bab i pendahuluan 1.1 latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam dunia sastra dan seni, kaidah-kaidah linguistik serta kebiasaan-
kebiasaan yang telah baku sering dilanggar dan diabaikan, untuk maksud-maksud
tertentu. Sastrawan mendapatkan kebebasan dalam mengeksploitasi kemampuan dan
imajinasi verbalnya. Senimanpun mendapatkan kebebasan dalam mengekspresikan
kreativitasnya. Kebebasan inilah yang sering disebut dengan artistic license
(terkadang disebut juga dengan dramatic license, historical license, poetic license,
narrative license, licentia poetica, atau secara sederhana disebut license).
Manusia adalah mahluk yang cerdas, homo sapiens sekaligus homo ludens
‘mahluk yang senang bermain-main’. Sejak masih bayi sampai tua sekalipun manusia
senang bermain-main, namun jenis permainannya disesuaikan dengan usianya.
Manusia telah disuguhkan permainan dalam bentuk interaksi antara orang tua dengan
anaknya (tidak lama, bahkan mungkin sesaat) setelah lahir, sebelum anak tersebut
memiliki kemampuan kognitif yang lebih serius. Permainan tersebut berwujud verbal
maupu nonverbal. Permainan verbal berupa vokalisasi-vokalisasi yang mungkin
tanpa makna, sementara permainan nonverbal berupa tingkah polah sekedar
memancing sang buah hati agar tersenyum, ataupun tertawa.
2
Banyaknya jenis-jenis permainan (bahasa) diapresiasi oleh Wijana (2003:15).
Dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya, dikemukakan bahwa permainan bahasa
dapat ditemukan dalam berbagai aktivitas dan hasil aktivitas manusia sepanjang
hayatnya. Plesetan pada baju kaos ala Dagadu yang populer di Jogjakarta merupakan
salah satu contoh hasil (product) permainan bahasa dalam arti yang seluas-luasnya.
Bermain-main dengan kata-kata tidak hanya menjadi sebuah hiburan pelepas
kejenuhan, tetapi bisa juga menyuguhkan hal-hal yang serius, kritik yang membangun
sekaligus mengandung nilai moral yang tinggi yang melekat kuat pada ingatan
manusia. Perhatikan bagaimana permainan dengan singkatan berikut ini membawa
pesan yang kuat pada pendengarnya sekaligus terkesan jenaka. AIDS = Akibat Itunya
Dimasukkan Sembarangan. Kepanjangan yang sebenarnya adalah Aquired Immune
Deficiency Syndrome, namun diplesetkan kedalam bentuk yang lain, tetapi masih
memiliki korelasi yang dekat dengan sasaran. Hal inilah yang menjadikan permainan
dengan kata-kata ini menjadi lebih menarik bahkan lebih populer dibandingkan
dengan kepanjangan aslinya. Kelucuan timbul karena pendengar ataupun pembaca
telah menyadari ada suatu pertentangan dalam imajinasinya tentang kepanjangan
AIDS sebagaimana yang telah didengar dalam pengalaman hidupnya. Bagi orang
yang tidak pernah mengenal kata AIDS, ini mungkin terdengar sebagai singkatan
biasa yang tidak mempunyai nilai humor sama sekali.
Dalam tuturan yang serius tidak jarang diselipkan dengan permainan kata-kata
yang membawa imajinasi pendengar pada sesuatu yang bertentangan dengan
3
kenyataan atau ide awalnya, dan akan membawa kesan humor setelah disadari bahwa
ada kaedah linguistik yang dilanggar oleh penutur. Perhatikan bagaimana seorang
dalang melanggar kaedah linguistik pada dialog antara dua punakawan yang
diperankannya berikut:
(1) A: “Apa minum ne”? ‘apa minumnya?
B: ”Kedis petingan poleng!” ‘burung petingan (sejenis pipit) belang
belang’
A: “Apa to?” apa itu (maksudnya)?”
B: “Semprit” (sebutan untuk burung pipit) (WCB.1)
Ketentuan yang telah baku adalah setiap yang diminum selalu berupa benda
cair. Belum pernah dijumpai ada orang yang meminum burung pipit apalagi dengan
bulunya yang belang-belang. Pada beberapa daerah di Bali burung pipit yang
berwarna merah bercampur hitam disebut dengan burung semprit. Sang dalang
memplesetkannya untuk kata yang ia maksud adalah Sprite, yaitu minuman bersoda
yang sudah cukup populer di Indonesia. Setelah disadari adanya perbedaan imajinasi
awal antara penonton dan maksud sang dalang yang mengucapkan tuturan tersebut,
gelak tawa penontonpun menjadi riuh.
Seorang dalang, pelawak, penyair, ilmuwan, politikus, pengusaha serta
berbagai profesi lainnya nampak dari bahasa yang mereka gunakan. Karena itulah
agar bisa menghasilkan lawakan yang bagus seorang pelawak akan berusaha
mengeksploitasi kemampuan verbalnya. Pedalang, penyair, ilmuwan, politikus,
pengusaha dan yang lainnya juga melakukan hal sama agar mencerminkan
identitasnya tersebut. Apa yang mereka lakukan terhadap bahasa tersebut, tidak lain
4
adalah mengeksploitasi serta memanfaatkan potensi-potensi sistem perlambangan
bunyi; yang walaupun bersifat arbitrer tetapi tetap berdasarkan konvensi masyarakat
bahasa tertentu yang tidak hanya unik, tetapi juga bersifat universal, sekaligus
menjadi identitas bagi penuturnya. Hal ini sejalan dengan hakikat bahasa seperti yang
diungkapkan Chaer, (2012:33-56)
Lambang-lambang bunyi yang jumlahnya terbatas memiliki potensi
pemakaian yang tidak terbatas. Bahasa Bali hanya memiliki 6 fonem vocal: /i/, /e/,
/ǝ/, /a/, /o/ dan /u/; 18 fonem konsonan: /p/, /b/, /m/, /w/, /t/, /d/, /n/, /s/, /l/, /r/, /c/, /j/,
/n/, /k/, /g/, /ŋ/, /y/ dan /h/ namun tidak memiliki fonem diftong (lihat Bawa 1981:
11). Keterbatasan jumlah ini banyak menghasilkan leksem-leksem yang memiliki
pasangan minimal (minimal pairs). Potensi ini banyak dimanfaatkan dan dieksploitasi
untuk tujuan-tujuan tertentu. Perhatikan bagaimana nilai estetika muncul dalam
pemanfaatan pasangan minimal sayang dan wayang dalam tuturan berikut:
(2) “Kudiang man, ba kadung blulang maukir!” ‘bagaimana lagi, sudah
terlanjur kulit diukir!’ (blulang maukir ‘kulit diukir’ = wayang > sayang)
(TLT.4).
Perhatikan juga nilai humoris bisa muncul pada plesetan dalam bahasa Indonesia
yang memanfaatkan pertalian bunyi berikut: “Sekarang sudah tidak *muksinnya
lagi….” (“muksinnya” semestinya “musimnya” diplesetkan dari nama seorang artis di
era 90-an Muksin Alatas).
5
Potensi yang terkandung dalam sebuah bahasa dimanfaatkan untuk tujuan-
tujuan tertentu, misalnya untuk memperlihatkan nilai etika, estetika serta untuk
mencapai efektifitas yang diinginkan. Tidak jarang sebuah fonem diliuk-liukan,
dipanjangkan atau dipendekkan, dipasangkan atau dikontraskan untuk sebuah
maksud. Pemanfaatan potensi ini oleh Sudaryanto (1989) diuraikan sebagai berikut:
1) Pemanfaatan perubahan-perubahan fonem khususnya bahasa Jawa untuk
pengungkapan berbagai makna yang diinginkan misalnya untuk memperlihatkan
nilai etika halus pada masyarakat Jawa; 2) kata afektif berusaha menunjukan
betapa bunyi diliuk-liukan, dikontraskan, atau sebaliknya diselaraskan demi muatan rasa sang pembicara; 3) Aneka bentuk ikonik berusaha menunjukan betapa
pengucapan suatu lingual bahasa Jawa itu tersiapsediakan untuk menghadirkan
secara konkret informasi pada saat proses berbahasa dilakukan; 4) Pemanfaatan keikonikan dan bentuk ikonik merupakan upaya canggih dan kreatif para individu,
menghadirkan kekayaan jiwanya dengan bahasa yang digunakan.
