bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah · 2017. 4. 1. · “penerapan sanksi pidana pada...

21
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hukum adalah keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan dengan suatu sanksi dan merupakan suatu bagian dari perangkat kerja sistem sosial. Fungsi sistem sosial inilah untuk mengintergrasikan kepentingan anggota masyarakat, sehingga tercipta suatu keadaan yang tertib, agar fungsi hukum ini dapat terlaksana dengan baik maka bagi para penegak hukum dituntut kemampuannya untuk melaksanakan dan menerapkan hukum dengan baik. 1 Tujuan dari hukum pidana itu sendiri adalah untuk memenuhi rasa keadilan. 2 Hal inilah mengakibatkan bahwa tugas hukum yakni mencapai keserasian antara nilai kepentingan hukum dengan masyarakat. 3 Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, tetapi karena pelanggaran maka hukum harus ditegakkan. 4 Pelanggaran hukum inilah akan menimbulkan lahirnya sanksi pidana yang merupakan suatu akibat hukum dari perbuatan yang dilakukan yakni perbuatan melawan hukum. 5 1 R. Soeroso, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 55. 2 Wirjono Prodjodikoro, 1991, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT Eresco, Jakarta- Bandung, hlm. 16. 3 Ishaq, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 6. 4 Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 37. 5 Ibid, hlm. 16.

Upload: others

Post on 29-Nov-2020

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · “PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hukum adalah keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu

kehidupan bersama yang dapat dipaksakan dengan suatu sanksi dan merupakan

suatu bagian dari perangkat kerja sistem sosial. Fungsi sistem sosial inilah untuk

mengintergrasikan kepentingan anggota masyarakat, sehingga tercipta suatu

keadaan yang tertib, agar fungsi hukum ini dapat terlaksana dengan baik maka

bagi para penegak hukum dituntut kemampuannya untuk melaksanakan dan

menerapkan hukum dengan baik.1 Tujuan dari hukum pidana itu sendiri adalah

untuk memenuhi rasa keadilan.2 Hal inilah mengakibatkan bahwa tugas hukum

yakni mencapai keserasian antara nilai kepentingan hukum dengan masyarakat.3

Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, tetapi karena

pelanggaran maka hukum harus ditegakkan.4 Pelanggaran hukum inilah akan

menimbulkan lahirnya sanksi pidana yang merupakan suatu akibat hukum dari

perbuatan yang dilakukan yakni perbuatan melawan hukum.5

1 R. Soeroso, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 55.

2 Wirjono Prodjodikoro, 1991, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT Eresco, Jakarta-

Bandung, hlm. 16.

3 Ishaq, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 6.

4 Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm.

37.

5 Ibid, hlm. 16.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · “PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI

2

Berbicara mengenai pelanggaran hukum, di Indonesia sampai saat ini masih

belum terlepas dengan segala permasalahan pelanggaran hukum salah satunya

dalam hal pelacuran. Masyarakat dunia dan tidak terkecuali masyarakat di

Indonesia pada dewasa ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat

mengkhawatirkan akibat semakin maraknya praktek pelacuran. Pada dasarnya

masalah sosial dan moral adalah masalah terbesar dari tatanan adat serta perilaku

masyarakat yang masih sangat kental dengan kebudayaan timur. Di kalangan

masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif, dan mereka yang

menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai penyakit

masyarakat. Dengan kata lain penyakit masyarakat yang demikian merupakan

produk sampingan, atau merupakan konsekuensi yang tidak diharapkan dari

sistem sosio kultural zaman sekarang, dan berfungsi sebagai gejala tersendiri.

Kongkritnya banyak anggota masyarakat yang apatis terhadap norma-norma yang

ada dan berlaku dalam kehidupan sosial, salah satunya dengan munculnya

fenomena pelacuran yang semakin lama semakin menjamur. Berdasarkan

pernyataan tersebut, tindak pidana pelacuran dapat mengganggu, merugikan

keselamatan, ketenteraman dan kemakmuran baik jasmani dan rohani maupun

sosial dari kehidupan masyarakat secara umum.

