadah dan balai desa masing-masing sebanyak lebih kurang 1.800

buah.6 Peran dan kontribusi dalam pembangunan ekonomi tersebut, sektor

kehutanan secara langsung maupun tidak juga telah membantu terwujudnya

proses integrasi sosial kultural berbagai komunitas.

Penguasaan sumber daya hutan oleh negara memberi wewenang kepada

pemerintah untuk (i) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan

dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (ii) menetapkan kawasan hutan

dan/atau mengubah status kawasan hutan; (iii) mengatur dan menetapkan

hubungan hukum antara orang dan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan;

serta (iv) mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan.7 Selanjutnya,

pemerintah sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan izin kepada pihak

lain yang memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan.

Hal-hal tertentu yang sangat penting, berskala dan berdampak luas, serta

bernilai strategis, pemerintah harus memperhatikan aspirasi rakyat melalui

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Pembangunan hutan

berkelanjutan memerlukan upaya yang sungguh-sungguh karena masih terjadi

berbagai tindak kejahatan kehutanan, seperti pembalakan liar, penambangan tanpa

izin, dan perkebunan tanpa izin.

6 Ibid. 7 Suriansyah Murhaini, 2011, Hukum Kehutanan Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan di

Bidang Kehutanan, Laksbang Grafika, Yogyakarta, h. 16.

5

Tindak pidana penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa izin

pemanfaatan hutan itu telah menimbulkan kerugian negara dan kerusakan

kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup yang sangat besar serta telah

meningkatkan pemanasan global yang telah menjadi isu nasional, regional, dan

internasional. Akhir-akhir ini kerusakan hutan semakin meluas dan kompleks.

Perusakan itu terjadi tidak hanya di hutan produksi, tetapi juga telah merambah ke

hutan lindung ataupun hutan konservasi.8

Upaya menangani perusakan hutan sesungguhnya telah lama dilakukan,

tetapi belum berjalan secara efektif dan belum menunjukkan hasil yang optimal.

Hal itu antara lain disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang ada

belum secara tegas mengatur sanksi pidana yang dapat memberikan efek jera

terhadap pelaku tindak pidana kehutanan.

Penjatuhan pidana uang pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 108

Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 penting dilakukan karena kerusakan hutan

akibat penebangan liar tanpa ijin serta perdagangan kayu hasil illegal logging

yang merambah luar negeri dengan harga jual yang tinggi membuat siapapun

tergiur untuk melakukannya.9

Data Kementerian Kehutanan 2011 seperti dipaparkan dalam Kompas.com pada 17 Juni 2013 menunjukkan perkiraan kerugian negara akibat pembukaan hutan untuk kebun dan tambang di 7 provinsi sangatlah besar yakni Rp. 273. 924 triliun. Riset Indonesia Corruption Watch (ICW) memperkirakan kerugian negara dari sektor non pajak kawasan hutan mencapai Rp. 169, 791 triliun selama 2004-2007. Sementara itu Human Rights Watch (HRW) dalam laporannya tahun 2013 menyebutkan kesalahan tata kelola kehutanan Indonesia diperkirakan merugikan negara

8 Supriadi, 2009, Hukum Kehutanan & Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 45. 9 Mohammad Taufik Makarao dan Abdul Muis Yusuf, 2011, Hukum Kehutanan di

Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h. 3.

6

sebesar Rp. 70 triliun sepanjang 2008-2013. Besarnya angka di atas tentu belum termasuk nilai kehilangan sumber daya hayati yang ikut musnah bersama rusaknya hutan. Kawasan hutan masih rentan terhadap penebangan liar. Dalam periode waktu 2007-2012, diperkirakan penebangan kayu secara ilegal mencapai 23,323 juta meter kubik per tahun dan kerugian negara mencapai Rp. 27 trilyun per tahun. Setiap tahun, diperkirakan antara 50% - 70% pasokan kayu untuk industri diperoleh dari kayu yang ditebang secara ilegal (Future Forest Working Group, 2004). Berdasarkan kebutuhan industri pada tahun 2007 menunjukkan, dari total 53 juta m3 kayu bulat untuk kebutuhan industri, justru 36 juta m3 dipasok dari illegal logging.10 Perlu ada upaya terhadap perlindungan hutan agar mengurangi dampak

berupa bencana alam yang akan terjadi jika hutan terus dieksplorasi guna

kepentingan komersial seseorang maupun kelompok. Perlindungan hutan adalah

usaha untuk mencegah terjadinya kerusakan hutan agar kelestarian fungsi hutan

dapat tetap terjaga.11 Upaya perlindungan terhadap hutan, hutan harus dipandang

sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan lingkungan atau ekosistem secara

global.

