bab i pendahuluan 1.1 latar belakang - umseprints.ums.ac.id/62996/4/bab 1.pdf · magma dan gas...

29
1 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yg memiliki kurang lebih 18.300 pulau, terletak pada tiga lempeng yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Letak tersebut menyebabkan Indonesia secara spasial sangat rawan bencana letusan gunungapi. Menurut Wahyono (2002) dalam Kumalawati (2015), gunungapi adalah suatu jalan keluar di permukaan Bumi yang dilalui oleh magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang masih aktif dan 500 tidak aktif di Indonesia. Gunungapi aktif yang ada di Indonesia merupakan 13 persen dari seluruh gunung berapi aktif di dunia, 70 gunung diantaranya merupakan gunungapi aktif yang rawan meletus dan 15 gunungapi kritis. BAKORNAS PB (2006) menyatakan bahwa luas daerah rawan bencana gunungapi di seluruh Indonesia sekitar 17.000 km 2 dengan jumlah penduduk yang bermukim di kawasan rawan bencana gunungapi sebanyak kurang lebih 5,5 juta jiwa. Berdasarkan data frekuensi letusan gunungapi, diperkirakan tiap tahun terdapat sekitar 585.000 orang terancam bencana letusan gunungapi. Gunungapi Kelud merupakan salah satu gunungapi berdanau kawah di puncaknya yang sangat aktif dan berbahaya di Indonesia, terletak pada koordinat 7˚56' LS dan 112˚18.5' BT dengan ketinggian 1.731 m di atas permukaan laut (m dpl). Gunungapi Kelud berada di Kabupaten Kediri, Blitar, dan Malang. Nama Gunungapi Kelud berasal dari singkatan bahasa Jawa ke (kebak) dan lud (ludira) artinya penuh darah, banyak merenggut korban jiwa. Kata jarwodhosok Gunungapi Kelud tersebut terbukti dengan banyaknya korban jiwa, luka-luka, dan kerugian material dari erupsi-erupsi yang telah berlangsung sebelumnya. Kelud dalam bahasa Jawa juga berarti sapu, memiliki kaitan dengan tipe erupsi eksplosif dan berada di skala 4 Volcanic Explosivity Index (VEI) yang dapat menyapu daerah di sekitarnya dan mengakibatkan dampak serius pada daerah daerah tersebut. Menurut Kusumadinata (1979) dalam Zaennudin (2009), erupsi Gunungapi Kelud pada tahun 1586 sebanyak 10.000 orang meninggal dunia akibat erupsi. Erupsi tahun

Upload: others

Post on 23-Jul-2020

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

1

1. BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan yg memiliki kurang lebih 18.300 pulau,

terletak pada tiga lempeng yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan

lempeng Pasifik. Letak tersebut menyebabkan Indonesia secara spasial sangat

rawan bencana letusan gunungapi. Menurut Wahyono (2002) dalam Kumalawati

(2015), gunungapi adalah suatu jalan keluar di permukaan Bumi yang dilalui oleh

magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat

129 gunungapi yang masih aktif dan 500 tidak aktif di Indonesia. Gunungapi aktif

yang ada di Indonesia merupakan 13 persen dari seluruh gunung berapi aktif di

dunia, 70 gunung diantaranya merupakan gunungapi aktif yang rawan meletus dan

15 gunungapi kritis. BAKORNAS PB (2006) menyatakan bahwa luas daerah rawan

bencana gunungapi di seluruh Indonesia sekitar 17.000 km2 dengan jumlah

penduduk yang bermukim di kawasan rawan bencana gunungapi sebanyak kurang

lebih 5,5 juta jiwa. Berdasarkan data frekuensi letusan gunungapi, diperkirakan tiap

tahun terdapat sekitar 585.000 orang terancam bencana letusan gunungapi.

Gunungapi Kelud merupakan salah satu gunungapi berdanau kawah di

puncaknya yang sangat aktif dan berbahaya di Indonesia, terletak pada koordinat

7˚56' LS dan 112˚18.5' BT dengan ketinggian 1.731 m di atas permukaan laut (m

dpl). Gunungapi Kelud berada di Kabupaten Kediri, Blitar, dan Malang. Nama

Gunungapi Kelud berasal dari singkatan bahasa Jawa ke (kebak) dan lud (ludira)

artinya penuh darah, banyak merenggut korban jiwa. Kata jarwodhosok Gunungapi

Kelud tersebut terbukti dengan banyaknya korban jiwa, luka-luka, dan kerugian

material dari erupsi-erupsi yang telah berlangsung sebelumnya. Kelud dalam

bahasa Jawa juga berarti sapu, memiliki kaitan dengan tipe erupsi eksplosif dan

berada di skala 4 Volcanic Explosivity Index (VEI) yang dapat menyapu daerah di

sekitarnya dan mengakibatkan dampak serius pada daerah daerah tersebut. Menurut

Kusumadinata (1979) dalam Zaennudin (2009), erupsi Gunungapi Kelud pada

tahun 1586 sebanyak 10.000 orang meninggal dunia akibat erupsi. Erupsi tahun

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

2

1919 mengakibatkan 5.190 orang meninggal diakibatkan lahar erupsi freatik, dan

tahun 1990 yang menyebabkan 32 korban jiwa. Erupsi terakhir Gunungapi Kelud

pada tahun 2014. Daerah yang terkena dampak langsung erupsi Gunungapi Kelud

adalah daerah yang mencapai radius 10 km, meliputi 35 desa, 9 kecamatan, dan 3

kabupaten yaitu Blitar, Kediri, dan Malang. Kabupaten tersebut Kabupaten Kediri

merupakan Kabupaten terdampak di antara Kabupaten lainnya. Daerah yang

terkena dampak erupsi Gunungapi Kelud tahun 2014 dapat dilihat pada gambar 1.1

berikut.

Kabupaten Blitar dalam sejarah erupsi Gunungapi Kelud terdampak sangat

parah. Menurut laporan tanggap darurat 2014, BPBD Blitar (2014) menyatakan

terdapat empat kecamatan dan enam belas desa terdampak letusan Gunungapi

Kelud. Salah satu kecamatan tersebut adalah kecamatan Nglegok dengan jumlah

penduduk paling banyak di antara tiga kecamatan lainnya yaitu 12.127 jiwa.

Gambar 1.1. Dampak Erupsi Gunungapi Kelud 2014 (Sumber: Badan Penanggulangan

Bencana Nasional Tahun 2014 dengan Modifikasi)

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

3

Empat desa di kecamatan Nglegok yang terdampak langsung yaitu desa

Sumberasri, Kedawung, Penataran, dan Modangan.

Erupsi Gunungapi Kelud siklus pendek adalah tujuh tahun dan siklus panjang

dua puluh lima tahun. Erupsi Gunungapi Kelud umumnya hanya berlangsung relatif

singkat (beberapa jam) akan tetapi sangat berbahaya karena itulah masyarakat yang

tinggal di sekitar kawasan menyebut erupsi Gunungapi Kelud sebagai erupsi yang

“jujur’, selesai dalam sekali erupsi. Desa Modangan merupakan satu dari empat

desa di Kecamatan Nglegok yang rawan terhadap erupsi Gunungapi Kelud.

