bab i pendahuluan 1. latar belakang...

26
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Menjadi bagian dari Kepolisian Republik Indonesia merupakan satu capaian karier yang prestisius di dalam masyarakat Indonesia. Selain harus melalui seleksi ketat, menjadi polisi juga memikul tanggung jawab yang besar terkait dengan „melindungi dan mengayomi‟ masyarakat. Apalagi dengan menilik data bahwa perbandingan jumlah polisi dan masyarakat (police ratio) Indonesia per tahun 2014 masih pada angka 1 : 575. Angka tersebut masih jauh dari police ratio normal yakni 1 : 250 atau 1 : 300 yang artinya satu anggota polisi sewajarnya „bertanggung jawab‟ atas maksimal 300 individu masyarakat (WHY 2014). Meskipun demikian, berdasarkan pengamatan sederhana yang dilakukan oleh peneliti, masyarakat justru masih memiliki persepsi negatif terkait profesi yang satu ini. Lekat dalam benak mereka bahwa profesi polisi penuh dengan tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) mulai dari awal seleksi hingga dalam menjalankan pekerjaannya. Selain itu, perut buncit yang dimiliki oleh kebanyakan anggota polisi diartikan sebagai wujud minimnya tindak kerja lapangan para polisi, dan simbol uang kotor yang mereka telan. Selanjutnya yang paling umum didengar di tengah masyarakat, yakni bahwa razia atau tindak pengamanan lalu lintas yang dilakukan polisi semata karena mereka tengah mencari „uang sampingan‟, bukan atas dasar adanya Surat Perintah Tugas (SPT) yang dikeluarkan oleh petinggi mereka (Pramesti, 2015). Hal itu terbukti dengan mudahnya mereka disuap dengan sejumlah Rupiah, sehingga oknum yang terkena tilang bisa bebas pergi dan tidak perlu mengikuti persidangan tilang di pengadilan negeri setempat. Di luar alasan yang dikemukakan, masih banyak alasan di balik persepsi negatif masyarakat terhadap profesi polisi. Persepsi negatif masyarakat terhadap polisi juga dibenarkan oleh beberapa jurnal penelitian yang menyatakan hal senada. Dalam jurnal yang berjudul “Persepsi Masyarakat Tentang Polisi (Suatu Kajian Kriminolog)”, Fini (2013)

Upload: hakien

Post on 11-Apr-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Menjadi bagian dari Kepolisian Republik Indonesia merupakan satu capaian

karier yang prestisius di dalam masyarakat Indonesia. Selain harus melalui seleksi

ketat, menjadi polisi juga memikul tanggung jawab yang besar terkait dengan

„melindungi dan mengayomi‟ masyarakat.

Apalagi dengan menilik data bahwa perbandingan jumlah polisi dan

masyarakat (police ratio) Indonesia per tahun 2014 masih pada angka 1 : 575.

Angka tersebut masih jauh dari police ratio normal yakni 1 : 250 atau 1 : 300

yang artinya satu anggota polisi sewajarnya „bertanggung jawab‟ atas maksimal

300 individu masyarakat (WHY 2014).

Meskipun demikian, berdasarkan pengamatan sederhana yang dilakukan

oleh peneliti, masyarakat justru masih memiliki persepsi negatif terkait profesi

yang satu ini. Lekat dalam benak mereka bahwa profesi polisi penuh dengan

tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) mulai dari awal seleksi hingga

dalam menjalankan pekerjaannya. Selain itu, perut buncit yang dimiliki oleh

kebanyakan anggota polisi diartikan sebagai wujud minimnya tindak kerja

lapangan para polisi, dan simbol uang kotor yang mereka telan. Selanjutnya yang

paling umum didengar di tengah masyarakat, yakni bahwa razia atau tindak

pengamanan lalu lintas yang dilakukan polisi semata karena mereka tengah

mencari „uang sampingan‟, bukan atas dasar adanya Surat Perintah Tugas (SPT)

yang dikeluarkan oleh petinggi mereka (Pramesti, 2015). Hal itu terbukti dengan

mudahnya mereka disuap dengan sejumlah Rupiah, sehingga oknum yang terkena

tilang bisa bebas pergi dan tidak perlu mengikuti persidangan tilang di pengadilan

negeri setempat. Di luar alasan yang dikemukakan, masih banyak alasan di balik

persepsi negatif masyarakat terhadap profesi polisi.

Persepsi negatif masyarakat terhadap polisi juga dibenarkan oleh beberapa

jurnal penelitian yang menyatakan hal senada. Dalam jurnal yang berjudul

“Persepsi Masyarakat Tentang Polisi (Suatu Kajian Kriminolog)”, Fini (2013)

menyatakan bahwa stigma negatif masyarakat sulit untuk diubah sekali pun pihak

kepolisian sudah melakukan berbagai usaha, hal itu dikarenakan adanya proses

labeling yang terlanjur menghasilkan stigma bahkan membentuk persepsi di

tengah masyarakat.

Sementara Yuwono (2010) menyebutkan bahwa penilaian miring

masyarakat sebenarnya terkait dengan tingkat profesionalitas polisi itu sendiri,

terutama yang terkait dengan kapabilitas, transparasi, dan netralitas polisi dalam

penanganan dan penegakan hukum. Hasil survei tentang pandangan masyarakat di

media, juga menunjukkan kepercayaan publik terhadap POLRI memang

cenderung menurun (Salim, 2015).

Penelitian ini menjadikan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta

sebagai objek penelitian. DIY dipilh karena beberapa alasan, antara lain

demografi masyarakat yang dinamis, heterogenitas latar belakang masyarakat

yang beragam baik dari segi pendidikan, agama, suku, dan sebaganya, terakhir

karena NKRI dapat direpresentasikan secara efektif melalui sebuah provinsi kecil

bernama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Di tengah pandangan miring masyarakat tentang profesi polisi, hadirlah

sebuah program televisi berjudul 86, hasil kerja sama NET. Mediatama dengan

Kepolisian Republik Indonesia. 86 merupakan program bergenre reality show

yang menayangkan tugas polisi dalam menjalankan kewajibannya terkait

melindungi dan mengayomi masyarakat dalam berbagai kegiatan dari tugas ringan

hingga berat misalnya razia, penyergapan, penertiban, penggerebekan dan

sebagainya. Tayang setiap Senin sampai Jumat pukul 21.30 WIB, 86 mengajak

penonton untuk menyaksikan secara langsung keadaan di tempat kejadian perkara

yang acapkali menegangkan dan memacu adrenalin. Tidak hanya berhenti sampai

disitu, 86 juga sedikit mengangkat sisi humanis dari profesi seorang polisi.

