bab i pendahuluan 1.1 latar belakang keragaman curah hujan
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keragaman curah hujan (rainfall variability) menurut ruang (spatial) dan
waktu (temporal) menyebabkan jumlah, waktu dan penyebaran curah hujan
berbeda antar wilayah dan antar waktu. Keragaman ini sering kali sulit diprediksi
dan diantisipasi akibat dinamika atmosfer, sehingga selalu terjadi ketidaksesuaian
antara yang diperlukan dan yang tersedia. Pada musim kemarau, pasokan air
sangat terbatas, sementara kebutuhannya relatif tetap, sehingga pasokan air untuk
pertanian menjadi terbatas. Pada musim kering dapat menyebabkan terjadinya
kegagalan usaha pertanian, perkebunan, peternakan dan lainnya, sementara
kondisi sebaliknya pada musim hujan terjadi kelebihan air dan ketika sungai-
sungai maupun saluran lainnya tidak mampu mengalirkan air maka terjadilah
banjir.
Menurut laporan Kajian Kebijakan Penanggulangan Banjir pada Deputi
Bidang Sarana dan Prasarana tahun 2010 yang dilakukan oleh Direktorat
Pengairan dan Irigasi dinyatakan bahwa di seluruh Indonesia tercatat 5.590 sungai
induk dan 600 diantaranya berpotensi menimbulkan banjir. Daerah rawan banjir
yang dicakup oleh sungai-sungai induk ini mencapai 1,4 juta hektar. Menurut
suripin (2008) dinyatakan bahwa banjir yang terjadi di daerah-daerah rawan pada
dasarnya disebabkan oleh kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya
Universitas Sumatera Utara
perubahan tata guna lahan dan berdampak pada perubahan alam. Penyebab
lainnya adalah peristiwa alam seperti curah hujan yang sangat tinggi, kenaikan
permukaan air laut, badai, dan sebagainya. Disamping itu banjir juga dapat terjadi
akibat dari degradasi lingkungan seperti hilangnya tumbuhan penutup tanah pada
catchment area, pendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur
sungai dan sebagainya. Lebih lanjut dilaporkan oleh Deputi Bidang Sarana dan
Prasarana Direktorat Pengairan dan Irigasi bahwa hampir seluruh kegiatan
penanganan masalah banjir yang dilakukan pemerintah melalui berbagai proyek
pembangunan dengan lebih mengandalkan pada upaya yang bersifat fisik atau
struktur (structural approach). Berbagai upaya struktural (infrastruktur) yang
telah dilakukan pada umumnya masih sangat kurang memadai bila dibandingkan
dengan laju peningkatan masalah. Masyarakat baik yang secara langsung
menderita masalah maupun yang tidak langsung menyebabkan terjadinya masalah
masih kurang berperan baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan operasi
serta pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana fisik pengendali banjir maupun
terhadap upaya-upaya nonfisik. Hal ini kemungkinan besar disebabkan adanya
berbagai kendala yang ada dimasyarakat antara lain menyangkut kondisi sosial
ekonomi serta belum adanya kesamaan pemahaman terhadap upaya mengatasi
masalah banjir.
Masalah banjir berdampak sangat luas terhadap berbagai aspek kehidupan
masyarakat, oleh sebab itu upaya untuk mengatasinya harus merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari berbagai kegiatan pembangunan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perubahan lingkungan yang terjadi
Universitas Sumatera Utara
sebagai dampak dari berbagai kegiatan manusia termasuk perubahan iklim
berkenaan dengan pemanasan global, berpengaruh sangat signifikan terhadap
upaya mengatasi masalah banjir, antara lain dengan terjadinya kenaikan muka air
laut dan peningkatan frekuensi curah hujan yang tinggi.
