bab i pendahuluanrepository.unpas.ac.id/39944/4/bab i.pdf · 2018. 10. 26. · 2 berdasarkan tabel...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Indonesia merupakan salah satu negara yang pernah mengalami dampak
krisis ekonomi global yang disebabkan dari krisis ekonomi Amerika Serikat.
Dampak dari krisis ekonomi itu sendiri yaitu semakin melemahnya nilai rupiah
terhadap nilai kurs dollar. Sehingga mengakibatkan beberapa perusahaan di
Indonesia mengalami financial distress (kesulitan keuangan) hal ini disebabkan
oleh para investor yang enggan untuk menanamkan modalnya pada perusahaan.
Situasi perekonomian yang selalu berubah-ubah seperti ini telah
mempengaruhi kegiatan dan kinerja perusahaan, baik perusahaan kecil maupun
perusahaan besar sehingga banyak perusahaan yang mengalami kebangkrutan.
Berdasarkan data di Bursa Efek Indonesia (BEI), 5 tahun terakhir BEI telah
banyak melakukan penghapusan pencatatan efek (delisting) pada perusahaan yang
mengalami kesulitan dalam keuangan. terdapat 19 perusahaan yang dinyatakan
delisting dari berbagai sektor yaitu sebagai berikut :
Tabel 1.1
Perusahaan yang Delisting di BEI tahun 2012 – 2017
Sektor Jumlah Perusahaan %
Utama 2 8%
Manufaktur 9 36%
Keuangan 6 24%
Jasa 8 32%
Jumlah 25 100%
Sumber : factbook BEI dan www.sahamok.com
2
Berdasarkan Tabel 1.1 di atas dapat diketahui bahwa perusahaan yang
mengalami delisting sektor keuangan sebesar 24% serta sektor utama dan jasa
yang masing-masing sebesar 8% dan 32% dan sektor tertinggi yaitu sebesar 36%
dialami oleh peusahaan yang bergerak didalam sector manufaktur. Hal ini
disebabkan perusahaan tidak mampu menilai dan memprediksi kondisi
perusahaanya. Prediksi ini penting bagi perusahaan khususnya bagi perusahaan
manufaktur guna menghindari kebangkrutan atau mengantisipasi lebih awal
kondisi perusahaan dari segi keuangan sebelum terjadinya kebangkrutan dengan
kata lain kondisi financial distress (kesulitan keuangan).
Perusahaan manufaktur terdiri dari berbagai sektor, salah satunya yaitu
sektor aneka industri. Kinerja industri manufaktur Indonesia saat ini sedang
menghadapi sejumlah masalah. Pada tahun 2012, industri manufaktur
memberikan konstribusi terhadap PDB sebesar 21,45% dan terus menurun hingga
mencapai 20,84% ditahun 2015 (kementrian Perindustrian: 2016). Selain itu data
dari BAPPENAS menyatakan bahwa kurs dolar Amerika Serikat menguat dari
2012 sampai 2015 sebesar Rp. 13.792 terhadap rupiah. Hal ini memberikan
dampak yang kurang baik khusunya bagi sektor aneka industri yaitu menyebabkan
biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan dari tahun ke tahun mengalami
pembengkakkan dikarenakan kebanyakan perusahaan industri yang membutuhkan
bahan baku yang didapat dari luar negri, sehingga membuat biaya impor menjadi
meningkat dan menyebabkan penurunan daya saing juga.
Pengaruh adanya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang berlaku pada
akhir tahun 2015 juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan banyak sektor
aneka industri yang belum siap bersaing dengan berbagai industri lainya. Dilansir
3
dari Tempo.com Jakarta, 8 Januari 2015 menyebutkan bahwa siap atau tidak
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan tetap berlaku akhir tahun ini, namun
dalam menghadapinya pemerintah telah melakukan identifikasi terhadap beberapa
perusahaan yang rawan terkena dampak buruk dalam persaingan se-Asia
Tenggara ini. Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional Bachrul
Chairi menyatakan hasil studi yang dilakukan Kementrian Perindustrian bahwa
sektor yang paling rentan terpengaruh oleh MEA yaitu daya saing di sektor
industri. Beberapa sektor itu menurut Bahcrul adalah industri tekstil, alas kaki,
elektronik, baja, kulit dan beberapa produk pertanian.
Alasan peneliti memilih Sektor Aneka Industri karena sebagai salah satu
sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Sektor industri merupakan
salah satu penopang perekonomian nasional karena sektor ini memberikan
kontribusi yang cukup signifikan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hasil
Kementrian Perindustrian yang telah dipaparkan diatas menambah alasan peneliti
yang menyebutkan bahwa industri tekstil, alas kaki, dan elektronik merupakan
tiga industri yang termasuk kedalam Sector Aneka Industri yang rentan
terpengaruh buruk adanya MEA dan masih kurangnya daya saing sektor aneka
industri dapat mengakibatkan kerugian yang ridak diinginkan perusahaan, produk-
produk industri tergeser oleh banyaknya produk luar yang masuk ke Indonesia
yang bisa saja membuat perusahaan-perusahaan industri mengalami kesulitan
dalam keuangannya atau yang lebih buruk sampai harus dikatakan bangkrut.