Berdasarkan peta rawan bencana Gunungapi Kelud tahun 2014, Desa Modangan

berada di KRB-I (radius 14 km dari puncak) dan KRB-II (radius 10 km dari

puncak). Bahaya letusan Gunungapi Kelud di Desa Modangan adalah bahaya

primer (bahaya langsung), untuk KRB-I berpotensi terlanda lahar, kemungkinan

terkena penyimpangan aliran lahar, dan berpotensi tertimpa jatuhan piroklastik

berupa hujan abu dan lontaran batu (pijar) apabila letusan membesar. KRB-II

berpotensi terlanda awan panas, lahar letusan, aliran lava, lontaran batu (pijar), dan

hujan abu lebat. Menurut RPJM Desa tahun 2014-2019, wilayah Desa Modangan

terdiri dari pemukiman penduduk seluas 59,150 ha pemukiman penduduk dan

1.015,03 ha adalah tanah tegalan, perkebunan rakyat, dan lahan sawah. Mayoritas

penduduk Desa Modangan merupakan petani, pekebun, dan peternak. Luas lahan

pertanian sawah dan non sawah yang kurang lebih 90% dari luas total wilayah desa

menjadi sumber penghidupan sekaligus berpotensi menimbulkan kerugian yang

besar jika terjadi erupsi Gunungapi Kelud. Letusan Gunungapi Kelud tahun 2014

dan 1990 menyebabkan kekacauan aktivitas masyarakat Desa Modangan terutama

pada aktivitas ekonomi yaitu peternakan, pertanian, dan perkebunan yang menjadi

sumber penghidupan masyarakat setempat.

Masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana pada umumnya memiliki

pengetahuan lokal dan strategi untuk menghadapi bencana yang serupa berdasarkan

pengalaman bencana sebelumnya yang disampaikan dalam bentuk tindakan atau

oral history meliputi aspek sosial, budaya, teknologi, atau ekonomi yang disebut

coping strategies. Identifikasi coping strategies untuk mengetahui adanya

pengetahuan lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dapat digunakan

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

4

sebagai strategi penanggulangan kerugian yang mengganggu penghidupan

masyarakat. Coping strategies menjadi salah satu aspek yang mempengaruhi

kapasitas masyarakat. Keberadaan strategi coping di tengah-tengah masyarakat

akan membantu untuk menghadapi bencana serta mengurangi risiko. Risiko adalah

kolaborasi dari tiga komponen yaitu bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability),

dan kapasitas (capacity). Besar risiko berbanding lurus dengan besar bahaya dan

keretanan serta berbanding terbalik dengan besar kapasitas

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat ditarik permasalahan penelitian sebagai

berikut:

1. bagaimanakah tingkat kapasitas masyarakat Desa Modangan dalam

menghadapi ancaman bencana erupsi Gunungapi Kelud?,

2. apakah faktor usia, pekerjaan, tingkat pendidikan, dan jenis kelamin

berhubungan terhadap tingkat kapasitas masyarakat Desa Modangan dalam

menghadapi erupsi?, dan

3. bagaimanakah coping strategies yang dilakukan masyarakat Desa Modangan

dalam menghadapi ancaman erupsi Gunungapi Kelud?.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. menganalisis tingkat kapasitas masyarakat Desa Modangan dalam

menghadapi ancaman bencana erupsi Gunungapi Kelud,

2. mengetahui hubungan faktor usia, pekerjaan, tingkat pendidikan, dan jenis

kelamin terhadap tingkat kapasitas masyarakat Desa Modangan dalam

menghadapi erupsi, dan

3. mengidentifikasi coping strategies yang dilakukan masyarakat Desa

Modangan dalam menghadapi ancaman erupsi Gunungapi Kelud.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

5

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. menambah ilmu pengetahuan kepada masyarakat, pemerintah, dan

akademisi tentang kapasitas masyarakat dalam menghadapi ancaman

bencana erupsi,

2. memberikan informasi kepada masyarakat dan informasi data kepada

pemerintah setempat dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan

ancaman bencana erupsi, dan

3. bahan referensi kepada pihak-pihak terkait dalam perintisan desa tangguh

bencana di kabupaten Blitar dari aspek peningkatan kapasitas masyarakat

dalam menghadapi bencana.

1.5 Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya

1.5.1 Telaah Pustaka

1.5.1.1 Gunungapi

Gunungapi (vulkan dalam bahasa Italia, vulkaan dalam bahasa Belanda,

atau volcano dalam bahasa Inggris) didefinisikan sebagai proses magmatisme yang

berlangsung secara alamiah, yang dicirikan oleh bergeraknya magma dari dalam

Bumi (reservoir magma) ke permukaan Bumi melalui suatu rekahan yang terbentuk

secara tektonika (Mulyaningsih, 2015). Gunungapi adalah lubang kepundan atau

rekahan dalam kerak Bumi tempat keluarnya cairan magma atau gas atau cairan

lainnya ke permukaan Bumi. Matrial yang dierupsikan ke permukaan Bumi

umumnya membentuk kerucut terpancung. Menurut PVMBG (2015,) gunungapi

diklasifikasikan ke dalam empat sumber erupsi, yaitu: (1) erupsi pusat, erupsi keluar

melalui kawah utama; dan (2) erupsi samping, erupsi keluar dari lereng tubuhnya;

(3) erupsi celah, erupsi yang muncul pada retakan/sesar dapat memanjang sampai

beberapa kilometer; dan (4) erupsi eksentrik, erupsi samping tetapi magma yang

keluar bukan dari kepundan pusat yang menyimpang ke samping melainkan

langsung dari dapur magma melalui kepundan sendiri . Struktur dan penampang

gunungapi dapat digambarkan pada gambar 1.2 berikut.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

6

Gambar 1.2. Penampang Suatu Gunungapi Dan Bagian-Bagiannya (Sumber:

Modifikasi dari Kraff, 1989 dalam PVMBG, 2015)

Letusan gunungapi yang terjadi pada era ini pernah terjadi di masa lalu, dengan

mengetahui karakteristik letusan dan tipe gunungapi maka dapat dilakukan

penanganan yang tepat terhadap korban terpapar, prediksi kerugian serta kerusakan

lingkungan yang ditimbulkan. Menurut PVMBG (2015), beberapa tipe erupsi

gunungapi berdasarkan tinggi rendahnya derajat ragentasi dan luasnya, kuat

lemahnya letusan, serta tinggi tiang asap adalah sebagai berikut.

1. Erupsi Tipe Hawai bersifat effusif dari magma basaltic atau mendekati basalt,

umumnya berupa semburan lava pijar, dan sering diikuti leleran lava secara

simultan, terjadi pada celah atau kepundan sederhana. Erupsi dalam bentuk

aliran lava yang terjadi di G. Batur tahun 1962 dan G. Tangkuban Perahu.