(Sudaryanto, 1989:39)
Pada contoh (2) belulang maukir, memperlihatkan adanya fonem-fonem atau
suku kata pada dua leksem yang berbeda yang dikontraskan namun masih
mempunyai pertalian bunyi (wayang vs sayang). Pengontrasan fonem-fonem ini
hanya bisa dipahami setelah mengetahui hubungan antara makna frase belulang
maukir ‘kulit diukir’(wayang) dengan maksud sebenarnya yaitu untuk menggantikan
kata sayang. Formula semacam inilah (contoh 1 dan 2 di atas) yang kemudian
disebut dengan wangsalan .
Wangsalan merupakan salah-satu bentuk ikonik yang dimiliki oleh suatu
bahasa. Yang dimaksud dengan ikon di sini adalah sesuatu yang bila didengar atau
dilihat maka pada saat itu juga kita akan teringat pada suatu hal atau benda yang
ditandai tersebut. Misalnya ketika melihat Monas kita langsung teringat akan Jakarta,
6
ketika mendengar gudeg, kita langsung teringat dengan Jogjakarta, ketika mendengar
seruling merdu yang khas kita langsung teringat Bandung. Demikian juga ketika
orang Jawa mendengar wangsalan “njanur gunung” ia akan langsung membayangkan
pohon dari jenis palm yang tumbuh pada dataran tinggi yang disebut dengan aren,
yang kemudian mengaitkannya dengan kata kadingaren ‘tumben’ karena adanya
persamaan bunyi. Pada awalnya mungkin orang Jawa akan bertanya-tanya “apa arti
njanur gunung?” tetapi setelah sekali tau tentang maksud sebenarnya dari wangsalan
tersebut dan memahami bagaimana maksud tersebut disimpulkan, selanjutnya dia
akan selalu ingat maksud sebenarnya dari wangsalan itu, karena bisa dilacak dari
Jawaban atas teka-teki tersebut.
Bahasa Bali sebagai bahasa yang berkerabat dengan bahasa Jawa, kaya akan
gaya berbahasa yang mirip dengan wangsalan Jawa di atas. Hanya saja gaya bahasa
semacam itu di Bali disebut dengan Bladbadan. Keberadaan sebuah wangsalan
bukan hanya terdapat dalam sastra-sastra kono, tetapi juga dalam lagu-lagu pop,
pegelaran seni tari dan drama (arja), pegelaran wayang, serta dalam buku-buku
pelajaran Bahasa Bali. Namun ekistentsi wangsalan tersebut telah menunjukan
gejala-gejala kepunahan. Tidak banyak generasi muda yang mengenal istilah
“wangsalan”. Kebutuhan akan pemahaman bahasa asing, membuat tidak banyak
orang yang tertarik untuk mempelajari bahasa Bali secara mendalam, apalagi
mengembangkan bentuk-bentuk wangsalan yang baru. Banyak anak muda zaman
sekarang yang tidak mengerti apa maksud wangsalan di bawah ini:
7
(3) majempong bebek ‘seperti jengger bebek’ (TLT.46).
Ketidakmengertian mereka disebabkan karena tidak tau apa arti jempong ‘jengger’.
Majempong bebek adalah contoh wangsalan dalam bahasa Bali yang maksud
sebenarnya adalah ngambul ‘merajuk’. Kata ngambul direalisasikan dari adanya
pertalian bunyi dari /ambul/ pada kata ngambul dengan /ambul/ pada kata jambul
yang merupakan arti dari frase majempong bebek.
Gaya bahasa dalam wangsalan menunjukan kreativitas individu yang tidak
dimiliki oleh bahasa asing khususnya bahasa Inggris serta beberapa bahasa daerah di
Indonesia. Keunikan ini merupakan upaya canggih dari individu yang mencerminkan
kekayaan jiwa yang tersirat dari bahasa yang digunakan. Sebagai bentuk kebudayaan
immaterial, kebudayaan dalam bentuk bahasa berupa karya sastra tradisional baik
yang berbentuk tradisi lisan dan tertulis merupakan warisan budaya yang tidak
ternilai harganya. Bentuk sastra tradisional lainnya yang tidak banyak dikenal dan
memiliki pertalian dengan wangsalan adalah parikan serta cangkriman. Dalam
bahasa Bali ada juga sejenis teka-teki yang disebut dengan cecimpedan. Pertalian itu
bisa dilihat dari gaya penyampaian gagasannya yang khas, yang memanfaatkan
keselarasan bunyi.
Sebagai bentuk kebudayaan wangsalan bisa jadi merupakan reaksi seseorang
terhadap lingkungan disekitarnya yang dituangkan dalam bentuk bahasa. Persepsi
sesorang terhadap apa yang dialaminya ini, bisa menjadi sebuah krtitik sosial, atau
8
sebagai bentuk apresiasi terhadap realitas budaya yang terjadi, sehingga menjadi
refleksi rekaman budaya yang berlaku pada masa itu, termasuk perubahan yang
begitu pesat, misalnya pariwisata. Pertumbuhan dan perkembangan pariwisata di Bali
yang begitu pesat mendorong pola pikir yang praktis sehingga bentuk-bentuk
simbolis dan filosofis yang menjadi suatu ikon mudah dilupakan dan diabaikan orang.
Jika disepakati bahwa wangsalan adalah salah satu bentuk ikonik seperti
yang digagas oleh Sudaryanto (1989: 146) (“…keikonikan metalingual itu cukup
bermacam-macam. Setidak-tidaknya hal itu nampak pada wangsalan, sengkalan, dan
sandiastama…”) maka sudah sepatutnya hal tersebut menjadi perhatian kita dalam
pelestariannya. Salah satu pelestarian yang bisa kita lakukan sebagai bagian dari
masyarakat bahasa tersebut adalah dengan memberikan apresiasi melalui
inventarisasi, mengkaji, meneliti, serta mempublikasikannya kepada masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang yang dikemukakan di atas, masalah pokok
yang hendak diJawab dalam penelitian yang berkaitan dengan wangsalan dalam
bahasa Bali ini adalah:
1) Bagaimana bentuk wangsalan dalam bahasa Bali ditinjau dari sudut pandang
satuan bahasa?
2) Bagaimana kaedah proses pembentukan wangsalan dengan melihat hubungan
antara makna denotasi dengan maksud sebenarnya sebuah wangsalan?
9
3) Apa jenis-jenis wangsalan berdasarkan pemakaiannya dan berdasarkan
masa/periode kemunculannya?
4) Apa fungsi komunikatif wangsalan dan referen apa saja yang ditemukan
dalam wangsalan Bali yang dapat dijadikan indeks tentang kebudayaan Bali?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang ingin diJawab dalam penelitian ini, maka
penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk wangsalan Bali berdasarkan satuan-satuan
kebahasaan yang telah dikenal secara umum.
2. Menjelaskan proses pembentukan wangsalan, serta menemukan kaedah atau
formula yang menggambarkan hubungan antara arti sebenarnya sebuah
kerangka wangsalan dengan maksud yang ingin disampaikan oleh penutur.
3. Mendeskripsikan jenis-jenis wangsalan berdasarkan pemakaiannya maupun
berdasarkan periode/era munculnya sebuah wangsalan.
4. Mendeskripsikan fungsi-fungsi komunikatif wangsalan dan mengidentifikasi
kata-kata atau objek apa saja yang dijadikan referen.
Secara tidak langsung penelitian ini juga bertujuan untuk mendokumentasikan
wangsalan-wangsalan yang diciptakan dari hasil kreativitas penutur bahasa Bali yang
belum tercatat secara lengkap dalam buku ataupun dokumen lainnya. Karena bahasa
merupakan bagian dari sebuah budaya, maka tujuan meneliti bahasa juga merupakan
10
penelitian budaya penuturnya. Penelitian budaya ini diharapkan dapat menemukan
gambaran pola pikir kehidupan masyarakat Bali yang berhubungan dengan collective
mind masyarakat setempat terhadap perkembangan dan perubahan lingkungan
sekitarnya.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian tentang wangsalan bukan hanya menjadi sesuatu yang penting,
tetapi juga sudah menjadi sesuatu yang mendesak untuk segera dilakukan. Hal ini
dikarenakan, dari penelusuran literatur yang telah dilakukan di beberapa sumber
pustaka, kajian tentang tema ini sangat minim keberadaannya, walaupun ada, itupun
merupakan sebuah kajian yang belum terpublikasikan secara luas. Secara garis besar,
penelitian ini memenuhi dua jenis manfaat sebagaimana penelitian-penelitian yang
diharapkan, sehingga tema yang diangkat merupakan pilihan yang tepat dan relevan
pada masa ini. Manfaat yang akan dicapai tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu:
manfaat praktis dan manfaat teoritis.
