bab i memahami hadirnya frame baru dari waria...

33
1 Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria A. Latar Belakang Studi ini ingin menggambarkan tentang eksistensi sebuah entitas sosial yang kemudian dinamakan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Senin-Kamis. Studi ini akan difokuskan untuk melihat bagaimana pondok Pesantren waria Al- fatah Senin-kamis dalam memperjuangkan kepentingan kaum waria di Yogyakarta. Selain daripada itu, studi ini juga akan mendalami bagaimana selanjutnya Pondok Pesantren tersebut merepresentasikan dirinya di ruang publik. Studi ini akan meletakkan Pondok Pesantren sebagai basis perjuangan waria untuk memperoleh penerimaan sosial. Hidup sebagai waria harus mampu bertahan dari berbagai ragam tekanan yang menghimpit dirinya, karena kultur mereka belum sepenuhnya diterima di dalam ruang sosial tersebut. Maka oleh sebab itu mereka tidak bisa lari dari tekanan-tekanan sosial, namun sebaliknya mereka harus menghadapi dengan berbagai siasat agar harapan mereka untuk mempertahankan kultur sebagai waria bisa tercapai. Melalui bahasa, gaya hidup, cara berpakaian yang bertentangan

Upload: trinhkhuong

Post on 02-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

1

Bab I

Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria

A. Latar Belakang

Studi ini ingin menggambarkan tentang eksistensi sebuah entitas sosial

yang kemudian dinamakan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Senin-Kamis.

Studi ini akan difokuskan untuk melihat bagaimana pondok Pesantren waria Al-

fatah Senin-kamis dalam memperjuangkan kepentingan kaum waria di

Yogyakarta. Selain daripada itu, studi ini juga akan mendalami bagaimana

selanjutnya Pondok Pesantren tersebut merepresentasikan dirinya di ruang

publik. Studi ini akan meletakkan Pondok Pesantren sebagai basis perjuangan

waria untuk memperoleh penerimaan sosial.

Hidup sebagai waria harus mampu bertahan dari berbagai ragam tekanan

yang menghimpit dirinya, karena kultur mereka belum sepenuhnya diterima di

dalam ruang sosial tersebut. Maka oleh sebab itu mereka tidak bisa lari dari

tekanan-tekanan sosial, namun sebaliknya mereka harus menghadapi dengan

berbagai siasat agar harapan mereka untuk mempertahankan kultur sebagai waria

bisa tercapai. Melalui bahasa, gaya hidup, cara berpakaian yang bertentangan

Page 2: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

2

dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

menawar dalam kehidupan sosial bermasyarakat.1

Secara aturan budaya yang mengikat dalam masyarakat, kita hanya

mengakui dua sisi yang berlawanan, seperti misalnya kiri-kanan, hitam-putih,

kaya-miskin, pria-wanita. Akan menjadi hal yang tabu jika pria di posisikan

dengan pria karena karakter dari masing-masing ini telah mutlak ditentukan dan

tidak dapat di ubah. Namun seiring berjalannya waktu pertukaran jati diri ini

banyak kita temui di seluruh negara termasuk Indonesia dan khususnya untuk

daerah Yogyakarta. Pertukaran jati diri ini kerap kita kenal dengan sebutan waria.

Jika pilihan waria tetap diteruskan, maka resiko dan permasalahan besar akan

diperoleh waria dari berbagai pihak, termasuk masyarakat. Masalah yang kerap

kali di temukan oleh waria seperti misalnya penolakan keluarga, tidak diterima

secara sosial, dianggap sebagai lelucon dan kesulitan dalam mengakses pelayanan

publik yang telah tersedia.

Berbicara waria dari waktu ke waktu memang tidak ada habisnya, untuk

daerah Yogyakarta sendiri sudah mengalami perkembangan yang luar biasa.

Kelompok waria sudah tidak malu lagi untuk menunjukkan identitas mereka

sebagai kalangan dari masyarakat yang bertentangan dari jenis kelamin yang telah

di tentukan. Sebagai kaum yang termaginalkan kelompok ini kerap kali membuat

1Koeswinarno, 2006, Hidup Sebagai Waria, Lkis, Jakarta. hal 10

Page 3: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

3

resah masyarakat karena kehadirannya yang di anggap sebagai sampah

masyarakat akibat ketidakmampuannya.

Namun demikian walaupun waria merupakan bagian dari masyarakat yang

dikucilkan, mereka tetap bagian dari warga negara yang secara tidak langsung

tetap dapat memanfaatkan hak-haknya sebagai warga negara. Salah satu

contohnya yakni pemanfaatan ruang publik. Namun fakta dilapangan yang kita

temui adalah kehidupan yang termaginalkan, mulai dari sisi pekerjaan, agama dan

politik. Para waria harus berjuang untuk mendapatkan akses pelayanan publik

dengan statusnya sebagai kaum minoritas. Sejatinya, dalam penelitian ini akan

melihat bagaimana proses representasi dengan formasi yang cukup panjang demi

mengakui kehadiran mereka ditengah-tengah masyarakat.

Mengutip skripsinya Titik Widayanti yang mengatakan bahwa waria

Yogyakarta diposisikan sebagai orang-orang tertindas. Mereka tidak memiliki

kesamaan akses dengan masyarakat lainnya. Waria mengalami diskriminasi untuk

mengakses kesehatan, pendidikan, tempat beribadah dan pekerjaan di sektor

publik. Belum mendapatkan pengakuan terhadap identitas mereka dikarenakan

budaya dominan dalam masyarakat kita yang hanya mengakui dua identitas

seksual menjadi alasan mendasar belum diakuinya identitas waria.Maka oleh

Page 4: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

4

sebab itu tidak mengherankan jika kesulitan waria dalam mengakses merupakan

suatu sisi yang layak untuk dikaji lebih dalam lagi.2

Keterbatasan waria dalam mengakses pekerjaan di sektor formal

merupakan fakta yang menunjukkan bahwa waria diposisikan sebagai kelompok

yang termaginalkan. Belum adanya pengakuan dari masyarakat dan negara

berdampak pada keterbatasan waria dalam mengakses pekerjaan di sektor formal.

Banyak dari masyarakat yang masih meragukan kepandaian dan kualitas waria.

