bab i pendahuluanrepository.ump.ac.id/9540/2/bab i.pdf · inti dari pendidikan adalah proses...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan dalam arti sederhana sering diartikan sebagai usaha
manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai didalam
masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan
berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh
orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Dewasa di sini dimaksudkan adalah
dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri secara biologis, psikologis,
pendagogis, dan sosiologis. Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha
yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi
dewasa atau mencapai tingkat hidup atau kehidupan yang lebih tinggi dalam
arti mental.
Kenyataannya, pengertian pendidikan ini selalu mengalami
perkembangan, meskipun secara essensial tidak jauh berbeda. Menurut
Achmad Patoni, pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk
menumbuh kembangkan potensi sumber daya manusia peserta didik dengan
cara mendorong dan memfasilitasi kegiatan belajar mereka. Pendidikan
merupakan salah satu pilar utama dalam menentukan perubahan sosial.
Perubahan ke arah kemajuan dan kesejahteraan hidup yang berkualitas
(Ahmad, 2014:42).
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
2
Inti dari pendidikan adalah proses pembelajaran, dimana dalam
pembelajaran tentu tidak terlepas dari proses belajar mengajar. Dimana
belajar adalah sebuah proses perubahan didalam kepribadian manusia dan
perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan
kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap,
kebiasaan, pemahaman, ketrampilan, daya pikir, dan kemampuan-
kemampuan yang lain.
Pembelajaran Sejarah adalah suatu bagian dari kegiatan belajar
mengajar dimana peserta didik mempelajari kejadian-kejadian masa lampau
dalam segala aspek. Pembelajaran Sejarah tidak terpaku hanya pada
masalah politik atau pada masalah antropologi. Pembelajaran Sejarah juga
mempelajari kehidupan sosial, norma – norma yang pernah berlaku,
ekonomi bahkan agama sekalipun. Karena pada hakekatnya semua kejadian
tidak akan lepas dari Sejarah.
Dengan mempelajari kejadian yang pernah terjadi atau mengalami
kejadian sendiri, diharapkan seseorang akan mendapatkan kebijaksanaan.
Sehingga apabila dimasa yang lalu seseorang melakukan kesalahan atau
menemukan kesalahan, maka dia tidak akan terjebak untuk kedua kalinya
pada kesalahan yang sama.
Selama ini pendidikan sejarah diidentikan sebagai pembelajaran
yang membosankan di kelas. Baik strategi, metode maupun teknik
pembelajaran lebih banyak bertumpu pada pendekatan berbasis guru yang
monoton, dan meminimalkan partisipasi peserta didik. Guru di posisikan
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
3
sebagai satu – satunya dan pokok sumber informasi, peserta didik tertinggal
sebagai objek penderita manakala guru sebagai segala sumber dan pengelola
informasi hanya mengajar dengan metode ceramah dan tanya jawab yang
konvensional. Sehingga pembelajaran sejarah disamping membosankan.
Juga hanya menjadi wahana pengembangan ketrampilan berfikir tingkat
rendah dan tidak memberi peluang kemampuan dalam memecahkan
masalah. Untuk itu para guru sejarah di lapangan ditantang untuk memiliki
motivasi, keinginan, antusiasme dan kreatifitas dalam mengembangkan dan
meningkatkan kompetensi mengajar melalui pengayaan dan penguasaan
berbagai model dan strategi pembelajaran sejarah.
Pengayaan Materi biasanya disamakan dengan remidial, tetapi
sejatinya berbeda. Pengayaan materi merupakan suatu kegiatan
pembelajaran kelompok yang dilakukan dengan memanfatkan sisa waktu
yang ada untuk membantu siswa dan mengembangkan minat yang lebih
serta memupuk rasa senang dalam suatu pembelajaran. Pengayaan materi
juga membantu pemahaman siswa dalam suatu materi dimana mereka akan
diberikan kesempatan untuk menjelaskan atau mengerjakaan tugas yang
diberikan guru. Bisa dalam bentuk soal ataupun permainan.
Sementara itu dalam remidial hal tersebut dilakukan untuk
memperbaiki cara belajar ataupun membantu siswa dalam memahami
materi yang masih belum jelas. Kegiatan remidial ini berbeda dengan
pembelajaran biasa dimana dalam remdial hal yang dibahas itu berdasarkan
kebutuhan suatu individual atau kelompok peserta didik yang masih belum
menguasai materi pembelajaran. Seperti Menurut Maman Rahman
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
4
(2008:30) kegiatan pengayaan adalah kegiatan yang diberikan kepada
siswa-siswi kelompok cepat sehingga siswa-siswi tersebut menjadi lebih
kaya pengetahuan dan ketrampilan atau lebih mendalami bahan pelajaran
yang mereka pelajari.