Lingkungan global menurut Soemarwato adalah lingkungan hidup sebagai

suatu keseluruhan, yaitu wadah kehidupan yang didalamnya berlangsung

hubungan saling mempengaruhi (interaksi) antara makhluk hidup (komponen

hayati) dengan lingkungan tempat hidupnya (komponen non hayati).12

Kabupaten Jembrana merupakan daerah di Bali yang mempunyai kawasan

hutan lindung yang luas sehingga perlu dijaga kelestariannya. Data dari Polres

Jembrana kasus penebangan hutan tanpa izin yang ditangani tahun 2009 hingga

10 Deni Anto, Juta Hektar Hutan Nasional Rusak Akibat Pembalakan Liar,

http://www.rmol.co/read/2012/11/24/86712/41, diakses tanggal 28 Januari 2015. 11 Rahmi Hidayati D, dkk, 2006, Pemberantasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu:

Melalui Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan, Wana Aksara, Tangerang, h.128.

12 Soemarwato, O, 1992, Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global, Cet.II, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 20.

7

awal bulan november mencapai 19 kasus dengan total jumlah kayu yang

diamankan sebanyak 1900. Akibatnya kerugian negara mencapai Rp.

32.120.000.13

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-

undang No. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan belum mampu mengurangi

terjadinya perusakan hutan karena dari tahun ke tahun jumlah kerugian negara

akibat perusakan hutan makin meningkat sehingga upaya untuk menyelamatkan

hutan dari bahaya kerusakan belum sepenuhnya efektif.

Ancaman sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 108 Undang-Undang No.

18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

menyatakan “selain penjatuhan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal

82, Pasal 84, Pasal 94, Pasal 96, Pasal 97 huruf a, Pasal 97 huruf b, Pasal 104,

Pasal 105, atau Pasal 106 dikenakan juga uang pengganti, dan apabila tidak

terpenuhi, terdakwa dikenai hukuman penjara yang lamanya tidak melebihi

ancaman maksimum dari pidana pokok sesuai dengan ketentuan dalam Undang-

undang ini dan lama pidana sudah ditentukan dalam putusan pengadilan”. Artinya

sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 108 Undang-Undang Nomor 18 Tahun

2013 bersifat kumulatif yaitu jika ada beberapa jenis pidana pokok yang

diancamkan dalam suatu ketentuan hukum pidana, maka hakim harus

menjatuhkan keseluruhannya.

Sanksi pidana uang pengganti tersebut dalam putusan PN Negara tidak

diimplementasikan. Putusan-putusan hakim PN Negara itu antara lain Putusan

13 Suhanda, 2013, Studi Kasus Illegal Logging di Jembrana Makin Marak Hutan Dikapling-

Kapling, www.balipost.co.id, diakses tanggal 15 Oktober 2015.

8

Pengadilan Negeri Negara Nomor : 91 / Pid.Sus / 2014 / PN. Nga, Putusan

Pengadilan Negeri Negara Nomor : 154 / Pid.Sus / 2014 / PN. Nga, Putusan

Pengadilan Negeri Negara Nomor : 50 /Pid.Sus / 2014/ PN.NGR, Serta Putusan

PN Negara No: 51 / Pid.Sus / 2014 / PN.NGR. Keempat Putusan Hakim

Pengadilan Negara tersebut menjatuhkan pidana sesuai Pasal 82 ayat (1) huruf b

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 yang berkaitan dengan penebangan

pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat

yang berwenang, tanpa diikuti dengan penjatuhan sanksi pidana uang pengganti

yang termuat dalam Pasal 108 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, sehingga

berarti adanya kesenjangan antara das sollen dan das sein yaitu kesenjangan

antara teori dan kenyataan di lapangan.

Barda Nawawi Arief, perlindungan terhadap korban kejahatan pada

dasarnya merupakan bagian integral dari hak asasi korban kejahatan.14

Sebenarnya tuntutan untuk memberikan perlindungan bagi korban kejahatan

dalam bentuk pembayaran uang pengganti dimaksudkan untuk mengambil seluruh

keuntungan yang diperoleh dari hasil tindak pidana kehutanan dan dipergunakan

untuk penanaman kembali hutan yang telah ditebang.

Konteks pelaksanaan tugas hakim yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan diatur dalam Pasal 24 Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebebasan hakim dalam

memutus suatu perkara tentunya berpegangan pada aturan-aturan yang ada dan

peradilan yang independen sangat penting untuk menegakkan supremasi hukum

14 Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Prenada Media Group, Jakarta (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I), h. 62.

9

melalui eksplorisasi lebih lanjut terhadap berbagai aspek yang ada, seperti

pendapat Nils A. Engstad menyatakan bahwa:

“Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manne, An independent judiciary is crucial for upholding the rule of law and for the protection of human rights in a democratic society. The Independence of Judges is an anthology, illustrating that there is still a need for further exploration and reflection on various aspects of the principle of judicial independence”15. (Kebebasan tidak berarti bahwa hakim berhak untuk bertindak sewenang-wenang, sebuah peradilan yang independen sangat penting untuk menegakkan supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia dalam masyarakat demokratis. Independensi Hakim adalah sebuah antologi, menggambarkan bahwa masih ada kebutuhan untuk eksplorasi lebih lanjut dan refleksi tentang berbagai aspek prinsip independensi peradilan).