Pembangunan fisik baik di perkotaan maupun di perdesaan dengan
membudidayakan kawasan yang berupa dataran banjir yang rawan tergenang
banjir masih terus berlangsung, demikian pula perusakan lingkungan di daerah
aliran sungai (DAS), sehingga masalah banjir masih terus meningkat dari waktu
ke waktu. Sehubungan dengan hal tersebut maka upaya mengatasinya perlu lebih
ditingkatkan. Untuk itu diperlukan penyempurnaan atau bahkan perubahan
paradigma, kebijakan, strategi dan kegiatan penanganan masalah banjir ke depan
baik yang menyangkut aspek-aspek teknis maupun nonteknis. Secara visual
genangan dapat terjadi sebagai akibat luapan air dari sungai, akibat hujan
setempat yang kurang lancar masuk ke saluran drainase atau ke sungai sehingga
menimbulkan genangan. Ada kalanya genangan akibat air laut masuk ke daratan
pada saat air pasang yang lazim disebut rob atau gabungan dari keduanya maupun
ketiganya.
Banjir merupakan fenomena alam berupa kelebihan air yang menjadi
limpasan permukaan akibat sungai maupun saluran-saluran yang ada (drainase)
tidak mampu lagi mengalirkan air yang berlebihan tersebut. Selain itu bentuk
sungai yang berliku-liku (meander) juga menyebabkan kecepatan aliran relatif
rendah untuk mengalirkan air yang berlebih sehingga menimbulkan genangan di
kiri kanan sungai. Dari aspek tataguna lahan juga dapat berpengaruh sebagai
Universitas Sumatera Utara
pemicu terjadinya banjir di mana.perubahan atau alih fungsi lahan sebagian hutan
menjadi lahan pertanian, pemukiman atau lainya sesuai kebutuhan pembangunan
daerah mengakibatkan luas daerah resapan air menjadi berkurang sehingga
penyerapan air hujan ke dalam tanah menjadi kecil dan sebaliknya limpasan
permukaan menjadi lebih besar. Intensitas hujan yang tinggi sebagai penyebab
banjir merupakan fenomena alam yang datangnya tidak dapat dihindari sebab hal
ini merupakan gejala alam yang berusaha membuat perimbangan akibat perlakuan
manusia terhadap alam, namun manusia dapat membuat perlakuan teknis terhadap
alam untuk dapat mengendalikan kelebihan air tersebut sehingga mengurangi atau
mengiliminir dampaknya sekecil mungkin dan tidak menimbulkan korban baik
harta maupun nyawa manusia. Akibat tingginya intensitas hujan maka terjadi
limpasan permukaan sehingga ada korelasi antara hujan dan limpasan (kelebihan
air yang dapat menyebabkan banjir) merupakan dua fenomena yang tidak dapat
dipisahkan yang saling terkait satu sama lainnya (Soemarto, 1993).
Hujan merupakan fenomena alam yang tidak dapat diketahui secara pasti
namun dapat dilakukan perkiraan-perkiran berdasarkan data-data hujan terdahulu.
Semakin banyak data hujan maka akan semakin mendekati akurasi perkiraan-
perkiran yang akan dilakukan (Subarkah, 1980). Dalam suatu perencanaan,
kebutuhan akan data yang akurat tidak dapat dihindari sebab jika data yang ada
tidak akurat niscaya hasil dari perencanaanpun tidak seperti yang diharapkan.
Sebagaimana diketahui bahwa ketersediaan data di Indonesia sangat minim dan
tingkat akurasinya juga rendah.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Rencana Aksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Pusat tahun 2010 bahwa ditinjau dari karakteristik geografis dan geologis
wilayah Indonesia adalah salah satu kawasan rawan bencana banjir. Sekitar 30%
dari 600 sungai yang ada di Indonesia melintasi wilayah padat penduduk. Kondisi
penduduk sebagian adalah miskin dan tinggal di daerah rawan banjir. Pada
umumnya bencana banjir tersebut terjadi di wilayah Indonesia bagian barat yang
menerima curah hujan lebih tinggi dibandingkan dengan di bagian Timur.
Berdasarkan kondisi morfologis, penyebab banjir adalah karena relief
bentang alam Indonesia yang sangat bervariasi dan banyaknya sungai yang
mengalir diantaranya. Daerah rawan banjir tersebut diperburuk dengan
penggundulan hutan atau perubahan tata-guna lahan yang tidak memperhatikan
daerah resapan air. Perubahan tataguna lahan yang kemudian berakibat
menimbulkan bencana banjir, dapat dibuktikan antara lain di daerah perkotaan
sepanjang pantai terutama yang dialiri oleh sungai. Penebangan hutan secara tidak
terkontrol juga menyebabkan peningkatan aliran permukaan (run off), sehingga
dapat menimbukan banjir bandang dan kerusakan lingkungan di daerah satuan
wilayah sungai.