Adanya persaingan usaha menuntut perusahaan untuk mengembangkan
inovasi, memperbaiki kinerja dan memperhatikan kondisi keuangannya. Hal ini
dilakukan agar perusahaan terhindar dari kondisi financial distress dan terjadinya
4
kebangkrutan. Namun dalam dunia bisnis, persaingan yang semakin kompetitif
membuat beberapa perusahaan mengalami kerugian atau mengalami kesulitan
keuangan yang pada akhirnya membuat perusahaan tersebut tidak dapat
melanjutkan kegiatan usahanya atau sampai dikatakan mengalami kebangkrutan
apabila perusahaan tidak dapat memprediksi kondisi kesulitan keuangan (financial
distress) tersebut.
Menurut Stephen A. Ross, Randolph, Westerfield dan Jeffrey Jeff
(2010:917) financial distress is a situation where a firm’s operating cash flows
are not sufficient to satisfy current obligations (such as trade credits or interest
expenses) and the firm is forced to take corrective action. Artinya kesulitan
keuangan adalah suatu keadaan dimana arus kas operasi perusahaan tidak cukup
untuk memenuhi kewajibannya saat ini (seperti kredit perdagangan atau beban
bunga) dan perusahaan dipaksa untuk mengambil tindakan korektif.
Model prediksi kebangkrutan yang bermunculan merupakan antisipasi dan
sistem peringatan dini terhadap kondisi kesulitan keuangan, karena model tersebut
dapat digunakan sebagai sarana untuk mengidentifikasi bahkan memperbaiki
kondisi sebelum sampai pada kondisi bangkrut. Model yang pertama kali
dikemukakan oleh Edward Altman atau yang lebih dikenal dengan Altman Z-
Score merupakan salah satu model yang dapat digunakan untuk memprediksi
kondisi kesulitan keuangan perusahaan. Model ini pada dasarnya hendak mencari
nilai “Z” yaitu nilai yang menunjukkan kondisi perusahaan, apakah dalam
keadaan sehat atau tidak dan menunjukkan kinerja perusahaan yang sekaligus
merefleksikan prospek perusahaan di masa yang akan datang. Z-score merupakan
rumus yang menjumlahkan nilai bobot tertentu dari beberapa rasio keuangan.
5
penilaian analisis Z-Score dikelompokan kedalam 3 kategori/wilayah yaitu
distress, grey area dan non-distress.
Perusahaan yang diprediksi mengalami financial distress yaitu perusahaan
yang termasuk kedalam kategori distress dan grey area hal ini dikarenakan
perusahaan yang termasuk kategori grey area (meragukan) merupakan perusahaan
yang mungkin saja bisa mengalami masalah kesulitan keuangan. Berdasarkan
model prediksi kesulitan keuangan (financial distress) menggunakan Model Z-
Socre pada perusahaan manufaktur sektor aneka industri tahun 2012-2017 yaitu
berikut :
Sumber : ICMD 2013 dan 2017 (data diolah peneliti)
Gambar 1.1
Grafik Persentase Perusahaan yang Diprediksi Mengalami Financial Distress
Pada Perusahaan Sektor Aneka Industri Periode 2012-2017
Gambar 1.1 menunjukkan kondisi perusahaan yang diprediksi mengalami
kesulitan keuangan (finansial distress) pada perusahaan sektor aneka industri
periode 2012-2017 yang fluktuatif dengan kecenderungan meningkat. Tahun
2012 2013 2014 2015 2016 2017
Distress 38% 44% 44% 51% 44% 62%
Grey Area 26% 23% 23% 26% 33% 10%
Non-Distress 36% 33% 33% 23% 23% 28%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
Axi
s Ti
tle
6
2012 sampai 2015 perusahaan yang diprediksi mengalami kesulitan keuangan
terus meningkat yaitu dari 38% sampai sebesar 51%, kemudian menurun ditahun
berikutnya menjadi sebesar 44% tahun 2016 dan meningkat kembali ada tahun
2017 menjadi sebesar 62% sedangkan perusahaan yang berada di zona grey area
cenderung berfluktuatif dari tahun ke tahunnya. Hal ini disebabkan oleh semakin
lemahnya ekonomi Indonesia yang tercermin dari kurs nilai dollar Amerika
terhadap rupiah yang semakin tinggi sehingga menyebabkan semakin
meningkatnya biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan.
Kebangkrutan merupakan situasi yang paling tidak diinginkan oleh semua
pelaku bisnis karena hal ini berarti berakhirnya keberlangsungan hidup suatu
perusahaan. Tetapi pada kenyataannya masih banyak perusahaan industri yang
tidak mampu memprediksi kondisi keunagannya sehingga berujung pada
kebangkrutan. Maka dengan memprediksi kondisi keuangan diharapkan
perusahaan mampu mencegah terjadinya kebangkrutan lebih dini.
Financial distress dapat dialami oleh setiap perusahaan, karena faktor
penyebab kesulitan keuangan perusahaan yang dapat diklasifikasikan menjadi dua
bagian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Bhattacharyya, 2012:446).