Pendidikan, skill yang rendah memberikan keraguan masyarakat untuk memberi

pekerjaan kepada waria. Keterbatasan pekerjaan dari sektor formal ini

menjadikam waria pada akhirnya memilih untuk bekerja di sektor informal,

seperti pekerja seks atau nyebong, ngamen dan bekerja di salon.3

Gebrakan awal yang dilakukan oleh waria yang bernama Maryani

kelahiran 15-Agustus-1960 adalah dengan mendirikan pesantren senin kamis di

daerah Notoyudan, Yogyakarta. Mendirikan pesantren merupakan langkah awal

yang dilakukan Ibu Maryani guna mempermudah waria dalam melakukan ibadah

tanpa harus melihat latar belakang mereka.Adapun maksud dari pesantren waria

ini adalah sebuah tempat yang difungsikan sebagai tempat untuk kegiatan

keagamaan seperti shalat, zikir, dan belajar membaca al-quran oleh sekelompok

orang yang memiliki anatomi tubuh pria namun sifat dan tingkah lakunya

2Widayanti, 2008, Politik Subaltern, Yogyakarta. hal 3

3Ibid, hal 103

Page 5: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

5

cenderung ke arah wanita. Munculnya pesantren waria ini merupakan realitas

sosial keagamaan dari perspekif kaum marginal yang menjadi menarik untuk

dikaji lebih dalam lagi, baik itu proses mendirikan pesantren, pengembangan

pesantren dan lainnya.

Melalui segelumit masalah yang dihadapkan pada kelompok waria

diharapkan melalui wadah Pesantren ini mereka memperoleh perubahan yang

maksimal seperti aksesibilitas pelayanan publik. Hal yang paling terlihat secara

kasat mata ialah pengaksesan waria ketika ingin beribadah. Banyak dari

masyarakat yang tidak menerima waria untuk masuk ke masjid guna beribadah.

Kesulitan dan permasalahan yang seperti ini mempersempit gerak waria ketika

ingin beribadah, belum lagi pemilihan sarung atau mukena yang akan mereka

gunakan. Tekanan sosial yang diperoleh oleh waria ini melahirkan sebuah

fenomena dan pemikiran baru untuk mendirikan pesantren khusus untuk

kelompok waria.

Terdapat suatu hal yang baru dalam kajian waria saat ini, yakni beribadah

di dalam pesantren ini para waria tidak dipaksakan untuk menggunakan sarung

dan peci. Namun, pilihan diberi kebebasan kepada setiap waria terhadap

kenyamanannya menggunakan perlengkapan untuk shalat dan beribadah. Hal unik

lainnya dari pesantren ini adalah tidak adanya batasan bagi waria yang beragama

non islam untuk masuk dan bergabung dalam pesantren ini dengan alasan agar

Page 6: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

6

tidak adanya perlakuan tekanan yang dirasakan oleh waria, jelas Maryani ketika

berkunjung ke pondok pesantrennya.

Pemahaman tentang agama yang ditawarkan kepada waria berguna untuk

membentuk kepribadian yang lebih baik lagi.Harapannya kemudian, stigma

negatif yang melekat dalam tubuh waria dapat berangsur-angsur pulih dan waria

bisa diterima di lingkungan masyarakat. Jika hal ini telah terwujud maka waria

tidak akan mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan dan untuk mengakses

pelayanan publik waria juga akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan

masyarakat pada umumnya.

Dengan melihat fenomena baru ini mungkin mata hati kita akan mulai

tergerak untuk melihat waria dengan frame baru yang mereka tunjukkan kepada

masyarakat bahwa mereka tidak hanya sebagai waria yang menjadi sampah

masyarakat, namun di sisi baru mereka menunjukkan bahwa solidaritas yang

tinggi di kalangan waria mempertontonkan bahwa mereka sudah mulai bangkit

dengan formasi baru melalui sebuah ruang yang kita kenal dengan “Pesantren

Waria Al-fatah Senin-Kamis Notoyudan, Yogyakarta”. Formasi baru ini

merupakan gebrakan baru yang membuktikan bahwa waria sudah mulai bangkit

dan maju lebih cepat dari pijakan awal sebelumnya. Ditengah-tengah kesibukan

bekerja, mereka masih meluangkan waktu untuk berkumpul bersama kaum yang

termaginalkan dengan waktu yang telah disepakati bersama.Hal ini terbukti

dengan peristiwa merapi beberapa tahun silam, waria asuhan Maryani hadir dalam

Page 7: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

7

membantu masyarakat korban merapi bantuan sosial yang mereka lakukan di

lokasi bencana alam merupakan salah satu bentuk dari pergerakan baru.Selain

dari bakti sosial yang mereka lakukan, para waria juga membantu memotong

rambut para pengungsi dengan total sekitar 250 waria. Keunikan seperti ini pada

akhirnya mengundang rasa ingin tahu pihak luar mengenai pondok pesantren

tersebut. Hal ini terbukti dengan berkunjungnya para wartawan dan peneliti asing

dari Perancis, Jerman dan Belanda seperti yang diungkapkan oleh Ibu Maryani.

Studi ini merupakan lanjutan dari skripsi yang telah di tulis oleh Ikhda

Noviyati dan Titik Widayanti. Jika hasil dari skripsi tersebut bercerita mengenai

bagaimana kelompok waria yang termaginalkan dengam berusaha penuh untuk

bangkit dan berekstensi untuk di akui dalam ranah masyarakat dan negara dan

lebih lanjut lagi mengatakan bahwa waria tidak bisa survive dikarenakan adanya

konflik sosial dalam berbagai bentuk pelecehan. Namun berbeda dengan studi ini

yang merupakan studi lanjutan yang akan berbicara proses agenda yang terjadi di

dalam pesantren tersebut. Searah dengan proses agenda di dalam pesantren akan

terlihat bagaimana dampak yang dihasilkan melalui strategi yang dikonsepkan

oleh Ibu Maryani beserta teman-temannya.Representasi yang begitu kokoh

membuka dan meningkatkan eksistensi waria dengan harapan masyarakat dan

pemerintah mau menerima serta mengakui keberadaan mereka.

Lebih mendalam lagi penulis akan berusaha mencari titik terdalam

mengenai motif utama dari pendirian pesantren ini. Apakah murni hanya sebatas

Page 8: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

8

ingin mendirikan pesantren sebagai arena untuk melakukan ibadah atau bahkan

pesantren dijadikan sebagai wadah bagi para waria untuk bangkit memberikan

perlawanan atas tuntutan untuk disetujuinya “Toilet ketiga”.