Berdasarkan Pedoman Penanggulangan Bencana Banjir (2008), dinyatakan
bahwa dampak bencana banjir akan terjadi pada beberapa aspek dengan tingkat
kerusakan berat, Aspek-aspek tersebut meliputi:
1. Aspek penduduk, antara lain berupa korban jiwa/meninggal, hanyut,
tenggelam, luka-luka, korban hilang, pengungsian, berjangkitnya wabah
dan penduduk terisolasi, sekolah terpaksa diliburkan
Universitas Sumatera Utara
2. Aspek pemerintahan, antara lain berupa kerusakan atau hilangnya
dokumen, arsip, peralatan dan perlengkapan kantor dan terganggunya
pelayanan masyarakat.
3. Aspek ekonomi, antara lain berupa hilangnya mata pencaharian, tidak
berfungsinya pasar tradisional, kerusakan atau hilangnya harta benda,
ternak dan terganggunya perekonomian masyarakat.
4. Aspek sarana/prasarana, antara lain berupa kerusakan rumah penduduk,
jembatan, jalan, bangunan gedung perkantoran, fasilitas sosial dan fasilitas
umum, instalasi listrik, air minum dan jaringan komunikasi.
5. Aspek lingkungan, antara lain berupa kerusakan eko sistem, obyek wisata,
persawahan/lahan pertanian, sumber air bersih dan kerusakan
tanggul/jaringan irigasi.
Dari sisi lain kebutuhan air bagi sumber kehidupan manusia merupakan
dilema di mana pada waktu tertentu terjadi kekurangan air sehingga fenomena ini
berbanding terbalik dengan kondisi banjir, untuk itu perlu dilakukan pengelolaan
sumber daya air demi menjamin ketersediaan dan kelestarian sumber daya air.
Terkait dengan pembangunan sumber daya air di daerah, beberapa faktor yang
mempengaruhi:
1. Kondisi daerah setempat, setiap daerah memiliki karakteristik yang
berbeda-beda, baik kondisi geografis, geologis, demografis, dan sosial
budaya. Hal tersebut sangat mempengaruhi pembangunan sumber daya air
di daerah tersebut. Daerah dengan kondisi alam yang menjamin
Universitas Sumatera Utara
ketersediaan air bagi masyarakatnya akan lebih memprioritaskan
pembangunan di bidang lain dari pada pembangunan sumber daya air.
Kondisi sosial masyarakat juga sangat menentukan khususnya dalam
memberikan dukungan dan partisipasi pada pengelolaan dan pembangunan
sumber daya air.
2. Kapasitas dan peran dari lembaga pengelola sumber daya air di daerah
merupakan faktor penting dalam pengelolaan sumber daya air di daerah,
terutama dalam melakukan perencanaan maupun koordinasi dalam
melaksanakan program-program yang telah ditetapkan, serta evaluasi dan
monitoring.
3. Ketersediaan dan keterbatasan sumber dana sering menjadi hambatan bagi
daerah dalam melaksanakan program-program pembangunannya. Untuk
itu perlu ada terobosan-terobosan baru dalam penyediaan dana
pembangunan sumber daya air.
Perencanaan wilayah melalui pembangunan infrastruktur yang berfungsi
untuk pengendalian banjir tidak hanya dikaitkan dengan satu wilayah saja
melainkan berkaitan erat dengan wilayah lainnya karena biasanya sungai-sungai
besar sering melintasi beberapa wilayah administrasi. Pengendalian banjir sangat
diperlukan khususnya untuk melindungi daerah-daerah permukiman dan pertanian
agar aktivitas perekonomian dapat tetap berjalan dan produksi pertanian dapat
mencapai target yang ditetapkan. Berdasarkan hasil pemetaan resiko bencana
banjir yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Universitas Sumatera Utara
Pusat (2010), dinyatakan bahwa kabupaten Aceh Utara merupakan wilayah yang
mempunyai tingkat resiko bencana banjir yang tinggi dibandingkan kabupaten
lainnya di propinsi Aceh. Wilayah rawan bencana banjir umumnya terjadi pada
daerah pesisir seperti diperlihatkan pada Gambar 1.1.
