bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah · 2017. 4. 1. · dalam bidang perburuhan yang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pekerjaan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan
manusia guna memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidupnya, selain sebagai
sumber penghasilan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup bagi diri sendiri
dan keluarganya. Pekerjaan juga merupakan sarana untuk mengaktualisasi diri
sehingga seseorang merasa hidupnya lebih berharga baik bagi diri sendiri,keluarga
maupun lingkungan.
Menurut Teori Maslow yaitu terdapat lima tingkat kebutuhan dasar, yaitu :
kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki
dan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi
diri. Menurut Maslow, pemuasan berbagai kebutuhan tersebut didorong oleh dua
kekuatan yakni motivasi kekurangan (deficiency motivation) dan motivasi
perkembangan (growth motivation). Motivasi kekurangan bertujuan untuk
mengatasi masalah ketegangan manusia karena berbagai kekurangan yang ada.
Sedangkan motivasi pertumbuhan didasarkan atas kapasitas setiap manusia
untuk tumbuh dan berkembang. Kapasitas tersebut merupakan pembawaan dari
setiap manusia. Sehingga sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia
yaitu hak atas pekerjaan seseorang adalah hak asasi yang wajib dijunjung tinggi
dan dihormati. Hal ini juga ditekankan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (2) yaitu bahwa, “Setiap Warga
2
Negara Indonesia berhak atas pekerjan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”1
Mengingat pentingnya pekerjaan dalam kehidupan manusia maka
diperlukan adanya perlindungan terhadap pekerja yang dimaksudkan untuk
menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta
perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apa pun untuk mewujudkan kesejahteraan
pekerja. Perlindungan hukum bagi pekerja sangat diperlukan mengingat
kedudukannya yang lemah. Disebutkan oleh Zainal Asikin, bahwa perlindungan
hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan
dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan bertindak
seperti dalam perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua
pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi
diukur secara sosiologis dan filosofis.2
Dalam menjalankan pekerjaan terkadang pekerja tidak menghiraukan
perjanjian kerja yang biasanya berbentuk tertulis maupun tidak tertulis (lisan),
terlebih bagi pekerja Outsourcing yang diberikan upah harian yang tidak
mengetahui hak-haknya sebagai pekerja, selain upah atau gaji. Berdasarkan
informasi awal dari hasil wawancara yang dilakukan pada pekerja Outsourcing di
lingkup Badan Diklat Provinsi Bali, disampaikan bahwa pekerja Outsourcing
tidak mendapatkan jaminan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Hal
1Asri Wijayanti, 2009, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Penerbit Sinar
Grafika, Jakarta, h. 6.
2 Ibid.
3
ini mengindikasikan bahwa masih terdapat perusahaan pemberi kerja yang tidak
memberikan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja. Jaminan keselamatan dan
kesehatan kerja sangat diperlukan apabila dalam menjalankan pekerjaan terjadi
kecelakaan kerja atau potensi masalah kesehatan yang timbul.
Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
sudah jelas disebutkan bahwa setiap pemberi kerja wajib memberikan tanggungan
atau jaminan keselamatan dan kesehatan bagi pekerjanya namun kenyataannya
masih terdapat perusahaan pemberi kerja yang tidak memberikan jaminan
keselamatan dan kesehatan pekerja tersebut. Dalam menjalankan perusahaan
ketenangan pekerja hanya dapat dicapai apabila pengusaha dan pekerja
memahami hak dan kewajibannya masing-masing sehingga dapat menimbulkan
rasa saling mengerti , menghargai, dan menghormati dengan tidak mengabaikan
nilai-nilai rasionalitas dan akuntabilitas.
Perusahaan dalam melakukan aktivitasnya sudah tentu memerlukan sumber
daya manusia yang mendukung usaha pencapaian tujuan yang telah di tetapkan.
Bagaimanapun lengkap dan canggihnya sumber daya Non manusia yang telah
dimiliki oleh suatu perusahaan, tidaklah menjadi jaminan bagi perusahaan tersebut
untuk mencapai keberhasilan. Jaminan untuk dapat berhasil, lebih banyak
ditentukan oleh sumber daya manusia yang mengelola, mengendalikan, dan
menggunakan atau memanfaatkan sumber daya Non manusia yang dimiliki.
Masalah pekerja merupakan masalah besar yang harus mendapat perhatian bagi
perusahaan.