1.4.1 Manfaat Praktis
Bagi penutur bahasa Bali, manfaat praktis yang bisa diperoleh dari hasil
penelitian ini adalah sarana untuk memperkaya pengetahuan kosa-kata bahasa Bali.
Hal ini dirasakan karena dalam wangsalan ada frase-frase yang belum dikenal secara
luas di masyarakat. Dengan menginventarisasi wangsalan yang ada dan dipakai
11
dalam masyarakat Bali, akan menjadi sumber informasi dan menambah wawasan
bagi masyarakat. Pengetahuan ini akan memperkaya dan menambah kemampuan
eksploitasi dan gaya bahasa untuk mendapatkan efek berbahasa yang diinginkan.
Secara praktis penelitian ini juga dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan tentang pengembangan materi pelajaran bahasa Bali di sekolah-sekolah.
Pertimbangan untuk memberikan porsi lebih pada tema wangsalan, dalam kurikulum
pendidikan bahasa Bali dirasa penting, karena telah terdeteksi bahwa keberadaan
wangsalan telah menunjukan gejala-gejala kepunahan. Di lain sisi wangsalan adalah
genre sastra yang sangat menarik. Bagi penutur di luar bahasa Bali penelitian ini juga
bermanfaat sebagai perbandingan dan menjadikan bukti bahwa wangsalan juga
dikenal di Bali selain di Jawa.
1.4.2 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis tentunya akan didapatkan dari berbagai literatur yang dikaji
dalam tinjauan pustaka dan temuan-temuan dari hasil analisis data, di samping dari
kaedah kebahasaan yang disimpulkan. Teori-teori ini sangat bermanfaat sebagai
rujukan penelitian lebih lanjut agar didapatkan generlisasi dan keuniversalan bahasa.
Misalnya pendefinisian tentang istilah “wangsalan” yang berbeda antara di Jawa dan
Bali. Perbedaan terminologi ini mesti disadari agar nantinya diperoleh pemahaman
bahasa yang bersifat universal, tidak bersifat kedaerahan. Teori-toeri linguistik
maupun stilistika yang teraplikasi dalam sebuah karya sastra bisa menjadi sumbangan
pemikiran terhadap perkembangan ilmu dan bahasa. Dilihat dari hubungan persamaan
12
bunyi yang ditunjukan dalam wangsalan dengan maksud yang sesungguhnya,
beberapa wangsalan memperlihatkan pasangan minimal (minimal pairs) sehingga
bermanfaat juga dalam mengidentifikasi fonem dalam bahasa Bali yang dapat
diajarkan kepada para siswa secara lebih menarik dan kreatif.
1.5 Tinjauan Pustaka
Berdasarkan hasil penelusuran pustaka, karya tulis tentang Wangsalan Bali
belum pernah dilakukan sebelumnya oleh mahasiswa UGM baik dalam bentuk
skripsi, tesis maupun desertasi. Akan tetapi wangsalan Jawa pernah dikaji dalam
bentuk skripsi sarjana muda oleh Trisari (1985) dengan judul Analisis Fonetis-
Semantis “wangsalan lampah”. Penelitian ini membahas mengenai sejauh mana
kaitan bunyi dengan pembentukan jawaban wangsalan serta kaitan semantis yang
terdapat pada wangsalan dengan tebakannya. Pendekatan secara fonetis dilakukan
dengan melihat begaimana bunyi dalam wangsalan secara fonetis mempunyai kaitan
dengan bentuk kata yang terdapat pada tebakan wangsalan itu. Sedangkan
pendekatan secara semantis dilakukan dengan melihat kaitan makna dengan kata
yang terdapat pada wangsalan itu. Trisari (1980) secara khusus menulis tentang
wangsalan bersambung atau lampah, yang kemudian dikelompokan berdasarkan
bagian lidah yang bergerak dan berdasarkan bentuk bibir saat mengucapkan bunyi-
bunyi yang mengandung wangsalan lampah. Salah satu contoh wangsalan lampah,
adalah sebagi berikut:
13
Carang wreksa, wreksa wilis tanpa patra
Nora gampang, wong urip neng ngalam donya.
Baris pertama contoh di atas mengandung tebakan yang wangsul atau
jawabanya ada pada baris kedua. Jawaban wangsalan terbentuk dari tebakannya.
Salah satu bunyi suku kata dalam tebakannya mempunyai keselarasan fonetis dengan
salah salah satu kata pada jawaban wangsalan. Bunyi suku kata /paŋ/ pada kata epang
‘cabang’ dan /rip/ pada urip ‘hidup’dipakai sebagai tumpuan pembentukan untuk
memilih kosa kata yang memiliki kemiripan bunyi, sehingga terbentuklah jawaban
wangsalan tersebut: nora gampang wong urip neng ngalam donya ‘tidak mudah
orang hidup dialam dunia ini’ (lihat Trisari; 1985:3).
Trisari (1985) menemukan empat kelompok wangsalan lampah berdasarkan
bentuk lidah dan bibir saat mengucapkan wangsalan tersebut yaitu: 1) kelompok
belakang bulat, belakang bulat; 2) kelompok belakang bulat depan tak bulat; 3)
kelompok depan tak bulat, depan tak bulat; dan 4) kelompok depan tak bulat,
belakang bulat. Ia juga menyimpulkan bahwa dari segi fonetis ada kaitan bunyi antara
jawaban wangsalan lampah dengan tebakannya. Dari segi semantik; ada kaitan
makna antara wangsalan lampah dengan tebakannya. Penggantian dengan kata lain
dapat dilakukan jika tebakannya disesuaikan dengan isi dan jawaban wangsalan
lampah tersebut.
14
Selanjutnya, Harjanti (2005) juga meneliti wangsalan Jawa dalam skipsinya
dengan judul Wangsalan Dalam Serat Centhini Jilid V: Analisis Stilistika. Wangsalan
yang terdapat dalam serat Centini berupa tembang macapat jenis sinom, disusun
dengan beberapa aturan. Aturan tersebut adalah terikat oleh guru wilangan ‘aturan
jumlah suku kata pada setiap baris’, guru lagu/dhong-dhing ‘pola jatuhnya bunyi
suku akhir baris’ dan guru gatra ‘jumlah baris dalam satu bait’ sesuai dengan aturan
tembang macapat sinom. Disebutkan pula bahwa wangsalan adalah kata-kata yang
mengandung Jawaban atau wangsulan. Hal-hal yang menjadi referen dalam
wangsalan yang terdapat dalam Serat Centhini jilid V meliputi nama-nama hewan,
bunga, buah/biji serta berbagai nama tumbuhan.Wangsalan pada serat Centhini jilid
V mempunyai dua bagian yaitu bagian teka-teki dan bagian Jawaban. Pada bagian
teka-teki terdapat penanda dengan bagian kedua yang mempunyai kesamaan: bunyi,
suku kata, serta makna. Homonim dan sinonim menjadi kaidah dalam wangsalan
serat Centhini jilid V, ada yang berhomonim sempurna dan ada pula yang
berhomonim setengah sempurna. Disebutkan juga bahwa wangsalan dapat ditemui
dalam berbagai karya sastra Jawa yang lain diantaranya: Serat Rama, Pranacitra,
Centhini dan Rengganis.
Penelitian yang sejenis pernah dilakukan oleh Cokorda Istri Sukrawati (1987)
yang berjudul ”Aspek Blabadan dalam Geguritan Kasmaran: Analisis Struktur
dan Fungsi”. Dalam penelitian ini Sukrawati menggunakan istilah “blabadan”
untuk menyebut “wangsalan”. Geguritan Kasmaran yang merupakan tembang
15
macapat dengan irama pupuh sinom dijadikan satu-satunya sumber data. Geguritan
tersebut memang menggunakan gaya bahasa yang berbeda dengan geguritan pada
umumnya. Geguritan adalah jenis tembang tradisional Bali; pada umumnya dibangun
dalam bentuk lagu yang mengandung cerita narasi, namun dalam geguritan
Kasmaran narasi cerita kurang ditonjolkan tetapi memunculkan beragam wangsalan
dan menjadi ciri khas geguritan ini. Sukrawati menganalisis wangsalan mulai dari
aspek pembentukan sampai pada aspek isi yang meliputi, tema dan amanat.
wangsalan dalam penelitian ini dikaji dari dua dimensi yaitu: dimensi bentuk dan
dimensi makna (semantik). Pada dimensi bentuk wangsalan dipandang sebagai
permainan bunyi. Sedangkan pada dimensi makna wangsalan dipandang sebagai
metapora. Penelitian Sukrawati ini kemudian disarikan lagi dalam Jurnal Aksara no. 9
tahun V Hal. 238-251. Sukrawati(1995) menemukan 6 proses pembentukan
Bladbadan yaitu: 1)modifikasi kata dasar; 2) Mengganti fonem awal sebuah kata
dasar; 3) Menghilangkan fonem awal sebuah kata dasar; 4) Menghilangkan fonem
awal kata dasar dan disertai pengulangan; 5) Mengganti suku pertama kata dasar; 6)
Menghilangkan suku pertama kata dasar.