Sesekali kehidupan polisi sebagai manusia biasa yang juga berkeluarga,

ditunjukkan dalam program berdurasi 30 menit ini (NET. TV, 2014).

Di dalam tayangan 86, kemampuan polisi sebagai sebuah tim seringkali

dipertontonkan dalam sebentuk kerjasama yang solid dan koordinasi yang matang.

Namun tidak hanya itu, 86 juga memberi ruang yang cukup untuk

memperlihatkan kemampuan individu polisi sebagai seorang anggota yang dengan

sigap dan tegas mengambil tindakan dalam bertugas. Misalnya, dalam kegiatan

penertiban lalu lintas, kemampuan serta tingkat profesionalitas individu seorang

anggota sangat dipertontonkan.

Dari wawancara yang diakukan dengan pihak Humas POLDA DIY,

Kompol Sri Sumarsih, diketahui bahwa tujuan utama dari tayangan program 86

sebenarnya bukan hanya untuk menunjukkan kinerja kepolisian, akan tetapi juga

untuk menyosialisasikan berbagai kebijakan baru, mengkampanyekan kepada

masyarakat untuk taat pada peraturan, dan untuk menunjukkan sisi humanis

seorang anggota polisi yang selama ini kerap ditakuti dan dihindari oleh

masyarakat. Sehingga, pada akhirnya masyarakat menjadi dekat dengan

kepolisian dan bisa terjalin hubungan timbal balik yang menguntungkan bagi

kedua belah pihak.

Menurut Sumiarsih (2017), secara lebih konkrit kerjasama antara POLRI

dan NET. TV ini dijalin dengan tujuan peningkatan citra institusi POLRI secara

umum. Terlebih, ketika program 86 mulai ditayangkan, tengah hangat di

masyarakat kasus „Cicak vs Buaya‟ (KPK vs POLRI) dan POLRI menjadi pihak

yang tersudutkan ketika itu dibanding KPK yang sukses meraup simpati

masyarakat. Menayangkan program 86 kiranya menjadi senjata pamungkas bagi

kepolisian untuk melakukan rebranding institusi setelah berbagai usaha yang

telah dilakukan sebelumnya tak juga membuahkan hasil yang maksimal. Sebelum

86, POLRI telah menggandeng media untuk berbagai program tayangan yang

menayangkan khusus tentang kegiatan atau informasi seputar kegiatan kepolisian,

namun dalam konsep yang berbeda. Misalnya Halo Polisi di Indosiar dan segmen

khusus lalu lintas di Apa Kabar Indonesia Pagi TV One.

Masyarakat juga beberapa kali sempat menerima terpaan informasi

mengenai polisi namun dengan muatan positif. Misalnya kisah Bripda Taufik,

seorang pemuda yang awalnya tinggal di kandang sapi namun berkat

kegigihannya bisa menjadi seorang polisi dengan biaya Rp 0, artinya dia menjadi

polisi tanpa uang hantaran (Ari 2015). Kemudian ada pula Bripka Seladi, seorang

polisi di Kota Malang yang mempunyai pekerjaan sampingan sebagai seorang

pemulung demi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya dengan uang yang halal

(Yuswantoro 2016). Diketahui dari sumber yang sama, menurut, Kompol Sri

Sumarsih pemberitaan mengenai anggota kepolisian ini masih dalam rangka

membangun citra kepolisian melalui media.

NET. TV merupakan salah satu dari sekian banyak media yang digandeng

bekerja sama oleh POLRI. Disebutkan oleh Rianto, dkk (2014) Net. merupakan

stasiun penyiaran baru di Indonesia yang pertama kali diluncurkan pada 26 Mei

2013. Program 86 ini sendiri pertama kali disiarkan oleh NET. TV pada 2 Agustus

2014 silam, kurang lebih sudah 2 tahun disiarkan semenjak penelitian ini ditulis.

Sementara jaringan NET. TV baru memasuki wilayah DIY pada tanggal 5

Oktober 2015 kemarin (Diyanto, 2015). Itu berarti sudah lebih dari satu tahun

lamanya masyarakat Yogyakarta menerima siaran program 86 dari Net. TV,

sehingga sudah cukup kuat apabila peneliti menjadikan program tersebut sebagai

objek material dalam penelitian ini, meskipun rating and share program-program

di NET. TV secara nasional masih jauh di bawah televisi-televisi hiburan lainnya.

Dikutip dari akun Facebook “Rating dan Info Program TV Indonesia”, program

dengan peringkat rating share tertinggi per 21 Juni 2016 didominasi oleh program

bergenre hiburan seperti sinetron dan sitkom (situasi komedi). Sementara sebagai

sebuah stasiun televisi, masih dari sumber yang sama- NET. TV tidak masuk

dalam jajaran 10 televisi dengan rating dan share tertinggi.

Padahal, berdasarkan survei yang dilakukan oleh KPI pada Maret-April

2015 lalu, NET. TV merupakan salah satu stasiun televisi dengan kualitas konten

dan audio visual terbaik. Terbukti dengan salah satu programnya yang berhasil

menduduki 10 program paling berkualitas, yakni Ini Talkshow. Pencapaian itu

cukup untuk dikatakan gemilang mengingat usia NET. TV yang ketika itu belum

genap 2 tahun mengudara. Kemudian di tahun 2016, pada pertengahan April NET.

TV berhasil mengungguli Metro TV dan bersaing ketat dengan TV One di

peringkat 10 besar televisi dengan share tertinggi.

Televisi diketahui merupakan jenis media massa yang paling populer dan

kuat di dalam masyarakat. Idianto (dikutip oleh Halim, 2015) menjelaskan bahwa

kekuatan itu terletak pada kemasifan, keseketikaan, dan pesona citra, serta

jangkauannya yang luas. Jika dibandingkan media konvensional lain, televisi

menang jauh dalam hal penyajian pesan karena diwujudkan melalui audio, video,

dan juga visual, sehingga pesan yang disampaikan akan lebih mudah diterima oleh

penontonnya. Penonton televisi hanya perlu menerima pesan dengan pasif tanpa

perlu melakukan apapun, berbeda dengan khalayak media cetak yang harus

memiliki kemampuan membaca agar dapat mengerti pesan yang dimaksudkan,

artinya khalayak ini bersifat aktif. Atas dasar itu, televisi, lagi-lagi berhasil

menarik lebih banyak khalayak dibandingkan dengan media lain. Televisi

memiliki persebaran yang luas, bahkan bisa dikatakan telah memasuki setiap

rumah yang ada dengan tanpa biaya sedikit pun, berbeda dengan media cetak yang

harus dibeli terlebih dahulu agar bisa sampai di rumah-rumah.