Faktor internal yaitu proses produksi yang kurang modern(outdated), biaya bahan
baku yang tinggi, rendahnya produktivitas karyawan, kurangnya karyawan yang
memiliki keterampilan, pemborosan waktu dalam proses produksi, pergantian
tenaga kerja yang tinggi, lemahnya kualitas pemimpin, salah pemilihan
lokasi/tempat, perencanaan keuangan yang buruk, manajemen yang tidak efisien,
sktruktur kepemilikan yang buruk, manajemen persediaan yang buruk,
7
manajemen arus kas yang buruk, manajemen piutang yang buruk dan kinerja
keuangan yang buruk. Sedangkan factor eksternal yaitu terdiri dari
kekurangan/terbatasnya ketersediaan bahan baku, kekurangan kekuatan/daya
listrik, masalah transportasi, pemberlakuan control harga dari pemerintah,
kebijakan pajak dari pemerintah, fluktuasi nilai tukar, kebijakan ekspor dan impor,
ancaman dari perusahaan multinasional, bencana alam seperti banjir, gempa bumi,
tornado dsb, dan keresahaan politik.
Penelitian ini menggunakan faktor internal perusahaan yang dapat
mempengaruhi kondisi financial distress yaitu salah satu caranya dengan melihat
ukuran suatu perusahaan. Ukuran suatu perusahaan menggambarkan seberapa
besar total aset yang dimiliki perusahaan tersebut, apabila total aset suatu
perusahaan semakin besar maka perusahaan tersebut mencerminkan bahwa
perusahaan relatif lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba dibanding
perusahaan dengan total aset yang kecil, maka perusahaan akan mampu melunasi
kewajiban di masa depan, sehingga perusahaan dapat terhindar dari permasalahan
keuangan (Wiwin, 2016).
Dalam menganalisis ukuran perusahaan dalam penelitian ini digunakan
model logaritma natural dari total aset yang dapat memberikan gambaran tentang
baik atau buruknya keadaan keuangan perusahaan seperti kebangkrutan atau
financial distress. Berikut adalah table rata-rata komponen variable nilai ukuran
perusahaan sector aneka industry yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode
2010-2017:
8
Tabel 1.2
Ln Total Asset pada Perusahaan Sektor Aneka Industri yang terdaftar di
BEI periode 2012-2017
Perusahaan 2012 2013 2014 2015 2016 2017
ADMG 15.57 15.72 15.57 15.63 15.45 12.83
ARGO 14.41 14.67 14.41 14.46 14.26 11.5
CNTX 12.62 12.83 12.85 - 17.28 -
ERTX 12.98 13.21 13.26 13.56 13.47 10.99
ESTI 13.56 13.69 13.67 13.63 13.41 17.94
HDTX 14.12 14.68 15.26 15.4 15.37 15.21
INDR 15.71 15.99 16.04 16.28 16.25 13.59
MYTX 13.9 14.56 14.53 14.48 14.3 15.06
PBRX 14.51 14.87 15.33 15.69 15.76 -
POLY 15.18 15.28 17.35 15.04 14.95 12.35
RICY 13.64 13.92 13.97 14 14.07 14.13
SRIL 15.27 15.54 15.98 16.26 16.36 13.99
SSTM 13.61 13.59 13.56 13.49 13.42 13.31
STAR 13.53 13.53 13.56 13.5 13.44 13.37
TFCO 15.13 15.28 15.26 15.35 15.28 12.71
TRIS 12.81 13.01 13.17 13.26 13.35 13.21
UNIT 12.85 13.04 13 13.04 12.98 12.96
BIMA 11.51 11.68 11.55 11.51 11.43 11.4
BATA 13.26 13.43 13.56 13.59 13.6 -
PTSN 13.7 13.75 13.61 13.74 13.7 11.12
IKBI 13.57 13.73 13.76 13.97 13.83 -
JECC 13.47 14.03 13.88 14.12 14.28 14.47
KBLI 13.97 14.11 14.11 14.25 14.44 14.92
KBLM 13.49 13.39 13.38 13.39 13.37 14.03
SCCO 14.21 14.38 14.32 14.39 14.71 15.21
VOKS 14.35 14.49 14.26 14.24 14.33 14.56
ASII 19.02 19.18 19.28 19.32 19.38 19.5
AUTO 16 16.35 16.48 16.48 16.5 16.51
BOLT - - - 13.73 13.75 13.99
BRAM 14.61 14.89 15.16 17.57 15.2 12.63
GDYR 14 14.12 14.26 14.37 14.23 11.73
GJTL 16.37 16.55 16.59 16.68 16.74 16.72
IMAS 16.68 16.92 16.97 17.03 17.06 17.26
Dilanjutan
9
Lanjutan Tabel 1.2
INDS 14.33 14.6 14.64 14.75 14.72 14.71
LPIN 12.06 12.19 12.13 - 13.08 -
MASA 15.61 15.86 15.87 15.99 15.92 13.4
NIPS 13.17 13.59 14 14.25 14.39 14.46
PRAS 13.27 13.59 14.07 14.24 14.28 14.25
SMSM 14.18 14.35 14.37 14.61 14.63 14.71
Rata-rata 14.22 14.44 14.55 14.74 14.69 14.08
Sumber : ICMD (data diolah peneliti)
Berdasarkan table 1.2 menunjukkan bahwa terdapat nilai Ln Total Asset
yang dihasilkan oleh perusahaan sector aneka industry untuk variable nilai ukuran
perusahaan, sehingga dapat diperoleh rata-rata nilai Ln Total Asset.
