bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah i-andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa...

39
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kontrak menguasai begitu banyak bagian kehidupan sosial manusia, sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap harinya. Dalam hal kontrak bisnis dalam pengertiannya yang paling sederhana adalah kesepakatan yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih untuk melakukan transaksi bisnis. Banyak ahli hukum membuat definisi tentang kontrak atau perjanjian, masing-masing ahli bergantung kepada bagian-bagian mana dan kontrak atau perjanjian tersebut yang dianggap sangat penting, dan bagian tersebutlah yang ditonjolkan dalam definisi tersebut. 1 Salah satu definisi kontrak yang terdapat dalam Black’s Law Dictionary menyatakann bahwa agreement between two or more parties crating obligations that are enforceable or otherwise recognizationat law. 2 Selanjutnya Gift memberikan pengertian kepada kontrak sebagai suatu perjanjian, atau serangkaian perjanjian di mana hukum memberikan ganti rugi terhadap wanprestasi terhadap kontrak tersebut, atau terhadap pelaksanaan kontrak tersebut oleh hukum dianggap sebagai suatu tugas. 3 1 Hasanuddin Rahman, 2007, Contract Drafting: Seni Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.2. 2 Bryan A Garner (ed), 1999, Black Law dictionary, Sevent Edition, West Grup, St. Minn, hal. 318. 3 Seteven H, Gifis, 2009, Law Dictionary, Baron’s Educational Series, Inc., New York, USA, hal. 94.

Upload: dinhngoc

Post on 02-Mar-2019

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kontrak menguasai begitu banyak bagian kehidupan sosial manusia,

sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap

harinya. Dalam hal kontrak bisnis dalam pengertiannya yang paling sederhana

adalah kesepakatan yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih untuk melakukan

transaksi bisnis.

Banyak ahli hukum membuat definisi tentang kontrak atau perjanjian,

masing-masing ahli bergantung kepada bagian-bagian mana dan kontrak atau

perjanjian tersebut yang dianggap sangat penting, dan bagian tersebutlah yang

ditonjolkan dalam definisi tersebut.1 Salah satu definisi kontrak yang terdapat

dalam Black’s Law Dictionary menyatakann bahwa agreement between two or

more parties crating obligations that are enforceable or otherwise

recognizationat law.2 Selanjutnya Gift memberikan pengertian kepada kontrak

sebagai suatu perjanjian, atau serangkaian perjanjian di mana hukum memberikan

ganti rugi terhadap wanprestasi terhadap kontrak tersebut, atau terhadap

pelaksanaan kontrak tersebut oleh hukum dianggap sebagai suatu tugas.3

1Hasanuddin Rahman, 2007, Contract Drafting: Seni Keterampilan

Merancang Kontrak Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.2. 2Bryan A Garner (ed), 1999, Black Law dictionary, Sevent Edition, West

Grup, St. Minn, hal. 318. 3Seteven H, Gifis, 2009, Law Dictionary, Baron’s Educational Series, Inc.,

New York, USA, hal. 94.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

2

Pada dasarnya kontrak yang dibuat oleh para pihak itu berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu, untuk membuat

kontrak diperlukan ketelitian dan kecermatan dari para pihak. Terdapat beberapa

pengertian dari para ahli dalam mendefinisikan kontrak, para ahli tersebut

bergantung kepada bagian-bagian mana dan kontrak atau perjanjian tersebut yang

dianggap sangat penting, dan bagian tersebutlah yang ditonjolkan dalam definisi

tersebut.4

Berdasarkan pengertian tersebut peneliti berpendapat kontrak merupakan

suatu janji atau seperangkat janji-janji dan akibat pengingkaran atau pelanggaran

atasnya hukum memberikan pemulihan atau menetapkan kewajiban bagi yang

ingkar janji disertai sanksi untuk pelaksanaannya. Setiap kontrak setidak-tidaknya

melibatkan dua pihak yang menawarkan (offeror) adalah pihak yang mengajukan

penawaran untuk membuat suatu kontrak. Pihak yang ditawari (offeree) adalah

pihak terhadap siapa kontrak tadi ditawarkan.

Dalam mengajukan penawaran, pihak yang menawarkan berjanji untuk

melakukan, sesuatu. Pihak yang ditawarkan (offeree) kemudian memiliki

kekuasaan untuk menciptakan kontrak, dengan menerima penawaran dari yang

menawarkan. Kontrak tercipta apabila penawaran (offer) tadi diterima. Tidak akan

tercipta suatu kontrak apabila penawarannya tidak bisa diterima. Dengan

demikian kontrak melalui suatu proses pihak-pihak antara yang menawarkan dan

yang ditawari, yang disusul dengan diterimanya penawaran oleh yang ditawari

seperti nampak pada bagan berikut:5

4Hasanuddin Rahman, Op.Cit, hal.2.

5Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono,

2005, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), CV. Gitama Jaya, Jakarta, hal. 150.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

3

Gambar 1.1 Bagan Proses Terjadinya Suatu Kontrak

Sebagaimana telah dinyatakan di atas bahwa kontrak menimbulkan

prestasi terhadap para pihak dalam perjanjian tersebut. Prestasi merupakan

kewajiban yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh salah satu pihak kepada

pihak lain yang ada dalam kontrak. Prestasi terdapat baik dalam perjanjian yang

bersifat sepihak atau unilateral agreement, artinya prestasi atau kewajiban

tersebut hanya ada pada satu pihak tanpa adanya suatu kontra prestasi atau

kewajiban yang diharuskan dari pihak lainnya.6 Prestasi juga terdapat dalam

kontrak yang bersifat timbal balik atau bilateral (or reciprocal agreement),

dimana dalam bentuk kontrak ini masing-masing pihak yang berjanji mempunyai

prestasi atau kewajiban yang harus dipenuhi terhadap pihak yang lainnya.7

Dengan demikian kontrak yang timbal balik merupakan kontrak yang

memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Misalnya kontrak jual

beli, sewa menyewa, tukar menukar dan kontrak untuk pekerjaan kontruksi,

sedangkan perjanjian sepihak merupakan kontrak yang memberikan kewajiban

6Ibid.

7Ibid.

Pihak yang

menawarkan

(offeror)

Pihak yang

ditawari

(offeree)

(offer)

penawaran

Penerima

(Acceptance)

Pihak yang ditawari (Offeree)

memiliki kekuasaan untuk menerima

penawaran (Offer) dan menciptakan

kontrak antara keduanya

Pihak yang menawarkan (Offeror)

menawarkan kepada pihak yang

ditawari (Offeree)

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

4

kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, Misalnya perjanjian hibah,

hadiah. Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam praktek terutama dalam

soal syarat batal menurut Pasal 1266 dan 1267 Burgerljik Wetboek, Stb, 1847

(selanjutnya disebut BW).

Sementara itu Pasal 1267 BW menjelaskan bahwa pihak yang terhadapnya

perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk

memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut

pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga. Jadi,

menurut Pasal 1266 dan 1267 BW, dalam kontrak timbal balik, jika salah satu

pihak ingkar janji atau wanprestasi mengenai syarat pokoknya dari suatu kontrak,

maka dapat diajukan gugatan permintaan pembatalan perjanjian kepada hakim dan

dapat dimintakan ganti rugi bahkan berikut bunganya.

Syarat batal seperti yang tercantum dalam Pasal 1266 dan 1267 BW

tersebut dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang

bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam

hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus

dimintakan kepada hakim. Permintaan itu juga harus dilakukan, meskipun syarat

batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan didalam perjanjian. Jika

syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim dapat memberikan jangka

waktu bagi debitur untuk memenuhi kewajibannya, jangka waktu tersebut tidak

boleh lebih dari satu bulan.

Ketentuan Pasal 1266 dan 1267 BW ini jelas memberikan intervensi yang

besar dari pengadilan dalam hal pemutusan suatu kontrak. Pasal ini pada intinya

menyebutkan bahwa dengan alasan salah satu pihak tidak melaksanakan

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

5

kewajibannya maka pihak lainnya dapat membatalkan kontrak akan tetapi

pembatalan tersebut tidak boleh dilakukan begitu saja melainkan harus melalui

pengadilan.8 Oleh karena itu tidak mengherankan jika dalam praktek sering ada

ketentuan yang mengesampingkan pasal tersebut yang berarti bahwa kontrak

tersebut dapat diputuskan sendiri oleh salah satu pihak (tanpa campur tangan

pengadilan) berdasarkan prinsip exceptio non adimpleti contractus9, jika pihak

lainnya melakukan wanprestasi.