Survei yang dilakukan oleh AC Nielsen tentang konsumsi media

masyarakat Indonesia menyatakan bahwa televisi merupakan medium yang paling

banyak diakses dengan prosentase sebesar 95%. Baru kemudian internet 33%,

disusul dengan radio 20%, surat kabar 12%, tabloid 6%, dan terakhir majalah

sebanyak 5%. Tidak jauh berbeda, hasil yang didapatkan dari survei yang khusus

dilakukan di 5 kota besar Pulau Jawa (termasuk Yogyakarta didalamnya) juga

menempatkan televisi sebagai media yang paling jamak diakses oleh masyarakat,

yakni sebanyak 93%. Masih dari survei yang sama, diketahui bahwa masyarakat

di Jawa (Yogyakarta) lebih gemar menyaksikan program pertandingan olahraga

daripada program bergenre drama, hiburan, dan lain sebagainya (The Nielsen

Company, 2014).

Dari hasil survei tersebut dapat diketahui di antara beragam pilihan media

yang tersedia, televisi tetap menjadi pilihan utama khalayak, bahkan jika

dibandingkan dengan internet yang lebih aksesibel. Kemudian, dari sekian banyak

jenis program yang ada di televisi, program faktual lebih banyak di gemari oleh

masyarakat Jawa, dibandingkan dengan program-program hiburan yang bersifat

fiktif.

Selain kekuatan media, pengalaman khalayak berinteraksi dengan

kepolisian baik secara institusi maupun individu juga akan menjadi hal yang

sangat diperhatikan dalam penelitian ini. Hal itu bisa menjadi salah satu faktor

luar yang memengaruhi persepsi masyarakat terhadap profesi polisi selain

program 86.

Penelitian ini menjadi menarik ketika mengetahui adanya persepsi negatif

yang dimiliki masyarakat terhadap polisi. Sementara televisi sebagai media

terpopuler dan paling berpengaruh, justru menerpa masyarakat dengan

menghadirkan sebuah tayangan dengan pesan utama yang berkebalikan dengan

persepsi masyarakat yang ada, yakni melalui 86 dan beberapa fakta positif tentang

realitas kehidupan beberapa oknum polisi melalui terpaan informasi lainnya.

Berdasarkan paparan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

kuantitatif dengan judul “Survei Pengaruh Terpaan Tayangan 86 NET. TV

terhadap Persepsi Masyarakat Provinsi DIY tentang Polisi”.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang ada, rumusan penelitian ini adalah sebagai

berikut.

“Bagaimana pengaruh terpaan tayangan 86 NET. TV terhadap persepsi

masyarakat Provinsi DIY tentang polisi?”

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa hal, yakni:

A. Mencari ada atau tidaknya pengaruh terpaan tayangan 86 NET. TV

terhadap persepsi masyarakat Provinsi DIY tentang polisi;

B. Mengetahui bagaimana terjadinya pengaruh terpaan tayangan 86 NET.

TV terhadap persepsi masyarakat Provinsi DIY tentang polisi.

4. Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini nantinya adalah sebagai

berikut.

A. Manfaat Teoritik

1) Memperkuat dan memperkaya kajian Ilmu Komunikasi

khususnya terkait dengan pengaruh media massa terhadap

khalayak.

2) Menjadi referensi yang berbobot untuk penelitian sejenis di masa

yang akan datang.

B. Manfaat Praktis

1) Bagi media, hasil penelitian ini memberikan gambaran tentang

kondisi khalayak sehingga dapat dijadikan referensi untuk

melakukan evaluasi dan koreksi terhadap program yang mereka

siarkan.

2) Bagi masyarakat, penelitian ini menjadi informasi yang bisa

digunakan apabila membutuhkan sewaktu-waktu.

5 Kerangka Pemikiran

Televisi merupakan salah satu media penyiaran konvensional yang memiliki

kapasitas tinggi untuk menyampaikan pesan kepada khalayak secara efektif. Tidak

hanya itu, televisi juga diklaim memiliki kemampuan yang baik dalam hal

memengaruhi persepsi, pikiran, sudut pandang, dan keyakinan audiens. Hal itu

sangat berhubungan dengan besar kecilnya terpaan media (televisi) yang terjadi.

Semakin besar terpaan yang ada maka semakin banyak pesan yang diterima dan

semakin besar kemungkinan terjadinya perubahan pada aspek kogntif maupun

afektif audiens.

Dua hal utama tersebut, yakni terpaan media dan pengaruhnya dalam

ranah kognitif akan dijabarkan melalui kerangka pemikiran berikut ini.

A. Terpaan Tayangan Televisi

Terpaan tayangan televisi secara sederhana dapat diartikan sebagai interaksi

yang terjalin antara konten tayangan televisi dengan audiensnya. Suatu

hubungan baru dapat dikatakan sebagai sebuah interaksi apabila terdapat

keterbukaan diantara pihak yang terlibat. Begitupula dalam terpaan tayangan

televisi ini, seorang audiens baru dikatakan mendapatkan terpaan informasi

ketika dia menyimak dan menerima informasi yang media tawarkan secara

terbuka. Jika seseorang hanya menyaksikan tetapi tidak menerima pesan yang

disampaikan, maka orang tersebut belum bisa disebut sebagai orang yang

terkena terpaan media.

Di dalam Ardiyanto (2014: 168), untuk menghitung seberapa lama

seseorang menggunakan atau berinteraksi dengan media bisa diketahui dari 2

hal, yakni frekuensi dan durasi. Sementara untuk mengetahui seberapa jauh

hubungan antara audiens dengan isi media dapat diketahui dari atensi atau

attention. Dengan demikian terpaan tayangan televisi dapat diukur melalui 3 hal

yakni frekuensi, durasi, dan atensi.

1) Frekuensi

Frekuensi digunakan untuk mengetahui seberapa sering seorang

khalayak menggunakan media dalam satu kurun waktu tertentu.

Misalnya untuk acara harian dapat diketahui frekuensinya dengan

menggunakan skala minggu (1 kali dalam seminggu, 3 kali dalam

seminggu, dan sebagainya).