Dalam suatu pembelajaran selalu ada permasalahan yang muncul,
apalagi dalam bentuk penjelasan dari guru dengan kurangnya sumber dan
contoh yang mendukung kegiatan pembelajaran. Seperti dalam materi sub
bahasan akulturasi budaya yang selalu dibahas pada materi Hindu, Budha
dan Islam. Pemberian contoh dari hasil akulturasi tersebut biasanya
menggunakan hal-hal yang berasal dari luar daerah mereka dan hanya
terpaku dengan buku teks. Hal ini yang membuat kebudayaan di sekitar
sekolah yang mungkin dipengaruhi dengan akulturasi tersebut menjadi tidak
di ketahui dan diabaikan. Salah satu kelemahan dari anak muda jaman
sekarang adalah mereka jarang menyukai terhadap budaya mereka sendiri
dan enggan untuk mempelajari sehingga membuat mereka mudah untuk
dipengaruhi dan diprovokasi tampa mengetahui detail yang benar.
Islam masuk ke Indonesia melalui proses damai dan menjadi
agama mayoritas penduduk Indonesia. Seperti halnya di pulau Jawa, hasil
sensus penduduk tahun 2015 mencatat sebanyak 111.903.667 penduduk
pulau Jawa memeluk agama Islam atau dapat dikatakan mayoritas penduduk
pulau Jawa memeluk agama Islam (BPS, 2015). Tidak semua penduduk
pulau Jawa memeluk agama Islam secara murni atau Islam puritan, ada pula
sebagian penduduk Indonesia juga yang memeluk agama Islam sinkretis
atau yang bisa disebut dengan Islam Abangan.
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
5
Agama Islam yang berkembang di Jawa, memiliki karakter yang
sangat unik dan mempunyai konsep, ide serta keyakinan yang berbeda
dengan islam puritan pada umumnya. Karakter unik ini dikarenakan
penyebaran agama Islam di Jawa sangat dipengaruhi oleh pola alkulturasi
dan asimilasi ajaran Islam dengan budaya dan tradisi lokal masyakat Jawa
itu sendiri. Pemahaman Islam Jawa lainnya didasarkan pada analogi
munculnya keyakinan Hindu Jawa, yang telah terlebih dahulu ada sebelum
Islam datang.
Sejalan dengan pemahaman perkembangan agama Islam di
Indonesia menghasilkan asimilasi dan akulturasi Islam dengan budaya lokal
Jawa yang tidak terlepas dari prakarsa walisongo sebagai tokoh penyebar
agama Islam di Jawa Walisongo berhasil menyebarkan agama Islam secara
dialogis yaitu dengan mengkombinasikan aspek-aspek budaya spiritual
Jawa dan ajaran Islam kepada masyarakat Jawa. Serapan budaya Hinduisme
dan Budhisme disisi lain juga tetap berpengaruh terhadap sistem keyakinan
dan ekspresi keagamaan pada saat mereka masuk kedalam agama Islam.
Pengaruh ini dikarenakan serapan budaya tersebut telah mengakar kuat pada
kehidupan individu dan masyarakat Jawa.
Perpaduan antara agama Islam, Hindu, Budha, serta kepercayaan
asli yang telah mengakar dikalangan masyarakat Jawa kemudian
menyebabkan terjadinya pergumulan antara Islam dan kepercayaan-
kepercayaan lain yang sudah ada sebelumnya. Kelompok yang menerima
Islam secara total dan berusaha untuk hidup menurut ajaran Islam disebut
dengan kelompok Santri, sedangkan kelompok yang menerima Islam tetapi
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
6
belum dapat melupakan ajaran-ajaran lama dan cara hidupnya ditentukan
oleh tradisi Jawa pra-Islam dikenal dengan nama kelompok Kejawen.
Kejawen merupakan campuran (sinkretisme) kebudayaan Jawa
dengan agama pendatang, yaitu Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen
(Ridwan, dkk, 2008:48). Diantrara beberapa agama pendatang tersebut
kebudayaan Jawa mengalami sinkretisme yang lebih kuat dengan agama
Islam sehingga menghasilkan sinkretisme Islam Jawa (Kejawen). Islam
Kejawen adalah model keberagamaan yang merupakan perpaduan antara
Islam dengan budaya atau tradisi Jawa, sehingga menampilkan Islam yang
berwatak dan bergaya Jawa.
Komunitas Kejawen yang sangat kompleks, telah melahirkan
berbagai sekte dan tradisi kehidupan di Jawa dan didalamnya terdapat
paguyuban-paguyuban yang selalu membahas alam hidupnya. Paguyuban
tersebut lebih bersifat mistis dan didasarkan konsep rukun. Modal dasar dari
komunitas ini hanyalah tekad dan persamaan niat untuk nguri-uri atau
memelihara tradisi leluhur. Masing-masing paguyuban memiliki “jalan
hidup” yang khas kejawen. Masing-masing wilayah kejawen juga memiliki
“pedoman” khusus yang khas Jawa.
Komunitas masyarakat Islam Kejawen yang berada di Desa
Pekuncen, Kecamatan Jatilawang Kabupaten Banyumas, dimana hingga
kini masyarakat tersebut tetap memegang dengan teguh kepercayaan Islam
Kejawen yang turun temurun telah dianutnya. Islam Bonokeling di desa
Pekuncen Kecamatan Jatilawang Kabupaten Banyumas merupakan salah
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
7
satu produk alkuturasi Islam dengan budaya local di Jawa tengah, terutama
di daerah Banyumas yang hingga kini eksistensinya masih kuat.