Penelitian tentang Bladbadan tersebut ditinjau ulang oleh Nengah Arnawa
(2005) dalam karyanya yang berjudul: “Kajian Ulang Bladbadan Bahasa Bali”.
Penelitian ini menggunakan dua sumber data yaitu geguritan Kasmaran dan
geguritan Sampik (cerita Sampek Eng Tay). Menurutnya bladbadan adalah salah satu
repotorium yang didalamnya terjadi transposisi makna dengan menggunakan
16
perangkat emotif. Perangkat emotif tersebut adala: fonetik, leksikal dan sintaksis
yang didukung oleh kaidah-kaidah pembentukan kata dalam bahasa Bali. Bladbadan
bukan permainan bunyi semata, bukan pula sebagai metafora, karena antara giing
‘kerangka’ dengan kata sasaran tidak memiliki hubungan semantik.
Belum tersentuhnya ranah budaya dalam kedua penelitian tentang wangsalan
tersebut, disikapi oleh I Wayan Suteja (2011) dalam tesisnya yang berjudul:
Geguritan Kasmaran: Analisis Teks dan Konteks. Suteja berhasil mengangkat sisi
filosofis teks geguritan Kasmaran yang ditijau dari filosofi agama khususnya agama
Hindu dengan mengaitkannya pada konteks kekinian. Dari sisi filosofis geguritan
Kasmaran mengandung pesan kama (dalam arti yang seluas-luasnya). Kama bisa
diartikan sebagi keinginan Sang Maha Kawi (pengarang) untuk menyatu, manunggal
(mekaronan) dengan Sanghyang pemberi inspirasi dalam bahasa Jawa dikenal dengan
manunggal kawulaing gusti. Sosok inspirator ini diibaratkan sebagai gadis cantik
yang diidamkan banyak pemuda. Kama yang juga diartikan sebagai senggama sama
dengan yoga yang dipandangnya sebagai estetika semesta.(Suteja, 2011: 134)
Dari sisi linguistik, bladbadan (baca: wangsalan) dalam geguritan Kasmaran
memiliki beberapa fungsi. Tanpa memberikan penjelasan yang rinci Suteja (2011: 93)
mengatakan bahwa bladbadan memiliki fungsi sosial untuk menyindir secara halus,
fungsi etika, fungsi budaya, dan fungsi pendidikan. Yang patut diberikan apresiai
dalam analisis yang ia lakukan adalah tiap-tiap bait yang mengandung wangsalan
yang terdapat dalam geguritan Kasmaran, telah di rekonstruksi berdasarkan frase-
17
frase yang berupa wangsalan serta dianalisis Jawabannya berupa kata yang muncul
pada kata ataupun baris berikutnya. Analisis ini sangat membantu dalam
mengidentifikasi antara makna bladbadan dan maksud sejati yang ingin diutarakan
oleh pengarang.
Selanjutnya ada sebuah karya tulis yang dihasilkan oleh Wijana (2013). Karya
tulis berbentuk makalah ini walaupun tanpa meninjau penelitian sebelumnya, berhasil
memaparkan tentang wangsalan dalam bahasa Jawa ditinjau dari segi bentuk, jenis,
fungsi, serta referen yang digunakannya. Kajian tentang wangsalan dalam bahasa
Jawa sebelumnya juga sudah dipublikasikan dalam buku karya Subroto, et.al (2000)
oleh Departemen Pendidikan Nasional. Namun, belum adanya cetak ulang dari karya
ini mengakibatkan langkanya buku tersebut di pasaran maupun pada lembaga-
lembaga pendidikan bahasa. (Dengan usaha pencarian yang cukup panjang akhirnya
penulis berhasil menemukan buku tersebut). Dari segi bentuk, wangsalan Jawa
menurut Wijana (2013) hanya memiliki satu bentuk yaitu berupa frase nomina
atributif yang selanjutnya dibedakan lagi menjadi: frase nomina dengan atribut
pembatas dan frase nomina dengan atribut penjelas. Jenis-jenis wangsalan dibedakan
berdasarkan unsur pembentuknya, cara pemaknaannya, dan situasi pemakaiannya.
Berdasarkan unsur pembentuknya, wangsalan dibedakan atas wangsalan tunggal dan
wangsalan rangkep. Berdasarkan cara pemaknaannya, ada wangsalan lamba dan ada
wangsalan memet. Akhirnya berdasarkan kreteria situasi pemakaiannya debedakan
atas wangsalan biasa dan wangsalan literer.
18
Ditinjau dari fungsinya wangsalan digunakan untuk mengungkapkan berbagai
fungsi komunikatif yaitu: fungsi representatif untuk menginformasikan atau
menyatakan sesuatu, ekspresif untuk mengungkapkan perasaan, direktif untuk
menyuruh seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu, poetik untuk
mengungkapkan keindahan, dan fungsi fatis untuk memelihara, memulai,
mempertahankan dan mengakhiri hubungan (Wijana 2013:7). Sehubungan dengan
pola masyarakat Jawa yang bersifat agraris ditemukan beberapa objek yang dijadikan
referensi dalam wangsalan yaitu: tumbuh-tumbuhan, hewan, pakaian, makanan dan
tokoh pewayangan. Model penelitian yang dilakukan oleh Wijana ini banyak
dijadikan acuan dalam penelitian ini. Perbedaan yang paling mendasar dengan kajian
pada tesis ini adalah objkek penelitiannya yang berupa bahasa Bali.
1.6 Kerangka Teori
Ada beberapa teori linguistik yang diaplikasikan dalam kajian wangsalan ini.
Teori-teori itu meliputi teori tentang satuan lingua seperti: fonem, morfem, kata,
frase, klausa, kalimat, maupun wacana. Teori pragmatik tentang hubungan antara
makna dan maksud sebuah tuturan juga fungsi-fungsi komunikatif bahasa seperti
yang dikemukakan oleh Jakobson (1960), Leech (1983), serta Holmes (1995) juga
teraplikasi dalam penelitian ini. Namun di Balik semua itu teori-teori yang dijadikan
dasar acuan adalah teori tentang wangsalan itu sendiri, baik wangsalan Jawa maupun
wangsalan Bali. Beberapa batasan tentang wangsalan sangat penting dijadikan
19
pedoman agar diperoleh gambaran yang jelas antara perbedaan wangsalan dengan
karya sastra yang lain seperti parikan, cangkriman, pantun serta cecimpedan.
1.6.1 Wangsalan Vs Bladbadan
Pemahaman yang paling penting dalam penelitian ini adalah batasan tentang
istilah Wangsalan dan Bladbadan. Kedua istilah itu (di samping masih banyak ragam
paribasa yang lain) disebut sebagai Basita paribasa Bali oleh Simpen (1982). Untuk
diketahui karya sastra yang disebut wangsalan pada konteks masyarakat Jawa, di Bali
justru disebut dengan Bladbadan. Bagaiman para ahli mendefinisikan tentang kedua
istilah tersbut dapat dilihat pada paparan berikut:
Ada beberapa pendapat dari para ahli mengenai arti wangsalan:
a. Menurut W.J.S Poerwodarminta (1939:656)Wangsalan kn.: “tetemboengan ing
oekara sing disamoen saemper tjangkriman, dJawabe (batangane) kaseboet
ing oekara tjandake moeng ditjangking wandane bae, oep.roning mlinjo(=s0)
sampoen sajah njoewoen ngaso (=nga-so)”. Diterjemahkan menjadi:
wangsalan ialah kata-kata yang disamarkan dalam kalimat, mirip dengan teka-
teki, dan Jawabannya telah terdapat dalam kalimat berikutnya, tetapi hanya
merupakan suku kata yang terbawa di dalamnya, bahkan kadang hanya bagian
dari suku katanya saja.
