bab i pendahuluan - repository.uksw.edu...1 bab i . pendahuluan . 1.1. latar belakang masalah...

14
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Soal Agraria adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk ini, orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada demi mempertahankan hidup yang seharusnya,” (Tauchid, 1952) Kutipan diatas sekiranya cukup memberikan gambaran munculnya berbagai gerakan petani di tanah air. Menurut Topatimasang (dalam Mustain 2007: 13) keberadaan tanah bagi petani, selain bernilai ekonomis sebagai sumber kehidupan, juga bermakna magis religion-kos-mis dan bahkan idiologis. Ironisnya, sejak zaman colonial, bahkan jauh sebelumnya yakni dimasa kerajaan, hingga kini sejarah pertanahan (yang identic dengan nasib kehidupan petani) tidak menunjukkan adanya tanda-tanda perbaikan. Kehidupan petani selalu terombang-ambing oleh ketidakpastian akibat kebijakan Negara tentang pertanahan yang sering berubah-ubah. Menurut Marx (dalam Sueseno 1977: 38) dalam suatu realita yang telanjang, bahwa di dalam masyarakat terdapat dua kelompok yang saling berhadapan (secara diametral) yang tak pernah terdamaikan, kelas-kelas atas (penindas) dan kelas-kelas bawah (tertindas). Pertentangan ini tidak akan terselesaikan karena bersifat obyektif. Masalahnya bukan disebabkan oleh kehendak buruk individu-individu kelas atas sehingga tidak akan bias ditiadakan hanya melalui perbaikan kesadaran social saja. Pertentangan itu desebabkan oleh kedudukan masing-masing kelas tersebut dalam proses produksi. Kelas-kelas atas berkepentingan untuk melanjutkan penindasan mereka dan menindas kelas-kelas bawah, karena eksistensi mereka bergantung dari penghisapan tersebut. Sementara itu, kelas-kelas tertindas

Upload: others

Post on 05-Feb-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang Masalah

    “Soal Agraria adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena

    tanah adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Perebutan tanah

    berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk ini, orang

    rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada demi

    mempertahankan hidup yang seharusnya,” (Tauchid, 1952)

    Kutipan diatas sekiranya cukup memberikan gambaran munculnya

    berbagai gerakan petani di tanah air. Menurut Topatimasang (dalam Mustain

    2007: 13) keberadaan tanah bagi petani, selain bernilai ekonomis sebagai

    sumber kehidupan, juga bermakna magis religion-kos-mis dan bahkan

    idiologis. Ironisnya, sejak zaman colonial, bahkan jauh sebelumnya yakni

    dimasa kerajaan, hingga kini sejarah pertanahan (yang identic dengan nasib

    kehidupan petani) tidak menunjukkan adanya tanda-tanda perbaikan.

    Kehidupan petani selalu terombang-ambing oleh ketidakpastian akibat

    kebijakan Negara tentang pertanahan yang sering berubah-ubah.

    Menurut Marx (dalam Sueseno 1977: 38) dalam suatu realita yang

    telanjang, bahwa di dalam masyarakat terdapat dua kelompok yang saling

    berhadapan (secara diametral) yang tak pernah terdamaikan, kelas-kelas atas

    (penindas) dan kelas-kelas bawah (tertindas). Pertentangan ini tidak akan

    terselesaikan karena bersifat obyektif. Masalahnya bukan disebabkan oleh

    kehendak buruk individu-individu kelas atas sehingga tidak akan bias

    ditiadakan hanya melalui perbaikan kesadaran social saja. Pertentangan itu

    desebabkan oleh kedudukan masing-masing kelas tersebut dalam proses

    produksi. Kelas-kelas atas berkepentingan untuk melanjutkan penindasan

    mereka dan menindas kelas-kelas bawah, karena eksistensi mereka

    bergantung dari penghisapan tersebut. Sementara itu, kelas-kelas tertindas

  • 2

    berkepentingan untuk menhancurkan kelas-kelas atas sebagai satu-satunya

    jalan yang harus di tempuh agar dapat membebaskan diri dari penindasan.