Komunitas Islam kejawen ini bermula dari ajaran yang dibawa oleh
seorang tokoh yang kemudian oleh para pengikut aliran ini disebut dengan
Kyai Bonokeling. Kyai Bonokeling konon berasal dari daerah sekitar
Purwokerto tepatnya di Pasir Luhur. Daerah Pasir Luhur merupakan
merupakan bekas kerajaan Pajajaran. Tidak diketahui secara pasti
kepindahan Kyai Bonokeling ke daerah Pekuncen Jatilawang. Kehadiran
Kyai Bonokeling di Pekuncen disamping membuka lahan pertanian juga
menyebarkan keyakinan agama Islam dengan memadukan dengan berbagai
tata nilai budaya lokal yang kemudian disebut dengan Islam Kejawen.
Di Desa Pekuncen inilah Kyai Bonokeling menetap dengan
membangun keluarga dan memiliki banyak keturunan. Kepada masyarakat
sekitarnya dan keturunannya, Kyai Bonokeling mengajarkan aqidah dan
syariat Islam. Rupanya ajaran yang diberikan oleh Bonokeling belum
sempurna, namun Kyai Bonokeling sudah meninggal dunia dan kemudian
Kyai Bonokeling di Desa Pekuncen tersebut. Belum sempurnanya ajaran ini
dapat dikaji dari tata upacara tradisional yang menggunakan doa Islam
namun masih sepotong-sepotong, setelah Kyai Bonokeling tersebut
meninggal pengikutnya membangun komunitas dengan berbasis pada
ajaran leluhurnya disekitar makam Kyai Bonokeling yang dikenal dengan
Komunitas Islam Bonokeling. Keberadaan komunitas tersebut kini menjadi
komunitas keagamaan terbesar di Desa Pekuncen dan berdampingan dengan
komunitas Islam Muhammadiyah.
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
8
Penganut religi Bonokeling sering dideskripsikan sebagai
penganut sistem religi yang khas karena berbeda dengan sistem religi
lainnya yang ada di Jawa. Mereka melaksanakan berbagai ritual keagamaan
baik yang berkaitan dengan tahap daur kehidupan seperti kelahiran,
pernikahan, kematian dan ritual berhubungan dengan hari-hari tertentu
dalam sistem kalender Jawa serta ritual yang berkaitan dengan lingkungan
sosial dan alam seperti ritual bersih desa dan penggarapan lahan pertanian.
Penganut religi Bonokeling tersebar di pesisir pantai selatan Jawa, yakni
wilayah Kabupaten Cilacap dan Banyumas. Pusat penyelenggaraan
rangkaian ritual yang dilakukan komunitas Bonokeling berada di Desa
Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas (Wawancara
dengan Sumitro,18 April 2019).
Religi Bonokeling secara sepintas memiliki tradisi yang mirip
dengan tradisi keagamaan orang Jawa pada umumnya yakni melakukan
ziarah kubur pada bulan Ruwah dan melakukan puasa di bulan Pasa dalam
sistem kalender Jawa. Satu hal yang menggambarkan keunikan komunitas
Bonokeling ini hampir semua ritus keagamaannya berorientasi pada
pemujaan pundhen atau makam Bonokeling. Sistem religi warga komunitas
adat Bonokeling berkaitan dengan penghormatan kepada tokoh Bonokeling,
kawasan suci di areal makam Bonokeling, dan peran kyai kuncen serta
pengurus adat lainnya dalam penyelenggaraan berbagai ritual adat
Bonokeling. Praktik religi Bonokeling berorientasi pada pemujaan tempat
sakral atau punden makam Eyang Bonokeling. Berbagai macam ritual
tersebut merupakan tradisi turun-temurun yang dipercaya berpangkal dari
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
9
ajaran Eyang Bonokeling. Upacaraupacara adat tersebut hingga kini masih
tetap lestari dalam kehidupan warga komunitas Bonokeling. Berbagai aspek
kehidupan komunitas Bonokeling tidak terlepas dari sistem kepercayaan
dan tradisi yang dilestarikan dari generasi ke generasi.
Dalam struktur organisasi komunitas Bonokeling, kyai memiliki
peran penting dalam memimpin berbagai praktek religi. Kyai berperan
sebagai perantara yang menghubungkan anak-putu Bonokeling dengan
arwah Eyang Bonokeling. Sedangkan arwah Eyang Bonokeling dipercaya
dapat memberi perlindungan kepada anak-putu Bonokeling dan menjadi
perantara tersambungnya doa atau permohonan anak putu kepada Gusti
Allah.
Komunitas Bonokeling dengan sistem religinya yang khas
menempati satu kawasan permukiman ’adat’ yang memiliki tradisi
keagamaan yang berbeda dengan warga masyarakat disekitarnya yang
mempraktekkan ritual agama yang ’sesuai’ dengan syariat agama Islam.
Komunitas adat dikenal sebagai kelompok sosial yang sangat mencintai dan
menjunjung tinggi tradisi. Ketakutan mereka terhadap bencana alam,
kematian, kelaparan, walat, bendu, kutukan, tabu dan hal-hal lain yang
mengancam kehidupannya telah menumbuhkan berbagai tradisi yang
hingga kini masih tetap hidup --the living traditions. Oleh karena itu,
keberadaan komunitas adat biasanya terikat oleh tradisi yang menghargai
pola-pola hubungan yang selaras dan serasi dengan lingkungan alam dan
sosialnya.
