bab i pendahuluan 1.1 latar belakang...

22
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra pada umumnya dipandang sebagai hasil imajinasi pengarang. Segala sesuatu yang ada di dalam sebuah karya sastra merupakan sesuatu yang diadakan melalui daya imajinasi pengarang. Artinya, segala sesuatu yang ada di dalam sebuah karya sastra bukan merupakan sesuatu yang empirik sebagaimana kenyataan yang ada dalam kehidupan. Karya sastra tidaklah identik dengan kehidupan, tetapi merupakan imitasi kehidupan yang telah diolah oleh pengarang dengan memasukkan unsur imajinasi ke dalam karya tersebut sehingga menjadi karya sastra yang diciptakan, bukan semata-mata kisah kehidupan nyata sehari-hari. Imajinasi yang hidup dan mengalir dalam proses penciptaan bergantung pada kepekaan pengarang dalam menangkap fenomena yang terjadi di sekelilingnya. Kepekaan pengarang tersebut biasanya berasal dari hal-hal yang ia lihat, dengar, dan rasakan sehingga dapat memengaruhi karyanya. Oleh karena itu, karya sastra sering dianggap sebagai potret kehidupan masyarakat yang terdapat di sekitar pengarang, atau bahkan merupakan kenyataan sosial (Wellek dan Warren, 1993:109). Menurut Lowell dan Arnold (via Wellek dan Warren, 1993:276277), karya sastra merupakan seleksi kehidupan yang direncanakan dengan tujuan tertentu. Dengan daya imajinasi yang dimilikinya pengarang mencoba memasukkan berbagai tema dalam karya sastranya. Adapun tema yang diciptakan pengarang

Upload: trinhnguyet

Post on 03-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Karya sastra pada umumnya dipandang sebagai hasil imajinasi pengarang.

Segala sesuatu yang ada di dalam sebuah karya sastra merupakan sesuatu yang

diadakan melalui daya imajinasi pengarang. Artinya, segala sesuatu yang ada di

dalam sebuah karya sastra bukan merupakan sesuatu yang empirik sebagaimana

kenyataan yang ada dalam kehidupan. Karya sastra tidaklah identik dengan

kehidupan, tetapi merupakan imitasi kehidupan yang telah diolah oleh pengarang

dengan memasukkan unsur imajinasi ke dalam karya tersebut sehingga menjadi karya

sastra yang diciptakan, bukan semata-mata kisah kehidupan nyata sehari-hari.

Imajinasi yang hidup dan mengalir dalam proses penciptaan bergantung pada

kepekaan pengarang dalam menangkap fenomena yang terjadi di sekelilingnya.

Kepekaan pengarang tersebut biasanya berasal dari hal-hal yang ia lihat, dengar, dan

rasakan sehingga dapat memengaruhi karyanya. Oleh karena itu, karya sastra sering

dianggap sebagai potret kehidupan masyarakat yang terdapat di sekitar pengarang,

atau bahkan merupakan kenyataan sosial (Wellek dan Warren, 1993:109). Menurut

Lowell dan Arnold (via Wellek dan Warren, 1993:276—277), karya sastra

merupakan seleksi kehidupan yang direncanakan dengan tujuan tertentu.

Dengan daya imajinasi yang dimilikinya pengarang mencoba memasukkan

berbagai tema dalam karya sastranya. Adapun tema yang diciptakan pengarang

2

biasanya berupa tema-tema yang masih berhubungan dengan kehidupan manusia

sehari-hari, misalnya ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Selain itu, permasalahan

mengenai perempuan juga banyak diangkat ke dalam karya sastra seperti

ketidakadilan gender, pelacuran, penganiayaan, prostitusi, dan prasangka gender.

Ketidakadilan gender yang dialami perempuan termanifestasikan dalam

berbagai bentuk, antara lain, marginalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinasi

atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan streotipe negatif,

kekerasan dan, beban kerja yang berat. Hal tersebut didukung dengan adanya sistem

patriarki dan ideologi seksual. Dalam sistem patriarki, hubungan antara laki-laki dan

perempuan bersifat hierarkis, yakni kaum laki-laki berada pada kedudukan puncak

dan mendominasi kaum perempuan, sedangkan kaum perempuan berada pada

kedudukan di bawahnya atau subordinat. Keadaan tersebut membuat perempuan

tertindas oleh kaum laki-laki dalam segala hal. Ketidakadilan gender tersebut

melahirkan gerakan feminisme yang berjuang melawan ketertindasan yang dialami

perempuan oleh laki-laki.