4
Dalam pemanfaatan sumber daya sebagai alat bantu manusia dalam
melakukan suatu pekerjaan, peralatan tersebut dapat menghasilkan dampak positif
dan dapat pula menghasilkan dampak negatif. Salah satu dampak positif dalam
penggunaan peralatan tersebut adalah membantu manusia dalam menyelesaikan
pekerjaan secara efisiensi, sedangkan dampak negatifnya adalah kamungkinan
bahaya atau kecelakaan dan potensi timbul masalah kesehatan yang ditimbulkan
dari penggunaan peralatan tersebut.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja pada Pasal 9 ayat (1) dijelaskan bahwa perusahaan wajib
melindungi keselamatan pekerja yaitu dengan memberi penjelasan kepada pekerja
tentang kondisi dan bahaya tempat kerja, alat pelindung diri, yang diharuskan
dalam pekerja alat pelindung diri bagi pekerja serta cara dan sikap yang aman
dalam melaksanakan pekerja. Semakin tersedianya fasilitas keselamatan kerja
semakin sedikit atau semakin rendah kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja.
Penerapan sistem ini tidak boleh dianggap sebagai upaya pencegah kecelakaan
kerja dan penyakit akibat kerja yang mengahabiskan banyak biaya perusahaan,
melainkan harus dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang yang memberi
keuntungkan yang berlimpah pada masa yang akan datang baik bagi pengusaha
maupun bagi pekerja.
Dalam Pasal 86 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, dinyatakan bahwa setiap pekerja atau buruh mempunyai hak
untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan
kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat serta nilai-nilai
5
agama. Sehubungan dengan hal tersebut perlu diadakan segala daya upaya untuk
membina norma-norma perlindungan kerja yang membuat ketentuan umum
mengenai keselamatan kerja.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada pekerja Outsourcing di lingkup
Badan Diklat Provinsi Bali, didapatkan informasi bahwa perusahaan pemberi
kerja tidak memberikan tanggungan atau jaminan keselamatan dan kesehatan
kerja bagi pekerjannya, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan sudah jelas disebutkan bahwa setiap pemberi kerja wajib
memberikan jaminan dan tanggungan keselamatan dan kesehatan bagi pekerjanya.
Hal ini jelas dimaksudkan agar apabila terjadi kecelakaan dalam menjalankan
pekerjaanya seorang pekerja sudah memiliki tanggungan kesehatan bagi dirinya.
Jenis kecelakaan kerja yang bisa terjadi pada pekerja, yaitu terjatuh dari
ketinggian saat membersihkan kaca bangunan, tergelincir saat membersihkan
lantai yang licin atapun kecelakaan kerja yang disebabkan oleh hal-hal lain yang
tidak terduga sebelumnya. Sebagai perusahaan yang bergerak pada bidang jasa
pemberi kerja atau jasa penyalur pekerja, perusahaan wajib menginformasikan
kepada setiap pekerja apa saja hak-hak dan kewajibannya sebagai pekerja
sehingga mereka mengetahui apa saja hak-haknya yang didapatkannya, seperti
jaminan keselamatan dan kesehatan kerja sehingga para pekerja tidak perlu takut
lagi apabila dalam menjalankan pekerjaannya terjadi kecelakan yang tidak
diinginkan.
Pada kenyataannya pekerja tidak mengetahui apa saja hak-hak yang
dimilikinya sehingga pada saat terjadi kecelakaan kerja pekerja kebingungan
6
untuk mencari bantuan biaya pengobatan. Sebagai pekerja Outsourcing, pegawai
tidak tetap atau pekerja lepas yaitu pegawai dalam katagori ini hanya menerima
penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari
bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis
pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.
Penghasilan pegawai tidak tetap atau pekerja lepas ini menerima imbalan
atau upah berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, atau upah borongan,
yang metode pengupahannya dengan cara dibayar secara bulanan dan ada juga
yang tidak dibayar secara bulanan melainkan harian. Perlindungan terhadap
pekerja/buruh dimaksudkan untuk menjamin hak dasar pekerja/buruh dan
menjamin kesamaan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk
mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan
perkembangan kemajuan dunia usaha.3
Dimana ketentuan ini diatur dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang
Nomer 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menentukan bahwa setiap pekerja
mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan :
1. keselamatan dan kesehatan kerja.
2. moral dan kesusilaan agama.
3. kelakuan sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai agama.
Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 sangat penting
dalam mengatur hak dan kewajiban bagi para pekerja maupun para pengusaha di
dalam melaksanakan suatu mekanisme ketenagakerjaan. Tidak kalah pentingnya
3 Ibid, h. 8.
7
adalah perlindungan pekerja yang bertujuan untuk menjamin hak-hak dasar
pekerja dan menjamin kesamaan serta perlakuan tanpa diskriminasi. Hal ini
merupakan esensi dari disusunnya Undang-Undang Ketenagakerjaan, yaitu
mewujudkan kesejahteraan para pekerja yang akan berimbas terhadap kemajuan
dunia usaha di Indonesia.
Badan Diklat Provinsi Bali merupakan instansi yang paling banyak
menggunakan pekerja Outsourcing dibandingkan dengan instansi-instansi lain
yang ada pada pemerintah Provinsi Bali sehingga penelitian ini dilakukan di
Badan Diklat Provinsi Bali.
Dari uraian latar belakang diatas maka perlunya tanggung jawab yang jelas
dari pihak-pihak pemberi kerja agar apa hak-hak yang menjadi hak pekerja yang
seharusnya didapatkanya tetapi saat ini belum didiapatkannya, karena saat ini
tanggung jawabnya belum jelas, siapa yang harus bertanggung jawab dalam
memberikan jaminan keselamatan dan kesehatan kepada pekerja Outsourcing dan
bagaimana efektifitas peraturannya yang mengatur karena efektifitas peraturannya
masih diragukan apakah sudah efektif atau belum efektif, dan saat ini terindikasi
tidak efektif.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat diangkat permasalahan
dengan judul “Pelaksanaan Jaminan Keselamatan Dan Kesehatan Pekerja
Outsourcing Pada Badan Pendidikan Dan Pelatihan (Diklat) Provinsi Bali”.
8
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana tanggung jawab perusahaan pemberi kerja terhadap
perlindungan jaminan keselamatan dan kesehatan terhadap pekerja
Outsourcing yang dipekerjakan pada Badan Diklat Provinsi Bali ?
2. Faktor apa saja yang menghambat efektifitas perlindungan jaminan
keselamatan dan kesehatan terhadap pekerja Outsourcing pada Badan
Diklat Provinsi Bali ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Guna menghindari terjadinya penyimpangan terhadap pokok bahasan materi
diatas, maka ruang lingkup masalah yang akan dibahas yaitu :
1. Efektifitas perlindungan terhadap pekerja apabila dalam menjalankan
pekerjaan terjadi kecelakaan kerja kepada pekerja Outsourcing dengan
melihat dari peraturan perundang-undangan, penegak hukumnya, dan
pemegang peran pemberi kerja.
2. Membahas mengenai faktor-faktor yang menghambat efektifitas peraturan
perundang-undangan perlindungan pekerja pada Badan Diklat Provinsi Bali
yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan efektifitas tersebut.
9
1.4 Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
a. Untuk mengetahui efektifitas peraturan perlindungan terhadap pekerja
Outsourcing yang dipekerjakan pada Badan Diklat Provinsi Bali.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dan menghambat
efektifitas perlindungan terhadap pekerja Outsourcing pada Badan Diklat
Provinsi Bali.
2. Tujuan khusus
a. Untuk lebih memahami efektifitas peraturan perlindungan terhadap pekerja
Outsourcing yang dipekerjakan pada Badan Diklat Provinsi Bali.
b. Untuk lebih memahami faktor-faktor yang mempengaruhi dan menghambat
efektifitas perlindungan terhadap pekerja Outsourcing pada Badan Diklat
Provinsi Bali.
1.5 Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh manfaat penting sebagai
berikut:
1. Manfaat teoritis
a. Secara teoritis penelitian ini sekiranya dapat bermanfaat dalam
perkembangan hukum, khususnya dibidang hukum ketenagakerjaan
mengenai pelaksanaan perlindungan dan jaminan kesehatan bagi pekerja
Outsourcing sehingga masyarakat memahami suatu hukum dibidang
10
ketenagakerjaan dengan mengacu pada hasil penelitian ini sebagai landasan
teoritis.
b. Sebagai sumbangan pada perpustakaan agar dapat dibaca untuk menambah
wawasan berfikir bagi mahasiswa.
c. Serta memberikan sumbangan pemikiran dalam bidang pendidikan terutama
untuk mengembangkan ilmu hukum khususnya hukum ketenagakerjaan
mengenai perlindungan serta jaminan kesehatan pekerja.