2. Erupsi Tipe Stromboli hampir sama dengan tipe Hawai berupa semburan lava

pijar dari magma yang dangkal, umumnya terjadi pada gunungapi sering aktif

di tepi benua atau di tengah benua. Erupsi yang selama ini terjadi di G. Anak

Krakatau merupakan tipe ini.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

7

3. Erupsi Tipe Vulkano, material yang dierupsikan berupa klastin, terdiri dari

campuran abu dan material lain yang diletuskan dari kawah gunungapi,

menyembur lebih tinggi dari puncak tinggi kolom erupsinya. Material erupsi

terdiri atas abu, lapilli dan blok/bom dari letusan freatomagmatik, membentuk

kolom letusan setinggi hingga 20 km. Sebagian besar gunungapi di Indonesia

mempunyai tipe erusi Vulkano dengan berbagai variannya. Contoh gunungapi

yang meletus dengan tipe vulkan yaitu G. Merapi dan G. Galunggung

4. Erupsi tipe Plini atau Vesuvius merupakan erupsi yang sangat ekslposif dari

magma berviskositas tinggi atau magma asam, komposisi magma bersifat

andesitik sampai riolitik, kecepatan gaya konveksi letusan beberapa ratus meter

per detik. Material yang dierupsikan berupa batuapung dalam jumlah besar.

5. Erupsi tipe Ultra Plini merupakan erupsi sangat eksplosif menghasilkan

endapan batuapung lebih banyak dan luas dari Plinian biasa. Salah satu contoh

dikenal terbaik adalah letusan G. Krakatau pada tahun 1883 yang memberikan

efek pada iklim dunia. Salah satu dari bencana gunungapi yang terbesar di

zaman sejarah menjadi letusan dari G. Tambora pada 1815. Selama letusan ini

tentang 150 juta m3 produk gunungapi dikeluarkan dan menyebabkan 92.000

korban yang merupakan seperempat total korban dari letusan gunungapi di

dunia.

6. Erupsi Tipe Sub Plini merupakan erupsi eksplosif dari magma asam/riolitik

dari gunungapi strato, tahap erupsi efusifnya menghasilkan kubah lava riolitik.

Erupsi subplinian dapat menghasilkan pembentukan ignimbrit.

7. Erupsi Tipe Surtseyan dan Tipe Freatoplini, merupakan erupsi yang terjadi

pada pulau gunungapi, gunungapi bawah laut atau gunungapi yang berdanau

kawah. Surtseyan merupakan erupsi interaksi antara magma basaltic dengan air

permukaan atau bawah permukaan, letusannya disebut freatomagmatik.

1.5.1.2 Bahaya Gunungapi

Tilling (1989) dalam Mulyaningsih (2013) mendefinisikan bahaya gunungapi

(volcanic hazards) adalah probabilitas/kemungkinan suatu daerah dilanda oleh

proses-proses gunungapi atau hasil-hasil kegiatan gunungapi yang berpotensi

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

8

merusak pada waktu tertentu. Menurut PVMBG (2015), bahaya letusan gunungapi

dapat berpengaruh secara langsung (primer) dan tidak langsung (sekunder) yang

menjadi bencana bagi kehidupan manusia. Bahaya yang langsung oleh letusan

gunungapi adalah sebagai berikut.

1. Leleran lava: leleran lava merupakan cairan lava yang pekat dan panas dapat

merusak segala infrastruktur yang dilaluinya. Kecepatan aliran lava tergantung

dari kekentalan magmanya, makin rendah kekentalannya, maka makin jauh

jangkauan alirannya. Suhu lava pada saat dierupsikan berkisar antara 800˚C

sampai 1200˚C. Leleran lava yang dierupsikan gunungapi di Indonesia pada

umumnya komposisi magmanya menengah sehingga pergerakannya cukup

lamban sehingga manusia dapat menghindarkan diri dari terjangannya.

2. Aliran piroklastik (awan panas): aliran piroklastik dapat terjadi akibat runtuhan

tiang asap erupsi plinian, letusan langsung ke satu arah, guguran kubah lava

atau lidah lava dan aliran pada permukaan tanah (surge). Aliran piroklastik

sangat dikontrol oleh gravitasi dan cenderung mengalir melalui daerah rendah

atau lembah. Mobilitas tinggi aliran piroklastik dipengaruhi oleh pelepasan gas

dari magma atau lava atau dari udara yang terpanaskan pada saat mengalir.

Kecepatan aliran dapat mencapai 150 250 km/jam dan jangkauan aliran dapat

mencapai puluhan kilometer walaupun bergerak di atas air/laut.

3. Jatuhan piroklastik: jatuhan piroklastik terjadi dari letusan yang membentuk

tiang asap cukup tinggi, pada saat energinya habis, abu akan menyebar sesuai

arah angina kemudian jatuh lagi ke muka Bumi. Hujan abu ini bukan

merupakan bahaya langsung bagi manusia, tetapi endapan abunya akan

merontokkan daun-daun dan pepohonan kecil sehingga merusak agro dan pada

ketebalan tertentu dapat merobohkan atap rumah. Sebaran abu di udara dapat

menggelapkan Bumi beberapa saat serta mengancam bahaya bagi jalur

penerbangan.

4. Lahar Letusan: lahar letusan terjadi pada gunungapi yang mempunyai danau

kawah. Apabila volume air alam kawah cukup besar akan menjadi ancaman

langsung saat terjadi letusan dengan menumpahkan lumpur panas.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

9

5. Gas vulkanik beracun: gas beracun umumnya muncul pada gunungapi aktif

berupa CO, CO2, HCN, H2S, SO2 dll, pada konsentrasi di atas ambang batas

dapat membunuh.

Bahaya sekunder, terjadi setelah atau saat gunungapi aktif berikut.

1. Lahar hujan: lahar hujan terjadi apabila endapan material lepas hasil erupsi

gunungapi yang diendapkan pada puncak dan lereng, terangkut oleh hujan atau

air permukaan. Aliran lahar ini berupa aliran lumpur yang sangat pekat

sehingga dapat mengangkut material berbagai ukuran. Bongkahan batu besar

berdiameter lebih dari 5 m dapat mengapung pada aliran lumpur ini. Lahar juga

dapat merubah topografi sungai yang dilaluinya dan merusak infrastruktur.

2. Banjir bandang: banjir bandang terjadi akibat longsoran material vulkanik lama

pada lereng gunungapi karena jenuh air atau curah hujan cukup tinggi. Aliran

lumpur disini tidak begitu pekat seperti lahar, tapi cukup membahayakan bagi

penduduk yang bekerja di sungai dengan tiba-tiba terjadi aliran lumpur.

3. Longsoran vulkanik: longsoran vulkanik dapat terjadi akibat letusan

gunungapi, eksplosi uap air, alterasi batuan pada tubuh gunungapi sehingga

menjadi rapuh, atau terkena gempa bumi berintensitas kuat. Longsoran

vulkanik ini jarang terjadi di gunungapi secara umum sehingga dalam peta

kawasan rawan bencana tidak mencantumkan bahaya akibat longsoran

vulkanik.

Tingkat aktivitas gunungapi dapat dikategorikan menjadi empat kategori berikut.

1. Aktif normal (Level 1) yaitu kegiatan gunungapi berdasarkan pengamatan dari

hasil visual, kegempaan dan gejala vulkanik lainnya tidak memperlihatkan

adanya kelainan.

2. Waspada (Level II) yaitu terjadi peningkatan kegiatan berupa kelainan yang

tampak secara visual atau hasil pemeriksaan kawah, kegempaan dan gejala

vulkanik lain.