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
10
Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti
tentang “Ritual Budaya unggah-unggahan” sebagai pengayaan materi
sejarah sub bahasan akulturasi Hindu- Islam di Sma Negeri Jatilawang”.
Karena sekolah tersebut merupakan sekolah favorit di Jatilawang dimana
di Jatilawang juga ada tempat peninggalan Budaya, sehingga hal itu bisa
digunakan sebagai pembelajaran dan pengenalan Sejarah local di daerah
Jatilawang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana nilai-ilai akulturasi Hindu – Islam dalam ritual budaya
”Unggah-Unggahan”?
2. Bagaimana implementasi ritual budaya ”Unggah-Unggahan” sebagai
pengayaan materi pembelajaran sejarah?
3. Bagaimana upaya untuk mengatasi kendala dalam implementasi materi
budaya lokal sebagai pengayaan materi sejarah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui nilai-nilai akulturasi Hindu – Islam dalam ritual
budaya ”Unggah-Unggahan”.
2. Untuk mendekripsikan bentuk implementasi ritual budaya ”Unggah –
Unggahan” sebagai pengayaan materi pembelajaran sejarah.
3. Untuk mengatasi kendala dalam implementasi materi budaya lokal
sebagai pengayaan materi sejarah.
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
11
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah refrensi pembelajaran
b. Menambah wawasan dalam bidang keilmuan
2. Manfaat Praktis
a. Siswa.
1). Meningkatkan pengetahuan siswa tentang kebudayan lokal di
Jatilawang.
2). Meningkatkan minat belajar siswa dalam mata pelajaran sejarah.
b. Guru
1) Menambah pengetahuan guru dalam pelaksanaan pengayaan
materi pembelajaran.
2) Guru dapat mengefektifkan proses belajar dengan menggunakan
pengayaan materi untuk memperdalam pemahaman siswa.
c. Masyarakat Umum
1) Meningkatkan pemahaman masyarakat akan tradisi “Unggah-
Unggahan”.
2) Menumbuhkan minat masyarakat untuk mengetahui tradisi lokal
di daerahnya.
E. Penelitian Yang Relevan
Hasil penelitian yang sejenis dengan pokok permasalahan yang
dibahas dalam proposal ini telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti
terdahulu. Berikut ini merupakan penelitian relevan yang menjadi refrensi :
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
12
1. Dalam Jurnal berjudul Pelaksanaan Pengajaran Pengayaan Dalam
Pembelajaran Bahasa Indonesia Di Kelas X SMK Negeri 3 Singaraja
yang disusun Oleh N. K. Yuni Tri Antari1 , I. W. Wendra2, N. M. Rai
Wisudarian Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas
Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia
: Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pelaksanaan pengajaran
pengayaan dalam pembelajaran bahasa Indonesia dilihat dari segi (1)
pemahan guru terhadap pelaksanaan pengajaran pengayaan, (2)
pelaksanaan pengajaran pengayaan, dan (3) masalah-masalah yang
dihadapi oleh guru dalam pelaksanaan pengajaran pengayaan dalam
pembelajaran bahasa Indonesia di kelas XI TKJ2 SMK Negeri 3
Singaraja. Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif kualitatif.
Subjek penelitian ini adalah guru kelas XI TKJ2 SMK Negeri 3
Singaraja. Data dikumpulkan dengan metode wawancara dan metode
observasi. Prosedur analisis dengan menggunakan teknik deskriptif
kualitatif sebagai berikut (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3)
verifikasi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) pemahaman
guru terhadap pelaksanaan pengajaran pengayaan berada pada kategori
memahami yang tercermin dari jawaban yang diberikan oleh guru dari
hasil wawancara. (2) pelaksanaan pengajaran pengayaan dalam
pembelajaran bahasa Indonesia di kelas XI TKJ2 SMK Negeri 3
Singaraja berjalan dengan baik. (3) masalah-masalah yang dihadapi oleh
guru dalam melaksanakan pengajaran pengayaan dalam pembelajaran
bahasa Indonesia yaitu, (a) karakteristik siswa, (b) pengaturan waktu
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
13
pembelajaran, dan (c) ketersediaan sarana dan prasarana dalam
pelaksanaan pengajaran pengayaan.
2. Dalam skripsi berjudul Efektifitas Remidian Dan Pengayaan Dalam
Meningkatkan Hasil Belajar Pai Peserta Didik Kelas X Sma Pgri 1
Kotabumi Kabupaten Lampung Utara Tahun Pelajaran 2016/2017
karya dari Pedral Ludin Program Studi Pendidikan Agama Islam IAIN
Raden Intan Lampung, Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimanakah efektifitas remidial dan pengayaan di sekolah SMA
PGRI ! Kotaa Bumi Lampung Utara.
Dalam penelitian yang telah di lakukan tersebut, aspek yang diteliti
hanya pada proses pembelajaran pengayaan saja. Hal tersebut yang
membedakan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh Penulis.
