bab i pendahuluan 1. latar belakang...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Menjadi bagian dari Kepolisian Republik Indonesia merupakan satu capaian
karier yang prestisius di dalam masyarakat Indonesia. Selain harus melalui seleksi
ketat, menjadi polisi juga memikul tanggung jawab yang besar terkait dengan
„melindungi dan mengayomi‟ masyarakat.
Apalagi dengan menilik data bahwa perbandingan jumlah polisi dan
masyarakat (police ratio) Indonesia per tahun 2014 masih pada angka 1 : 575.
Angka tersebut masih jauh dari police ratio normal yakni 1 : 250 atau 1 : 300
yang artinya satu anggota polisi sewajarnya „bertanggung jawab‟ atas maksimal
300 individu masyarakat (WHY 2014).
Meskipun demikian, berdasarkan pengamatan sederhana yang dilakukan
oleh peneliti, masyarakat justru masih memiliki persepsi negatif terkait profesi
yang satu ini. Lekat dalam benak mereka bahwa profesi polisi penuh dengan
tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) mulai dari awal seleksi hingga
dalam menjalankan pekerjaannya. Selain itu, perut buncit yang dimiliki oleh
kebanyakan anggota polisi diartikan sebagai wujud minimnya tindak kerja
lapangan para polisi, dan simbol uang kotor yang mereka telan. Selanjutnya yang
paling umum didengar di tengah masyarakat, yakni bahwa razia atau tindak
pengamanan lalu lintas yang dilakukan polisi semata karena mereka tengah
mencari „uang sampingan‟, bukan atas dasar adanya Surat Perintah Tugas (SPT)
yang dikeluarkan oleh petinggi mereka (Pramesti, 2015). Hal itu terbukti dengan
mudahnya mereka disuap dengan sejumlah Rupiah, sehingga oknum yang terkena
tilang bisa bebas pergi dan tidak perlu mengikuti persidangan tilang di pengadilan
negeri setempat. Di luar alasan yang dikemukakan, masih banyak alasan di balik
persepsi negatif masyarakat terhadap profesi polisi.
Persepsi negatif masyarakat terhadap polisi juga dibenarkan oleh beberapa
jurnal penelitian yang menyatakan hal senada. Dalam jurnal yang berjudul
“Persepsi Masyarakat Tentang Polisi (Suatu Kajian Kriminolog)”, Fini (2013)
menyatakan bahwa stigma negatif masyarakat sulit untuk diubah sekali pun pihak
kepolisian sudah melakukan berbagai usaha, hal itu dikarenakan adanya proses
labeling yang terlanjur menghasilkan stigma bahkan membentuk persepsi di
tengah masyarakat.
Sementara Yuwono (2010) menyebutkan bahwa penilaian miring
masyarakat sebenarnya terkait dengan tingkat profesionalitas polisi itu sendiri,
terutama yang terkait dengan kapabilitas, transparasi, dan netralitas polisi dalam
penanganan dan penegakan hukum. Hasil survei tentang pandangan masyarakat di
media, juga menunjukkan kepercayaan publik terhadap POLRI memang
cenderung menurun (Salim, 2015).
Penelitian ini menjadikan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta
sebagai objek penelitian. DIY dipilh karena beberapa alasan, antara lain
demografi masyarakat yang dinamis, heterogenitas latar belakang masyarakat
yang beragam baik dari segi pendidikan, agama, suku, dan sebaganya, terakhir
karena NKRI dapat direpresentasikan secara efektif melalui sebuah provinsi kecil
bernama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Di tengah pandangan miring masyarakat tentang profesi polisi, hadirlah
sebuah program televisi berjudul 86, hasil kerja sama NET. Mediatama dengan
Kepolisian Republik Indonesia. 86 merupakan program bergenre reality show
yang menayangkan tugas polisi dalam menjalankan kewajibannya terkait
melindungi dan mengayomi masyarakat dalam berbagai kegiatan dari tugas ringan
hingga berat misalnya razia, penyergapan, penertiban, penggerebekan dan
sebagainya. Tayang setiap Senin sampai Jumat pukul 21.30 WIB, 86 mengajak
penonton untuk menyaksikan secara langsung keadaan di tempat kejadian perkara
yang acapkali menegangkan dan memacu adrenalin. Tidak hanya berhenti sampai
disitu, 86 juga sedikit mengangkat sisi humanis dari profesi seorang polisi.
Sesekali kehidupan polisi sebagai manusia biasa yang juga berkeluarga,
ditunjukkan dalam program berdurasi 30 menit ini (NET. TV, 2014).
Di dalam tayangan 86, kemampuan polisi sebagai sebuah tim seringkali
dipertontonkan dalam sebentuk kerjasama yang solid dan koordinasi yang matang.
Namun tidak hanya itu, 86 juga memberi ruang yang cukup untuk
memperlihatkan kemampuan individu polisi sebagai seorang anggota yang dengan
sigap dan tegas mengambil tindakan dalam bertugas. Misalnya, dalam kegiatan
penertiban lalu lintas, kemampuan serta tingkat profesionalitas individu seorang
anggota sangat dipertontonkan.
Dari wawancara yang diakukan dengan pihak Humas POLDA DIY,
Kompol Sri Sumarsih, diketahui bahwa tujuan utama dari tayangan program 86
sebenarnya bukan hanya untuk menunjukkan kinerja kepolisian, akan tetapi juga
untuk menyosialisasikan berbagai kebijakan baru, mengkampanyekan kepada
masyarakat untuk taat pada peraturan, dan untuk menunjukkan sisi humanis
seorang anggota polisi yang selama ini kerap ditakuti dan dihindari oleh
masyarakat. Sehingga, pada akhirnya masyarakat menjadi dekat dengan
kepolisian dan bisa terjalin hubungan timbal balik yang menguntungkan bagi
kedua belah pihak.