3. Siaga (Level III) yaitu peningkatan semakin nyata hasil pengamatan

visual/pemeriksaan kawah, kegempaan dan metoda lain saling mendukung.

Berdasarkan analisis, perubahan kegiatan cenderung diikuti letusan.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

10

4. Awas (Level IV) yaitu menjelang letusan utama, letusan awal mulai terjadi

berupa abu/asap dan segera akan diikuti letusan utama.

1.5.1.4 Konsep Risiko Bencana

Risiko memiliki berbagai pengertian dalam disiplin ilmu yang berbeda.

Secara umum risiko didefinisikan sebagai kombinasi kemungkinan suatu kejadian

dan akibat negatifnya (UNISDR, 2009 dalam Hamid, 2015). Risiko biasanya

dikaitkan dengan sejauh mana manusia tidak dapat mengatasi (kekurangan

kapasitas) situasi tertentu (misalnya bencana alam). Risiko bencana menurut UU

No.24 Tahun 2007 adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada

suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit,

jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta,

dan gangguan kegiatan masyarakat. Risiko bencana merupakan fungsi dari tiga

elemen yaitu bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability), dan kapasitas (capacity).

Hubungan dari ketiganya digambarkan dengan rumus berikut.

R = 𝐻 × 𝑉/𝐶 …………………….……… (1.1)

Keterangan:

R (Risk) = Risiko

H (Hazard) = Bahaya

V (Vulnerability) = Kerentanan

C (Capacity) = Kapasitas

Pengurangan risiko bencana dapat dilakukan dengan menurunkan

kerentanan, mengurangi bahaya dan menaikkan kapasitas sebaliknya, semakin

tinggi bahaya, kerentanan dan ketidakmampuan maka semakin besar risiko yang

dihadapi. Bahaya adalah suatu peristiwa besar atau ekstrem di alam atau di

lingkungan buatan manusia yang berpotensi merugika kehidupan manusia, harta,

benda, atau aktivitas apabila meningkat menjadi bencana (UNDP/UNDRO, 1992).

Bahaya menunjukkan kemungkinan kejadian alam maupun buatan di suatu tempat.

Kerentanan menunjukkan kerawanan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi

ancaman. Kapasitas atau kemampuan adalah upaya atau kegiatan yang dapat

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

11

mengurangi korban jiwa atau kerusakan (Rosalina, 2015). Hubungan mengenai

bahaya, ancaman, dan ketidakmampuan dapat dilihat pada gambar 1.3 berikut.

Gambar 1.3 Hubungan Konseptual Antara Bahaya, Kerentanan, dan

Ketidakmampuan (Sumber: UNDP/UNDRO, 1992 dalam Rosalina, 2015)

Penanganan bencana yang sering terjadi adalah saat bencana terjadi dengan

pemberian bantuan darurat yaitu pangan, penampungan, dan kesehatan. Upaya

menggeser paradigma respon darurat menjadi manajemen risiko memberikan

dampak yang lebih baik dengan pengelolaan pra bencana, saat terjadi bencana, dan

pasca terjadi bencana dengan melibatkan masyarakat sebagai “pemain utama”.

Manajemen risiko bencana dapat dianggap sebagai implementasi dari pengurangan

risiko bencana karena menggambarkan tindakan untuk mencapai tujuan

pengurangan risiko. Menurut Haruman (2012) paradigma pengurangan risiko

bencana merupakan kombinasi sudut pandang teknis dan ilmiah dengan fokus

perhatian terhadap faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik dalam perencanaan

pengurangan risiko bencana. Masyarakat yang semula diposisikan sebagai objek

pasif menjadi subyek aktif dan dengan kesadaran diri bertanggung jawab untuk

melakukan upaya pengurangan risiko bencana dalam proses pembangunan

berkelanjutan, dengan demikian upaya pengurangan risiko bencana diupayakan

untuk mengadopsi dan memperhatikan kearifan lokal dan pengetahuan tradisional

yang ada dan berkembang dalam masyarakat. Pengurangan risiko bencana

dilakukan dengan memperhatikan siklus bencana. Tahapan bencana terdiri dari

sebelum/pra bencana, saat bencana, dan setelah/pasca bencana. Pemulihan

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

12

(recovery) pada tahap pasca bencana merupakan proses yang lebih panjang

dibandingkan dengan yang lainnya, upaya pengembalian keadaan ke kondisi

semula adalah PR bersama terutama masyarakat yang terpapar. Penanganan yang

selama ini lebih terfokus pada tahap saat terjadinya bencana dapat dibagi ke tahap

pra bencana dan pasca bencana. Gambar 1.4 berikut menggambarkan siklus

bencana.

Gambar 1.4. Siklus Bencana (Sumber: Twigg, 2004)

- Preparedness (kesiapsiagaan): rencana bagaimana untuk merespon, contohnya

rencana kontijensi; training/pelatihan darurat bencana; dan sistem peringatan.

- Response (tanggap darurat): upaya untuk meminimalisir bahaya yang

ditimbulkan oleh bencana, contohnya pencarian dan penyelamatan serta

pertolongan darurat.

- Recovery (pemulihan): mengembalikan masyarakat ke kondisi semula/ kondisi

normal, contohnya perumahan sementara; bantuan; perawatan medis.

- Mitigation (mitigasi): mengurangi dampak bencana, contohnya konstruksi

bangunan dan zonasi; analisis kerentanan; edukasi publik.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

13

1.5.1.5 Kapasitas Masyarakat

Menurut United Nations Development Programme/UNDP (2004) kapasitas

adalah cara di mana orang dan organisasi menggunakan sumber daya yang ada

secara reaktif, untuk membatasi kerugian selama peristiwa bencana. Dapat

ditambahkan kapasitas adaptif, yang menunjukkan kemungkinan bagi masyarakat

untuk mengarahkan kembali kegiatannya secara proaktif untuk menyesuaikan

pembangunan di tempat yang minimal risiko bencananya.

Kemampuan (capacity) merupakan penguasaan sumberdaya, cara dan

kekuatan yang dimiliki masyarakat, yang memungkinkan mereka untuk

mempertahankan dan mempersiapkan diri mencegah, menanggulangi, meredam,

serta dengan cepat memulihkan diri akibat bencana (Bakornas, 2007). Kapasitas

adalah kombinasi dari semua kekuatan, atribut dan sumber daya yang tersedia

dalam sebuah masyarakat, komunitas atau organisasi yang dapat digunakan untuk

mencapai tujuan yang disepakati (UNISDR, 2009).

Kapasitas merupakan salah satu fungsi dari komponen risiko bencana.

Hubungan antara kapasitas dan kerentanan adalah berbanding terbalik. Sesuai yang

disampaikan oleh Cardona, et al (2012) bahwa kerentanan adalah hasil dari

kurangnya kapasitas, kerentanan adalah kebalikan dari kapasitas, sehingga

meningkatkan kapasitas berarti mengurangi kerentanan, dan kerentanan yang tinggi

berarti kapasitas rendah.