Lebih lanjut lagi secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberi

sumbangan pemikiran untuk komunitas waria adalah peningkatan pemikiran baru

dalam melangkah lebih maju sebagai kaum waria.Tidak hanya itu saja hasil

penelitian ini nantinya diharapkan dapat membantu kelompok waria dalam

menjamin eksistensinya melalui pemanfaatan yang tepat terhadap pesantren yang

dibangun oleh Maryani.Sedangkan untuk masyarakat, hasil penelitian ini

mencoba menyuguhkan pemikiran baru dalam memandangi kehidupan waria.

Masyarakat dalam hal ini tidak lagi menghambat waria dalam mengakses

pelayanan publik karena pria yang memilih dirinya untuk berpenampilan seolah-

olah seperti wanita adalah pilihan tersendiri bagi mereka yang telah difikirkan

dengan matang dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Yang terakhir

tentu dikhususkan bagi pemerintah sebagi aktor yang berperan banyak terhadap

hajat hidup masyarakatnya, maka penelitian ini memiliki satu asa agar pemerintah

dapat berfikir dan meninjau ulang terhadap setiap kebijakan publik untuk dapat

mempertimbangkan kehadiran waria di tengah-tengah masyarakat.

Page 9: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

9

B. Rumusan Masalah

Melalui latar belakang yang telah penulis jelaskan. Maka terbentuklah sebuah

rumusan masalah yang nantinya akan di jawab pada halaman selanjutya, adapun

rumusan masalah tersebut adalah:

1. Mengapa pondok pesantren waria didirikan?

2. Bagaimana pondok pesantren waria merepresentasikan dirinya di ruang publik?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui sejauh mana perkembanganpondok pesantren hadir dalam

menjalankan fungsinya dan peranannya.

2. Untuk melihat bagaimana representasi pondok pesantren waria agar bisa di

terima oleh masyarakat

D. Kerangka Teori

D1. Politik Representasi

Perkembangan representasi politik sebagai sebuah konsep sekaligus praktek

yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sejumlah fenomena dalam

perpolitikan praktis dan perkembangan debat teoretis dalam ilmu politik. Fenomena-

fenomena yang sangat mempengaruhi perkembangan representasi sebagai sebuah

konsep adalah, antara lain, demokrasi dan demokratisasi, peningkatan peranan

masyarakat sipil, maraknya kemunculan gerakan sosial baru, serta munculnya aktor-

Page 10: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

10

aktor politik global dan internasional yang mengklaim merepresentasikan kelompok-

kelompok masyarakat yang sering diabaikan, disingkirkan atau tertindas. Dengan

demikian, perkembangan perpolitikan di tataran praksis telah memaksa ilmuwan

politik untuk memperbarui gagasan dan pemahaman mereka mengenai representasi

dan mengembangkannya menjadi sebuah konsep penting di dalam ilmu politik.4

Pada abad pertengahan, kata perwakilan banyak di pakai oleh gereja. Setelah

itu seiring dengan berkembangnya lembaga-lembaga politik di Eropa, khususnya

setelah lembaga parlemen, kata perwakilan di pakai sebagai orang atau sekelompok

orang yang mewakili orang lain. Pada abad ketujuh belas, kata perwakilan sudah

dikaitkan dengan “agency and acting for others’, Disini konsep perwakilan sudah

berkaitan dengan adanya sekelompok kecil orang yang bertindak atas nama atau

mewakili orang atau banyak orang.5

Berangkat dari penjelasan di atas, Piktin mengelompokkan perwakilan ke

dalam empat kategori, Yaitu:6

1. Perwakilan formal, dimana perwakilan dipahami dalam dua dimensi:

Otoritas dan akuntabilitas. Adapun dimensi pertama berkaitan dengan

4http://www.rumahpemilu.com/public/doc/2013_06_08_12_35_52_ToR%20Simposium%20Klaster%

20Riset%20Representasi%20Politik%2020%20Juni%202013.pdf di unggah 14.20 Wib

5Kacung Marijan, 2009, Sistem Politik Indonesia Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Kencana

group,Jakarta. hal 39 6 Hanna, F Pitkin, 1967, The Concept of Refresentation, University Of California Press, London. Hal

38

Page 11: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

11

otorisasi apa saja yang diberikan kepada para wakil. Ketika wakil

melakukan sesuatu di luar otoritasnya maka dia tidak lagi menjalankan

fungsi perwakilannya, sedangkan fungsi akuntabilitas menuntut adanya

pertanggung jawaban dari para wakil tentang apa yang dikerjakan.

representasi sebagai pemberian dan pemilikan kewenangan oleh wakil

sebagai person yang di beri kewenangan untuk bertindak. Hal ini berarti

wakil diberikan hak untuk bertindak yang sebelumnya tidak memiliki hak

2. Perwakilin deskriptif, yakni adanya wakil yang berasal dari berbagai

kelompok yang di wakilkan, meskipun tidak berniat untuk yang di

wakilinya. Para wakil biasanya akan merefleksikan kelompok-kelompok

yang ada di dalam masyarakat (seperti yang diwakilinya) tetapi tidak

secara inheren melakukan sesuatu untuk kepentingan orang-orang yang

diwakilkan. representasi deskriptif ini biasanya seseorang dapat berfikir

tentang representasi sebagai “standing for” segala sesuatu yang tidak ada.

Person bisa berdiri demi orang lain atau mereka cukup menyerupai orang

lain. Karakteristik deskriptif ini biasanya meliputi warna kulit, gender dan

kelas sosial.

3. Perwakilan simbolik, dimana para wakil adalah simbol dari kelompok atau

bangsa yang diwakilkan. Pada aspek ini biasanya tidak merepresentasikan

sesuai fakta. Ide person dapat direpresentasikan tidak dengan peta atau

Page 12: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

12

potret tetapi dnegan simbol, sehingga simbol Cuma mensubstitusi yang

diwakili dan simbol mensubstitusi apa yang disimbolkan

4. Perwakilan substansif, dimana para wakil berusaha bertindak sebaik

mungkin atas keinginan dan kehendak orang-orang yang diwakilkan atau

publik. Perwakilan ini di anggap sebagai “acting for” orang lain. Dalam

konteks ini wakil akan berbicara, bertindak demi opini, keinginan,

kebutuhan atau kepentingan substansif

Representasi sudah banyak menyedot perhatian para akadimisi, salah satu

karya yang terkenal adalah defisini representasi yang dikemukakan oleh Pitkin yang

mengatakan bahwa “To make present again. Political representation is the activity of

making citizens vices, opinions and perspective “present” in the public policy making

processes”. Ulasan ini kemudian di rangkum oleh Tonquist dan Warouw:

“..bahwa representasi mengasumsikan adanya wakil, orang-orang yang

diwakili, sesuatu yang diwakili dan sebuah konteks politiknya. Dinamika

representasi terutama menyangkut dengan otorisasi dan akuntabilitas yang

mengasumsikan adanya transparansi dan daya tanggap.Apa yang

direpresentasikan kemudian bersifat substansif, deskriptif dan simbolik.