Karya sastra merupakan salah satu alat yang bisa digunakan untuk

memperjuangkan hak-hak perempuan. Melalui karya sastra, pengarang

menyosialisasikan ide-ide feminis yang diperjuangkan dengan menempatkan tokoh-

tokoh perempuan (Sugihastuti, 1991:46). Dalam karya sastra Indonesia banyak sekali

terkandung unsur feminisme, antara lain, Layar Terkembang karya Sutan Takdir

Alisjahbana (1936), Belenggu karya Armijn Pane (1940), dan Saman karya Ayu

Utami (1998).

3

Di antara banyak pengarang (laki-laki) Indonesia yang mengangkat ide-ide

feminis dalam karya-karyanya terdapat nama Remy Sylado. Sastrawan Indonesia ini

lahir pada 12 Juli 1945 di Malino, Makassar, Sulawesi Selatan. Pengarang yang

terkenal dengan nama Remy Sylado ini mempunyai nama asli Jubal Anak Perang

yang disingkat menjadi Yapi Tambayong. Nama Remy Sylado mempunyai beberapa

nama samaran yaitu Dova Zila, Jubal Anak Perang Imanuel, Juliana C. Panda, dan

Alif Dana Munsy. Kiprahnya dimulai pada saat berumur 18 tahun. Selain menulis

novel, ia juga menulis cerpen, kritik, puisi, drama, kolom, esai, sajak, roman populer,

dramaturgi, bahasa, dan buku-buku musikologi. Ia pernah menjadi redaktur pelaksana

harian Tempo di Semarang pada tahun 1965. Sebelum bekerja di harian Tempo, ia

memulai karir sebagai wartawan majalah harian Sinar Indonesia pada 1963—1965,

kemudian menjadi redaktur majalah Aktuil di Bandung pada tahun 1970, dan menjadi

dosen di Akademi Sinematografi Bandung sejak tahun 1971, bahkan pernah menjadi

dosen di beberapa universitas di Jakarta. Remy yang kini tinggal di Bandung itu juga

menjadi Ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung dan Pendiri Padepokan

Teater Jakarta pada tahun 1980. Dalam karya-karyanya, Remy selalu memasukkan

unsur budaya yang di luar budayanya sendiri, seperti dalam novel Ca Bau Kan, yaitu

budaya Tionghoa.

Remy juga terkenal dengan karyanya yang berupa puisi mbeling. Puisi

mbeling merupakan hasil karyanya yang memberontak terhadap segala kemapanan

yang telah ada. Puisi ini dipublikasikan di majalah Aktuil pada Agustus 1972 di

4

Bandung dan di majalah Pop. Puisi tersebut sangat terkenal di masyarakat dengan

gaya bahasa yang nyentrik. Ia senang dipanggil penyair. Ia menganggap bakat seni

yang ada pada dirinya adalah anugerah yang diberikan Tuhan padanya dan ia selalu

mensyukuri hal yang diberikan Tuhan pada dirinya. Selain sebagai sastrawan, ia juga

dikenal sebagai munsyi atau ahli bahasa. Pada tahun 2004 Remy Sylado mendapat

Satya Lencana Kebudayaan karena sering mengenalkan istilah Indonesia yang jarang

dipakai, bahkan lebih mengarah ke bahasa dengan nuansa sejarah dan budaya dalam

karya-karya yang dihasilkan (Eneste, 2001:196). Selain penghargaan Satya Lencana

Kebudayaan, novel karya Remy yang berjudul Kerudung Merah Kirmiji mendapat

hadiah sastra Khatulistiwa Award.

Sebagai sastrawan, Remy Sylado telah menghasilkan beberapa karya, di

antaranya, ialah Gali Lobang Gila Lobang (1977), Kita Hidup Hanya Sekali (1977),

Ca Bau Kan (Hanya Sebuah Dosa) (1999), Kerudung Merah Kirmizi (2002),

Kembang Jepun (2003), Paris Van Java (2003), Sam Po Kong (2004), Menunggu

Matahari Melbourne (2004), Boulevard de Clicky: Agonia Cita Monyet (2006),

Mimi lan Mintuna (2007), dan Pangeran Diponegoro (2008).

Selain itu, Remy juga terkenal aktif menulis naskah drama. Beberapa karya

drama Remy di antaranya adalah Melati Buat Rima (1968), Orexas (1969), Wei Tjong

dan Siti Mudjenah (1969), Mesiah II (1970), Improptu I (1970), Genesis II (1972),

Testamentum (1973), Improptu II (1976), Tiga Tikus (1980), Untung Suropati (1980),

RW OI versus RW 02 (1980), Nabi Ibrahim (1982), Pinkan dan Marindas (1985),

5

Toar dan Lumimuut (1986), A.J.I (1989), Nabi Ayub (1996), Di Sebuah Sudut Taman

(1999), dan 19 Oktober (2005). Selain menulis novel dan naskah drama, Remy juga

sangat senang melukis.