Pemetaan ini merupakan kondisi faktual di lapangan di mana pada setiap
tahunnya kabupaten Aceh Utara selalu dilanda banjir bahkan yang lebih
memprihatinkan lagi banjir terjadi hampir pada setiap kejadian hujan yang
berdampak sangat luas terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat oleh sebab
itu upaya untuk mengatasinya harus merupakan komponen atau bagian dari
kegiatan pembangunan daerah. Masalah tersebut mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun dan sudah menjadi agenda rutin yang harus dihadapi setiap
tahunnya. Peningkatan masalah terutama disebakan oleh pembudidayaan dataran
banjir yang kurang adaptif terhadap kejadian banjir, serta dipacu oleh terjadinya
kerusakan lingkungan akibat pertumbuhan jumlah penduduk, pertumbuhan
ekonomi dan juga terjadinya perubahan iklim, dilain pihak upaya untuk mengatasi
masalah tersebut yang telah dilaksanakan masih jauh tertinggal dibanding dengan
laju pertumbuhan masalah. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
11A/PRT/M/2006 pada lampiran IV dinyatakan bahwa sungai Krueng Keureto
berada pada wilayah sungai lintas kabupaten yaitu “Satuan Wilayah Sungai Pase-
Peusangan” yang terdiri dari sungai Krueng Pase di kabupaten Aceh Utara, sungai
Krueng Peusangan di kabupaten Bireuen, sungai Krueng Peudada di kabupaten
Bireuen, sungai Krueng Keureuto di kabupaten Aceh Utara, sungai Krueng Mane
di kabupaten Bireuen dan sungai Krueng Geukeuh di kota Lhokseumawe
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1.1 Peta Indeks Resiko Bencana Banjir
Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Pusat (2010)
Universitas Sumatera Utara
Sungai Krueng Keureuto merupakan salah satu sungai yang melalui kota
Lhoksukon pada kondisi terkini tidak mampu menampung limpasan yang terjadi
di daerah aliran sungai (DAS) sehingga setiap tahunnya terjadi banjir yang
menimbulkan kerugian besar terutama bagi masyarakat sekitar (Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Aceh Utara, 2011). Kota Lhoksukon yang
ditetapkan menjadi ibukota kabupaten Aceh Utara melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 2003 dipersiapkan sebagai kawasan pertumbuhan dan
perkembangan pusat pemerintahan kabupaten Aceh Utara serta sebagai pusat
pereokomian yang diperkirakan akan berkembang pesat di mana jumlah
penduduknya juga akan bertambah secara signifikan. Kabupaten Aceh Utara
mempunyai luas wilayah sebesar 329.686 Km2 terdiri dari 27 kecamatan 852 desa
merupakan wilayah rawan banjir. Menurut Rayakonsult (1992), DAS Sungai
Krueng Keureuto luasnya sebesar 931 km2 mempunyai anak sungai terdiri dari
sungai Krueng Peuto dan sungai Krueng Pirak terletak di kabupaten Aceh Utara.
Sungai Krueng Keureuto mengalir dari arah selatan ke utara menuju Selat Malaka
dengan panjang sungai 77,5 km dan lebarnya 60 m serta kemiringan rata-rata (S)
0,02627. Selama ini sungai Krueng Keureuto menimbulkan bencana banjir hampir
di seluruh daerah pengalirannya khususnya pada curah hujan yang tinggi karena
daerah pengaliran sungai krueng Keureto merupakan dataran banjir di wilayah
pesisir pantai utara. Frekwensi banjir yang berakibat buruk bagi masyarakat
terutama terjadi di kecamatan Matangkuli yang terdiri dari 49 desa, kecamatan
Lhoksukon yang terdiri dari 75 desa, kecamatan Baktiya terdiri dari 57 desa,
kecamatan Tanah Pasir terdiri dari 18 desa, dan kecamatan Baktiya Barat terdiri
Universitas Sumatera Utara
dari 26 desa. Lama genangan akibat banjir berkisar 7 hari sampai 15 hari dengan
tinggi genangan 60 cm sampai 100 cm. Menurut laporan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Aceh Utara (2011), dinyatakan bahwa besarnya tingkat
kerugian yang diderita masyarakat secara ekonomi dapat mencapai Rp 60 milar
sampai Rp. 70 miliar per tahun.