Penulis tidak hanya meneliti pada aspek Pengayaan Materi saja tetapi
juga mengangkat dalam bidang kebudayaan local di daerah tempat
penelitian dalam mengoptimalkan proses Pembelajaran Pengayaan.
3. Dalam skripsi berjudul Pandangan Masyarakat tentang tradisi ritual
Perlon desa adisara kecamatan Jatilawang Kabupaten Banyumas
karya dari Ari Suryani Program Studi Pendidikan Sejarah UM.
Purwokerto. Penelitian ini berisi tentang pandangan masyarakat
terhadap tradisi Perlon yang sudah di wariskan turun-temurun dari
nenek moyang mereka dimana tradisi tersebut sudah menjadi bagian
penting dalam kehidupan bermasyarakat, mereka percaya jika tidak
dilakukan akan membawa bencana. Dari kepercayaan tersebutlah
tradisi perlon masih ada hingga saat ini.
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
14
F. LANDASAN TEORI
a) Pengayaan materi.
Menurut Maman Rahman (2008:30) “ kegiatan pengayaan adalah
kegiatan yang diberikan kepada siswa-siswi kelompok cepat sehingga
siswa-siswi tersebut menjadi lebih kaya pengetahuan dan ketrampilan atau
lebih mendalami bahan pelajaran yang mereka pelajari”. Pendapat serupa
pun dikemukakan oleh Arikunto (2002:17) ” pembelajaran pengayaan
merupakan pembelajaran tambahan dengan tujuan untuk memberikan
kesempatan pembelajaran baru bagi peserta didik yang memiliki kelebihan
sedemikain rupa sehingga mereka dapat mengoptimalkan perkembangan
minat, bakat, dan kecakapannya”. Pembelajaran pengayaan berupaya
mengembangkan keterampilan berpikir, kreativitas, keterampilan
memecahkan masalah, eksperimentasi, inovasi, penemuan, keterampilan
seni, keterampilan gerak”.
Benyamin S. Bloom dalam Suparno (2002:217) ”memandang
pembelajaran pengayaan sebagai pengalaman atau kegiatan peserta didik
yang melampaui persyaratan minimal yang ditentukan dengan
memperhatikan aspek pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis
oleh kurikulum dan tidak semua peserta didik dapat melakukannya”.
Pembelajaran pengayaan memberikan pelayanan kepada peserta didik yang
memiliki kecerdasan lebih dengan tantangan belajar yang lebih tinggi untuk
membantu mereka mencapai kapasitas optimal dalam belajarnya. Usaha ini
dilakukan untuk memperbaiki cara yang sudah diambil terdahulu dengan
tujuan agar anak lebih menguasai bahan dan mengisi kelebihan waktu,
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
15
disaat teman-teman yang lain melakukan pengulangan materi. Dengan
adanya kegiatan pengayaan setiap siswa mendapatkan perhatian yang cukup
dari guru sesuai dengan kebutuhannya. Dengan demikian perkembanganya
dapat mencapai tingkat yang optimal. Secara garis besar pembelajaran
pengayaan dibagi menjadi dua macam:
a. Kegiatan pengayaan yang berhubungan dengan topik modul
pokok Kegiatan
pengayaan yang dimaksud disini adalah pemberian tugas
pengayaan berupa apa saja (membaca buaku, keliping, diskusi
dan sebagainya) tetapi masalah masih sama dengan topik modul
pokok
b. Kegiatan pengayaan yang tidak berkaitan dengan topik modul
pokok
Pada kegiatan pengayaan ini dimungkinkan bahwa materi pada
suatu modul pokok sangatlah sedikit sehingga sukar bagi guru untuk
menciptakan kegiatan yang sesuai dengan topik tersebut. Sehubungan
dengan keadaan ini maka guru dapat mengambil langkah-langkah berikut:
1) Memberikan kegiatan yang tidak berhubungan dengan modul
tetapi
masih dalam ruang lingkup bidang studi sama.
2) Memberikan kegiatan lain yang tidak berhubungan dengan
modul dan
juga tidak dalam bidang studi yang sama.
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
16
Pembelajaran pengayaan merupakan pembelajaran tambahan yang
diberikan kepada sisiwa siswi kelompok cepat belajar dengan tujuan untuk
memberikan kesempatan pembelajaran baru bagi peserta didik yang
memiliki kelebihan sedemikain rupa sehingga mereka dapat
mengoptimalkan perkembangan minat, bakat, dan kecakapannya.
b) Kearifan Lokal
Seperti yang dikatakan oleh Koentjaraningrat, kebudayaan adalah
seluruh sistem gagasan,tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan untuk pedoman bangsa Indonesia
belajar. Sedangkan menurut pendapat Ki Hajar Dewantara, kebudayaan
adalah buah budi manusia, yakni alam dan jaman (kodrat dan
masyarakat) dalam perjuangan mana terbukti kejayaan hidup manusia
untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan
penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada
akhirnya bersifat tertib dan damai. Kebudayaan berganti wujudnya
karena pergantian alam dan jaman. Oleh karena itu boleh dikatakan
bahwa kebudayaan sifatnya dinamis dan berkembang sesuai dengan
perkembangan jaman (Moertjipto, dkk, 1997: 1).