Representasi substansi “bersifat untuk”(acts for), representasi deskriptif

“berdiri untuk”(stands for) sedangkan representasi simbolik juga “berdiri

untuk” (stands for) namun kali ini dalam pengertian kesamaan kebudayaan

dan identitas”7

Lain halnya dengan Robert Putnam yang berpendapat bahwa rakyat yang

sadar sebagai warga negara secara organik akan membangun dirinya dari bawah,

7Dikutip dari Tonquist dan warrow, 2009, Memahami demokrasi:Beberapa Catatan Pendahuluan

Tentang Konsep dan Metode dalam Samadhi dan Warouw, Demokrasi di atas pasir, PCD Press,

Yogyakarta. Hal 36

Page 13: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

13

antara lain melalui koperasi atau organisasi lainnya tanpa terkait dengan ideologi,

institusi ataupun keterikatan politik. Karena itu, representasi menjadi desuatu yang

berlebihan karena rakyat bisa bertindak secara langsung melalui kontak-kontak yang

sama dan asosiasi-asosiasi yang menempatkan masyarakat sebagai aktor utama.8

Andrew Heywood (1997) menyebutkan empat model utama representasi,

yaitu: trusteeship, delegation, the mandate, dan resemblace. Senada dengan ini

Gilbert Abcarian (1970: 177-178) dalam Bintan R. Saragih (1997) mengemukakan

empat tipe atau model hubungan dalam representasi, yaitu:

1. Wali (trustee), di mana si wakil bebas bertindak atau mengambil keputusan

menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan yang

diwakilinya.

2. Utusan (delegate), dimana si wakil bertindak sebagai utusan dari yang

diwakilinya. Di sini si wakil selalu mengikuti intstruksi dan petunjuk dari

yang diwakilnya dalam melaksanakan tugasnya.

3. Politico, dimana si wakil kadang-kadang bertindak sebagai wali dan

adakalanya bertindak sebagai utusan. Tindakannya tergantung dari isu yang

dibahas.

4. Partisan, dimana si wakil bertindak sesuai dengan keinginan atau program

dari organisasi politiknya. Setelah si wakil terpilih dalam suatu pemilihan

8Ibid, Hal 39

Page 14: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

14

umum maka lepaslah hubungannya dengan para pemilihnya dan mulailah

hubungannya dengan organisasi atau partai yang mencalonkannya dalam

pemilu tersebut.9

Dalam membahas tentang mekanisme perwakilan tentunya tidak terlepas dari

apa yang kita kenal dengan kepentingan masyarakat. Hal ini dikarenakan melalui

perwakilan maka aspirasi serta kepentingan masyarakat dimasukkan dalam sebuah

kebijakan. Kekuasaan yang diberi oleh negara dan menjadi tugas negara adalah

bagaimana menampung kepentingan/keinginan masyarakat, baik dalam bentuk

general interest maupun partikular interest.

Fungsi representasi menurut Tonquist yaitu: Pertama, Popular control: To

provide for degree of popular control over the goverment. Kedua, Leadership: to

provide for leaderahip and responsibility in decision making. Ketiga, system

maintenance: to contribute towards the maintenance nd smooth running of political

system by enlisting the support of citizens.10

Penetapan strategi-strategi untuk meningkatkan representasi dalam kelompok

waria merupakan suatu proses dimana ide-ide mengenai keadilan dijadikan dasar bagi

kesamaan politik. Prosesnya tidaklah harus linier dalam jangka pendek, tetapi dalam

jangka tertentu. Menurut Lovenduski secara luas, terdapat tiga strategi yang ada:

9 Heywood, Andrew, 1997, Politics, Macmillan Press, London.

10 A.H. Birch,1971, Representation, Pall mall perss, London hal. 107

Page 15: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

15

Retorika tentang kesamaan dan jaminan diskriminasi positif atas kesamaan. Retorika

tentang kesamaan merupakan penerimaan publik terhadap klaim-klaim kelompok

waria. Namun selanjutnya ia mengatakan bahwa retoris belumlah cukup mempunyai

kebijakan-kebijakan bagi sebuah perubahan.11

Salah satu masalah yang kerap kali diperbincangkan didalam kajian poitik

representasi adalah ketika mempertanyakan bagaimana mengakomodasi kelompok-

kelompok marginal yang secara politik agar bisa diperhatikan kepentingannya ,

termasuk juga tuntutan representasi waria dalam arena publik. Dengan naiknya waria

ke permukaan maka akan sama halnya dengan representasi dari kelompok mereka

untuk bisa diakomodasi kepentingannya sebagai kelompok yang marginal.

Ada empat hal yang terkait dengan konsep perwakilan. Pertama, dengan

penempatan sekelompok orang yang mewakili dan termanifestasikan ke dalam bentuk

lembaga perwakilan, organisasi, atau bahkan gerakan. Kedua, adanya sekelompok

yang diwakili seperti konstituen atau klien. Ketiga, adanya sesuatu yang diwakili,

seperti pendapat, kepentingan dan perspektif. Keempat, adalah konteks politik

dimana perwakilan itu bisa berlangsung. Dalam situasi seperti ini, perwakilan berrati

adanya relasi antara wakil dan terwakili yang terbalut oleh kepentingan.12

Hanna F Pitkin mengemukakan bahwa “the representative system is the

modern from of democracy” yang berarti bahwa representasi layak dalam politik

11 Repository.library.uksw.edu/.../T2_75201 Diunduh pada 12-Maret-2014 pukul 21.39 WIB

12Optict, Kacung Marijan hal 41

Page 16: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

16

modern. Dalam konsepsi representasi menurut Pitkin ada empat cara memandang

representasi. Apabila berkaca pada konteks yang sudah dijelaskan di atas maka

hadirnya waria yang berusaha merepresentasikan dirinya melalui pondok pesantren

merupakan kesempatan yang mereka pilih melalui aspek religi untuk dapat bangkit

dari garis marginal dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan mereka yang

selama ini teracuhkan.