Menurut Sumiarsih (2017), secara lebih konkrit kerjasama antara POLRI
dan NET. TV ini dijalin dengan tujuan peningkatan citra institusi POLRI secara
umum. Terlebih, ketika program 86 mulai ditayangkan, tengah hangat di
masyarakat kasus „Cicak vs Buaya‟ (KPK vs POLRI) dan POLRI menjadi pihak
yang tersudutkan ketika itu dibanding KPK yang sukses meraup simpati
masyarakat. Menayangkan program 86 kiranya menjadi senjata pamungkas bagi
kepolisian untuk melakukan rebranding institusi setelah berbagai usaha yang
telah dilakukan sebelumnya tak juga membuahkan hasil yang maksimal. Sebelum
86, POLRI telah menggandeng media untuk berbagai program tayangan yang
menayangkan khusus tentang kegiatan atau informasi seputar kegiatan kepolisian,
namun dalam konsep yang berbeda. Misalnya Halo Polisi di Indosiar dan segmen
khusus lalu lintas di Apa Kabar Indonesia Pagi TV One.
Masyarakat juga beberapa kali sempat menerima terpaan informasi
mengenai polisi namun dengan muatan positif. Misalnya kisah Bripda Taufik,
seorang pemuda yang awalnya tinggal di kandang sapi namun berkat
kegigihannya bisa menjadi seorang polisi dengan biaya Rp 0, artinya dia menjadi
polisi tanpa uang hantaran (Ari 2015). Kemudian ada pula Bripka Seladi, seorang
polisi di Kota Malang yang mempunyai pekerjaan sampingan sebagai seorang
pemulung demi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya dengan uang yang halal
(Yuswantoro 2016). Diketahui dari sumber yang sama, menurut, Kompol Sri
Sumarsih pemberitaan mengenai anggota kepolisian ini masih dalam rangka
membangun citra kepolisian melalui media.
NET. TV merupakan salah satu dari sekian banyak media yang digandeng
bekerja sama oleh POLRI. Disebutkan oleh Rianto, dkk (2014) Net. merupakan
stasiun penyiaran baru di Indonesia yang pertama kali diluncurkan pada 26 Mei
2013. Program 86 ini sendiri pertama kali disiarkan oleh NET. TV pada 2 Agustus
2014 silam, kurang lebih sudah 2 tahun disiarkan semenjak penelitian ini ditulis.
Sementara jaringan NET. TV baru memasuki wilayah DIY pada tanggal 5
Oktober 2015 kemarin (Diyanto, 2015). Itu berarti sudah lebih dari satu tahun
lamanya masyarakat Yogyakarta menerima siaran program 86 dari Net. TV,
sehingga sudah cukup kuat apabila peneliti menjadikan program tersebut sebagai
objek material dalam penelitian ini, meskipun rating and share program-program
di NET. TV secara nasional masih jauh di bawah televisi-televisi hiburan lainnya.
Dikutip dari akun Facebook “Rating dan Info Program TV Indonesia”, program
dengan peringkat rating share tertinggi per 21 Juni 2016 didominasi oleh program
bergenre hiburan seperti sinetron dan sitkom (situasi komedi). Sementara sebagai
sebuah stasiun televisi, masih dari sumber yang sama- NET. TV tidak masuk
dalam jajaran 10 televisi dengan rating dan share tertinggi.
Padahal, berdasarkan survei yang dilakukan oleh KPI pada Maret-April
2015 lalu, NET. TV merupakan salah satu stasiun televisi dengan kualitas konten
dan audio visual terbaik. Terbukti dengan salah satu programnya yang berhasil
menduduki 10 program paling berkualitas, yakni Ini Talkshow. Pencapaian itu
cukup untuk dikatakan gemilang mengingat usia NET. TV yang ketika itu belum
genap 2 tahun mengudara. Kemudian di tahun 2016, pada pertengahan April NET.
TV berhasil mengungguli Metro TV dan bersaing ketat dengan TV One di
peringkat 10 besar televisi dengan share tertinggi.
Televisi diketahui merupakan jenis media massa yang paling populer dan
kuat di dalam masyarakat. Idianto (dikutip oleh Halim, 2015) menjelaskan bahwa
kekuatan itu terletak pada kemasifan, keseketikaan, dan pesona citra, serta
jangkauannya yang luas. Jika dibandingkan media konvensional lain, televisi
menang jauh dalam hal penyajian pesan karena diwujudkan melalui audio, video,
dan juga visual, sehingga pesan yang disampaikan akan lebih mudah diterima oleh
penontonnya. Penonton televisi hanya perlu menerima pesan dengan pasif tanpa
perlu melakukan apapun, berbeda dengan khalayak media cetak yang harus
memiliki kemampuan membaca agar dapat mengerti pesan yang dimaksudkan,
artinya khalayak ini bersifat aktif. Atas dasar itu, televisi, lagi-lagi berhasil
menarik lebih banyak khalayak dibandingkan dengan media lain. Televisi
memiliki persebaran yang luas, bahkan bisa dikatakan telah memasuki setiap
rumah yang ada dengan tanpa biaya sedikit pun, berbeda dengan media cetak yang
harus dibeli terlebih dahulu agar bisa sampai di rumah-rumah.
Survei yang dilakukan oleh AC Nielsen tentang konsumsi media
masyarakat Indonesia menyatakan bahwa televisi merupakan medium yang paling
banyak diakses dengan prosentase sebesar 95%. Baru kemudian internet 33%,
disusul dengan radio 20%, surat kabar 12%, tabloid 6%, dan terakhir majalah
sebanyak 5%. Tidak jauh berbeda, hasil yang didapatkan dari survei yang khusus
dilakukan di 5 kota besar Pulau Jawa (termasuk Yogyakarta didalamnya) juga
menempatkan televisi sebagai media yang paling jamak diakses oleh masyarakat,
yakni sebanyak 93%. Masih dari survei yang sama, diketahui bahwa masyarakat
di Jawa (Yogyakarta) lebih gemar menyaksikan program pertandingan olahraga
daripada program bergenre drama, hiburan, dan lain sebagainya (The Nielsen
Company, 2014).
Dari hasil survei tersebut dapat diketahui di antara beragam pilihan media
yang tersedia, televisi tetap menjadi pilihan utama khalayak, bahkan jika
dibandingkan dengan internet yang lebih aksesibel. Kemudian, dari sekian banyak
jenis program yang ada di televisi, program faktual lebih banyak di gemari oleh
masyarakat Jawa, dibandingkan dengan program-program hiburan yang bersifat
fiktif.