Kebebasan dalam menentukan pidana inilah hakim sebagai manusia dapat

menggunakan daya tafsirnya untuk menentukan pidana yang sesuai dijatuhkan

untuk terdakwa. Berkaitan dengan pelaksanaan tugas hakim, I Nyoman Nurjaya

menjelaskan bahwa hakim harus melakukan penalaran deduktif (deductive

reasioning) dengan bekal pola pikir yang disebut silogisme, menetapkan

kesimpulan dari adanya dua premis, yaitu premis mayor berupa peristiwanya, dan

premis minor berupa dasar hukumnya.16 Menurut Alfred Dening, bahwa kegiatan

hakim tersebut bukan semata-mata menerapkan silogisme belaka, tetapi spirit

hakim ikut menentukan keadilan.

Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan mengambil judul :

15 Nils A. Engstad, 2014, The Independence of Judges, International Publishing, London, h.

15. 16 Nurjaya, 2009, Dalam Makalah Soedarmadji: Redaksi Putusan Pengadilan dalam

Penjatuhan Pidana Penjara Sebagai Pengganti “Pembayaran Uang Pengganti” dalam Tindak Pidana Korupsi, Tanjungkarang, h.11.

10

“Implementasi Sanksi Pidana Uang Pengganti Menurut Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

di Pengadilan Negeri Negara”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut, maka dapat

dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut :

1. Apa dasar pertimbangan hakim tidak menjatuhkan pidana uang pengganti

dalam tindak pidana kehutanan?

2. Apa yang menjadi kendala bagi hakim tidak dapat menjatuhkan pidana uang

pengganti?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup penelitian merupakan bingkai penelitian, yang

menggambarkan batas penelitian, mempersempit permasalahan, dan membatasi

areal penelitian.17 Penelitian ini, untuk memudahkan dalam menelaah dan tidak

melebar ke permasalahan lain, maka perlu diadakan pembatasan masalah.

Penulisan penelitian ini meliputi masalah-masalah antara lain dasar pertimbangan

hakim tidak menjatuhkan pidana uang pengganti dalam tindak pidana kehutanan,

dan kendala bagi hakim tidak dapat menjatuhkan pidana uang pengganti.

17 Bambang Sunggono, 2005, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, h. 111.

11

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum berupa upaya penelili untuk pengembangan ilmu hukum

terkait dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses). Dengan

paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandek (final) dalam penggaliannya atas

kebenaran di bidang dasar pertimbangan hakim tidak menjatuhkan pidana uang

pengganti dalam tindak pidana kehutanan sebagai bentuk perlindungan terhadap

lingkungan hidup yang termasuk didalamnya ada hutan, sehingga perbuatan yang

dapat merusak hutan tidak terjadi kembali di masa yang akan datang.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mendiskripsikan dan melakukan analisis terhadap dasar pertimbangan

hakim tidak menjatuhkan pidana uang pengganti dalam tindak pidana

kehutanan sesuai ketentuan Undang-Undang No 18 Tahun 2013 Tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

2. Untuk mendiskripsikan dan melakukan analisis secara mendalam tentang

kendala bagi hakim tidak dapat menjatuhkan pidana uang pengganti.

1.5 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya penulisan tesis ini

dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

teoritik dalam pengembangan teori, konsep, asas hukum pidana khususnya bidang

hukum kehutanan khususnya dasar pertimbangan hakim tidak menjatuhkan pidana

12

uang pengganti, sekaligus sebagai acuan bagi pihak-pihak yang ingin melakukan

penelitian lebih mendalam tentang kendala bagi hakim tidak dapat menjatuhkan

pidana uang pengganti.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bukan hanya bagi

penulis sendiri tetapi juga bagi institusi penegak hukum guna

memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan studi di bidang

hukum pidana khususnya terkait dasar pertimbangan hakim tidak

menjatuhkan sanksi pidana uang pengganti.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat serta masukan

pengetahuan bagi masyarakat, yang berkaitan dengan kendala bagi

hakim tidak dapat menjatuhkan pidana uang pengganti.

1.6 Orisinalitas Penelitian

Penelitian ini merupakan hasil karya tulis asli yang penulis kerjakan

sendiri dengan tidak ada unsur plagiasi dari hasil karya tulis manapun. Adapun

hasil karya tulis lainnya yang dapat menunjukkan perbedaan yang signifikan

antara hasil karya tulis ini dengan karya tulis lainnya dapat diperhatikan mulai

dari judul, masalah yang dikaji, dan hasil penelitiannya. Lebih lanjut diuraikan

sebagai berikut :

1. Penelitian yang dilakukan oleh Steven Makaruku, SH, tesis tahun 2013,

Universitas Udayana Denpasar, judul "Kebijakan Kriminal Terhadap

Penanggulangan Illegal Logging Di Indonesia" dimana rumusan masalahnya

meliputi :

13

1) Bagaimanakah pendekatan penanggulangan illegal logging dari

persepektif kebijakan kriminal?