Bangsa Indonesia dewasa ini sedang melaksanakan pembangunan
baik pembangunan fisik maupun rohani. Disisi lain mengembangkan
pula kebudayaan nasional dengan menghadapi pergeseran nilai-nilai.
Namun yang menjadi masalah adalah dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan kemajuan teknologi, nilai-nilai lama yang semula
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
17
menjadi acuan suatu kelompok masyarakat akan menjadi goyah akibat
masuknya nilai baru dari luar. Hal ini menyebabkan nilai-nilai lama yang
menjadi pedoman hidup dan pranata sosial milik masyarakat menjadi
pudar (Moertjipto, dkk, 1997: 2).
Nilai dalam hubungan sosial-budaya berkenaan dengan “harga
kepantasan” atau “harga kebaikan”, yang dapat dikatakan “penting” dan
“tidak penting”, ataupun “mendalam” dan “dangkal”, tetapi kualifikasi
tersebut tak dapat diukur secara kuantitatif (Edy Sedyawati, 2007: 254).
Nilai budaya adalah hal-hal yang dianggap baik, benar dan atau
pantas, sebagaimana disepakati di dalam masyarakat. Jadi, nilai budaya
itu dirumuskan dalam kebudayaan dan dilaksanakan di dalam
masyarakat, dan terungkap di dalam pengarahan diri ataupun di dalam
interaksi, langsung maupun tidak langsung, antarwarga masyarakat,
dalam berbagai jenis kegiatannya. Pengarahan diri yang dipandu oleh
nilai-nilai budaya itu mengacu kepada keberterimaan di dalam
masyarakat. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya dengan sendirinya
bersifat sosial-budaya (Edy Sedyawati, 2007: 254).
Pakar-pakar Antropologi menggolongkan nilai-nilai budaya itu di
atas 5 (lima) jenis yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan 5
(lima) hal, yaitu: Tuhan atau “Yang Adikodrati”, Alam , Sesama manusi,
Kerja, Waktu. Masing-masing dari kelima golongan nilai budaya itu
tentu dapat dijabarkan ke dalam banyak rincian, dan jumlahnya dapat
berbeda-beda diantara berbagai kebudayaan. Meskipun nilai-nilai
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
18
tersebut dalam analisis dapat dipilah-pilah, namun dalam kenyataan
penghayatannya di dalam masyarakat mendapat keterjalinan satu sama
lain. Adapun dalam wacana Etika, istilah “nilai” menyatakan sesuatu
yang pada dirinya sendiri terdapat keberartian, atau sesuatu yang
berharga (Sedyawati, 2007: 254-255).
Sedangkan kearifan berasal dari kata arif. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, arif memiliki dua arti, yaitu tahu atau mengetahui. Arti
kedua cerdik, pandai dan bijaksana. Kata arif yang jika ditambah awalan
“ke” dan akhiran “an” menjadi kearifan berarti kebijaksanaan,
kecendekiaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan dalam berinteraksi.
Melayani orang, adalah orang yang mempunyai sifat ilmu yaitu netral,
jujur dan tidak mempunyai kepentingan antara, melainkan semata-mata
didasarkan atas nilai-nilai budaya dan kebenaran sesuai ruang
lingkupnya. Kata lokal, yang berarti tempat atau pada suatu tempat atau
pada suatu tempat tumbuh, terdapat, hidup sesuatu yang mungkin
berbeda dengan tempat lain atau terdapat di suatu tempat yang bernilai
yang mungkin berlaku setempat atau mungkin juga berlaku universal
(Fahmal, 2006: 30-31).
Dalam bentangan Indonesia baru dewasa ini, maka yang dimaksud
dengan kebudayaan “lokal” mestinya lebih tepat disebut kebudayaan
“subbangsa” atau “suku-bangsa”. Memang pada umumnya suatu suku
bangsa (golongan etnik) itu mempunyai suatu “tanah asal” tertentu di
Indonesia ini, yang bisa meliputi wilayah yang kecil sampai ke yang
sangat luas, atau yang „bercabang-cabang‟ (Sedyawati, 2006:381).
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
19
Kearifan lokal diartikan sebagai “kearifan dalam kebudayaan
tradisional” suku-suku bangsa. Kearifan dalam arti luas tidak hanya
berupa norma-norma dan nilai-nilai budaya, melainkan juga segala unsur
gagasan, termasuk yang berimplikasi pada teknologi, penanganan
kesehatan, dan estetika. Dengan pengertian tersebut maka yang termasuk
sebagai penjabaran “kearifan lokal” adalah berbagai pola tindakan dan
hasil budaya materialnya. Dalam arti yang luas itu maka diartikan,
“kearifan lokal” itu terjabar dalam seluruh warisan budaya, baik yang
tangible maupun yang intangible (Sedyawati, 2006:382).
Wacana seputar local wisdoms atau kearifan lokal, biasanya selalu
disandingkan dengan wacana perubahan, modernisasi, dan relevansinya.
Hal ini bisa dimaklumi sebab wacana diseputar kearifan lokal pada
prinsipnya berangkat dari asumsi yang mendasar bahwa, nilai-nilai asli,
ekspresi-ekspresi kebudayaan asli dalam konteks geografis dan kultural
dituntut untuk mampu mengekspresikan dirinya ditengah-tengah
perubahan. Pada sisi lain ekspresi kearifan lokal tersebut juga dituntut
untuk mampu merespons perubahan-perubahan nilai dan masyarakat.