Faktanya pelacuran banyak merugikan menyangkut banyak kehidupan

manusia dan merupakan suatu permasalahan hukum, yang dinilai sebagai suatu

patologi sosial karena dalam pelacuran ini tindakan yang dilakukan seseorang atau

kelompok bersifat melawan kaidah-kaidah kehidupan yang berlaku didalam

masyarakat dan bersifat melawan norma-norma hukum serta melawan hukum.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · “PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI

3

Dunia pelacuran merupakan suatu pelanggaran atau kejahatan yang semakin

hari semakin menunjukan kenaikan jumlah dalam kualitas kejahatan dan gejala ini

akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi, industrialisasi

dan urbanisasi. Pelacuran termasuk dalam salah satu penyakit masyarakat, karena

akibat dari pelacuran banyak terjadinya kemorosotan di bidang pendidikan dan

agama yang mengakibatkan kemerosotan moral, kenakalan anak-anak, dsb,

sehingga norma-norma sosial yang ada dalam masyarakat mengharamkan adanya

tindak pidana pelacuran dalam segala bentuknya. Yang mana Tujuan

pembangunan nasional Indonesia adalah membangun manusia Indonesia

seutuhnya. Pembangunan nasional berdasaskan Pancasila, yakni sila pertama

adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh karena itu sudah selayaknya kalau

perilaku pelacuran itu tidak dapat ditoleransi oleh masyarakat Indonesia. Untuk

mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional tersebut, maka perlu

memperhatikan pembangunan di bidang hukum, yang salah satunya adalah

tentang pelaksanaan hukum pidana. Hukum pidana bagi suatu bangsa merupakan

indikasi yang penting tentang tingkat peradaban bangsa itu, karena di dalamnya

tersirat bagaimana pandangan bangsa tersebut tentang etika (tata susila),

moralitas, sistem masyarakat, dan norma-norma sosial.

Perbuatan pelacuran merupakan suatu perzinahan, Perzinahan adalah setiap

hubungan kelamin antara wanita dan pria di luar perkawinan yang sah. Ketentuan

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan

bahwa

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · “PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI

4

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Diperjelas

pula dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa perkawinan

adalah sah apabila dilakukan menurut huku masing-masing agama dan

kepercayaan”.

Dari ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 tersebut diatas dapat dilihat bahwa

perbuatan pelacuran merupakan suatu perzinahan karena dilakukan diluar dari

perkawinan yang sah antara laki-laki dan wanita oleh salah satu pihaknya

(pelaku), perbuatan ini dilakukan dengan maksud mendapat suatu keuntungan

bagi dirinya atau orang lain atau mendapat imbalan jasa atas perbuatannya.

Pelacuran disini tidak dijadikan suatu perbuatan pidana dalam arti, bahwa

perbuatan pelacurnya sendiri tidak dilarang dan diancam dengan pidana.6 Bahkan

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) tidak

ada satupun pasal yang mengatur secara khusus atau tegas yang melarang praktek-

praktek pelacuran. Ketidak tegasan pemerintah dapat dilihat pada Pasal 296,

Pasal 297, dan Pasal 506 KUHP. Pasal-pasal tersebut dalam KUHP hanya

melarang mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara ilegal,

artinya larangan hanya diberikan untuk muchikari atau germo, sedangkan

pelacurnya sendiri sama sekali tidak ada pasal yang mengaturnya secara khusus.