Selain kekuatan media, pengalaman khalayak berinteraksi dengan
kepolisian baik secara institusi maupun individu juga akan menjadi hal yang
sangat diperhatikan dalam penelitian ini. Hal itu bisa menjadi salah satu faktor
luar yang memengaruhi persepsi masyarakat terhadap profesi polisi selain
program 86.
Penelitian ini menjadi menarik ketika mengetahui adanya persepsi negatif
yang dimiliki masyarakat terhadap polisi. Sementara televisi sebagai media
terpopuler dan paling berpengaruh, justru menerpa masyarakat dengan
menghadirkan sebuah tayangan dengan pesan utama yang berkebalikan dengan
persepsi masyarakat yang ada, yakni melalui 86 dan beberapa fakta positif tentang
realitas kehidupan beberapa oknum polisi melalui terpaan informasi lainnya.
Berdasarkan paparan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
kuantitatif dengan judul “Survei Pengaruh Terpaan Tayangan 86 NET. TV
terhadap Persepsi Masyarakat Provinsi DIY tentang Polisi”.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada, rumusan penelitian ini adalah sebagai
berikut.
“Bagaimana pengaruh terpaan tayangan 86 NET. TV terhadap persepsi
masyarakat Provinsi DIY tentang polisi?”
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa hal, yakni:
A. Mencari ada atau tidaknya pengaruh terpaan tayangan 86 NET. TV
terhadap persepsi masyarakat Provinsi DIY tentang polisi;
B. Mengetahui bagaimana terjadinya pengaruh terpaan tayangan 86 NET.
TV terhadap persepsi masyarakat Provinsi DIY tentang polisi.
4. Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini nantinya adalah sebagai
berikut.
A. Manfaat Teoritik
1) Memperkuat dan memperkaya kajian Ilmu Komunikasi
khususnya terkait dengan pengaruh media massa terhadap
khalayak.
2) Menjadi referensi yang berbobot untuk penelitian sejenis di masa
yang akan datang.
B. Manfaat Praktis
1) Bagi media, hasil penelitian ini memberikan gambaran tentang
kondisi khalayak sehingga dapat dijadikan referensi untuk
melakukan evaluasi dan koreksi terhadap program yang mereka
siarkan.
2) Bagi masyarakat, penelitian ini menjadi informasi yang bisa
digunakan apabila membutuhkan sewaktu-waktu.
5 Kerangka Pemikiran
Televisi merupakan salah satu media penyiaran konvensional yang memiliki
kapasitas tinggi untuk menyampaikan pesan kepada khalayak secara efektif. Tidak
hanya itu, televisi juga diklaim memiliki kemampuan yang baik dalam hal
memengaruhi persepsi, pikiran, sudut pandang, dan keyakinan audiens. Hal itu
sangat berhubungan dengan besar kecilnya terpaan media (televisi) yang terjadi.
Semakin besar terpaan yang ada maka semakin banyak pesan yang diterima dan
semakin besar kemungkinan terjadinya perubahan pada aspek kogntif maupun
afektif audiens.
Dua hal utama tersebut, yakni terpaan media dan pengaruhnya dalam
ranah kognitif akan dijabarkan melalui kerangka pemikiran berikut ini.
A. Terpaan Tayangan Televisi
Terpaan tayangan televisi secara sederhana dapat diartikan sebagai interaksi
yang terjalin antara konten tayangan televisi dengan audiensnya. Suatu
hubungan baru dapat dikatakan sebagai sebuah interaksi apabila terdapat
keterbukaan diantara pihak yang terlibat. Begitupula dalam terpaan tayangan
televisi ini, seorang audiens baru dikatakan mendapatkan terpaan informasi
ketika dia menyimak dan menerima informasi yang media tawarkan secara
terbuka. Jika seseorang hanya menyaksikan tetapi tidak menerima pesan yang
disampaikan, maka orang tersebut belum bisa disebut sebagai orang yang
terkena terpaan media.
Di dalam Ardiyanto (2014: 168), untuk menghitung seberapa lama
seseorang menggunakan atau berinteraksi dengan media bisa diketahui dari 2
hal, yakni frekuensi dan durasi. Sementara untuk mengetahui seberapa jauh
hubungan antara audiens dengan isi media dapat diketahui dari atensi atau
attention. Dengan demikian terpaan tayangan televisi dapat diukur melalui 3 hal
yakni frekuensi, durasi, dan atensi.
1) Frekuensi
Frekuensi digunakan untuk mengetahui seberapa sering seorang
khalayak menggunakan media dalam satu kurun waktu tertentu.
Misalnya untuk acara harian dapat diketahui frekuensinya dengan
menggunakan skala minggu (1 kali dalam seminggu, 3 kali dalam
seminggu, dan sebagainya).
2) Durasi
Durasi adalah lama seorang khalayak bergabung dengan sebuah media
dalam satu episode. Biasanya digunakan skala menit.
3) Atensi
Atensi merupakan tingkat perhatian yang dimiliki oleh audiens dalam
mengakses suatu media.
Terpaan media akan memengaruhi perubahan sikap seseorang. Jadi,
apabila seseorang terus-menerus diterpa oleh informasi media yang
dipercayainya, hal pertama yang terjadi adalah bertambahnya pengetahuan dan
selanjutnya ada kemungkinan terjadi perubahan sikap (Effendy, 1990: 10).
B. Konsumsi Media dan Persepsi Realitas Sosial
Gagasan ini berangkat dari buah pemikiran L. J. Shrum mengenai konsumsi
media dan efeknya terhadap persepsi realitas. Gagasan ini juga sekaligus
sebagai sebuah kritik atas teori efek media yang sebelumnya sudah ada, yakni
teori kultivasi. Media dalam hal ini televisi memang menjadi media yang paling
banyak diakses oleh masyarakat. Sayangnya, televisi kerap kali menayangkan
pesan yang berkebalikan atau tidak sesuai dengan realitas sebenarnya di dalam
masyarakat. Hal itu dikhawatirkan akan membentuk sebuah sistem kepercayaan
pada khalayak tentang kehidupan yang mereka jalani.