Berikut adalah grafik rata-rata ukuran perusahaan dengan menggunakan
Ln Total Asset per tahun pada perusahaan Sektor Aneka Industri yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2012-2017 :
Sumber : ICMD 2013 dan 2017 (data diolah peneliti)
Gambar 1.2
Grafik Rata-rata Ukuran Perusahaan per tahun Pada Perusahaan Sektor
Aneka Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Periode 2012-
2017
Gambar 1.2 menunjukkan rata-rata Ukuran Perusahaan per tahun pada
perusahaan sektor aneka industry yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)
periode 2012-2017 berdasarkan grafik cenderung mengalami meningkat setiap
14.22
14.44 14.55
14.74 14.69
14.08
13.60
13.80
14.00
14.20
14.40
14.60
14.80
2012 2013 2014 2015 2016 2017
Rata-rata Ukuran Perusahaan
Ln TOTAL ASET
10
tahunnya. Tahun 2012 rata-rata ukuran perusahaan sebesar 14,22 kemudian
mengalami peningkatan tiga tahun berturut-turut yakni tahun 2013 sebesar 14,44
kemudian 2014 sebesar 14,55 dan 2015 sebesar 14,74 hal ini disebabkan oleh
semakin meningkatnya total aset yang dimiliki perusahaan sector aneka industri.
Perusahaan dengan pertumbuhan yang positif memberikan suatu tanda bahwa
ukuran perusahaan tersebut semakin berkembang dan mengurangi kecenderungan
ke arah kebangkrutan. Perusahaan yang memiliki total aset yang besar
menunjukan sinyal yang positif bagi kreditur sebab perusahaaan akan mudah
melakukan diversifikasi dan mampu melunasi kewajiban di masa depan, sehingga
perusahaan dapat menghindari terjadinya financial distress (Nora, 2016).
Sedangkan pada tahun 2016 dan 2017 mengalami penurunan yaitu menjadi 14,69
dan turun menjadi 14,08 hal ini disebabkan oleh menurunnya total aset yang
dimiliki perusahaan dan mengindikasikan bahwa perusahaan dalam keadaan yang
kurang baik sehingga kemungkinan mengalami kasulitan keuangan semakin besar.
Selain menggunakan indikator ukuran perusahaan dalam memprediksi
terjadinya kondisi financial distress, terdapat pula faktor lain yaitu good good
corporate governance yang ada di dalam perusahaan. Menurut Organisation for
Economic Cooperation and Development (OECD) good corporate governance
(GCG) merupakan sekumpulan hubungan antara pihak manajemen perusahaan,
pemegang saham, dan pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan
perusahaan. Corporte governance adalah suatu sistem yang mengatur hubungan
antara dewan komisaris, direksi, manajemen dan pemegang saham agar tercipta
keseimbangan dalam pengelolaan perusahaan. Oleh karena itu peran good
corporate governance tidak dapat diabaikan karena dapat membantu dalam
11
mengukur financial distress (Fatmawati 2017).
OJK selaku pengawas keuangan menyebutkan bahwa perkembangan GCG
di Indonesia masih jauh tertinggal di banding dengan negara-negara di kawasan
ASEAN, ketua dewan komisioner OJK Wimboh Santoso mengungkapkan, hanya
dua emiten dari Indonesia yang masuk dalam daftar 50 emiten terbaik dalam
praktik GCG di ASEAN dalam ajang penganugerahan ASEAN Corporate
Governance Award 2015. Maka dari itu penerapan GCG penting bagi perusahaan,
apabila penerapan GCG kurang baik maka kinerja keuangan perusahaan tidak
akan berkelanjutan,(CNN Jakarta, 20 September 2017). Disamping itu pemerintah
Indonesia memberikan dorongan yang sangat kuat terhadap penerapan Good
Corporate hal ini berawal dari dibentuknya Komite Nasional Kebijakan
Governance (KNKG) melalui Surat Keputusan Menko. Bidang Perekonomian
Nomer: KEP/49/MENKON/11/2004. Perusahaan-perusahaan di Indonesia
khususnya yang akan melakukan penjualan sahamnya di pasar modal wajib untuk
menerapkan GCG, begitu pula bank-bank yang beroperasi di Indonesia yang
berlandaskan sifat yaitu transparan, akuntabilitas, responsibilitas, Independen, dan
keadilan. Perusahaan yang berhasil menerapkan GCG akan mampu meningkatkan
kepercayaan investor, begitupun sebaliknya.
Terdapat beberapa kasus masih kurangnya perusahaan menerapkan praktik
good corporate governance hingga berujung pada kebangkrutan dan delisting dari
BEI, salah satunya yang dilansir oleh detik finance, Jakarta 20 januari 2015 yang
menyatakan bahwa PT Davomas Abadi Tbk (DAVO) salah satu perusahaan yang
bergerak di sector industri ini resmi tidak lagi tercatat di Bursa Efek Indonesia.
Saham Davo „ditendang‟ karena perusahaan berkali-kali melanggar aturan bursa.
12
Pertama BEI memberikan sanksi denda berkali-kali kepada Davomas karena
perusahaan telat memberikan laporak keuangannya selama 3 tahun berturut-turut
terhitung 2012-2014 hal ini mengindikasikan lemahnya transparansi dan
akuntabilitas perusahaan namun perusahaan tetap bandel. Kedua pada tahun 2012
perusahaan tidak membayar denda bahkan pada waktu itu BEI kesulitan mencari
alamat dan menghubungi DAVO untuk dimintai keterangan soal keberlangsungan
perusahaan. Kemudian ketiga para pemegang saham mayoritas perusahaan
mencium ada yang tidak beres ditubuh perusahaa dan meminta manajemen
menggelar RUPS dengan tujuan mengganti jajaran direksi. Masalahnya adalah
pemegang saham perusahaan melihat bahwa nilai investasi mereka merosot sejak
perusahaan gagal bayar atas obligasi senilai US$ 238 juta tahun 2009, ditambah
dengan laporan keuangan Davomas tahun 2013 pun dinilai tidak wajar oleh BEI.