1.5.1.6 Coping Strategies

Bencana alam bukanlah hal baru, selama berabad-abad manusia tinggal di

daerah rawan bencana. Mereka memiliki metode sendiri untuk melindungi diri dan

mata pencaharian. Metode tersebut didasarkan pada kemampuan dan sumber daya,

sesuai dengan pengalaman suatu masyarakat. Sistem pengetahuan, kemampuan dan

teknologi disebut sebagai indigenous knowledge atau pengetahuan lokal. Aplikasi

atau penerapan pengetahuan lokal dalam menghadapi bahaya dan ancaman lainnya

disebut coping strategy. Kemampuan dan sumber daya yang akan diterapkan

tergantung pada ancaman bencana yang ada, kapasitas dalam menghadapi, dan

prioritas suatu komunitas dan individu yang dapat berubah selama bencana

berlangsung (Twigg, 2004). Strategi coping didefinisikan sebagai kebiasaan atau

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

14

perilaku masyarakat dalam upaya mengurangi risiko terjadinya bencana dan

mengurangi dampak yang timbul akibat bencana (Heryanti, 2012).

Strategi coping adalah faktor kunci dalam menentukan ketahanan suatu

masyarakat dalam menghadapi bencana alam. Kemampuan untuk mengatasi suatu

kondisi merugikan, memerlukan kesadaran untuk menggunakan sumber daya dan

pengelolaan yang baik, baik dalam kondisi normal maupun selama masa krisis atau

kondisi yang merugikan. Kemampuan untuk mengatasi kondisi yang merugikan

tersebut memberi kontribusi terhadap pengurangan risiko bencana (Haruman,

2012). Strategi coping dapat diartikan sebagai strategi penanggulangan terhadap

kerugian yang ditimbulkan bencana meliputi pra bencana, saat terjadi bencana,

maupun pasca terjadi bencana. Strategi-strategi dan skenario yang dipersiapkan

berdasarkan pengetahuan lokal yang dimiliki suatu masyarakat.

Menurut Twigg (2004) coping strategies dapat dikategorikan menjadi

empat hal yaitu ekonomi/materi, teknologi, sosial/organisasi, dan budaya.

a. Ekonomi/materi: kategori ini menjadi sebuah sumber pendapatan bagi

masyarakat ketika beberapa sumber pendapatan yang lain tidak dapat

diandalkan. Misalnya membuat kerajinan tangan, pertukangan kayu,

bangunan, dan pandai besi. Kepemilikan tabungan di bank juga merupakan

salah satu kapasitas untuk tumbuh mengurangi kerentanan. Coping

strategies ekonomi juga dilakukan dengan menyimpan cadangan makanan

pokok dan uang tunai yang dapat dipergunakan sewaktu masa-masa sulit.

Jika krisis menjadi akut, maka aset mata pencaharian akan dijual misalnya

hewan ternak, peralatan, benih, dan lahan. Memiliki keluarga besar (jumlah

anggota keluarga banyak) bahkan dipandang sebagai bentuk coping

strategies ekonomi. Banyaknya jumlah anggota keluarga berbanding lurus

dengan jumlah tenaga kerja yang ada sehingga dapat membantu dalam hal

perekonomian keluarga.

b. Teknologi/struktural: difokuskan pada pembangunan yang bersifat fisik dan

aplikasi dari teknologi yang bertujuan untuk mengurangi kerugian.

Teknologi dibutuhkan dalam pembuatan sistem penanganan bahaya di area

rawan bencana yang bertujuan untuk mencegah dan memprediksi bahaya

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

15

yang akan terjadi, sehingga masyarakat dapat membuat peringatan dini dan

barang berharga. Pembangunan fisik seperti pembangunan desain atau tata

letak interior rumah dalam mengantisipasi bencana.

c. Sosial/organisasi: kategori ini menekankan pada hubungan sosial dan

adanya suatu organisasi lokal yang saling mendukung misalnya jaringan

kekerabatan, saling membantu dalam swadaya masyarakat, dan adanya

modal sosial.

d. Budaya: faktor kultural meliputi persepsi risiko dan pandangan keagamaan

yang seringkali berhubungan. Pengetahuan dan persepsi masyarakat

terhadap bencana merupakan suatu kunci kapasitas masyarakat. Persepsi

terhadap bencana sangat bervariasi antara dan di dalam komunitas menurut

budaya dan pengalaman masyarakat. Bencana sebagai tindakan Tuhan yang

tidak dapat dicegah dalam beberapa pandangan para ahli adalah hal yang

fatal. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar, kepercayaan kekuatan Illahi

tidak bertentangan dengan tindakan mengurangi risiko, seperti kearifan

lokal masyarakat yang telah diwariskan secara turun temurun dari generasi

ke generasi yang merupakan salah satu cara agar terhindar dari bencana.

Istilah pembeda antara coping strategies dengan coping capacity, coping

mechanism, adaptive capacity, resilience, adaptation, dan capacity akan dijabarkan

pada tabel 1.1 berikut.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

16

Coping Strategy Coping Capacity Capacity Resilience Adaptation Adaptive Capacity

Strategi coping adalah

bentuk aplikasi atau

penerapan

pengetahuan lokal

dalam menghadapi

bahaya dan ancaman

yang dapat

dikategorikan menjadi

empat yaitu

ekonomi/materi,

teknologi/struktural,

sosial/organisasi, dan

budaya (Twigg,

2004).

Strategi coping atau

strategi

penanggulangan dapat

diartikan sebagai

strategi

penanggulangan

Kapasitas bertahan

merupakan

kemampuan

penduduk,

organisasi dan

sistem untuk

menghadapi dan

mengelola kondisi-

kondisi, keadaan

darurat atau

bencana yang

merugikan dengan

menggunakan

ketrampilan dan

sumber daya yang

ada. (Terminologi

UN/ISDR)

Kombinasi dari semua

kekuatan dan sumber

daya yang tersedia

dalam komunitas,

masyarakat, atau

organsasi yang dapat

mengurangi tingkat

risiko, atau dampak

dari bencana. Kapasitas

termasuk didalamnya

sarana fisik,

kelembagaan, sosial

ekonomi seperti

keterampilan individu

atau kolektif berupa

kepemimpinan dan

manajemen. Kapasitas

juga dapat

didiskripsikan sebagai

kapabilitas/kemampuan

Ketahanan adalah

ukuran sistem atau

bagian dari

kapasitas sistem

untuk menyerap dan

memulihkan dari

kejadian bencana

yang berbahaya

(Timmerman, 1981)

Menurut Reivich

dan Shatte. A

(2002) Resilience

adalah kemampuan

untuk mengatasi

dan beradaptasi bila

terjadi sesuatu yang

merugikan hidup.

Kemampuan untuk

menyembuhkan

diri, beradaptasi,

Adaptasi dalam

konteks dimensi

manusia dari

perubahan global

biasanya mengacu

pada proses,

tindakan atau hasil

dalam sistem (rumah

tangga, komunitas,

kelompok, sektor,

wilayah, negara)

agar sistem lebih

mampu mengatasi,

mengelola, atau

menyesuaikan diri

dengan beberapa

perubahan kondisi,

stress bahaya, risiko,

atau kesempatan.

Berbagai definisi

Kapasitas adaptif

adalah

kemampuan

umum institusi,

sistem, dan

individu untuk

menyesuaikan

diri terhadap

potensi

kerusakan,

memanfaatkan

peluang, atau

untuk mengatasi

konsekuensinya

(Greenfacts,

2018).