Dalam praktek terutama dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para

pelaku bisnis sering dijumpai ketentuan bahwa para pihak telah bersepakat

menyimpang dari Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW. Misalnya, dalam salah satu

klausul dari suatu perjanjian yang dibuat oleh para pelaku bisnis menyebutkan

bahwa kedua belah pihak, sepakat satu sama lain, bahwa sehubungan dengan

batalnya perjanjian ini, maka para pihak dengan tegas melepaskan ketentuan

dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW, sepanjang ketentuan tersebut mensyaratkan

diucapkannya suatu keputusan pengadilan untuk pengakhiran/batalnya suatu

perjanjian.

Akibat hukum dari pencantuman klausul di atas, maka ketika terjadi

wanprestasi, kontrak tersebut tidak perlu dimintakan pembatalan kepada hakim,

tetapi dengan sendirinya telah batal demi hukum. Dalam hal ini wanprestasi

merupakan syarat batal. Pasal 1265 BW menyebutkan bahwa apabila suatu syarat

8Subekti, 2006, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni,

Bandung, hal. 26. 9Definisi exceptio non adimpleti contractus adalah tangkisan bahwa pihak

lawan dalam keadaan lalai juga, maka dengan demikian tidak dapat menuntut

adanya pemenuhan prestasi, diambil dari http://www.pn-

cibinong.go.id/uploads/file/Kamus_Hukum.pdf, diakses tanggal 13 November

2014.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

6

batal dipenuhi, maka syarat tersebut menghentikan perikatan dan membawa

segala sesuatu kembali kepada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada

suatu perikatan. Dalam perikatan dengan syarat batal, perjanjian itu sudah

melahirkan perikatan, hanya perikatan itu akan batal apabila terjadi suatu

peristiwa yang disebutkan dalam perjanjian sebagai suatu conditional clause.10

Dengan demikian si pemberi kontrak yang telah menerima prestasi yang

diperjanjikan harus membayar terhadap prestasi tersebut.

Dalam kontrak, pencantuman klausul mengenai syarat-syarat batal

merupakan salah satu klausul yang sangat penting bagi perlindungan kepentingan

pemberi proyek. Demikian pentingnya klausul itu bagi pemberi proyek, sehingga

seandainya klausul itu tidak ada di dalam kontrak, maka berakibat pelaksanaan

pembatalan kontrak hanya dapat terjadi berdasarkan putusan pengadilan atau

hakim melalui proses litigasi yang panjang dan lama, sehingga pemberi proyek

akan merasa dirugikan karena proyeknya menjadi terbengkelai.

Pada sisi lain, beberapa ahli hukum maupun praktisi hukum berpendapat

bahwa wanprestasi tidak secara otomatis mengakibatkan batalnya perjanjian,

tetapi harus memintakan pembatalan terlebih dahulu kepada hakim. Hal ini

didukung oleh alasan bahwa jika pihak pemberi pekerjaan proyek konstruksi

wanprestasi, maka penerima pekerjaan proyek konstruksi masih berhak

mengajukan gugatan agar pihak pemberi pekerjaan konstruksi memenuhi

perjanjian. Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 1266 ayat (4) BW, hakim

berwenang untuk memberikan kesempatan kepada pemberi pekerjaan proyek

10

Suharnoko, 2008, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa kasus Ed. 1.

Cetakan ke. 5, Kencana, Jakarta, hal. 62.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

7

kontruski untuk memenuhi perjanjian dalam jangka waktu paling lama satu bulan

meskipun sebenarnya yang bersangkutan sudah wanprestasi atau cidera janji.

Dalam hal ini hakim memiliki penilaian untuk menimbang berat ringannya

kelalaian debitur dibandingkan kerugian yang diderita jika kontrak dibatalkan.

Persoalan yuridis yang layak dikaji dalam hal ini adalah adanya dua

pendapat terhadap Pasal 1266 dan 1267 BW. Secara ringkas disebutkan pendapat

pertama menyatakan bahwa ketentuan yang terkandung dalam Pasal 1266 dan

1267 BW ditafsirkan sebagai aturan yang bersifat memaksa (dwingend recth).

Kaidah-kaidah hukum itu dapat pula dibedakan antara yang bersifat imperatif dan

yang bersifat fakultatif. Yang bersifat imperatif biasa disebut juga dengan hukum

yang memaksa (dwingendrecht), sedangkan yang bersifat fakultatif dibedakan

antara norma hukum yang mengatur (regelendrecht) dan norma hukum yang

menambah (aanudlenrecht). Kadang-kadang ada pula kaidah-kaidah hukum yang

bersifat campuran atau yang sekaligus bersifat memaksa (dwingende) mengatur

(regelende).11

Begitu juga apabila menyangkut kepentingan umum menunjukkan

karakter memaksanya suatu aturan dan karenanya tidak boleh disimpangi para

pihak melalui (klausul) kontrak mereka. putusan hakim dalam hal ini bersifat

konstitutif, artinya putusannya kontrak itu diakibatkan oleh putusan hakim, bukan

bersifat deklaratif.12

Pendapat ini didasari pada alasan sebagai berikut :

11

L.J. van Apeldoorn, 2005, Pendahuluan Ilmu Hukum, terjemahan,

Oetarid Sadino, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 167-180. 12

Setiawan, 2007, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet. IV, Binacipta,

Jakarta, hal. 66-67. Bahkan menurut Subekti, selain putusan itu bersifat

konstitutif, hakim juga mempunyai kekuasaan ‘descretionair’, artinya ia

mempunyai wewenang untuk menilai kadar wanprestasinya debitor. Apabila

kelalaian itu dinilai terlalu kecil Hakim berwenang menolak permintaan

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

8

1. Alasan historis (sejarah), bahwa menurut Pasal 1266 dan 1267 BW,

putusnya kontrak terjadi karena putusan hakim.

2. Pasal 1266 ayat (2) BW, menyatakan dengan tegas bahwa wanprestasi

tidak demi hukum membatalkan kontrak.

3. Hakim berwenang untuk memberikan terme de grace (tenggang waktu

bagi debitor untuk memenuhi prestasi kepada kreditor), dan ini berarti

bahwa kontrak belum putus.

4. Kreditor masih mungkin untuk menuntut pemenuhan.

Sementara itu, pendapat kedua yang menyatakan bahwa Pasal 1266 BW

merupakan aturan yang bersifat melengkapi (aanvullend recht) didasarkan pada

argumentasi, sebagai berikut:

1. Pasal 1266 dan 1267 BW, terletak pada sistematika Buku III dengan

karakteristiknya yang bersifat mengatur.

2. Para pihak dapat menentukan bahwa untuk pemutusan kontrak tidak

diperlukan bantuan hakim, dengan syarat hal tersebut harus dinyatakan

secara positif dalam kontrak.

3. Praktik penyusunan kontrak komersial pada umumnya mencantumkan

klausul pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 BW, sehingga hal ini

dianggap sebagai ”syarat yang biasa diperjanjikan” (bestandig

geberukikelijk beding) dan merupakan faktor otonom yang disepakati para

pihak. Dengan demikian kedudukan klausul ini dianggap mempunyai daya

kerja yang mengikat para pihak lebih kuat dibanding daya kerja Pasal 1266

dan 1267 BW yang bersifat mengatur.

pemutusan kontrak, meskipun tuntutan ganti ruginya dikabulkan. Periksa Subekti,

2002, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hal.148.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

9

Dengan demikian, mengenai Pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 BW,

dua pendapat tersebut di atas saling bertolak belakang, yaitu: pertama, pendapat

yang menyatakan bahwa Pasal 1266 dan 1267 BW merupakan aturan yang

bersifat memaksa (dwingend recht), sehingga tidak dapat disimpangi oleh para

pihak, dan kedua, pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 dan 1267 BW

merupakan aturan yang bersifat melengkapi (aanvullend recht), sehingga dapat

disimpangi oleh para pihak.13

Berdasarkan 2 (dua) pendapat yang berkembang mengenai klausul

pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 BW, penulis sendiri berpendapat

pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata lebih mendekati nilai

kepraktisannya (Pasal 1266 BW disimpulkan bersifat mengatur). Harus diakui

bahwa para pelaku bisnis lebih memilih alternatif terbaik bagi kontrak mereka,

termasuk ketika harus menghadapi kendala dalam pelaksanaan kontrak.