Melihat contoh kasus tersebut, dapat ditarik pertanyaan tentang efektifitas
penerapan good corporate governance dalam melihat kinerja suatu perusahaan
dari hubungan perusahaan atau manajemen dengan pemegang sahamnya. Selain
itu dengan Good corporate governance yang baik dapat mengurangi konflik
keagenan yang dapat terjadi dalam suatu perusahaan. Konflik keagenan
menggambarkan hubungan kerja sama antara pihak principal (pemilik
perusahaan) dengan pihak agen (manajemen). Asimetri informasi terjadi ketika
manajer sebagai pihak internal memiliki informasi yang lebih banyak
dibandingkan stakeholders sebagai pihak eksternal (Puji Astuti, 2015). Good
corporate governance juga telah menjadikan topik utama di seluruh dunia
didalam lingkungan bisnis perusahaan. Konsep good corporate governance juga
telah sejak lama diperkenalkan di negera-negara maju yakni dengan adanya
13
konsep pemisahan kepentingan antara pemilik perusahaan dengan pihak
manajemen perusahaan, dalam hal ini sering dikenal dengan agency theory. Maka
Good corporate governance dalam penelitian ini diproksikan dengan struktur
kepemilikan yang terdiri dari kepemilikan manajerial dan kepemilikan
konstirusional (Triwahyuningtias, 2012)
Kepemilikan manajerial merupakan proporsi kepemilikan perusahaan oleh
manejemen (direksi), semakin besar proporsi kepemilikan oleh manajemen maka
semakin besar pula tanggung jawab manajemen tersebut dalam mengelola
perusahaan. Dengan adanya kepemilikan manajemen dalam sebuah perusahaan
akan menimbulkan peningkatan efektivitas monitoring perusahaan karena
kepemilikan yang terdiri atas kepemilikan oleh direksi dan komisaris akan
memberi insentif untuk melakukan yang terbaik dan memaksimalkan nilai
perusahaan. Mekanisme insentif melalui kepemilikan langsung saham dan kontrak
kompensasi oleh manajemen mampu menurunkan konflik keagenan antara
manajer dan pemegang saham perusahaan sehingga menurunkan kemungkinan
perusahaan mengalami financial distress (Triwahyuningtias, 2012).
Pengukuran kepemilikan manajerial dalam menganalisis kondisi financial
distress dapat dilakukan dengan cara membandingkan jumlah kepemilikan saham
oleh manajemen dengan jumlah seluruh saham yang diterbitkan oleh perusahaan
dengan kata lain jumlah daham yang beredar. Berikut adalah table variable nilai
corporate governance yaitu jumlah Kepemilikan Manajerial Sektor Aneka
Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2012-2017:
14
Tabel 1.3
Jumlah Kepemilikan Manajerial Sektor Aneka Industri yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2012-2017
Perusahaan 2012 2013 2014 2015 2016 2017
ADMG - - - - - -
ARGO 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02
ASII 0.0004 0.0004 0.0003 0.0004 0.0004 0.0004
AUTO - 0.8 0.8 0.8 0.8 -
BATA - - - - - -
BIMA 0.89 - - 1.66 0.02 -
BOLT
- - -
BRAM - - - - - -
CNTX - - - - - -
ERTX - - - - - -
ESTI - - - - 0.24 0.24
GDYR 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 -
GJTL 0.001 0.001 0.001 0.009 0.011 0.011
HDTX - 0.02 0.02 0.03 0.03 0.03
IKBI 0 0 - - - -
IMAS - - - - - -
INDR - - - - - -
INDS 0 0 0 0 0 -
JECC - - - - - -
KBLI - - - - - -
KBLM 0.15 - - - 0.09 0.09
LPIN - - - - - -
MASA - - 0.15 0.15 0.15 0.19
MYTX - - - - - -
NIPS 0.24 0.12 0.06 0.06 0.09 -
PBRX - 0.09 - - 0.05 -
POLY 0.13 0.13 0.14 0.14 0.14 -
PRAS 0.06 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05
PTSN 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7
RICY - - - - - 0.05
SCCO - - - - - -
SMSM - - - - 0.32 0.08
SRIL
0 0 0 0 0
SSTM 0.08 0.08 0.08 0.08 0.37 0.37
STAR - - - 0.07 - -
TFCO - 0 0 0 0 0.23
15
TRIS - - - - 0.01 0.01
UNIT - - - - - -
VOKS - - - 0.2 - -
Rata-rata 29% 28% 28% 32% 30% 5%
Sumber : Laporan Keuangan BEI tahun 2012-2017(data diolah peneliti)
Berdasarkan table 1.3 menunjukkan bahwa terdapat hasil dari variable
nilai corporate governance yaitu kepemilikan manajerial sehingga dapat diperoleh
rata-rata nilai kepemilikan manajerial, yang dapat dilihat pada grafik rata-rata nilai
kepemilikan manajerial.