Mitos yang berkembang secara umum mengenai media memang
menyebutkan media memiliki efek yang besar terhadap khalayaknya, akan tetapi
penelitian lain hingga saat ini menunjukkan bahwa media hanya memiliki efek
yang begitu kecil, meskipun tidak juga menutup kemungkinan untuk terjadi
sebaliknya (Mc. Guire, 1986). Terlepas dari perbedaan pendapat itu, terdapat
sebuah pendapat tentang efek media yang masih bertahan sejauh ini. Pendapat
itu menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan antara input variable atau
disebut sebagai stimulus dan output variable atau disebut dengan respon yang
dimungkinkan termediasi oleh proses-proses kognitif. Dengan kata lain,
informasi media dan segala bentuk karakteristiknya (input variables) dapat
berpengaruh pada sikap, kepercayaan maupun perilaku khalayak (output
variable) melalui proses-proses kognitif yang beragam bentuknya (Hawkins &
Pingree, 1990; Reeves, Chaffee, & Tims, 1982; Wyer, 1980). Proses-proses
kognitif itu dapat dipahami sebagai proses penyampaian informasi dari media
kepada khalayak dalam berbagai bentuk yang juga disebut sebagai proses model
kognitif.
Secara lebih rinci, proses model kognitif terjadi sebagaimana
digambarkan oleh bagan berikut ini.
Gambar 1.1
Bagan Proses Terjadinya Model Kognitif
Input Variable/
Stimulus
Output Variable/
Respon
Proses Kognitif /
‘clear link’
Clear link ini harus dapat dioperasionalisasikan sejelas mungkin menjadi
indikator-indikator yang dapat diukur sehingga dapat diuji dan menghasilkan
data sah secara empiris.
Dalam penelitian kognisi sosial (Wyer, 1980) proses kognitif atau clear
link disebut juga sebagai black box. Sama halnya dengan proses model kognitif,
black box ini menjadi jembatan antara informasi sosial (input variable atau
stimulus) dan penilaian (output variable atau respon).
Konsep stimulus dan respon yang terdapat dalam gagasan Shrum ini
berbeda dengan Teori Stimulus- Respon (S-R) yang sudah ada sebelumnya.
Perbedaan itu terletak pada adanya proses kognitif yang menjadi mediator antara
stimulus dan respon dalam gagasan Shrum. Di dalam proses kognitif ini audiens
akan mengumpulkan informasi-informasi yang mereka miliki untuk membantu
mereka memproses informasi yang baru mereka terima dari media massa. Ini
bisa disebut sebagai kemampuan literasi yang dimiliki audiens dan hal itu tidak
terdapat dalam Teori S-R. Sehingga, jika Teori S-R ditujukan untuk khalayak
atau audiens yang bersifat pasif, maka sebaliknya dengan gagasan ini yang
ditujukan untuk audiens aktif. Dikatakan aktif, karena audiens disini melibatkan
pengalaman atau informasi yang mereka miliki untuk membentuk persepsi, saat
menerima informasi baru. Secara sederhana, dapat dikatakan, audiens disini
bukan lah tipikal audiens yang menerima secara mentah limpahan informasi
yang datang dari media.
Selesai membicarakan efek, kali ini tentang prinsip-prinsip pokok yang
terdapat dalam penelitian kognisi sosial. Terdapat 2 prinsip utama, yakni
heuristic (prinsip kecukupan) dan prinsip aksesibilitas.
Prinsip pertama, heuristik, fokus pada informasi yang diterima dalam
mempelajari membangun penilaian. Pernyataan dalam prinsip ini menyatakan
bahwa orang yang sedang membangun penilaian tidak akan mencari semua
informasi yang relevan terhadap penilaian, akan tetapi hanya menerima sebagian
kecil dari memori yang tersedia. Lebih lanjut lagi, kriteria yang mereka gunakan
adalah „kecukupan‟, mereka hanya menerima informasi secukupnya dalam
membangun sebuah penilaian. Takaran cukup itu ditentukan oleh konsep-
konsep seperti motivasi dan kemampuan untuk memproses informasi (Wyer &
Srull, 1989).
Prinsip kedua, aksesibilitas. Prinsip ini fokus pada aksesibilitas
informasi dalam membangun penilaian. Inti dari prinsip ini adalah bahwa
informasi yang paling mudah diingat dan sering digunakan lah yang akan
menjadi bahan dalam membangun sebuah penilaian (Carlston Smith, 1996;
Higgins, 1996; Wyer, 1980).
C. Efek Media Massa
Efek media massa dipahami sebagai perubahan yang terjadi terhadap seseorang
atau sekelompok orang setelah menerima pesan yang disampaikan melaluli
media massa. Bentuk perubahan itu bisa terjadi pada ranah pengetahuan, sikap,
dan perilaku nyata. Menurut Jhi (1988) terdapat tiga dimensi efek komunikasi
massa yakni efek kognitif, afektif, dan konatif (behavioral).
1) Efek kognitif adalah efek yang ditumbulkan oleh program televisi
dalam hal penambahan informasi atau pengetahuan yang
didapatkan oleh penontonnya, misalnya informasi tentang suatu
benda, tempat, dan sebagainya. Komunikator dalam hal ini hanya
mendeskripsikan suatu hal untuk diketahui oleh khalayak, tidak
lebih, karena sifatnya yang informatif (Karlinah, 1999). Jadi efek
yang ditimbulkan dalam hal ini sebatas pada peningkatan
pengetahuan audiens.
2) Efek afektif adalah efek media massa yang berada satu level lebih
tinggi dari efek kognitif. Di sini, masih menurut Karlinah (1999)-
media massa berhasil memasuki ranah emosional penontonnya,
sehingga penonton akan dibawa untuk dapat merasakan apa yang
diberikan oleh media, tidak hanya sekadar untuk mengetahuinya.
Emosi yang ditimbulkan bisa berupa positif maupun negatif,
seperti senang, sedih, iba, marah, dan sebagainya. Misalnya
terdapat sebuah berita tentang pemerkosaan anak di bawah umur,
penonton bisa merasa miris terhadap nasib sang anak, bisa juga
merasa murka terhadap perilaku bejad tersangka. Secara singkat
efek yang ditimbulkan sudah berupa sikap, persepsi, tentang
setuju atau tidak setuju terhadap suatu hal.