    Pada umumnya jika diperhatikan secara cermat, latar belakang

    konflik pertanahan di pedesaan bersumber dari perebutan tanah antara

    perkebunan ( baik yang difasilitasi oleh Negara maupun swasta) dan rakyat

    petani. Scott (1993: 61) menulis, bahwa akibat pertanian komersial dan

    perkebunan Negara, kepercayaan petani akan jaminan subsistensi mulai

    menurun dan petani tak punya pilihan lain kecuali melawan. Perlawanan

    (resistensi) petani banyak ditemukan pada daerah-daerah yang kemajuan

    komersialnya paling menonjol. Hal ini disebabkan didaerah-daerah pusat

    komersialisasi tersebut, sumbangan terhadap kesejahteraan petani semakin

    kecil akibat naiknya posisi tawar pemilik tanah. Keadaan ini memicu

    timbulnya gerakan perlawanan oleh petani dalam berbagai bentuk seperti

    halnya aksi protes dan kekerasan sebagai manifestasi dari ketidakpuasan

    petani akibat hubungan ekploitasi yang dirasa tidak adil.

    Di Indonesia, sumber daya alam merupakan bagian dari sistem

    korporasi negara, sehingga sumber daya alam tersebut tidak dapat

    dimanfaatkan secara sewenang-wenang oleh masyarakat. Semua peruntukan

    sumber daya alam strategis seperti pertanahan, kehutanan, perairan,

    kelautan, dan mineral serta tambang, ditentukan oleh pemerintah sebagai

    institusi yang mewakili negara tersebut. Hal sama tentu saja terjadi pada

    sumber daya hutan (Awang, 2007: xv). Dengan demikian, semua aktivitas

    petani hutan yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk mengakses,

    memanfaatkan dan menggunakan sumber daya hutan dalam memenuhi

    kebutuhan hidup (subsistensi) tanpa perizinan resmi dari negara

    digolongkan sebagai perbuatan liar dan tidak sah atau disebut sebagai

    perambah hutan, penjarah hasil hutan, peladang liar, pencuri kayu, perusuh

    keamanan hutan, dan lain-lain. Akibatnya, penetapan kawasan hutan sebagai

    hutan negara cenderung menimbulkan konflik kekerasan oleh Perum

    Perhutani terhadap masyarakat desa hutan yang mencoba mengakses,

  • 3

    memanfaatkan dan menggunakan sumber daya hutan tanpa izin oleh pihak

    yang berwenang.

    Setelah masa kolonialisme berakhir dan negara baru dengan nama

    Indonesia lahir. Pada masa Soekarno dalam konteks kebijakan penggelolaan

    sumberdaya alam kaitanya dengan pertanahan, terdapat pandangan populis

    tertuang dalam Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) 19601 yang

    merupakan penjabaran dari UUD 1945 pasal 33 ayat 3 UUD 19452. Dengan

    dasar konstitusi tersebut, ini berarti bahwa arah kebijakan negara adalah

    kemakmuran seluruh rakyat, bukan kemakmuran orang per orang. Dalam

    hal ini negara memiliki kekuasaan hanyalah untuk mengatur dalam upaya

    pencapaian kemakmuran tersebut.

    Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) hasil kerja

    panitia bentukan pemerintah Soekarno diakui secara legal sebagai landasan

    hukum pertanahan yang sah (Tap MPR No,IV/1978). Namun setelah era

    orde baru kebijakan agraria tersebut diganti karena rezim ini mempunyai

    1 Beberapa point penting dalam UUPA adalah: (1) Hak bangsa Indonesia atas tanah airnya

    bersifat abadi (pasal 1 ayat 3 UUPA), yang berarti sepanjang bangsa Indonesia masih ada dan

    wilayah Indonesia masih ada, tidak ada kekuasaan apapun yang dapat memutuskan hubungan

    hak bangsa Indonesia atas tanah airnya. Hubungan ini seperti hak ulayat pada masyarakat adat

    yang memungkinkan adanya hak milik, hak pakai, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan

    hak-hak atas tanah lain yang dapat dipegang oleh perorangan ataupun badan hukum; (2) Hanya

    warga negara Indonesia saja yang dapat memiliki hak atas tanah atas dasar hak milik (pasal 21

    ayat 1 UUPA), tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki maupun perempuan; (3) Warga

    negara asing tidak dapat memiliki hak atas dasar hak milik (pasal 26 ayat 6 UUPA); (4) Asas