Berikut adalah grafik rata-rata kepemilikan manajerial per tahun pada
perusahaan Sektor Aneka Industri periode 2012-2017 dalam bentuk persentase
(%):
Sumber: www.idx.co.id dan www.sahamoke.com (data diolah peneliti)
Gambar 1.3
Rata-rata Kepemilikan Manajerial per tahun pada perusahaan Sektor
Aneka Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2012-
2017
Gambar 1.3 menunjukkan rata-rata kepemilikan manajerial per tahun pada
perusahaan sektor aneka industry yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)
periode 2012-2017 berdasarkan grafik mengalami fluktuatif dan cenderung
29% 28% 28%
32% 30%
5%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
2012 2013 2014 2015 2016 2017
RATA-RATA KEPEMILIKAN MANAJERIAL (%)
KEPEMILIKANMANAJERIAL
Lanjutan Tabel 1.3
16
menurun setiap tahunnya. Tahun 2012 berada pada 29% kemudian mengalami
penurunan menjadi 28% pada dua tahun berikutnya yaitu tahun 2013 dan tahun
2014. Sementara pada tahun 2015 mengalami kenaikan menjadi 32% kemudian
kembali menurun menjadi 30% pada tahun 2016 dan tahun 2017 menjadi sebesar
5%. Penurunan kepemilikan ini disebabkan oleh semakin berkurangnya
kepemilikan saham oleh manajemen dibandingkan dengan seluruh jumlah saham
yang beredar yang dimiliki oleh perusahaan sehingga, kurangnya kepemilikan
oleh manajemen menjadi berkurangnya tanggungjawab manajemen terhadap
perusahaan dapat memicu timbulnya resiko yang dapat membuat perusahaan
mengalami kesulitan keuangan (financial distress) (Irawati, 2016). Sedangkan
kenaikan kepemilikan terjadi disebabkan meningkatnya kepemilikan saham oleh
manajemen dibandingkan dengan jumlah saham yang dimiliki oleh perusahaan
sehingga, meningkatnya tanggungjawab menajer dalam mengelola perusahaan hal
tersebut mengakibatkan rendahnya resiko mengalami kesulitan keuangan
(financial distress).
Struktur kepemilikan selain kepemilikan manajerial untuk memprediksi
financial distress, yaitu kepemilikan institusional. Kepemilikan institusional
merupakan kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi seperti
perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasidan kepemilikan institusi lain.
Kepemilikan tersebut akan mengurangi terjadinya masalah keagenan karena
pemegang saham institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang
lebih optimal terhadap kinerja perusahaan (Triwahyuningtias,2012).
Dalam menganalisis kondisi perusahaan pengukuran kepemilikan
institusional dapat dilakukan dengan cara membandingkan jumlah kepemilikan
17
saham oleh instirusi atau perusahaan dengan jumlah seluruh saham yang
diterbitkan oleh perusahaan dengan kata lain jumlah daham yang beredar. Berikut
adalah table variable nilai corporate governance yaitu kepemilikan instirusional
pada sector aneka industry yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2012-
2017:
Tabel 1.4
Jumlah Kepemilikan Institusioal pada Perusahaan Sektor Aneka
Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2012-2017
Perusahaan 2012 2013 2014 2015 2016 2017
ADMG 0.8 0.75 0.75 0.85 0.85 0.85
ARGO 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55
ASII 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
AUTO - - - - 0.8 0.8
BATA 0.88 0.87 0.87 0.87 0.87 0.87
BIMA 0.89 - - - 0.93 0.92
BOLT
0.58 0.58 -
BRAM 0.66 0.67 0.67 0.67 - -
CNTX 2.59 2.59 2.59 - 0.13 -
ERTX 0.86 0.87 - 0.92 7.63 0.95
ESTI 0.71 0.71 0.71 0.71 0.62 0.63
GDYR 0.09 0.09 0.09 0.92 0.71 9.21
GJTL 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6
HDTX 0.9 0.9 0.98 0.91 0.91 0.91
IKBI 0.93 0.93 - - - -
IMAS 0.7 0.9 0.9 0.9 0.9 0.9
INDR 0.59 0.59 0.59 0.59 0.58 0.54
INDS 0.88 0.88 0.88 0.88 0.88 -
JECC 0.9 0.9 0.9 0.9 0.9 0.9
KBLI 0.74 0.74 0.74 0.74 0.74 0.55
KBLM 0.75 - - - 0.82 0.82
LPIN 0.39 0.39 0.44 0.49 0.49 -
MASA 0.48 0.48 0.44 0.44 0.41 0.63
MYTX - 0.8 0.8 0.8 0.8 -
NIPS 0.37 0.37 0.63 0.63 0.66 0.5
PBRX 0.51 0.52 0.46 0.52 0.48 -
POLY 0.96 0.96 0.96 0.96 0.96 0.89
18
PRAS 0.45 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54
PTSN 0.22 - - - - -
RICY 0.48 0.48 0.48 0.48 0.48 0.54
SCCO 0.67 0.67 0.67 0.72 0.71 0.71
SMSM 0.58 0.58 0.58 0.58 2.33 0.58
SRIL - 0.56 0.56 0.56 0.64 0.6
SSTM 0.7 0.7 0.7 0.7 0.41 0.41
STAR 0.65 0.63 0.54 0.48 0.48 0.41
TFCO 1 0.99 0.99 0.99 0.99 0.67
TRIS 0.7 0.7 0.67 0.67 0.67 0.67
UNIT 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.29
VOKS 0.49 0.53 0.53 0.33 0.63 0.64
Rata-rata 67% 64% 60% 58% 84% 73%
Sumber : Laporan Keuangan BEI tahun 2012-2017(data diolah peneliti)
Berdasarkan table 1.2 menunjukkan bahwa terdapat hasil variable nilai
corporate governance yaitu kepemilikan institusional sehingga dapat diperoleh
rata-rata nilai kepemilikan institusional, yang dapat dilihat pada grafik rata-rata
kepemilikan institusional.