2) Durasi

Durasi adalah lama seorang khalayak bergabung dengan sebuah media

dalam satu episode. Biasanya digunakan skala menit.

3) Atensi

Atensi merupakan tingkat perhatian yang dimiliki oleh audiens dalam

mengakses suatu media.

Terpaan media akan memengaruhi perubahan sikap seseorang. Jadi,

apabila seseorang terus-menerus diterpa oleh informasi media yang

dipercayainya, hal pertama yang terjadi adalah bertambahnya pengetahuan dan

selanjutnya ada kemungkinan terjadi perubahan sikap (Effendy, 1990: 10).

B. Konsumsi Media dan Persepsi Realitas Sosial

Gagasan ini berangkat dari buah pemikiran L. J. Shrum mengenai konsumsi

media dan efeknya terhadap persepsi realitas. Gagasan ini juga sekaligus

sebagai sebuah kritik atas teori efek media yang sebelumnya sudah ada, yakni

teori kultivasi. Media dalam hal ini televisi memang menjadi media yang paling

banyak diakses oleh masyarakat. Sayangnya, televisi kerap kali menayangkan

pesan yang berkebalikan atau tidak sesuai dengan realitas sebenarnya di dalam

masyarakat. Hal itu dikhawatirkan akan membentuk sebuah sistem kepercayaan

pada khalayak tentang kehidupan yang mereka jalani.

Mitos yang berkembang secara umum mengenai media memang

menyebutkan media memiliki efek yang besar terhadap khalayaknya, akan tetapi

penelitian lain hingga saat ini menunjukkan bahwa media hanya memiliki efek

yang begitu kecil, meskipun tidak juga menutup kemungkinan untuk terjadi

sebaliknya (Mc. Guire, 1986). Terlepas dari perbedaan pendapat itu, terdapat

sebuah pendapat tentang efek media yang masih bertahan sejauh ini. Pendapat

itu menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan antara input variable atau

disebut sebagai stimulus dan output variable atau disebut dengan respon yang

dimungkinkan termediasi oleh proses-proses kognitif. Dengan kata lain,

informasi media dan segala bentuk karakteristiknya (input variables) dapat

berpengaruh pada sikap, kepercayaan maupun perilaku khalayak (output

variable) melalui proses-proses kognitif yang beragam bentuknya (Hawkins &

Pingree, 1990; Reeves, Chaffee, & Tims, 1982; Wyer, 1980). Proses-proses

kognitif itu dapat dipahami sebagai proses penyampaian informasi dari media

kepada khalayak dalam berbagai bentuk yang juga disebut sebagai proses model

kognitif.

Secara lebih rinci, proses model kognitif terjadi sebagaimana

digambarkan oleh bagan berikut ini.

Gambar 1.1

Bagan Proses Terjadinya Model Kognitif

Input Variable/

Stimulus

Output Variable/

Respon

Proses Kognitif /

‘clear link’

Clear link ini harus dapat dioperasionalisasikan sejelas mungkin menjadi

indikator-indikator yang dapat diukur sehingga dapat diuji dan menghasilkan

data sah secara empiris.

Dalam penelitian kognisi sosial (Wyer, 1980) proses kognitif atau clear

link disebut juga sebagai black box. Sama halnya dengan proses model kognitif,

black box ini menjadi jembatan antara informasi sosial (input variable atau

stimulus) dan penilaian (output variable atau respon).

Konsep stimulus dan respon yang terdapat dalam gagasan Shrum ini

berbeda dengan Teori Stimulus- Respon (S-R) yang sudah ada sebelumnya.

Perbedaan itu terletak pada adanya proses kognitif yang menjadi mediator antara

stimulus dan respon dalam gagasan Shrum. Di dalam proses kognitif ini audiens

akan mengumpulkan informasi-informasi yang mereka miliki untuk membantu

mereka memproses informasi yang baru mereka terima dari media massa. Ini

bisa disebut sebagai kemampuan literasi yang dimiliki audiens dan hal itu tidak

terdapat dalam Teori S-R. Sehingga, jika Teori S-R ditujukan untuk khalayak

atau audiens yang bersifat pasif, maka sebaliknya dengan gagasan ini yang

ditujukan untuk audiens aktif. Dikatakan aktif, karena audiens disini melibatkan

pengalaman atau informasi yang mereka miliki untuk membentuk persepsi, saat

menerima informasi baru. Secara sederhana, dapat dikatakan, audiens disini

bukan lah tipikal audiens yang menerima secara mentah limpahan informasi

yang datang dari media.

Selesai membicarakan efek, kali ini tentang prinsip-prinsip pokok yang

terdapat dalam penelitian kognisi sosial. Terdapat 2 prinsip utama, yakni

heuristic (prinsip kecukupan) dan prinsip aksesibilitas.

Prinsip pertama, heuristik, fokus pada informasi yang diterima dalam

mempelajari membangun penilaian. Pernyataan dalam prinsip ini menyatakan

bahwa orang yang sedang membangun penilaian tidak akan mencari semua

informasi yang relevan terhadap penilaian, akan tetapi hanya menerima sebagian

kecil dari memori yang tersedia. Lebih lanjut lagi, kriteria yang mereka gunakan

adalah „kecukupan‟, mereka hanya menerima informasi secukupnya dalam

membangun sebuah penilaian. Takaran cukup itu ditentukan oleh konsep-

konsep seperti motivasi dan kemampuan untuk memproses informasi (Wyer &

Srull, 1989).

Prinsip kedua, aksesibilitas. Prinsip ini fokus pada aksesibilitas

informasi dalam membangun penilaian. Inti dari prinsip ini adalah bahwa

informasi yang paling mudah diingat dan sering digunakan lah yang akan

menjadi bahan dalam membangun sebuah penilaian (Carlston Smith, 1996;

Higgins, 1996; Wyer, 1980).

C. Efek Media Massa

Efek media massa dipahami sebagai perubahan yang terjadi terhadap seseorang

atau sekelompok orang setelah menerima pesan yang disampaikan melaluli

media massa. Bentuk perubahan itu bisa terjadi pada ranah pengetahuan, sikap,

dan perilaku nyata. Menurut Jhi (1988) terdapat tiga dimensi efek komunikasi

massa yakni efek kognitif, afektif, dan konatif (behavioral).