2) Bagaimanakah kebijakan pemerintah menanggulangi peredaran kayu ilegal

antar negara?

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum

yang dilakukan dengan cara meneliti dan mengkaji kaedah-kaedah hukum yang

berlaku dan menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi

normatif

2. Penelitian yang dilakukan oleh I Gusti Ngurah Yoga Antara, SH, tesis tahun

2013, Universitas Udayana Denpasar dengan judul "Implementasi Prinsip

Perlindungan Hutan Dalam Penanggulangan Illegal Ocupation Di Kawasan

Hutan (Studi Kasus Pada Illegal Ocupation Di Tahura Ngurah Rai)” dimana

rumusan masalah meliputi :

1) Bagaimanakah bentuk dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

illegal ocupation di Tahura Ngurah Rai?

2) Bagaimanakah implementasi prinsip perlindungan hutan dalam upaya

penanggulangan illegal ocupation di Tahura Ngurah Rai?

Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris yang mengkaji bekerjanya

hukum di masyarakat, yakni dengan mengkaji mengenai illegal occupation di

Tahura Ngurah Rai. Penelitian ini dilakukan di Tahura Ngurah Rai yang berlokasi

di Kota Denpasar.

14

3. Gandhi Susila, SH, tesis tahun 2011, Universitas Diponegoro Semarang

dengan judul "Upaya Non Penal Dalam Penanggulangan Illegal Logging Di

Wilayah Kabupaten Grobongan” dimana rumusan masalah meliputi:

1) Faktor-faktor apa saja yang menjadi latar belakang timbulnya illegal

logging di Kabupaten Grobongan?

2) Usaha-usaha apa saja yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Grobongan

dalam penanggulangan masalah illegal logging tersebut?

Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang khusus meneliti

mengenai efektivitas hukum yang membahas mengenai bagaimana hukum

beroperasi dalam masyarakat. Penelitian ini berlokasi di Kabupaten Grobongan.

Dari ketiga tesis tersebut belum ada yang menyentuh secara khusus

mengenai permasalahan yang akan penulis bahas dalam penelitian ini, dimana

penulis lebih menekankan pada dasar pertimbangan hakim tidak menjatuhkan

pidana uang pengganti dalam tindak pidana kehutanan serta kendala bagi hakim

tidak dapat menjatuhkan pidana uang pengganti.

1.7 Landasan Teoritis

Setiap penelitian selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis.

“Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum

umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, dan lain-lain, yang akan

dipakai landasan pembahasan permasalahan penelitian”.18 Penelitian ini

18 PS. Magister ilmu Hukum Program Pascasarjana Unud, 2013, Pedoman Penulisan Usulan

Penelitian dan Tesis, PS. Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Unud, Denpasar, h. 44.

15

menggunakan asas-asas hukum dan teori-teori hukum sebagai landasan analisis

terhadap permasalahan yang ada, yaitu:

1. Asas Independensi Hakim

Kehakiman di Indonesia dijamin dalam konstitusi Indonesia yaitu Undang-

Undang Dasar 1945, yang selanjutnya diimplementasikan dalam Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman,

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.

Independensi diartikan sebagai bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala

Kekuasaan Negara lainnya dan kebebasan dari paksaan yang datang dari pihak-

pihak di luar kekuasaan kehakiman, kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh

Undang-Undang. Demikian juga meliputi kebebasan dari pengaruh-pengaruh

internal kekuasaan kehakiman didalam menjatuhkan putusan.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan

pemerintah merupakan kehendak dari UUD NRI Tahun 1945 yakni Pasal 24 dan

Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini adalah esensi demokrasi yang

dicita-citakan oleh indonesia. Pengakuan bahwa seharusnya kekuasaan kehakiman

itu mereka lepas dari pengaruh cabang kekuasaan yang lain.

Independensi hakim untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, untuk terselenggaranya Negara

Hukum Republik Indonesia, menuntut hakim memiliki integritas dan komitmen

yang didasarkan pada kemampuan dan kecerdasan intelektual dan kecerdasan

spritual.

16

Independensi kekuasaan kehakiman atau badan-badan

kehakiman/peradilan merupakan salah satu dasar untuk terselenggaranya

pemerintahan yang demokratis dibawah Rule of Law sebagaimana pemikiran

mengenai Negara Hukum modern yang pernah dicetuskan dalam konferensi oleh

International Commission of Jurists di Bangkok pada tahun 1965. Demikian jelas

bahwa secara nasional maupun internasional atau universal, independensi badan-

badan peradilan dijamin.19

Batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam

implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri.

Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansial/materiil, itu

sendiri sudah merupakan batasan bagi Kekuasaan Kehakiman agar dalam

melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenang-

wenang.20

2. Asas Primum Remidium

Sanksi pidana merupakan “obat terakhir” (ultimum remedium) dari

rangkaian tahapan penegakan suatu aturan hukum. “Obat terakhir” ini merupakan

jurus pamungkas jika mekanisme penegakan pada bidang hukum lain tidak

bekerja efektif. Perkembangan hukum pidana di Indonesia, sanksi pidana dalam

beberapa kasus tertentu bergeser kedudukannya. Tidak lagi sebagai ultimum

remedium melainkan sebagai primum remedium (obat yang utama).21

19 Lotulung, Paulus Efendi, 2003, Kebebasan Hakim Dalam Sistem Penegakan Hukum,

Makalah Disampaikan Pada : Seminar Pembangunan Hukum Nasional VI, h. 12. 20 Busthanul Arifin, 2007, Masa Lampau yang Belum Selesai (Percikan Pikiran Tentang

Hukum dan Pelaksanaan Hukum), Sinar Grafika, Jakarta, h. 23. 21 Adami Chazawi, 2005, Pelajaran Hukum Pidana. Cetakan I, PT Rajagrafindo, Jakarta, h.

98.

17

Posisi primum remedium dalam konteks hukuman bukan lagi menjadi obat

terkahir melainkan menjadi obat pertama untuk membuat jera orang yang

melakukan pelanggaran yang bersifat pidana. Hukuman pidana dijadikan hal yang

paling penting untuk menghukum pelaku yang dapat merugikan ataupun

mengganggu ketentraman umum.22

Ketentuan pengaturan mengenai sanksi pidana sebagai primum remedium

ini dapat dilihat dalam UU mengenai terorisme dan tindak pidana korupsi. Dari

perspektif sosiologis hal ini dikarenakan perbuatan yang diatur dalam dua UU

tersebut merupakan tindakan yang “luar biasa” dan besar dampaknya bagi

masyarakat, sehingga dalam hal ini tidak lagi mempertimbangkan penggunaan

sanksi lain, karena mungkin dirasa sudah tepat apabila langsung menggunakan

atau menjatuhkan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak pidana tersebut.23

Kini faktanya sanksi pidana itu bukan merupakan “obat terakhir” (ultimum

remedium) lagi, banyak perbuatan – perbuatan yang bertentangan dengan aturan

UU yang berlaku dan masyarakat merasa dirugikan, maka yang diberlakukan

adalah sanksi pidana sebagai pilihan utama (premium remedium).

Perkembangannya penerapan dalil ultimum remedium ini sulit diterapkan

karena masih banyak mengalami kendala, dan faktor-faktor lain salah satunya

adalah karena KUHP yang mengatur setiap tindak pidana dan pelanggaran

menerapkan sanksi pidana yang tidak mengenal kompromi.

22 Ibid. 23 Ibid, h.71.

18

3. Teori Pemidanaan

Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang diartikan juga sebagai

hukuman sehingga pemidanaan dapat diartikan sebagai penghukuman. Menurut

Sudarto, bahwa istilah penghukuman dapat disempitkan artinya, yakni

penghukuman dalam perkara pidana yang kerap kali sinonim dengan

“pemidanaan” atau “pemberian/penjatuhan pidana” oleh hakim.24

Menurut Muladi tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan baik individual maupun sosial yang disebabkan karena adanya tindak pidana. Konsepsi ini bertolak dari asumsi dasar, bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan yang mengakibatkan kerusakan individual dan sosial. Berdasarkan hal tersebut, Muladi mengemukakan bahwa seperangkat tujuan yang bersifat integratif meliputi;

1. pencegahan (baik umum maupun khusus); 2. perlindungan masyarakat; 3. memelihara solidaritas masyarakat; 4. pengimbalan/ pengimbangan.25

Pemidanaan yang mempunyai arti sama dengan penjatuhan pidana oleh

negara, berwujud sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau

dibebankan oleh negara kepada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat

hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum

pidana. Menurut Steven H. Gifts26, dalam Law Dictionary yang dimaksud dengan

Punishment adalah :

Punishment, is sanctions impose on a person because that person has been found to have comite some act. Dalam Black’s Law Dictionary, punishment is any fine, penalty, or confinement inflicted upon a person by the authority of law and the judgement and sentence of a court, for some

24 Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut

Sudarto I), h.72 25 Muladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Muladi

I), h.39. 26 Steven H. Gifis, 1991, Law Dictionary, Barrons Educational Series Inc, New York, h.101.