Perubahan kondisi hidrologi kawasan di daerah aliran sungai Krueng
Keureuto menyebabkan terjadinya intensitas hujan yang tinggi. Perubahan ini
akibat terjadinya penebangan hutan secara tidak terkendali dan penggunaan lahan
yang tidak pada peruntukannya diduga merupakan salah satu aspek penyebab
terjadinya limpasan permukaan yang besar sehingga terjadi banjir. Disamping itu
perencanaan tata ruang wilayah (RTRW) yang dilakukan oleh pemerintah daerah
yang masih simpang siur dan belum adanya Qanun (Perda) sebagai dasar hukum
pengaturan penggunaan lahan, sehingga perubahan tataguna lahan yang tidak
terencana juga diduga merupakan penyumbang penyebab terjadinya banjir.
Seyogyanya dengan dinyatakannya Kota Lhoksukon sebagai ibukota kabupaten
Aceh Utara harusnya sudah dipersiapkan perencanaan sistem drainase kota yang
memenuhi standar agar dapat mengalirkan air hujan ke laut sehingga banjir dapat
dieliminir, namun kenyataannya sistem drainase yang ada belum tertata dengan
baik. Kondisi tataguna lahan (land use) kabupaten Aceh Utara pada saat ini
berdasarkan laporan dari Bappeda pada Aceh Utara Dalam Angka Tahun 2011
dinyatakan bahwa kondisi lahan terdiri dari sawah 40.905 Ha (12,41%),
pekarangan/bangunan 34.848 Ha (10,57%), tegalan/kebun 37.702 Ha (11,44%),
ladang/huma 21.155 Ha (6,42%), padang rumput 4.497 Ha (1,36%), Lahan yang
Universitas Sumatera Utara
tidak diusahakan 10.395 Ha (3,15%), hutan rakyat 36.552 Ha, hutan negara
46.394 Ha (14,07%), perkebunan 54,764 Ha (16,61%), lahan lain-lain 28.689 Ha
(8,70%), tambak 8.591 Ha (2,61%), kolam/tebat/empang 639 Ha (0,19%), dan
rawa-rawa 4.555 Ha (1,38%). Kondisi tataguna lahan di kabupeten Aceh utara
tahun 2010 seperti diperlihatkan pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Tataguna lahan kabupaten Aceh Utara tahun 2010
No Tataguna Lahan (Land Use) 2010 1. Sawah 40.905 2. Pekarangan/Bangunan 34.848 3. Tegalan/Kebun 37.702 4. Ladang/Huma 21.155 5. Padang Rumput 4.497 6. Tidak diusahakan 10.395 7. Hutan Rakyat 36.552 8. Hutan Negara 46.394 9. Perkebunan 54.764
10. Lain - lain 28.689 11. Tambak 8.591 12. Kolam/Tebat/Empang 639 13. Rawa-rawa 4.555
Jumlah/Total 329.686 Sumber: Aceh Utara Dalam Angka (2011)
Besarnya debit kawasan dipengaruhi oleh tataguna lahan melalui variabel
koefisien pengaliran di mana debit banjir dipengaruhi oleh koefisien pengaliran,
intensitas hujan dan luas daerah pengaliran (Chow et al, 1988). Koefisien
pengaliran tergantung dari jenis tataguna lahan atau peruntukan lahan yang
berpengaruh terhadap peresapan air ke dalam tanah khususnya lahan hutan
sebagai penyangga air. Kondisi tataguna lahan di Aceh Utara terjadi perubahan
dari tahun ke tahun seperti diperlihatkan Tabel T.1 pada lampiran, hal ini
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan bahwa debit banjir juga akan terjadi perubahan sesuai dengan
penggunaan lahan. Pada penelitian ini ingin menelusuri dan menjawab besarnya
pengaruh perubahan tataguna lahan terhadap debit kawasan yang dapat
menyebabkan terjadinya limpasan permukaan yang akan menjadi bencana banjir
di Aceh Utara.