1) Efek kognitif adalah efek yang ditumbulkan oleh program televisi

dalam hal penambahan informasi atau pengetahuan yang

didapatkan oleh penontonnya, misalnya informasi tentang suatu

benda, tempat, dan sebagainya. Komunikator dalam hal ini hanya

mendeskripsikan suatu hal untuk diketahui oleh khalayak, tidak

lebih, karena sifatnya yang informatif (Karlinah, 1999). Jadi efek

yang ditimbulkan dalam hal ini sebatas pada peningkatan

pengetahuan audiens.

2) Efek afektif adalah efek media massa yang berada satu level lebih

tinggi dari efek kognitif. Di sini, masih menurut Karlinah (1999)-

media massa berhasil memasuki ranah emosional penontonnya,

sehingga penonton akan dibawa untuk dapat merasakan apa yang

diberikan oleh media, tidak hanya sekadar untuk mengetahuinya.

Emosi yang ditimbulkan bisa berupa positif maupun negatif,

seperti senang, sedih, iba, marah, dan sebagainya. Misalnya

terdapat sebuah berita tentang pemerkosaan anak di bawah umur,

penonton bisa merasa miris terhadap nasib sang anak, bisa juga

merasa murka terhadap perilaku bejad tersangka. Secara singkat

efek yang ditimbulkan sudah berupa sikap, persepsi, tentang

setuju atau tidak setuju terhadap suatu hal.

3) Efek konatif (behavioral) merupakan efek atau imbas yang paling

tinggi yang dapat diberikan oleh media massa terhadap

khalayaknya. Di tahap efek ini, penonton tidak hanya sekadar

diberi tahu dan diajak merasakan, namun juga bisa terbawa

hingga ke perilaku sehari-hari dalam kehidupannya. Misalkan

terdapat siaran kekerasan dalam sebuah sinema elektronik

(sinetron), kemudian anak-anak yang menyaksikannya turut

mempraktikan kekerasan tersebut saat bergaul dengan teman

sebayanya.

Dalam Wiryanto (2000: 63), selain dibedakan berdasarkan ranah

terdampak (efek kognitif, afektif, dan konatif), efek media massa secara teoritis

juga dapat dibedakan berdasarkan spesifikasinya (efek dalam arti luas dan

khusus), lama efek (efek jangka panjang dan jangka pendek), efek berdasarkan

tujuannya (efek sesuai yang diinginkan dan tidak diinginkan), dan efek media

massa berdasarkan cara terjadinya (efek langsung dan tidak langsung).

Efek yang dihasilkan tentu berbeda-beda pada setiap khalayak media.

Hal itu dikarenakan latar belakang dan keadaan yang dimiliki oleh masing-

masing individu. Masih dari Wiryanto (2000: 39), disebutkan bahwa pesan yang

disampaikan melalui media massa baru lah dikatakan efektif ketika ia

menghasilkan perubahan-perubahan atau efek-efek pada khalayak sesuai dengan

yang diinginkan oleh produsen pesan. Perubahan atau efek itu bisa dilihat dari

respon atau feedback yang diberikan audiens, baik secara langsung maupun

tidak.

Feedback dari komunikasi yang bersifat langsung tentu akan dapat

dengan mudah diperoleh karena komunikator berhadapan langsung dengan

komunikan, sehingga respon yang ditunjukkan oleh komunikator dapat

terpantau secara langsung. Namun, tidak demikian dengan proses komunikasi

massa yang menggunakan media sebagai perantara penyampai pesan

komunikator kepada komunikan. Feedback yang ditunjukkan oleh komunikan

tidak dapat secara langsung didapatkan oleh pihak komunikan, oleh karenanya

umpan balik dalam komunikasi massa disebutkan sebagai efek yang tertunda

dan langka.

Berdasarkan formulasi Barelson, terdapat tiga faktor penting yang

menentukan efektivitas sebuah pesan media.

1) Jenis saluran komunikasi

a) Semakin pribadi saluran komunikasi, maka semakin efektif

untuk memengaruhi opini publik.

b) Semakin informal saluran komunikasi, semakin efektif

dalam memengaruhi opini publik.

c) Semakin khusus saluran komunikasi, semakin kuat

pengaruhnya atas khalayak.

d) Konten yang disampaikan secara apa adanya (reportorial)

cenderung lebih efektif daripada yang menyangkut

pendapat lembaga (editorial).

e) Peristiwa umumnya lebih bersifat efektif daripada kata-kata.

f) Konten yang bersifat emosional cenderung lebih efektif

daripada yang bersifat rasional.

2) Jenis persoalan

a) Persoalan baru yang belum terbentuk opini publik

tentangnya bersifat lebih efektif.

b) Persoalan yang tidak tegas memiliki tingkat efektivitas yang

lebih tinggi.

c) Konten yang menyangkut tokoh-tokoh pribadi cenderung

lebih efektif daripada yang menyangkut tentang

argumentasi-argumentasi.

d) Jenis orang

e) Semakin kuat predisposisi orang terhadap suatu persoalan

maka semakin sulit dipengaruhi (pesan media).

f) Semakin sedikit pengetahuan orang terhadap suatu

persoalan, semakin mudah media untuk memengaruhi opini

mereka.

Setelah mengulik tentang efek media massa, maka dapat penulis

sampaikan hubungan antara dua variabel, yakni tayangan televisi (media massa)

terhadap perubahan persepsi. Menurut Ardiyanto & Erdinaya (2007:164),

kehadiran media atau proses penyampaian pesan dapat memengaruhi khalayak

dalam beropini, bersikap, dan berperilaku. Persepsi dalam hal ini masuk

kedalam konsep „beropini‟. Jadi pesan yang disampakan melalui tayangan

televisi secara terus menerus, perlahan dapat mengubah cara pandang atau

persepsi audiens terhadap suatu nilai yang sebelumnya telah terbentuk.

Dalam penelitian ini, nilai yang dimaksud adalah persepsi terhadap

profesi polisi. Jika sebelumnya masyarakat memiliki penilaian atau persepsi

yang kurang baik terhadap profesi tersebut, setelah hadirnya tayangan 86

dengan segala muatan positifnya terkait kepolisian, bisa saja mengubah pikiran

ataupun persepsi masyarakat.

D. Persepsi

Persepsi adalah proses yang kita gunakan untuk menginterpretasikan data-data

sensoris yang didapat melalui lima indra manusia (Lahlry, 1991). Menurut

Seamon dan Kenrick dalam Marliyah dkk (2004), persepsi melibatkan proses

organisasi dan interpretasi dari stimulus-stimulus untuk memberikan makna

tertentu. Sedangkan menurut Robbins dalam Ramadhan (2009), persepsi adalah

suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan

indera mereka untuk memberikan makna terhadap lingkungannya.