Bentuk

perwujudan dari

Tabel 1.1. Daftar Istilah Pembeda dengan Coping Stategies

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

17

terhadap kerugian

yang ditimbulkan

bencana meliputi pra

bencana, saat terjadi

bencana, maupun

pasca terjadi bencana

berdasarkan

pengetahuan lokal

yang dimiliki

masyarakat.

. (UN/ISDR, Words

Into Action: A Guide

for Implementing te

Hyugo Framework,

Switzerland, 2007,

p.153)

Kapasitas merupakan

salah satu fungsi dari

komponen risiko

bencana. Hubungan

antara kapasitas dan

kerentanan adalah

berbanding terbalik.

atau bangkit

kembali ke kondisi

normal.

Resiliensi

merupakan proses

pengembangan

kapasitas bertahan

dalam menghadapi

tantangan fisik,

sosial, dan

emosional (Glantz

& Johnson, 1999)

adaptasi ditemukan

dalam literatur

perubahan iklim.

(Smit and Wandel,

2006).

Brooks (2003, p.8)

mendiskripsikan

adaptasi sebagai

penyesuaian dalam

perilaku dan

karakteristik yang

meningkatkan

kemampuannya

untuk mengatasi

tekanan eksternal.

kapasitas adaptif

adalah adaptasi.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

18

1.5.2 Penelitian Sebelumnya

Berikut ini adalah beberapa penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan

terkait dengan kajian kapasitas masyarakat.

a. Heru Setiawan (2014) melakukan penelitian mengenai tingkat kapasitas

masyarakat dan strategi coping dengan judul “Analisis Tingkat Kapasitas dan

Strategi Coping Masyarakat Lokal dalam Mengadapi Bencana Longsor – Studi

Kasus Di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah”. Tujuan dari penelitian

ini adalah untuk mengidentifikasi strategi coping yang dilakukan masyarakat

lokal dan menilai tingkat kapasitas masyarakat lokal dalam menghadapi

bencana longsor. Metode yang digunakan adalah survei dengan pemilihan

responden yang dilakukan secara acak, diaplikasikan untuk mengetahui jenis-

jenis strategi coping dan tingkat kapasitas masyarakat terhadap bencana

longsor. Hasil menunjukkan bahwa masyarakat menerapkan empat tipe strategi

coping yaitu ekonomi, struktural, sosial, dan kultural. Tingkat kapasitas

masyarakat di kecamatan Tawangmangu dalam menghadapi longsor berada

pada tingkat sedang hingga tinggi.

b. Nur Hamid (2015) melakukan penelitian mengenai kapasitas pengetahuan

lokal (indigenous knowledge) dan kapasitas bertahan (coping strategies)

dengan judul “Kajian Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Ancaman

Erosi Pantai di Kecamatan Kragan Kabupaten Rembang”. Tujuan dari

penelitian ini adalah mengkaji kapasitas masyarakat dan menjelaskan

hubungan antara kapasitas indigenous knowledge dengan coping strategies

dalam menghadapi ancaman erosi pantai. Metode yang digunakan adalah

metode penelitian survey dengan pendekatan deskriptif kuantitatif dan

deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kapasitas

pengetahuan lokal dan kapasitas bertahan masyarakat tergolong tinggi.

Terdapat korelasi antara kapasitas pengetahuan lokal dan kapasitas bertahan,

artinya semakin tinggi kapasitas pengetahuan lokal maka semakin tinggi

coping strategies tetapi kapasitas pengetahuan lokal tidak begitu berpengaruh

terhadap kapasitas bertahan.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

19

c. Haruman Hendarsah (2012) melakuan penelitian mengenai pengurangan

risiko bencana dengan mengetahui ancaman, kesiapsiagaan, dan strategi

coping dengan judul “Pemetaan Partisipatif Ancaman, Strategi Coping, dan

Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Upaya Pengurangan Risiko Bencana

Berbasis Masyarakat Di Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang”. Tujuan dari

penelitian ini adalah mengidentifikasi karakteristik ancaman, mengidentifikasi

strategi coping dan kesiapsiagaan masyarakat dalam mengurangi risiko

bencana. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan

menggunakan metode Participatory Geographic Information System (P-GIS)

melalui pemetaan partisipatif dalam kegiatan FGD. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pengetahuan dan pengalaman masyarakat dalam

menghadapi bencana lahar membentuk pemahaman yang baik untuk

meningkatkan kapasitas berupa kesiapsiagaan masyarakat menghadapi

ancaman banjir pasca erupsi Merapi 2010.

d. Lameck Frank Chipman Mushabati (2014) melakukan penelitian mengenai

persepsi risiko dan coping strategies dengan judul “Flood Risk Perceptions

and Strategies of Residents in the Kabbe Constituency of the Zambezi Region

(Namibia)”. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentisikasi persepsi dan

coping strategies masyarakat adat di konstituensi Kabbe serta untuk (2)

mengetahui dan memahami respon masyarakat terhadap bahaya banjir di

konstituensi Kabbe untuk meningkatkan tingkat pengurangan risiko bencana

melalui perbaikan komunikasi dan kebijakan. Metode yang digunakan dalam

penelitian empiris ini adalah kualitatif dengan survei lapangan dan wawancara

menggunakan snowball sampling. Desain penelitian kualitatif memungkinkan

peneliti untuk mengidentifikasi pengalaman subyektif masyrarakat adat, yang

memungkinkan pemahaman mendalam mengenai persepsi risiko dan coping

strategies. Hasil penelitian empiris menunjukkan masyarakat Kabbe memiliki

persepsi yang tinggi terhadap banjir dimana perempuan memiliki persepsi yang

lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan pengetahuan lokal terhadap

banjir, penduduk menggunakan strategi persiapan dan strategi coping melalui

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

20

berbagai tahap yaitu sebelum, selama, dan setelah banjir. Terdapat tiga kategori

coping strategies banjir yaitu: strategi ekonomi, sosial, dan budaya.

e. Annisa Megia Sari (2016) melakukan penelitian mengenai kapasitas

masyarakat dengan pariwisata berbasis bencana dengan judul “Kapasitas

Masyarakat Desa Sugih Waras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri dalam

Menghadapi Bencana dan Kerentanan Gunungapi Kelud dengan Pariwisata

Berbasis Bencana”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat

kerentanan sosial dan ekonomi masyarakat Desa Sugihwaras, tingkat kapasitas

masyarakat terhadap bencana, serta tingkat korelasi dan implikasi kegiatan

pariwisata terhadap kapasitas dan ekonomi masyarakat. Metode peneliian

kualitatif dengan survei lapangan dan wawancara menggunakan snowball

sampling. Tingkat kerentanan sosial masyarakat Desa Sugihwaras terdiri dari

dua kelas yaitu rendah dan tinggi, untuk tingkat kerentanan ekonomi terbagi

menjadi tiga kelas yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Tingkat kapasitas

masyarakat tinggi terjadi di Dusun Mulyorejo, sedangkan kapasitas sedang

terjadi di Dusun Rejomulyo dan Sugihwaras. Tingkat korelasi antara kegiatan

pariwisata terhadap kapasitas masyarakat memiliki koefisien korelasi 1, yang

artinya hubungan antarvariabel sangat tinggi; sedangkan tingkat korelasi antara

kegiatan pariwisata terhadap ekonomi masyarakat memiliki koefisien 0,316,

yang artinya tingkat korelasi antarvariabel rendah. Implikasi pariwisata

terhadap masyarakat Desa Sugihwaras adalah meningkatkan kapasitas

masyarakat terhadap bencana dan membantu ekonomi masyarakat meskipun

kurang signifikan.