19

crime or offense commited by him or for his ommission of a duty enjoined by law.27 Hal tersebut dapat dikatakan bahwa pemidanaan adalah suatu proses

pemberian/penjatuhan pidana oleh hakim dan mengenai proses menjalankan

pidana sebagai akibat adanya gangguan mengakibatkan kerusakan baik individual

maupun sosial. Pemidanaan pada umumnya dikenal dengan 3 teori yang sering

digunakan dalam mengkaji tentang tujuan pemidanaan yaitu :

a. Teori Pembalasan (absolute/vergeldingstheorie) Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri karena kejahatan telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku juga harus diberi penderitaan.

b. Teori maksud dan tujuan (relatieve doeltheorie) Menurut teori ini, hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal. selain itu tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan.

c. Teori gabungan (verenigingstheorie) Pada dasarnya teori gabungan adalah gabungan kedua teori antara teori pembalasan dan teori maksud dan tujuan. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.28

4. Teori Kemanfaatan

Teori ini dikemukakan oleh Jeremy Bentham yang secara garis besar teori

ini mengacu pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan hukum

dalam masyarakat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, sehingga tata tertib

masyarakat tetap terpelihara. Tujuan pidana menurut teori utilitarian ialah tata

tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Pidana

27 Henry Campbell Black, 1991, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul Minn, h.23.

28 Ledeng Marpaung, 2003, Azas Teori Praktek Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.105.

20

adalah untuk mencegah timbulnya tindak pidana dengan tujuan agar tata tertib

masyarakat tetap terpelihara. Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat, maka

pidana memiliki tiga macam sifat, yaitu : bersifat menakut-nakuti, bersifat

memperbaiki dan bersifat membinasakan. Dasar pembenaran adanya pidana

menurut teori ini adalah terletak supaya orang jangan melakukan kejahatan.29

Menurut kaum utilitarianisme, tujuan perbuatan sekurang-kurangnya

mengurangi atau menghindari kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan yang

dilakukan oleh diri sendiri ataupun orang lain, menurut pendapat Bentham : “In

Bentham's theory, an action conforming to the principle of utility is right or at

least not wrong; it ought to be done, or at least it is not the case that it ought not

be done”.30 (Dalam teori Bentham, tindakan sesuai dengan prinsip utilitas yang

benar atau setidaknya tidak salah, itu harus dilakukan, atau setidaknya tidak

terjadi bahwa hal itu tidak seharusnya dilakukan).

Adapun maksimalnya adalah dengan memperluas kegunaan, manfaat, dan

keuntungan yang dihasilkan oleh perbuatan yang akan dilakukan. Jadi tindakan itu

harus memberi manfaat sesuai dengan prinsip utilitas yang tepat atau setidaknya

tidak salah, itu harus dilakukan, atau setidaknya tidak terjadi bahwa hal itu tidak

seharusnya dilakukan.

5. Teori Efektivitas Hukum

Terkait dengan efektivitas hukum yang dihubungkan dengan tipe-tipe

penyelewengan yang terjadi dalam masyarakat, perlu dicermati bahwa berlakunya

29 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,

Bandung (Selanjutnya disebut Muladi dan Barda Nawawi Arief I), h. 16. 30 Daniel & Garret Thomson, 2006, The Longman Standard History of Philosophy, New

York, h. 123.

21

hukum dapat dilihat dari berbagai perspektif, seperti perspektif filosofis, yuridis

normatif dan sosiologis. Perspektif filosofis, berlakunya hukum jika sesuai dengan

cita-cita hukum. Perspektif yuridis normatif, berlakunya hukum jika sesuai dengan

kaedah yang lebih tinggi atau terbentuknya sesuai dengan cara-cara yang

ditetapkan.

Teori efektivitas hukum atau bekerjanya hukum dalam masyarakat

menurut William. J. Chambliss dan Robert B. Seidmen yang berpendapat tentang

pengaruh hukum. Salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai

sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia.

Efektivitas hukum merupakan proses yang bertujuan agar semua hukum berlaku

efektif, keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolak ukur diantaranya

hukumnya sendiri, perilaku masyarakat, sarana dan fasilitas.31

Menurut Chambliss dan Robert B. Seidmen setiap konsep hukum sangat

mempengaruhi agar suatu perilaku dilakukan oleh lembaga pembuat dan lembaga

kekuasaan negara, kemudian oleh kekuasaan negara diselenggarakan dengan

mempergunakan hukum sebagai sarana untuk mendorong perilaku yang lebih

baik.32

Lembaga pembuat hukum bekerja dengan membuat peraturan yang

ditujukan untuk mengatur masyarakat, demikian pula dengan lembaga penegak

hukum bertugas menjalankan peraturan yang ditujukan untuk mengatur

masyarakat sehingga hukum menjadi efektif.

31 Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penagakan Hukum, PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I), h. 8. 32 Ibid, h.9.