    domein (hak milik mutlak negara atas tanah) dihapuskan dan diganti dengan hak menguasai dari

    negara, yang digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal 2 ayat 3

    UUPA). Hak menguasai ini dapat didelegasikan kepada daerah-daerah swatantra (propinsi,

    kabupaten/ kota, kecamatan dan desa) dan bahkan pada suatu komunitas adat; (5) Tanah

    mengandung fungsi sosial (pasal 6 UUPA). Fauzi (1999) menuliskan bahwa prinsip tanah

    berfungsi sosial ini berarti bahwa setiap hak atas tanah yang ada pada seseorang (kelompok)

    tidak dibenarkan semata-mata demi kepentingan pribadi (kelompok), apalagi sampai merugikan

    masyarakat. Dengan kata lain, penggunaannya harus bermanfaat bagi kepentingan umum; (6)

    Prinsip land reform. Prinsip ini terdapat pada pasal 13 dan pasal 17, tentang batas minimum luas

    tanah yang harus dimiliki oleh seorang petani, supaya dapat hidup layak bagi diri sendiri dan

    keluarganya. Pada undang-undang ini tercantum pula batas maksimum luas tanah yang dapat

    dimiliki oleh seseorang dengan hak milik (pasal 17 UUPA). Hal ini dimaksudkan untuk

    mencegah penguasaan tanah yang luas pada tangan segelintir orang. Selanjutnya, pada pasal 7

    UUPA dinyatakan pula pelarangan pemilikan tanah yang melampaui batas, karena bisa

    merugikan kepentingan umum, khususnya rakyat petani (Hendarto, 2005: 5-6 dalam:

    www.dephut.go.id).

    2 Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa : “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung

    di dalamnya dikuasai Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

  • 4

    pandangan berbeda dalam melihat pembangunan. Pada awal kekuasaan orde

    baru, pertumbuhan ekonomi yang disertai upaya stabilitas politik menjadi

    prioritas utama. Atas dasar tersebut beberapa kebijakan yang diambil pada

    masa orde baru diantaranya, Pertama, pembekuan UUPA yang merupakan

    dasar kebijakan masa orde lama. Kedua, mendorong terjadinya eksploitasi

    terhadap sumberdaya alam untuk membiayai pembangunan. Kebijakan

    eksploitasi terhadap sumberdaya alam tersebut ditandai dengan

    dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) tahun

    1967, Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun

    1968, diikuti kebijakan lain seperti UU.No.5/1967 tentang Pokok-Pokok

    Kehutanan, UU.No.11/1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan dan

    UU.No.11/1972 tentang Ketentuan Pokok Transmigrasi (Suhendar, 1996 :

    64-76).

    Adanya pemberian hak pengelolaan kawasan oleh pemerintah

    kepada pihak swasta atupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang

    marak pada masa Orde Baru, merupakan bentuk konversi dari hak erfpacht

    yang ada pada massa kolonial. Sejalan dengan itu, Mustain (2007)

    menyatakan bahwa pengelolaan HGU tersebut dalam praktiknya sering

    terjadi penyimpangan peruntukan, penguasaan, dan pengasingan terhadap

    masyarakat sehingga memicu manifestasi konflik.

    Kejatuhan pemerintahan Orde Baru menciptakan ketidakstabilan di

    bidang politik dan ekonomi, baik itu pada tingkat pusat atupun daerah.

    Sudah menjadi cirri rezim otoriter modern bahwa ketika pusat tidak dapat

    bertahan, maka segalanya akan berantakan dengan begitu cepat. (Simon

    Philpott, 2003). Krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 mendesak

    lahirnya gagasan reformasi. Reformasi membuka ruang yang lebih besar

    bagi rakyat dalam menyuarakan aspirasinya, terutama dengan dukungan dari

    banyaknya organisasi non pemerintah yang memang pesat juga

    perkembangannya diseluruh dunia pada awal tahun 1990-an (Hulme dan

    Edward, dalam Pinky, 2007). Semangat reformasi tidak hanya dirasakan

    oleh mahasiwa dan berbagai elemen masyarakat yang melakukan aksi turun

  • 5

    ke jalan di kota – kota besar, tetapi juga dirasakan pada masyarakat di

    tingkat akar rumput.