Karya Remy banyak mengandung unsur-unsur sejarah seperti Kembang Jepun

yang berlatar penjajahan Jepang, Siau Ling yang berlatar belakang kehidupan kota

Semarang abad ke-15, Kerudung Merah Kirmizi berlatar belakang awal masa

reformasi, Paris Van Java berlatar belakang masyarakat Belanda di Indonesia ketika

menjajah Indonesia, Boulevard De Clicky: Agonia Cinta Monyet berlatar belakang

sosial masa pascaorde Baru (masa reformasi), dan Ca-Bau-Kan (Hanya Sebuah

Dosa) berlatar belakang zaman kolonial di lingkungan pedagang Tionghoa.

Salah satu karya Remy yang mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat

adalah Ca-Bau-Kan. Novel tersebut berlatar belakang zaman kolonial di lingkungan

pedagang Tionghoa dalam kurun waktu 1918—1951, yang ingin membantah

pandangan stereotipe bahwa keturunan Tionghoa tidak memiliki andil dalam sejarah

kemerdekaan Indonesia. Novel yang diterbitkan pada tahun 1999 tersebut tidak hanya

mengangkat masalah itu, tetapi Remy juga memberi sentuhan permasalahan

ketidakadilan gender. Adapun keistimewaan lain dalam novel Ca-Bau-Kan yang

selanjutnya akan disingkat CBK ini adalah pernah diangkat ke dalam layar lebar pada

tahun 2002 dengan disutradarai perempuan muda Nia Dinata. Film drama romantis

ini mendapat penghargaan Asia Pacific Film Festival ke-47, Seoul, Korea Selatan

(2002) yaitu penata artistik terbaik (Iri Supit) dan sutradara pendatang baru terbaik

6

untuk Nia Dinata. Selain itu, film tersebut menjadi peserta resmi dari Indonesia untuk

penghargaan Foreign Film (Film Berbahasa Asing Terbaik) dalam Academy Award

tahun 2002, dan Official Selection (Film pilihan resmi) dalam 5Oth Sydney Film

Festival tahun 2003, International Rotterdam Film Festival, dan Women in Cinema

Film Festival.

Daya tarik lainnya yang ada pada CBK adalah novel ini difilmkan dan dibesut

sutradara wanita yang masih jarang di perfilman Indonesia pada masa itu. Pertama,

karena film ini adalah film Indonesia pertama yang menggunakan judul bahasa asing

(Hokkian) yang tidak akan boleh digunakan pada era Orde Baru. Bahasa Hokkian

adalah dialek Min Selatan (Min-nan) yang merupakan bagian dari bahasa Han. Dialek

ini terutama digunakan secara luas di Provinsi Fujian (Hokkien). Bahasa Hokkian

juga dikenal sebagai bahasa Holo di daratan Tiongkok dan Taiwan. Kedekatan

bahasa Hokkien dengan bahasa Indonesia dapat dimengerti karena mayoritas

pendatang Tionghoa di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, umumnya adalah berasal

dari Provinsi Fujian (Hokkien) yang tidak menggunakan bahasa Mandarin yang

merupakan dialek Utara. Kedua, film ini adalah film Indonesia pertama yang sarat

dengan tema budaya dan bahasa Tionghoa di Indonesia yang kental pada zaman

kolonial Belanda. Film ini juga merupakan film Indonesia pertama yang diperankan

oleh orang berdarah Tionghoa dan menggambarkan peran mereka dalam perang

kemerdekaan 1945—1949.

7

Adapun salah satu karya Remy Sylado yang dipilih sebagai objek penelitian

ini ialah novel CBK. Novel ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1999 oleh

Kepustakaan Populer Gramedia. Novel CBK bercerita mengenai kehidupan

masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia pada kurun waktu 1918—1951. Salah

satu yang ditonjolkan adalah peranan dari beberapa anggota masyarakat keturunan

Tionghoa dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Namun, dari segi judul

novel Ca-Bau-Kan (Hanya sebuah dosa), terlihat jelas bahwa novel CBK berasal dari

istilah ca-bau-kan yang dalam bahasa Hokkian berarti "perempuan", yang pada

zaman kolonial diasosiasikan dengan pelacur, gundik, atau perempuan simpanan

orang Tionghoa. Pada zaman kolonial Belanda di Indonesia, banyak perempuan yang

sebelumnya bekerja menjadi ca-bau-kan dan akhirnya diperistri oleh orang Tionghoa.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ca-bau-kan atau cabo mempunyai arti

wanita tunasusila; perempuan lacur; pelacur; sundal (2008:231). Selain kata ca-bau-

kan, ada juga sebuah kalimat ‗hanya sebuah dosa‘ yang tertera pada judul. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‗hanya‘ mempunyai arti cuma; kecuali; tetapi;

tidak lebih dari; tidak lain; saja (2008:481). Kata Sebuah yang berasal dari kata buah

dan imbuhan se, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia buah mempunyai arti bagian

bunga atau buah yang berasal dari bunga atau putik; kata penggolong bermacam-

macam benda; pokok; hasil (2008:211). Sedangkan kata ‗se‘ dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia mempunyai arti prefiks pembentuk adverbia (2008: 1235).