2. Manfaat praktis
Secara praktis penelitian ini akan bermanfaat dan dapat dipakai sebagai
pedoman baik oleh perusahaan dalam menyelesaikan permasalahan yang sejenis
baik oleh perusahaan pemakai, perusahaan pemberi dan intansi.
1.6 Landasan Teoritis
Teori Efektifitas
Menyadari akan pentingnya pekerja bagi perusahaan, pemerintah dan
masyarakat, maka perlu dilakukan pemikiran agar pekerja dapat mejaga
keselamatannya dalam menjalankan pekerjaannya. Demikian pula perlu di
usahakan ketenangan dan kesehatan pekerja agar apa yang dihadapinya dalam
pekerjaan dapat diperhatikan semaksimal mungkin, sehingga kewaspadaan dalam
menjalankan pekerjaan itu tetap terjamin.4Dalam kehidupan ini manusia
mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam, untuk dapat memenuhi semua
4 Zainal Asikin, 2010, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Rajawali pers, Jakarta, h. 95.
11
kebutuhan tersebut manusia dituntut untuk bekerja. Baik pekerjaan yang
usahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain.
Namun permasalahn yang kerap kali terjadi di masyarakat pada saat ini
adalah adanya kesenjangan terhadap nilai-nilai, perkembangan teknologi maupun
terhadap keberlakuan atas norma-norma tentang keselamatan kerja tersebut.
Acapkali kecelakaan kerja terjadi dikarenakan yang manjadi korban itu sendiri,
seperti kurang berhati-hati dan kurang keahlian. Perubahan atas perkembangan
teknologi perlu di perhatikan karena merupakan factor yang signifikan dapat
menimbulkan bahaya pada saat bekerja, dikarenakan pemahaman masyarakat atas
perkembangan teknologi dan ketaatan masih kurang.
Ketaatan hukum jelas merupakan suatu unsure penting dari fungsinya tata
hukum. Ketaatan hukum ini meliputi berbagai metode disiplin yang mencangkupi
ekonomi, psikologi, atau sosiologi, hingga filosofi ataupun morall.5 Seseorang
menaati hukum atau tidak melanggar hukum, selain akibat faktor jera atau takut
setelah menyaksikan atau mempertimbangkan kemungkinan sanksi yang
diganjarkan terhadap dirinya jika tidak menaati hukum, maka bias saja seseorang
menaati hukum, karena adanya tekanan individu lain atau tekanan kelompok dan
dapat pula karena alas an moral dan sebaliknya.
Suatu aturan hukum atau perundang-undangan dianggap tidak efektif
berlakunya apabila sebagian besar warga masyarakat tidak menaatinya, menaati
karena takut terkena saksi (Complience) dan hanya menaati karena takut
5 Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum dan Teori Pengadilan, Kencana, Jakarta,
h. 345
12
hubungan baiknya rusak dengan pihak lain (Identification). Dengan kata lain,
walaupun sebagian besar warga masyarakat terlihat manaati aturan hukum
ataupun peraturan perundang-undangan. Tuntutan efektifitas mendorong orang
untuk mencurahkan perhatian secara lebih seksama terhadap obyek-obyek yang
menjadi sasaran peraturan perundang-undangan, sehingga pemikiran yang bersifat
abstrak, generalisasi-generalisasi, tidak lagi dikehendaki.6
Hukum perburuhan adalah sebagaian dari hukum yang berlaku (segala
peraturan-peraturan) yang menjadi dasar dalam mengatur hubungan kerja antara
buruh (pekerja) dengan majikan atau perusahaannya, mengenai tata kehidupan
dan tata kerja yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja tersebut.
Menurut Prof. Imam Soepomo berpendapat bahwa Perburuhan adalah suatu
himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak yang berkenaan dengan kejadian
dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah7, sedangkan
Mr. Molenaar menyatakan bahwa hukum perburuhan adalah hukum yang
berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan dibawah pimpinan orang lain dan
dengan keadaan penghidupan yang langsung bergantung dengan pekerjaan itu.8
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
khususnya Paragraf 5 diatur tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, pada
Pasal 86 ayat 1 dan ayat 2 dan Pasal 87, Pasal 86 ayat 1 berbunyi : Setiap
pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
6 Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perubahan Sosial, Genta Publishing, Yogyakarta,
h. 140
7 Imam Soepomo,1983, Pengantar Hukum Perburuhan, Cet IV, Djambatan, Jakarta, h. 21
8 Mr. Mok, 1987, Hubungan Kerja antara Majikan dan Buruh, Cet. I, Bina Aksara,
Jakarta, h. 2
13
1. Keselamatan dan kesehatan kerja
2. Moral kesusilaan
3. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
agama.