    Dalam sejarah Gerakan petani di indonesia, paling tidak bisa

    dibedakan menurut masanya, misalnya antara masa kolonial,Orde lama,

    Orde baru dan masa transisi (reformasi) yang memiliki ciri atau corak yang

    berbeda. Pola gerakan sosial petani pada era kolonial berupa

    pemberontakan-pemberontakan sekala mikro yang dipimpin oleh seorang

    tokoh yang diistilahkan dengan Ratu adil3 untuk mendapatkan kembali

    tanah adat yang diambil secara paksa oleh negaran untuk kepentingan

    penguasaan tanah oleh kolinal Belanda dalam aktivitas perkebunan.

    Sementara itu pada era Orde lama gerakan petani lebih diakibatkan oleh

    interfensi partai politik dalam memblow-out masalah tanah sebagai isu

    kepentingan partai. Berlainan dengan masa Orde Baru, karakteristik gerakan

    petani lebih bersifat vertikal antara pemegang hak dengan pengusaha yang

    berkolaborasi dengan penguasa(Noer Fauzi,1997). Berlainan lagi dengan

    pada era reformasi saat ini, gerakan petani lebih dicirikan dengan reklaming

    tanah sebagai akibat dari tidak jelasnya paradigma dalam penanganan sektor

    pertanian sehingga nasip petani tetap termajinalkan oleh pemilik

    modal(Siahaan,1997:17).

    Kedepan gerakan petani belumlah akan terhenti mengingat tekanan

    terhadap petani tidak saja dilakukan oleh negara, melainkan juga oleh pasar

    yang dengan leluasa menggunakan siapa saja untuk menekan petani.

    Ungkapan ”rich forest, poor people”4, mungkin adalah kata yang tepat

    untuk menggambarkan kondisi hutan kaitannya dengan kondisi ekonomi

    masyarakat khususnya masyarakat desa hutan. Dimana, hutan telah

    dieksploitasi bahkan selama beberapa abad dari masa kolonialisme sampai

    indonesia merdeka hingga saat ini, lingkungan sudah mengalami

    3 Seperti yang digambarkan oleh Kuntowijoyo dan Kartodirjo dalam: PETANI vs NEGARA, Dr

    Mustain, Ratu adil atau Imam Mahdi, yaitu seorang yang mengemban misi membebaskan rakyat

    dari kesengsaraan dan akan memimpin masyarakat secara arif bijaksana. 4 Peluso (dalam Syahyuti, 2006: 249-250), mengungkapkan suatu kondisi ketimpangan dalam

    kerjasama pengelolaan hutan pada 1970-an dimana petani merupakan “pesanggem” atau petani

    pengarap pada lahan negara.

  • 6

    kehancuran, dan berbagai kebijakan oleh Perhutani telah dikeluarkan, akan

    tetapi kondisi masyarakat khususnya masyarakat desa hutan tetaplah pada

    kondisi miskin. Hal tersebut ditunjukan oleh kondisi dimana terdapat sekitar

    6000 desa hutan atau desa yang berbatasan dengan hutan di bawah

    penggelolaan Perum Perhutani, pada kenyataan masih dalam kondisi miskin

    (Awang, 2004: 134).

    Dalam konteks ini peneliti melihat suatu kasus yang terjadi pada

    salah satu desa hutan di Jawa tengah tepatnya desa-desa hutan yang

    berbatasan langsung dengan kawasan hutan di KPH Randublatung dimana

    mereka telah menyatukan diri dalam sebuah wadah organisasi petani, Lidah

    Tani dalam proses perlawanan mereka menuntut keadilan.

    Randublatung adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Blora,

    Provinsi Jawa tengah. Dinamika pengelolaan dan konflik hutan jati di Blora

    memiliki sejarah yang sangat panjang. Sejak zaman kerajaan Mataram,

    Blora terkenal sebagai daerah penghasil kayu jati. Waktu itu, masyarakat

    sekitar hutan bebas membabat hutan untuk lahan pertanian dan

    memanfaatkan kayunya untuk dijual atau untuk tempat tinggal. Keadaan

    menjadi berubah ketika Belanda datang dan mulai memberlakukan

    peraturan yang macam-macam terhadap daerah koloninya. Belanda mulai

    membentuk dinas kehutanan modern yang bernama Dienst van het

    Boshwezen. Dinas ini yang menerapkan peraturan hak atas tanah, pohon dan

    buruh. Setiap petani yang dengan tanpa izin memasuki hutan akan ditangkap

    dan dikriminalisasikan (Rahma, 2007:64). Warga sekitar hutan di Blora

    terusir dari tanahnya sendiri.