Adapun ukurannya, perbuatan melawan hukum yang mana yang ditentukan

sebagai perbuatan pidana, hal itu adalah termasuk kebijaksanaan pemerintah, yang

dipengaruhi oleh berbagai faktor. Perbuatan pelacuran ini sendiri sangat

menimbulkan kerugian yang sangat besar dalam masyarakat maka dari hal ini lah

perlunya suatu sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pelacuran. Meskipun

demikian hukum pidana tetap merupakan dasar dari peraturan-peraturan dalam

6 Moeljatno, 1983, Azas-Azas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta, hlm. 3-4.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · “PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI

5

industri seks di Indonesia, karena larangan pemberian layanan seksusal khususnya

terhadap praktek-praktek pelacuran tidak ada dalam hukum negara, maka

peraturan dalam industri seks ini cenderung didasarkan pada peraturan-peraturan

yang dikeluarkan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi, kabupaten, dan

kecamatan, dengan reaksi, aksi dan tekanan berbagai organisasi masyarakat yang

bersifat mendukung dan menentang adanya tindak pidana pelacuran tersebut.

Bali memang kota yang tidak sebesar Jakarta, Bandung, Surabaya ataupun

Yogyakarta, namun statusnya sebagai kota pariwisata menjadikan Bali mendapat

suatu permasalahan sosial seperti pelacuran sebagai suatu masalah yang semakin

kompleks. Di Bali masalah pelacuran sangat bertentangan dengan norma hukum,

norma agama, norma kesopanan, maupun norma kesusilaan. Perkembangan

industri pariwisata yang sangat pesat merupakan salah satu faktor penyebab

adanya pelaku tindak pidana pelacuran, selain itu pula adanya beberapa oknum

pemerintah yang memanfaatkan keadaan dengan mencari keuntungan yang lebih

berusaha untuk memfasilitasi suburnya praktek pelacuran baik yang secara

terselubung maupun yang terang-terangan yang membuat prakter pelacuran itu

sendiri berkembang semakin pesat. Daerah Bali khususnya kota Denpasar telah

melakukan berbagai upaya penanggulangan pelacuran dengan mengeluarkan

Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 1993 tentang Pemberantasan

Pelacuran di Kota Denpasar, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah

Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 (selanjutanya disebut Perda Kota Denpasar No.

2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar) sebagai dasar

hukum untuk menanggulangi pelacuran diwilayah kota Denpasar. Dalam

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · “PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI

6

pelaksanaanya, penanggulangan pelacuran lebih banyak dilakukan dengan

menertibkan dan menangkap perempuan pelacur yang ditangkap oleh aparat

penegak hukum.

Mengenai penanggulangan ini sendiri terhadap pelacur selaku pihak yang

disewa dikenakan sanksi sesuai dengan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000

Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar. Seperti yang kita ketahui

sekarang ini praktek pelacuran telah terang-terangan beroprasi ditengah

masyarakat, bahkan dalam menjalankan bisnisnya para pelaku tindak pidana

pelacuran seolah-olah tidak takut terhadap adanya penindakan dari aparat penegak

hukum, maupun reaksi keras dari masyarakat yang menolak adanya praktek

pelacuran tersebut. Bahkan sanksi pidana yang diberikan juga tidak membuat efek

jera pada para pelaku untuk terus mengulangi kembali perbuatannya, dalam Perda

Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota

Denpasar masih banyak ditemukan permasalahan dalam memberikan sanksi

pidana sehingga membuat tidak jeranya dan membuat para residivis mengulangi

perbuatan yang sama kembali.

Diperlukan suatu keseriusan para penegak hukum dalam menanggulangi,

menertibkan serta memberikan sanksi pidana pada para pelaku tindak pidana

pelacuran karena penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pelacuran di

Kota Denpasar hanya dimungkinkan dengan menggunakan Perda Kota Denpasar

No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar sebagai

suatu dasar hukum untuk menjerat para pelaku.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · “PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI

7

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka kiranya layak untuk

diangkat dalam karangan ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul

“PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA

PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2

TAHUN 2000 DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR”.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka

dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana

pelacuran berdasarkan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 dalam

praktek di Pengadilan Negeri Denpasar ?