Pasal 86 ayat 2 berbunyi : Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh
guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya
keselamatan dan kesehatan kerja. Diberlakukan Undang-Undang RI Nomor 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dikarenakan Undang-Undang RI Nomor 14
tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan pokok ketenagakerjaan tidak sesuai lagi
dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja pada Pasal 2 ayat (1) yang ruang lingkupnya meliputi segala
tempat kerja, baik di barat, di dalam tanah, permukaan air, di dalam air, maupun
udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hokum Republik Indonesia.9
Menurut Zaeni Asyhadie secara teoritis dikenal ada tiga jenis perlindungan
kerja yaitu :
1. Perlindungan sosial, perlindungan yang berkaitan dengan usaha
kemasyarakatan, yang tujuannya untuk memungkinkan pekerja/buruh
mengeyam dan mengembangkan perikehidupannya sebagimana
manusia pada umumnya, dan khususnya sebagai anggota masyarakat
dan anggota keluarga. Perlindungan sosial ini disebut juga dengan
kesehatan pekerja.
2. Perlindungan teknis, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan
usha-usaha untuk menjaga pekerja/buruh terhindar dari bahaya
9 Zaeni Asyhadie, 2008, Hukum Kerja Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja,
edisi revisi2, PT Rajagrafika Persada, Jakarta, h. 106.
14
kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh alat-alat atau bahan-bahan
yang dikerjakan. Perlindungan ini disebut sebagai keselamatan kerja.
3. Perlindungan ekoNomormis, yaitu pelindungan yang berkiatan dengan
usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja/buruh suatu
pengahsilan yang cukup guna memenuhi kebutuhan sehari-hari baginya
dan keluarganya, termasuk dalam hal pekerja/buruh tidak mampu
bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya.
Perlindungan jenis ini disebut perlindungan sosial10
Hubungan hukum tersebut dilakukan antara subyek hukum, baik manusia
(naturlijke person), badan hukum (Recht Persoon) maupun jabatan (ambt)
merupakan bentuk dari perbuatan hukum, yang mana masing-masing subyek
hukum merupakan pemikul hak dan kewajiban dalam melakukan tindakan hukum
berdasarkan atas kemampuan dan kewenangan. Hubungan hukum yang terjadi
akibat interaksi antar subyek hukum tersebut secara langsung maupun tidak
langsung menimbulkan adanya relevansi serta adanya akibat-akibat hukum.
Sehingga nantinya agar suatu hubungan hukum tersebut dapat berjalan dengan
seimbang serta adil dalam arti setiap subyek hukum mendapatkan apa yang
menjadi haknya serta dapat menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya,
maka hukum tampil sebagai aturan main yang mengatur, melindungi serta
menjaga hubungan tersebut.11
Pelaksanaan keselamatan kerja diperusahaan saat ini memang tidak mudah
karena hal ini memerlukan berbagai macam pendukung, paling tidak dengan
penerapan program-program keselamatan kerja. Dari sudut sifatnya dapatlah
dikatakan bahwa pengendalian sosial dapat bersifat preventif maupun represif
atau bahkan kedua-duanya.12 Penegakan hukum preventif artinya pengawasan
10 Ibid, h. 86.
11 Imam Supomo, op.cit, h. 25
12 Seerjono Soekanto, 2009, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, h. 179.
15
aktif yang dilakukan terhadap kepatuhan atas peraturan tanpa kejadian langsung
yang menyangkut kejadian konkrit yang menimbulkan dugaan bahwa peraturan-
peraturan hukum telah dilanggar, upaya ini dilakukan dengan cara penyuluhan,
pemantauan dan penggunaan kewenangan yang bersifat pengawasan.13
Menurut Philipus M. Hadjon, dimana dikemukakan bahwa perlindungan
hukum di dalam kepustakaan hukum bahasa Belanda dikenal dengan sebutan
“rechtbescheming van de burgers”.14 Jadi pendapat tersebut menunjukan kata
perlindungan hukum merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yakni
“rechtbescherming”. Kata perlindungan hukum diartikan suatu usaha untuk
memberikan hak-hak pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah
dilakukan.