Berikut adalah grafik rata-rata kepemilikan institusional per tahun pada
perusahaan Sektor Aneka Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode
2012-2017 dalam bentuk persentase (%):
Sumber: www.idx.co.id dan www.sahamoke.com (data diolah peneliti)
Gambar 1.4
Rata-rata Kepemilikan Institusional per tahun pada perusahaan Sektor
Aneka Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2012-2017
Lanjutan Tabel 1.4
67% 64% 60% 58% 84% 73%
0%
50%
100%
2012 2013 2014 2015 2016 2017
RATA-RATA KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL (%)
KEPEMILIKANINSTITUSIONAL
19
Gambar 1.4 merupakan grafik yang menunjukkan rata-rata kepemilikan
institusional per tahun pada perusahaan sektor aneka industry yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2012-2017 yang mengalami fluktuatif dan
cenderung menurun. Pada tahun 2012 rata-rata kepemilikan institusional berada
pada angka 67% dan mengalami penurunan menjadi 64% pada tahun berikutnya
yaitu tahun 2013. Kemudian pada tahun 2014 dan 2015 kembali menurun menjadi
60% dan 58% hal ini disebabkan semakin berkurangnya kepemilikan saham
perusahaan oleh institusi dibandingkan dengan keseluruhan saham yang dimiliki
perusahaan sehingga, menunjukkan bahwa masih kurang efisien pemanfaatan
aktiva perusahaan, selain itu penurunan kepemilikan ini mengindikasikan
kemampuan monitoring atau pengawasan perusahaan yang semakin kurang yang
pada akhirnya akan mampu mendorong semakin besarnyanya potensi kesulitan
keuangan yang mungkin terjadi dalam perusahaan (I Gusti, 2015). Sementara
tahun 2016 meningkat menjadi 84% kenaikan ini disebabkan oleh meningkatnya
jumlah kepemilikan saham perusahaan oleh institusi dibandingkan dengan
jumalah saham yang dimiliki perusahaan hal ini mengindikasikan bahwa
pengawasan perusahaan semakin baik dan resiko perusahaan mengalami financial
distress semakin kecil. Kemudian pada tahun 2017 kembali mengalami penurunan
menjadi sebesar 73%.
Penelitian mengenai financial distress sudah banyak dilakukan oleh
peneliti dari tahun ke tahun dengan hasil yang sangat beragam. Penelitian yang
berkaitan dengan ukuran perusahaan yaitu pernah dilakukan oleh Robert (2017)
menyatakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap terjadinya
financial distress, penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan leh Puji
Astuti (2015) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan berpegaruh positif
20
terhadap financial distress. Hal ini menunjukkan Perusahaan yang memiliki asset
besar menunjukkan bahwa perusahaan mampu memenuhi kewajiban yang telah
jatuh tempo,dengan demikian perusahaan yang memiliki asset yang lebih besar
lebih kecil mengalami kondisi financial distress karena memiliki asset yang cukup
melimpah dibanding dengan perusahaan yang lebih kecil. Sedangkan penelitian
lain menunjukkan hal yang berbeda yaitu penelitian yang dilakukan oleh Wiwin
(2016) menyatakan bahwa secara parsial variabel ukuran perusahaan berpengaruh
tidak signifikan terhadap financial distress, penelitian ini sejalan dengan I Gusti
(2015) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan tidak memiliki pengaruh pada
kesulitan keuangan.
Penelitian yang berkaitan dengan good corporate governance antara lain
pernah diakukan oleh Sipatuhar (2014) yang meneliti hubungan antara struktur
kepemilikan (kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional) dalam
kondisi financial distress dengan menemukan hasil bahwa kepemilikan manajerial
dan kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya
financial distress. I Gusti Agung Ayu, Prita Ginantia dan Ni Ketut Leli Aryani
Merkusiwati 2015 dalam penelitiannya menemukan bahwa kepemilikan
konstitusional berpengaruh terhadap financial distress, sedangkan kepemilikan
manajerial tidak berpengaruh terhadap terjadinya kodisi financial distress.
Penelitian ini diperkuat oleh penelitian Rosmita dkk (2016), yang menemukan
hasil bahwa kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap financial
distress, sementara kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap terjadinya
kondisi financial distress..
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Ukuran Perusahaan dan Good
21
Corporate Governance terhadap Terjadinya Kondisi Financial Distress (Studi
empiris pada Perusahaan Sektor Aneka Industri yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia periode 2012-2017)”
1.2 Identifikasi dan Rumusan Masalah Penelitian
Identifikasi masalah merupakan proses merumuskan permasalahan-
permasalahan yang akan diteliti untuk memudahkan dalam proses penelitian
selanjutnya dan memudahkan memahami hasil penelitian. Rumusan masalah
menggambaran permasalahan yang tercakup dalam penelitian.