2. Bagaimana hambatan dalam penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak

pidana pelacuran dan bagaimana upaya penanggulangannya?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup masalah dalam suatu penelitian ilmiah sangat penting. Untuk

mecegah agar materi yang dibahas tidak menyimpang dari pokok permasalahan,

maka perlu diberikan penegasan dan batasan-batasan mengenai ruang lingkup

masalah akan diurai nanti. Permasalahan yang dikaji diberikan batasan yang

bermaksud menghindari kekaburan dalam mendeskripsikannya. Hal ini bertujuan

untuk memudahkan pencarian, penyusunan data dan akan dijabarkan secara

deskriptif dalam bentuk penulisan ilmiah. Ruang lingkup yang akan dibahas

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · “PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI

8

adalah penerapan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan

Pelacuran di Kota Denpasar dan hal- hal apa saja yang menjadi hambatan bagi

penegak hukum dalam menjatuhkan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana

pelacuran.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan data yang didapat oleh penulis, penulis menemukan adanya

penelitian sejenis dengan penelitian yang penulis lakukan. Indikator pembeda

penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan dengan penelitian penulis

disajikan dengan tabel dibawah ini :

Tabel 1 : Daftar Penelitian Sejenis

No. Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah

1.

Kajian Hukum Pidana

Tentang Pelacuran

Terselubung (Criminal

Law Analysis About

Undercover

Prostitution)

R.P.

MOHAMMAD

FARID

JAUHARI,

Fakultas Hukum

Universitas

Jember, Tahun

2008.

1. Apakah pihak-pihak

yang terlibat dalam

kasus pelacuran bisa

dijerat hukum pidana

indonesia ?

2. Apa yang menjadi

kendala yuridis dalam

penegakan hukum

pidana terhadap

pelacuran

terselubung?

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · “PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI

9

2.

Sanksi Pidana Terhadap

Pelaku Pelacuran

Berdasarkan Kitab

Undang-Undang

Hukum Pidana Dan

Peraturan Daerah Kota

Tegal Nomor 4 Tahun

2006

RACHMAT

PRASETIYO,

Fakultas Hukum

Universitas

Pancasakti Tegal,

Tahun 2010

1. Bagaimana tindak

pidana pelacuran yang

diatur dalam Kitab

Undang-Undang

Hukum Pidana Dan

Peraturan Daerah

Kota Tegal Nomor 4

Tahun 2006?

2. Bagaimana bentuk

pertanggungajawaban

pelaku pelacuran

menurut Peraturan

Daerah Kota Tegal

Nomor 4 Tahun

2006?

Berdasarkan tabel diatas tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk

memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang

pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis

atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah

ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Berdasarkan uraian tersebut maka

penulis menyusun skripsi berjudul “Penerapan Sanksi Pidana Pada Pelaku

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · “PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI

10

Tindak Pidana Pelacuran Berdasarkan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun

2000 Di Pengadilan Negeri Denpasar”.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan suatu hasil.

Demikian pula halnya dengan setiap penulisan karya ilmiah haruslah menunjukan

suatu tujuan yang dapat dipertanggungjawabkan.

a. Tujuan umum

Adapun tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian ini, yaitu untuk

memperoleh pemahaman mengenai penerapan sanksi pidana pada pelaku tindak

pidana pelacuran berdasarkan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 di

Pengadilan Negeri Denpasar.

b. Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak

pidana pelacuran berdasarkan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000

dalam praktek di Pengadilan Negeri Denpasar.

2. Untuk mengetahui hambatan dalam penerapan sanksi pidana bagi pelaku

tindak pidana pelacuran dan upaya penanggulangannya.

1.6 Manfaat Penulisan

Dalam penelitian ini adapun yang menjadi manfaatnya adalah manfaat secara

Teoritis dan Praktis, yaitu sebagai berikut :

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · “PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI

11

a. Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat digunakan untuk menegakkan dan menambah

khasanah ilmu pengetahuan khususnya berkaitan dengan hukum pidana berkaitan

dengan Tindak Pidana Pelacuran.

b. Manfaat Praktis

1. Untuk mendalami dan mempraktekkan teori-teori yang telah diperoleh

penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Dapat memberikan informsi dan pengetahuan kepada masyarakat tentang

penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pelacuran.