Penerjemahan terhadap contoh yang disertakan di atas menjadi tidak relevan
karena justru menghilangkan persamaan fonem yang dimaksud. (Misalnya:
20
roning mlinjo, sampoen sajah njoewoen ngaso; jika diterjemahkan menjadi
daun melinjo, sudah capek mohon istirahat maka tidak terlihat kemiripan
fonem antara /daun melinjo/ dengan /istirahat/). Dengan demikian hanya
penutur yang mengerti bahasa tersebut yang dapat memahami dan merasakan
fenomena persamaan fonem ini.
b. Sasrasumarta (1958:3) memahami wangsalan sebagai kata-kata yang
mengandung Jawaban atau wangsulan yang disamarkan dalam bentuk teka-teki
atau cangkriman bisa muncul dalam kalimat umumnya atau juga dalam bentuk
sinden.
c. Prawiroatmojo (1981:309) mengartikan wangsalan sebagai susunan kalimat
sebagai teka-teki; tetapi terkaannya tercantum pula dalam kalimat tersebut.
Contohnya: roning mlinjo = so, sampun sayah nyuwun ngaso.
d. Sudaryanto (1989:146) menjelaskan wangsalan adalah tuturan yang mirip teka-
teki dengan menyatakan Jawabannya secara tersamar, yaitu tidak dinyatakan
secar jelas-lugas akan tetapi hanya dinyatakan dalam satu atau dua suku kata,
yang tersusun sekaligus dalam kalimat.
e. Wijana (2013:1) mendefinisikan wangsalan sebagai formula-formula singkat
yang makna dan maksud pengutaraannya dipertalikan oleh kesamaan bunyi.
Dari kelima definisi tersebut dapat ditarik sebuah benang merah yang menjadi
persamaan diantara semuanya yaitu bentuk tuturan yang mirip dengan teka-teki.
21
Definisi wangsalan (a-d) di atas nampaknya lebih tepat ditujukan untuk jenis
wangsalan yang jawabannya dinyatakan secara tersamar terdapat pada kalimat
tersebut atau dalam kalimat berikutnya. Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan
banyak juga wangsalan yang tidak menyertakan jawabannya, sehingga definisis (e)
yang dikemukanan oleh Wijana di atas sepertinya lebih mewakili karena bersifat
umum, dapat digunakan untuk menjelaskan wangsalan Jawa maupun Bali. Yang
perlu diketahui adalah formula-formula seperti apa yang dimaksudkan serta apa
batasan dari pertalian kesamaan bunyi tersebut? Contoh-contoh yang mereka
sertakan sangat membantu dalam memahami seperti apa gaya bahasa dalam
wangsalan. Sepertinya para linguis tersebut diatas mengacu pada suatu bentuk gaya
behasa yang terdapat dalam karya sastra tradisional Jawa, seperti serat Centini, serat
Rama, serat Rengganis, dan lain sebagainya. Sedangkan di Bali, gaya bahasa seperti
ini, selain dipakai dalam komunikasi sehari-hari banyak juga ditemukan dalam sastra
tradisional berupa geguritan misalnya geguritan Kasmaran dan geguritan Sampik
yang sering dinyanyikan dengan tembang macapat beriramakan pupuh sinom.
Definisi dan contoh-contoh yang disertakan oleh bebarapa linguis di atas tentang
wangsalan sangat sesuai dengan model tuturan yang ada di Bali, yang disebut dengan
bladbadan.
Perbedaan terminoligi ini menunjukan ada sedikit kerancuan dalam
penyebutan wangsalan yang berkembang di Bali. Menurut panitia penyusun kamus
Bali-Indonesia yang diketuai oleh Warna (1978:641) wangsalan adalah pribahasa
22
yang isinya tersembunyi pada kalimat yang diucapkan misalnya; sengauk agrobag
(tujuan isinya yang harus diterka ialah “mauk bin bobab” artinya ‘bohong lagi dusta’.
Bentuknya seperti pantun dua seuntai. Sedangkan contoh-contoh pada data 1, 2, dan 3
di atas (kedis petingan poleng, blulang maukir, dan majempong bebek) disebut
bladbadan bukan wangsalan. Sebagaimana Warna (1978: 94) mengartikan
bladbadan sebagai pribahasa yang terdiri dari kalimat-kalimat yang dipanjangkan
sehingga dapat melukiskan apa yang dimaksud oleh pembicara misalnya; madamar
dilangit (bulan) maksudnya ‘berbulan-bulan’. Pemberian istilah ini kemudian
dipertegas lagi oleh Tim Peneliti Balai Penelitian Bahasa kota Singaraja Pada tahun
1980. Tim ini sepakat bahwa contoh-contoh seperti di atas diistilahkan dengan
beblabadan. Dikatakan bahwa beblabadan tersebut merupakan gaya berbahasa yang
disampaikan dalam pemakaiannya lewat permainan kata-kata yang terselubung.
Digunakannya istilah beblabadan atas pertimbangan bahwa seseorang yang
meblabadan atau mengucapkan blabadan, sebenarnya “memanjang-manjangkan”
ungkapan (dengan cara yang khas) yang digunakan untuk menyampaikan suatu
maksud yang terselubung dalam sejenis teka-teki.
Mengulu-ulur atau memanjang-manjangkan sesuatu dalam bahasa Bali
disebut dengan mabad. Misalnya mabad benang berarti ‘mengulur benang’. Kata
kerja mabad menjadi beblabadan, pertama-tama mengalami derivasi menjadi nomina
babad, kemudian mendapat sisipan (infik) -el- sehingga menjadi belabad atau
blabad, kemudian mendapat akhiran -an, menjadi blabadan. Setelah itu kata
23
blabadan mengalami proses reduplikasi partial yang regresif sehingga menjadi
beblabadan, yang berarti kata-kata dalam bahasa kias dan mengandung persamaan
bunyi atau bersajak (lihat Simpen, 1982:39).
Dalam lingkup penelitian ini, peneliti lebih memilih menggunakan istilah
wangsalan sebagaimana yang dikenal di Jawa pada umumnya, untuk merujuk pada
cara penyampaian gagasan berupa teka-teki ini. Walaupun apa yang dimaksud dengan
wangsalan di sini, tidak sama dengan apa yang dimaksud dengan wangsalan di Bali.
Berikut ini adalah contoh frase yang juga dikategorikan sebagai wangsalan:
(4) ongol-ongol China malakar kedele ‘ongol-ongol China berbahan kedelai’
(TLT.91).
Makna frase yang bergaris bawah di atas adalah tahu, dan merealisasikan maksud
sebenarnya yaitu tahunan (bertahun-tahun). Contoh yang lain (5) makunyit di alas
(TLT.52) artinya ‘temu’ mengacu pada maksud sebenarnya yaitu bertemu.
Wangsalan tersebut digunakan seperti dalam kalimat rayuan berikut: Ongol-ongol
China malakar kadele, taunan iraga mapisah, nyak ke adi makunyit dialas di sisin
pasih Sanure? ‘(kue) ongol-ongol (dari) China berbahan kedelai, bertahun-tahun kita
berpisah, bersediakah adik bertemu di tepi pantai Sanur’. Terlihat bahwa, untuk
tujuan tertentu kalimat tersebut sengaja dipanjang-panjangkan (dengan menambahkan
frase ongol-ongol China malakar kadele), dan ada kata yang diganti menjadi frase
(matemu ‘bertemu’ > makunyit di alas). Padahal maksud dari kalimat tersebut adalah
‘bertahun-tahun kita telah berpisah, bersedia kah adik bertemu di tepi pantai Sanur?’.
24
Maksud ini bisa kita pahami sekalipun wangsalan yang mengawali kalimat tersebut
dihilangkan.
1.6.2 Parikan
Istilah parikan di Bali disebut juga peparikan. Istilah inilah yang
mengaburkan pengertian wangsalan di Bali. Perhatikan bagaimana Simpen (1982)
mendefinisikan parikan:
Peparikan pateh sakadi Wewangsalan, kewanten binanipun wangsalan punika
wantah kalih palet (carik), yening peparikan kawangun antuk petang palet dados
apada (satu bait), taler mawirama miwah mapurwakanti. Peparikan puniki pateh
sakadi "madah" ring kasusastran Indonesia. Yening sihang ipun minab sakadi "Pantun", antuk "ri", punika sering masilur dados "ntun", sakadi; sari, dados =
santun. Peparikan, kruna lingganipun "parik", artinipun; awi (karang), polih
pangiring "an" dados parikan, kadwipurwayang dados: peparikan, artinipun: awi-awian utwai reragragan.