Partisipasi masyarakat dalam pembiayaan kegiatan operasi dan
pemeliharaan dalam pelaksanaan program pengendalian banjir dapat teratasi
apabila pelaksanaan program pengendalian banjir dapat berjalan secara maksimal
maka akan didapat manfaat atau dampak terhadap pertumbuhan ekonomi (Yudho,
2002). Pada penelitian ini ingin menelusuri dan menjawab besarnya pengaruh
partisipasi masyarakat terhadap debit kawasan yang dapat menyebabkan
terjadinya limpasan permukaan yang akan menjadi bencana banjir di Aceh Utara.
Selain itu juga ingin diketahui seberapa besar pengaruh hubungan perubahan
tataguna lahan dan partisipasi masyarakat terhadap banjir di Aceh Utara.
Pasca bencana tsunami di Provinsi Aceh, berbagai bantuan datang dari
dalam dan luar negeri dan para donatur menyalurkan dananya melalui NGO (Non
Government Organization) dalam bentuk bantuan secara komunitas maupun
perorangan khususnya bantuan langsung membuat masyarakat menjadi manja dan
malas sehingga terjadi perubahan budaya yang berakibat kepada masyarakat
menjadi kurang peduli terhadap nilai kegotongroyongan serta aspek lainnya yang
diperlukan untuk menjaga lingkungan. Disamping itu volume sampah rumah
tangga dan sejumlah pusat pasar yang ada di Aceh Utara mencapai 250 ton/hari.
Tingginya produksi sampah itu membuat penanganan kebersihan di daerah ini
Universitas Sumatera Utara
belum maksimal. Menurut Dinas Kebersihan Pasar dan Pertamanan Aceh Utara,
kurang lebih 5 ton/hari dibuang ke sungai dan saluran, hal ini menunjukkan
bahwa rendahnya partisipasi masyarakat dalam menjaga kebersihan sungai dan
saluran drainase sehingga menyebabkan penyempitan aliran dan pada saat
terjadinya hujan air meluap dari sungai dan saluran secara berlebihan. Masalah
banjir dapat dipastikan selalu muncul pada setiap tahun dan selalu menjadi pusat
perhatian masyarakat, namun demikian beberapa istilah, pengertian dan
pemahaman yang menyangkut banjir, masalah banjir dan upaya untuk
mengatasinya yang telah populer dan beredar luas di masyarakat, media masa,
maupun di lingkungan aparatur pemerintah sendiri sampai saat ini tampaknya
masih rancu. Kerancuan dan ketidak seragaman pengertian dan pemahaman
terhadap masalah ini berdampak kurang kondusif terhadap upaya mengatasi
masalah banjir. Dampak tersebut antara lain dapat berupa kesalahan dalam
menetapkan kebijakan, strategi dan upaya yang dilakukan, serta kurangnya
kepedulian dan peran serta masyarakat dalam mengatasi masalah banjir. Sebagian
besar masyarakat pada saat ini masih beranggapan bahwa upaya mengatasi
masalah banjir adalah merupakan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah
sepenuhnya, demikian pula dengan adanya pemahaman yang tidak tepat terhadap
kinerja sistem pengendali banjir, yang menganggap bahwa begitu sistem
pengendali banjir selesai dibangun maka masalah banjir pasti atau harus hilang
dan apabila ternyata masih terjadi maka dianggap ada sesuatu yang tidak beres.
Rendahnya partisipasi masyarakat juga disebabkan kurangnya kesempatan yang
Universitas Sumatera Utara
diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat baik secara kelembagaan apalagi
secara individual.
Pada tahun 2011 menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Aceh Utara jumlah kejadian bencana sangat tinggi di setiap kecamatan.