Dari sisi kepatutan pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW dapat

diterima apabila substansi perjanjian telah memberikan jaminan adanya

keseimbangan bagi para pihak. Namun pada kenyataannya tidak jarang ditemukan

perjanjian yang berat sebelah dan cenderung merugikan kepentingan salah satu

pihak. Dalam praktik bisnis masih ditemukan suatu perjanjian yang

mencantumkan klausul baku tentang pembatasan tanggung jawab salah satu pihak

apabila timbul suatu resiko. Terhadap perjanjian yang demikian, maka pengabaian

Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW perlu ditelaah secara mendalam apakah dapat

diterima berdasarkan asas kepatutan di atas.

13

Agus Yudha Harmoko, 2001, Hukum Perjanjian Indonesia, Widya

Utama, Yogyakarta, hal. 271.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

10

Meskipun terdapat perbedaan pendapat, namun secara gramatikal, jelas

bahwa Pasal 1266 dan 1267 BW tidak mengandung suatu kondisi yang dapat

ditawar-tawar. Walaupun demikian, banyak ahli atau praktisi hukum yang

mengabaikan pengertian pasal tersebut secara harfiah. Pada Pasal 1266 BW,

wanprestasi bukanlah suatu syarat yang membatalkan perjanjian, melainkan suatu

syarat yang dapat membatalkan perjanjian. Untuk dapat membatalkan perjanjian

tersebut, maka pihak yang merasa dirugikan harus mengajukan permohonan batal

kepada hakim. Putusan hakim tersebut bukanlah bersifat declaratoir (menyatakan

batal), melainkan membatalkan perjanjian tersebut (constitutif). Jadi, batalnya

suatu perjanjian harus berdasarkan putusan hakim. Hanya 'keyakinan' hakim-lah

yang dapat memutuskan bahwa benar wanprestasi telah terjadi, bukan karena

timbulnya wanprestasi itu sendiri.

Pendapat lain dalam syarat batal yang menyatakan bahwa Pasal 1266 dan

1267 BW tidak dapat dikesampingkan dalam semua kasus. Penerapannya harus

dilakukan secara hati-hati, harus dilihat kasus per kasus. Pembatalan perjanjian

pada prinsipnya bertujuan untuk membawa segala sesuatu kembali ke keadaan

semula, seolah-olah perikatan yang ditimbulkan oleh perjanjian tersebut tidak

pernah terjadi. Bila perjanjian batal, maka para pihak yang telah menerima

prestasi atau telah menerima haknya, diwajibkan untuk mengembalikannya.

Namun, dalam kasus-kasus tertentu, prestasi yang telah diterima sulit untuk

dikembalikan, layaknya tidak terjadi apa-apa. Ambil contoh seorang penjahit yang

telah memotong-motong kain milik kliennya, kemudian perjanjian batal, maka

tidak ada kemungkinan bagi penjahit untuk mengembalikan kain tersebut seperti

kondisi awal (tidak terpotong-potong).

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

11

Alasan banyak pihak untuk mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 BW

seringkali sebagai tafsiran bahwa Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka.

Pasal-pasal di dalamnya hanya merupakan pelengkap. Jadi, para pihak boleh

mengadakan ketentuan lain, asalkan tidak melanggar prinsip kepatutan, kebiasaan

atau undang-undang (Pasal 1337 BW). Bagi yang setuju dengan penyimpangan,

biasanya, mereka mengajukan dalil bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-

undang bagi para pihak. Namun, seringkali mereka lupa bahwa untuk dapat

melakukan penyimpangan, perjanjian tersebut harus sudah benar-benar dibuat

secara sah, seperti apa yang dimaksud oleh Pasal 1338 ayat (1) BW.

Sahnya perjanjian tidak semata-semata hanya telah memenuhi unsur-unsur

dalam Pasal 1320 BW, namun juga harus memenuhi prinsip-prinsip kepatutan dan

kebiasaan yang timbul dalam masyarakat. Terkait dengan wanprestasi sebagai

syarat batal, maka apabila dilihat dari kepentingannya, melepaskan Pasal 1266

BW dapat memunculkan masalah baru. Masalah tersebut seperti kapan, dan

bagaimana wanprestasi dianggap terjadi. Apabila tidak diatur secara jelas, tentu

dapat merugikan pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih rendah dan

kepastian hukum akan semakin jauh.

Selain itu, apabila dikaitkan dengan perlindungan terhadap pihak-pihak

yang kedudukannya lebih lemah dibandingkan pihak lainnya, pembatalan

perjanjian sepihak tanpa melalui proses pengadilan dapat merugikan pihak yang

lemah. Pihak yang lebih lemah umumnya hanya bisa menerima segala kondisi

yang ditawarkan oleh pihak lawan (perjanjian baku). Kondisi ini tentu tidak sesuai

dengan prinsip kepatutan (Pasal 1339 BW) yang merupakan pembatasan terhadap

prinsip kebebasan berkontrak (Pasal 1338 BW).

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

12

Asas kebebasan berkontrak ini memberi kebebasan pada para pihak untuk

menentukan isi perjanjian termasuk di dalamnya membuat ketentuan tentang

btalnya suatu perjanjian. Ketentuan tentang batalnya suatu perjanjian ini yang

dalam perjanjian disebut sebagai syarat batal. Contoh syarat batal dengan

mencantumkan klausul pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW dapat

dikemukakan tentang Ketentuan Pembatalan dan Sanksi Perjanjian Jual Beli

Tanah Kavling melalui angsuran/cicilan. Dalam perjanjian ini pengesampingan

Pasal 1266 dan Pasal 1267 pada umumnya dicantumkan pada syarat batal yang

biasanya disebut “Ketentuan Pembatalan dan Sanksi” seperti dikemukan dalam

contoh Ketentuan Pembatalan dan Sanksi sebagai berikut:

Ketentuan Pembatalan dan Sanksi

1. Penjual dapat membatalkan perjanjian dalam hal Pembeli tidak dapat

memenuhi kewajibanya untuk membayar angsuran kepada Penjual.

2. Penjual dan Pembeli sepakat satu sama lain, bahwa sehubungan dengan

batalnya perjanjian ini, maka para pihak dengan tegas melepaskan

ketentuan dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW untuk

pengakhiran/batalnya suatu perjanjian.

3. Dalam hal perjanjian batal karena Pembeli tidak dapat memenuhi

angsurannya kepada Penjual, maka:

3.1 Pembeli bersedia mengosongkan dan menyerahkan tanah berikut

bangunan yang menjadi obyek perjanjian.

3.2 Penjual berhak melakukan penjualan atas rumah tersebut kepada pihak

lain, baik di hadapan umum maupun di bawah tangan dengan harga

yang ditentukan oleh Penjual.

3.3 Penjual berhak untuk memotong sebesar 20% (dua puluh persen) dari

harga transaksi, dan PPN, serta Pembeli wajib mengganti biaya-biaya

yang telah dikeluarkan oleh Penjual sampai saat pembatalan dan oleh

karena pembatalan, sedangkan sisanya akan dikembalikan oleh Penjual

kepada Pembeli selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas)

hari kalender setelah Penjual berhasil menjual rumah tersebut kepada

pihak lain.

3.4 Pengenjual dan Pembeli sepakat satu sama lain, bahwa atas

pemotongan sebagaimana tersebut pada butir 3.3. di atas, Pembeli

tidak akan mengajukan gugatan/tuntutan apapun atas segala sesuatu

yang telah diterima oleh Penjual.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

13

Contoh tersebut dijelaskan bahwa syarat batal yang dimaksudkan dalam

klausula perjanjian di atas adalah ketika Pembeli wanprestasi untuk membayar

angsuran kepada Penjual. Dalam kondisi ini Penjual dapat mengakhiri perjanjian

secara sepihak. Selanjutnya para pihak, Penjual dan Pembeli sepakat satu sama

lain, bahwa sehubungan dengan batalnya perjanjian ini, maka para pihak dengan

tegas melepaskan ketentuan dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW untuk

pengakhiran/batalnya suatu perjanjian. Jadi, dalam hal ini para pihak sepakat

bahwa untuk mengakhiri perjanjian tidak perlu dimintakan persetujuan pengadilan

sebagaimana ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW.