Artinya: Peperikan sama seperti wangsalan, tetapi perbedaannya wangsalan itu hanya dua baris,
kalau peperikan dibangun atas empat baris menjadi satu bait, juga memiliki irama atau
purwakanti. Peparikan itu sama seperti ‘madah’ dalam kesusastraan Indonesia. Kalau
dipadankan mungkin seperti “Pantun”, mengenai hal ini sering tertukar menjadi ‘ntun’, menjadi sari ‘pemberian’ menjadi = santun. Peparikan kata dasarnya “parik” artinya
kawi (karang), mendapatkan akhiran –an menjadi parikan mengalami reduplikasi
menjadi peparikan artinya kawi-kawian atau karya (karangan).
Jadi di Bali, contoh karya sastra yang disebut wangsalan adalah sejenis
pantun dua baris atau parikan. Sebagaimana yang kita ketahui ada pantun dua baris
dan ada juga pantun empat baris. Pantun yang dua baris inilah di Bali dikenalkan
sebagai wangsalan dan pantun yang empat baris diistilahkan dengan
parikan/peparikan. misalnya:
25
a) Buangit tali gangsa. ‘Buangit (sejenis rumput) tali gamelan’
Megae lengit, ngamah gasa. ‘Bekerja malas, makan rakus’
b) Delem Sangut Merdah Tuwalen. ‘Delam, Sangut, Merdah, Tuwalen’1
Medem bangun ngamah dogen. ‘Tidur bangun makan saja’
Contoh pantun dua baris (a) dan (b) itulah yang di Bali disebut wangsalan. Hal ini
menunjukan ada persepsi yang berbeda antara wangsalan Bali dengan wangsalan
Jawa. Pada pantu dua baris memperlihatkan persamaan bunyi pada suku kata akhir
tiap barisnya, tetapi tidak demikian dengan wangsalan. Berikut ini adalah contoh
pantun empat baris, di Bali pantun jenis ini disebut dengan peparikan:
c) Meli gabus duang kranjang, ‘Beli gabus dua keranjang’
lamben bodag sing ngenyakin. ‘mulut bodag tidak ada yang mau’.
Diapin bagus mata kranjang, ‘Walaupun ganteng mata keranjang’
nyen kodag mangenyakin. ‘siapa yang mau’.
d) Doyan liang ngandong kanji ‘Suka senang menggendong kanji’
Depang tiang ngandong pitu ‘biarkan saya menggendong tujuh’
Yaning tiang ngelong janji, ‘kalau saya mengingkari janji’
apang tiang kena tantu. ‘biar saya yang kena akibatny’.
1 Nama Punakawan dalam pegelaran wayang kulit khas Bali.
26
1.6.3 Pantun, Cangkriman dan Cecimpedan.
Pantun dan cangkriman serta cecimpedan adalah karya sastra yang memiliki
pertalian dengan wangsalan. Pantun pada intinya memanfaatkan pertalian bunyi
antara dua leksem atau lebih. Pertalian bunyi ini biasanya terletak antara bagian yang
disebut sampiran dengan bagian yang disebut Jawaban. Misalnya pantun yang sering
diucapkan oleh group lawak dalam Opera Van Java yang ditayangkan oleh salah satu
stasiun TV swasta:
Di sini gunung di sana gunung,
di tengah-tengah pulau Jawa.
Penontonnya bingung la dalangnya juga bingung.
e.. yang penting bisa ketawa.
Di lain sisi cangkriman juga dikenal dalam bahasa Bali. Bentuk tuturan
sejenis teka-teki yang sering berbentuk humor ini dalam bahasa Bali biasanya berupa
lagu atau tembang, umumnya tembang madya atau pupuh seperti pupuh pucung,
contohnya:
Berag landung, ‘Kurus tinggi’
Ngelah panak cenik liu, ‘Punya anak kecil banyak’
Memene slelegang, ‘Ibu nya disandarkan’
Panak ne jekjek enjekin, ‘Anak nya injak-injak’
Menek tuun, ‘Turun naik’
Memene gelut gisiang. ‘Ibu nya peluk (dan) pegang’.
27
Jawaban atau maksud dari cangkriman tersebut adalah “tangga” yang
biasanya berupa dua buah tiang yang dihubungkan oleh beberapa bilah kayu/logam
horizontal yang disandarkan dengan kemiringan tertentu pada objek yang vartikal.
Agar menarik dan terkesan jenaka cangkriman tersebut menggunakan kalimat-
kalimat yang terkesan porno walaupun maksud sebenarnya tidaklah demikian, seperti
pada kalimat: memene slelegang dan menek tuun serta gelut gisiang. Jadi cangkriman
adalah cecipedan (teka-teki) yang berbentuk lagu.
Hampir sama dengan cangkriman, cecimpedan dapat diartikan sebagi sebuah
teka-teki yang dituturkan untuk bersenda-gurau, agar menimbulkan tawa, yang pada
akhirnya menambah semangat ditengah-tengah kelelahan atau kejenuhan karena
melakukan kerja yang menoton. Lain halnya dengan cangkriman, cecimpedan ini
bentuknya berupa kalimat tanya yang diawali oleh kata tanya apa(ke) ‘apakah’
kemudian dilanjutkan dengan pendeskripsian singkat tentang objek yang ditanyakan.
Misalnya:
1) Apa di cerikne mapusung, di kelihne magambahan? ‘Apa saat kecil
(rambutnya) diikat, setelah besar dibiarkan terurai?’
2) Apake anak cerik matapel? ‘Apa anak kecil memakai topeng?’
3) Apa anak cerik maid enceh? ‘Apa anak kecil menarik air kencing?’
4) Apa cekuk baongne, godot basangne pesu gending? ‘Apa cekik lehernya,
sayat perutnya keluar lagu?’
28
Jawaban cecimpedan (teka-teki) tersebut diatas berturut-turut adalah: padi,
capung, jarum, dan biola. Kata-kata yang digunakan dalam teka-teki tersebut
memperlihatkan kata-kata yang berbentuk metaforis. Dipilihnya kata-kata tersebut
karena memiliki sifat atau prilaku yang hampir sama dengan makna kata yang
sebenarnya. Seperti pada contoh (3) cecimpedan di atas, Jawabannya adalah “jarum”;
diibaratkan seperti anak kecil yang sedang kencing. Tentu saja jarum yang dimaksud
adalah jarum jahit dengan benangnya yang menjuntai diibaratkan seperti air kencing
yang sedang keluar.
Dari beberapa uraian di atas dapat ditegaskan bahwa adanya semacam teka-
teki serta adanya pemanfaatan pertalian bunyi yang sama secara bersamaan
ditemukan dalam wangsalan, bladbadan, parikan, pantun, cangkriman dan
cecimpedan, namun polanya memiliki perbedaan satu sama lain. Dalam beberapa hal
wangsalan Jawa memiliki kemiripan dengan wangsalan Bali khususnya formulanya
yang mirip teka-teki. Beberapa kalimat yang mengandung wangsalan, menyertakan
jawabannya pada klausa berikutnya, namun ada juga tanpa disertai jawaban. Hal ini
mungkin karena wangsalan tersebut telah umum didengar, dan mitratutur dianggap
telah mengerti apa yang dimaksud oleh penuturnya. Wangsalan yang tidak disertai
jawaban disebut wangsalan tunggal, misalnya dalam bahasa Jawa: klambi cendak
‘kotang’ > ora ketang ‘walaupun’; dalam bahasa Bali: baju tanpa lima ‘baju tanpa
lengan’ (BB: baju kutang) > kutang ‘(bisa juga berarti) buang’. Sedangkan yang
disertai jawabannya disebut dengan wangsalan rangkep. Misalnya pada wangsalan
29
dalam bahasa Jawa: carang wreksa, wreksa kang rineka janma, nora gampang, golek
kawruh mring kaonang. ‘ranting kayu (pang > gampang), kayu yang dibuat patung
(golek = BI: boneka/patung; mencari), tidak mudah mencari pengetahuan untuk
tenar’. Adanya rangkaian kata-kata indah pada wangsalan tersebut seperti terdapat
dalam karya sastra, maka wangsalan ini disebut juga wangsalan edi-peni; Contoh
dalam bahasa Bali: (6) Sampun ngetep tegil siap, manegesang matur ring gusti
‘Sudah memotong jalu ayam, menegaskan berkata kepada dinda’(GK.28.a). Ngetep
tegil siap = neges > negesang ‘menegaskan’ (bandingkan Nugroho: 1986:4, Wijana:
2013:5).