22

Efektivitas berfungsinya hukum dalam masyarakat, erat kaitannya dengan

kesadaran hukum dari warga masyarakat itu sendiri. Ide tentang kesadaran warga

–warga masyarakat sebagai dasar sahnya hukum positif tertulis yang dapat

diketahui dari ajaran-ajaran tentang Rechysgeful atau Rechtsbewustzijn, dimana

intinya adalah tidak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat kecuali

atas dasar kesadaran hukum. Hal tersebut merupakan suatu aspek dari kesadaran

hukum, aspek lainnya adalah bahwa kesadaran hukum seringkali dikaitkan dengan

penataan hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. aspek-aspek ini

erat kaitannya dengan anggapan bahwa hukum itu tumbuh bersama-sama dengan

tumbuhnya masyarakat, dan akhirnya berangsur-angsur lenyap manakala suatu

bangsa kehilangan kepribadian nasionalnya.

6. Teori Berlakunya Hukum

Teori keberlakuan kaidah hukum :

1. Kaedah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan

pada kaedah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen), atau berbentuk

menurut cara yang telah ditetapkan, atau apabila menunjukkan hubungan

keharusan antara suatu kondisi dan akibat.

2. Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaedah tersebut efektif,

artinya, kaedah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa

walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (Teori kekuasaan), atau

kaedah tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori

pengakuan). Berlakunya kaidah hukum secara sosiologis menurut teori

pengakuan adalah apabila kaidah hukum tersebut diterima dan diakui

23

masyarakat. Sedangkan menurut teori paksaan berlakunya kaidah hukum

apabila kaidah hukum tersebut dipaksakan oleh penguasa.

3. Kaedah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya, sesuai dengan

cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.33

Suatu kaidah hukum sebaiknya mengandung 3 aspek tersebut, yaitu jika

kaidah hukum berlaku secara yuridis saja maka hanya merupakan hukum mati

sedang apabila hanya berlaku dari aspek sosiologis saja dalam artian paksaan

maka kaidah hukum tersebut tidak lebih dari sekedar alat pemaksa. Apabila

kaidah hukum hanya memenuhi syarat filosofis saja, maka kaidah hukum tersebut

tidak lebih dari kaidah hukum yang dicita-citakan.

Kalau ditelaah secara lebih mendalam, supaya berfungsi maka suatu

kaedah hukum harus memenuhi ketiga macam unsur tersebut ditas. Jika tidak

terpenuhinya salah satu unsur tidak akan berfungsi seperti yang dikehendaki oleh

hukum itu sendiri.

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan,

menyatakan bahwa pencegahan perusakan hutan adalah segala upaya yang

dilakukan untuk menghilangkan kesempatan terjadinya perusakan hutan dan

pemberantasan perusakan hutan adalah segala upaya yang dilakukan untuk

menindak secara hukum terhadap perusakan hutan baik langsung, tidak langsung,

maupun yang terkait lainnya. Kemudian dalam rangka pencegahan perusakan

hutan, pemerintah membuat kebijakan berupa :

33 Soerjono Soekanto, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta,

(selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II), h. 45.

24

a. Kordinasi lintas sektor dalam pencegahan dan pemberantasan perusakan

hutan.

b. Pemenuhan kebutuhan sumber daya aparatur pengamanan hutan.

c. Insentif bagi para pihak yang berjasa dalam menjaga kelestarian hutan.

d. Peta penunjukkan kawasan hutan dan/atau koordinat geografis sebagai dasar

yuridis batas kawasan hutan.

e. Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pencegahan dan pemberantasan

perusakan hutan.

Upaya pemberantasan perusakan hutan dilakukan dengan cara menindak

secara hukum pelaku perusakan hutan, baik langsung, tidak langsung, maupun

yang terkait lainnya melalui penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan disidang pengadilan.

25

1.8 Kerangka Berpikir

1.9 Metode Penelitian

1.9.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis empiris.

Pendekatan ini bertujuan untuk memahami bahwa hukum itu tidak semata-mata

sebagai suatu perangkat aturan perundang-undangan yang bersifat normatif

belaka, akan tetapi hukum dipahami sebagai perilaku masyarakat yang

menggejala dalam kehidupan masyarakat, selalu berinteraksi dan berhubungan

dengan aspek kemasyarakatan, seperti aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Metode

Implementasi sanksi pidana uang pengganti menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan di PN Negara

Latar Belakang Masalah - Putusan-Putusan PN Negara

No. 91 / Pid.Sus / 2014 / PN. Nga, 154 / Pid.Sus / 2014 / PN. Nga, tidak menjatuhkan sanksi uang pengganti

- Padahal ketentuan pasal 108 UU No. 18 Tahun 2013 menegaskan ancaman sanksi pidana uang pengganti terhadap pelaku penebangan pohon tanpa ijin sesuai pasal 82 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 18 Tahun 2013

Rumusan Masalah - Pertimbangan

hakim tidak menjatuhkan pidana uang pengganti

- Faktor-faktor kendala bagi hakim tidak dapat menjatuhkan pidana uang pengganti

- - Asas Independensi Hakim

- -Asas Primum Remidium - Teori Pemidanaan - Teori Kemanfaatan - Teori Efektivitas Hukum - Teori Berlakunya Hukum

Simpulan - Dalam surat tuntutan jaksa tidak

dituntut pengenaan sanksi pidana uang pengganti.