f. Wahyu Budiati (2018) melakukan penelitian mengenai kapasitas masyarakat

dan pengetahuan lokal dengan judul “Kajian Kapasitas Masyarakat dan Coping

Strategies dalam Menghadapi Ancaman Bencana Erupsi Gunungapi Kelud Di

Desa Modangan, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar”. Tujuan dari

penelitian ini adalah (1) menganalisis tingkat kapasitas masyarakat Desa

Modangan dalam menghadapi bencana erupsi (2) mengetahui hubungan faktor

jenis kelamin, pekerjaan, usia, dan tingkat pendikan terhadap tingkat kapasitas

masyarakat (3) mengidentifikasi coping strategies yang dilakukan masyarakat

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

21

dalam menghadapi bencana erupsi. Metode penelitian survei dengan kuisioner

dan wawancara mendalam menggunakan purposive sampling. Tingkat

kapasitas masyarakat terbagi menjadi dua kelas yaitu sedang dan tinggi.

Tingkat kapasitas tinggi terjadi di Dusun Karanganyar Barat dan Dusun Bulu

sedangkan tingkat kapasitas sedang terjadi di Dusun Karanganyar Barat dan

Dusun Modangan. Jenis kelamin, pekerjaan, usia, dan tingkat pendidikan

berhubungan dengan tingkat kapasitas masyarakat pada tingkat signifikasi 5%

dengan koefisien determinasi 0,588. Masyarakat Desa Modangan menerapkan

empat bentuk coping strategies yaitu ekonomi, teknologi, sosial, dan budaya.

Perbandingan mengenai penelitian tingkat kapasitas masyarakat dan strategi

coping yang pernah dilakukan sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan

sekarang dapat dilihat pada tabel 1.2 berikut.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

22

Tabel 1.2. Perbandingan Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian Penulis

Nama Peneliti Judul Tujuan Metode Hasil

Heru Setiawan

(2014)

Analisis Tingkat Kapasitas

dan Strategi Coping

Masyarakat Lokal dalam

Mengadapi Bencana

Longsor – Studi Kasus Di

Tawangmangu,

Karanganyar, Jawa Tengah)

1. Mengidentifikasi strategi

coping yang dilakukan

masyarakat lokal

2. Menilai tingkat kapasitas

masyarakat lokal dalam

menghadapi bencana

longsor

Metode survei dengan

pemilihan responden

yang dilakukan secara

acak

1. Masyarakat menerapkan empat

tipe strategi coping yaitu

ekonomi, struktural, sosial, dan

kultural.

2. Tingkat kapasitas masyarakat di

kecamatan Tawangmangu dalam

menghadapi longsor berada pada

tingkat sedang hingga tinggi

Nur Hamid

(2015)

Kajian Kapasitas

Masyarakat dalam

Menghadapi Ancaman Erosi

Pantai di Kecamatan Kragan

Kabupaten Rembang

1. Mengkaji kapasitas

masyarakat

2. Menjelaskan hubungan

antara kapasitas

indigenous knowledge

dengan coping strategies

dalam menghadapi

ancaman erosi pantai

Metode penelitian

survey dengan

pendekatan deskriptif

kuantitatif dan

deskriptif kualitatif

1. Kapasitas pengetahuan lokal dan

kapasitas bertahan masyarakat

tergolong tinggi

2. Terdapat korelasi antara kapasitas

pengetahuan lokal dan kapasitas

bertahan, artinya semakin tinggi

kapasitas pengetahuan lokal maka

semakin tinggi coping strategies

tetapi kapasitas pengetahuan lokal

tidak begitu berpengaruh terhadap

kapasitas bertahan

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

23

Haruman

Hendarsah

(2012)

Pemetaan Partisipatif

Ancaman, Strategi Coping,

dan Kesiapsiagaan

Masyarakat dalam Upaya

Pengurangan Risiko

Bencana Berbasis

Masyarakat Di Kecamatan

Salam, Kabupaten

Magelang

Mengidentifikasi

karakteristik ancaman,

mengidentifikasi strategi

coping dan kesiapsiagaan

masyarakat dalam

mengurangi risiko bencana

Metode penelitian

pendekatan kualitatif

dan menggunakan

metode Participatory

Geographic

Information System

(P-GIS

Pengetahuan dan pengalaman

masyarakat dalam menghadapi

bencana lahar membentuk

pemahaman yang baik untuk

meningkatkan kapasitas berupa

kesiapsiagaan masyarakat

menghadapi ancaman banjir

pasca erupsi Merapi 2010

Lameck Frank

Chipman

Mushabati

(2014)

Flood Risk Perceptions and

Strategies of Residents in

the Kabbe Constituency of

the Zambezi Region

(Namibia)

Mengidentisikasi persepsi

dan coping strategies

masyarakat adat di

konstituensi Kabbe serta

mengetahui dan memahami

respon masyarakat terhadap

bahaya banjir di

konstituensi Kabbe untuk

meningkatkan tingkat

pengurangan risiko bencana

melalui perbaikan

komunikasi dan kebijakan

Metode peneliian

kualitatif dengan

survei lapangan dan

wawancara

menggunakan

snowball sampling

1. Masyarakat Kabbe memiliki

persepsi yang tinggi terhadap

banjir dimana perempuan

memiliki persepsi yang lebih

tinggi dibandingkan laki-laki

2. Berdasarkan pengetahuan lokal

terhadap banjir, penduduk

menggunakan strategi persiapan

dan strategi coping melalui

berbagai tahap yaitu sebelum,

selama, dan setelah banjir.

Terdapat tiga kategori coping

strategies banjir yaitu: strategi

ekonomi, sosial, dan budaya

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

24

Annisa Megia

Sari

(2016)

Kapasitas Masyarakat Desa

Sugihwaras, Kecamatan

Ngancar, Kabupaten Kediri

dalam Menghadapi Bencana

dan Kerentanan Gunungapi

Kelud dengan Pariwisata

Berbasis Bencana

1. Menganalisis kerentanan

sosial dan ekonomi

masyarakat Desa

Sugihwaras terhadap

bencana

2. Menganalisis kapasitas

masyarakat Desa

Sugihwaras, Kecamatan

Ngancar, Kabupaten

Kediri dalam

menghadapi bencana

erupsi Gunungapi Kelud

3. Menganalisis korelasi

dan implikasi kegiatan

pariwisata terhadap

kapasitas dan ekonomi

masyarakat Desa

Sugihwaras, Kecamatan

Ngancar, Kabupaten

Kediri

Metode survey yang

bersifat explanatory

atau confirmatory

yang menjelaskan

hubungan sebab-

akibat (causal) secara

deskriptif

1. Peta Kerentanan Sosial dan

Ekonomi Desa Sugihwaras

2. Peta Kapasitas Masyarakat Desa

Sugihwaras terhadap Bencana

3. Analisis Korelasi dan Implikasi

Pariwisata Terhadap Kapasitas

dan Ekonomi Masyarakat Desa

Sugihwaras.