Terlepas dari permasalahan terminomologi, dari segi bentuk wangsalan Bali
yang disebut dengan bladbadan (oleh: Warna:1979, Simpen: 1982, Sukrawati:1987,
1985, Arnawa: 2005, 2007 dan Suteja: 2011), terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama
disebut dengan bantang/giing berupa frase yang terdiri dari dua atau tiga kata.
Sedangkan bagian kedua disebut dengan arti sujati yaitu arti sebenarnya dari frase
bagian pertama tadi, dan yang ketiga adalah arti paribasa yaitu maksud yang
terkandung dalam wangsalan tersebut. Contohnya:
1. Bantang (giing) :(7) mapanak tivi ‘anak tivi’ (TLT.56).
2. Arti sujati : remot (kontrol).
3. Arti paribasa : ngerimut ‘marah/jengkel’ (terealisasi dari persamaan bunyi).
30
Wangsalan tersebut misalnya digunakan dalam kalimat: Raos adine ngae
basang beline mapanak tivi ‘Perkataan adik membuat perut kakak seperti anaknya
televisi, maksudnya adalal remot kontrol’. “Remot” memiliki pertalian fonem dengan
kata “ngerimut’ (ngerimut: semacam perasaan kesal atau marah). Jadi maksud
sebenarnya dari kalimat yang mengandung wangsalan diatas adalah: ‘Perkataan adik
membuat perut kakak ngerimut’ (marah). Hal ini menunjukan bahwa wangsalan tidak
hanya ditemukan dalam bentuk karya sastra, tetapi ada juga jenis wangsalan yang
dipakai dalam pergaulan sehari-hari, misalnya untuk menyindir seseorang secara
halus, menasehati, bahkan untuk memberikan perintah.
1.6.4 Stilistika
Stilistika adalah teori tentang penggunaan sistem tanda dalam kegiatan
komunikasi dengan berbagai kemungkinan efek yang ditimbulkannya sesuai dengan
jenis tuturan dan motif penuturnya (Aminudin, 1995:309). Kridalaksana (2001:202)
mendefinisikan stilistika adalah ilmu yang menyelidiki bahasa yang digunakan dalam
karya sastra; 1) Ilmu interdesipliner antara linguistik dan kesusastraan. 2) penerepan
linguistik pada penelitian gaya bahasa. Dalam stilistika dibahas mengenai berbagai
gaya yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan idenya secara bebas tanpa
dibatasi oleh kaedah-kaedah linguistik; bentuk ekspresi, dan bentuk simbolik. Bentuk
bahasa kias dalam karya sastra dan aspek bunyi yang sering digunakan merupakan
unsur yang membentuk nilai estetika.
31
Gaya merupakan cara yang digunakan pengarang dalam memaparkan
gagasan sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapainya. Dalam kreasi
penulisan sastra, efek tersebut terkait dengan upaya memperkaya makna,
penggambaran objek dan peristiwa secara imajinatif, maupun pemberian efek emotif tertentu bagi pembacanya. Wahana yang digunakan untuk memaparkan gagasan
dengan berbagai efek yang diinginkan tersebut bukan hanya mengacu pada lambang
kebahasaan melainkan juga pada berbagai macam bentuk sistem tanda yang secara potensial dapat digunakan untuk menggambarkan gagasan dengan berbagai
kemungkinan efek estetis yang ditimbulkan.
(Aminudin. 1995: v)
Cara penyampaian gagasan dalam wangsalan yang tidak lugas dan cukup
unik memerlukan pengetahuan yang cukup untuk memahaminya. Cara ini bisa
disebut “penyampaian gagasan dalam komunikasi sastra”. Dalam komunikasi sastra,
gagasan itu diupayakan tertampil secara kaya sehingga mampu membuahkan efek
emotif tertentu. Efek emotif yang dimaksud adalah kemampuan paparan sastra dalam
membangkitkan citraan, suasana, maupun emosi tertentu bagi penanggapnya
(Aminudin, 1995: 43).
Penyampaian gagasan melalui wangsalan sebenarnya merupakan bentuk
komunikasi yang efektif, yang sanggup memberikan efek seperti yang diinginkan
walaupun terkesan kurang efesien dalam segi penggunaan kata. Apa yang dimaksud
dengan komunikasi? Mulyana (2008:3) menguraiakan bahwa komunikasi adalah
proses berbagi makna melalui prilaku verbal dan nonverbal. Segala prilaku bisa
disebut komunikasi jika melibatkan dua orang atau lebih. Budaya dan komunikasi
berinteraksi secara erat dan dinamis. Inti budaya adalah komunikasi karena budaya
muncul melalui komunikasi. Bahasa sebagai salah satu wujud kebudayan akan
32
mempengaruhi pikiran seseorang, dan sebaliknya, pikiran akan menentukan wujud
kebahasaan yang diujarkan seseorang (Wijana, 1985: 2).
Gaya penyampaian gagasan yang memanfaatkan potensi-potensi bunyi yang
dimiliki oleh sebuah sistem bahasa, merupakan wujud kecanggihan kreativitas dan
imajinasi pengarangnya. Sudaryanto (1989: 146 - 150) mengapresiasinya sebagai
bentuk-bentuk ikonik atau yang lebih tepatnya keikonikan yang meta lingual. Prihal
keikonikan telah diperhatikan oleh beberapa ahli dari disiplin semiotik maupun
filologi. Hanya saja penyebutannya berbeda. Ahli semiotik memakai istilah
Symbolism (sound symbolism, phonetic symbolism) dan ahli filologi tradisional
menggunakan istilah anomatopoeia. Sudaryanto sendiri memandangnya sebagai
perubahan bunyi. Wangsalan, baik yang ditemukan dalam karya sastra maupun dalam
kehidupan sehari-hari dapat dianalisis dengan pendekatan stilistika, karena
mengandung gaya penyampaian gagasan yang berisi penyimpangan kaedah-kaedah
linguistik, tetapi sarat dengan makna.
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini mengacu kepada penelitian deskriptif kualitatif, yaitu suatu
strategi penelitian yang menghasilkan data atau keterangan yang dapat
mendeskripsikan realita sosial dan peristiwa-peristiwa yang terkait dalam
kehidupan masyarakat. Penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan fakta-
fakta penggunaan bahasa apa adanya secara sinkronik karena penelitian ini dilakukan
33
pada waktu tertentu dan bukan secara historis dari waktu ke waktu (Alwasilah, 2005:
51-52). Istilah deskriptif juga menyarankan bahwa penelitian yang dilakukan semata-
mata hanya berdasarkan kepada fakta yang ada, atau fenomena yang memang secara
empiris hidup pada penutur-penuturnya sehingga dihasilkan perian bahasa yang
seperti potret atau berupa paparan apa adanya (Sudaryanto, 1986: 62). Penelitian
jenis kualitatif dimaksudkan sebagai penelitian yang temuan-temuanya tidak
diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya, tetapi
menggunakan prosedur yang menghasilkan temuan yang diperoleh dari data-data
yang dikumpulkan dengan menggunakan beragam sarana. Sarana itu meliputi
pengamatan, wawancara, namun bisa juga mencakup dokumen, buku, kaset
video, dan sebagainya. Ciri penting penelitian ini adalah: memberikan perhatian
utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai studi
kultural. Penelitian kualitatif ditunjang oleh metode analisis isi (conten analysis).
Isi dalam metode analisis ini terdiri atas dua macam, yaitu isi tersurat dan isi
tersirat. Isi tersurat adalah isi yang terkandung dalam dokumen dan naskah,
sedangkan isi tersirat adalah pesan yang terkandung sebagai akibat
dimanfaatkannya simbol-simbol bunyi yang terkait dengan kondisi di sekitarnya.
1.7.1 Metode Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini adalah obyek penelitian berupa wangsalan itu sendiri
dalam bahasa Bali serta berbagai konteks yang ada di sekitarnya. Konteks ini bisa
34
berupa kalimat ataupun teks yang mengambarkan segala aspek kehidupan masyarakat
penuturnya. konteks yang dimaksud bisa juga berupa informasi dan keterangan dari
masyarakat pengguna maupun pemerhati wangsalan. Untuk mendapatkan informasi
tentang penggunaan wangsalan pada masyarakat, baik lingkungan pelajar maupun
masyarakat biasa, penelitian ini juga melibatkan informan yang dianggap kompeten
dalam bidang bahasa serta segala sesuatu yang memiliki keterkaitan dengan topik
penelitian.