Hal ini tentu dapat kita lihat melalui sosok Maryani sebagai waria yang dapat

dikategorikan sebagai kelas bawah yang merasa tertindas atas ketidak adilan

perlakuan yang diberikan oleh masyarakat luas.Melalui pesantren waria ini kita dapat

melihat berbagai waria dari daerah dan kelas yang berbeda datang dan berkumpul

menjadi satu kesatuan guna menyusun kekuatan dalam rangka menyuarakan hak yang

tidak mereka dapatkan.Melalui media pesantren ini kelompok waria akan dimediasi

untuk semakin kuat dan kokoh dalam garisnya yang terlahir sebagai seorang waria.

Pesantren yang digunakan sebagai wadah pada akhirnya nanti akan menimbulkan

sebuah representasi tuntutan dari waria. Tuntutan yang diinginkan oleh waria bisa

saja berupa adanya “Toilet ketiga”.Seluruh akses yang ada saat ini dipertimbangkan

kembali untuk memikirkan kelompok waria. Misalnya seorang waria akan kesulitan

dalam mengakses toilet umum. Waria akan kebingungan untuk masuk ke toilet laki-

laki atau perempuan, contoh lainnya lagi adalah pengaksesan masjid. Tidak semua

masjid akan menerima waria untuk masuk ke dalam masjid mereka, terlebih lagi

Page 17: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

17

kegalauan yang akan timbul ketika waria memilih untuk menggunakan mukena atau

sarung.

Dalam kaitannya dengan kelompok waria, maka representasi yang dilakukan

oleh Ibu Maryani dengan merangkul teman waria lainnya untuk melakukan strategi

yang nantinya bertujuan untuk memperoleh penerimaan dari masyarakat. Adapun

pondok pesantren akan dijadikan sebagai wadah bagi kelompok marginal ini untuk

mampu merepresentasikan dirinya dengan berbagai cara yang sangat strategis tanpa

merugikan banyak pihak. Ide-ide mengenai eksistensi perwakilan kelompok waria

akan memuat proses perjalanan dari pergerakan politik waria yang sudah sejak lama

diperjuangkan.

D2. Penerimaan Sosial

Politik representasi digunakan sebagai teori untuk menggerakkan serta

merepresentasikan waria di bawah kepemimpinan Ibu Maryani, teori penerimaan

sosial kemudian menjadi tujuan kelompok waria dalam merepresentasikan dirinya

untuk kemudian agar dapat diterima oleh kalangan masyarakat secara umum. Maka

dua teori ini menjadi satu kesatuan yang saling menghubungkan dalam

mengkerangkai dan menjelaskan eksistensi pondok pesantren waria.

Tekanan sosial, yaitu suatu kondisi saat sejumlah besar anggota masyarakat

merasa bahwa nilai dan norma yang sudah dilanggar. Tekanan sosial seperti ini tidak

cukup untuk menimbulkan kerusuhan atau kekerasan, tetapi dapat menjadi pendorong

Page 18: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

18

kemungkinan terjadinya kekerasan.13

Kekerasan dan tekanan sosial akan terus terjadi

kepada setiap kelompok yang di anggap bertentangan dengan budaya dalam

masyarakat. Waria misalnya, dalam studi ini akan terlihat keseharian mereka yang di

penuhi dengan tekanan sosial. Namun, tekanan sosial akan berakhir jika kelompok

yang tertekan berusaha untuk memperoleh penerimaan sosial.

Menurut Tailor penerimaan sosial adalah kemampuan untuk berhubungan

dengan orang lain tanpa menilai dan tanpa mengenadalikan. Menerima adalah sikap

yang dapat melihat orang lain sebagai individu. Adapun penerimaan sosial dalam

penelitian ini dapat di ukur melalui indikator berikut:

1. Keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain

2. Adanya kepercayaan yang diberikan kepada orang lain

3. Kesamaan yang dirasakan dengan orang lain atau kelompoknya

4. Tingginya intensitas dalam berinteraksi dengan kelompoknya14

Sedangkan Hurlock (1973:92) yang mengartikan penerimaan sosial sebagai

suatu keadan dimana keberadaan seseorang ditanggapi dengan positif oleh orang lain

dalam suatu kelompok. Penerimaan sosial disini juga berarti sebagai teman untuk

suatu aktifitas dalam kelompok dimana seseorang menjadi anggota. Hal ini

merupakan indeks keberhasilan yang digunakan seseorang untuk berperan dalam

kelompok sosial dan menunjukkan derajat rasa suka anggota kelompok yang lain

13 Kun, 2006, sosiologi 2, Esis, Jakarta. Hal 63

14Septalia Meta karina, suryanto Jurnal psikologi kepribadian dan sosial volume 1, No 02, Juni 2012

hal 8

Page 19: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

19

untuk bekerja sama. Sementara penerimaan sosial menurut Berk adalah kemampuan

seseorang sehingga pada akhirnya ia bisa di hormati oleh kelompok lain sebagai

partner sosial. Seedangkan Leary mengatakan penerimaan sosial sebagai signal dari

orang lain yang ingin menyertakan seseorang untuk tergabung dalam suatu relasi atau

kelompok sosial. Leary juga mengatakan bahwa sikap penerimaan sosial dapat

dibuktikan melalui toleransi yang diberikan oleh orang lain untuj dijadikan partner

dalam suatu hubungan.15

Menurut Rogers penerimaan masyarakat terhadap diri seseorang berperan

dalam mewujudkan penghargaan dalam mewujudkan penghargaan atau kenyamanan

dalam diri seseorang. Penerimaan sosial dapat diartikan sebagai bentuk penerimaan

terhadap hal-hal tertentu atau terhadap suatu kelompok.16

Maka dalam kajian sosial

dan politik perlu adanya pengakuan atau penerimaan dari masyarakat agar tidak

terjadi pengucilan atau diskriminasi dari berbagai aspek.