Kearifan lokal itu tidak ingin hilang dari peredaran nilai sebuah
masyarakat. Kearifan lokal didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau
nilainilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal
seperti tradisi, petatah-petitih dan semboyan hidup (Nasiwan, dkk, 2012:
159).
Menurut Edi Sedyawati (2006: 412) setiap masyarakat tradisional,
yang dalam kasus Indonesia itu berarti setiap suku bangsa, mempunyai
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
20
kekhasannya dalam cara-cara pewarisan nilai-nilai budayanya. Pada
masa Jawa Kuno, yaitu ketika bahasa Jawa Kuno digunakan sebagai
bahasa resmi dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat berbagai
kegiatan pendidikan yang dapat diketahui dari data artefaktual maupun
tekstual. Kegiatan pendidikan disini adalah dalam arti luas, yakni yang
bersifat formal, nonformal, dan informal.
Yang disebut pendidikan formal pada masa kini adalah yang
ditandai oleh kurikulum yang jelas, serta sistem evaluasi yang jelas juga
baku. Disamping itu untuk setiap program dan jenjang studi diberikan
keterangan tanda tamat belajar, baik berupa ijazah maupun diploma.
Adapun yang dimaksud dengan pendidikan nonformal adalah tidak diikat
oleh keketatan masa studi maupun kurikulum yang standar. Sedangkan
pendidikan informal tidak diikat oleh batas-batas waktu maupun
tingkatan, dan tujuannya adalah untuk secara umum memberikan
informasi ataupun menanamkan watak, moral maupun nilainilai budaya
ataupun keagamaan. Segala peremuan insidental, maupun segala sesuatu
yang disampaikan melalui media massa dapat tergolong kategori ini.
Pada masa Jawa Kuno, saran pendidikan informal ini dapat dicontohkan
oleh ajaran-ajaran yang disampaikan melalui rangkaian relief di candi-
candi, pembacaan karya sastra, pertunjukan teater, maupun pelaksanaan
upacara-upacara yang mengandung makna sosial religius.
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
21
G. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian.
Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan deskriptif kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur
analisis Deskriptif atau cara kualitatif lainya. Penelitian kualitatif
didasarkan pada upaya membangun pandangan mereka yang di teliti
secara rinci, dibentuk dengan kata-kata, gambaran holistik dan rumit
(Moleong, 2007 :6). Metode yang digunakan dalam penelitian ini,
menggunakan metode sejarah (historis) dengan ilmu bantu antropologi
dan folklor. Metode sejarah digunakan untuk melihat sebuah peritiswa
dalam jangkauan ruang dan waktu. Metode sejarah terdiri dari empat
langkah, yaitu (1) heuristik, (2) kritik (verifikasi), (3) interpretasi
(penafsiran), dan (4) historiografi (penulisan Sejarah) (Kuntowijoyo,
1995: 89-105; Notosusanto, 1978: 35-43; dan Priyadi, 2003: 111-125).
Penelitian ini mengamati dan mewawancarai tokoh-tokoh adat
Bonokeling untuk mengetahui lebih dalam tentang desa adat
Bonokeling. Selain mewawancarai ketua adat Bonokeling, wawancara
juga dilakukan terhadap guru dan siswa di sekolah. Salah satu alasan
menggunakan pendekatan kualitatif karena metode ini dapat digunakan
untuk menemukan dan memahami perilaku peserta didik di sekolah.
Sedangkan penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif yaitu
metode studi kasus. Studi kasus penelitian ini yaitu masyarakat adat
bonokeling dan SMA Negeri Jatilawang.
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
22
2. Lokasi dan Waktu Penelitian
a. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan, yaitu pada bulan Januari
sampai dengan bulan April tahun 2019, setelah peneliti
mendapatkan izin untuk mengumpulkan data penelitian di lapangan.
b. Lokasi Penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan di kelas X IPS SMA Negeri Jatilawang,
Dan di Desa Adat Bonokeling Kecamatan Jatilawang Kabupaten
Banyumas. Pemilihan lokasi tersebut sebagai lokasi penelitian
bertujuan untuk melanjutkan analisis awal peneliti dalam
pelaksanaan pembelajaran materi sub bab akulturasi Hindu-Islam.
3. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subyek
dari mana data dapat diperoleh. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan dua sumber data yaitu :
a. Sumber data primer, yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh
peneliti dari sumber pertamanya. Adapun yang menjadi sumber
data primer dalam penelitian ini adalah kepala sekolah, guru dan
siswa di SMA NEGERI JATILAWANG dan tokoh serta pemuka
aliran kepercayaan Bonokeling
b. Sumber data skunder, yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh
peneliti sebagai penunjang dari sumber pertama. Dapat juga
dikatakan data yang tersusun dalam bentuk dokumen - dokumen.
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
23
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi yaitu melakukan pengamatan secara langsung ke
objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang
dilakukan. Apabila objek penelitian bersifat perilaku, tindakan
manusia, dan fenomena alam (kejadian-kejadian yang ada di
alam sekitar), proses kerja, dan penggunaan responded kecil.