3) Efek konatif (behavioral) merupakan efek atau imbas yang paling
tinggi yang dapat diberikan oleh media massa terhadap
khalayaknya. Di tahap efek ini, penonton tidak hanya sekadar
diberi tahu dan diajak merasakan, namun juga bisa terbawa
hingga ke perilaku sehari-hari dalam kehidupannya. Misalkan
terdapat siaran kekerasan dalam sebuah sinema elektronik
(sinetron), kemudian anak-anak yang menyaksikannya turut
mempraktikan kekerasan tersebut saat bergaul dengan teman
sebayanya.
Dalam Wiryanto (2000: 63), selain dibedakan berdasarkan ranah
terdampak (efek kognitif, afektif, dan konatif), efek media massa secara teoritis
juga dapat dibedakan berdasarkan spesifikasinya (efek dalam arti luas dan
khusus), lama efek (efek jangka panjang dan jangka pendek), efek berdasarkan
tujuannya (efek sesuai yang diinginkan dan tidak diinginkan), dan efek media
massa berdasarkan cara terjadinya (efek langsung dan tidak langsung).
Efek yang dihasilkan tentu berbeda-beda pada setiap khalayak media.
Hal itu dikarenakan latar belakang dan keadaan yang dimiliki oleh masing-
masing individu. Masih dari Wiryanto (2000: 39), disebutkan bahwa pesan yang
disampaikan melalui media massa baru lah dikatakan efektif ketika ia
menghasilkan perubahan-perubahan atau efek-efek pada khalayak sesuai dengan
yang diinginkan oleh produsen pesan. Perubahan atau efek itu bisa dilihat dari
respon atau feedback yang diberikan audiens, baik secara langsung maupun
tidak.
Feedback dari komunikasi yang bersifat langsung tentu akan dapat
dengan mudah diperoleh karena komunikator berhadapan langsung dengan
komunikan, sehingga respon yang ditunjukkan oleh komunikator dapat
terpantau secara langsung. Namun, tidak demikian dengan proses komunikasi
massa yang menggunakan media sebagai perantara penyampai pesan
komunikator kepada komunikan. Feedback yang ditunjukkan oleh komunikan
tidak dapat secara langsung didapatkan oleh pihak komunikan, oleh karenanya
umpan balik dalam komunikasi massa disebutkan sebagai efek yang tertunda
dan langka.
Berdasarkan formulasi Barelson, terdapat tiga faktor penting yang
menentukan efektivitas sebuah pesan media.
1) Jenis saluran komunikasi
a) Semakin pribadi saluran komunikasi, maka semakin efektif
untuk memengaruhi opini publik.
b) Semakin informal saluran komunikasi, semakin efektif
dalam memengaruhi opini publik.
c) Semakin khusus saluran komunikasi, semakin kuat
pengaruhnya atas khalayak.
d) Konten yang disampaikan secara apa adanya (reportorial)
cenderung lebih efektif daripada yang menyangkut
pendapat lembaga (editorial).
e) Peristiwa umumnya lebih bersifat efektif daripada kata-kata.
f) Konten yang bersifat emosional cenderung lebih efektif
daripada yang bersifat rasional.
2) Jenis persoalan
a) Persoalan baru yang belum terbentuk opini publik
tentangnya bersifat lebih efektif.
b) Persoalan yang tidak tegas memiliki tingkat efektivitas yang
lebih tinggi.
c) Konten yang menyangkut tokoh-tokoh pribadi cenderung
lebih efektif daripada yang menyangkut tentang
argumentasi-argumentasi.
d) Jenis orang
e) Semakin kuat predisposisi orang terhadap suatu persoalan
maka semakin sulit dipengaruhi (pesan media).
f) Semakin sedikit pengetahuan orang terhadap suatu
persoalan, semakin mudah media untuk memengaruhi opini
mereka.
Setelah mengulik tentang efek media massa, maka dapat penulis
sampaikan hubungan antara dua variabel, yakni tayangan televisi (media massa)
terhadap perubahan persepsi. Menurut Ardiyanto & Erdinaya (2007:164),
kehadiran media atau proses penyampaian pesan dapat memengaruhi khalayak
dalam beropini, bersikap, dan berperilaku. Persepsi dalam hal ini masuk
kedalam konsep „beropini‟. Jadi pesan yang disampakan melalui tayangan
televisi secara terus menerus, perlahan dapat mengubah cara pandang atau
persepsi audiens terhadap suatu nilai yang sebelumnya telah terbentuk.
Dalam penelitian ini, nilai yang dimaksud adalah persepsi terhadap
profesi polisi. Jika sebelumnya masyarakat memiliki penilaian atau persepsi
yang kurang baik terhadap profesi tersebut, setelah hadirnya tayangan 86
dengan segala muatan positifnya terkait kepolisian, bisa saja mengubah pikiran
ataupun persepsi masyarakat.
D. Persepsi
Persepsi adalah proses yang kita gunakan untuk menginterpretasikan data-data
sensoris yang didapat melalui lima indra manusia (Lahlry, 1991). Menurut
Seamon dan Kenrick dalam Marliyah dkk (2004), persepsi melibatkan proses
organisasi dan interpretasi dari stimulus-stimulus untuk memberikan makna
tertentu. Sedangkan menurut Robbins dalam Ramadhan (2009), persepsi adalah
suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan
indera mereka untuk memberikan makna terhadap lingkungannya.
Berdasarkan definisi-definisi mengenai persepsi yang telah dipaparkan,
dapat disimpulkan bahwa persepsi berawal dari stimulus yang diterima oleh alat
indra kita, selanjutnya ditangkap, diproses dengan berbagai seleksi, kemudian
diartikan menjadi suatu makna tertentu. Secara umum proses terjadinya persepsi
dapat dijelaskan melalui bagan di bawah ini.