Wahyu Budiati

(2018)

Kajian Kapasitas

Masyarakat dan Coping

Strategies dalam

Menghadapi Ancaman

1. Menganalisis tingkat

kapasitas masyarakat

Desa Modangan dalam

menghadapi ancaman

Metode penelitian

survei dengan

kuisioner dan

wawancara mendalam

1. Peta Tingkat Kapasitas

Masyarakat Desa Modangan

dalam menghadapi bencana

erupsi. Tingkat kapasitas tinggi

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

25

Bencana Erupsi Gunungapi

Kelud Di Desa Modangan,

Kecamatan Nglegok,

Kabupaten Blitar

bencana erupsi

Gunungapi Kelud

2. Mengetahui hubungan

faktor jenis kelamin,

pekerjaan, usia, dan

tingkat pendikan

terhadap tingkat

kapasitas masyarakat

Desa Modangan dalam

menghadapi bencana

erupsi

3. Mengidentifikasi coping

strategies yang

dilakukan masyarakat

Desa Modangan dalam

menghadapi ancaman

bencana erupsi

menggunakan

purposive sampling

terjadi di Dusun Karanganyar

Barat dan Dusun Bulu sedangkan

tingkat kapasitas sedang terjadi di

Dusun Karanganyar Barat dan

Dusun Modangan

2. Analisis hubungan faktor jenis

kelamin, pekerjaan, usia, dan

tingkat pendidikan terhadap

kapasitas masyarakat

menggunakan regersi logistik

ordinal. Hasil menunjukkan

faktor-faktor tersebut

berhubungan dengan tingkat

kapasitas masyarakat pada tingkat

signifikasi 5% dengan koefisien

determinasi 0,588

3. Identifikasi coping strategies

yang diterapkan masyarakat Desa

Modangan yaitu ekonomi,

teknologi, sosial, dan budaya

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

26

1.5 Kerangka Penelitian

Banyak penduduk yang tinggal di daerah rawan bencana seperti lereng

gunungapi, bantaran sungai, lereng bukit, pesisir pantai, dan daerah rawan lainnya.

Penduduk yang tinggal di daerah tersebut terancam bahaya lebih besar di

bandingkan dengan penduduk di luar zona bahaya bencana alam. Bencana alam

menimbulkan dampak yang mempengaruhi kehidupan dan penghidupan

masyarakat disekitar bencana. Potensi kerugian yang ditimbulkan dari bencana

dapat berupa kehilangan harta benda, sakit, luka, bahkan kehilangan nyawa.

Penanganan bencana yang sering terjadi adalah saat bencana terjadi dengan

pemberian bantuan darurat yaitu pangan, penampungan, dan kesehatan. Upaya

menggeser paradigma respon darurat menjadi manajemen risiko memberikan

dampak yang lebih baik dengan pengelolaan pra bencana, saat terjadi bencana, dan

pasca terjadi bencana dengan melibatkan masyarakat sebagai “pemain utama”.

Risiko bencana merupakan bentukan dari tiga komponen penyusun yaitu

bahaya, kerentanan, dan kapasitas (kemampuan). Besar risiko berbanding lurus

dengan kapasitas namun berbanding terbalik dengan bahaya dan kerentanan. Salah

satu upaya pengurangan risiko bencana dapat dilakukan dengan meningkatkan

kapasitas masyarakat dan identifikasi strategi coping yang berkembang di

masyarakat. Tingkat kapasitas masyarakat menjadi penting karena masyarakat

sebagai subyek aktif dalam upaya pengurangan risiko bencana. Mengetahui tingkat

kapasitas masyarakat berarti mengetahui tingkat kemampuan masyarakat dalam

menghadapi bencana. Pengalaman masyarakat terhadap bencana menimbulkan

kemampuan menghadapi bencana dan kemampuan melindungi diri. Identifikasi

coping strategies menurut Twigg (2004) dibagi menjadi empat jenis yaitu ekonomi,

teknologi, sosial, dan kultural. Strategi coping adalah strategi untuk mengatasi

bencana yang meliputi preventative strategies, response strategies, dan recovery

strategies. Tingkat kapasitas masyarakat dan coping strategies yang ada di daerah

dapat dijadikan input dan bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terkait

dengan pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction). Diagram alir

kerangka pemikiran dapat digambarkan pada gambar 1.5 berikut.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

27

Bahaya

Kapasitas Masyarakat

Coping Srategies

- Ekonomi

- Teknologi

- Sosial

- Kultural

Pengetahuan Lokal

Risiko

Output:

- Tingkat kapasitas

masyarakat dalam

menghadapi bencana

dan jenis coping

strategies

- Bahan pertimbangan

kebijakan

pengurangan risiko

bencana

Gambar 1.5. Diagram Alir Kerangka Pemikiran (Sumber: Hasil Analisis, 2017)

Kapasitas

Bencana

Pengurangan

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

28

1.7 Batasan Operasional

Bahaya adalah suatu peristiwa besar atau ekstrem di alam atau di

lingkungan buatan manusia yang berpotensi merugika kehidupan manusia, harta,

benda, atau aktivitas apabila meningkat menjadi bencana (UNDP/UNDRO, 1992).

Bencana adalah peristiwa atau atau rangkaian peristiwa yang mengancam

dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik

oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga

mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian

harta benda, dan dampak psikologis (UU No.24 Tahun 2007).

Bencana Alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,

tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angina topan, dan tanah longsor

(Kumalawati, 2015).

Risiko Bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana

pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka,

sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan

harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (UU No.24 Tahun 2007).

Pencegahan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk

mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan

ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana (UU No.24

Tahun 2007).

Mitigasi adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana,

baik secara fisik struktural melalui pembuatan bangunan-bangunan fisik, maupun

non fisik-struktural melalui perundang-undangan dan pelatihan (BAKORNAS PB,

2006).

Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk

mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat

guna dan berdaya guna (UU No.24 Tahun 2007).

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - UMSeprints.ums.ac.id/62996/4/Bab 1.pdf · magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat 129 gunungapi yang

29

Kapasitas adalah kombinasi dari semua kekuatan, atribut dan sumber daya

yang tersedia dalam sebuah masyarakat, komunitas atau organisasi yang dapat

digunakan untuk mencapai tujuan yang disepakati (UNISDR, 2009).

Pengetahuan Lokal atau pengetahuan tradisional adalah pengetahuan yang

dimiliki atau dikuasai dan digunakan oleh sutau komunitas, masyarakat atau suku

bangsa tertentu, yang bersifat turun temurun dan terus berkembang sesuai dengan

perubahan lingkungan (Sardjono, 2004 dalam Endraswara, 2013)

Coping Strategies adalah aplikasi atau penerapan pengetahuan lokal dalam

menghadapi bahaya dan ancaman lainnya. Kemampuan dan sumber daya yang

akan diterapkan tergantung pada ancaman bencana yang ada, kapasitas dalam

menghadapi, dan prioritas suatu komunitas dan individu yang dapat berubah

selama bencana berlangsung (Twigg, 2004).