Berdasarkan definisi-definisi mengenai persepsi yang telah dipaparkan,

dapat disimpulkan bahwa persepsi berawal dari stimulus yang diterima oleh alat

indra kita, selanjutnya ditangkap, diproses dengan berbagai seleksi, kemudian

diartikan menjadi suatu makna tertentu. Secara umum proses terjadinya persepsi

dapat dijelaskan melalui bagan di bawah ini.

Stimulasi alat

indra diatur

Stimulus alat indra

dievaluasi- ditafsirkan

Terjadinya stimulasi alat

indra

Gambar 1.2

Bagan Proses Terjadinya Persepsi (Sobur, 2003)

Sementara menurut Turner (2009: 48) persepsi terbentuk dengan melalui

4 tahapan berikut.

Gambar 1.3

Bagan Proses Terjadinya Persepsi (Turner, 2009)

1) Attending and selecting

Di tahap pertama ini, seseorang akan mendapatkan begitu banyak jumlah

stimulus yang ada di sekitarnya, padahal otak manusia memiliki

keterbatasan untuk dapat menangkap dan memahami kesemuanya itu.

Oleh karenanya, hanya ada beberapa stimulus yang nantinya dapat

ditangkap dengan baik oleh seseorang, baik secara sadar maupun tidak.

Stimulus tersebut bisa tergantung dari lingkungan dan juga individu

tersebut.

2) Organization

Di tahap kedua, stimulus yang telah ditangkap seseorang tadi akan

membentuk serangkaian reaksi pada otak individu yang bersangkutan.

Proses kerja syaraf ini dimulai dengan aktifnya sensor penerima kita

(sentuhan, rasa, bau, penglihatan, dan pendengaran). Kemudian, sensor

penerima akan mengubah energi yang masuk menjadi aktifitas syaraf

yang akan terhubung dengan otak. Pada intinya, disini stimulus atau

informasi yang ada akan diterima dan diorganisasikan oleh otak.

3) Interpretation

Selanjutnya, seseorang akan mulai mengartikan atau menginterpretasi

informasi yang telah diorganisasikan, disesuaikan dengan pengetahuan

Attending and selecting

Organization Interpretation Retrieving

yang sudah mereka miliki sebelumnya. Hasil dari interpretasi itu adalah

sesuatu yang bisa dikategorikan.

4) Retrieving

Secara sederhana, tahapan terakhir ini bisa diartikan sebagai recall

memory. Jadi, informasi yang diinterpretasikan pada hari ini dapat

mengingatkan kita pada informasi-informasi yang telah kita miliki dan

simpan sebelumnya.

Persepsi tidak terjadi dengan begitu saja dan tidak juga bisa

disamaratakan. Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi perbedaan

persepsi. Dalam Sulphey (2014), faktor-faktor itu terdiri dari faktor situasi, faktor

penerima, dan faktor sasaran. Bagan di bawah ini akan merincikan secara lebih

detil mengenai faktor-faktor yang memengaruhi persepsi.

Gambar 1.4

Bagan Faktor-Faktor Pembentuk Persepi (Sumber: Sulphey, 2014)

Persepsi sangat bergantung pada masing-masing individu. Di dalam

Severin dan Tankard (2005) disebutkan sebuah konsep yakni persepsi selektif,

pesan yang disampaikan oleh media diterima secara beragam oleh khalayak.

Maksudnya, khalayak yang beragam sangat dimungkinkan untuk menerima

sebuah pesan yang sama dengan cara yang berbeda-beda. Sehingga pada

akhirnya satu pesan akan memiliki banyak pemahaman. Perbedaan tersebut

dilatarbelakangi subjektifitas psikologis yang terdapat pada setiap individu

khalayak. Proses penerimaan dan penafsiran ini dalam ilmu komunikasi disebut

sebagai penyandian-balik (decoding).

Sebagai tambahan informasi, pesan yang disampaikan melalui media

massa sesungguhnya memiliki beberapa maksud. Ada pesan yang ditujukan

untuk penguatan persepsi sebelumnya, ada pula pesan yang dimaksudkan untuk

mengubah persepsi yang lama.

Dari penjelasan berbagai konsep di atas, dapat ditarik ke dalam kerangka

pemikiran seperti di bawah ini:

Gambar 1.5

Bagan Kerangka Pemikiran

6. Kerangka Konsep

A. Definisi Konsep

1) Terpaan tayangan televisi

Terpaan dalam konteks komunikasi massa tidak sekadar diartikan

sebagai seseorang mendapatkan sebaran informasi dari suatu media

massa, namun lebih pada keterbukaan seseorang untuk menerima

informasi tersebut. Menurut Ardiyanto (2014), terpaan dapat diartikan

sebagai kegiatan mendengar, melihat, dan membaca pesan-pesan media

atau pun mempunyai pengalaman dan perhatian terhadap pesan tersebut

yang dapat terjadi pada individu atau kelompok.

2) Persepsi

Persepsi Terpaan

Tayangan

Televisi Mempengaruihi

Persepsi merupakan sebuah materi yang samar atau bisa juga disebut

abstrak. Namun demikian, menurut Azwar (2005) dalam ilmu sosial

persepsi tetap dapat diukur secara ilmiah melalui beberapa metode

pengukuran, yakni self report dan involuntary behavior. Metode

pengukuran ini sama halnya dengan metode yang digunakan untuk

mengukur sikap. Persepsi menurut West dan Turner (2009: 48) terbentuk

dengan 4 tahapan, yakni:

a) Attending and selecting

Mengamati stimulus-stimulus yang ada di sekitarnya dengan proses

seleksi yang bersifat alami.

b) Organization

Mengorganisasikan stimulus yang diterimanya melalui indra ke

dalam sensor dan otak.

c) Interpretation

Hasil dari pengamatan yang telah dilakukan sebelumnya akan

memunculkan interpretasi.

d) Retrieving

Terjadinya recalling memories yang ada dalam ingatan seseorang

tentang hal yang baru saja ia amati, di masa lalu.

B. Variabel Penelitian

Terdapat dua variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini, yakni:

1) Variabel bebas atau independent (X)

Variabel bebas adalah variabel yang mengandung gejala/ faktor/ unsur

yang memengaruhi munculnya variabel kedua (Y), (Nawawi, 1995: 57).