Stimulasi alat
indra diatur
Stimulus alat indra
dievaluasi- ditafsirkan
Terjadinya stimulasi alat
indra
Gambar 1.2
Bagan Proses Terjadinya Persepsi (Sobur, 2003)
Sementara menurut Turner (2009: 48) persepsi terbentuk dengan melalui
4 tahapan berikut.
Gambar 1.3
Bagan Proses Terjadinya Persepsi (Turner, 2009)
1) Attending and selecting
Di tahap pertama ini, seseorang akan mendapatkan begitu banyak jumlah
stimulus yang ada di sekitarnya, padahal otak manusia memiliki
keterbatasan untuk dapat menangkap dan memahami kesemuanya itu.
Oleh karenanya, hanya ada beberapa stimulus yang nantinya dapat
ditangkap dengan baik oleh seseorang, baik secara sadar maupun tidak.
Stimulus tersebut bisa tergantung dari lingkungan dan juga individu
tersebut.
2) Organization
Di tahap kedua, stimulus yang telah ditangkap seseorang tadi akan
membentuk serangkaian reaksi pada otak individu yang bersangkutan.
Proses kerja syaraf ini dimulai dengan aktifnya sensor penerima kita
(sentuhan, rasa, bau, penglihatan, dan pendengaran). Kemudian, sensor
penerima akan mengubah energi yang masuk menjadi aktifitas syaraf
yang akan terhubung dengan otak. Pada intinya, disini stimulus atau
informasi yang ada akan diterima dan diorganisasikan oleh otak.
3) Interpretation
Selanjutnya, seseorang akan mulai mengartikan atau menginterpretasi
informasi yang telah diorganisasikan, disesuaikan dengan pengetahuan
Attending and selecting
Organization Interpretation Retrieving
yang sudah mereka miliki sebelumnya. Hasil dari interpretasi itu adalah
sesuatu yang bisa dikategorikan.
4) Retrieving
Secara sederhana, tahapan terakhir ini bisa diartikan sebagai recall
memory. Jadi, informasi yang diinterpretasikan pada hari ini dapat
mengingatkan kita pada informasi-informasi yang telah kita miliki dan
simpan sebelumnya.
Persepsi tidak terjadi dengan begitu saja dan tidak juga bisa
disamaratakan. Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi perbedaan
persepsi. Dalam Sulphey (2014), faktor-faktor itu terdiri dari faktor situasi, faktor
penerima, dan faktor sasaran. Bagan di bawah ini akan merincikan secara lebih
detil mengenai faktor-faktor yang memengaruhi persepsi.
Gambar 1.4
Bagan Faktor-Faktor Pembentuk Persepi (Sumber: Sulphey, 2014)
Persepsi sangat bergantung pada masing-masing individu. Di dalam
Severin dan Tankard (2005) disebutkan sebuah konsep yakni persepsi selektif,
pesan yang disampaikan oleh media diterima secara beragam oleh khalayak.
Maksudnya, khalayak yang beragam sangat dimungkinkan untuk menerima
sebuah pesan yang sama dengan cara yang berbeda-beda. Sehingga pada
akhirnya satu pesan akan memiliki banyak pemahaman. Perbedaan tersebut
dilatarbelakangi subjektifitas psikologis yang terdapat pada setiap individu
khalayak. Proses penerimaan dan penafsiran ini dalam ilmu komunikasi disebut
sebagai penyandian-balik (decoding).
Sebagai tambahan informasi, pesan yang disampaikan melalui media
massa sesungguhnya memiliki beberapa maksud. Ada pesan yang ditujukan
untuk penguatan persepsi sebelumnya, ada pula pesan yang dimaksudkan untuk
mengubah persepsi yang lama.
Dari penjelasan berbagai konsep di atas, dapat ditarik ke dalam kerangka
pemikiran seperti di bawah ini:
Gambar 1.5
Bagan Kerangka Pemikiran
6. Kerangka Konsep
A. Definisi Konsep
1) Terpaan tayangan televisi
Terpaan dalam konteks komunikasi massa tidak sekadar diartikan
sebagai seseorang mendapatkan sebaran informasi dari suatu media
massa, namun lebih pada keterbukaan seseorang untuk menerima
informasi tersebut. Menurut Ardiyanto (2014), terpaan dapat diartikan
sebagai kegiatan mendengar, melihat, dan membaca pesan-pesan media
atau pun mempunyai pengalaman dan perhatian terhadap pesan tersebut
yang dapat terjadi pada individu atau kelompok.
2) Persepsi
Persepsi Terpaan
Tayangan
Televisi Mempengaruihi
Persepsi merupakan sebuah materi yang samar atau bisa juga disebut
abstrak. Namun demikian, menurut Azwar (2005) dalam ilmu sosial
persepsi tetap dapat diukur secara ilmiah melalui beberapa metode
pengukuran, yakni self report dan involuntary behavior. Metode
pengukuran ini sama halnya dengan metode yang digunakan untuk
mengukur sikap. Persepsi menurut West dan Turner (2009: 48) terbentuk
dengan 4 tahapan, yakni:
a) Attending and selecting
Mengamati stimulus-stimulus yang ada di sekitarnya dengan proses
seleksi yang bersifat alami.
b) Organization
Mengorganisasikan stimulus yang diterimanya melalui indra ke
dalam sensor dan otak.
c) Interpretation
Hasil dari pengamatan yang telah dilakukan sebelumnya akan
memunculkan interpretasi.
d) Retrieving
Terjadinya recalling memories yang ada dalam ingatan seseorang
tentang hal yang baru saja ia amati, di masa lalu.
B. Variabel Penelitian
Terdapat dua variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini, yakni:
1) Variabel bebas atau independent (X)
Variabel bebas adalah variabel yang mengandung gejala/ faktor/ unsur
yang memengaruhi munculnya variabel kedua (Y), (Nawawi, 1995: 57).
Dalam penelitian ini X= terpaan tayangan televisi 86
2) Variabel terikat atau dependent variable
Variabel ini adalah gejala yang muncul yang dipengaruhi oleh variabel
(X) dan bukan karena adanya variabel lain. (Nawawi, 1995: 57). Dalam
penelitian ini Y= persepsi masyarakat DIY tentang polisi
3) Hipotesis
Hipotesis penelitian adalah jawaban sementara atas hasil penelitian yang
belum diketahui. Penelitian ini mencoba mencari pengaruh yang terjadi
antara variabel X terhadap Y. Hipotesis yang demikian disebut dengan
hipotesis pengaruh atau regresi (Gani & Amalia, 2015: 9).