Fakta yang terjadi dalam putusan-putusan pengadilan, tidak semua hakim

berpendapat bahwa mengkesampingkan Pasal 1266 dan 1267 BW tidak

diperkenankan atau menyimpangi hukum. Berikut ini disampaikan 2 putusan

pengadilan yang memperbolehkan Pasal 1266 dan 1267 BW untuk disimpangi

dan 2 putusan pengadilan yang tidak memperbolehkan Pasal 1266 dan 1267 BW

untuk disimpangi.

1. Putusan Pengadilan Negeri Surakarta dengan Putusan Nomor :

33/Pdt.G/2012/PN.Ska yang memutus sengketa antara Djatmiko Hidayat,

SPd (Penggugat) dengan PT. Astra Sedaya Finance (Tergugat).

2. Dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) atas sengketa perjanjian antara

Perusahaan Umum (Perumka) dengan PT. Hosseldy Rabel tentang

persewaan tanah Perumka seluas 3.096 m2 di Jalan Nyi Raja Permas,

Bogor No. 204/HK/TEK/1995 tertanggal 23 November 1995.

3. Putusan Peninjauan Kembali (PK) sengketa perjanjian pembelian kembali

"Note" atas 10 (sepuluh) lembar Surat Pengakuan Hutang Jangka

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

14

Menengah/Medium Term Note antara Presiden Republik Indonesia cq.

Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara cq. PT. Djakarta Lloyd

(Persero) selaku Pemohon Peninjauan Kembali dengan PT. Globex

Indonesia selaku ermohon Peninjauan Kembali; PT. Danpac Sekuritas dan

PT. BANK WINDU d/h. PT. BANK MULTICOR selaku Para Turut

Termohon Peninjauan Kembali.

4. Putusan Perkara Perdata Tingkat Kasasi antara Didit Prawito selaku

Pemohon Kasasi dengan PT. Holland Colours Asia selaku Termohon

Kasasi, dalam sengketa perjanjian pengadaan rumah karyawan atas

bantuan perusahaan yang dibayarkan karyawan secara angsuran ringan

tanpa dikenakan bunga.

Berdasarkan contoh putusan yang telah dikemukakan di atas mengenai

Pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 BW, dua pendapat tersebut di atas saling

bertolak belakang, yaitu: pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266

dan 1267 BW merupakan aturan yang bersifat memaksa (dwingend recht),

sehingga tidak dapat disimpangi oleh para pihak, dan kedua, pendapat yang

menyatakan bahwa Pasal 1266 dan 1267 BW merupakan aturan yang bersifat

melengkapi (aanvullend recht), sehingga dapat disimpangi oleh para pihak.14

Dengan demikian, menurut Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW pembatalan

perjanjian hanya dapat dilakukan melalui pengadilan atau keputusan hakim (das

sollen), namun pada prakteknya, perjanjian khususnya perjanjian yang dibuat oleh

para pelaku bisnis, pembatalan perjanjian dapat dilakukan bersandarkan pada

klausul syarat batal yang disepakati para pihak (das sein).

14

Ibid, hal. 271.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

15

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat

dikatakan bahwa ketentuan pada Pasal 1266 dan 1267 BW dapat dikatakan

bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak seperti yang diatur dalam Pasal

1338 BW. Pasal 1338 BW memberi kebebasan pada para pihak untuk menentukan

isi perjanjian termasuk di dalamnya membuat ketentuan tentang batalnya suatu

perjanjian, seperti contoh di atas. Namun di lain sisi Pasal 1266 dan 1267 BW

menyatakan bahwa pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan melalui

keputusan hakim/pengadilan, tidak bisa dilakukan berdasarkan kehendak para

pihak meskipun sudah dicantumkan dalam perjanjian (norma konflik).

Berdasarkan penelusuran kepustakaan baik melalui perpustakaan-

perpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa

penelitian yang berkaitan dengan analisis putusan pengadilan yang mencantumkan

Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata dalam kaitannya dengan Asas Kebebasan

Berkontrak (Pasal 1338 KUHPerdata) yaitu :

1. Tesis Munnie Yasmin, Magister Kenotariatan, Universias Udayana,

Denpasar - Bali, tahun 2013, dengan judul “Syarat Batal Dalam Perjanjian

Timbal Balik Berdasarkan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata”. Rumusan masalah dalam tesis ini adalah seagai berikut :

a. Bagaimanakah kriteria perjanjian timbal balik yang di dalamnua

mengandung syarat batal berdasarkan Pasal 1266 KUHPer?

b. Bagaimanakah syarat keadaan yang dapat dijadikan alasan dalam

penundaan pemenuhan kewajiban oleh hakim apabila syarat batal tidak

disepakati dengan tegas dalam perjanjian berdasarkan Pasal 1266

KUHPer?

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

16

Penelitian Munnie Yasmin dengan penelitian yang akan dilakukan

memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini

sama-sama meneliti tentang pembatalan perjanjian dihubungkan dengan

asas kebebasan berkontrak. Perbedaannya jika penelitian Munnie Yasmin

menganalisis pembatalan perjanjian oleh pemerintah dihubungkan dengan

asas kebebasan berkontrak dalam terjadinya persaingan usaha, maka pada

penelitian yang akan dilakukan menganalisis pembatalan perjanjian

berdasarkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata dalam kaitannya

dengan Asas Kebebasan Berkontrak (Pasal 1338 KUHPerdata).

2. Tesis Iskandar, Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara,

Medan, tahun 2012, dengan judul ”Pembatasan Asas Kebebasan

Berkontrak Melalui Campur Tangan Pemerintah dalam Persaingan Usaha

Tidak Sehat (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung

No.255.K/PDT.SUS/2009)”. Rumusan masalah dari tesis ini adalah

sebagai berikut :

a. Apa yang menjadi dasar kekuasaan pemerintah membatasi asas

kebebasan berkontrak terhadap perjanjian yang menimbulkan praktik

monopoli dan persaingan usaha tidak sehat?

b. Bagaimana bentuk pembatalan perjanjian yang dilakukan oleh

pemerintah terhadap perjanjian yang menimbulkan praktik monopoli

atau persaingan usaha tidak sehat?

c. Siapa sajakah pihak yang dapat memohon pembatalan perjanjian yang

menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat?

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

17

Penelitian Iskandar dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki

persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama

meneliti tentang pembatalan perjanjian dihubungkan dengan asas

kebebasan berkontrak. Perbedaannya jika penelitian Iskandar menganalisis

pembatalan perjanjian oleh pemerintah dihubungkan dengan asas

kebebasan berkontrak dalam terjadinya persaingan usaha, maka pada

penelitian yang akan dilakukan menganalisis pembatalan perjanjian

berdasarkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata dalam kaitannya

dengan Asas Kebebasan Berkontrak (Pasal 1338 KUHPerdata).

3. Tesis Laila Hayati Aulia, Magister Kenotariatan Universitas Sumatera

Utara Medan tahun 2012, dengan judul “Akibat Hukum dari Wanprestasi

dalam Perjanjian Konstruksi yang Dilaksanakan Kontraktor”. Rumusan

masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana prinsip perlindungan hukum kepada pihak yang dirugikan

dalam perjanjian konstruksi?

b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap para pihak apabila di dalam

kontrak terdapat klausula pengenyampingan pasal 1266 KUH Perdata?

Penelitian Laila Hayati Aulia dengan penelitian yang akan dilakukan

memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini

sama-sama meneliti tentang pengenyampingan pasal 1266 KUH Perdata.

Perbedaannya jika penelitian Laila Hayati Aulia hanya menganalisis

pengenyampingan pasal 1266 KUH Perdata, maka pada penelitian yang

akan dilakukan menganalisis pembatalan perjanjian berdasarkan Pasal

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

18

1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata dalam kaitannya dengan Asas

Kebebasan Berkontrak (Pasal 1338 KUHPerdata).