3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah,

untuk memperbaharui Peraturan Perundang-undangan yang lebih tegas

lagi dan menjerat bagi pelaku tindak pidana.

1.7 Landasan Teoritis

Perundang-undangan mengenai sanksi pidana dapat dilihat dari Pasal 10

KUHP yang menyebutkan bahwa “Pidana Pokok terdiri atas :

1. Pidana Mati,

2. Pidana Penjara,

3. Pidana Kurungan, Dan

4. Pidana Denda7

Tindak pidana pelacuran merupakan suatu tindak pidana ringan yang mana

perbuatan tersebut banyak meresahkan masyarakat, sehingga aparat penegak

hukum berusaha untuk membrantasnya. Mengenai acara pemeriksaan tindak

7 P.A.F Lamintang dan Theo Lumintang, 2012, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta, hlm. 35.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · “PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI

12

pidana ringan ini sendiri diatur dalam Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), menyebutkan bahwa :

(1) Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara

yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan

dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan

penghinaan kecuali yang ditentukan dalam paragraf 2 bagian ini.

(2) Dalam perkara sebagaimana ayat (1), penyidik atas kuasa penuntut umum,

dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat,

menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli atau juru bahasa ke

sidang pengadilan.

(3) Dalam acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengadilan

mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali

dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta

banding.

Pekerja seks komersial merupakan profesi dengan menjual jasa untuk

memuaskan kebutuhan seksual pelanggan, biasanya pelayanan ini dalam bentuk

menyewakan tubuhnya. Pengertian pelacuran itu sendiri dapat dilihat dari Pasal 1

huruf e Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 tentang Permberantasan

Pelacuran Kota Denpasar menyatakan bahwa “Pelacur adalah seorang laki-laki

maupun perempuan yang melakukan hubungan kelamin dan atau seksual tanpa

ikatan perkawinan yang sah dengan maksud mendapat imbalan jasa baik finansial

maupun material bagi dirinya sendiri atau pihak lain”.

Berkaitan dengan tindak pidana pelacuran dalam hal prostitusi merupakan

suatu bentuk penyimpangan seksual dengan pola-pola organisasi inpuls/ dorongan

seks yang tidak wajar dan tidak terintergrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-

nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang disertai eksploitas dan

komersialisasi seks yang impersional tanpa afeksi sifatnya.8

8 Kartini Kartono, 1997, Pathologi Sosial jilid I, Cv Rajawali, Jakarta, (selanjutnya disingkat

Kartini Kartono I), hlm. 207.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · “PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI

13

Selain itu pula tindak pidana pelacuran memiliki dampak yang ditinjau dari

sudut manapun merupakan suatu kegiatan yang tidak baik (negatif) :

a. Dampak sosiologis, pelacuran merupakan perbuatan amoral yang

bertentangan dengan norma dan etika yang ada didalam masyarakat.

b. Dampak pendidikan, pelacuran merupakan kegiatan yangdemoralisasi

c. Dampak kewanitaan, pelacuran merupakan kegiatan merendahkan martabat

wanita.

d. Dampak ekonomi, pelacuran dalam prakteknya sering terjadi pemerasan

tenaga kerja.

e. Aspek kesehatan, pelacuran merupakan media yang sangat efektif untuk

menularnya penyakit kelamin dan kandungan yang sangat berbahaya.

f. Dampak keamanan dan ketertiban masyarkat, pelacuran dapat menimbulkan

perbuatan-perbuatan kriminal.

Khususnya di Kota Denpasar dalam pemberantasan tindak pidana pelacuran

menggunakan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 tentang Pemberantasan

Pelacuran di Kota Denpasar, yang didalamnya terdapat pasal-pasal yang dijadikan

dasar oleh hakim dalam menjatuhi hukuman terhadap terdakwa yang telah

melanggar aturan. Dimana hakim berusaha untuk memberikan pertimbangan

dalam menjatuhkan putusan agar terdakwa jera dan tidak mengulangi lagi

perbuatannya sebagai pekerja seks komersial.