Seseorang atau sekelompok orang dapat diterima di dalam lingkungannya

dipersepsikan menampilkan sikap-sikap berikut:

1. Menghargai secara keseluruhan apa yang ada di dalam diri individu

tanpa syarat, pendapat atau penilaian. Lingkungan dalam hal ini akan

menerima sepenuhnya

15

Ibid

16Rogers, 1987,

Page 20: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

20

2. Memandang sebagai orang yang berharga tanpa memandang latar

belakang atau keadaan individu

3. Tidak memandang rendah. Lingkungan sosial percaya bahwa individu

memiliki keyakinan atas kemampuan atau potensi pada dirinya.

4. Individu yang diterima tidak mendapatkan tekanan atau memiliki

kebebasan. Dengan kata lain individu merasa bahwa lingkungannya

memberikan sesuatu independensi17

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan sosial adalah. Pertama,

ciri kepribadian. Tidak ada seorangpun yang mempunyai kepribadian yang

sepenuhnya positif disukai dan tidak adanya segi negatif. Penerimaan sosial terjadi

dari penilaian masyarakat terhadap orang lain atas kepribadiannya. Biasanya

seseorang dapat diterima secara sosial karena ada karakter yang menarik dan hal ini

akan mengimbangi karakternya yang kurang baik.Kedua, ciri non kepribadian. Hal ini

terkait dengan kesan pertama seseorang ikut menentukan sejauh mana seseorang

dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Jika seseorang menunjukkan sikap

positifnya maka ia akan diterima dalam suatu kelompok. Namun sebaliknya jika pada

saat pertama sudah menunjukkan hal negatif maka akan ditolak dalam suatu

kelompok.18

Berikut merupakan bentuk-bentuk dari penerimaan sosial:

1. Indentification (Identifikasi)

17

Andi Mappiere, 1982, Psikologi remaja, Usaha Nasional, Surabaya hal 53 18

W.A Gerungan, 1996, Op Cit, hal 67

Page 21: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

21

Keadaan menerima dalam kategori ini adalah pengaruh karena kita

mengidentifikasi atau memihak sebuah kelompok, individu atau karena

alasan tertentu. Identifikasi membantu mempertahankan hubungan

personal antara mereka yang terlibat. Pada bentuk penerimaan ini, isi dari

perubahan keyakinan dan perilaku bukanlah suatu hal yang penting jika

dibandingkan dengan hasilnya. Contoh, sikap memihak pada suatu

lembaga sosial dan menerima aturan-aturan yang ada pada lembaga

tersebut meskipun mereka belum mengetahui aturan-aturan itu secara

meneyeluruh.

2. Internalization ( Internalisasi)

Bentuk penerimaan yang paling dalam adalah ketika seseorang merasa

yakin untuk mempercayai perubahan sikap. Pada kategori ini, seseorang

telah terinternalisasi dengan keyakinan baru, menerima makna dan bentuk

sosial.19

Penerimaan sosial muncul ketika terjadinya sebuah permasalahan sosial pada

suatu kelompok tertentu. Masalah sosial adalah tingkah laku yang menentang atau

menyimpang dari norma masyarakat. Di dalam masyarakat yang lebih luas waria

masih dianggap sebagai kelompok sosial yang menimbulkan masalah-masalah

ketertiban umum sejajar dengan pelacuran, gelandangan dan pengemis, sehingga

19

Cai,elearning.gunadarma.ac.id Diunduh pada 12-Maret-2014 pukul 21.08 WIB

Page 22: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

22

penertiban di mata pemerintah.20

Maka, hadirnya pondok pesantren sebagai sebuah

wadah perkumpulan waria berfungsi untuk melakukan sebuah perubahan agar dapat

diterima secara sosial.

Sedangkan menurut Hurlock (1997) seseorang yang diterima oleh kelompok

sosialnya akan menunjukan karakteristik sebagai berikut21

:

1. Merasa aman saat berada ditengah-tengah lingkungan. Individu akan

merasa nyaman ketika berada dilingkungan.

2. Dengan merasa diterima. Individu akan mendapatkan indentitas diri dan

mempunyai harga diri.

3. Akan merasa bebas. Dalam arti individu tidak merasa tertekan dan yakin

bahwa kelompok menerima keadaanya.

4. Akan lebih sering terlibat dan bergaul dengan lingkungan. Dalam arti

individu akan lebih terbuka tentang keberadaannya, karena lingkungan

dapat menerima keadaan individu.

E. Definisi Konseptual

E1. Waria

Waria adalah mereka yang yang secara gender adalah kaum wanita, namun

secara fisik mereka merupakan seorang lelaki. Kelompok ini biasanya akan menyukai

20

Nurdin, 1990, Pengantar Studi Kesejahteraan Sosial, Angkasa, Bandung. Hal 54

21 Hurlock, 1977, The Psychology of Adolescence, McGraw-Hill, Tokyo, hal 32

Page 23: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

23

laki-laki karena mereka telah memposisikan dirinya sebagai wanita secara kejiwaan

dan secara fisik. Hingga saat ini masyarakat masih sangat sulit untuk menerima

kehadiran waria ditengah-tengah lingkungan mereka, tidak mengherankan hingga saat

ini waria memperoleh diskriminasi mulai dari segi pekerjaan, pendidikan, sosial dll.

E2. Politik Representasi

Politik Representasi adalah adanya kelompok kecil yang bertindak atas nama

atau mewakili orang atau banyak lain. Untuk politik representasi kali ini dapat kita

lihat melalui perjuangan waria yang dianggap sebagai kelompok yang terpinggirkan.

E3. Penerimaan Sosial

Penerimaan sosial sebagai suatu keadan dimana keberadaan seseorang

ditanggapi dengan positif oleh orang lain dalam suatu kelompok. Penerimaan sosial

disini juga berarti sebagai teman untuk suatu aktifitas dalam kelompok dimana

seseorang menjadi anggota. Gagasan penerimaan sosial ini merupakan bagian dari

teori yang mewakili kelompok waria ketika mengalami kesulitan dalam mengakses

pelayanan publik dan ketidakadilan yang diterima. Kategori sebagai penerimaan

sosialakan muncul dari kelompok minoritas seperti waria dalam hal suatu

pemberdayaan melalui pondok pesantren untuk bisa diterima oleh masyarakat secara

umum.