4. Penelitian Tri Mulyaningsih, Magister Hukum, Universitas Islam

Nusantara Bandung, tahun 2013, dengan judul ”Penerapan Asas

Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Jual Beli”. Rumusan masalah dari

tesis ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana kedudukan Pasal 1266 dan Pasal 1267 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata terhadap asas kebebasan berkontrak?

b. Bagaimana praktik di pengadilan dalam memutus perkara yang berkaitan

dengan pencantuman syarat batal dalam suatu perjanjian jual beli?

Penelitian Tri Mulyaningsih dengan penelitian yang akan dilakukan

memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini

sama-sama meneliti tentang Pasal 1266 dan Pasal 1267 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata dihubungkan dengan asas kebebasan berkontrak.

Perbedaannya jika penelitian Tri Mulyaningsih memfokuskan penelitiannya

pada perjanjian jual beli, maka pada penelitian yang akan dilakukan

menganalisis perjanjian bisnis yang mencantumkan Pasal 1266 dan Pasal

1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai syarat batal.

Berdasarkan persamaan dan perbedaan penelitian sebelumnya dengan

penelitian yang akan dilakukan seperti diuraikan di atas, maka dapat dinyatakan

bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian

sebelumnya substansinya.

Bertitik tolak dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti

merasa permasalahan yang dekumukakan menarik untuk diketahui dan diteliti

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

19

lebih jauh mengenai syarat batal yang terdapat perjanjian yang akan dituangkan

dalam bentuk tesis yang berjudul “Analisis Putusan Pengadilan yang

Mencantumkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 Burgerljik Wetboek dalam

Kaitannya dengan Asas Kebebasan Berkontrak”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dikemukakan dalam pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

1. Apakah syarat batal pada Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW dapat

dikesampingkan?

2. Bagaimana solusi untuk menyelesaikan konflik pendapat mengenai

pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk melakukan analisis putusan pengadilan yang mencantumkan Pasal

1266 dan Pasal 1267 BW dalam kaitannya dengan Asas Kebebasan Berkontrak.

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah syarat batal pada Pasal 1266

dan Pasal 1267 BW dapat dikesampingkan.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis solusi untuk menyelesaikan konflik

pendapat mengenai pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

20

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang

bersifat teoritis maupun praktis sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi

pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum perjanjian pada

khususnya mengenai:

1. Memberikan kajian literatur yang bermanfaat bagi pengembangan

keilmuan hukum khususnya kenotariatan mengenai syarat batal suatu

perjanjian dalam kaitannya dengan asas kebebasan berkontrak serta Pasal

1266 dan Pasal 1267 BW.

2. Bermanfaat sebagai bahan kajian selanjutnya bagi peneliti lainnya yang

akan melakukan kajian atas syarat batal suatu perjanjian dalam kaitannya

dengan asas kebebasan berkontrak serta Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Memberikan masukan bagi para pihak yang terkait atau stakeholders

dalam meningkatkan syarat batal suatu perjanjian dalam kaitannya dengan

asas kebebasan berkontrak serta Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW.

2. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

dapat memberikan informasi dalam memahami syarat batal suatu

perjanjian dalam kaitannya dengan asas kebebasan berkontrak serta Pasal

1266 dan Pasal 1267 BW.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

21

1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran

1.5.1 Landasan Teoritis

Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang

telah menjadi hukum umum sehingga dipergunakan untuk membahas suatu

peristiwa atau fenomena dalam kehidupan manusia. Menurut Karlinger15

sebuah

teori adalah seperangkat konstruk atau konsep, batasan, dan proposisi yang

menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci

hubungan-hubungan variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi

fenomena itu.

Adapun teori yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah Teori

Kepastian Hukum dan Teori Keadilan dan Keseimbangan. Selain kedua teori ini,

dalam penelitian ini juga digunakan asas kebebasan berkontrak dan konsep

pembatalan serta kebatalan perjanjian yang diuraikan sebagai berikut:

1.5.1.1 Teori Kepastian Hukum

Teori kepastian hukum digunakan dalam penelitian ini untuk menjawab

rumusan masalah pertama dan kedua, mengingat ketidakpastian pembatalan

perjanjian apakah harus melalui pengadilan (Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW)

ataukah para pihak dapat membatalkan berdasarkan syarat batal yang disepakati

bersama (asas kebebasan berkontrak).

Kepastian memiliki arti “ketentuan, ketetapan”, sedangkan jika kata

kepastian digabungkan dengan kata hukum menjadi kepastian hukum, memiliki

15

Fred, N. Karlinger, 2008, Fenomena, Paradigma dan Teori, terj. Agus

Raharjo, Erlangga, Jakarta, hal. 25-26.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

22

arti perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban

setiap warga negara.16

Menurut Peter Mahmud Marzuki17

: Bahwa kepastian hukum mengandung

dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat

individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan

kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah

karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui

apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.

Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang,

melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu

dengan putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputus.

Kepastian hukum menurut Sudikno Mertokusumo, merupakan salah satu

syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum. Sudikno Mertokusumo

mengartikan, bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel

terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat

memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.18

Bachsan Mustafa mengungkapkan, bahwa kepastian hukum itu

mempunyai tiga arti, yaitu19

:

Pertama, pasti mengenai peraturan hukumnya yang mengatur masalah

pemerintah tertentu yang abstrak. Kedua, pasti mengenai kedudukan

16

Anton M., Moeliono, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai

Pustaka, Jakarta, hal. 10-28. 17

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana

Prenada Media Group, Jakarta, hal. 158. 18

Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),

Cetakan I, edisi kedua, Liberty, Yogyakarta, hal.145. 19

Bachsan Mustafa, 2001, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia,

Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 53.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

23

hukum dari subjek dan objek hukumnya dalam pelaksanaan peraturan-

peraturan hukum administrasi negara. Ketiga, mencegah kemungkinan

timbulnya perbuatan sewenang-wenang (eigenrechting) dari pihak

manapun, juga tindakan dari pihak pemerintah.

Kepastian hukum menurut Van Kan menyatakan bahwa hukum bertugas

menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia.20

Lebih lanjut Van

Kan menyatakan21

: Kepastian hukum adalah perangkat hukum suatu negara yang

mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Kepastian hukum

tersebut dibedakan dalam dua macam yaitu: 1) kepastian oleh karena hukum,

yaitu hukum menjamin kepastian antara pihak yang satu terhadap pihak yang

lainnya, artinya adanya konsistensi penerapan hukum kepada semua orang tanpa

pandang bulu, dan, 2) kepastian dalam atau dari hukum, artinya kepastian hukum

tercapai jika hukum itu sebanyak-banyaknya undang-undang, tidak ada ketentuan

yang bertentangan (undang-undang berdasarkan sistem logis dan pasti), dibuat

berdasarkan kenyataan hukum (rechtswerkelijkheid) dan di dalamnya tidak ada

istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan (tertutup).

Soerjono Soekanto, mengemukakan bahwa wujud kepastian hukum adalah

peraturan-peraturan dari pemerintah pusat yang berlaku umum di seluruh wilayah

negara. Kemungkinan lain adalah peraturan tersebut berlaku umum, tetapi hanya

bagi golongan tertentu. Selain itu dapat pula peraturan setempat yaitu peraturan

yang dibuat oleh penguasa setempat yang hanya berlaku di daerahnya saja,

misalnya peraturan kotapraja.22

20

Utrecht, E. dan Jindang, Moh. Saleh J., 1989, Pengantar Dalam Hukum

Indonesia, Iktiar Baru dan Sinar Harapan, Jakarta, hal.25. 21

E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan,

Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal.