Dalam penelitian ini X= terpaan tayangan televisi 86

2) Variabel terikat atau dependent variable

Variabel ini adalah gejala yang muncul yang dipengaruhi oleh variabel

(X) dan bukan karena adanya variabel lain. (Nawawi, 1995: 57). Dalam

penelitian ini Y= persepsi masyarakat DIY tentang polisi

3) Hipotesis

Hipotesis penelitian adalah jawaban sementara atas hasil penelitian yang

belum diketahui. Penelitian ini mencoba mencari pengaruh yang terjadi

antara variabel X terhadap Y. Hipotesis yang demikian disebut dengan

hipotesis pengaruh atau regresi (Gani & Amalia, 2015: 9).

H0; 1,2 = 0 lawan H1; 1,2 0

Berikut adalah hipotesis dalam penelitian ini:

H1 = terpaan tayangan televisi 86(X) berpengaruh positif dan signifikan

terhadap persepsi masyarakat DIY tentang polisi (Y).

H0 = terpaan tayangan televisi 86 (X) tidak berpengaruh positif dan

signifikan terhadap persepsi masyarakat DIY tentang polisi (Y).

C. Definisi operasional

Berikut adalah definisi operasional dari kedua variabel „tayangan televisi‟ dan

„persepsi masyarakat‟.

Variabel Dimensi Indikator Pengukuran

Terpaan

tayangan

televisi.

(Ardiyanto,

2014)

Frekuensi Seberapa sering responden

mengakses tayangan 86.

Skala Likert Interval 1-

5

1= Sangat Tidak Setuju

(STS)

2= Tidak Setuju (TS)

3= Ragu-Ragu (R)

4= Setuju (S)

5= Sangat Setuju (SS)

Durasi Waktu yang dihabiskan

oleh responden dalam

sekali mengakses tayangan

86.

Atensi Perhatian dan antusias yang

ditunjukkan responden saat

menyaksikan tayangan 86.

Persepsi

(Turner,

2009)

Attending

& Selecting

- Informasi yang

didapatkan oleh

audiens dari program

86 (tayangan, narasi,

teks, suara, dll).

Skala Likert Interval 1-

5

1= Sangat Tidak Setuju

(STS)

2= Tidak Setuju (TS)

3= Ragu-Ragu (R)

4= Setuju (S)

5= Sangat Setuju (SS)

Organizing Konsep yang berhasil

terbentuk dari informasi

yang diterima responden.

Interpreting - Kepercayaan yang

terbentuk terhadap

informasi dalam

program.

- Pemaknaan yang

diberikan terhadap

informasi dalam

program.

Retrieving Memori terkait polisi yang

muncul, bisa memori baik

ataupun buruk.

Tabel 1.1

Tabel Definisi Operasional

7. Metodologi Penelitian

“Penelitian merupakan usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan

melakukan verifikasi terhadap kebenaran suatu peristiwa atau suatu pengetahuan

dengan menggunakan metode ilmiah” (Hamdi dan Bahruddin, 2014: 2).

A. Metode

Metode penelitian berarti dipahami sebagai “cara berfikir, berbuat yang

dipersiapkan dengan baik-baik untuk mengadakan penelitian, dan untuk

mencapai tujuan suatu penelitian” (Arikunto, 1986). Metode ilmiah terbagi

menjadi dua, yakni kuantitatif dan kualitatif. Penelitian ini akan menggunakan

pendekatan kuantitatif, lebih spesifik adalah survei. Survei menurut Cathrine

Mars (dikutip oleh Prajarto, 2010), dipahami tidak sekadar sebagai suatu

aktivitas observasi dengan teknik tertentu untuk mengumpulkan informasi,

tetapi juga mencakup aktivitas yang berkaitan dengan bentuk-bentuk

pengumpulan data dan metode analisisnya. Sementara menurut Hasan (2004)

penelitian survei adalah penelitian yang dilakukan untuk memperoleh fakta-

fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara

faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok

atau suatu daerah.

Survei merupakan metode yang tepat untuk digunakan dalam penelitian

ini, karena dengan survei yang notabene menyertakan kuesioner, peneliti dapat

mengetahui isi pikiran atau pendapat khalayak terkait dengan objek yang diteliti,

yakni program 86.

Lebih spesifik, metode survei yang digunakan adalah survei berbasis

eksplanatif. Menurut Husein (1999: 36), survei eksplanatoriadalah penelitian

yang bertujuan untuk menganalisis hubungan-hubungan antara satu variabel

dengan variabel lainnya atau bagaimana suatu variabel memengaruhi variabel

lainnya. Jenis survei ini sesuai dengan peelitian yang ada, yakni untuk

menngetahui ada atau tidaknya hubungan pengaruh antara variabel bebas

terpaan tayangan dengan variabel terikat persepsi masyarakat.

B. Obyek Penelitian

Penelitian ini menjadikan program 86 sebagai obyek penelitiannya. 86 adalah

sebuah program bergenre reality show yang ditayangkan di Net. TV setiap

harinya. Program berdurasi 30 menit ini merupakan hasil kerjasama antara

POLRI dengan NET. Mediatama yang menampilkan pelaksanaan tugas-tugas

harian anggota kepolisian, misalnya penertiban, razia, penangkapan,

penggerebekan, dan sebagainya. Melalui program ini, khalayak diajak untuk

mengetahui sisi lain dari seorang polisi.

C. Sampel

Sampel dalam penelitian ini diambil dari populasi masyarakat Provinsi DIY (4

kabupaten dan 1 kota). Masyarakat Provinsi DIY dipilih karena keberagaman

latar belakang manusia yang mendiaminya, seperti yang jamak disebutkan

bahwa Yogyakarta, khususnya pada bagian kota, adalah miniatur Indonesia,

karena beragam latar belakang budaya, pendidikan, dan agama dapat ditemui

dengan mudah di kota ini. Sementara di wilayah kabupaten, kita masih bisa

menjumpai masyarakat rural yang tidak dijumpai di kota, sehingga komposisi

masyarakat provinsi DIY secara keseluruhan cukup representatif untuk

menggambarkan masyarakat Indonesia secara umum.

Berdasarkan survei penduduk terakhir yang dilakukan oleh Badan Pusat

Statistik (BPS) Yogyakarta, pada tahun 2012 Provinsi DIY memiliki total

penduduk sebanyak 3.514.762 jiwa dengan kepadatan tertinggi di Kabupaten

Sleman yakni sebanyak 31,72%.