Kejadian yang sangat dominan adalah kejadian pada dataran rendah seperti pada
kecamatan Seuneudon 1 kali kejadian, kecamatan baktiya 3 kali kejadian,
kecamatan Lhoksukon 4 kali kejadian, kecamatan Matangkuli 4 kali kejadian,
kecamatan Pirak Timu 1 kali kejadian, kecamatan Paya Bakong 1 kali kejadian,
kecamatan Tanah Luas 1 kali kejadian, kecamatan Tanah Pasir 3 kali kejadian,
kecamatan Simpang Keramat 1 kali kejadian. Jumlah kejadian banjir yang
dominan terjadi pada kecamatan Baktiya, Lhoksukon, Matang Kuli, Tanah Pasir
dan Baktiya Barat. Selama tahun 2012 kondisi sampai bulan Agustus 2012
tercatat sudah 6 kali terjadi kejadian banjir dengan tinggi genangan rata-rata 50
sampai 100 cm. Kecamatan Matangkuli mengalami 4 kali kejadian, kecamatan
Lhoksukon mengalami 3 kali kejadian, kecamatan Baktiya 3 kali kejadian,
kecamatan Baktiya Barat 2 kali kejadian.
Secara teknis, kelebihan air yang mengakibatkan banjir ini diperkirakan
juga penyebabnya adalah kapasitas penampang palung sungai untuk melewatkan
aliran sungai jauh lebih kecil dibandingkan dengan besarnya debit sungai yang
mengalir. Selain itu bentuk sungai Krueng Keureuto yang berliku-liku (meander)
menyebabkan kecepatan aliran relatif rendah untuk mengalirkan debit banjir
sehingga menimbulkan genangan di kiri kanan sungai. Dari sisi penggunaan
tataguna lahan, banjir sungai Krueng Keureuto juga disebabkan karena perubahan
Universitas Sumatera Utara
sebagian hutan pada tataguna lahan menjadi lahan pertanian dan pemukiman
sehingga penyerapan air hujan ke dalam tanah menjadi kecil dan sebaliknya
limpasan menjadi lebih besar. Akibat terjadinya banjir setiap tahun di kota
Lhoksukon yang akan berdampak pada sosial ekonomi masyarakat dan
menimbulkan kerugian yang besar, hal ini juga berdampak kepada aspek ekonomi
secara kabupaten menyeluruh dan perlu penanganan yang tepat dalam mengatasi
banjir di kota Lhoksukon.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan menggambarkan bahwa
tataguna lahan khususnya hutan dan kebun sangat berpengaruh terhadap
penyangga air dan apabila daya sangga air tersebut kurang maka dapat
mengakibatkan terjadi banjir (Talaohu et al, 2006). Pada sisi lain dinyatakan
bahwa terjadi peningkatan kebutuhan lahan oleh penduduk menyebabkan
perubahan tataguna lahan. Pemerintah telah melakukan upaya mengatasi banjir
dengan pembuatan tanggul, larangan membuang sampah ke sungai dan
sebagainya namun belum mampu mengatasi banjir (Murdiono, 2007).
Penelitian lainya dinyatakan bahwa penanggulangan banjir secara
struktural, hanya bersifat solusi jangka pendek. Upaya struktural harus dibarengi
dengan upaya non struktural yang bersifat jangka panjang, seperti pengelolaan
DAS, penyuluhan masyarakat tentang banjir, upaya penyelamatan diri terhadap
banjir dan sebagainya. (Murdiono,2007). Penyelesaian masalah banjir dengan
membangun infrastruktur yang memadai cenderung membutuhkan anggaran/biaya
yang tidak sedikit, sementara kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan
anggaran sangat terbatas dan minim, hal ini dapat dimaklumi mengingat bahwa
Universitas Sumatera Utara
pemerintah harus membangun berbagai aspek, tidak hanya kebutuhan
infrastruktur pengendali banjir. Untuk itu perlu adanya suatu upaya mereduksi
banjir melalui aspek non struktural dengan penyusunan ruang (spatial) yang
optimal dengan pengaturan tataguna lahan dan melibatkan partisipasi masyarakat
sebagai stake holders. Upaya ini dapat membantu mereduksi banjir dan dampak
akibat banjir tersebut.