96. 22

Soerjono Soekanto,1974, Beberapa Permasalahan Hukum dalam

Kerangka Pembangunan Indonesia, Cet.4, UI Pres, Jakarta, 1974, hal. 56.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

24

Dari pendapat di atas, terlihat bahwa wujud kepastian hukum pada

umumnya berupa peraturan tertulis yang dibuat oleh suatu badan yang

mempunyai otoritas untuk itu. Arti pentingnya kepastian hukum itu menurut

Sudikno Mertokusumo masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum

karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum

bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban

masyarakat. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya

sehingga akhirnya timbul keresahan. Tetapi jika terlalu menitikberatkan pada

kepastian hukum, dan ketat menaati peraturan hukum maka akibatnya akan kaku

serta menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya tetap seperti

demikian, sehingga harus ditaati dan dilaksanakan. Undang-Undang itu sering

terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat, lex dure, sed tamen scripta

(undang-undang itu kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya).23

Budiono Kusumohamidjojo, menyatakan bahwa dalam keadaan tanpa patokan

sukar bagi kita untuk membayangkan bahwa kehidupan masyarakat bisa berlangsung

tertib, damai, dan adil. Fungsi dari kepastian hukum adalah tidak lain untuk

memberikan patokan bagi perilaku seperti itu. Konsekuensinya adalah hukum itu

sendiri harus memiliki suatu kredibilitas, dan kredibilitas itu hanya bisa dimilikinya,

bila penyelenggaraan hukum mampu memperlihatkan suatu alur konsistensi.

Penyelenggaraan hukum yang tidak konsisten tidak membuat masyarakat mau

mengandalkannya sebagai perangkat kaedah yang mengatur kehidupan bersama.24

23

Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal. 136. 24

Budiono Kusumohamidjojo, 1999, Ketertiban Yang Adil Problematika

Filsafat Hukum, Cetakan 1, Grasindo, Jakarta, hal. 150-151.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

25

1.5.1.2 Teori Keadilan dan Keseimbangan

Teori keadilan dan keseimbangan digunakan untuk menjawab rumusan

masalah kedua yaitu para pihak dapat secara bebas mensepakati syarat batal dalam

sebuah perjanjian asalkan kedudukan para pihak seimbang dan syarat batal dibuat

dengan adil, tidak merugikan satu pihak. Teori keadilan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah teori keadilan dari Aristoteles.

Dalam Teori Keadilan pengertian keadilan memiliki sejarah pemikiran

yang panjang. Dapat dikatakan tema keadilan merupakan tema utama dalam

hukum semenjak masa Yunani Kuno.25

Memang secara hakiki, dalam diskursus

hukum, sifat dari keadilan itu dapat dilihat dalam 2 (dua) arti pokok, yakni dalam

arti formal yang menuntut bahwa hukum itu berlaku secara umum, dan dalam arti

materil, yang menuntut agar setiap hukum itu harus sesuai dengan cita-cita

keadilan masyarakat26

. Namun apabila ditinjau dalam konteks yang lebih luas,

pemikiran mengenai keadilan itu berkembang dengan pendekatan yang berbeda-

beda, karena perbincangan tentang keadilan yang tertuang dalam banyak buku

atau literatur, tidak mungkin tanpa melibatkan tema-tema moral, politik dan teori

hukum yang ada. Oleh sebab itu menjelaskan mengenai keadilan secara tunggal

hampir-hampir sulit untuk dilakukan.

Namun pada garis besarnya, pembahasan mengenai keadilan terbagi atas 2

(dua) arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan ontologis atau metafisik,

sedangkan yang kedua, keadilan yang rasional. Keadilan yang metafisik atau

ontologis diwakili oleh Plato, sedangkan keadilan yang rasional diwakili oleh

25

E. Fernando M. Manullang, Op.Cit, hal. 96. 26

Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar

Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 81.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

26

pemikiran Aristoteles. Keadilan yang metafisik, sebagimana diutarakan oleh

Plato, menyatakan bahwa sumber keadilan itu asalnya dari inspirasi dan intuisi.

Sementara, keadilan yang rasional mengambil sumber pemikirannya dari prinsip-

prinsip umum dari rasionalitas tentang keadilan.27

Lebih lanjut, Aristoteles memformulasikan bahwa filsafat hukum

membedakan keadilan menjadi 2 (dua) yaitu keadilan distributif dengan keadilan

korektif, yang merupakan dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok

persoalan keadilan. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa

kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, dan

perlakuan yang sama terhadap kesederajatan di hadapan hukum (equity before the

law)28

. Sedangkan keadilan korektif, pada dasarnya merupakan ukuran teknis dan

prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum.

Dengan demikian, jelas sekali bahwa dalam menentukan pengertian

keadilan, baik secara formal maupun substansial, dirasakan sangat sulit ditentukan

secara definitif. Keadilan itu dapat berubah-ubah isinya, tergantung dari pihak

siapa yang menentukan isi keadilan itu, termasuk juga faktor-faktor lainnya yang

turut membentuk keadilan itu, seperti tempat maupun waktunya. Seperti halnya

John Rawls, yang membangun teorinya secara teliti mengenai keadilan. Baginya

keadilan itu tidak saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga

mempersoalkan mekanisme dari pencapaian keadilan itu sendiri, termasuk juga

27

W. Friedman, 2007, Teori Hukum, terj. Andi Sulistyo, Pradnya Paramita,

Jakarta, hal. 346. 28

Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum: Study Tentang

Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah

University Press, Surakarta, hal. 54.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

27

bagaimana hukum turut serta mendukung upaya tersebut29

. Sedangkan keadilan

menurut Kelsen, pada dasarnya menyatakan keadilan merupakan nilai yang

mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan atas hak-hak yang

dijamin oleh hukum (unsur hak) dan perlindungan itu sendiri pada akhirnya harus

memberikan manfaat kepada setiap individu (unsur manfaat)30

.

Dalam kaitannya dengan perjanjian, suatu perjanjian tidak hanya mengikat

untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala

sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau

undang-undang. Ini artinya perjanjian tidak hanya ditetapkan oleh kata-kata yang

dirumuskan oleh para pihak, melainkan juga oleh keadilan dan itikad baik. Itikad

baik hanya muncul sebatas pada tahap pelaksanaan kontrak. Sebagaimana

dikatakan oleh Khairandy31

, dalam pembuatan hingga pelaksanaan kontrak harus

ditegakkan keadilan. Keadilan adalah hakikat hukum dan tujuan tertinggi hukum.

Iktikad baik adalah jalan bagi hukum untuk menuju kepada keadilan tersebut.

Sementara itu, kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan, jika

para pihak memiliki bargaining power yang seimbang. Jika bargaining power

tidak seimbang, maka suatu kontrak dapat menjurus atau menjadi unconscionable.

Unconscionability merupakan suatu konsep yang dikenal dalam Hukum Kontrak

Amerika Serikat yang memberikan kemungkinan bagi seorang Hakim untuk

mengabaikan sesuatu bagian sari suatu kontrak atau bahkan seluruh kontrak itu

29

John Rawls, 2009, Teori Keadilan, terj. Bambang Kusumo, Erlangga,

Jakarta, hal. 18. 30

Hans Kelsen, 2000, Pengantar Teori Hukum, Penerbit Nusa Media,

Bandung, hal. 48-51. 31

Ridwan Khairandy, 2011, “Kebesan Berkontrak dan Facta Sunt

Servanda versus Iktikad Baik: Sikap yang Harus Diambil Pengadilan”, Pidato

Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Hukum Kontrak, Universitas Islam

Indonesia, Yogyakarta, hal. 1 (selanjutnya disebut Ridwan Khairandy I).

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

28

sendiri apabila bagian kontrak itu atau seluruh kontrak itu dianggap menimbulkan

akibat yang unconscionable (bertentangan dengan hati nurani).32

Doktrin

unconscionability memberikan wewenang kepada seorang hakim untuk

mengesampingkan sebagian bahkan seluruh kontrak demi menghindari hal-hal

yang dirasakan sebagai bertentangan dengan hati nurani.

Bargaining Power yang tidak seimbang terjadi apabila pihak yang kuat

dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, hingga pihak yang

lemah mengikuti saja syarat-syarat kontrak yang diajukan kepadanya. Ciri lain

dari adanya ketidakseimbangan adalah kekuasaan yang ada pada pihak yang lebih

kuat digunakan untuk memaksakan kehendak, sehingga membawa keuntungan

kepadanya. Akibatnya, kontrak tersebut menjadi tidak masuk akal dan

bertentangan dengan aturan-aturan yang adil. Tolak ukur “penyalahgunaan

keadaan” (misbruik van omstandigheden) atau penyalahgunaan kekuasaan

ekonomi yang mencakup keadaan yang tidak dapat dimasukkan dalam itikad baik,

patut dan adil atau bertentangan dengan ketertiban umum sebagai pengertian

klasik, juga dapat digunakan untuk memperkaya tolak ukur bagi hukum Indonesia

dalam menentukan ada atau tidak adanya bargaining power yang seimbang dalam

suatu kontrak.