Terakhir kata ‗dosa‘ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti

perbuatan yang melanggar hukum Tuhan atau agama; perbuatan salah (seperti

8

terhadap orang tua, adat, negara) (2008:342). Sehingga, kalimat hanya sebuah dosa

mempunyai makna tidak lebih dari pokok perbuatan yang melanggar hukum Tuhan

atau agama. Di dalam cerita istilah ca-bau-kan digunakan sebagai penyebutan sebuah

profesi. Tinung si perempuan cabo, sebagai tokoh utama perempuan dalam novel ini

mengalami berbagai ketidakadilan yang cenderung merendahkannya sebagai seorang

perempuan miskin yang tidak bisa berbuat banyak sehingga ia harus menjadi seorang

pelacur untuk mempertahankan hidup terutama dalam ekonomi meskipun harus

melanggar larangan Tuhan. Kehidupan Tinung tidak pernah lepas dari eksploitasi

seksual dan image buruk yang mengiringinya.

Adapun alasan pemilihan novel CBK sebagai objek kajian adalah sebagai

berikut. Pertama, dari sudut judulnya novel Ca Bau Kan memiliki arti yang menarik

yaitu dalam bahasa Hokkian berarti perempuan, atau pada saat masa tersebut dikenal

dengan asosiasi pelacur, gundik, atau perempuan simpanan orang Tionghoa. Kedua,

novel CBK diduga menampilkan ketidakadilan gender yang dialami tokoh-tokoh

perempuan dalam relasinya dengan tokoh laki-laki. Ketiga, novel CBK merupakan

salah satu novel Remy Sylado yang mengungkapkan gagasan ataupun tindakan tokoh

perempuan yang mengandung ide-ide feminisme. Hal itu merupakan wujud

perjuangan perempuan melawan ketidakadilan gender.

Dengan demikian, penelitian ini akan memusatkan analisis novel CBK karya

Remy Sylado dengan teori kritik sastra feminis perspektif feminisme sosialis. Alasan

pemakaian kritik sastra feminis untuk menganalisis novel CBK adalah sebagai

9

berikut. Pertama, dalam novel ini tokoh utama perempuan diperlakukan tidak adil

atau tersubordinasi. Kedua, terdapat ketidakadilan gender yang dialami tokoh

perempuan. Ketiga, terdapat ide-ide feminisme sebagai bentuk perjuangan perempuan

melawan ketidakadilan gender. Teori kritik sastra femins sosialis dianggap mampu

membongkar ketidakadilan gender yang terjadi pada tokoh perempuan dalam novel

CBK.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka dapat

dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut

1. Identifikasi tokoh perempuan dan tokoh laki-laki dalam CBK.

2. Ketidakadilan gender yang dialami tokoh-tokoh perempuan dalam CBK.

3. Ide-ide feminis dalam CBK.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian novel CBK karya Remy Sylado ini mempunyai dua tujuan pokok, yaitu

tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis penelitian ini adalah pertama,

mengidentifikasi karakter tokoh perempuan dan laki-laki dalam novel CBK. Kedua,

mengetahui ketidakadilan gender yang terjadi pada tokoh-tokoh perempuan novel

CBK. Ketiga, menguraikan ide-ide feminis sebagai bentuk perjuangan perempuan

melawan ketidakadilan gender dalam novel CBK.

10

Beranjak dari tujuan teoretis tersebut, secara praktis penelitian ini juga

bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat yang berapresiasi sastra

agar dapat meningkatkan mutu apresiasinya. Tujuan lain dari penelitian ini adalah

untuk membuka wacana masyarakat tentang adanya ketidakadilan gender antara laki-

laki dan perempuan yang tercermin dalam karya sastra sehingga menghasilkan ide-

ide feminis sebagai bentuk perlawanannya.

1.4 Tinjauan Pustaka

Penelitian novel CBK karya Remy Sylado ini menggunakan teori kritik sastra

feminis perspektif feminisme sosialis dengan memfokuskan analisis pada

ketidakadilan gender. Adapun Faruk pada tahun (2001: menulis bahwa novel CBK

tidak hanya memasukkan motif-motif non-Balai Pustaka ke dalam dirinya, tetapi juga

menggunakan bahasa dan cara bercerita yang masih sangat kuat memperlihatkan

jejak dari tradisi non-Balai Pustaka, terutama varian Cinanya. Di dalamnya

ditemukan kembali motif ―cerita nyai‖, ―kriminalitas terselubung‖, ―permainan

silat‖, dengan bahasa yang berirama ―Melayu Rendah‖, bahkan dengan cara bercerita

yang melodramatik serta romantik-ironik. Novel tersebut memperkuat kesan

kecinaan, membuatnya lebih banyak bersifat Cina daripada sastra non-Balai Pustaka

sendiri, dengan banyak ungkapan pepatah, kutipan, bahkan gaya hidup yang berasal

dari masyarakat dan kebudayaan Cina.