    Ketika Jepang datang dan menggantikan posisi kolonial Belanda di

    Jawa, keadaan masyarakat setempat tidak menjadi lebih baik. Keadaannya

    menjadi lebih buruk karena Jepang menerapkan sistem kerja paksa.

    Masyarakat direkrut sebagai buruh penebang pohon jati atau pengangkut

    hasil hutan. Hutan jati dieksploitasi besar-besar oleh Jepang dan diangkut ke

    negara mereka. Setelah lahan kosong dan gundul, rakyat baru dibolehkan

    menggarap lahan bekas pohon jati untuk pertanian. Ketika Indonesia

  • 7

    merdeka, lahan hutan yang dulu milik rakyat dan kemudian dirampas oleh

    Belanda, dinasionalisasi oleh pemerintah. Sayangnya, lahan hutan tersebut

    tidak dikembalikan kepada rakyat setempat. Sejak tahun 1961, penguasaan

    hutan jati jatuh ke Jawatan kehutanan. Luas lahan yang dikuasai Perhutani

    mencapai 49,118 % dari total wilayah Blora. Lahan tersebut hampir

    semuanya ditanami pohon jati (Rahma, 2007:61). Dengan penguasaan lahan

    seluas itu dengan produksi kayu jati yang sangat strategis, Perhutani

    sebenarnya telah menggenggam separuh nyawa Kabupaten Blora. Resistensi

    masyarakat Blora terhadap pola-pola pengelolaan hutan oleh Perhutani terus

    berlanjut di masa Orde Baru. Bentrok fisik langsung antara petani dengan

    Perhutani terjadi berkali-kali. Sikap represif negara, dalam hal ini Perhutani,

    ditunjukkan dengan adanya penangkapan dan kriminalisasi terhadap orang-

    orang yang diduga membabat hutan dan mencuri hasilnya.

    49,66 % luas kabupaten Blora merupakan kawasan hutan yang

    dikelola oleh Perum Perhutani I Jawa Tengah dan terbagi atas tiga kesatuan

    pemangkuan hutan (KPH), yaitu KPH Randublatung, KPH Cepu dan KPH

    Blora. Produksi kayu jati bundar terbanyak berasal dari Kecamatan

    Randublatung yakni sebesar 35.310,000 m3 yang termasuk di wilayah

    Randublatung. Total produksi kayu jati bundar di Kabupaten Blora tahun

    2002 sebesar 85.950,197 m3 atau turun sebesar 14,28 persen dari tahun

    sebelumnya. Dengan tanah kawasan hutan yang luas tersebut,sengketa tidak

    dapat terhindarkan.5

    Di antara 3 KPH lainnya (KPH Blora, KPH Cepu), KPH

    Randublatung adalah yang paling banyak timbul masalah. Dengan jumlah

    penduduk sekitar 73 ribu jiwa (17 ribu KK atau 4 jiwa/RT), yang berarti

    kepadatan sebesar 300 jiwa/km2, terlihat bahwa Randublatung tergolong

    padat penduduk. Secara geografis, interaksi masyarakat desa hutan (MDH)

    di Randublatung dengan hutan di sekitar tempat hidup mereka sangat tinggi.

    Salah satu indikatornya adalah bahwa dari wilayah Kecamatan

    5 http://www.pemkabblora.go.id diakses tanggal 3 Mei 2015.

  • 8

    Randublatung seluas 21.113,097 hektare, 13.366,605 hektar di antaranya

    (64%) merupakan kawasan hutan Perum Perhutani.