1.5.1.3 Asas Kebebasan Berkontrak

Subekti, sebagaimana dikutip oleh Felix O. Subagjo33

memberikan

pendapat mengenai kebebasan berkontrak sebagai:

32

Sutan Remi Sjahdeini, 2009, Hak Tangungan Azas-Azaz Ketentuan-

Ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan, Suatu Kajian

Mengenai Undang Undang Hak Tanggungan, Alumni, Bandung, hal. 115. 33

Felix O. Subagjo, 1994, Perkembangan Asas-asas Hukum Kontrak

dalam Praktek Bisnis, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, hal. 57.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

29

“Tuntutan akan adanya sungguh-sungguh suatu perjumpaan kehendak,

memang tidak dapat dipertahankan lagi dalam zaman moderen ini.

Pernyataan yang menjadi dasar sepakat adalah pernyataan yang secara

objektif dapat dipercaya. Adanya perjumpaan kehendak (consensus) sudah

tepat jika diukur dengan pernyataan yang bertimbal balik yang telah

dikeluarkan. Hakim dapat mengkonstruksikan adanya sepakat dari

perjanjian dengan adanya pernyataan bertimbal balik.”

John Stuart Mill, sebagaimana dikutip oleh Johannes Ibrahim, yang juga

sebagai pendukung asas kebebasan berkontrak juga menggunakan konsep tersebut

melalui 2 (dua) asas, yaitu:34

a. Hukum tidak dapat membatasi syarat-syarat yang telah diperjanjikan oleh

para pihak. Artinya, hukum tidak boleh membatasi apa yang telah

diperjanjikan oleh para pihak yang telah mengadakan suatu perjanjian.

Asas ini maksudnya para pihak bebas untuk menentukan sendiri isi

perjanjian yang akan dibuat tersebut.

b. Pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk

membuat suatu perjanjian. Asas ini menjelaskan bahwa kebebasan

berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan

siapa ia berkeinginan untuk membuat suatu perjanjian.”

Pendapat yang sama juga diberikan Rutten terhadap asas kebebasan

berkontrak, sebagaimana dikutip oleh Abdul Kadir Muhammad,.35

Dalam asas

kebebasan berkontrak setiap orang bebas untuk:

a. Mengadakan perjanjian atau tidak mengadakan perjanjian;

b. Memilih mengadakan perjanjian dengan siapapun;

c. Menentukan isi, syarat-syarat, dan bentuk perjanjian yang dibuat;

d. Menentukan ketentuan hukum mana yang berlaku bagi perjanjian yang

dibuatnya.

Hasanudin Rahman juga mengemukakan, adapun ruang lingkup dari asas

kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi:36

34

Johannes Ibrahim, 2002, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas

Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank, Utomo, Bandung, hal. 90. 35

Abdul Kadir Muhammad, 2007, Perjanjian Baku dalam Praktek

Perusahaan Perdagangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 225.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

30

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;

b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;

c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang

akan dibuat;

d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;

e. Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian;

f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang

yang bersifat opsional.

Atiyah sebagaimana yang dikutip oleh Ridwan Khairandy37

, menyatakan

bahwa kontrak didasarkan pada kehendak bebas para pihak dalam berkontrak,

tidak hanya bagi terciptanya kontrak, tetapi juga definisi dan validitas isi

kontraknya. Kebebasan berkontrak menolak kebiasaan yang mengatur isi kontrak,

dan juga menolak ajaran bahwa “an objectively just price exist for any objects

susceptible to exchange.”

Khairandy38

menyatakan gagasan utama kebebasan berkontrak berkaitan

dengan penekanan akan persetujuan dan maksud atau kehendak para pihak dalam

perjanjian. Selain itu, gagasan kebebasan berkontrak juga berkaitan dengan

pandangan bahwa kontrak adalah hasil dari pilihan bebas (free choice). Dengan

gagasan utama ini, kemudian dianut paham bahwa tidak seorang pun terikat

kepada kontrak sepanjang tidak dilakukan atas dasar adanya pilihan bebas untuk

melakukan sesuatu. Gagasan tersebut menjadi prinsip utama baik dalam sistem

civil law maupun common law bahwa kontrak perdata individual di mana para

pihak bebas menentukan kesepakatan kontraktual tersebut. Bagi mereka yang

memiliki kemampuan bertindak untuk membuat kontrak (capacity) memiliki

36

Hasanudin Rahman, 2000, Legal Drafting, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, hal. 11. 37

Ridwan Khairandy I, Op. Cit, hal. 90. 38

Ridwan Khairandy I, Op. Cit, hal. 5.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

31

kebebasan untuk mengikatkan diri, menentukan isi, akibat hukum yang timbul

dari kontrak itu.

Sementara itu, asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam Pasal 1338

alinea ke satu BW para pihak yang sepakat melakukan perjanjian dianggap

mempunyai kedudukan yang seimbang serta berada dalam situasi dan kondisi

yang bebas menentukan kehendaknya untuk melakukan perjanjian. Pasal tersebut

seolah-olah membuat suatu pernyataan bahwa kita diperbolehkan membuat

perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-

undang.39

Kebebasan berkontrak juga ditegaskan dalam Pasal 1321 BW yang

mana menyatakan bahwa suatu kesepakatan itu dibuat harus bersifat bebas.

Kesepakatan tidaklah sah apabila diberikan berdasarkan kekhilafan, atau

diperolehnya dengan penipuan atau paksaan.

1.5.1.4 Konsep Batal dan Pembatalan Perjanjian

Pada prinsipnya Pasal 1338 ayat (2) BW tidak memperkenankan

ditariknya kembali suatu kontrak kecuali apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu.

Syarat-syarat tertentu agar suatu kontrak dapat dibatalkan sebagaimana

dimaksudkan antara lain dalam Pasal 1338 ayat (2) BW adalah sebagai berikut:

1. Kontrak tersebut haruslah dibuat secara sah. Sebab jika syarat sahnya

kontrak tidak dipenuhi, batal atau pembatalan kontrak tersebut dapat

dilakukan tetapi bukan lewat Pasal 1338 ayat (2) BW.

2. Dibatalkan berdasarkan alasan-alasan yang disebutkan dalam undang-

undang, atau

39

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan yang Lahir dari

Perjanjian, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 34.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

32

3. Dibatalkan berdasarkan kesepakatan semua pihak dalam kontrak yang

bersangkutan.

Dengan demikian suatu kontrak dapat mengalami40

:

1. Batal Demi Hukum

Jika syarat obyektif dari syah-nya suatu kontrak tidak dipenuhi,

misalnya perjanjian untuk pengiriman narkoba batal demi hukum karena

barang yang diangkut bertentangan dengan undang-undang. Dalam kondisi

batal demi hukum maka akan kembali ke kondisi semula sebelum ada

perjanjian.

2. Dapat Dibatalkan

Jika syarat subyektif dari syahnya suatu kontrak tidak dipenuhi.

Misalnya perjanjian yang dibuat oleh orang yang belum dewasa, dapat

dibatalkan. Akibat hukumnya juga kembali ke keadaan semula sebelum

adanya perjanjian.

3. Batal dengan Putusan Hakim

Apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi dan pihak lainnya

menuntut batalnya perjanjian, maka perjanjian dapat batal dengan putusan

hakim. Dalam kondisi ini para pihak tidak bisa menuntut prestasi yang

telah diberikan oleh pihak lainnya.

Suatu kontrak yang baik selalu terdapat klausul mengenai cara dan akibat-

akibat pemutusan kontrak. Ada berbagai kemungkinan pengaturan pemutusan

kontrak dalam kontrak yang bersangkutan, yaitu sebagai berikut :41

40

Subekti, Op.cit, hal. 41.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

33

1. Penyebutan alasan pemutusan kontrak

Seringkali dalam kontrak diperinci dalam alasan-alasan sehingga

salah satu pihak atau kedua belah pihak dapat memutuskan kontrak. Maka

dalam hal ini tidak semua wanprestasi dapat menyebabkan salah satu

pihak memutuskan kontraknya, tetapi hanya wanprestasi seperti yang

disebut dalam kontrak saja.