Ada beberapa penelitian yang menggunakan novel CBK sebagai bahan

penelitian ialah tesis di Program S2 Sastra, FIB Universitas Gadjah Mada yang

11

berjudul ―Konstruksi Tionghoa dalam Novel Ca-Bau-Kan karya Remy Sylado:

Analisis Wacana Foucauldian (Sainul Hermawan, 2002). Analisis difokuskan dengan

adanya eksklusi dan inklusi tekstual dalam CBK. Metode yang digunakan untuk

mengidentifikasi keduanya adalah dengan mendeskripsikan CBK secara etnografis.

Hasil kajian ini menunjukkan bahwa CBK di satu sisi melawan wacana dominan,

tetapi di sisi lain ia masih tampak mendukung wacana dominan tentang Tionghoa

yang dilawannya.

Adapun penelitian lain yang menggunakan novel CBK sebagai bahan

penelitian ialah skripsi jurusan Sastra Indonesia, FIB Universitas Gadjah Mada yang

menggunakan teori hegemoni gramsci. Skripsi tersebut membahas formasi ideologi

yang terdapat dalam CBK dan hubungan formasi ideolgi CBK dengan ideologi dalam

diri pengarang. Penelitian tersebut menemukan adanya relasi ideologi dalam diri

pengarang dengan formasi ideologi CBK (Ika Rahmati Hilal, 2004). Selanjutnya,

penelitian lain yang menggunakan novel CBK sebagai bahan penelitian ialah skripsi

Jurusan Sastra Indonesia, FIB Universitas Gadjah Mada yang berjudul ―Nasionalisme

Peranakan Tionghoa dalam Novel Ca-Bau-Kan karya Remy Sylado: Kritik Sastra

Pascakolonial. Penelitian ini membongkar kuatnya prasangka rasial akibat kebijakan

segregasi rasial penguasa kolonial yang terdapat dalam novel CBK (Muhammad Nur

Wachid, 2011).

Berdasarkan uraian di atas, penelitian novel CBK karya Remy Sylado dengan

pendekatan kritik sastra feminis sosialis, yang memfokuskan permasalahan

ketidakadilan gender belum pernah dilakukan. Penelitian ini diharapkan

12

memperlihatkan salah satu sisi permasalahan tokoh perempuan dalam novel CBK

yang belum pernah terungkap.

1.5 Landasan Teori

Menurut Fakih (2008:79), feminisme merupakan gerakan yang berangkat dari

asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta harus

ada usaha untuk mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut. Selanjutnya

Fakih (2008: 99—100) menambahkan bahwa hakikat perjuangan feminis adalah demi

kesamaan martabat dan kebebasan mengontrol raga dan kehidupan, baik di dalam

maupun di luar rumah. Gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka

mentransformasikan sistem struktur yang tidak adil bagi perempuan dan kaum laki-

laki. Hakikat feminisme merupakan gerakan transformasi sosial dalam arti tidak

memperjuangkan soal perempuan belaka.

Strategi perjuangan jangka panjang gerakan feminisme tidak hanya merupakan

upaya pemenuhan kebutuhan praktis kondisi kaum perempuan atau hanya dalam

rangka mengakhiri dominasi gender dan manifestasinya, seperti eksploitasi,

marginalisasi, subordinasi, pelekatan stereotipe, kekerasan dan penjinakan belaka,

melainkan transformasi sosial ke arah penciptaan struktur yang fundamental baru dan

lebih baik lagi. Cara lain adalah membebaskan perempuan dari lingkungan domestik

atau lingkungan keluarga dan rumah tangga (Soenarjati-Djajanegara, 2000:4)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:315) feminisme diartikan sebagai

gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum

13

perempuan dan laki-laki. Selanjutnya, feminisme menurut Geofe (via Sugihastuti dan

Suharto, 2002:18) adalah teori tentang persamaan hak antara laki-laki dan

perempuan. Feminisme merupakan sebuah gerakan yang berusaha memperjuangkan

dan merebut kembali kepentingan serta hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh

perempuan karena ketimpangan gender yang terjadi pada dirinya.