- Kendala bagi hakim dalam menjatuhkan pidana uang pengganti, karena belum jelas pengaturan besaran uang pengganti yang harus dibayarkan.

26

pendekatan yuridis empiris, yaitu dengan melakukan penelitian secara timbal

balik antara hukum dengan lembaga non doktrinal yang bersifat empiris dalam

menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku di masyarakat. Penelitian ini

dititikberatkan pada langkah-langkah pengamatan dan analisis yang bersifat

empiris dari kesenjangan yang terdapat dari peraturan-peraturan yang tertulis yaitu

peraturan perundang-undangan yang khususnya mengatur tentang dasar

pertimbangan hakim tidak menjatuhkan uang pengganti dalam tindak pidana

kehutanan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.34 Lokasi yang dipilih untuk

melakukan penelitian adalah Pengadilan Negeri Negara.

1.9.2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan tujuan “menggambarkan berbagai

kondisi, berbagai situasi atau berbagai variable yang timbul di masyarakat yang

menjadi obyek penelitian itu”.35 Penelitian ini penulis menggambarkan secara

rinci dan mengkaji secara kritis fakta hukum terkait dengan dasar pertimbangan

hakim tidak menjatuhkan pidana uang pengganti, serta kendala bagi hakim tidak

dapat menjatuhkan pidana uang pengganti.

1.9.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan

data sekunder. Data primer diperoleh melalui hasil penelitian lapangan (field

research), sedangkan data sekunder diperoleh melalui hasil penelitian

kepustakaan (library research). Data primer didapat langsung dari responden

34 Kasiram. M., 2008, Metodelogi Penelitian Kualitatif-Kuantitatif, UIN Malang Press,

Malang, h. 23. 35 Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, (selanjutnya

disebut Soerjono Soekanto III), h. 34.

27

maupun informan, dan data sekunder diperoleh tidak secara langsung dari sumber

pertamanya melainkan bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu dari data yang

sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum. adapun bahan hukum

yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan hukum primer yaitu

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan dasar pertimbangan hakim

tidak menjatuhkan pidana uang pengganti, sedangkan bahan hukum sekunder

berupa hasil-hasil penelitian hukum dan buku-buku hukum.

1.9.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik studi

dokumen dan teknik wawancara. Teknik studi dilakukan dengan mempergunakan

bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian kemudian

teknik wawancara yang dilakukan dengan memberi pertanyaan-pertanyaan kepada

responden maupun informan untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan

dengan masalah yang diteliti yaitu dasar pertimbangan hakim tidak menjatuhkan

pidana uang pengganti dalam tindak pidana kehutanan, kendala bagi hakim tidak

dapat menjatuhkan pidana uang pengganti.

1.9.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Teknik penentuan sampel yang digunakan adalah teknik non probability

sampling yaitu tidak semua subyek atau individu mendapat kemungkinan yang

sama untuk dijadikan sampel.36 Jenis teknik non probability sampling yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Purposive Sampling. Teknik Purposive

Sampling, pengambilan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu yaitu

36 Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, h.

156.

28

sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana penunjukkan

dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi

kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari

populasinya. Penelitian ini mengambil sampel yakni hakim pada Pengadilan

Negeri Negara.

1.9.6 Pengolahan dan Analisis Data

Setelah data terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah melakukan

pengolahan data dan menganalisisnya agar data tersebut memiliki kebenaran yang

dapat dipakai untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Teknik analisis

data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif.

Pendekatan kualitatif sebenarnya merupakan tata cara penelitian yang

menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara

tertulis atau lisan, dan perilaku nyata37. Semua data dari hasil penelitian yang

terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder, diolah dan dianalisis

dengan cara menyusun data secara sistematis. Data yang telah tersusun tersebut,

dihubungkan dengan data yang satu dengan data yang lainnya, kemudian

dilakukan interpretasi untuk memahami makna dari keseluruhan data. Setelah

melakukan penafsiran terhadap keseluruhan data dari perspektif peneliti, langkah

selanjutnya adalah penyajian data hasil penelitian yang dilakukan secara deskriptif

kualitatif dan sistematis.38

37 Soerjono Soekanto III, Op.Cit, h. 32. 38 PS. Magister ilmu Hukum Program Pascasarjana Unud, Op.Cit, h. 76.