Jika dilihat dari asas hukum, dalam mengambil keputusannya hakim

menggunakan asas legalitas yakni asas yang menentukan perbuatan bahwa tidak

ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · “PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI

14

terlebih dahulu dalam perundang-undangan yang mengaturnya biasa disebut

“Nullum Delictum Nulla Poena Sine Previa Lege” (tidak ada pidana tanpa

peraturan lebih dahulu).9 Serta dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak

pidana pelacuran, hakim memiliki pertimbangan berdasarkan alasan yuridis yakni

berpedoman pada Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang

Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar

Kaitannya dengan keefektifan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000

tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar, secara etimologi kata

efektivitas berasal dari kata efektif dalam bahasa inggris “effective” yang telah

mengintervensi kedalam bahasa Indonesia dan memiliki makna “berhasil” dalam

bahasa Belanda “effectief” memiliki makna “berhasil guna”, sedangkan

efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasil-gunaan

hukum, dalam hal ini berkaitan dengan keberhasilan pelaksanaan hukum itu

sendiri. L.J Van Apeldoorn, menyatakan bahwa efektifitas hukum berarti

keberhasilan, kemajemukan hukum atau Undang-Undang untuk mengatur

pergaulan hidup masyarakat secara damai.10

Secara terminologi pakar hukum dan

sosiologi hukum memberikan pendekatan tentang makna efektivitas sebuah

hukum beragam, bergantung pada sudut pandang masing-masing. Soerjono

Soekanto berbicara mengenai efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh

taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak

9. Moeljatno, Op.cit, hlm. 23.

10

Van Apeldoorn, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan Ke 30,

hlm. 11.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · “PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI

15

hukumnya.11

Efektivitas hukum dilain pihak juga dipandang sebagai tercapainya

tujuan hukum. Menurut Soerjono Soekanto, dalam ilmu sosial antara lain dalam

sosiologi hukum, masalah kepatutan atau ketaatan hukum atau kepatuhan terhadap

kaidah-kaidah hukum pada umumnya telah menjadi faktor yang pokok dalam

menakar efektif tidaknya sesuatu yang ditetapkan dalam hal ini hukum.12

Efektifitas suatu peraturan harus terintegrasinya ketiga elemen hukum baik

penegak hukum, substansi hukum dan budaya hukum masyarakat, sehingga tidak

terjadi ketimpangan antara das solen dan das sein. Hal ini sesuai dengan pendapat

Lawrence M. Friedman yang mengemukakan bahwa dalam sistem hukum terdapat

tiga unsur yaitu struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.13

Struktur hukum merupakan suatu wadah, kerangka maupun bentuk sistem

hukum, yakni susunan dari pada unsur-unsur sistem hukum yang bersangkutan.

Substansi hukum mencakup norma-norma atau kaidah-kaidah mengenai patokan

perilaku yang pantas dan prosesnya. Budaya hukum mencakup segala macam

gagasan, sikap, kepercayaan, harapan maupun pendapat-pendapat (pandangan-

pandangan) mengenai hukum.14

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut

Soerjono Soekanto, antara lain :

11 Soerjono Soekanto, 1996, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Bandung, (selanjutnya

disingkat Soerjono Soekanto I), hlm. 62.

12

Ibid, hlm. 20.

13

Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial

Prudence) : Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legis Prudence) Volume I Pemahaman

Awal, Kencana, Jakarta, hlm. 225.

14

Soerjono Soekanto, 2010, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,

(selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II), hlm. 41.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · “PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI

16

1. Faktor hukumnya sendiri, yakni didalam tulisan ini akan dibatasi Undang-

Unsang saja;

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan;

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan

pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.15

Substansi hukum itu adalah Peraturan Perundang-Undangan, Struktur Hukum

itu sering disebut penegak hukum, budaya hukum itu sangat luas, dapat dipahami

budaya hukum itu adalah kepatuhan masyarakat.