1.2.1 Identifikasi Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, terdapat
beberapa fenomena yang menjadi identifikasi masalah dalam penelitian ini,
diantaranya:
1. Daftar perusahaan yang mengalami delisting terus meningkat berdasarkan data
dari BEI periode 2012-2017 dengan jumlah terbanyak yaitu perusahaan yang
berada pada sektor manufaktur.
2. Prediksi financial distress pada perusahaan sektor aneka industri periode
2012-2017 yang diprediksi dengan model Altman Z-Score mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun yaitu pada tahun 2012 sampai 2015,
kemudian pada tahun 2017.
3. Kondisi rata-rata ukuran perusahaan mengalami penurunan pada tahun dua
tahun terakhir yaitu tahun 2016 dan 2017.
4. Kondisi rata-rata Good corporate governance yaitu Kepemilikan manajerial
mengalami penurunan dari tahun ke tahun yaitu pada tahun 2012-2013
22
kemudian pada tahun 2016-2017 sedangkan kenaikan terjadi pada tahun 2015.
5. Kondisi Good corporate governance yaitu Kepemilikan Institusional juga
mengalami penurunan berturut-turut yaitu pada tahun 2012-2015, kemudian
pada tahun 2017 dan terjadi kenaikan pada tahun 2016.
1.2.2 Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang penelitian dan identifikasi masalah diatas maka
disusun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi ukuran perusahaan, good corporate governance dan
financial distress pada perusahaan sektor aneka industri yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia periode 2012-2017.
2. Seberapa besar pengaruh ukuran perusahaan dan good corporate governance
secara simultan terhadap kondisi financial distress pada perusahaan sector
aneka industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2012-2017.
3. Seberapa besar pengaruh ukuran perusahaan terhadap kondisi financial
distress pada perusahaan sektor aneka industri yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia periode 2012-2017.
4. Seberapa besar pengaruh good corporate governance yaitu kepemilikan
manajerial terhadap kondisi financial distress pada perusahaan sektor aneka
industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2012-2017.
5. Seberapa besar pengaruh good corporate governance yaitu kepemilikan
institusional terhadap kondisi financial distress pada perusahaan sektor
aneka industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2012-2017
23
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis:
1. Kondisi Financial Distress, Ukuran Perusahaan, dan Good Corporate
Governance pada perusahaan Sektor Aneka Industri yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia periode 2012-2017.
2. Pengaruh Ukuran Perusahaan dan Good Corporate Governance secara
simultan terhadap terjadinya kondisi Financial Distress pada perusahaan
Sektor Aneka Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2012-
2017.
3. Pengaruh ukuran perusahaan terhadap kondisi Financial Distress pada
perusahaan Sektor Aneka Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
periode 2012-2017.
4. Pengaruh good corporate governance yaitu kepemilikan manajerial terhadap
kondisi Financial Distress pada perusahaan Sektor Aneka Industri yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2012-2017.
5. Pengaruh good corporate governance yaitu kepemilikan institusional
terhadap kondisi Financial Distress pada perusahaan Sektor Aneka Industri
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2012-2017
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini memiliki kegunaan, tidak hanya di dapatkan oleh penulis
tetapi juga diharapkan dapat berguna bagi akademis, perusahaan manajemen,
investor maupun bagi pihak lainnya. Kegunaan penelitian ini, diantaranya:
24
1. Bagi Penulis
a. Mengetahui Financial Distress, Ukuran Perusahaan, serta Corporate
Governance pada perusahaan manufaktur Sektor Aneka Industri yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2012-2017.
b. Mengetahui pengaruh Ukuran Perusahaan secara simultan maupun
parsial terhadap terjadinya kondisi Financial Distress pada perusahaan
manufaktur Sektor Aneka Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
periode 2012-2017.
c. Mengetahui pengaruh Corporate Governance secara simultan maupun
parsial terhadap terjadinya kondisi Financial Distress pada perusahaan
manufaktur Sektor Aneka Industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
periode 2012-2017.
2. Bagi Akademisi
a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang
berarti dalam pengembangan ilmu ekonomi dan bisnis, khususnya pada
bidang ilmu manajemen keuangan. Hasil penelitian ini juga diharapkan
dapat menjadi bahan referensi dan perbandingan untuk penelitian-
penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan Ukuran Perusahaan, Good
corporate governance, dan Financial Distress.
b. Memberikan konstribusi pada pengembangan teori manajemen keuangan
terutama yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
integritas laporan keuangan.
3. Bagi Pihak Perusahaan/Manajemen
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam
25
pengambilan keputusan manajemen keuangan.
b. Mendorong perusahaan untuk lebih memperhatikan Ukuran perusahaan,
Good corporate governance, serta kondisi pada saat terjaidnya Financial
Distress.
4. Bagi Calon Investor
a. Penelitina ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang laporan
keuangan tahunan serta kondisi manajemen keuangan perusahaan
sehingga dapat dijadikan sebagai acuan untuk pembuatan keputusan
investasi.
5. Bagi Peneliti selanjutnya
a. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan
referensi untuk memungkinkan peneliti selanjutnya dalam melakukan
penelitian mengenai topik-topik yang berkaitan dengan penelitian ini,
baik yang bersifat melanjutkan atau melengkapi.