1.2 Perumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah kontradiksi antara kebutuhan
lahan untuk pengembangan pembangunan wilayah dengan kebutuhan lahan yang
mampu menjadi penyangga air dalam upaya meminimalkan debit pada saat
intensitas hujan tinggi. Untuk mengatasinya perlu suatu perencanaan optimasi
tataguna lahan agar kedua kebutuhan tersebut dapat terpenuhi namun juga dapat
mereduksi kelebihan air yang akan berakibat banjir. Disamping itu perlu
dilakukan upaya partisipasi masyarakat sebagai salah satu stakeholders dalam
melakukan tindakan preventif terhadap bencana banjir termasuk pelibatan
masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air.
Perumusan masalah pada penelitian ini adalah untuk menjawab hal-hal
sebagai berikut:
1. Seberapa besar tataguna lahan berpengaruh terhadap terjadinya banjir
2. Seberapa besar partisipasi masyarakat berpengaruh terhadap terjadinya
banjir
Universitas Sumatera Utara
3. Seberapa besar tataguna lahan dan partisipasi masyarakat berpengaruh
terhadap terjadinya banjir
4. Seberapa besar partisipasi masyarakat berpengaruh terhadap pengendalian
banjir
5. Seberapa besar partisipasi masyarakat dan pengendalian banjir
berpengaruh terhadap banjir
6. Seberapa besar pengendalian banjir berpengaruh terhadap banjir
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai upaya pengendalian banjir
melalui upaya non structural dengan mengatur tataguna lahan serta meningkatkan
peran aktif masyarakat baik secara individu maupun secara kelompok sehingga
nantinya dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan
pembangunan wilayah. Berdasarkan perumusan masalah di atas maka dapat
ditentukan tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis dan mengkaji seberapa besar pengaruh tataguna lahan
terhadap terjadinya banjir
2. Untuk menganalisis dan mengkaji seberapa besar pengaruh partisipasi
masyarakat terhadap terjadinya banjir
3. Untuk menganalisis dan mengkaji seberapa besar pengaruh tataguna lahan
dengan partisipasi masyarakat terhadap terjadinya banjir
4. Untuk menganalisis dan mengkaji seberapa besar pengaruh partisipasi
masyarakat terhadap pengendalian banjir
Universitas Sumatera Utara
5. Untuk menganalisis dan mengkaji seberapa besar pengaruh partisipasi
masyarakat dengan pengendalian banjir terhadap terjadinya banjir
6. Untuk menganalisis dan mengkaji seberapa besar pengaruh pengendalian
banjir terhadap terjadinya banjir
1.4 Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini nantinya akan memberikan beberapa manfaat
seperti dijelaskan berikut ini:
1. Dengan mengetahui pengaruh perubahan tataguna lahan terhadap
terjadinya banjir sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah
dalam menyusun regulasi terhadap penggunaan lahan atau penyusunan
Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) termasuk dalam mengatur
perizinan penggunaan lahan
2. Dengan mengetahui pengaruh partisipasi masyarakat terhadap terjadinya
banjir sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam
mengakomodir dan memberi ruang bagi masyarakat untuk berperan
sebagai mitra dalam penanganan bencana banjir
3. Dengan mengetahui pengaruh perubahan tataguna lahan dan partisipasi
masyarakat terhadap terjadinya banjir sebagai bahan pertimbangan bagi
pemerintah daerah dalam menyusun perencanaan pembangunan yang lebih
efektif dengan mengkombinasikan upaya struktural dengan non struktural
4. Dengan mengetahui pengaruh partisipasi masyarakat terhadap
pengendalian banjir sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah
Universitas Sumatera Utara
dalam menyusun manajemen pengelolaan banjir dengan melibatkan
masyarakat
5. Dengan mengetahui pengaruh partisipasi masyarakat dan pengendalian
banjir terhadap kejadian banjir sebagai bahan pertimbangan bagi
pemerintah daerah dalam strategi pelibatan masyarakat dalam pengelolaan
infrastruktur banjir
6. Dengan mengetahui pengaruh pengendalian banjir terhadap banjir sebagai
bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam mempersiapkan
strategi pengendalian banjir termasuk dengan strategi kesiagaan dalam
bencana banjir
Universitas Sumatera Utara