Observasi atau pengamatan merupakan suatu teknik atau cara
mengumpulkan data dengan jalan mengadakan pengamatan
terhadap kegiatan yang sedang berlangsung ( Sudaryono,
2016;87).
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan observasi
partisipasi, agar data yang diperoleh lebih lengkap, tajam dan
mengetahui pada tingkatan makna dari setiap perilaku yang
tampak. Stainback (dalam Sugiyono, 2009: 65), menyatakan in
participant observation the researcher observers what people
do, listen to what the say and participates in their activities.
Observasi berpartisipasi ini, peneliti mengamati apa yang
dikerjakan orang, mendengarkan apa yang mereka ucapkan, dan
berpartisipasi dalam aktivitas mereka. Dalam penelitian ini,
peneliti mengamati secara langsung kehidupan masyarakat adat
Bonokeling dan ikut serta dalam beberapa kegiatan kearifan
lokal mereka yaitu tradisi Unggahan.
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
24
b. Wawancara
Wawancara adalah suatu cara pengumpulan data yang
digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari
sumbernya. Wawancara ini digunakan bila ingin mengetahui
hal-hal dari informas secara lebih mendalam serta jumlah
informan sedikit. Wawancara merupakan salah satu bentuk
teknik pengumpulan data yang banyak digunakan dalam
penelitian deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif (
Sudaryono, 2016;82).
Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar
informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat
dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Wawancara
dapat dilakukan apabila ada penanya dan informan serta ada
bahan pertanyaan, dengan melalui tanya jawab akan terjadi
proses bertukar informasi dan ide, untuk mendapatkan
informasi-informasi yang dibutuhkan dalam penelitan. Dalam
penelitian ini, peneliti menggabungkan observasi berpartisipasi
dengan wawancara (terarah dan tidak terarah), dengan tujuan
mendapatkan informasi yang lebih mendalam, dan dapat
membantu dalam menjawab permasalahan dalam penelitian.
5. Validitas Data.
Menurut Sugiyono (2006:267), Validitas merupakan “derajat
ketetapan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan daya
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
25
yang dapat dilaporkan oleh peneliti”.Menurut Hamidi (2004:82-83),
Menurut Moleong (2012:330) “triangulasi adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain
di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data itu”. Denzin (dalam Lexy J. Moleong,
2012:330) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik
pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode,
penyidik dan teori.
Dengan teknik triangulasi dengan sumber, peneliti
membandingkan hasil wawancara yang diperoleh dari masing -
masing sumber atau informan penelitian sebagai pembanding
Untuk mengecek kebenaran informasi yang didapatkan. Selain itu
peneliti juga melakukan pengecekan derajat kepercayaan melalui
teknik triangulasi dengan metode, yaitu dengan melakukan
pengecekan hasil penelitian dengan teknik pengumpulan data yang
berbeda yakni wawancara, observasi, dan dokumentasi sehingga
derajat kepercayaan data dapat valid
6. Teknik Analisis Data
Analisis data menurut Bogdan & Biklen (dalam Lexy J.
Moleong, 2012:248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan
bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah – milahnya
menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari
dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
26
dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada
orang lain.
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data
yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara,
pengamatan yang sudah dituliskan dalam caatan lapangan,
dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya
(Moleong, 2012:247). Adapun teknik analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teknik analisis data dari Miles dan
Huberman, yaitu:
a. Pengumpulan Data
Dalam penelitan ini pengumpulan data dilakukan dengan
mencari, mencatat, dan mengumpulkan data melalui hasil
wawancara, dokumentasi, dan observasi yang terkait dengan
pelaksanaan Ritual budaya “unggah-unggahan” sebagai
pengayaan materi sejarah sub bahasan akulturasi Hindu – Islam
Di SMA Negeri Jatilawang.
b. Reduksi Data
Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak,
untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Mereduksi
data berarti merangkum, memilih hal- hal yang pokok,
memfokuskan pada hal -hal yang penting, dicari tema dan
polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan
memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah
peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019
27
mencarinya bila diperlukan (Sugiyono, 2008:247). Dalam
penelitan ini setelah melakukan pengumpulan data, data-data
yang terkait dengan Ritual budaya “unggah-unggahan” sebagai
pengayaan materi sejarah sub bahasan akulturasi Hindu – Islam
Di SMA Negeri Jatilawang direduksi untuk digolongkan
kedalam tiap permasalahan sehingga data dapat ditarik
kesimpulan - kesimpulannya.
c. Kesimpulan dan Verifikasi
Tahap selanjutnya adalah penarikan kesimpulan dan
verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat
sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti - bukti
yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data
berikutnya (Sugiyono, 2008:252). Pada penelitian ini,
kesimpulan awal yang dikemukakan oleh peneliti akan didukung
oleh data – data yang diperoleh peneliti di lapangan. Jawaban
dari hasil penelitian akan memberikan penjelasan dan
kesimpulan atas permasalahan penelitian yang diteliti dalam
penelitian ini.
Ritual Budaya Unggah-Ungguh..., Romi Aji Priambodo, FKIP, UMP, 2019