Kebudayaan (Culture) berarti keseluruhan dan hasil manusia hidup

bermasyarakat berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota

masyarakat yang merupakan kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,

adat kebiasaan, pengertian ini pertama kali dikemukakan oleh E.B Tylor dalam

bukunya Primitive Culture di New York.

Jadi dari pengertian itu, kebudayaan lebih dari kesenian, melainkan ada

kepandaian, hukum, moral, dan termasuk kepercayaan, itu menunjukan budaya

bukan seni.

1.8 Metode Penelitian

A. Jenis Penelitian

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan laporan ini adalah

pendekatan yuridis empiris yaitu dengan mengkaji permasalahan berdasarkan

peraturan hukum dan undang-undang yang berlaku dan mengkaitkan dengan

15 Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja

Grafindo, Jakarta, ((selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto III), hlm. 5.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · “PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI

17

pelaksanaannya dilapangan. Penelitian ini direalisasikan terhadap efektivitas

hukum atau peraturan yang sedang berlaku ataupun penelitian terhadap

identifikasi hukum.16

Dengan demikian tidak hanya sebatas mempelajari pasal-

pasal perundangan dan pendapat para ahli untuk kemudian diuraikan, tetapi juga

menggunakan bahan-bahan yang sifatnya normatif tersebut dalam rangka

mengolah dan menganalisis data-data dari lapangan yang disajikan sebagai

pembahasan.

B. Jenis Pendekatan

Pembahasan dalam penelitian ini akan dikaji dengan pendekan perundang-

undangan (the statue approach), dilakukan dengan menelaah peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu Peraturan Daerah

Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 1993 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota

Denpasar, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Denpasar

Nomor 2 tahun 2000, kemudian dikaitkan dengan permasalahan yang akan

dibahas, pendekatan fakta (the fact approach), dalam hal ini penulis juga melihat

fakta-fakta yang ada dilapangan Pengadilan Negeri Denpasar serta Dinas Trantib

dan Satpol PP Pemerintah Kota Denpasar berkaitan dengan penerapan sanksi

pidana tindak pidana pelacuran, dan pendekatan analisis (analitycal and

conseptual approach) yaitu penelitian terhadap konsep-konsep hukum, seperti

sumber hukum, fungsi hukum, lembaga hukum dan sebagainya.

16 Suratman dan Philips Dillah, 2013, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung, hlm. 53.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · “PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI

18

C. Sifat penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif.

Penelitian ini bersifat deskriptif karena penelitian ini dimaksudkan untuk

memberikan data seteliti mungkin mengenai penerapan sanksi pidana terhadap

pelaku tindak pidana pelacuran menurut Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 7

Tahun 1993 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar, sebagaimana

telah diubah dengan Perda No. 2 Tahun 2000 dan yang menjadi hambatan dalam

upaya menjatuhkan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pelacuran. Selain itu,

bersifat kualitatif karena memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum

yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan

manusia atau kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh

gambaran mengenai pola-pola yang berlaku. Sehingga dapat diperoleh data

kualitatif yang merupakan sumber dari deskripsi yang luas, serta memuat

penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup pikiran orang-orang

setempat dan memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat.

D. Data

Dalam penulisan skripsi ini digunakan data yaitu :

a. Data Primer

Data primer yaitu suatu data yang diperoleh langsung bersumber dari

lapangan, dengan menggunakan teknik wawancara terbuka kepada para informan

dan responden. Dalam hal ini penelitian akan dilakukan di wilayah Pengadilan

Negeri Denpasar serta Dinas Trantib dan Satpol PP Pemerintah Kota Denpasar.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · “PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI

19

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data-data yang diperoleh melalui studi kepustakaan

yaitu penelaahan terhadap Peraturan Perundang-Undangan terkait, serta buku-

buku litrature sebagai bahan bacaan. Studi kepustakaan ini menelaah bahan-bahan

hukum yang pokok yaitu undang-undang dalam arti materil dan formil, hukum

kebiasaan dan hukum adat yang tercatat, yurisprudensi, traktat dan doktrin. Dalam

hal ini Peraturan Perundang-Undangan yakni Peraturan Daerah Kota Denpasar

No. 7 Tahun 1993 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar,

sebagaimana telah diubah dengan Perda Kota Denpasar No. 2 tahun 2000.

Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji menyatakan bahwa dalam suatu

penelitian ini mengandalkan pada penggunaan bahan hukum primer (bahan

hukum yang mengikat), bahan hukum sekunder (yang memberi penjelasan

mengenai bahan hukum primer), dan bahan hukum tertier (bahan hukum yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder).17

E. Teknik Pengumpulan Data

Adapun cara yang digunakan dalam hal tehnik pengumpulan data untuk

mengkaji permasalahan dalam penelitian ini dengan cara :

a. Teknik studi kepustakaan yaitu dengan cara mengumpulkan, membaca,

mencatat, dan menelaah, mengkaji dan menganalisa dari peraturan

17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1998, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Rajawali, Jakarta, hlm. 39.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · “PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI

20

perundang-undangan, hasil penelitian hukum, dan buku-buku yang memiliki

relevansi dengan permasalahan yang ada. Keseluruhan data kepustakaan

tersebut dibuat dalam bentuk card system.

b. Teknik Wawancara, merupakan proses interaksi dan komunikasi serta cara

memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada narasumber yang akan

diwawancarai. Tehnik yang dilakukan bukan hanya bertanya pada seorang

melainkan dilakukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang secara terbuka

untuk memeperoleh informasi yang relevan dengan masalah penelitian.

c. Teknik Observasi yakni suatu pengamatan yang dilakukan untuk tujuan

penelitian yang dilakukan serta dilakukan secara sistematis melalui

perencanaan yang matang. Pengamatan dimungkinkan berfokus pada

fenomena sosial ataupun perilaku-perilaku sosial. Pengamatan merupakan

salah satu metode pengumpulan data pada penelitian hukum empiris/

sosiologis.18

Pengamatan ini dilakukan di Pengadilan Negeri Denpasar

dengan melihat atau mengamati sidang tindak pidana pelacuran secara

langsung.

F. Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Dalam penelitian ini, teknik penentuan sampel yang dipergunakan adalah

teknik non-probability sampling. Teknik ini digunakan agar diperoleh subyek-

subyek yang ditunjuk sesuai dengan tujuan penelitian, dimana semua populasi

mempunya kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk ditetapkan menjadi

18 Suratman dan Philips Dillah, Op.cit, hlm. 135.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · “PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI

21

sampel. Teknik pengumpulan sampel dengan teknik non- probabilitas yang

digunakan menekankan pada bentuk Purposive Sampling yaitu penarikan sampel

dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri

oleh si peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan

pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kreteria dan sifat-sifat atau

karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya.

Sampel yang dipergunakan peneliti dalam penelitian skripsi ini diambil dari

Pengadilan Negeri Denpasar serta Dinas Trantib dan Satpol PP Pemerintah Kota

Denpasar yang dapat mewakili keadaan yang sebenarnya.

G. Teknik Analisis Data

Setelah keseluruhan data yang diperoleh dikumpulkan secara lengkap baik

melalui studi kepustakaan, wawancara, ataupun dengan observasi kemudian

ditelaah dan dianalisa secara kualitatif yaitu dengan menghubungkan antara data

yang ada yang berkaitan dengan pembahasan dan selanjutnya disajikan secara

deskriptif yang menggambarkan secara menyeluruh serta mendetail aspek-aspek

yang berkaitan dengan masalah dan kemudian dianalisa untuk mendapatkan

kebenaran, dengan teori yang terdapat pada buku-buku literatur dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, guna mendapatkan kesimpulan sebagai akhir

dari penulisan skripsi ini.