Dalam hukum ketenagakerjaan bentuk perlindungan hukum yang diberikan
berupa perlindungan hukum dibidang keamanan kerja dimana baik dalam waktu
yang relatif singkat atau lama akan aman dan ada jaminan keselamatan bagi
pekerja. Dengan adanya perlindungan hukum terhadap pekerja, negara
mewajibkan kepada pengusaha untuk menyediakan alat keamanan kerja bagi
pekerja. Dalam hal pertanggungjawaban terhadap pekerja apabila terjadi
kecelakaan kerja ketika melaksanakan kewajibannya dalam pekerjaan, maka
13Ibid, h. 179.
14 Philipus M.Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu
Surabaya, (Selanjutnya disebut Philipus M.Hadjon I), h. 1.
16
pengusaha akan menanggung beban yang timbul secara materiil dengan
memberikan penggantian dari biaya yang timbul akibat kecelakaan kerja.15
Perlindungan pekerja dapat dilakukan, baik dengan jalan memberikan
tuntunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia,
perlindungan fisik dan teknis serta sosial dan ekonomi melalui norma-norma yang
berlaku dalam lingkungan kerja itu. Dengan demikian maka perlindungan kerja
ini akan mencangkup :
1. Norma keselamatan kerja yang meliputi keselamatan kerja, keadaan
tempat kerja dan lingkungan serta cara-cara melakukan pekerjaan.
2. Norma kesehatan kerja dan heigiene kesehatan perusahaan yang meliputi
pemeliharaan dan mempertinggi derajat kesehatan pekerja, perawatan
pekerja yang sakit.
3. Norma kerja yang meliputi perlindungan terhadap pekerja yang berkaitan
dengan waktu bekerja, sistem pengupahan, istirahat, cuti.
4. Kepada pekerja yang mendapat kecelakaan akibat pekerjaan, berhak atas
ganti rugi perawatan dan rehabilitasi akibat kecelakaan.16
Kemudian Hadjon membangun sebuah konsep perlindungan hukum dari
perspektif keilmuan hukum, menurutnya perlindungan hukum mempunyai makna
sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan
yang diberikan oleh hukum, ditujukan kepada perlindungan terhadap
kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu dengan cara menjadikan kepentingan
yang perlu dilindungi tersebut ke dalam sebuah hak hukum.17 Namun
permasalahan yang kerap terjadi di masyarakat pada saat ini adalah adanya
15 Soedarjadi, 2008, Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, h. 53.
16 Zainal Asikin, op. cit, h. 96.
17 Philipus M.Hadjon, 2008, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa, Penerbit Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, (Selanjutnya disebut Philipus M.Hadjon II),
h.373.
17
kesenjangan terhadap nilai-nilai dan perkembangan terhadap keberlangsungan
norma-norma tentang keselamatan kerja tersebut. Acap kali kecelakaan terjadi
dikarenakan orang yang menjadi korban itu sendiri tanpa adanya jaminan yang
diberikan dari perusahaan pemberi kerja kepada yang yang mengalami kecelakaan
kerja tersebut.
Ketaatan hukum jelas merupakan suatu unsur yang sangat penting dari
berfungsinya tata hukum. Ketaatan hukum ini meliputi berbagai metode disiplin
yang mencangkupi ekonomi, psikologi atau sosiologi hingga filosofi ataupun
moral.18 Suatu aturan hukum atau perundang-undangan dianggap tidak efektif
berlakunya apabila sebagian besar warga masyarakat tidak menaatinya dan
apabila kataatan sebagian besar warga masyarakat hanya ketaatan yang bersifat
compliance yang artinya jika seseorang menaati suatu aturan, hanya karena ia
takut terkena sanksi atau bersifat identification yang artinya jika seseorang yang
menaati suatu aturan, hanya kerena ia takut hubungan baiknya dengan pihak lain
menjadi rusak. Dengan kata lain walaupun sebagian besar warga masyarakat
terlihat menaati aturan hukum ataupun perundang-undangan tetapi sebenarnya
hanya karena adanya sifat compliance atau identification saja. Tuntutan efektifitas