Dalam kajian terhadap feminisme dan yang berhubungan dengan perempuan,

konsep utama yang harus diperhatikan adalah membedakan antara konsep patriarki,

konsep seks, dan konsep gender. Menurut Bhasin (1996: 3—4) patriarki merupakan

sebuah sistem dominasi dan superioritas laki-laki, sistem kontrol terhadap

perempuan, yang perempuan dikuasai. Dalam patriarki melekat ideologi yang

menyatakan bahwa laki-laki lebih tinggi daripada perempuan; perempuan merupakan

bagian dari milik laki-laki. Patriarki membentuk laki-laki sebagai superordinat dan

perempuan sebagai subordinat.

Konsep penting lainnya yang harus dipahami adalah konsep seks dan gender.

Fakih (2008: 8) menyatakan bahwa pengertian seks dan jenis kelamin merupakan

penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin yang ditentukan secara biologis, yang

melekat pada jenis kelamin tertentu. Seks atau jenis kelamin secara permanen tidak

berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan

Tuhan atau kodrat. Berbeda dengan seks, gender merupakan suatu sifat yang melekat

pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dibentuk, disosialisasikan, diperkuat,

bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun

negara. Konsep gender menyangkut semua hal yang dapat dipertukarkan antara

14

perempuan dan laki-laki, yang biasa berubah, baik dari waktu ke waktu, dari suatu

tempat ke tempat lainnya, maupun dari suatu kelas ke kelas lainnya.

Ketidakadilan gender yang ditimbulkan oleh perbedaan gender merupakan salah

satu pendorong lahirnya feminisme. Fakih (2008:12—13) mengungkapkan bahwa

perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak

melahirkan berbagai ketidakadilan gender (gender inqualities). Namun, seiring

dengan berjalannya waktu, perbedaan gender telah menyebabkan beberapa masalah

ketidakadilan gender yang terjadi, baik bagi kaum laki-laki maupun kaum perempuan

yang lebih sering mengalaminya. Hal tersebut dapat dilihat dari manifestasi

ketidakadilan yang ada. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai

bentuk ketidakadilan, yakni marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi,

subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan

stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang dan

banyak, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.

Kritik sastra feminis adalah sebuah kritik yang memandang sastra dengan

kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang berhubungan dengan budaya,

sastra, dan kehidupan manusia (Sugihastuti dan Suharto, 2002:20). Feminisme

muncul akibat adanya prasangka gender yang selalu melihat perempuan sebagai kelas

dua. Feminisme mempunyai beberapa aliran pemikiran, empat aliran feminisme yang

utama adalah femisnisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis, dan

feminisme sosialis (Tong, 2008:2).

15

Feminisme liberal merupakan gerakan feminisme yang bergerak melalui kerangka

berpikir berupa kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi setiap individu,

termasuk kesempatan dan hak kaum perempuan (Fakih, 2000:81). Menurut Tong

(2008:48), feminisme liberal bertujuan membebaskan perempuan dari peran gender

yang opresif, yaitu peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran

untuk memberikan tempat yang lebih rendah atau tidak memberikan tempat sama

sekali bagi perempuan, baik dalam bidang akademik, forum, maupun pasar. Menurut

Fakih (2008:81—82) feminis liberal merupakan suatu pengaruh dari aliran

fungsionalisme, yang mempunyai tujuan memperjuangkan persoalan masyarakat

―kesempatan yang sama dan hak yang sama‖ bagi setiap individu, bahkan

kesempatan dan hak kaum perempuan. Pemecahan masalah tersebut adalah dengan

cara menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam persaingan bebas. Salah

satu usahanya ialah dengan meningkatkan pendidikan dan kaum perempuan agar

mampu berpartisipasi dalam pembangunan.

Feminisme radikal merupakan gerakan feminisme yang bergerak melalui

pemahaman bahwa sistem seks atau gender yang dibentuk melalui ideologi patriarki

adalah penyebab fundamental dari penindasan terhadap perempuan (Tong, 2008: 48).

Para penganut feminis radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal

dan politik, unsur-unsur seksual atau biologis. Dalam melakukan analisis tentang

penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, mereka

menganggapnya berakar dari jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi

patriarkinya. Dengan demikian, kaum laki-laki secara biologis maupun politis adalah

16

bagian dari permasalahan (Fakih, 2008, 84—85). Eisentein (via Fakih, 2008:85)

menyatakan bahwa bagi mereka patriarki adalah dasar dari ideologi penindasan yang

merupakan sistem hierarki seksual, yang kaum laki-laki merupakan kaum superior

yang mempunyai hak istimewa ekonomi. Bagi gerakan feminisme radikal, revolusi

terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil aksi untuk mengubah gaya

hidup, pengalaman, dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum laki-laki.