    Rentan waktu kurang dari setengah abad―semenjak mandat

    pengelolaan pertama kali diserahkan pada 1961―tentu menyiratkan

    keyakinan negara akan kinerja positif Perhuntani dalam mengelola sumber

    daya hutan (Maryudi, 2011:76). Tetapi, setelah Orde Baru yang memiliki

    karakter kekuasaan otoriter dalam mengelola pemerintah ambruk, terjadi

    fenomena kekacuan dibidang pengelolaan sumber daya hutan di kawasan

    KPH Radandublatung. Konflik-konflik perebutan sumber daya hutan terjadi

    bahkan merebak. Berbagai masyarakat desa hutan yang sebelumnya pasif

    menjadi merasa kuat bila berhadapan dengan negara. Perlawanan terbuka

    dengan aksi penjarahan kayu terjadi di seluruh kawasan hutan wilayah kerja

    Perum Perhutani KPH Randublatung dan kawasan-kawasan hutan lainya.

    Pada mulanya aksi penjarahan kayu terjadi di kawasan RPH

    Kedungsambi, tetapi kemudian dalam prosesnya meluas ke wilayah

    kawasan hutan negara di Randublatung, Cepu, bahkan Blora. Ribuan

    penjarah secara leluasa melakukan “panen raya‟ (penebangan liar) tanpa

    ada yang dapat menghentikanya. Bahkan, pihak Perum Perhutani KPH

    Randublatung pun telah melakukaan operasi-operasi dalam upaya

    pengamanan hutan, baik dengan Polhutanya maupun bersama pihak

    Kepolisian, Militer maupun Brimob.

    Pasca aksi penjarahan kayu, lahan yang telah kosong akibat dari aksi

    penjarahan kayu dikapling-kapling begitu saja oleh petani hutan, guna dialih

    fungsikan menjadi lahan pertanian. Bahkan lebih jauh lagi, aksi penjarahan

    kayu yang terjadi pada awal tahun 1998 disertai dengan fenomena aksi balas

    kekerasan antara masyarakat desa hutan dan Perum Perhutani KPH

    Randublatung bersama aparat negara gabunganya. Sehingga mengakibatkan

    korban meninggal dan lukaluka, baik dari pihak Perum Perhutani KPH

    Randublatung maupun masyarakat desa hutan. Kemudian, aksi kekerasan

    dari masyarakat desa hutan juga dilakukan dengan cara merusak sarana dan

    prasana milik Perum Perhutani KPH Randublatung.

  • 9

    Kondisi tersebut menempatkan Perum Perhutani dalam situasi

    kesulitan mengatasi persoalan aksi penjarahan kayu, aksi perambahan lahan

    dan diikuti dengan aksi kekerasan yang terjadi secara masif di semua

    wilayah kerja Perum Perhutani KPH Randublatung. Kondisi itu juga

    menjadikan masyarakat desa hutan yang sebelumnya cenderung diam di era

    Orde Baru berubah menjadi masyarakat yang secara “liar” untuk masuk ke

    dalam hutan tanpa dapat diatasi oleh aparat negara pada awal era Reformasi.

    Oleh karena itu sangat wajar jika perlawanan terbuka di sekitar hutan KPH

    Randublatung di era Reformasi cenderung menonjolkan sifat anarkhis dan

    memilih berkonfrontasi langsung secara terbuka dengan kekuatan negara.

    Pada tahun 1998, Perhutani menembak dua orang warga yang

    sedang mencari kayu di Hutan. Dua orang tersebut adalah Darsit dan Rebo.

    Setelah kejadian salah tembak itu, masyarakat melakukan pengrusakan

    bangunan Perhutani yang ada di Randublatung dan melakukan tindakan

    pembalasan dengan mengambil kayu di hutan jati. Pada tahun 2000

    kekerasan oleh Polisi Hutan kembali terjadi. Kali ini di KPH Cepu yang

    menewaskan Djani. Djani ditembak saat Polisi Hutan sedang melakukan

    operasi pengamanan hutan. Padahal Djani bukanlah pencuri kayu. Pagi itu

    dia pergi ke sawah membawa cangkul. Kebetulan polisi hutan sedang

    mengejar pencuri kayu dan mendapati Djani di lokasi, polisi hutan

    menembaknya sampai tewas. Kekerasan yang sama terus berulang di Blora,

    baik yang menyebabkan tewasnya warga masyarakat maupun yang luka-

    luka. Korban-korban yang tewas di Blora dalam rentang waktu 1998-2008

    dijelaskan di bawah6:

    n

    No

    Na

    ma

    Modus KPH Waktu

    1Darsit Penembakan Randublatung 28 Juni 1998

    6 Data diolah dari tabulasi dokumen kasus yang dikumpulkan LBH Semarang dan Lidah

    Tani

  • 10

    1

    2

    2

    Rebo Penembakan Randu Blatung 28 Juni 1998

    3

    3

    Djani Penembakan Cepu 5 November 200

    4

    4

    Wiji Penganiayaan Cepu 14 Oktober 2002

    5

    5

    Mursi Penembakan Randublatung 16 Desember

    2003

    6

    6

    Nurhadi Penganiayaan Randublatung 13 Juni 2006

    7

    7

    Pariyono Penaniayaan Randublatung 18 November

    2006

    Beberapa contoh kasus di atas menunjukkan bahwa sengketa hutan

    cenderung terjadi tindak kekerasan di antara para pihak yang terlibat

    sengketa. Catatan dari Arupa menguatkan asumsi itu.7 Dalam sepuluh

    tahun terakhir sudah 7 (tujuh) orang tewas ditangan Perhutani di Blora.

    Apabila dikalkulasikan untuk Jawa Tengah (Wilayah I Perhutani),

    sebagaimana ditabulasikan oleh LBH Semarang dan Lidah Tani, dalam

    sepuluh tahun terakhir (1998-2008.) sudah 31 orang tewas dan 69 orang

    luka-luka akibat pendekatan keamanan yang dilakukan oleh Perhutani.

    Dalam perkembangannya, Perlawanan petani di Randublatung

    menunjukkan dinamika kelangsungan perlawanannya itu sendiri.

    Penggunaan organisasi atau paguyuban atau forum sebagai suatu strategi

    untuk memperjuangkan hak-hak atas tanah adalah gejala baru gerakan

    hukum petani sebagai upaya untuk ’memaksa’ pihak yang berlawanan mau

    duduk berunding dan mencari penyelesaian sengketa yang saling

    7 Edi Suprapto, “Konflik Kehutanan yang Berbuah Kekerasan,“ dalam http://www.

    arupa.or.id. diakses tanggal 28 Mei 2015.

  • 11

    menguntungkan. Para petani yang berseteru dengan Perhutani membentuk

    kelompok-kelompok tani yang disebut Lembaga Rembug Hutan (LRH).

    Kelahirannya difasilitasi oleh Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam

    (Arupa; suatu aliansi yang terdiri dari beragam latar belakang, termasuk

    para mahasiswa). Pada tahun 2003, setelah melakukan studi banding di

    beberapa daerah dan berdiskusi panjang, petani membentuk Organisasi

    Tani Lokal (OTL) yang bernama Lidah Tani yang berarti “Api Perlawanan

    Petani.” Lidah Tani mengorganisir petani hutan, belajar bersama, dan

    membangun jaringan dengan petani se-Jateng dengan satu tujuan utama

    agar yakni memperjuangkan keadilan petani yang tinggal di sekitar

    kawasan hutan (Rahma, 2007: 74).

    Tanpa mengorganisir diri atau bergerak secara individual, protes

    dan tuntutan para petani tak akan digubris oleh Perhutani. Gerakan, protes

    atau tuntutan yang dilakukan dengan menggunakan wadah atau institusi

    tertentu kemungkinan besar akan direspon oleh pihak yang dituntut.

    Institusi atau organisasi tersebut dalam istilah sosiologi Berger dan

    Neuhaus disebut sebagai ’mediating structures’ (institusi-institusi mediasi)

    yang wujud konkretnya merujuk pada lembaga keluarga, ketetanggaan,

    keagamaan dan juga asosiasi keswadayaan.