2. Kontrak dapat dihapus dengan sepakat kedua belah pihak

Kadang-kadang disebutkan dalam kontrak bahwa suatu kontrak

hanya dapat diputuskan jika disetujui oleh kedua belah pihak. Sebenarnya

hal ini hanya penegasan saja, karena tanpa penyebutan tentang hal

tersebut, demi hukum, kontrak dapat diterminasi jika disetujui oleh kedua

belah pihak.

3. Mengesampingkan Pasal 1266 BW

Sangat sering dalam kontrak disebutkan bahwa jika ingin

memutuskan kontrak, para pihak tidak perlu harus menempuh prosedur

pengadilan, tapi dapat diputuskan langsung oleh para pihak. Dengan ini,

Pasal 1266 BW harus dengan tegas dikesampingkan berlakunya. Sebab,

menurut Pasal 1266 BW tersebut, setiap pemutusan kontrak harus

dilakukan lewat pengadilan.

4. Tata cara pemutusan kontrak

Di samping penentuan pemutusan kontrak tidak lewat pengadilan,

biasanya ditentukan juga prosedur pemutusan kontrak oleh para pihak

tersebut. Sering ditentukan dalam kontrak bahwa sebelum diputuskan

suatu kontrak, haruslah terlebih dahulu diperingatkan pihak yang tidak

41

Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum

Bisnis, Cetakan Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 93.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

34

memenuhi prestasinya untuk melaksanakan kewajibannya. Peringatan ini

bisa dilakukan dua atau tiga kali. Bila peringatan tersebut masih tidak

diindahkan, maka salah satu pihak dapat langsung memutuskan kontrak

tersebut. Penulisan kewajiban memberi peringatan seperti ini sejalan

dengan prinsip yang dianut oleh BW yaitu ingebrehstelling, yakni dengan

dikeluarkannya ”akta lalai” oleh pihak kreditur (lihat Pasal 1238 BW),

dimana somasi (dengan berbagai pengecualian) pada prinsipnya memang

diperlukan untuk dapat memutuskan suatu kontrak.

1.5.2 Kerangka Pemikiran

Gambar 1.2 Kerangka Pemikiran

BW

Pasal 1338

Kebebasan Berkontrak

Para pihak bebas

membuat syarat batal

Para pihak dapat

membatalkan perjanjian

bila syarat batal tidak

terpenuhi

Pasal 1226 dan 1267

Pembatalan Perjanjian

Pembatalan perjanjian

harus melalui putusan

hakim/pengadilan

Analisis Putusan Pengadilan yang Mencantumkan Pasal 1266 dan Pasal 1267

Burgerljik Wetboek dalam Kaitannya dengan Asas Kebebasan Berkontrak

BERTENTANGAN

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

35

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Berangkat dari adanya norma konflik antara Pasal 1338 dengan Pasal 1266

dan 1267 BW, penelitian ini megggunakan jenis penelitian hukum normatif, yang

mengkaji dan menganalisa bahan hukum yaitu berupa bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang terkait dengan analisis Putusan

Pengadilan yang mencantumkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 Burgerljik Wetboek

dalam kaitannya dengan Asas Kebebasan Berkontrak.

Penelitian hukum normatif (normative legal research) merupakan

penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan

yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu.

Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu penelitian

yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan

pustaka.42

Penelitian hukum normatif juga disebut penelitian yang difokuskan

untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma dalam hukum positif.43

Dalam peneltian normatif hukum dipandang identik dengan norma-norma tertulis,

yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan

meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang otonom, mandiri, tertutup

dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata.44

42

Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenida

Media, Jakarta, hal. 34. 43

Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,

Banyumedia, Malang, hal. 295. 44

Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan

Jurimetri, Alumni, Jakarta, hal 13-14.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

36

1.6.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan (apprach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif

akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan

ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan analisis dan eksplanasi. Dalam

kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa pendekatan

yaitu:45

1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach).

2. Pendekatan Konsep (conceptual approach).

3. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).

4. Pendekatan Historis (historical approach).

5. Pendekatan Filsafat (philosophical approach).

6. Pendekatan Kasus (case approach).

Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu

penelitian hukum dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih yang sesuai.

Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode

pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep

(conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach), mengingat

permasalahan yang diteliti dan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai

analisis putusan pengadilan yang mencantumkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 BW

yang menyatakan tentang syarat batal suatu perjanjian dalam kaitannya dengan

asas kebebasan berkontrak.

45

Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, hal. 93.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

37

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini merupakan

bahan hukum sekunder. Adapun bahan hukum sekunder terdiri dari:46

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang

berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

permasalahan yang akan dikaji, terdiri dari :

a. UUD Negara Republik Indonesia 1945.

b. Burgerljik Wetboek voor Indonesie.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang menjelaskan bahan hukum

primer, seperti: hasil penelitian, jurnal ilmiah, hasil seminar atau pertemuan

ilmiah lainnya, bahkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro, dokumen pribadi

atau pendapat dari kalangan pakar hukum termasuk dalam bahan hukum

sekunder ini sepanjang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini.47

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi

petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, seperti kamus hukum. Surat kabar, majalah mingguan, bulletin

dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang

memuat informasi yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum

ini.48

46

Bambang Waluyo, 2001, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Penerbit

Sinar Grafika, Jakarta, hal. 18. 47

Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Op.Cit, hal. 24. 48

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001. Penelitian Hukum Normatif

suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. hal. 14-15.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

38

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan metode

pengumpulan bahan hukum dan iventarisasi bahan hukum primer yang berkaitan

dengan permasalahan yang diteliti kemudian diklasifikasi secara sistematis dan

tujuannya serta mengkaji isinya menurut kelompoknya sesuai dengan hirarkhi

peraturan perundang-undangan. Dimana bahan hukum skunder dan tersier

dikumpulkan dengan cara teknik studi dokumen (study document) diproleh

melalui penelitian kepustakaan (Library reasearch), dengan cara mengkaji isinya

secara mendalam, menelah, mengola bahan-bahan hukum leteratur, artikel

ataupun tulisan yang berkaitan dengan obyek yang akan diteliti. Penelitian

dokumen ini dilakukan dengan sistem kartu yakni dengan mencatat dan

memahami dari masing-masing bahan imformasi yang didapatkan baik dari bahan

hukum primer, skunder maupun tersier menitik beratkan pada penelitian

kepustakaan (library research) dan juga bahan-bahan hukum lainya.

Jadi, teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan adalah studi

pustaka atau studi dokumen yaitu mengumpulkan bahan hukum sekunder

mengenai obyek penelitian yang berupa bahan-bahan hukum bersifat normative-

perspektif, dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan bahan hukum

sekunder mengenai objek penelitian, baik secara konvensional maupun dengan

menggunakan teknologi informasi seperti internet, dan lain-lain.

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang diperoleh, dikelompokkan dan disusun secara

sistematis dan untuk selanjutnya bahan hukum tersebut dianalisis, secara analisis

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I-Andika... · sampai-sampai orang tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah dibuat setiap ... pihak atau lebih untuk melakukan transaksi

39

kualitatif. Yang dimaksud analisis kualitatif, yaitu analisis yang berupa kalimat

dan uraian.49

Metode yang digunakan adalah analisis yuridis, yaitu analisis yang

mendasarkan pada teori-teori, konsep dan peraturan perundang-undangan. Setelah

itu bahan hukum yang diperoleh disusun secara sistematis dan untuk selanjutnya

analisis kualitatif dipakai untuk mencapai penjelasan yang dibahas.

Penggunaan teori-teori (dan konsep-konsep penelitian) dalam menafsirkan

hasil analisis bahan-bahan hukum bersifat normatif-prespektif, bertujuan

menghasilkan, menstrukturkan dan mensistematisasi teori-teori yang menjadi

dasar untuk pengambilan kesimpulan,50

sehingga tujuan akhir penelitian hukum

ini dapat tercapai, yaitu ditemukannya jawaban permasalahan mengenai analisis

Putusan Pengadilan yang mencantumkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 Burgerljik

Wetboek dalam kaitannya dengan Asas Kebebasan Berkontrak.

49

Achmad Ali, 2008, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yasrif

Watampone, Jakarta, hal. 188. 50

Sidharta, Bernard Arief, 2001, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum,

Mandar Maju, Bandung, hal. 154-155.