H0; 1,2 = 0 lawan H1; 1,2 0
Berikut adalah hipotesis dalam penelitian ini:
H1 = terpaan tayangan televisi 86(X) berpengaruh positif dan signifikan
terhadap persepsi masyarakat DIY tentang polisi (Y).
H0 = terpaan tayangan televisi 86 (X) tidak berpengaruh positif dan
signifikan terhadap persepsi masyarakat DIY tentang polisi (Y).
C. Definisi operasional
Berikut adalah definisi operasional dari kedua variabel „tayangan televisi‟ dan
„persepsi masyarakat‟.
Variabel Dimensi Indikator Pengukuran
Terpaan
tayangan
televisi.
(Ardiyanto,
2014)
Frekuensi Seberapa sering responden
mengakses tayangan 86.
Skala Likert Interval 1-
5
1= Sangat Tidak Setuju
(STS)
2= Tidak Setuju (TS)
3= Ragu-Ragu (R)
4= Setuju (S)
5= Sangat Setuju (SS)
Durasi Waktu yang dihabiskan
oleh responden dalam
sekali mengakses tayangan
86.
Atensi Perhatian dan antusias yang
ditunjukkan responden saat
menyaksikan tayangan 86.
Persepsi
(Turner,
2009)
Attending
& Selecting
- Informasi yang
didapatkan oleh
audiens dari program
86 (tayangan, narasi,
teks, suara, dll).
Skala Likert Interval 1-
5
1= Sangat Tidak Setuju
(STS)
2= Tidak Setuju (TS)
3= Ragu-Ragu (R)
4= Setuju (S)
5= Sangat Setuju (SS)
Organizing Konsep yang berhasil
terbentuk dari informasi
yang diterima responden.
Interpreting - Kepercayaan yang
terbentuk terhadap
informasi dalam
program.
- Pemaknaan yang
diberikan terhadap
informasi dalam
program.
Retrieving Memori terkait polisi yang
muncul, bisa memori baik
ataupun buruk.
Tabel 1.1
Tabel Definisi Operasional
7. Metodologi Penelitian
“Penelitian merupakan usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan
melakukan verifikasi terhadap kebenaran suatu peristiwa atau suatu pengetahuan
dengan menggunakan metode ilmiah” (Hamdi dan Bahruddin, 2014: 2).
A. Metode
Metode penelitian berarti dipahami sebagai “cara berfikir, berbuat yang
dipersiapkan dengan baik-baik untuk mengadakan penelitian, dan untuk
mencapai tujuan suatu penelitian” (Arikunto, 1986). Metode ilmiah terbagi
menjadi dua, yakni kuantitatif dan kualitatif. Penelitian ini akan menggunakan
pendekatan kuantitatif, lebih spesifik adalah survei. Survei menurut Cathrine
Mars (dikutip oleh Prajarto, 2010), dipahami tidak sekadar sebagai suatu
aktivitas observasi dengan teknik tertentu untuk mengumpulkan informasi,
tetapi juga mencakup aktivitas yang berkaitan dengan bentuk-bentuk
pengumpulan data dan metode analisisnya. Sementara menurut Hasan (2004)
penelitian survei adalah penelitian yang dilakukan untuk memperoleh fakta-
fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara
faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok
atau suatu daerah.
Survei merupakan metode yang tepat untuk digunakan dalam penelitian
ini, karena dengan survei yang notabene menyertakan kuesioner, peneliti dapat
mengetahui isi pikiran atau pendapat khalayak terkait dengan objek yang diteliti,
yakni program 86.
Lebih spesifik, metode survei yang digunakan adalah survei berbasis
eksplanatif. Menurut Husein (1999: 36), survei eksplanatoriadalah penelitian
yang bertujuan untuk menganalisis hubungan-hubungan antara satu variabel
dengan variabel lainnya atau bagaimana suatu variabel memengaruhi variabel
lainnya. Jenis survei ini sesuai dengan peelitian yang ada, yakni untuk
menngetahui ada atau tidaknya hubungan pengaruh antara variabel bebas
terpaan tayangan dengan variabel terikat persepsi masyarakat.
B. Obyek Penelitian
Penelitian ini menjadikan program 86 sebagai obyek penelitiannya. 86 adalah
sebuah program bergenre reality show yang ditayangkan di Net. TV setiap
harinya. Program berdurasi 30 menit ini merupakan hasil kerjasama antara
POLRI dengan NET. Mediatama yang menampilkan pelaksanaan tugas-tugas
harian anggota kepolisian, misalnya penertiban, razia, penangkapan,
penggerebekan, dan sebagainya. Melalui program ini, khalayak diajak untuk
mengetahui sisi lain dari seorang polisi.
C. Sampel
Sampel dalam penelitian ini diambil dari populasi masyarakat Provinsi DIY (4
kabupaten dan 1 kota). Masyarakat Provinsi DIY dipilih karena keberagaman
latar belakang manusia yang mendiaminya, seperti yang jamak disebutkan
bahwa Yogyakarta, khususnya pada bagian kota, adalah miniatur Indonesia,
karena beragam latar belakang budaya, pendidikan, dan agama dapat ditemui
dengan mudah di kota ini. Sementara di wilayah kabupaten, kita masih bisa
menjumpai masyarakat rural yang tidak dijumpai di kota, sehingga komposisi
masyarakat provinsi DIY secara keseluruhan cukup representatif untuk
menggambarkan masyarakat Indonesia secara umum.
Berdasarkan survei penduduk terakhir yang dilakukan oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) Yogyakarta, pada tahun 2012 Provinsi DIY memiliki total
penduduk sebanyak 3.514.762 jiwa dengan kepadatan tertinggi di Kabupaten
Sleman yakni sebanyak 31,72%.