Wangsalan sebagai objek penelitian dikumpulkan dari beberapa sumber:
a. Geguritan Kasmaran; (Data dari sumber ini diberi kode (GK.1.a dan
seterusnya) angka 1-39 merupakan identitas bait, sedangkan huruf (a-g
merupakan nomor wangsalan pada bait tersebut. Misalnya data dengan kode
GK.28.c artinya data tersebut bersumber dari geguritan Kasmaran bait 28
wangsalan ketiga). Naskah Geguritan Kasmaran diperoleh dari lampiran
penelitian Suteja (2011). Naskah geguritan tersebut sebenarnya merupakan
karya seorang Perbekel (kepala desa) Selat, Kabupaten Karangasem Bali,
yang bernama Ketut Rumiasta ditulis dalam sebuah buku sekitar tahun 1940-
an dalam aksara Bali. Karya tersebut telah disalin kedalam bentuk lontar yang
berjumlah 6 lembar dengan ukuran 50 x 3,8 cm disimpan di Gdong Kirtya
Kabupaten Singaraja Bali dalam kropak dengan nomor iv d 2196/16. Lontar
ini juga telah ditranslasikan kedalam aksara latin oleh Ketut Ginarsa dengan
35
judul Geguritan Kasmaran, Teks dan Terjemahan. (Sukrawati, 1987:31 dalam
Suteja, 2011:24).
b. Geguritan Sampik; (data dari sumber ini diberi kode GS.1 dan seterusnya).
Penulis tidak berhasil menemukan teks lengkap dari geguritan ini, hanya
beberapa baitnya saja yang bisa ditelusuri di internet dan dijadikan data dalam
penelitian ini. Menurut Wayan Simpen A.B. geguritan Sampik ditulis pada
tanggal 15 Januari 1916 oleh Ida Ketut Sari dari Sanur, Namun populer
setahun kemudian lewat pertunjukan seni drama dan tari yang di Bali disebut
dengan arja.
c. Tuturan lisan maupun tertulis; (data dari sumber ini diberi kode TLT.1 dan
seterusnya). Sumber data ini merupakan hasil wawancara penulis dengan
penutur asli bahasa Bali. Data dalam sumber ini ada yang disampaikan secara
lisan ada juga dalam bentuk tulisan. Sebagian dari data terbut hanya berupa
objek penelitian berupa contoh wangsalan tanpa disertai dengan konteks. Oleh
karena itu, peneliti berusaha menemukan beberapa konteks dari objek tersebut
dalam beberapa situasi pemakaian. Harus diakui dengan jujur bahwa
beberapa kalimat yang dijadikan sampel merupakan hasil introspeksi penulis
sebagai penutur asli bahasa Bali, namun demikian validitas data yang berupa
objek penelitian bukanlah rekaan tetapi data yang objektif dan dapat
dipertanggungjawabkan.
36
d. Tayangan dalam VCD Wayang Ceng-Blonk (Data dengan kode WCB.1 dan
seterusnya). Seorang dalang muda yang bernama I Wayan Nardayana berasal
dari Tabanan Bali telah berhasil menarik penonton dalam pementasan
wayangnya kulitnya. Wayang Ceng-Blonk merupakan sebutan pementasan
wayang ala Nardayana yang dulunya bernama wayang Gitaloka. Namun,
seiring dengan perkembangannya masyarakat banyak menyebut wayang ini
dengan wayang Ceng-Blonk karena pada setiap pertunjukannya Nardayana
selalu menampilkan tokoh Nang Klenceng dan Nang Eblong (yang akrab
dengan panggilan Cenk dan Blonk) di samping empat punakawan baku dalam
wayang kulit Bali: Tualen, Merdah, Sangut, dan Delem. Pemasangan dua
karakter kuat Cenk dan Blonk inilah salah satu hal yang menyebabkan wayang
Ceng-Blonk berbeda dari pertunjukan-pertunjukan wayang tradisional Bali
lainnya yang biasanya hanya menggunakan empat tokoh punakawan baku.
Dalam pegelaran wayang yang juga diproduksi berupa kaset VCD ini, kita
bisa menemukan berbagai permainan bahasa yang salah satunya berupa
wangsalan.
Selain dari hasil sumber-sumber yang telah disebutkan di atas, penulis juga
melakukan penelusuran blog-blog di internet tentang wangsalan, Data-data dari
sumber tersebut dikumpulkan dengan teknik simak disertai pencatatan. Tidak semua
data-data yang ditemukan terikat dengan suatu konteks, tetapi sebagian hanya berupa
objek wangsalan saja, sehingga penulis berusaha menambahkannya dengan konteks
37
yang diambil dari tuturan yang lain maupun hasil introspeksi penulis sebagai penutur
asli bahasa Bali.
1.7.2 Metode Analisis Data
Data yang dikumpulkan dari hasil penelitian dianalisis dan dikelompokan
kedalam beberapa kategori menggunakan pendekatan deskripsi kualitatif. Kegiatan
analisis yang bertujuan untuk menemukan maksud sebuah wangsalan merupakan
kegiatan yang paling menarik, karena penulis merasa menemukan Jawaban dari
sesuatu yang sebelumnya merupakan teka-teki. Langkah-langkah yang digunakan
dalam analisis ini adalah sebagai berikut:
a. Menemukan makna sebuah wangsalan.
Memutuskan sebuah satuan lingua termasuk wangsalan atau bukan sangat
penting dilakukan guna mengidentifikasi objek penelitian. Identifikasi ini
tidaklah terlalu sulit, karena bahasa yang diteliti merupakan bahasa yang
dipahami oleh penulis. Kesulitan karena keterbatasan kosa kata dapat diatasi
dengan referensi-referensi yang telah dibaca. Setelah objek ditentukan, barulah
dilakukan penelusuran tentang makna denotasi kemudian menemukan makna
asosiatifnya yang didaftar dalam tabel data lampiran penelitian ini.
b. Penomeran data; hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui dari mana data
tersebut berasal dengan demikian penulis akan dengan mudah mengetahui
bagaimana objek yang sedang dianalisis, digunakan dalam bentuk tuturan yang
lebih luas.
38
c. Reduksi data adalah sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar, yang diperoleh
dari berbagai catatan-catatan tertulis di lapangan. Jadi, reduksi data
merupakan suatu bentuk analisis yang mempertajam, menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan
cara sedemikian rupa, sehingga diharapkan sampai pada kesimpulan yang
valid.
d. Penyajian data merupakan bagian dari analisis untuk merangkai atau
menyusun informasi yang memberi kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah berbentuk tabel data yang dilengkapi dengan kode data
untuk mengetahui sumbernya.
e. Menarik kesimpulan; Dari permulaan pengumpulan data sudah mulai
dilakukan pencatatan tentang keteraturan, pola-pola, penjelasan alur sebab akibat
dan proporsi-proporsi. Setelah mencermati hasil analisis, akhirnya kegiatan
penelitian ini ditutup dengan menarik kesimpulan akhir yang bersifat utuh.
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian hasil analisis merupakan tahap akhir kegiatan penelitian yang
dilakukan secara informal, berupa uraian kata-kata, kalimat, atau narasi.
39
Namun, jika dibutuhkan penggunaan data kuantitatif yang disertai oleh teknik
formal berupa bagan, grafik atau tabel sebagai pelengkap narasi.
1.8 Sistematika Penyajian
Keseluruhan hasil penelitian disajikan dalam enam bab sebagai berikut:
a. Bab I Pendahuluan, meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, dan metode
penelitian.
b. Bab II Pembahasan untuk menJawab permasalahan pertama, berisi tentang
bentuk-bentuk wangsalan Bali berdasarkan satuan lingua.
c. Bab III berisi uraian tentang proses pembentukan wangsalan dan formula-
formula yang memperlihatkan hubungan antra makna dan maksud wangsalan.
d. Bab IV berusaha menJawab permasalahan yang ke 3 yaitu mengandung beberapa
uraian tentang jenis-jenis wangsalan.
e. Bab V berisi uraian tentang fungsi komunikatif dan referen-referen dalam
wangsalan Bali.
f. Bab VI merupakan penutup yang berisi kesimpulan atas semua permasalahan
yang diuraikan kembali secara singkat sesuai dengan poin-poin pada bab II
sampai bab V.