F. Definisi Operasional

Page 24: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

24

F1. Politik Representasi

Dengan menggunakan konsep Politik Representasiakan dilihat pada:

1. Alasan melakukan representasi

2. Formulasi strategi

3. Hasil dari strategi

Sedangkan untuk strategi yang dilakukan oleh waria diantaranya adalah:

1. Metode strategihorizontal

2. Konsep pengorganisasian

3. Target dari strategi

F2. Penerimaan sosial

Dalam penelitian dengan menggunakan konsep ini akan melihat bagaimana

waria bergabung dalam suatu kelompok untuk menyolidkan identitas mereka agar

bisa diterima masyarakat dan memperoleh eksistensinya sebagai waria. Adapun

bentuk penerimaan tersebut diantaranya adalah:

1. Memperoleh kemudahan dalam akses pekerjaan

2. Memperoleh haknya dan dimudahkan dalam pelayanan publik

3. Diterima dalam lingkungan masyarakat

Page 25: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

25

G. Metodelogi Penelitian

G1. Jenis penelitian

Dalam mengkerangkai sebuah penelitian perlu dibingkai dengan adanya

metode penelitian.Terkait dengan Pondok Pesantren ini peneliti memilih untuk

menggunakan metode penelitian kualitatif. Adapun jenis metode penelitian yang akan

penulis gunakan dalam menindaklanjuti temuan-temuan di lapangan yakni dengan

menggunakan studi kasus. Creswell mendefinisikan studi kasus sebagai suatu

eksplorasi dari sistem-sistem atau kasus yang terkait. Sejalan dengan pemikirannya

Creswell, Berg (2007) memaparkan bahwa studi kasus adalah metode yang

menekankan pada eksploitatif dari sebuah kasus. Sejalan dengan tunutan kekhasan

dari studi kasus yang mengggunakan “mengapa dan bagaimana” maka daam hal ini

peneliti juga mengemukakan pertanyaan sama yang terletak di dalam rumusan

masalah. Suatu kasus akan menjadi menarik untuk diteliti jika memiliki corak khas

tersebut untuk orang lain atau minimal untuk peneliti.Selain daripada itu studi kasus

menjadi relevan dalam kasus ini karena studi ini merupakan suatu kasus yang sifatnya

kontemporer, maka hal ini berbanding lurus dengan studi kasus yang meneliti kasus

pada masa sekarang dengan melihat masa lalu sebagai background semata.

Makadengan menggunakan metode ini diharapkan dapat menangkap kompleksitas

kasus tersebut. Hal lebih lanjut lagi yang harus kita ingat adalah bahwa studi yang

kita lakukan memiliki karakter yang unik, sehingga penting dan bermanfaat bagi para

pembaca karena sesungguhnya dalam mengkerangkai perjalanan dalam menyusun

Page 26: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

26

skripsi ini studi kasus harus dapat membantu peneliti dalam menggali data baik itu

perorangan, kelompok, program, budaya, agama, mayarakat dan komunitas untuk

memahami dan mengatasi masalah yang sedang dihadapi atau yang akan di hadapi.22

Sebelum melangkah lebih jauh, tahapan petama yang peneliti lakukan adalah

dengan menetapkan obyek penelitian dengan tepat.Guna mencapai sasaran yang tepat

dan mempersempit ruang lingkup kajian ini, maka peneliti menggunakan Pesantren

Waria Al-fatah Senin-Kamis sebagai penelitian utama agar memperoleh data-data

yang dapat dikonseptualisasikan dalam studi ini. Maka, hasil akhir yang akan penulis

sodorkan nantinya berupa temuan-temuan baru mengenai Pondok Pesantren Waria

Al-fatah Senin-kamis baik itu mengenai sejarah berdirinya pondok pesantren hingga

gerakan-gerakan yang dihasilkan dari pondok pesantren tersebut.

G2.Metode pengumpulan data

Dalam melakukanpenelitian ini, ada beberapa cara yang dilakukan oleh

penulis untuk memperoleh data yang akurat.Adapun tekhnik pengumpulan data yang

akan penulis gunakan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dalam jenis

penelitian ini, diantaranya adalah:

1.Observasi

22Raco,R 2010, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta. Hal 49

Page 27: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

27

Observasi memiliki dua prinsip pokok yang telah menjadi tradisi dari

kualitatif yang diantaranya adalah: pertama, peneliti tidak boleh “mencapuri” uruan

subjek penelitian dan yag kedua adalah peneliti harus bisa menjaga sisi alamiah dari

subjek penelitian dengan tujuan untuk memperoleh data yang murni tanpa ada

rekayasa. Selain daripada itu untuk memperoleh hasil observasi yang valid maka

dibutuhkan waktu yang panjang dan pengamatan yang dilakukan berulang-ulang

kali.23

Dalam menggunakan observasi ini penulis hanya mengamati bagaimana

gambaran dan keadaan singkat mengenai pesantren tersebut serta kondisi lingkungan

sekitar. Observasi ini nantinya membantu penulis dalam memberikan informasi

tambahan dalam menulis dan mengkorelasikan data sebagai tambahan kajian skripsi.

Observasi pada umumnya akan bersinggungan dengan Setting, maka untuk kajian ini

hal yang harus dilakukan oleh peneliti adalah pemilihan Setting, jika Setting sudah

diperoleh makan penelitian bisa dilanjutkan. Hal ini senada dengan observasi yang

dilakukan pada kawasan pesantren.Sejauh penelitian yang dilakukan observasi yang

dilakukan tidak membutuhkan “izin masuk” yang sulit.Hingga saat ini peneliti

mendapatkan perlakuan yang baik dari Maryani dan para santri.Tidak ada kesulitan

yang berarti ditemui oleh peneliti. Hal ini tentu dapat menunjang kelancaran proses

pencarian data yang valid.

23

Agus salim 2005, Teori Paradigma Penelitian Sosial, Tiara wacana, Yogyakarta. hal 14

Page 28: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

28

2. Wawancara

Dalam tekhnik pengumpulan data melalui wawancara ini merupakan kajian

yang paling esensial, karena peneliti terjun dan bertatap muka langsung kepada

informan.Wawancara yang dilakukan bersifat terbuka dan santai dengan harapan

terbentuk sebuah kedekatan secara emosional antara peneliti dan informan.Jika

pendekatan telah terbentuk maka kajian dalam menguak data sesuai dengan kebuthan

peneliti dapat di peroleh dengan bahasa-bahasa yang dapat dimengerti oleh informan.