Selain itu, DIY juga menjadi daerah baru yang mendapatkan siaran

NET. TV secara manual, baru sekitar satu tahun terhitung dari awal

peluncurannya pada 5 Oktober 2015 silam. Populasi provinsi dipilih karena

ragam kelas masyarakat dan juga pendidikannya yang beragam, sehingga

diharapkan dapat menghasilkan data yang komprehensif.

D. Jumlah Sampel

Penentuan jumlah sampel akan didasarkan pada rumus dari Slovin. Penggunaan

rumus ini menjadi penting, karena jumlah sampel yang tepat sangat dibutuhkan

dalam setiap penelitian survei. Jumlah sampel yang terlalu sedikit kurang dapat

menggambarkan keadaan populasi yang sesungguhnya, sementara jika terlalu

banyak maka akan menjadi pemborosan dalam sebuah penelitian. Maka dari itu,

sangat dibutuhkan perhitungan yang tepat sehingga didapatkan data dengan

akurasi yang maksimal. Berikut adalah rumus Slovin:

Dengan

N = Populasi

n = Sampel

e = Batas toleransi kesalahan (error tolerance)

Dengan batas toleransi kesalahan € sebesar 5%, maka jumlah sampel

dalam penelitian ini adalah:

(dibulatkan menjadi 400)

Besar kecilnya angka toleransi kesalahan berpengaruh dalam

menentukan tinggi rendahnya akurasi sampel dalam merepresentasikan

populasi. Misalnya €= 5% berarti akurasi sebuah hasil penelitian sebesar 95%,

dan sebagainya.

E. Kriteria Sampel (Sample Framing)

Supaya terfokus dan mendapatkan responden sesuai kebutuhan penelitian, maka

terdapat batasan-batasan (sample frame) dalam pemilihan sampel ini. Batasan

tersebut antara lain:

1) Berdomisili di DIY;

2) Usia ≥ 21 tahun;

3) Pernah menyaksikan program 86 sekurang-kurangnya satu kali.

F. Teknik Sampling

Jenis sample dalam penelitian ini adalahsampel acak atau disebut sebagai

probability sample. Menurut Rasyad (2003), jenis ini merupakan teknik

pengambilan sampel dengan menempatkan seluruh anggota kelompok dalam

populasi guna memperoleh kesempatan yang sama (equal change) untuk

mewakili populasinya dibandingkan dengan anggota kelompok yang lain.

Lebih spesifik, teknik sampling yang digunakan adalah acak sederhana

atau simple random sampling. Menurut Prajarto (2010), teknik sampling acak

sederhana memungkinkan peneliti untuk secara bebas menentukan sampelnya

tanpa pertimbangan penglasteran apapun.

G. Cara Menjangkau Sampel

1) Responden akan peneliti jangkau secara maya melalui kuesioner

online.

2) Menyebarkan link kuesioner kepada berbagai kalangan yang

sekiranya sesuai dengan kebutuhan penelitian.

3) Selanjutnya, dengan meng-klik link yang tersedia, responden

akan mengakses kuesioner online dan dipersilahkan untuk

mengisi setelah sebelumnya memahami instruksi yang ada.

4) Setelah semua terisi dengan benar, kuesioner akan di submit dan

secara otomatis akan terrekam pada base data peneliti untuk

selanjutnya dianalisis.

8. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini hanya terdapat dua variabel yakni Terpaan Tayangan sebagai

variabel bebas (X) dan Persepsi Masyarakat sebagai variabel terikat (Y) dan akan

dicari tahu ada atau tidaknya pengaruh diantara keduanya, yakni X terhadap Y.

Maka dari itu, teknik analisis data yang akan digunakan adalah teknik analisis

regresi.

A. Analisis Regresi

Secara sederhana, analisis regresi dipahami sebagai suatu analisis yang

bertujuan untuk mengetahui pengaruh satu atau lebih variabel terhadap variabel

yang lain. Dalam Gujarati (2006) analisis regresi menyangkut studi tentang

satu variabel yang disebut variabel tak bebas atau variabel dijelaskan dan satu

atau lebih variabel lain yang disebut variabel bebas atau variabel penjelas.

Lebih jelas, analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi

sederhana, karena hanya melibatkan dua variabel yakni Tayangan Televisi (X)

dan Persepsi (Y). Analisis regresi sederhana memiliki persamaan sebagai

berikut.

Y = a + bX

dimana:

Y = variabel terikat

X = variabel bebas

a = konstanta

b = koefisien regresi

Sementara nilai a dan b diperoleh melaui rumus berikut ini:

a = [(∑Y < ∑X2) – (∑X . ∑XY)] / [(N . ∑X

2) – (∑X) 2]

b = [N (∑XY) – (∑X . ∑Y)] / [(N . ∑X2) – (∑X) 2]

Serangkaian uji statistik akan dilakukan sebelum melakukan uji regresi.

Diantaranya adalah:

1) Uji validitas, uji realibilitas, dan uji normalitas;

2) Tabulasi Silang (Cross Tabulation);

3) Uji linearitas

B. Langkah Analisis Data

Ada pun langkah-langkah yang akan dilakukan dalam menganalisis data

kuantitatif menurut Prasetyo (2008) adalah sebagai berikut.

1) Koding

Langkah awal yakni dengan memberikan kode-kode berupa angka atau

skor terhadap jawaban yang diperoleh dari kuesioner yang menggunakan

skala tertentu.

2) Input

Setelah data memiliki kodenya masing-masing, kode itu dimasukkan ke

dalam tabel perhitungan untuk kemudian mulai di proses.

3) Cleaning

Ini adalah langkah opsional, artinya hanya dilakukan jika diperlukan.

Data yang telah diinput kemudian akan diketahui apakah data itu sudah

clear atau masih ada yang perlu disingkirkan. Jika masih ada data yang

„kotor‟, maka lakukan proses ke tiga ini, namun jika tidak maka

lanjutkan pada tahap selanjutnya.

4) Hasil

Setelah data benar-benar „bersih‟ maka bisa langsung diproses

menggunakan rumus dan aplikasi yang sudah ditentukan, kemudian

muncul lah hasil dari pengolahan data tersebut.

5) Analisis

Ketika hasil sudah keluar, maka langkah terakhir adalah menganalisis

hasil data yang ada kaitannya dengan kebutuhan penelitian.