    Dalam perkembangan politik kontemporer, berbagai langkah telah

    dilakukan oleh aktor intermediary dalam peran dan fungsinya sebagai state

    society relation. Dalam ranah non-ektoral, biasanya wadah yang

    digunakan berbentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang

    didirikan atas dasar tujuan tertentu. Kehadiran LSM dalam sebuah

    masyarakat merupakan kenyataan yang tidak dapat dinafikan. Hal ini

    dikarenakan keterbatasan pemerintah yang tidak dapat memenuhi

    kebutuhan warga masyarakat, dan atau keterbatasan masyarakat dalam

    memenuhi tuntutannya kepada negara. Hingga yang terjadi biasanya

    adalah peran itu kemudian diambil alih oleh kelompok LSM atau aktor

    akto-raktor intermediary. Disisi lain, fenomena pembentukan norma dan

  • 12

    tatanan sosial yang dilakukan oleh negara, menciptakan ketegangan

    dengan masyarakat, sehingga peran-peran dari aktor intermediary akan

    sering terlihat. Terkait dengan ketegangan yang terjadi antara negara dan

    masyarakat, dan peran aktor intermediary didalamnya ditemukan pada

    Perlawanan Petani Hutan di Randublatung. Hal ini menarik untuk diteliti

    dikarenakan Perlawanan Petani Randublatung ternyata banyak

    menggunakan strategi yang terkonstruksi dan dimobilisasi oleh ARUPA.

    Berdirinya Lidah Tani sebagai wadah perlawanan petaani Randublatung

    dapat dikategorisasikan sebagai bagian dari gerakkan sosial yang

    dilakukan oleh masyarakat untuk melawan negara, melalui aktor

    intermediary. Olehnya itu dalam penelitian ini, penulis ingin menjelaskan

    bagaimana peran aktor intermediary dalam perlawanan petani

    Randublatung dilihat dari perspektif gerakan sosial baru. Sehingga,

    dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana peran aktor intermediary

    dalam ranah gerakan sosial baru.

    1.2 Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang diatas, secara umum dapat dikatakan

    bahwa Perlawanan petani di Randublatung mengalami dinamika dalam

    kelangsungan perlawanan terhadap tindak kekerasan oleh Perhutani.

    Penggunaan organisasi atau paguyuban atau forum sebagai suatu strategi

    untuk memperjuangkan hak-hak atas tanah adalah gejala baru gerakan

    hukum petani sebagai upaya untuk ’memaksa’ pihak yang berlawanan mau

    duduk berunding dan mencari penyelesaian sengketa yang saling

    menguntungkan. Selain itu, Hadir dan banyaknya aktor-aktor yang secara

    terbuka memposisikan dirinya sebagai jembatan penghubung antara

    masyarakat dan negara. Dalam hal bagaimana peran dan strategi mereka

    dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat semakin menambah daya

    tarik untuk diteliti. Berangkat dari kondisi-kondisi tersebut, pertanyaan

    yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah Bagaimana petani

    Randublatung melakukan perlawanannya? Termasuk didalamnya, peran

  • 13

    Organisasi Petani (lidah Tani) sebagai institusi Intermediary dalam peran

    dan fungsinya sebagai state society relation.

    Untuk mempertajam rumusan masalah tersebut, permasalahan

    dalam penelitian ini dapat diturunkan menjadi beberapa pertanyaan yang

    lebih spesifik lagi diantaranya:

    1. Bagaimana perlawanan petani Randublatung atas kekerasan

    yang dialami?

    2. Bagaaimana peran Institusi Intermediary dalam prespektif

    gerakan social baru?

    1.3 Tujuan Penelitian

    Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang:

    1. Bagaimana gambaran perlawanan petani Randublatung atas

    kekerasan yang dialami?

    2. Bagaimana peran aktor (institusi) intermediary dalam

    perlawanan petani menghadapi kekerasan?

    1.4 Manfaat penelitian

    Denganadanya penelitian ini diharapkan mampu:

    - Menambah khasanah baru bagi study sosiologi sekaligus sebagai

    bentuk kontribusi terhadab study-study tentang perlawanan petani

    di Indonesia yang sedeng berkembang .

    - Sebagai masukan bagi institusi-institusi terkait atau lembaga-

    lembaga formal maupun informal agar lebih memaksimalkan

    perannya terutama dalam pendampingan masyarakat dan terlebih

    pada advokasinya terhadap petani.

    - Menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.

    - Mampu memberikan pengetahuan, kesadaran dan kepedulian

    terhadap rakyat kecil (petani) yang selalu terkucilkan,

  • 14

    tereksploitasi, tertindas dan termarjinalkan agar petani juga

    mendapatkan perlakuan yang layak dan mendapatkan akses untuk

    kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.