Wawancara dapat dilakukan dengan menggunakan empat model, yakni: (1)

wawancara alamiah-informal yakni pertanyaan dikembangkan secara spontan

terhadap responden; (2) wawancara dengan pedoman umum yakni peneliti telah

mempersiapkan sebelumnya pertanyaan umum yang akan diajukan kepada

responden; (3) wawancara dengan pedoman terstandar terbuka yakni digunakan jika

wawancara yang digunakan banyak pengumpul data guna membatasi temuan dengan

variasi yang akan muncul; (4) wawancara tidak langsung adalah tekhnik wawancara

yang digunakan oleh beberapa orang akibat sesuatu hal tidak dapat dilakukan sendiri

oleh peneliti.24

Sejalan dengan hal tersebut maka proses wawancara akan dilakukan

bersama pendiri Pesantren waria dalam hal ini adalah Maryani, para santri,

masyarakat sekitar dan non sekitar, tokoh agama serta pemerintah. Cakupan

24Agus salim 2005, Teori Paradigma Penelitian Sosial, Tiara wacana, Yogyakarta hal 17

Page 29: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

29

pemilihan proses wawancara ini dilakukan dengan pertimbangan untuk memperoleh

hasil data yang valid.

3. Dokumen lainnya

Dokumen ini digunakan untuk mencari referensi tambahan bagi peneliti

dalam rangka melengkapi dari hasil pengumpulan data yang dilakukan melalui

observasi dan wawancara. Adapun yang termasuk dalam bagian dokumen lainnya

ini adalah jurnal, foto, media massa, karya ilmiah, buku dan penelitian

sebelumnya yang dianggap relevan. Dengan memilih untuk menggunakan

dokumen lainnya sebagai bahan tambahan di anggap dapat membantu peneliti

dalam memaksimalkan perolehan data yang valid atau dapat digunakan sebagai

data pembanding untuk mendapatkan hasil yang komprehensif.

Dokumen digunakan untuk keperluan penelitian dengan alasan sebagai

berikut:

a. Dokumen digunakan karena merupakan sumber data yang stabil dan

mendorong

b. Berguna sebagai bukti dalam pengujian

c. Sesuai dengan penelitian kualitatif yang sifatnya alamiah

Page 30: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

30

4. Hasil pengkajian ini berguna untuk membuka kesempatan yang lebih luas

terhadap yang diselidiki.25

Untuk dokumen lainnya ini merupakan bahan sekunder yang bisa penulis akses

dengan mudah karena Pondok Pesantren yang didirikan oleh seorang waria ini

mendapatkan sorotan di banyak kalangan.Maka tidak mengerankan jika akhir-akhir

ini Pesantren Waria Al-fatah Senin-Kamis menjadi issue hangat.Selaras dengan hal

itu penuis dapat menemukan data sekunder yang bersinggungan dengan studi yang

peneliti lakukan.

G3. Teknis Analisis Data

Teknis analisis data yang akan penulis gunakan yakni melalui beberapa langkah

yang di antaranya adalah langkah pertama yang akan penulis lakukan untuk

menganalisis data adalah dengan mengumpulkan hasil wawancara yang telah

dilakukan selama di lapangan. Jawaban dari setiap informan diteliti kembali apakah

sesuai dengan pertanyaan yang telah penulis ajukan ketika proses wawancara

berlangsung. Selama melakukan dan mencermati jawaban dari informan maka

penulis dapat memahami bagaimana posisi seorang informan, hal ini dilakukan untuk

mempermudah peneliti dalam memilah perolehan data.Posisi informan sangat perlu

kita ketahui untuk memperoleh hasil penelitian yang tidak mengalami

keberpihakan.Jika semuanya telah dilakukan maka langkah selanjutnya yang perlu

25Moleong ,2008, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. hal 217

Page 31: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

31

dilakukan adalah dengan mengkolaborasikan menggunakan teori yang telah peneliti

pilih sebelumnya. Kerangka teori yang telah kita pilih sangat berfungsi untuk

memagari selama proses penulisan data berlangsung. Langkah terakhir, atau finishing

adalah dengan memaparkan secara jelas temuan berdasarkan tahapan analisis data

yang telah dilakukan, dengan demikian, maka pembuatan kesimpulan dapat

dilakukan.Untuk tahapan akhir yakni kesimpulan adalah rangkaian dari seluruh hasil

temuan-temuan di lapangan yang telah di kombinasikan dengan teori-teori yang telah

di pilih sebelumnya.

H. Sistematika Penulisan

Penulisan ini akan disajikan dengan suatu rangkaian pembahasan yang tersusun

secara sistematis yang sangat berkaitan antara bab yang satu dengan bab lainnya.

Adapun hasil penelitian ini akan dituliskan ke dalam 5 bab yang akan di jabarkan

sebagai berikut:

Bab pertama yang akan saya tuliskan adalah:

1. Latar belakang, mengapa saya memilih topik ini dan mengapa topik

ini menarik untuk dikaji lebih dalam lagi

2. Rumusan masalah, masalah yang akan diteliti dan di cari jawabannya

Page 32: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

32

3. Kerangka teori, yakni teori yang akan digunakan dalam

mengkerangkai penelitian ini agar dapat menemukan jawaban-jawaban

yang akan penulis cari

4. Definisi konseptual dan definisi operasional

5. Metode penelitian, yakni penjelasan yang berisi tentang jenis

penelitian yang akan penulis gunakan baik itu dalam tekhnik

pengumpulan data dan tekhnik analisis data

Bab kedua adalah identifikasi waria yang menghalami penekanan sosial. Dalam bab

ini akan membahas kelompok waria yang mengalami diskriminasi baik itu secara

agama, pekerjaan dan pelayanan publik. Secara rinci penulis akan menjelaskan

bagaimana peristiwa yang sering dihadapi oleh waria sebagai kelompok subaltern.

Bab ketiga strategi dari Pondok Pesantren Waria. Pada bagian ini akan

mengkategorikan lebih dalam lagi bagaimana usaha yang dilakukan oleh Maryani

beserta santrinya dalam melakukan strategi melalui pondok pesantren tersebut untuk

bisa diterima masyarakat.

Bab keempat yakni hasil dari representasi dari pondok pesantren waria. Pada bab ini

akan terlihat bentuk penerimaan masyarakat terhadap kehadiran waria ditengah-

tengah lingkungan mereka.

Page 33: Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar

33

Bab kelima kesimpulan yakni terkait rangkuman singkat mengenai pembahasan

secara keseluruhan beserta refleksi hasil penelitian terhadap Politik Representasi