Feminisme marxis bertujuan menjadikan kemandirian dan kesejahteraan ekonomi

perempuan sebagai pusat perhatian, dan memfokuskan pada persilangan antara

perempuan sebagai pekerja dan posisi perempuan di dalam keluarga (Tong,

2008:168). Menurut Fakih (2008:85—89) kelompok ini menolak keyakinan kaum

radikal yang menyatakan biologi sebagai dasar pembedaan gender. Bagi mereka

penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan

produksi. Persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas

kapitalisme. Mereka tidak menganggap patriarki atau kaum laki-laki sebagai

permasalahan, tetapi sistem kapitalisme yang sesungguhnya merupakan penyebab

masalahnya. Dengan demikian, begitu penyelesaiannya pun harus bersifat struktural,

yakni hanya dengan melakukan perubahan struktur kelas dan pemutusan hubungan

dengan sistem kapitalisme internasional. Perubahan struktur kelas itulah yang mereka

sebut sebagai proses revolusi. Bagi teori marxis klasik, perubahan status perempuan

terjadi melalui revolusi sosialis dan dengan menghapuskan pekerjaan domestik

(rumah tangga).

17

Banyak yang menganggap feminis sosialis merupakan pengembangan dari

feminis marxis, bahkan diyakini sebagai suatu hal yang sama. Perbedaan antara

keduanya adalah bahwa feminis sosialis lebih menekankan perbedaan gender sebagai

penyebab penindasan perempuan. Persoalan feminis marxis hanya terletak pada

masalah kelas yang menyebabkan perbedaan fungsi dan status perempuan (Arivia,

2003:111).

Feminis sosialis menganggap bahwa penindasan terhadap perempuan tidak hanya

terjadi pada kelas proletar, tetapi juga pada kelas borjuis. Tong (2008:145)

menyatakan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi di kelas mana pun karena

sebagian perempuan adalah istri, anak perempuan, teman, kekasih laki-laki kedua

kelas tersebut. Hal itu disebabkan adanya hubungan antara kapitalisme dan patriarkat

sehingga feminis sosialis berusaha mengawinkan analisis patriarkat dengan analisis

kelas. Hal tersebut perlu dilakukan karena perempuan selalu menjadi korban dari

sistem yang berlaku di masyarakat. Sistem patriarkat dan kapitalisme menjadi laki-

laki sebagai makhluk yang berkuasa atas segalanya sehingga perempuan sering

mengalami ketidakadilan. Menurut Fakih (2008:90) kritik terhadap eksploitasi kelas

dari sistem kapitalisme dilakukan secara bersamaan dengan kritik ketidakadilan

gender yang mengakibatkan subordinasi, dominisasi, dan marginalisasi atas

perempuan. Adapun pandangan feminis sosialis tersebut kemudian dikenal sebagai

teori patriarki kapitalis, yakni teori yang menyamakan dialektika struktur kelas

dengan struktur hierarki kapitalis (Fakih, 2008:146).

18

Feminis sosialis juga menganggap bahwa sumber-sumber ketidakadilan terhadap

perempuan adalah konstruksi sosial (Mufidah, 2004:44). Jadi, ketidakadilan bukan

akibat dari perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dan bukan karena

kegiatan produksi atau reproduksi dalam masyarakat, melainkan karena penilaian dan

anggapan terhadap perbedaan itu (Sofia, 2009:14, Fakih, 2008:92—93). Konstruksi

sosial dalam masyarakat menempatkan posisi laki-laki lebih tinggi daripada

perempuan. Menurut Humm (1986:54), feminis sosialis tidak memandang suatu

kebenaran dan sifat keperempuan, tetapi melihat gender sebagai perubahan yang

dihasilkan oleh sosialis dan sejarah. Konstruksi sosial tersebut mengakibatkan kaum

perempuan selalu identik dengan kaum yang lemah, tidak mandiri dan perlu

dilindungi, dan sejenisnya. Teori sosialis dianggap dapat menjabarkan masalah

tersebut.

Humm (2002:448—449) menyatakan bahwa feminis sosialis dapat menjelaskan

mengapa perempuan tampak berkolusi dengan subordinasi mereka sendiri dan

mengabaikan peluang-peluang nyata untuk menolak secara individu atau penolakan

kolektif. Hal itu disebabkan oleh cara patriarki mengonstruksi psikologi laki-laki dan

perempuan, perempuan akan terus menjadi subordinat laki-laki hingga pemikiran

perempuan dan pemikiran laki-laki terbebaskan dari pemikiran bahwa perempuan

tidak setara dengan laki-laki (Tong, 2008:177). Budaya patriarki harus dibongkar

agar kaum perempuan tidak tertindas oleh kaum laki-laki terus-menerus. Nugroho

(2008:75) menyatakan bahwa feminis sosialis adalah gerakan untuk membebaskan

19

para perempuan melalui perubahan sistem patriarkat. Perubahan sistem patriarkat

bertujuan agar kesetaraan gender dapat terwujud.