mendorong orang untuk mencurahkan perhatian secara lebih seksama terhadap
objek-objek yang menjadi sasaran peraturan perundang-undangan, sehingga
pemikiran yang bersifat abstrak, generalisasi-generalisasi, tidak lagi
dikehendaki.19
18 Achmad Ali, loc.cit.
19 Satjipto Rahardjo, loc.cit.
18
1.7 Metode Penelitian
Penelitian merupakan pencarian kembali terhadap pengetahuan yang benar
(ilmiah), karena hasil dari pencarian tersebut akan dipakai untuk menjawab
permasalahan tertentu. Metode penelitian merupakan cara-cara yang digunakan
dalam penyusunan skripsi untuk menjawab suatu permasalahan yang dibahas.
Adapun metode penelitian terdiri dari : jenis penelitian, sifat pendekatan, sumber
data, teknik pengumpulan data, dan teknik pengolahan dan analisis data.20
1. Jenis penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang diajukan, maka jenis penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Yuridis empiris adalah
suatu penelitian yang beranjak dari kesenjangan-kesenjangan das solen (teori)
dengan das sein (praktek atau kenyataan), kesenjangan antara keadaan teoritis
dengan fakta hukum dan/atau situasi ketidaktahuan yang dikaji untuk pemenuhan
kepuasan akademik. Sering pula disebut dengan penelitian lapangan atau
penelitian hukum empiris yang mengkaji pelaksanaan dan implementasi ketentuan
perundang-undangan di lapangan.21 Penelitian yuridis, yaitu dengan melihat dari
aspek-aspek hukum sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku. Penelitian
empiris diteliti dari sifat hukum yang nyata sesuai dengan kenyataan yang hidup
20 Amirudin dan H.Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 19.
21 Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h.
54.
19
di dalam masyarakat. Jadi penelitian empiris harus dilakukan di lapangan dengan
menggunakan metode teknik lapangan.22
2. Sifat penelitian
Penelitian hukum empiris sendiri menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi
3 (tiga) jenis, yaitu :
a. penelitian yang sifatnya eksploratif (penjajakan atau penjelajahan)
Penelitian eksploratif umumnya dilakukan terhadap pengetahuan yang
masih baru, masih belum ada teori-teori, atau informasi tentang Nomorrma-
Nomorrma atau ketentuan yang mengatur tentang hal tersebut.
b. penelitian yang sifatnya Deskriptif Penelitian ini bertujuan menggambarkan
secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok
tertentu, atau untuk menentukanpenyebaran suatu gejala, atau untuk
menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain
dalam masyarakat.
c. penelitian yang sifatnya eksplanatorisSifatnya menguji hipotesis, yaitu
penelitian yang ingin mengetahui pengaruh atau dampak suatu variable
terhadap variable lainnya atau penelitian tentang hubungan atau korelasi
suatu variable.
22 H. Hilman, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Cet. I,
Mandar Maju, Bandung, h. 62.
20
Penggunaan penelitian hukum empiris disini karena penelitian lapangan
yang mengkaji pelaksanaan dan implementasi perlindungan ketentuan perundang
- undangan di lapangan. Menurut sifatnya, penelitian yang digunakan, yaitu
penelitian yang bersifat deskriptif.23 Penelitian ini melihat fakta-fakta yang terjadi
di lapangan khususnya melihat bagaimana jaminan kesehatan bagi pekerja
Outsourcingpada Badan Diklat Provinsi Bali.
Dalam penelitian ini, penelitian yang digunakan menggunakan metode
empiris yang bersifat diskriptif.
3. Jenis pendekatan
Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum
umumnya dibagi menjadi 5 (lima) jenis, antara lain :
a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach). Pendekatan
undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum
yang sedang ditangani.
b. Pendekatan kasus (case approach). Pendekatan kasus dilakukan dengan
cara melakukan telaah terhadap kasus (dapat kasus yang terjadi di
Indonesia maupun di negara lain) yang berkaitan dengan isu yang
dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah menjadi
kekuatan yang tetap.
c. Pendekatan historis (historical approach). Pendekatan historis dilakukan
dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan
pengaturan mengenai isu yang dihadapi.
d. Pendekatan komparatif (comparative approach). Pendekatan komparatif
dilakukan dengan membandingkan undang-undang suatu negara dengan
undang-undang dari satu atau lebih negara lain mengenai hal yang sama.
Kegunaan pendekatan ini adalah untuk memperoleh persamaan dan
perbedaan di antara undang-undang tersebut.