Selain itu, DIY juga menjadi daerah baru yang mendapatkan siaran
NET. TV secara manual, baru sekitar satu tahun terhitung dari awal
peluncurannya pada 5 Oktober 2015 silam. Populasi provinsi dipilih karena
ragam kelas masyarakat dan juga pendidikannya yang beragam, sehingga
diharapkan dapat menghasilkan data yang komprehensif.
D. Jumlah Sampel
Penentuan jumlah sampel akan didasarkan pada rumus dari Slovin. Penggunaan
rumus ini menjadi penting, karena jumlah sampel yang tepat sangat dibutuhkan
dalam setiap penelitian survei. Jumlah sampel yang terlalu sedikit kurang dapat
menggambarkan keadaan populasi yang sesungguhnya, sementara jika terlalu
banyak maka akan menjadi pemborosan dalam sebuah penelitian. Maka dari itu,
sangat dibutuhkan perhitungan yang tepat sehingga didapatkan data dengan
akurasi yang maksimal. Berikut adalah rumus Slovin:
Dengan
N = Populasi
n = Sampel
e = Batas toleransi kesalahan (error tolerance)
Dengan batas toleransi kesalahan € sebesar 5%, maka jumlah sampel
dalam penelitian ini adalah:
(dibulatkan menjadi 400)
Besar kecilnya angka toleransi kesalahan berpengaruh dalam
menentukan tinggi rendahnya akurasi sampel dalam merepresentasikan
populasi. Misalnya €= 5% berarti akurasi sebuah hasil penelitian sebesar 95%,
dan sebagainya.
E. Kriteria Sampel (Sample Framing)
Supaya terfokus dan mendapatkan responden sesuai kebutuhan penelitian, maka
terdapat batasan-batasan (sample frame) dalam pemilihan sampel ini. Batasan
tersebut antara lain:
1) Berdomisili di DIY;
2) Usia ≥ 21 tahun;
3) Pernah menyaksikan program 86 sekurang-kurangnya satu kali.
F. Teknik Sampling
Jenis sample dalam penelitian ini adalahsampel acak atau disebut sebagai
probability sample. Menurut Rasyad (2003), jenis ini merupakan teknik
pengambilan sampel dengan menempatkan seluruh anggota kelompok dalam
populasi guna memperoleh kesempatan yang sama (equal change) untuk
mewakili populasinya dibandingkan dengan anggota kelompok yang lain.
Lebih spesifik, teknik sampling yang digunakan adalah acak sederhana
atau simple random sampling. Menurut Prajarto (2010), teknik sampling acak
sederhana memungkinkan peneliti untuk secara bebas menentukan sampelnya
tanpa pertimbangan penglasteran apapun.
G. Cara Menjangkau Sampel
1) Responden akan peneliti jangkau secara maya melalui kuesioner
online.
2) Menyebarkan link kuesioner kepada berbagai kalangan yang
sekiranya sesuai dengan kebutuhan penelitian.
3) Selanjutnya, dengan meng-klik link yang tersedia, responden
akan mengakses kuesioner online dan dipersilahkan untuk
mengisi setelah sebelumnya memahami instruksi yang ada.
4) Setelah semua terisi dengan benar, kuesioner akan di submit dan
secara otomatis akan terrekam pada base data peneliti untuk
selanjutnya dianalisis.
8. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini hanya terdapat dua variabel yakni Terpaan Tayangan sebagai
variabel bebas (X) dan Persepsi Masyarakat sebagai variabel terikat (Y) dan akan
dicari tahu ada atau tidaknya pengaruh diantara keduanya, yakni X terhadap Y.
Maka dari itu, teknik analisis data yang akan digunakan adalah teknik analisis
regresi.
A. Analisis Regresi
Secara sederhana, analisis regresi dipahami sebagai suatu analisis yang
bertujuan untuk mengetahui pengaruh satu atau lebih variabel terhadap variabel
yang lain. Dalam Gujarati (2006) analisis regresi menyangkut studi tentang
satu variabel yang disebut variabel tak bebas atau variabel dijelaskan dan satu
atau lebih variabel lain yang disebut variabel bebas atau variabel penjelas.
Lebih jelas, analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi
sederhana, karena hanya melibatkan dua variabel yakni Tayangan Televisi (X)
dan Persepsi (Y). Analisis regresi sederhana memiliki persamaan sebagai
berikut.
Y = a + bX
dimana:
Y = variabel terikat
X = variabel bebas
a = konstanta
b = koefisien regresi
Sementara nilai a dan b diperoleh melaui rumus berikut ini:
a = [(∑Y < ∑X2) – (∑X . ∑XY)] / [(N . ∑X
2) – (∑X) 2]
b = [N (∑XY) – (∑X . ∑Y)] / [(N . ∑X2) – (∑X) 2]
Serangkaian uji statistik akan dilakukan sebelum melakukan uji regresi.
Diantaranya adalah:
1) Uji validitas, uji realibilitas, dan uji normalitas;
2) Tabulasi Silang (Cross Tabulation);
3) Uji linearitas
B. Langkah Analisis Data
Ada pun langkah-langkah yang akan dilakukan dalam menganalisis data
kuantitatif menurut Prasetyo (2008) adalah sebagai berikut.
1) Koding
Langkah awal yakni dengan memberikan kode-kode berupa angka atau
skor terhadap jawaban yang diperoleh dari kuesioner yang menggunakan
skala tertentu.
2) Input
Setelah data memiliki kodenya masing-masing, kode itu dimasukkan ke
dalam tabel perhitungan untuk kemudian mulai di proses.
3) Cleaning
Ini adalah langkah opsional, artinya hanya dilakukan jika diperlukan.
Data yang telah diinput kemudian akan diketahui apakah data itu sudah
clear atau masih ada yang perlu disingkirkan. Jika masih ada data yang
„kotor‟, maka lakukan proses ke tiga ini, namun jika tidak maka
lanjutkan pada tahap selanjutnya.
4) Hasil
Setelah data benar-benar „bersih‟ maka bisa langsung diproses
menggunakan rumus dan aplikasi yang sudah ditentukan, kemudian
muncul lah hasil dari pengolahan data tersebut.
5) Analisis
Ketika hasil sudah keluar, maka langkah terakhir adalah menganalisis
hasil data yang ada kaitannya dengan kebutuhan penelitian.