Analisis mengenai ketidakadilan yang dialami perempuan dalam novel CBK

karya Remy Sylado tidak terlepas dari konsep feminis sosialis sebagai pendekatan

analisis. Analisis dengan menggunakan feminis sosialis tersebut bertujuan untuk

membongkar ketidakadilan gender yang dialami tokoh-tokoh perempuannya akibat

kungkungan budaya patriarki dan diharapkan dapat mengungkap fakta subordinasi,

dominasi, inferioritas, kekerasan, dan stereotipe yang dialami perempuan dalam karya

sastra serta perlawanan perempuan terhadap ketidakadilan gender.

1.6 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif,

yakni penelitian yang bersifat ilmiah dan menghasilkan data deskriptif berupa kata-

kata tertulis atau lisan dari orang-orang, perilaku, atau data-data lain yang dapat

diamati oleh peneliti (Moeleong, 1983:3).

Langkah-langkah penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut.

1. Menentukan novel yang dijadikan objek penelitian yaitu novel CBK karya

Remy Sylado.

2. Menetapkan masalah pokok, yaitu masalah perjuangan perempuan melawan

ketidakadilan gender terhadap perempuan dalam novel CBK.

3. Melakukan studi pustaka dengan mencari dan mengumpulkan bahan dari

berbagai sumber yang mendukung objek penelitian.

20

4. Mengidentifikasi tokoh laki-laki dan perempuan dalam novel CBK karya

Remy Sylado.

5. Menganalisis novel CBK dengan teori kritik sastra feminis perspektif feminis

sosialis. Teori ini digunakan dalam rangka membongkar ketidakadilan gender

yang dialami tokoh perempuan akibat budaya patriarki dalam novel berikut

usaha-usaha perempuan untuk mendapat kesetaraan dengan menentang

konstruksi masyarakat yang menindas perempuan.

6. Menarik kesimpulan dan menyajikannya dalam bentuk laporan penelitian.

Selain itu, untuk mempermudah melakukan analisis digunakan metode analisis

reading as a women yang dikemukan oleh Culler (1983:44—47) dengan konsep

penting sebagai berikut.

1. Ketika membaca sebagai perempuan, maka yang perlu diperhatikan secara

substansial adalah melihat pengalaman yang sedang dilihat oleh perempuan dalam

karya sastra, yaitu melihat sebagai seorang perempuan yang dibatasi dan

dimarginalkan. Analisis terhadap novel CBK akan dilakukan berdasarkan

pengalaman-pengalaman perempuan di masyarakat patriarki, yang disuarakan

melalui tokoh-tokoh perempuan.

2. Konsep dari membaca sebagai pembaca perempuan adalah mempertegas

hubungan yang berkelanjutan antara pengalaman perempuan dalam struktur sosial

dan struktur familial dan pengalaman perempuan sebagai pembaca. Dalil

kontiunitas dilakukan dengan memperhatikan situasi dan psikologi pada karakter

perempuan dan memperlihatkan situasi dan psikologi pada karakter perempuan

21

dan memperlihatkan sikap dan imaji perempuan dalam kerangka kerja pengarang.

Dengan demikian, penelitian ini akan menganalisis tokoh-tokoh perempuan untuk

menentukan karakteristik dan pengalamannya, kemudian membawa tokoh dan

pengalamannya tersebut ke dalam pemahaman perempuan dalam karya sastra.

3. Melakukan proses pembacaan untuk mengungkap ideologi ide-ide feminis yang

terdapat di dalam karya sastra.

1.7 Sistematika Laporan Penelitian

Sistematika laporan penelitian ini terbagi dalam beberapa bab sebagai berikut.

Bab I berisi pendahuluan yang memuat latar belakang penelitian, rumusan

masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan

sistematika laporan penelitian.

Bab II berisi identifikasi para tokoh baik laki-laki dan perempuan dalam

novel CBK. Tokoh perempuan, antara lain, adalah Tinung, Mpok Jene, Saodah, Nio

Kat Nio dan lainnya. Tokoh laki-laki, antara lain, adalah Tan Peng Liang dari

Semarang, Tan Peng Liang dari Bandung, Tan Kim San, Tan Kim Hok, dan Oey Eng

Goen.

Bab III memuat ketidakadilan gender yang dialami tokoh perempuan dalam

novel CBK. Bab ini terdiri dari dua subbab, Pertama adalah stereotipe perempuan

yang meliputi makhluk yang suka berhias diri, penuh daya tarik dan menggoda,

pemegang urusan domestik, serta ketergantungan terhadap laki-laki. Kedua adalah

22

kekerasan terhadap perempuan yang meliputi kekerasan publik dan kekerasan

domestik.

Bab IV berisi ide-ide feminis yang muncul dalam novel CBK diantaranya

ialah perempuan harus mandiri dan mampu menentukan nasibnya, dan perempuan

harus berpandangan maju dan punya harga diri

Bab V berupa kesimpulan.