23Abdulkadir, loc.cit.
21
e. Pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan konseptual
beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang
berkembang di dalam ilmu hukum.
f. Pendekatan fakta (Fact Approach), pendekatan fakta merupakan fakta
yang terjadi di lapangan/kenyataanya di lapangan.24
Bahwa dalam penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-
undangan dan pendekatan fakta. Pendekatan perundang-undangan dilakukan
dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
penelitian ini, kemudian dikaitkan dengan permasalahan yang akan dibahas.
Sedangkan pendekatan fakta dilakukan untuk mengetahui fakta-fakta yang terjadi
di lapangan yang berkaitan dengan permasalahan, dalam hal ini mengenai
jaminan kesehatan pekerja non kontrak.
4. Sumber bahan hukum/data
Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari:
a. Data primer atau data dasar yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber
pertama dilapangan yaitu baik dari responden maupun informan. Data yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini bersumber pada fakta-fakta yang
terjadi dilapangan, terkait dengan jaminan kesehatan pekerja non kontrak. 25
b. Data sekunder (secondary data), yaitu data yang diperoleh peneliti dari
penelitian kepustakaan / library research, yaitu dari berbagai macamsumber
bahan hukum yang dapat diklasifikasikan atas 3 (tiga) jenis meliputi :
24 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, h. 93.
25 Amirudin dan H.Zainal Asikin, op.cit, h. 30.
22
1) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,
berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. Bahan-bahan huku
primer berupa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, Undang-Undang
Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat buruh, Undang-
Undang Nomor. 3 tahun 1992 tentang jaminan sosial pekerja,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang pokok-pokok
pekerja, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 1992
tentang Jaminan sosial pekerja, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 4 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional, Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2011 tentang badan
penyelenggara pekerja.
2) Bahan-bahan hukum sekunder berupa bahan-bahan yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari buku-buku
dan artikel-artikel hasil penelitian dibidang hokum kepekerjaan yang
berkaitan dengan pembahasan diatas.
3) Bahan hukum tersier (tertiary resourse) , berupa bahan-bahan hukum
yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan
hukum primer maupun bahan hukum sekunder seperti kamus
hukum.26
26 Amirudin dan H. Zainal Asikin, op.cit, h. 31.
23
5. Teknik pengumpulan data
1. Teknik Wawancara
Pada penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan, yaitu data
primer diperoleh dengan teknik wawancara (interview). Wawancara (interview)
merupakan suatu cara untuk memperoleh informasi dengan bertanya langsung
pada yang diwawancarai / respoden dan informan, untuk memperoleh data yang
otentik tentang jaminan kesehatan pekerja non kontrak. Data-data yang
dikumpulkan melalui wawancara ini dilakukan dengan tanya jawab secara
sistematis dimana peneliti bertatap muka langsung dengan kepala bidang
kepegawaian Badan Diklat Provinsi Bali sebagai pihak yang berkompetensi untuk
memberikan pernyataan.
2. Teknik Kepustakaan
Untuk mendapatkan data sekunder, teknik yang digunakan, yaitu dengan
studi kepustakaan dengan membaca, menelaah, dan mengklasifikasikan data-data
dari peraturan perundang-undangan serta beberapa literatur yang berkaitan
dengan permasalahan. Data dikelompokan lalu dilakukan dengan mengutip
bagian-bagian penting baik yang berupa kutipan langsung maupun tidak
langsung.27
6. Teknik pengolahan dan analisis data
Setelah data - data yang diperoleh terkumpul, baik data lapangan maupun
data kepustakaan selanjutnya data tersebut diolah dan dianalisis. Pengolahan data
ini disajikan secara deskriptif, yaitu pemaparan secara jelas dan terperinci
27 M. Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT Rajagrafindo Persada,
Jakarta, h. 101.
24
mengenai penelitian terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang
sebenarnya dalam hal ini mengenai jaminan kesehatan pekerja Outsourcing
,Sedangkan untuk menguraikan dan menjelaskan pengertian tentang masalah
hukum yang data-datanya telah terkumpul dilakukan analisis kualitatif. Analisis
kualitatif ditunjukan terhadap data-data yang sifatnya berdasarkan kualitas dan
kemudian disusun secara sistematis guna memperoleh suatu kesimpulan dan
kejelasan dalam pembahasan masalah.